Anda di halaman 1dari 2

Penyimpangan Dana CSR

Dr Mukti Fajar ND. (Foto : Dok)

ORANG Indonesia sepertinya belum siap mental untuk melihat duit lewat. Bahkan dana untuk
membantu masyarakat kecil dalam berbagai program Tanggung Jawab Sosial Perusahan (CSR)
pun disikat. Inilah yang kemudian memunculkan kasus korupsi dana CSR (Corporate Social
Responsibility). Dana yang berasal dari perusahaan yang seharusnya diperuntukan bagi
pemberdayaan masyarakat, justru disunat dan dibagi sana sini sesuka hati. Kasus terakhir adalah
penyimpangan dana CSR dari PT Aneka Tambang (Antam) yang menyeret Petinggi Universitas
Jend Sudirman sebagai pihak pelaksana program. Sebelumnya beberapa oknum Pemkot
Palembang juga digelandang ke pengadilan karena diduga memotong dana CSR dari PT Pusri.
Selebihnya, masih banyak kemungkinan dana CSR dari perusahan perusahaan yang jumlahnya
triliunan rupiah ini telah mengalir tidak tepat sasaran. Kasus-kasus terpendam ini, sebentar lagi
akan banyak diungkap.

Pertanyaannya menjadi banyak : apakah kesalahan penggunaan dana CSR itu tindak pidana
korupsi?, Apa saja komponen biaya dalam penggunaan dana CSR yang diperbolehkan? Siapa
yang berhak mengalokasikan dan mengawasi dana CSR tersebut? Adakah lembaga khusus yang
punya otoritas tentang program CSR dan seterusnya.

Program CSR yang secara konseptual diharapkan adanya kepedulian dari perusahaan untuk ikut
serta mengatasi persoalan sosial, akhirnya justru banyak menimbulkan persoalan. Pertama, Sejak
kelahirannya, isu mengenai kewajiban CSR di Indonesia telah membawa masalah. Kewajiban
melaksanakan CSR bagi perusahaan perusahaan yang diatur dalam UU No 25 Tahun 2007
tentang Penanaman Modal (UUPM) dan UU No 40 Tahun 2007 (UUPT) tentang Perseroan
Terbatas tidak bisa diterapkan secara sederhana. Belum lagi klausula tentang Program Kemitraan
dan Bina Lingkungan (PKBL) yang diatur dalam UU No 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha
Milik Negara (UU BUMN) yang secara substantif sama dengan Program CSR.

Mengenai besaran biayanya, dalam UUPM tidak disebutkan secara jelas jumlah dan sumbernya.
Dalam UUPT dana CSR wajib dianggarkan berdasarkan kepatutan dan kewajaran. Sedangkan
dalam UUBUMN yang dijelaskan melalui Peraturan Menteri Negara BUMN No Per-
05/MBU/2007 (Per.Men PKBL) mengatur dana PKBL sebesar 4% keuntungan bersih.
Kesimpangsiuran aturan tersebut sangat potensial melahirkan konflik maupun untuk
disalahgunakan. Saat ini masih banyak perusahan yang bingung dalam menentukan besaran dana
CSR. Akhirnya, perusahaan hanya mengira-ira saja. Kepatutan dan kewajaran yang dijadikan
dasar adalah dari kebiasaan praktik sebelumnya.

Khusus bagi PT BUMN hal ini juga masalah berat. Karena secara norma akuntasi, dana PKBL
yang bersumber dari keuntungan tidak sama dengan dana CSR yang bersumber dari anggaran,
walaupun substansi praktiknya sama yaitu pemberdayaan masyarakat. Dalam pertemuan dengan
beberapa PT BUMN mereka tetap melaksanakan keduanya dalam mekanisme yang berbeda.
Tentunya dengan keluhan yang panjang. CSR akhinya menjadi beban biaya dan tambahan
pekerjaan bagi mereka.

Kedua, dalam pelaksanaan program CSR, tentunya dibutuhkan biaya operasional yang harus
disediakan. UUPM dan UUPT tidak mengatur biaya operasional dengan jelas. Sedangkan
Per.Men PKBL, telah jelas menyebutkan. Bahwa untuk program kemitraan yang bersifat
pelatihan dan pendampingan maksimal dana operasionalnya 20%, sedangkan untuk Bina
Lingkungan yang sifatnya donasi, besarnya 5% untuk biaya operasional. Tetapi berapa besar
biaya operasional untuk CSR tidak ada aturan yang baku. Oleh karena itu, sebaiknya
pelaksanaan program CSR, baik yang dilakukan oleh perusahaan sendiri atau bekerjasama
dengan pihak ketiga (bisa saja Perguruan Tinggi atau LSM) besarnya mengacu Per.Men PKBL.

Yang perlu dicatat dengan tinta merah bahwa: (1) dana CSR tidak boleh dipungut atau dikelola
pemerintah. Karena pada prinsipnya ini adalah dana perusahaan untuk masyarakat. Pemerintah
tidak punya dasar untuk pelaporan pertanggungjawaban dana CSR. Pemerintah hanya boleh
mengarahkan program CSR agar bersinergi dengan program pemerintah, (2) Penggunaan dana
CSR selain untuk program dan biaya operasional bisa dikategorikan tindak pidana, karena
mengambil hak milik masyarakat. Dan Jika itu dilakukan oleh/untuk pejabat pemerintah, maka
masuk kategori korupsi.

(Dr Mukti Fajar ND. Dosen Fakultas Hukum dan Kepala LP3M UMY

Anda mungkin juga menyukai