Anda di halaman 1dari 17

Referat

Appendisitis

Oleh:
Frischa Wibowo
11.2015.201

Pembimbing :
dr. Dono, Sp. B

Fakultas Kedokteran UKRIDA


Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah
Periode 13 Februari 2017 s/d 22 April 2016
RS Imanuel, Lampung
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
(UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA)
Jl. Terusan Arjuna No.6 Kebon Jeruk Jakarta Barat
BAB I
Pendahuluan

Appendicitis adalah peradangan pada organ appendix vermiformis atau yang


dikenal juga sebagai usus buntu. Berdasarkan onsetnya, appendicitis dibagi menjadi
beberapa macam, dari appendicitis akut hingga kronis. Appendicitis akut sendiri adalah
salah satu penyebab keadaan bedah emergensi terbanyak, yang ditandai dengan gejala
berupa nyeri perut pada ulu hati / epigastrium yang menjalar ke kuadran kanan bawah.
Hingga saat ini penyebab keadaan akut abdomen di negara negara (negara berkembang
dan negara maju) terbanyak adalah appendicitis akut ini. 1

Peradangan pada appendix ini dapat ditemukan pada masyarakat dari berbagai usia,
dan juga dari berbagai kalangan yang berbeda pula. Terdapat sekitar 250.000 kasus
appendicitisyang terjadi di Amerika Serikat setiap tahunnya dan terutama terjadi pada anak
usia 6 10 tahun. Di Indonesia sendiri belum ada data pasti yang menyatakan jumlah
insiden appendicitis, namun insiden terbanyak terjadi pada usia 10 30 tahun, dengan
jumlah penderita pria lebih banyak daripada wanita. Walaupun appendicitis ini dapat
ditemukan pada berbagai usia, namun angka komplikasi tertinggi ada pada penderita pada
rentang usia muda (anak anak) dan usia tua, di mana angka komplikasi berupa perforasi
appendix diikuti dengan peritonitis generalisata cukup tinggi. 2,3

Sejalan dengan waktu, insiden appendicitis ini terus meningkat, hal ini diduga
berkaitan dengan pola makan yang semakin rendah serat, di mana menyebabkan
terbentuknya faeses yang keras dan kemudian menyebabkan sumbatan pada lumen
appendix sehingga terjadi peradangan.

Terapi definitif dari appendicitis, baik akut maupun kronis adalah dengan
melakukan pengangkatan appendix yang meradang. Tindakan ini dilakukan secara bedah,
dan dapat dilakukan dengan beberapa metode, baik laparotomy, laparoscopy, maupun
dengan simple appendectomy (insisi pada McBurney) sesuai dengan indikasinya.
Appendicitis akut yang tidak ditangani dengan adekuat / definitif maka akan dapat
menyebabkan perforasi diikuti dengan peritonitis yang dapat menyebabkan shock dan
akhirnya bisa menyebabkan kematian. Namun dengan penanganan segera dan cepat maka
prognosis dari appendicitis adalah sangat baik.1

Hal 1
BAB II
Tinjauan Pustaka

Definisi
Apendisitis akut adalah proses peradangan akut pada apendiks vermiformis.
Apendisitis merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering terjadi atau dengan
kata lain merupakan inflamasi pada lapisan dalam dari apendiks yang menyebar ke bagian
lainnya.1

Anatomi
Apendiks mulai terlihat di awal minggu ke 8 pertumbuhan embriologi, sebagai
sebuah protuberensia atau tonjolan dari bagian sekum terminal. Pertumbuhan sekum
mendorong apendiks sehingga masuk ke dalam katup ileokolika. Letak apendiks terhadap
sekum tidak pernah berubah yaitu di pangkal sekum, sedangkan ujungnya dapat ditemukan
di belakang sekum (retrocecal), panggul (pelvic), bawah sekum (subcecal), sebelum ileum
(preileal), atau samping kolon (right pericolic). Pertimbangan letak anatomi ini memiliki
kepentingan klinis dalam mendiagnosa apendisitis akut. Tiga taeniae coli yang berkumpul
di persimpangan sekum menjadi sebuah tanda yang berguna untuk mengidentifikasi
apendiks. Apendiks memiliki panjang kira-kira 6 - 9 cm, namun dapat bervariasi antara <1
dan >30 cm.2
Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, lumennya sempit di bagian
proksimal dan melebar di bagian distal. Persarafan parasimpatis berasal dari cabang nervus
vagus yang mengikuti arteri mesenterika superior dan arteri apendikularis, sedangkan
persarafan simpatis berasal dari nervus torakalis X. Oleh karena itu, nyeri viseral pada
apendisitis bermula di sekitar umbilikus. Perdarahannya berasal dari arteri apendikularis
yang merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, apendiks akan mengalami
gangren.3

Hal 2
Gambar 1. Anatomi Apendiks

Fisiologi
Selama beberapa tahun, apendiks secara keliru diyakini sebagai organ vestigial
tanpa fungsi yang diketahui. Saat ini apendiks dianggap sebagai organ imunologik yang
secara aktif ikut berpartisipasi dalam sekresi imunoglobulin, khususnya imunoglobulin A.2
Walau tidak ada peran yang jelas untuk apendiks dalam timbulnya penyakit pada
manusia, telah dilaporkan adanya hubungan antara apendektomi dan timbulnya kolitis
ulseratif dan Chrons disease, hal ini menunjukkan fungsi protektif dari apendiks.2
Apendiks menghasilkan lendir sebanyak 1-2 mL per hari. Lendir itu normalnya
dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran ini di
muara apendiks tampaknya berperan pada patogenesis apendisitis.3

Epidemiologi
Resiko untuk terkena apendisitis adalah 8,6% untuk laki-laki dan 6,7% untuk
perempuan dengan insiden tertinggi pada umur dekade kedua dan ketiga. Apendisitis
muncul pada 7% populasi di Amerika Serikat, dengan insidensi dari 1,1 kasus per 1000
orang per tahunnya. Pada negara Afrika dan Asia, insidensi dari apendisitis akut
kemungkinan lebih rendah karena kebiasaan diet dari populasi tersebut. WHO
menyebutkan insidensi apendisitis di Asia dan Afrika pada tahun 2004 adalah 4,8% dan
2,6% penduduk dari total populasi. Departemen Kesehatan RI pada tahun 2006, apendisitis
menempati urutan keempat penyakit terbanyak di Indonesia setelah dispepsia, gastritis dan

Hal 3
duodenitis, dan penyakit sistem cerna lainnya dengan jumlah pasien rawat inap sebanyak
28.040. Insiden apendisitis lebih rendah pada budaya orang-orang dengan intake serat yang
tinggi. Serat makanan dapat mengurangi viskositas feses, mengurangi waktu transit di
usus, dan memecah formasi fekalit, yang dapat menjadi predisposisi obstruksi lumen
apendiks pada individu.3

Etiologi
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa faktor yang paling berperan dalam
etiologi terjadinya apendisitis akut adalah obstruksi lumen apendiks. Percobaan pada
binatang dan manusia menunjukkan bahwa total obstruksi pada pangkal lumen apendiks
dapat menyebabkan apendisitis. Pada keadaan klinis, faktor obstruksi ditemukan dalam 60-
70 % kasus. Sekitar 60% obstruksi disebabkan oleh hiperplasi kelenjar limfe submukosa,
35% disebabkan oleh fekalit, dan 5% disebabkan oleh faktor obstruksi yang lain.4
Beberapa penelitian klinis berpendapat bahwa parasit seperti Entamoeba
histolityca, Trichuris trichiura, dan Enterobius vermicularis dapat menyebabkan erosi
membrane mukosa apendiks dan perdarahan. Pada awalnya Entamoeba histolityca
berkembang di kripte glandula intestinal. Selama invasi pada lapisan mukosa, parasit ini
memproduksi enzim yang dapat menyebabkan nekrosis mukosa sabagai pencetus
terjadinya ulkus.3 Keadaan obstruksi berakibat terjadinya proses inflamasi. Beberapa
keadaan yang mengikuti setelah terjadinya obstruksi adalah akumulasi dan peningkatan
tekanan dari cairan intraluminal, kongesti dinding apendiks, obstruksi vena dan arteri, yang
akhirnya menimbulkan keadaan hipoksia sehingga mengakibatkan invasi bakteri.4

Patofisiologi
Peradangan apendiks biasanya dimulai pada mukosa dan kemudian melibatkan
seluruh lapisan dinding apendiks mulai dari submukosa, lamina muskularis dan lamina
serosa. Proses awal ini terjadi dalam waktu 12-24 jam pertama. Obstruksi pada bagian
yang lebih proksimal dari lumen menyebabkan stasis bagian distal apendiks, sehingga
mucus yang terbentuk secara terus-menerus akan terakumulasi. Kapasitas normal lumen
apendiks hanya 0,1 ml. Sekresi cairan yang melebihi 0,5 ml akan meningkatkan tekanan
intraluminal sebesar 60 cmH2O.1,3
Peningkatan tekanan intraluminer dan edem akibat gangguan sirkulasi limfe akan
memacu proses translokasi kuman dan terjadi peningkatan jumlah kuman di dalam lumen
apendiks. Kondisi yang kurang baik ini akan memudahkan invasi bakteri dari dalam lumen
Hal 4
menembus mukosa dan menyebabkan ulserasi mukosa apendiks. Obstruksi yang
berkelanjutan menyebabkan terjadinya gangguan sirkulasi vaskuler. Sirkulasi venular akan
mengalami gangguan lebih dahulu daripada arterial. Keadaan ini akan menyebabkan
iskemi jaringan dan invasi bakteri semakin berat sehingga terjadi pernanahan pada dinding
apendiks, terjadilah keadaan yang disebut apendisitis akut supuratif.1,3

Mikrobiologi
Bakteriologi pada apendiks normal sama seperti yang terdapat pada kolon normal.
Flora normal apendiks tetap konstan sepanjang hidup dengan pengecualian
Porphyromonas gingivalis, dimana bakteri ini hanya terdapat pada orang dewasa.
Organisme utama yang terdapat pada apendiks normal, apendisitis akut, dan apendisitis
perforasi adalah Eschericia coli dan Bacteroides fragilis. Apendisitis merupakan
polimikroba infeksi. Beberapa penelitian melaporkan sampai 24 mikroorganisme yang
ditemukan pada kultur pasien apendisitis perforasi. 1

Manifestasi Klinis
A. Gejala
Apendisitis umumnya dimulai dengan nyeri menyebar di sekitar umbilikus yang
nantinya setelah 4 sampai 6 jam terlokalisasi pada kuadran kanan bawah. Variasi lokasi
anatomis dari apendiks dapat berperan dalam membedakan perbedaan presentasi dari fase
nyeri somatis.2
Apendisitis juga memiliki hubungan dengan gejala gastrointestinal seperti mual
dan anoreksia. Banyak pasien mengeluhkan sensasi obstipasi sebelum gejala nyeri timbul
dan merasa bahwa defekasi dapat meredakan gejala nyeri abdomen. Diare dapat terjadi
terutama pada anak-anak.2

B. Tanda
Awalnya, tanda vital mulai berubah. Suhu tubuh dan nadi dapat normal atau sedikit
meningkat. Perubahan yang lebih besar mengindikasikan terjadinya komplikasi atau
Hal 5
diagnosa lain perlu dipertimbangkan.2
Pasien apendisitis biasanya bergerak perlahan dan lebih memilih berbaring
telentang karena iritasi peritoneum. Pada palpasi abdomen, ditemukan nyeri tekan
maksimal pada atau sekitar titik McBurney. Pada palpasi dalam, sering dirasakan adanya
resisten muskular (guarding) pada fossa iliaca dextra, lebih jelas dibandingkan dengan sisi
sinistra. Saat tekanan dari tangan pemeriksa dilepaskan secara mendadak, pasien
merasakan nyeri mendadak, yang disebut sebagai nyeri lepas (rebound tenderness). Nyeri
tekan tidak langsung (Rovsings sign) dan nyeri lepas tidak langsung (nyeri pada kuadran
kanan bawah saat kuadran kiri bawah dipalpasi) adalah bukti kuat terjadinya iritasi
peritoneum.2
Variasi anatomis pada apendiks yang meradang berujung pada perbedaan dari
pemeriksaan fisik. Dengan apendiks retrocecal, penemuan pada abdomen bisa menjadi
kurang jelas, dan nyeri tekan paling jelas pada pinggang (flank). Saat apendiks tergantung
di dalam pelvis, penemuan pada abdomen bisa sama sekali tidak ditemukan, dan diagnosa
apendisitis dapat terlewatkan. Nyeri rektal sisi kanan dikatakan dapat membantu dalam
situasi ini, tetapi nilai diagnostiknya rendah. Nyeri pada ekstensi dari kaki kanan (psoas
sign) mengindikasikan adanya fokus iritasi pada bagian proksimal dari muskulus psoas
(menunjukkan apendiks retrosekal). Peregangan muskulus obturator internus melalui rotasi
internal dari paha terfleksi (obturator sign) menyarankan inflamasi di dekat otot
(menunjukkan apendiks pelvis).2

C. Pemeriksaan Laboratorium
Apendisitis berasosiasi dengan respon inflamasi yang berhubungan erat dengan
keparahan penyakitnya. Sehingga pemeriksaan laboratorium adalah bagian penting dari
diagnosa. Leukositosis ringan sering timbul pada pasien dengan apendisitis akut tanpa
komplikasi dan biasanya dibarengi dengan polymorphonuclear prominence. Jarang
ditemukan leukosit >18.000 sel/mm3 pada apendisitis tanpa komplikasi. Jumlah melebihi
level ini meningkatkan kemungkinan dari apendiks yang perforasi dengan atau tanpa
abses. Urinalisis dapat berguna untuk menyingkirkan saluran kencing sebagai sumber
infeksi.3

D. Pemeriksaan Pencitraan
Foto polos abdomen dapat menunjukkan adanya fecalith di dalam sekum,

Hal 6
berhubungan dengan apendisitis tetapi jarang membantu mendiagnosa apendisitis akut,
namun dapat berguna dalam menyingkirkan patologi lain. Radiografi thoraks dapat
membantu menyingkirkan nyeri alih dari lobus kanan bawah paru. Jika apendiks terisi
barium enema, kecil kemungkinan terjadi apendisitis, namun pemeriksaan ini tidak
diindikasikan pada keadaan akut.2
Ultrasonografi (USG) dan computed tomography (CT) Scan adalah pencitraan
yang paling sering digunakan pada pasien dengan nyeri abdomen, terutama pada evaluasi
kemungkinan apendisitis. Meta-analisis multipel telah dilakukan untuk membandingkan
kedua modalitas. Rata-rata, CT-Scan lebih sensitif dan spesifik dibandingkan dengan USG
dalam mendiagnosa apendisitis.
Pada USG, apendiks diidentifikasi sebagai bowel loop buntu non-peristaltik berasal
dari sekum. Penebalan dinding apendiks dan adanya cairan periappendiceal kemungkinan
besar menyarankan apendisitis. Apendiks yang mudah dikompresi berdiameter <5 mm
menyingkirkan diagnosa apendisitis. Struktur lumen yang tidak dapat dikompresi (lesi
target) dapat menjadi gambaran terjadinya apendisitis. USG memiliki limitasi, terutama
pada hasil yang operator-dependent.2
Dengan CT-Scan resolusi tinggi, apendiks yang meradang tampak terdilatasi (>5
mm) dan dindingnya menebal. Sering ditemukan tanda-tanda inflamasi, yaitu
periappendicial fat stranding, penebalan mesoapendiks, periappendiceal phlegmon, dan
cairan bebas. Fecaliths sering terlihat, namun keberadaannya bukan patognomonik
apendisitis.2

E. Skoring Klinis
Skor Alvarado merupakan sistem penilaian klinis yang paling sering dipakai. Skor
ini khususnya berguna untuk meningkatkan kepastian diagnosis apendisitis dan
menyingkirkan diagnosis apendisitis.5
Pasien dengan skor 9 atau 10 hampir pasti apendisitis, pasien tersebut harus segera
dioperasi. Pasien dengan skor 7 atau 8 mungkin apendisitis. Pasien dengan skor 5 atau 6
ragu-ragu apendisitis, oleh sebab itu perlu dilakukan pemeriksaan pencitraan. Pasien
dengan skor 0 sampai 4, bisa dilakukan skrining dengan pemeriksaan penunjang juga
untuk memastikan diagnosis apendisitis.5

Hal 7
Tabel 2. Alvarado Score

Temuan Poin

Migration of pain 1

Anorekxia 1

Nausea and/or vomiting 1

Right lower quadrant tenderness 2

Rebound tenderness 1

Elevated temperature 1

Leukocytosis 2

Shift of Neutrophils to the Left 1

Total 10

Diagnosa Banding
Diagnosa banding apendisitis akut secara esensial adalah diagnosis akut abdomen.
Gambaran klinis identik dapat disebabkan oleh banyak proses akut di dalam rongga
peritoneum yang menghasilkan kelainan fisiologis sama seperti apendisitis akut.
Akurasi diagnosis pre-operatif seharunya lebih tinggi dari 85%. Jika kurang dari
itu, akan sering terjadi operasi yang tidak diperlukan dan diperlukan diagnosa banding pre-
operatif yang lebih teliti.2
Penemuan umum pada kasus diagnosa pre-operatif apendisitis yang salah bersama-
sama terjadi pada lebih dari 75% kasus dalam urutan menurun dalam frekuensi adalah
adenitis mesenterik akut, tidak ada kondisi patologis organik, pelvic inflammatory disease
(PID) akut, kista ovarium terpuntir, atau ruptur folikel graaf, dan gastroenteritis akut.

Hal 8
Diagnosa banding apendisitis akut bergantung pada 4 faktor mayor: lokasi
anatomis dari apendiks yang meradang, tahapan dari proses (tanpa atau dengan
komplikasi), usia, dan jenis kelamin pasien.2

A. Pasien Pediatri
Adenitis mesenterik akut adalah penyakit yang sering disalah artikan sebagai
apendisitis akut pada anak-anak. Hampir setiap kali, terdapat infeksi saluran nafas atas atau
belum lama mereda. Nyeri biasanya tersebar dan nyeri tekan tidak tepat terlokalisir seperti
pada apendisitis. Terkadang ditemukan voluntary guarding, tetapi jarang ditemukan true
rigidiy. Limfadenopati umum dapat ditemukan. Pemeriksaan labotarium hanya sedikit
membantu penegakan diagnosa yang tepat, walaupun limfositosis relatif menyarankan
terjadinya adenitis mesenterik. Observasi selama beberapa jam dapat dilakukan bila
diagnosis dicurigai adenitis mesenterik dicurigai, karena merupakan penyakit self-limited.

B. Pasien Geriatri
Divertikulitis atau karsinoma cecum (atau bagian sigmoid yang berada pada
abdomen kanan bawah) perforata bisa jadi mustahil dibedakan dengan apendisitis. Hal ini
perlu dipertimbangkan, terutama pada pasien yang lebih tua. CT-Scan sering kali
bermanfaat dalam menegakkan diagnosa pada pasien yang lebih tua dengan nyeri perut
kanan bawah dan presentasi klinis atipikal. Pada pasien yang ditatalaksana secara
konservatif, dianjurkan melakukan pemantauan berkala kolon (kolonoskopi atau barium
enema).2

C. Pasien Perempuan
Penyakit organ reproduksi internal perempuan yang dapat disalah artikan sebagai
apendisitis (dalam urutan frekuensi menurun) adalah PID, ruptur folikel graaf, kista atau
tumor ovarium terpuntir, endometriosis, dan kehamilan ektopik terganggu (KET). Alhasil,
peluang salah diagnosa tetap lebih tinggi pada perempuan.2
Pada PID, infeksi biasanya bilateral, tetapi jika hanya pada tuba kanan maka dapat
menyerupai apendisitis akut. Mual dan muntah terjadi pada pasien apendisitis tetapi hanya
sekitar 50% pada PID. Nyeri dan nyeri tekan biasanya lebih rendah dan terdapat nyeri
goyang serviks. Diplokokus intraselular dapat tampak pada apusan sekret purulen vagina.2
Ovulasi biasanya menyebabkan tumpahnya sejumlah darah dan cairan folikuler
yang cukup untuk menghasilkan nyeri perut bawah yang singkat dan ringan. Jika jumlah
Hal 9
cairan cukup banyak dan berasal dari ovarium kanan, maka dapat menstimulasi apendisitis.
Nyeri dan nyeri tekan biasanya menyebar, dan leukositosis dan demam biasa ringan atau
tidak ada. Karena nyeri ini terjadi pada titik tengah siklus menstruasi, sering dinamakan
mittelschmerz.2
Kista serosa ovarium umum terjadi dan biasanya tidak menimbulkan gejala. Ketika
kista sisi kanan mengalami ruptur atau torsio, manifestasinya serupa dengan apendisitis.
Pasien mengalami nyeri perut kuadran kanan bawah, nyeri tekan, nyeri lepas, demam, dan
leukositosis. Baik USG transvaginal dan CT-Scan bisa membantu diagnosa.2
Torsio memerlukan tatalaksana operatif darurat. Jika torsio yang terjadi komplit
atau lama, pedicle mengalami trombosis, dan ovarium serta tuba menjadi gangren dan
memerlukan reseksi. Namun, simple detorsion, fenestrasi kista dan fiksasi ovarium sebagai
intervensi utama, diikuti dengan laparoskopi beberapa hari setelahnya, dapat dianjurkan
karena sering kali sulit untuk menentukan secara pre-operatif viabilitas ovarium.2
Implantasi blastokista pada tuba fallopii (biasanya pada bagian ampulla) dan
ovarium. Ruptur tuba kanan atau kehamilan ovarium dapat menyerupai apendisitis. Pasien
dapat memiliki riwayat menstruasi abnormal, baik melewatkan satu atau dua siklus atau
hanya sedikit perdarahan vaginal. Sayangnya, pasien tidak selalu menyadari dirinya hamil.
Timbulnya nyeri kuadran kanan bawah atau nyeri pelvis bisa menjadi gejala pertama.
Diagnosa KET seharusnya relatif mudah. Adanya massa pelvis dan peningkatan kadar
human chorionic gonadotropin (HCG) merupakan karakteristiknya. Walaupun jumlah
leukosit sedikit meningkat, kadar hematokrit menurun sebagai akibat dari perdarahan intra-
abdomen. Pada pemeriksaan vagina didapatkan nyeri goyang serviks dan nyeri tekan
adneksa, dan diagnosa lebih pasti dapat ditegakkan dengan culdocentesis. Adanya darah
dan khususnya jaringan desidua adalah patognomonik. Tatalaksana KET adalah operasi
darurat.2

D. Gastroenteritis
Pada gastroenteritis, mual, muntah, dan diare mendahului rasa nyeri. Nyeri perut
sifatnya lebih ringan dan tidak berbatas tegas. Sering dijumpai adanya hiperperistaltis.
Panas dan leukositosis kurang menonjol dibandingkan dengan apendisitis akut.3

E. Demam Dengue
Demam dengue dapat dimulai dengan nyeri perut mirip peritonitis. Pada penyakit
ini, didapatkan hasil tes positif untuk Rumpel Leede, trombositopenia, dan peningkatan
Hal 10
hematokrit.3

F. Urolitiasis Pielum atau Ureter Kanan


Adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut yang menjalar ke inguinal kanan
merupakan gambaran yang khas. Eritrosituria sering ditemukan. Foto polos perut atau
urografi intravena dapat memastikan penyakit tersebut. Pielonefritis sering disertai dengan
demam tinggi, mengigil, nyeri kostovertebral di sebelah kanan, dan piuria.3

Tatalaksana
Medika Mentosa
Beberapa penelitian telah menunjukkan efektivitas pemberian antibiotik pre-
operatif dalam menurunkan resiko komplikasi apendisitis. Kebanyakan ahli bedah secara
rutin memberikan antibiotik kepada pasien yang diduga apendisitis. Pada kasus simple
acute appendicitis, tidak ada manfaat memberikan antibiotik terus menerus melebihi 24
jam. Jika terjadi perforasi atau apendisitis gangrenosa, antibiotik tetap diteruskan sampai
pasien afebril dan memiliki leukosit normal. Untuk infeksi intra abdominal dari saluran
cerna yang ringan sampai sedang Surgical Infection Society merekomendasikan terapi
tunggal dengan cefoxitin, cefotetan atau asam ticarcillin-clavulanic. Pada kasus infeksi
berat, dipakai kombinasi antara single agent therapy dengan carbapenems atau
cephalosporin generasi ketiga, monobactam, atau aminoglikosida ditambah antibiotik
anaerob seperti metronidazole.1

Appendektomi
Bila diagnosis klinis sudah jelas, tindakan paling tepat dan merupakan satu-satunya
pilihan yang baik adalah apendektomi.3 Sebagai penanganan preoperasi, resusitasi cairan
perlu dilakukan dan antibiotik untuk bakteri aerob dan anaerob (ceftriakson single dose 1
gr, IV - 2 jam sebelum operasi). Pilihan operasi apendektomi yang dapat dilakukan
adalah laparoskopi dan open appendectomy (laparotomy). Banyak ahli bedah melalukan
insisi pada Mc Burney (oblique) atau Rocky-Davis (transverse) pada kuadran kanan
bawah. Jika diduga suatu abses, insisi lateral dilakukan untuk drainase intraperitoneal dan
menghindari kontaminasi umum dengan peritoneum. Jika diagnosis meragukan, insisi
garis tengah bawah direkomendasikan untuk memeriksa lebih lanjut kavum peritoneum.
Beberapa teknik dapat digunakan untuk melokalisasi apendiks. Umumnya sekum langsung
terlihat pada insisi, penelusuran taenia akan menunjukkan dasar dari apendiks. Setelah
Hal 11
identifikasi, apendiks dimobilisasi dengan memisahkan mesoapendiks dan meligasi a.
apendikularis. Appendical stump diligasi dengan ligase simple atau dengan ligase dan
inversi oleh purse-string atau Z stich. Kavum peritoneum di-irigasi dan sayatan kemudian
ditutup lapis demi lapis.1
Keterlambatan dalam tatalaksana dapat meningkatkan kejadian perforasi.
Penggunaan ligasi ganda setelah appendektomi terbuka dilakukan dengan jahitan yang
mudah diserap tubuh. Dengan peningkatan penggunaan laparoskopi dan peningkatan
teknik laparoskopi, apendektomi laparoskopi menjadi lebih sering. Prosedur ini sudah
terbukti menghasilkan nyeri pasca bedah yang lebih sedikit, pemulihan yang lebih cepat
dan angka kejadian infeksi luka yang lebih rendah akan tetapi terdapat peningkatan
kejadian abses intra abdomen dan pemanjangan waktu operasi. Laparoskopi itu dikerjakan
untuk diagnosa dan terapi pada pasien dengan akut abdomen, terutama pada wanita.
Beberapa studi mengatakan bahwa laparoskopi meningkatkan kemampuan dokter bedah
untuk operasi.6

Tabel 3. Macam-macam Insisi untuk apendektomi

Insisi Grid Iron (McBurney Incision)6


Insisi Gridiron pada titik McBurney. Garis
insisi parallel dengan otot oblikus eksternal,
melewati titik McBurney yaitu 1/3 lateral
garis yang menghubungkan spina liaka
anterior superior kanan dan umbilikus.

Lanz transverse incision7


Insisi dilakukan pada 2 cm di bawah pusat,
insisi transversal pada garis miklavikula-
midinguinal. Mempunyai keuntungan
kosmetik yang lebih baik dari pada insisi grid
iron.

Hal 12
Rutherford Morissons incision (insisi
suprainguinal)7
Merupakan insisi perluasan dari insisi
McBurney. Dilakukan jika apendiks terletak
di parasekal atau retrosekal dan terfiksir.

Low Midline Incision7


Dilakukan jika apendisitis sudah terjadi
perforasi dan terjadi peritonitis umum.

Insisi paramedian kanan bawah7


Insisi vertikal paralel dengan midline, 2,5 cm
di bawah umbilikus sampai di atas pubis.

Penanganan post operatif dan komplikasi


Pada pasien apendisitis non-perforata, cukup dengan antibiotik single preoperative
dose. Pasien apendisitis dengan perforasi atau gangren, diberikan antibiotik postoperative
IV sampai pasien afebril dapat diberikan juga analgesik, seperti Pethidine 25 mg iv bolus,
atau Ketorolak 30 mg dosis tunggal. Antibiotik yang dapat diberikan, yaitu ceftriaxone 2x
1 gr IV. Perhatikan juga balans cairan, bising usus, mobilisasi pasien. Pada apendektomi
unkomplikata, tingkat komplikasi adalah rendah dan beberapa pasien dapat dengan capat
memulai diet dan di rawat jalan pada hari yang sama atau keesokan harinya. Apendektomi
komplikata, komplikasi yang dapat terjadi adalah lebih tinggi. Pasien harus terus
melanjutkan terapi antibiotik spektrum luas selama 4 sampai 7 hari. Ileus postoperatif
dapat muncul, sehingga diet dapat dimulai berdasarkan evaluasi klinis. 2
Hal 13
Komplikasi yang dapat terjadi adalah perforasi pada appendiks, perforasi ini akan
dibungkus omentum menjadi abcess (appendiculair abcess), abcess pecah akan
menyebabkan peritonitis berlanjut ke perlengketan usus dan ileus obstruksi sehingga dapat
berlanjut sepsis dan syok yang mengancam jiwa. Sedangkan komplikasi setelah operasi
adalah infeksi pada lokasi operasi dan stump appendicitis, (apendektomi yang tidak
komplit, menimbulkan gejala apendisitis berulang kurang lebih 9 tahun setelah operasi
pertama dilakukan).2

Prognosis
Tingkat mortalitas dan morbiditas apendisitis sangat kecil dengan diagnosis yang
akurat serta penatalaksanaan yang tepat. Tingkat mortalitas keseluruhan berkisar 1 % dan
disebabkan oleh komplikasi apendisits dari pada intervensi bedah. Pada pasien usia lanjut
angka ini meningkat di atas 5% terutama karena keterlambatan diagnosa dan terapi.
Kematian terjadi karena sepsis akibat peritonitis, abses intra abdomen, atau emboli paru.2

Hal 14
BAB III
Penutup

Kesimpulan
Apendisitis adalah peradangan yang terjadi pada organ apendiks vermicularis dan
merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering pada anak-anak maupun dewasa.
Apendisitis akut merupakan kasus bedah emergensi yang paling sering ditemukan pada
anak-anak dan remaja. Riwayat perjalanan penyakit pasien dan pemeriksaan fisik
merupakan hal yang paling penting dalam mendiagnosis apendisitis. Aplikasinya
membuktikan keakuratan dalam diagnostik dan memudahkan penatalaksanaan pada
pasien. Bila diagnosis klinis sudah jelas, tindakan paling tepat dan merupakan satu-satunya
pilihan yang baik adalah apendektomi

Daftar Pustaka
1. Townsend Jr. M. et al. Sabiston textbook of surgery: the biological basis of modern
surgical practice. 19th ed. Philadelphia: Elsevier; 2012.h.1287-99.
2. Brunicardi F, Schwartz S. Schwartz's principles of surgery. 10 th ed. New York:
McGraw-Hill, Health Pub. Division; 2010.
3. De Jong, Sjamsuhidijat. Buku ajar ilmu bedah. Jakarta: EGC; 2013.h.755-60.
4. Lawrence W. Current surgical: diagnosis and treatment, 12th ed. New York: Lange
Medical Book/McGraw-Hill; 2005.h.648-50
5. Meara JG, McClain CD, Mooney DP. Global surgery and anesthesia manual. USA:
CRC Press: Taylor & Francis Group; 2015.h.167-8.
6. Skandalakis JE, Colborn GL, Weidman TA, et al. Skandalakis surgical anatomy.
USA: McGrawHill; 2004.
7. Patnalk VG, Singla RK, Bansal VK. Surgical incisions-their anatomical basis.
India: J Anat.Soc: 2001.h.170-178.

Hal 15
Hal 16

Anda mungkin juga menyukai