Anda di halaman 1dari 49

BAB I

PENDAHULUAN

Berat bayi lahir rendah (BBLR) adalah bayi dengan berat lahir kurang dari 2500
gram tanpa memandang usia gestasi. Berat lahir adalah berat bayi yang ditimbang
dalam 1 jam setelah lahir. BBLR dapat terjadi pada bayi kurang bulan (< 37 minggu)
atau pada bayi cukup bulan (intrauterine growth restriction/IUGR).1

Sampai saat ini BBLR masih merupakan masalah di seluruh dunia, karena
menjadi salah satu penyebab utama kesakitan dan kematian pada masa neonatal.
Prevalensi BBLR masih cukup tinggi terutama di negara-negara dengan sosio-
ekonomi rendah. Secara statistik di seluruh dunia, 15,5% dari seluruh kelahiran
adalah BBLR, 90% kejadian BBLR didapatkan di Negara berkembang dan angka
kematiannya 20-35 kali lebih tinggi dibanding pada bayi dengan berat lahir >2500
gram. Angka kejadian di Indonesia sangat bervariasi antara satu daerah dengan
daerah lain, yang berkisar antara 9-30%.1

Penyebab terbanyak terjadinya BBLR adalah kelahiran prematur. Faktor ibu


adalah umur (<20 tahun atau >40 tahun), paritas, dan lain-lain. Faktor plasenta seperti
penyakit vaskular, kehamilan ganda, dan lain-lain, serta faktor janin juga merupakan
penyebab terjadinya BBLR.1

Masalah yang sering timbul pada BBLR:1

- Masalah pernapasan karena paru-paru yang belum matur


- Masalah pada jantung
- Perdarahan otak
- Fungsi hati yang belum sempurna
- Anemia atau polisitemia
- Lemak yang sedikit sehingga kesulitan mempertahankan suhu tubuh normal
- Masalah pencernaan atau toleransi minum

1
- Resiko infeksi

BAB II

2
TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Masalah Pernapasan Karena Paru-Paru Yang Belum Matur

A. Sindrom Aspirasi Mekonium

Sindrom ini terjadi karena mekonium masuk ke saluran napas sehingga


menyumbat bronkus perifer dan mengakibatkan pneumonitis kimiawi.2

- Pada penghisapan mulut dan jalan napas (suction) didapati adanya


mekonium.
- Pemeriksaan Roentgen: gambaran hiperinflasi dada, infiltrat kasar
yang menyebar di lapang paru, efusi pleura minimal, hingga atelektasis
paru.
- Komplikasi: pneumothoraks, pnemomediastinum, hipertensi pulmonal,
dan bronkospasme.2

B. Penyakit Membran Hialin (PMH)

Penyakit membran hialin (respiratory distress syndrome / RDS) adalah


sindrom gawat napas (SGN) terjadi akibat paru bayi yang belum matang
dan defisiensi surfaktan. Kondisi ini biasanya terjadi pada neonatus
prematur (usia gestasi <34 minggu). Gangguan napas terjadi segera setelah
lahir dan semakin memburuk dalam 48-72 jam (kecurigaan PMH
dieksklusi jika gejala timbul >8 jam pertama kehidupan). Selain distres
pernapasan, dapat ditemukan adanya edema perifer dan bayi tampak
letargi. Penyebab HMD adalah kurangnya surfaktan. Gagal napas dapat
didiagnosa dengan analisis gas darah. Pada pemeriksaan Roentgen tampak
adanya ground glass appearance yang tampak retikulogranuler
menyeluruh, gambaran air bronchogram.2

3
Pembentukan paru dimulai pada kehamilan 3-4 minggu dengan
terbentuknya trakea dari esofagus. Pada 24 minggu terbentuk rongga udara
yang terminal termasuk epitel dan kapiler, serta diferensiasi pneumosit tipe
I dan II. Sejak saat ini pertukaran gas dapat terjadi namun jarak antara
kapiler dan rongga udara masih 2-3 kali lebih lebar dibanding pada dewasa.
Setelah 30 minggu terjadi pembentukan bronkiolus terminal, dengan
pembentukan alveoli sejak 32-34 minggu.3

Surfaktan muncul pada paru-paru janin mulai usia kehamilan 20


minggu tapi belum mencapai permukaan paru. Muncul pada cairan amnion
antara 28-32 minggu. Level yang matur baru muncul setelah 35 minggu
kehamilan. Surfaktan mengurangi tegangan permukaan pada rongga
alveoli, memfasilitasi ekspansi paru dan mencegah kolapsnya alveoli
selama ekspirasi. Selain itu dapat pula mencegah edema paru serta
berperan pada sistem pertahanan terhadap infeksi. Komponen utama
surfaktan adalah Dipalmitylphosphatidylcholine (lecithin) 80%,
phosphatidylglycerol 7%, phosphatidylethanolamine 3%, apoprotein
(surfactant protein A, B, C, D) dan cholesterol. Dengan bertambahnya usia
kehamilan, bertambah pula produksi fosfolipid dan penyimpanannya pada
sel alveolar tipe II. Protein merupakan 10% dari surfaktan, fungsinya
adalah memfasilitasi pembentukan film fosfolipid pada perbatasan udara-
cairan di alveolus, dan ikut serta dalam proses perombakan surfaktan.1,3

Imaturitas paru secara anatomis dan dinding dada yang belum


berkembang dengan baik mengganggu pertukaran gas yang adekuat.
Pembersihan cairan paru yang tidak efisien karena jaringan interstitial paru
imatur bekerja seperti spons. Edema interstitial terjadi sebagai resultan dari
meningkatnya permeabilitas membran kapiler alveoli sehingga cairan dan
protein masuk ke rongga alveoli yang kemudian mengganggu fungsi paru.

4
Selain itu pada neonatus pusat respirasi belum berkembang sempurna
disertai otot respirasi yang masih lemah.3

Alveoli yang mengalami atelektasis, pembentukan membran hialin,


dan edema interstitial mengurangi compliance paru; dibutuhkan tekanan
yang lebih tinggi untuk mengembangkan saluran udara dan alveoli kecil.
Dinding dada bagian bawah tertarik karena diafragma turun dan tekanan
intratorakal menjadi negatif, membatasi jumlah tekanan intratorakal yang
dapat diproduksi. Semua hal tersebut menyebabkan kecenderungan
terjadinya atelektasis. Dinding dada bayi prematur yang memiliki
compliance tinggi memberikan tahanan rendah dibandingkan bayi matur,
berlawanan dengan kecenderungan alami dari paru-paru untuk kolaps. Pada
akhir respirasi volume toraks dan paru-paru mencapai volume residu,
cenderung mengalami atelektasis.3

Kurangnya pembentukan atau pelepasan surfaktan, bersama dengan


unit respirasi yang kecil dan berkurangnya compliance dinding dada,
menimbulkan atelektasis, menyebabkan alveoli memperoleh perfusi namun
tidak memperoleh ventilasi, yang menimbulkan hipoksia. Berkurangnya
compliance paru, tidal volume yang kecil, bertambahnya ruang mati
fisiologis, bertambahnya usaha bernapas, dan tidak cukupnya ventilasi
alveoli menimbulkan hiperkarbia. Kombinasi hiperkarbia, hipoksia, dan
asidosis menimbulkan vasokonstriksi arteri pulmonal dan meningkatkan
pirau dari kanan ke kiri melalui foramen ovale, ductus arteriosus, dan
melalui paru sendiri. Aliran darah paru berkurang, dan jejas iskemik pada
sel yang memproduksi surfaktan dan bantalan vaskuler menyebabkan efusi
materi protein ke rongga alveoli.3

Pada bayi imatur, selain defisiensi surfaktan, dinding dada compliant,


otot nafas lemah dapat menyebabkan kolaps alveolar. Hal ini menurunkan

5
keseimbangan ventilasi dan perfusi, lalu terjadi pirau di paru dengan
hipoksemia arteri progresif yang dapat menimbulkan asidosis metabolik.
Hipoksemia dan asidosis menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah
paru dan penurunan aliran darah paru. Kapasitas sel pnuemosit tipe II untuk
memproduksi surfaktan turun. Hipertensi paru yang menyebabkan pirau
kanan ke kiri melalui foramen ovale dan duktus arteriosus memperburuk
hipoksemia. Aliran darah paru yang awalnya menurun dapat meningkat
karena berkurangnya resistensi vaskuler paru dan PDA. Sebagai tambahan
dari peningkatan permeabilitas vaskuler, aliran darah paru meningkat
karena akumulasi cairan dan protein di interstitial dan rongga alveolar.
Protein pada rongga alveolar dapat menginaktivasi surfaktan.
Berkurangnya functional residual capacity (FRC) dan penurunan
compliance paru merupakan karakteristik HMD. Beberapa alveoli kolaps
karena defisiensi surfaktan, sementara beberapa terisi cairan, menimbulkan
penurunan FRC. Sebagai respon, bayi prematur mengalami grunting yang
memperpanjang ekspirasi dan mencegah FRC semakin berkurang.3

Tanda dari HMD biasanya muncul beberapa menit sesudah lahir,


namun biasanya baru diketahui beberapa jam kemudian di mana
pernapasan menjadi cepat dan dangkal (60 kali/menit). Biasanya ditemukan
takipnea, grunting, retraksi interkostal dan subkostal, dan pernapasan
cuping hidung. Sianosis meningkat, yang biasanya tidak responsif terhadap
oksigen. Suara napas dapat normal atau hilang dengan kualitas tubular
yang kasar, dan pada inspirasi dalam dapat terdengan ronkhi basah halus,
terutama pada basis paru posterior. Terjadi perburukan yang progresif dari
sianosis dan dispnea.1,3

Terapi terutama ditujukan pada pertukaran O2 dan CO2 yang tidak


adekuat di paru, asidosis metabolik dan kegagalan sirkulasi adalah
manifestasi sekunder. Beratnya HMD akan berkurang bila dilakukan

6
penanganan dini pada bayi BBLR, terutama terapi asidosis, hipoksia,
hipotensi dan hipotermia. Kebanyakan kasus HMD bersifat self-limiting,
jadi tujuan terapi adalah untuk meminimalkan kelainan fisiologis dan
masalah iatrogenik yang memperberat. Penanganan sebaiknya dilakukan di
NICU. Bila tidak diterapi dengan baik, tekanan darah dan suhu tubuh akan
turun, terjadi peningkatan sianosis, lemah dan pucat, grunting berkurang
atau hilang seiring memburuknya penyakit. Apnea dan pernapasan iregular
muncul saat bayi lelah, dan merupakan tanda perlunya intervensi segera.
Perbaikan ditandai dengan diuresis spontan, dan kemampuan oksigenasi
pada kadar oksigen lebih rendah.1,3

Komplikasi HMD adalah perdarahan intrakranial, perdarahan paru,


gagal jantung kongestif, dan berbagai komplikasi akibat penggunaan
bantuan ventilasi. Kematian jarang terjadi pada 1 hari pertama, biasanya
terjadi pada hari kedua sampai ketujuh, sehubungan dengan adanya
kebocoran udara alveoli (emfisema interstitial, pneumothoraks) perdarahan
paru atau intraventrikular. Kematian dapat terjadi setelah beberapa minggu
atau bulan bila terjadi bronchopulmonary displasia (BPD) pada penderita
dengan ventilasi mekanik (HMD berat).2

C. Transient Tachypnea of the Newborn / TTN (Wet Lung Syndrome)

Transient tachypnea of the newborn (TTN) yaitu gangguan pernapasan


yang terutama beresiko terjadi pada bayi lahir dengan seksio sesarea, bayi
prematur, partus presipitus, dan polihidramnion.2

- Gejala klinis tampak segera setelah lahir dan membaik dalam beberapa
jam (umumnya <24 jam), kemudian hilang dalam 5-7 hari.
- Pemeriksaan Roentgen: gambaran hiperinflasi dada, fisura interlobaris
yang opak, efusi pleura, dan peningkatan pada vaskular parahiler.2

7
D. Asfiksia Neonatorum

Asfiksia pada BBLR ditandai dengan keadaan hipoksemia,


hiperkarbia, dan asidosis. Menurut AAP dan ACOG (2004), asfiksia
perinatal pada seorang bayi menunjukkan karakteristik berikut: 1

- Asidemia metabolik atau campuran (metabolik dan respiratorik) yang


jelas, yaitu pH <7, pada sampel darah yang diambil dari arteri
umbilikal
- Nilai APGAR 0-3 pada menit ke 5
- Manifestasi neurologi pada periode bayi baru lahir (BBL) segera,
termasuk kejang, hipotonia, koma, atau ensefalopatia hipoksik iskemik
- Terjadi disfungsi sistem multiorgan segera pada periode BBL.1

Penilaian pada bayi yang terkait dengan penatalaksaan resusitasi,


dibuat berdasarkan keadaan klinis. Penilaian awal harus dilakukan pada
semua BBL. Penatalaksanaan selanjutnya dilakukan menurut hsil penilaian
tersebut. Penilaian berkala setelah setiap langkah resusitasi harus dilakukan
setiap 30 detik. Penatalaksanaan dilakukan terus menerus
berkesinambungan menurut siklus menilai, menentukan tindakan,
melakukan tindakan, kemudian menilai kembali. Resusitasi BBL ialah
prosedur yang diaplikasikan pada BBL yang tidak dapat bernapas secara
spontan dan teratur pada saat lahir atau beberapa saat setelah lahir. Tujuan
resusitasi BBL ialah untuk memperbaiki fungsi pernapasan dan jantung
bayi yang tidak bernapas.1

8
1.2 Masalah Pada Jantung

Kelainan kardiovaskular kongenital merupakan kelainan kongenital yang


paling sering ditemui. Penyakit jantung bawaan (PJB) ditemui pada sekitar 1%
kelahiran hidup di seluruh dunia dan sekitar 4-5% pada bayi dengan riwayat
keluarga ibu dengan PJB.2

Secara garis besar PJB dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu asianotik dan
sianotik. Jenis PJB asianotik yang sering ditemukan antara lain defek septum
ventrikel (DSV), defek septum atrial (DSA), stenosis pulmonal duktus

9
arteriosus paten (DAP), stenosis aorta dan koarktasio aorta. Manifestasi klinis
awal yang paling sering muncul pada PJB adalah gagal jantung kongestif.2

Sekitar 30-60% kelainan jantung kongenital dapat diketahui pada masa


prenatal menggunakan ekokardiografi transvaginal resolusi tinggi. Selain itu,
perempuan dengan resiko berikut ini memiliki resiko melahirkan bayi dengan
PJB:2

- Diabetes mellitus
- Riwayat keluarga PJB
- Riwayat penggunaan indometasin
- Riwayat infeksi rubella pada trimester pertama
- Tempat tinggal di dataran tinggi
- Riwayat keluarga dengan kelainan genetik

Curigai adanya kelainan jantung kongenital dengan ditemukannya salah


satu gejala berikut ini:2

- Kesulitan menyusu (menyusu lebih dari 30 menit setiap kalinya)


- Takipnea
- Berkeringat yang tidak wajar
- Retraksi subkostal
- Gagal jantung kongestif (80% kasus PJB kritis)

A. Penyakit Jantung Bawaan Asianotik

Penyakit jantung bawaan asianotik dapat dikelompokkan berdasarkan


derajat vaskularisasi pulmonal dan karakteristik hipertrofi ventrikel.
Berdasarkan derajat vaskularisasi pulmonal dapat dikelompokkan menjadi
dua kelompok, yaitu vaskularisasi menurun atau meningkat. Jenis hipertrofi
ventrikel dapat dikelompokkan menjadi hipertrofi ventrikel kiri, kanan atau
bilateral. Kedua informasi tersebut dapat diketahui dengan melakukan
pemeriksaan Roentgen toraks atau EKG untuk jenis hipertrofi ventrikel.2

a) Defek Septum Atrial (DSA)

10
Defek septum atrial merupakan pembukaan abnormal pada sekat
yang memisahkan atrium kiri dan kanan. DSA dapat terjadi di tiga
lokasi utama: regio fossa ovalis (DSA ostium sekundum), bagian
superior septum atrium dekat dengan vena kava superior (DSA sinus
venosus), dan bagian inferior septum atrium dekat annulus katup
trikuspid (DSA ostium prmum). DSA ostium primum dikategorikan
dalam spektrum defek septum atrioventrikular. DSA ostium sekundum
merupakan yang paling sering ditemukan. Defek yang diasosiasikan
dengan DSA adalah prolaps katup mitral, defek sinus venosus, dan
anomalous pulmonary venous return.2

DSA diasosiasikan dengan pirau kiri ke kanan dengan berbagai


variasi. Penentu utama arah dan besar aliran pirau adalah ukuran defek
dan compliance relatif dari ventrikel kiri dan ventrikel kanan.2

Kebanyakan pasien dengan DSA ostium sekundum atau DSA


sinus venosus tidak memiliki gejala hingga dewasa muda. Tanda klinis
utama DSA adalah wide and fixed splitting bunyi jantung II. Bising
ejeksi sistolik (akibat peningkatan aliran pulmonal) umum ditemukan,
dan jika terdapat pirau kiri ke kanan yang besar, aliran tambahan dari
katup trikuspid dapat menyebabkan diastolic rumble seperti pada
stenosis trikuspid.2

DSA ditegakkan dengan ekokardiografi. Semua pasien yang


dicurigai DSA harus menjalani EKG, foto toraks, dan ekokardiografi.
EKG menunjukkan aksis yang normal atau sedikit deviasi ke kanan
dan priorsR umum ditemukan pada sadapan prekordial kanan. Irama
atrial ektopik atau bukti lain disfungsi nodus St dapat ditemukan. Foto
toraks dapat menunjukkan pembesaran atrium kanan, ventrikel kanan,
dan arteri pulmonalis. Terdapat pembesaran difus pembuluh-pembuluh

11
darah pulmonal akibat peningkatan aliran darah ke paru. Pasien yang
memiliki hipertensi pulmonal sebaiknya menjalani kateterisasi jantung
kanan untuk menentukan tekanan dan resistansi arteri pulmonal.
Ekokardiografi mengonfirmasi kehadiran DSA, menentukan
ukurannya, memungkinkan perhitungan aliran pirai dan
mengidentifikasi anomali lain.2

DSA besar (DSA dengan rasio aliran pulmonal ke sistemik


[Qp:Qs] lebih dari 1,5:1) sebaiknya ditutup untuk mencegah
kemungkinan timbulnya hipertensi pulmonal dan menurunkan resiko
paradoxical emboli (trombosis arteri akibat bekuan darah dari vena).
Penutupan dapat dilakukan melalui operasi atau kateterisasi
intervensi.2

b) Defek Septum Ventrikel (DSV)

Defek septum ventrikel merupakan pembukaan abnormal pada


septum yang memisahkan ventrikel kiri dan kanan. DSV merupakan
salah satu kelainan kongenital jantung yang paling sering ditemukan
saat kelahiran tetapi jarang ditemukan sebagai lesi soliter saat dewasa.
Hal ini terjadi karena kebanyakan DSV pada anak bersifat:2

- Besar dan non restriktif (memungkinkan ekuilibrium tekanan


antar ventrikel) sehingga menyebabkan gagal jantung dan
membutuhkan operasi penutupan segera, atau
- Kecil dan menutup secara spontan. Sistem klasifikasi DSV
biasanya menggunakan pembagian embriologik septum ventrikel
menjadi inlet, outlet, muskular, dan pars membranosa. Defek
tersering adalah defek perimembranosa.

12
Pasien DSV kecil biasanya tidak bergejala, dengan pengecualian
pasien yang mengalami endocarditis infektif atau dengan sindrom
Eisenmenger. Tanda klasik yang dapat ditemukan adalah bising
pansistolik keras, sering dapat teraba di batas sternum kiri bawah. Pada
pasien dengan prolaps kuspis aorta, bising regurgutasi aorta dapat
terdengar.2

Diagnosis ditegakkan dengan ekokardiografi. Pasien harus


menjalani pemeriksaan EKG, foto toraks dan ekokardiografi. EKG
mungkin normal atau menunjukkan hipertrofi ventrikel kiri dan pola
diastolic overload, gelombang Q signifikan pada sandapan prekordial
kiri V5,V6, L dan aVL. Foto toraks mungkin normal atau
menunjukkan pembesaran ventrikel kiri dan pembesaran arteri
pullmonalis. Pasien yang memiliki tanda hipertensi pulmonal
sebaiknya menjalani kateterisasi jantung untuk emnentukan derajat
hipertensi pulmonal dan tingkat resistansi pulmonal. Ekokardiografi
dapat emngidentifikasi lokasi, ukuran dan derajat DSV.2

Pasien DSV dengan rasio Qp:Qs lebih besar dari 1,5:1 harus
dipertimbangkan untuk menjalani operasi penutupan defek. Pasien
dengan hipertensi pulmonal dapat menjalani operasi bila resistensi
pulmonal tidak lebih dari 50% resistensi sistemik. Pilihan lain selain
operasi adalah penutupan dengan alat trans-kateter. Tatalaksana pasca
penutupan adalah penilaian DSV residual atau rekuren, aritmia atrial
atau ventrikel, dan juga evaluasi fungsi ventrikel kanan. Terapi gagal
jantung simtomatis pada DSV adalah diuretik (sebagai contoh:
furosemid 1-3 mg/KgBB/hari dibagi dalam 2-3 dosis), penghambat
ACE (sebagai contoh: kaptroptil 0,5-2 mg/KgBB/hari), dan bila gejala
masih menetap berikan digoksin (5-10 g/KgBB/hari).2

13
c) Duktus Arteriosus Paten (DAP)

Duktus arteriosus paten merupakan komunikasi persisten antara


aorta desendens dengan arteri pulmonalis akibat gagal menutupnya
duktus arteriosus setelah lahir. Pasien umumnya asimtomatis. Bayi 3-6
minggu dapat ditemukan dengan takipnea, diaphoresis, kesulitan
makan, dan penurunan (atau tidak ada kenaikan) berat badan. DAP
dengan pirau ukuran sedang hingga besar sering mengalami tangisan
serak, batuk, infeksi saluran napas bawah, atelektasis, atau pneumonia.
Pasien dengan defek besar biasanya memiliki riwayat gagal tumbuh.2

Pada pemeriksaan fisik, pasien biasanya memiliki pernapasan dan


nadi yang normal. Jika terdapat sirkulasi berlebih di pulmonal maka
dapat ditemukan takipnea, takikardia dan pelebaran tekanan nadi.
Pemeriksaan jantung akan memperlihatkan aktifitas precordial, impuls
apeks bergeser ke lateral dan mungkin teraba thrill pada daerah
suprasternal notch atau di regio intraklavikula kiri. Bunyi jantung I
umumnya normal dan bunyi jantung II biasanya sulit didengar karena
tertutup oleh bising kontinu. Tanda patognomonik DAP adalah bising
jantung yang terus menerus, terdengar dari sistol hingga diastol (bising
kontinu).2

Diagnosis DAP didasarkan pada pemeriksaan klinis, EKG, foto


toraks dan ekokardiografi. Ekokardiografi merupakan alat diagnostik
utama untuk mendiagnosis dan mengevaluasi DAP. Temuan pada foto
toraks dapat normal atau didapatkan kardiomegali, pembesaran arteri
vena pulmonal hingga edema paru. Pada EKG dapat ditemukan
hipertrofi ventrikel kiri, pembesaran atrium kiri, dan bila terdapat
hipertensi pulmonal signifikan, hipertrofi ventrikel kanan.2

14
Sebagian besar DAP akan menutup sendiri. Pada bayi prematur,
penutupan secara farmakologis dapatdilakukan dengan ibuprofen (10
mg/KgBB bolus kemudian diikuti 5 mg/KgBB selama 2-3 hari
setelahnya. Terapi ini tidak responsif pada bayi yang matur. Agen
diuretik dan digoksin dapat digunakan bila timbul gejala gagal jantung.
Penutupan DAP secara trans-kateter dapat dilakukan bila penutupan
secara farmakologis gagal.2

B. Penyakit Jantung Bawaan Sianotik

Pada umumnya penyakit jantung bawaan (PJB) sianotik menunjukkan


manifestasi klinis sianosis pada saat neonatus. Namun tidak semua sianosis
pada neonatus disebabkan oleh PJB sianotik. Sianosis sentral pada
neonatus dapat disebabkan oleh kelainan jantung, paru atau depresi system
saraf pusat (SSP). Penyebab sianosis biasanya dapat ditentukan melalui
pemeriksaan klinis saja. Sebagai contoh, menangis dapat mengurangi
sianosis denga etiologi kelainan paru atau SSP, namun justru memburuk
pada etiologi kelainan jantung. Berikut temuan klinis yang mendukung
etiologi kelainan jantung pada sianosis neonatus:2

- Takipnea tanpa retraksi


- Tidak ditemukan ronki atau bunyi napas tambahan pada kasus tanpa
gagal jantung
- Terdengar murmur kontinyu (duktus arteriosus paten)
- Terdengar murmur (murmur bisa tidak terdengar pada PJB sianotik
berat)
- Tidak terdapat peningkata Po2 yang bermakna meski dengan
pemberian oksigen

Penyakit jantung bawaan sianotik juga dapat dikelompokkan


berdasarkan derajat vaskularisasi pulmonal dan karakteristik hipertrofi
ventrikel. Berdasarkan derajat vaskularisasi pulmonal dapat

15
dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu vaskularisasi menurun atau
meningkat. Jenis hipertrofi ventrikel dapat dikelompokkan menjadi
hipertrofi ventrikel kiri, kanan atau bilateral.2

a) Tetralogy of Fallot (TOF)

Tetralogy of fallot merupakan defek tunggal hipoplasia konus


yang menyebabkan:2

- Defek septum ventrikel (DSV)


- Obstruksi right ventricular outflow tract (RVOT) (sebagai contoh:
stenosis pulmonal)
- Aorta mengangkang (overriding aorta)
- Hipertrofi ventrikel kanan

TOF mencakup 10% dari keseluruhan penyakit jantung kongenital


serta merupakan penyakit jantung bawaan (PJB) sianotik tersering
didiagnosis setelah tahun pertama kehidupan.2

Tingkat obstruksi RVOT mempengaruhi secara langsung arah dan


besar pirau, serta sianosis sianosis klinis dan hioertrofi ventrikel kanan.
Pasien mungkin awalnya memiliki pirau kiri ke kanan (pink Fallot)
dan tidak sianotik, tetapi karena obstruksi RVOT yang progresif,
terjadi pirau kanan ke kiri sehingga terjadi hipoksemia dan sianosis.2

Manifestasi klinis dari TOF yaitu hipoksia yang menyebabkan


peningkatan resistansi vaskular pulmonal dan penurunan resistansi
sistemik. Biasanya terjadi pada aktivitas yang memerlukan energi
tinggi (menangis, berolahraga).2

Diagnosis didasarkan pada pemeriksaan klinis, foto toraks dan


ekokardiografi. Pada foto toraks dapat ditemukan kardiomegali,
dilatasi atrium kanan, dan penurunan vaskularisasi paru.

16
Ekokardiografi digunakan untuk menilai anatomi, ukuran DSA,
hubungan arteri besar, tingkat aliran darah pulmonal, fungsi ventrikel
dan fungsi katup.2

Perawatan medis bergantung pada keadaan bayi. Pada bayi dengan


penurunan aliran darah ke paru dengan hipoksemia berat, dapat
diberikan infus prostaglandin E untuk mempertahankan patensi duktus
arteriosus dan meningkatkan aliran darah ke paru. Pada bayi dengan
peningkatan aliran darah ke paru, dapat diberikan terapi digitalis dan
diuretik sampai operasi dapat dilakukan. Terapi operatif biasanya
dilakukan pada tahun pertama kehidupan. Operasi pembuatan pirai
Blalock Taussig (arteri subklavia ke arteri pulmonal) atau pirai Glenn
(anastomosis kavupulmonal) dapat dilakukan, dan bila masih terdapat
hipoksemia berulang dilakukan prosedur Fontan.2

1.3 Perdarahan Otak

Perdarahan intrakranial pada neonatus dapat terjadi akibat trauma meknais,


trauma hipoksik, atau gabungan keduanya. Dengan kemajuan obstetri, trauma
lahir mekanis umumnya dapat dihindari atau dikurangi, tetapi trauma hipoksik
sering lebih sukar untuk dihindari. Trauma hipoksik yang terjadi pada bayi
kurang bulan atau bayi prematur sering menimbulkan terjadinya perdarahan
intrakranial. Hal ini disebabkan masih imaturnya susunan saraf pusat, sistem
sirkulasi serebral, dan sistem autoregulasi bayi kurang bulan. Pada waktu ini
perdarahan intrakranial pada neonatus lebih sering dijumpai pada bayi kurang
bulan dibandingkan dengan bayi cukup bulan. Lokasi perdarahan inrakranial
dapat terjadi ekstraserebral seperti perdarahan dalam rongga subdural atau
rongga subaraknoid. Selain itu dapat pula ditemukan di parenkim serebrum atau
serebelum, atau masuk ke dalam ventrikel yang berasal dari perdarahan di
matriks germinal subependimal atau pleksus koroid.4

17
Klasifikasi perdarahan intrakranial pada neonatus menurut Volpe, dalam
garis besarnya secara klinis dibagi dalam empat jenis, yaitu:4

a. Perdarahan Subdural

Perdarahan subdural hamper selalu disebabkan trauma kepala pada


BBL cukup bulan. Beberapa faktor merupakan predisposisi terjadinya
trauma yaitu ukuran kepala yang relatif besar dibandingkan jalan lahir,
rigiditas jalan lahir, persalinan terlalu cepat atau terlalu lama, dan
persalinan sulit misalnya letak sungsang atau ekstraksi forceps.4

Gejala klinis perdarahan subdural menggambarkan adanya gejala


kehilangan darah seperti pucat, gawat napas, ikterus akibat hemolisis atau
menunjukkan gejala peninggian tekanan intrakranial seperti iritabel,
kejang, letargi, tangis melengking, hipotonia, ubun-ubun menonjol atau
sutura melebar.4

Diagnosis perdarahan subdural didasarkan pada riwayat kelahiran bayi


disertai gambaran klinis yang ditemukan. Bila dalam riwayat kelahiran
ditemukan adanya kesukaran lahir dan pada bayi ditemukan kejang fokal,
kelemahan otot fokal, ubun-ubun menonjol, sutura melebar, maka mungin
seklai bayi mengalami perdarahan subdural.4

b. Perdarahan Subaraknoid Primer

Perdarahan subaraknoid primer sebagian besar terjadi akibat trauma


lahir, sebagian lain diduga terjadi akibat proses hipoksia janin. Perdarahan
ini umumnya ditemukan pada bayi prematur. Perdarahan subaraknoid
primer merupakan perdarahan dalam rongga subaraknoid yang bukan
merupakan akibat sekunder dari perluasan perdarahan subdural,

18
intraventrikular, atau intraserebelar. Perdarahan umumnya terjadi akibat
ruptur pada jembatan vena dalam rongga subaraknoid atau akibat ruptur
pembuluh darah kecil di daerah leptomeningeal. Timbunan darah umumnya
terkumpul di lekukan serebral bagian posterior dan fosa posterior.4

Gejala klinis berupa tanda kehilangan darah dan gangguan fungsi


neurologik. Gambaran yang timbul berupa perdarahan yang umumnya
kecil dan tidak sampai menimbulkan keadaan yang buruk, sedangkan
gejala neurologik berupa iritabilitas dan kejang.4

Diagnosis didasarkan pada riwayat kelahiran yang sukar, dengan


ditemukan adanya riwayat kejang. Hasil pemeriksaan cairan serebrospinal
menunjukkan adanya perdarahan dan kenaikan kadar protein. Pemeriksaan
ultrasonografi kurang peka untuk menegakkan diagnosis perdarahan
subaraknoid. Darah yang terlihat di rongga subaraknoid mungkin saja
berasal dari sumber perdarahan intrakranial lain.4

Penatalaksanaan perdarahan subaraknoid umumnya bersifat


simtomatik, misalnya pengobatan terhadap kejang atau gangguan napas.
Selanjutnya perlu dilakukan observasi terhadap kadar darah tepi dan sistem
kardiovaskular serta kemungkinan terjadinya komplikasi hidrosefalus.4

c. Perdarahan Intraserebral

Perdarahan intraserebral relatif jarang terjadi, lebih sering dijumpai


pada BKB dibandingkan dengan BCB. Secara klinis perdarahan ini sukar
ditemukan, walaupun dengan sarana penunjang alat penatahan kepala,
umumnya ditemukan pada pemeriksaan autopsi. Angka kejadian pada BKB
dengan masa gestasi < 32 minggu atau berat lahir < 1500 gr berkisar antara
15-25%.4

19
Diagnosis perdarahan ini berdasarkan gambaran klinis serta riwayat
kesukaran pada kelahiran letak sungsang, tarikan forsep, atau keduanya,
dan adanya riwayat hipoksia. Gejala dapat timbul pada hari pertama kedua
setelah lahir, bahkan setelah umur tiga minggu. Gejala neurologik yang
dijumpai berupa gejala kompresi batang otak, terutama serangan apnea atau
iregularitas pernapasan. Kadang disertai bradikardia, obstruksi aliran cairan
serebrospinal disertai kenaikan tekanan intrakranial, ubun-ubun menonjol,
dan sutura melebar. Pada pemeriksaan USG kepada terlihat pembesaran
ventrikel.4

Kesukaran dalam penatalaksanaan umumnya disebabkan karena


sulitnya menegakkan diagnosis dini perdarahan intraserebelar. Tindakan
intervensi bedah hanya dilakukan pada BCB bila dengan pengobatan
konservatif keadaan neurologik bayi tetap tidak menunjukkan perbaikan.
Pada BKB tindakan bedah akan menghadapi masalah lebih sulit.4

d. Perdarahan Periventrikular-Intraventrikular

Jenis perdarahan ini merupakan salah satu perdarahan intrakranial


yang sering ditemukan pada BKB. Kejadian PPV-IV pada BCB lebih
jarang terjadi bila dibandingkan dengan bayi prematur atau BKB. Pada
BCB, perdarahan yang terjadi sebagian besar berasal dari perdarahan
pleksus koroid, hanya sebagian kecil berasal dari matriks germinal
subependimal.4

Tergantung dari berat ringannya perdarahan, gejala klinis PPV-IV yang


timbul dapat dibagi dalam tiga kumpulan gejala atau sindrom, yaitu:4

- Sindrom perburukan katastrofik, pada keadaan ini terlihat perburukan


terjadi cepat yang ditandai antara lain dengan penurunan kesadaran
menjadi spoor atau koma, gangguan respirasi, kejang tonik umum,

20
posisi deserebrasi, refleks cahaya negatif, refleks vestibular negatif,
ubun-ubun besar menonjol, hipotensi, bradikardia, asidosis metabolik
dan kelainan homeostasis.
- Sindrom perburukan saltatorik, terlihat gejala penurunan kesadaran,
gerakan berkurang, hipotonia, perubahan gerak dan bola mata serta
dapa disertai gangguan napas. Perburukan klinis dapat bertahap dalam
beberapa hari.
- Gambaran klinis tenang, pada kejadian ini secara klinis tidak dijumpai
kelainan neurologik yang berarti walaupun gambaran radiologik-
ultrasonografi menunjukkan adanya PPV-IV.

Diagnosis berdasarkan kemampuan untuk mengenal kemungkinan


terjadinya PPV-IV yaitu dengan cara mengenal kasus resiko untuk
timbulnya perdarahan. Resiko tersebut antara lain adalah BKB, bayi
dengan berat lahir < 1500 gr, persalinan sulit, dan nilai Apgar rendah. Bila
tidak ada sarana USG, maka dapat dilakukan pungsi lumbal yang
menunjukkan cairan serebrospinal yang berwarna xantokrom. Pemeriksaan
USG secara serial akan dapat mengetahui awal terjadinya perdarahan
sekaligus untuk memantau perkembangan proses perdarahan.4

Penatalaksanaan PPV-IV pada dasarnya terdiri tiga tahap yaitu


tindakan pencegahan, pengobatan awal atau pada masa akut, dan
penatalaksanaan dilatasi ventrikel post hemoragik.4

1.4 Fungsi Hati Yang Belum Sempurna

Fungsi hati yang belum sempurna menyebabkan BBLR kuning lebih awal
dan lebih lama dari pada bayi yang cukup beratnya. Ikterus adalah warna
kuning pada kulit, konjungtiva, dan mukosa akibat penumpukan bilirubin dalam
serum. Lebih dari separuh bayi normal dan sebagian besar bayi kurang bulan
mengalami ikterus.2

21
Ikterus dapat diklasifikasikan menjadi:1,2

a. Ikterus fisiologis

Ikterus fisiologis umumnya terjadi pada bayi baru lahir, kadar bilirubin
tak terkonjugasi pada minggu pertama >2 mg/dL. Ikterus fisiologis ditandai
keadaan umum bayi toleransi minum baik, berat badan naik, dan kuning
menghilang pada minggu 1-2 pasca kelahiran.1,2

Pada bayi cukup bulan yang mendapat susu formula kadar bilirubin
akan mencapai puncaknya sekitar 6-8 mg/dL pada hari ke-3 kehidupan dan
kemudian akan menurun cepat selama 2-3 hari diikuti dengan penurunan
yang lambat sebesar 1 mg/dL selama 1 sampai 2 minggu. Pada bayi cukup
bulan yang mendapat ASI kadar bilirubin puncak akan mencapai kadar
yang lebih tinggi (7-14 mg/dL) dan penurunan terjadi lebih lambat. Bisa
terjadi dalam waktu 2-4 minggu, bahkan dapat mencapai waktu 6 minggu.
Pada bayi kurang bulan yang mendapat susu formula juga akan mengalami
peningkatan dengan puncak yang lebih tinggi dan lebih lama, begitu juga
dengan penurunannya jika tidak diberikan fototerapi pencegahan.
Peningkatan sampai 10-12 mg/dL masih dalam kisaran fisiologis, bahkan
hingga 15 mg/dL tanpa disertai kelainan metabolism bilirubin. Kadar
normal bilirubin tali pusat <2 mg/dL dan berkisar dari 1,4-1,9 mg/dL.2

Ikterus fisiologis tidak disebabkan oleh faktor tunggal tapi kombinasi


dari berbagai faktor yang berhubungan dengan maturitas fisiologis bayi
baru lahir. Peningkatan kadar bilirubin tidak terkonjugasi dalam sirkulasi
pada bayi baru lahir disebabkan oleh kombinasi peningkatan ketersediaan
bilirubin dan penurunan clearance bilirubin. Peningkatan ketersediaan
bilirubin merupakan hasil dari produksi bilirubin dan early bilirubin yang
lebih besar serta penurunan usia sel darah merah. Resirkulasi aktif bilirubin
di enterohepatik, yang meningkatkan kadar serum bilirubin tidak

22
terkonjugasi, disebabkan oleh penurunan bakteri flora normal, aktifitas -
glucuronidase yang tinggi dan penurunan motilitas usus halus.2

Pada bayi yang diberi minum lebih awal atau diberi minum lebih
sering dan bayi dengan aspirasi mekonium lebih awal cenderung
mempunyai insiden yang rendah untuk terjadinya ikterus fisiologis. Pada
bayi yang diberi susu formula cenderung mengeluarkan bilirubin lebih
banyak pada mekoniumnya selama 3 hari pertama kehidupan dibandingkan
dengan yang mendapat ASI. Bayi yang mendapat ASI, kadar bilirubin
cenderung lebih rendah pada yang defekasinya lebih sering. Bayi yang
terlambat mengeluarkan mekonium lebih sering terjadi ikterus fisiologis.2

Pada bayi yang mendapat ASI terdapat dua bentuk neonatal jaundice
yaitu early (berhubungan dengan breast feeding) dan late (berhubungan
dengan ASI). Bentuk early onset diyakini berhubungan dengan proses
pemberian minum. Bentuk late onset diyakini dipengaruhi oleh kandungan
ASI ibu yang mempengaruhi proses konjugasi dan ekskresi. Penyebab late
onset tidak diketahui, tetapi telah dihubungkan dengan adanya faktor
spesifik dari ASI yaitu: 2-20-pregnanediol yang mempengaruhi aktifitas
UDPGT atau pelepasan bilirubin konjugasi dari hepatosit; peningkatan
aktifitas lipoprotein lipase yang kemudian melepaskan asam lemak bebas
ke dalam usus halus; penghambatan konjugasi akibat peningkatan asam
lemak unsaturated; atau -glukorunidase atau adanya faktor lain yang
mungkin menyebabkan peningkatan jalur enterohepatik.2

23
b. Ikterus non fisiologis

Dulu disebut dengan ikterus patologis tidak mudah dibedakan dari


ikterus fisiologis. Keadaan di bawah ini merupakan petunjuk untuk tindak
lanjut.1,2

- Ikterus terjadi sebelum umur 24 jam


- Setiap peningkatan kadar bilirubin serum yang memerlukan fototerapi
- Peningkatan kadar bilirubin total serum > 0,5 mg/dL/jam
- Adanya tanda-tanda penyakit yang mendasari pada setiap bayi
(muntah, letargis, malas menetek, penurunan berat badan yang cepat,
apnea, takipnea atau suhu yang tidak stabil)
- Ikterus bertahan setelah 8 hari pada bayi cukup bulan atau setelah 14
hari pada bayi kurang bulan

Tampilan ikterus dapat ditentukan dengan memeriksa bayi dalam ruangan


dengan pencahayaan yang baik, dan menekan kulit dengan tekanan ringan
untuk melihat warna kulit dan jaringan subkutan. Ikterus pada kulit bayi tidak
terperhatikan pada kadar bilirubin <4 mg/dL.2

24
25
Tatalaksana ikterus neonatorum harus dilakukan sesuai etiologi yang
mendasari. Beberapa terapi yang diberikan antara lain:1,2

- Terapi ikterus dini (early jaundice) pada bayi yang mendapat ASI

- Terapi sinar dan transfusi tukar

26
- Antibiotik pada dugaan infeksi
- Antimalaria jika terdapat demam dan bayi berasal dari daerah endemis
malaria
- Evaluasi berkala (follow-up) sesuai dengan usia bayi dan kadar bilirubin
saat dipulangkan.

1.5 Anemia atau Polisitemia

a. Anemia

Anemia merupakan abnormalitas hematologi yang paling sering pada


BBL. Konsentrasi hemoglobin pada BCB dan BKB mengalami perubahan
khas selama minggu-minggu awal kehidupan. Setelah lahir terjadi

27
peningkatan konsentrasi hemoglobin karena plasma mengalami
ekstravasasi sebagai kompensasi terhadap transfuse plasenta dan
peningkatan sirkulasi volume eritrosit yang terjadi saat lahir. Untuk
selanjutnya konsentrasi hemoglobin akan menurun secara bertahap sampai
mencapai 14,4 0,9 g/dL pada BCB terjadi pada usia 8-12 minggu dan 7-
10 g/dL pada BKB terjadi pada usia 6 minggu.1

Anemia adalah keadaan konsentrasi hemoglobin di bawah rentang


normal yang sesuai dengan umur dan jenis kelamin. Selama periode
neonatal, beberapa abnormalitas dapat menyebabkan anemia akut dan
anemia kronik pada BBL.1

28
Anemia pada BCB merupakan hal yang normal dan tidak memberikan
dampak klinis yang buruk. Pada BKB anemia yang terjadi lebih berat dan
timbul lebih dini. Anemia pada BBL yang tidak ditatalaksana dengan tepat
dan adekuat akan memberikan komplikasi terhadap BBL. Pada BBL
dengan anemia akut dapat terjadi kolaps kardiovaskuler sampai dengan
gagal napas. Anemia juga dianggap berperan dalam timbulnya berbagai
gejala termasuk asupan makan yang buruk dan kenaikan berat badan yang
tidak adekuat.1

Mekanisme anemia pada BBL secara umum dapat digolongkan


menjadi:1

- Anemia karena perdarahan

Perdarahan dapat terjadi pada waktu sebelu, saat atau sesudah


persalinan. Kehilang darah dapat terjadi karena perdarahan tidak nyata
sebelum lahir, trauma persalinan, perdarahan internal, atau
pengambilan darah yang berlebihan untuk pemeriksaan penunjang.1

Perdarahan dapat terjadi akut atau kronik. Anemia yang terjadi


karena perdarahan kronik umumnya lebih dapat ditoleransi, hal ini
karena bayi akan melakukan kompensasi bertahap terhadap terjadinya
perdarahan kronis tersebut. Perdarahan kronik dapat didiagnosis
dengan menemukan tanda-tanda kompensasi dan pucat, dapat juga
menunjukkan gejala gagal jantung. Anemia yang terjadi umumnya
disertai retikulosis, hipokrom dan normositosis. Bayi dengan
perdarahan akut mungkin tidak tampak anemis bila contoh darah
diambil segera setelah perdarahan dan hemodilusi belum terjadi.
Anemia yang timbul pada umumnya normokrom dan terjadi dalam
waktu 3-4 jam, sehingga pemeriksaan darah harus diulang 6-12 jam
setelah perdarahan dan hasilnya dapat menggambarkan jumlah darah

29
yang hilang. Gejala klinis yang ditemukan pada perdarahan akut
merupakan tanda dari hipovolemik, hipoksemia (seperti takikardia,
takipneu, hipotensi).1

- Anemia karena penurunan atau kegagalan produksi eritrosit

Anemia karena penurunan produksi eritrosit jarang terjadi pada


periode BBL. Petunjuk diagnosis utama adalah kombinasi retikulosit
rendah (< 20 x 109?L) dengan Coombs test negatif. Penyebab paling
utama adalah infeksi kongenital (khususnya parvovirus) dan kelainan
genetik. Kegagalan produksi sel darah yang hanya melibatkan seri
eritrosit seperti anemia Diamond-Blackfan dan infeksi parvovirus
sering disebut anemia hipoplastik atau pure red cell aplasia.1

Infeksi yang menyebabkan anemia karena penurunan produksi


eritrosit meliputi parvovirus B19, CMV, toxoplasmosis, sifilis
kongenital, rubella dan herpes simpleks. Identifikasi organisme
penyebab biasannya berdasar temuan klinis seperti choriorenitis,
ikterik, pneumonitis, lesi kulit, IUGR dan hepatosplenomegali,
selanjutnya dilakukan pemeriksaan mikrobiologi. Pada infeksi karena
CMV, toxoplasma atau herpes simpleks, anemia dan retikulositopenia
biasanya ringan. Kelainan kongenital yang jarang disertai anemia BBL
karena penurunan produksi eritrosit meliputi aneia Diamond-Blackfan,
anemia diseritropoetik kongenital, dan Sindrom Pearson.1

- Anemia karena hemolisis

Proses hemolitik didefinisikan sebagai proses patologik yang


meyebabkan pemendekan umur eritrosit (< 120 hari). Petunjuk penting
adanya anemia hemolitik adalah hiperbilirubinemia indirek, Coombs
test positif dan didapatkan perubahan morfologi pada apusan darah

30
tepi (misal pada sferositosis herediter), hemolitik yang terjadi pada
masa neonatal umumnya mempunyai manifestasi salah satu di bawah
ini:1

a) Peningkatan hitung retikulosit secara persisten tanpa atau dengan


penurunan kadar Hb dan tanpa riwayat perdarahan
b) Penurunan kadar Hb yang cepat tanpa peningkatan hitung
retikulosit, dna tanpa adanya perdarahan

Anemia karena proses hemolitik dapat dibagi menjadi anemia


hemolitik karena proses autoimun dan non-imun. Anemia hemolitik
autoimun/alloimun terjadi karena inkompatibilitas Rhesus dan
inkompatibilitas AB. Anemia hemolitik non-imun dapat terjadi karena
kelainan membran eritrosit herediter dan defek enzim eritrosit.1

- Anemia karena kombinasi mekanisme di atas (anemia of prematurity /


anemia pada BKB)

Anemia pada BKB merupakan respon patologis BKB terhadap


periode transisi dan ditandai dengan rendahnya kadar EPO. Anemia
pada BKB ini merupakan anemia yang paling sering ditemukan pada
BBL terutama bayi dengan usia gestasi < 32 minggu. Pathogenesis
secara keseluruhan belum diketahui dengan pasti tetapi faktor yang
mendukung meliputi pemendekan umur eritrosit fetal, konsentrasi
eritropoetin yang relatif rendah dan pertumbuhan yang cepat.
Defisiensi asam folat dan besi jarang terlibat. Di sisi lain, iatrogenik
pengambilan darah untuk pemeriksaan penunjang ikut berperan dalam
proses ini pada BKB yang dirawat di rumah sakit.1

Penurunan hemoglobin BKB terjadi pada usia minggu ke 4-8


dengan kadar hemoglobin mencapai 6,5-9 g/dL. Diagnosis biasanya

31
dapat langsung ditegakkan apabila BKB sehat mengalami penurunan
hemoglobin dengan apusan darah tepi menunjukkan normokromik
normositik, retikulosit rendah (20 x 109/L) dan tidak ada eritrosit
berinti. Tatalaksananya yaitu dengan menyingkirkan sebab anemia
yang lain, dan mempertimbangkan perlu atau tidak dilakukan
transfusi.1

Penegakan diagnosis anemia pada BBL dapat dimulai evaluasi riwayat


pasien meliputi medis dan diet, perdarahan, transfusi, dan riwayat sakit
sebelumnya. Riwayat anggota keluarga anemia, ikterik, kolelitiasis, atau
splenektomi. Riwayat maternal meliputi diet dan minum obat selama
kehamilan. Evaluasi laboratorium awal meliputi pemeriksaan darah
lengkap, retikulosit dan apusan darah tepi, untuk selanjutnya dapat
dilakukan pemeriksaan lebih lanjut disesuaikan dengan riwayat penyakit
dan pemeriksaan fisik yang didapat. Pemeriksaan USG kepala atau
abdomen digunakan untuk mengetahui adanya perdarahan tersembunyi.
Pemeriksaan pungsi sumsum tulang jarang dilakukan pada bayi dengan
anemia. Tetapi apabila anemia tidak disertai bukti hemolitik atau
perdarahan maka pungsi sumsum tulang perlu dipertimbangkan.1

b. Polisitemia

Polisitemia adalah keadaan dimana terjadinya peningkatan jumla


eritrosit total yang ditandai dengan peningkatan hematokrit > 65%. Gejala
klinis yang timbul dari bayi dengan polisitemia adalah akibat dari keadaan
hematocrit yang tinggi dan hiperviskositas yang dapat menimbulkan
gangguan perfusi jaringan yang dapat mengakibatkan terjadinya hipoksia
jaringan, asidosis, mikrotrombus pada pembuluh darah yang kecil dan
keadaan hipoglisemia. Keadaan ini sering terjadi pada bayi kecil (KMK)
atau bayi yang besar (BMK).2

32
Terjadi peningkatan pembentukan eritrosit (eritropoiesis) pada masa
fetal, biasanya akibat oksigenasi pada janin yang kurang, seperti pada
insufisiensi plasenta, ibu dengan hipertensi, ibu dengan DM dan
hipertiroid, ibu perokok, post-matur dan pada kelainan genetik tertentu.
Terjadi peningkatan aliran darah ke bayi saat dalam kandungan, saat
persalinan dan kelahiran. Keadaan tersebut antara lain terjadi pada twin-
twin transfusion, pengikatan/clamping tali pusat yang terlambat, pada
waktu dilahirkan letak bayi sangat rendah dibandingkan ibu sehingga
sebelum tali pusat diikat darah akan mengalir melalui tali pusat ke bayi.
Beberapa kondisi lain yang dapat meningkatkan jumlah sel darah merah
seperti tinggal di tempat tinggi, usia dari bayi.2

Gejala klinis biasanya tidak spesifik. Pada susunan saraf pusat dapat
menyebabkan gangguan kesadaran, letargi, muntah. Gejala pada SSP
biasanya timbul pada kadar hematocrit > 75%. Pada sistem kardiopulmonal
dapat terjadi distress pernapasan, takikardia bahkan gagal jantung. Pada
gastrointestinal menimbulkan intoleransi terhadap makanan. Pada traktus
genitourinaria dapat menimbulkan gejala oliguria, gagal ginjal. Ganggaun
metabolik seperti hipoglisemia, hipokalsemia. Gangguan darah seperti
hiperbilirubinemia, trombositopenia.2

Terapi diberikan jika kadar hematocrit > 65% dan bayi menunjukkan
gejala hiperviskositas. Biasanya dilakukan transfuse tukar dengan
mengganti cairan serum dengan NaCl fisiologis atau albumin.2

1.6 Lemak Yang Sedikit Sehingga Kesulitan Mempertahankan Suhu Tubuh


Normal

Termoregulasi atau pengaturan suhu tubuh pada BBL merupakan aspek


yang sangat penting dan menantang dalam perawatan BBL. Suhu tubuh normal
dihasilkan dari keseimbangan antara produksi dan kehilangan panas tubuh.

33
Salah satu masalah khusus pada bayi, terutama BKB adalah
ketidakmampuannya untuk mempertahankan suhu tubuh yang normal. Banyak
faktor yang berperan dalam termoregulasi seperti umur, berat badan, luas
permukaan tubuh dan kondisi lingkungan. Bayi tidak seperti orang dewasa
dalam beradaptasi dengan perubahan suhu, oleh karena permukaan tubuh bayi
yang lebih luas disbanding orang dewasa, sehingga saat bayi terpapar dingin
akan lebih banyak menggunakan energi dan oksigen untuk mendapatkan
kehangatan.1

Termoregulasi adalah kemampuan untuk menyeimbangkan antara produksi


panas dan hilangnya panas dalam rangka menjaga suhu tubuh dalam keadaan
normal. Suhu tubuh normal pada BBL 36,0-36,5oC atau 86,8-97,7oF. Suhu basal
tubuh (rektal) antara 36,5-37,5oC atau 97,7-99,50F. Suhu aksilar bisa 0,5-1,0oC
lebih rendah dari suhu rektal.1

Hipotermia pada BBL adalah suhu di bawah 36,5 oC, yang terbagi atas
hipotermia ringan (cold stress) yaitu suhu tubuh antara 36-36,5oC, hipotermia
sedang yaitu suhu antara 32-36oC, dan hipotermia berat yaitu < 32oC. BBL
dapat mengalami hipotermia melalui beberapa mekanisme, yang berkaitan
dengan kemampuan tubuh untuk menjaga keseimbangan antara produksi panas
dan kehilangan panas:1

- Penurunan produksi panas

Hal ini dapat disebabkan kegagalan dalam sistem endokrin dan terjadi
penurunan basal metabolism tubuh, sehingga timbul proses penurunan
produksi panas, misalnya pada keadaan disfungsi kelenjar tiroid, adrenal
ataupun pituitaria.1

- Peningkatan panas yang hilang

34
Terjadi bila panas tubuh berpindah ke lingkungan sekitar, dan tubuh
kehilangan panas. Adapun mekanisme tubuh kehilangan panas dapat terjadi
secara:1

Konduksi yaitu perpindahan panas yang terjadi sebagai akibat


perbedaan suhu antara kedua objek. Kehilangan panas terjadi saat
terjadi kontak langsung antara kulit BBL dengan permukaan yang
lebih dingin.
Konveksi merupakan transfer panas yang terjadi secara sederhana dari
selisih suhu antara permukaan kulit bayi dan aliran udara yang dingin
di permukaan tubuh bayi.
Radiasi yaitu perpindahan suhu dari suatu objek panas ke objek yang
dingin, misalnya dari bayi dengan suhu yang hangat dikelilingi suhu
lingkungan yang lebih dingin.
Evaporasi merupakan panas yang terbuang akibat penguapan, melalui
permukaan kulit dan traktus respiratorius.
- Kegagalan termoregulasi

Kegagalan termoregulasi secara umum disebabkan kegagalan


hipotalamus dalam menjalankan fungsinya dikarenakan berbagai penyebab.
Keadaan hipoksia intrauterin / saat persalinan / post partum, defek
neurologik dan paparan obat prenatal (analgesik / anestesi) dapat menekan
respons neurologik bayi dalam mempertahankan suhu tubuhnya.1

Hipertermia adalah peningkatan suhu tubuh > 37,5oC, hal ini akan
menyebabkan terjadinya vasodilatasi, peningkatan rata-rata metabolism tubuh
dan peningkatan kehilangan cairan tubuh. Hipertermia dapat disebabkan oleh
suhu lingkungan yang berlebihan, infeksi, dehidrasi atau perubahan mekanisme
pengaturan panas sentral yang berhubungan dengan trauma lahir pada otak,
malformasi, dan obat-obatan.1

35
Bayi yang mempunyai resiko unttuk terjadinya gangguan termoregulasi
antara lain:1

Bayi preterm dan bayi-bayi kecil lainnya yang dihubungkan dengan


tingginya rasio luas permukaan tubuh dibandingkan dengan berat badannya
Bayi dengan kelainan bawaan khususnya dengan penutupan kelainan kulit
yang tidak sempurna, seperti pada meningomielokel, gastroskisis,
omfalokel
BBL dengan gangguan saraf sentral, seperti pada perdarahan intrakranial,
obat-obatan, asfiksia
Bayi dengan sepsis
Bayi dengan tindakan resusitasi yang lama
Bayi IUGR (intra uterine growth retardation) atau janin tumbuh lambat

Suhu tubuh diatur dengan mengimbangi produksi panas terhadap


kehilangan panas. Bila kehilangan panas dalam tubuh lebih besar dari pada laju
pembentukan panas maka akan terjadi penurunan suhu tubuh. Begitu juga
sebaliknya, bila pembentukan panas dalam tubuh lebih besar dari pada
kehilangan panas maka panas di dalam tubuh dan suhu tubuh akan meningkat.1

Hipotermia ditandai dengan akral dingin, bayi tidak mau minum, kurang
aktif, kutis marmorata, pucat, takipneu atau takikardia. Sedangkan hipotermia
yang berkepanjangan akan menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi
oksigen, distress respirasi, gangguan keseimbangan asam basa, hipoglikemia,
defek koagulasi, sirkulasi fetal persisten, gagal ginjal akut, enterokolitis
nekrotikan, dan pada keadaan yang berat akan menyebabkan kematian.1

Diagnosis hipotermia atau hipotermia ditegakkan dengan pengukuran suhu


baik suhu tubuh atau kulit bayi. Pengukuran suhu ini sangat bermanfaat sebagai
salah satu petunjuk penting untuk deteksi awal adanya suatu penyakit, dan
pengukurannya dapat dilakukan melalui aksila, rektal atau kulit. Melalui aksila
merupakan prosedur pengukruan suhu bayi yang dianjurkan, oleh karena

36
mudah, sederhana dan aman. Tetapi pengukuran melalu rektal sangat dianjurkan
untuk dilakukan pertama klai pada semua BBL, oleh karena sekaligus sebagai
tes skrining untuk kemungkinan adanya anus imperforatus. Pengukuran suhu
rektal tidak dilakukan sebagai prosedur pemeriksaan yang rutin kecuali pada
bayi-bayi sakit.1

1.7 Masalah Pencernaan atau Toleransi Minum

Masalah nutrisi merupakan salah satu dari beberapa masalah serius pada
bayi berat lahir rendah (BBLR). Hal ini sangat erat berkaitan dengan berbagai
kondisi ataupun komplikasi pada berbagai sistem atau organ tubuh seperti
saluran napas, susunan saraf pusat, saluran cerna, hati, ginjal, dan lainnya. Di
satu pihak nutrisi merupakan kelangsungan hidup serta tumbuh kembang yang
optimal ataupun pencegahan komplikasi, namun di pihak lain nutrisi dapat
mengakibatkan timbulnya komplikasi. Selain itu, terdapat kondisi yang
bervariasi pada BBLR berdasarkan masa gestasi maupun berat lahir sehingga
tata laksana medis maupun nutrisi BBLR lebih bersifat individual.
Permasalahan nutrisi khusus pada BBLR adalah rendahnya cadangan nutrisi,
imaturitas fungsi organ, potensial untuk pertumbuhan cepat, serta beresiko
tinggi untuk terjadinya morbiditas. Tujuan utama dukungan nutrisi pada BBLR
adalah tercapainya tumbuh kembang optimal.5

Kematangan fungsi organ khususnya saluran cerna, sangat menentukan


jenis dan cara pemberian nutrisi pada BBLR. Kondisi klinis sering kali
merupakan faktor penentu, apakah nutrisi enteral atau parenteral yang akan
diberikan. Saluran cerna merupakan organ pertama yang berhubungan dengan
proses digesti dan absorpsi makanan. Ketersediaan enzim pencernaan baik
untuk karbohidrat, protein, maupun lemak sangat berkaitan dengan masa
gestasi. Umumnya pada neonatus cukup bulan (NCB) enzim pencernaan sudah
mencukupi kecuali laktase dan diperkirakan sekitar 25% NCB sampai usia 1

37
minggu menunjukkan intoleransi laktosa. Aktifitas enzim sukrase dan laktase
lebih rendah pada BBLR dan sukrase lebih cepat meningkat dari pada laktase.5

Di samping masalah enzim, kemampuan pengosongan lambung (gastric


emptying time) lebih lambat pada bayi BBLR dari pada BCB. Demikian pula
fungsi mengisap dan menelan (suck and swallow) masih belum sempurna,
terlebih bila bayi dengan masa gestasi < 34 minggu. Toleransi terhadap
osmolaritas formula yang diberikan masih rendah, sehingga kemungkinan
terjadinya komplikasi seperti NEC (neoritising enterocolitis) ataupun diare
lebih besar.5

Pada masa neonatus, nutrisi BBLR merupakan kebutuhan paling besar


dibandingkan kebutuhan pada masa manapun dalam kehidupan untuk mencapai
tumbuh kembang optimal. Pertumbuhan BBLR yang direfleksikan per kilogram
berat badan hampir dua kali lipat BCB, sehingga BBLR membutuhkan
dukungan nutrisi khusus dan optimal untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Pada
umumnya BBLR dengan berat lahir < 1500 gram memerlukan nutrisi parenteral
segera sesudah lahir. Belum ada standar kebutuhan nutrien yang disusun secara
tepat untuk BBLR, sebanding dengan air susu ibu (ASI).5

Kebutuhan energi yang dihitung berdasarkan ekspenditur,


pertumbuhan/sintesis, cadangan dan ekskresi, diperkirakan sebesar 90-120
kkal/kgBB/hari. Adanya variasi individual, anjuran asupan energi untuk nutrisi
enteral sebesar 105-130 kkal/kgBB/hari agaknya mampu untuk BBLR
mencapai pertumbuhan yang memuaskan.5

Masukan protein sebesar 2,25-4 g/kgBB/hari dinilai adekuat dan tidak


toksik. Kebutuhan yang diperkirakan berdasarkan untuk penambahan berat
badan janin adalah 3,5-4 g/kgBB/hari. Pada umumnya bayi yang mendapat
formula predominant whey menunjukkan indeks metabolik dan komposisi asam
amino plasma mendekati bayi yang mendapat ASI. Bayi dengan asupan protein

38
sebesar 2,8-3,1 g/kgBB/hari dengan 110-120 kkal/kgBB/hari menunjukkan
pertumbuhan yang paling menyerupai pertumbuhan janin.5

Lemak merupakan sumber energy terbesar (40-50%) yang setara dengan


masukan sebesar 5-7 g/kgBB/hari. Lemak ASI lebih mudah diserap karena
komposisi asam lemak serta asam palmitat dalam posisi di samping adanya
lipase pada ASI. Lemak pada formula untuk bayi prematur mengandung
campuran lemak rantai sedang (medium chain triglyevide /MCT) dan lemak
tumbuhan yang kaya akan lemak tidak jenuh rantai ganda serta trigliserida
rantai panjang. Campuran ini mengandung cukup asam lemak esensial paling
sedikit 3% dan energi berupa asalam linoleat dengan sedikit tambahan asam -
linoleat. ASI mengandung AA dan DHA merupakan nutrien yang bersifat
esensial kondisional, sehingga kini formula prematur juga disuplernentasi
dengan kedua zat tersebut.5

Karbohidrat memasok energi sebesar 40-50% dari kebutuhan per hari atau
setara dengan 10-14 g/kgBB/hari. Kemampuan BBLR untuk mencerna laktosa
pada beberapa waktu setelah lahir rendah karena rendahnya aktifitas enzim
laktase, sehingga dapat terjadi keadaan intoleransi laktosa, walaupun secara di
klinik jarang menjadi masalah dan ASI umumnya dapat ditoleransi dengan baik.
Enzim glukosidase untuk glukosa polimer sudah aktif pada BBLR sehingga
pemberian glukosa polimer ditoleransi dengan baik. Selain itu glukosa polimer
tidak menyebabkan beban osmotic pada mukosa usus, sehingga memungkinkan
digunakan pada formula bayi dengan osmolalitas < 300 mOsm/kg.air. Formula
prematur umumnya mengandung 50% laktosa dan 50% glukosa polimer, rasio
yang tidak menyebabkan gangguan penyerapan mineral di usus.5

Densitas kalori ASI baik asi matur maupun ASI prematur adalah 67
kkal/100 ml pada 21 hari pertama laktasi. Formula dengan densitas sama dapat
digunakan untuk BBLR, tetapi formula dengan konsentrasi lebih tinggi yaitu 81

39
kkal/100 ml seringkali lebih disukai. Formula ini memungkinkan pemberian
kalori lebih banyak dengan volume lebih kecil, menguntungkan bila kapasitas
lambung terbatas atau bayi memerlukan retriksi cairan. Juga mensuplai cukup
air untuk ekskresi metabolit dan elektrolit dari formula.5

Pemilihan jenis nutrisi yang akan diberikan pada awal minggu-minggu


pertama kehidupan sangat penting mengingat kemampuan toleransi bayi
terutama juga untuk dampak jangka panjang. Merupakan kesepakatan global
bahwa ASI adalah pilihan utama karena berbagai keunggulannya. Apabila ASI
tidak ada, maka formula merupakan pilihan berikutnya. Formula prematur kini
terus disempurnakan agar makin menyerupai komposisi nuterien ASI, misalnya
dengan menambahkan glutamat (mengurangi kejadian sepsis) dan nukleotida
(perbaikan pertumbuhan linear dan lingkar kepala).5

40
Cara pemberian nutrisi tergantung dari beberapa faktor seperti keadaan
klinis, masa gestasi dan juga keterampilan dan pengalaman petugas di tempat
perawatan bayi. Walaupun bayi mendapat nutrisi parenteral, harus diusahakan
pemberian nutrisi enteral walaupun hanya sedikit sebagai trophic feeding yang
jumlahnya ditingkatkan sesuai kondisi klinis bayi. Diharapkan pada awsal
minggu kedua nutrisi enteral penuh sudah tercapai. Bila ada ASI, dapat
diberikan langsung ataupun dipompa tergantung keadaan bayi dan pemberian
tambahan human milk fortifier (HMF) diperlukan. Pemberian formula dapat
dengan botol/dot, sonde lambung (nasogastrik / orogastrik), transpilorik atau
gastrostomi dengan berbagai pertimbangannya. Pemberian secara bolus ataupun
drip (continueous infusion) hasilnya masih tetap kontroversial.5

Jumlah dan frekuensi formula yang diberikan berlainan tergantung dari


berbagai hal. Salah satu faktor terpenting pada pemberian nutrisi enteral pada
BBLR adaah kecepatan penambahan formula yang dikaitkan dengan terjadinya
enterokolitis nekrotikans. Pada buku Pediatric Nutrition Handbook dianjurkan
untuk menaikkan volume tidak melebihi 20 ml/kgBB/hari, sedangkan peneliti
lain menganjurkan antara 24-30 ml/kgBB/hari.5

41
Formula transisi merupakan formula peralihan dari formula 24 kkal ke
formula standar (20 kkal) dan kini lebih popular dengan nama after discharge
formula (ADF) atau pretern discharge formula (PDF). Biasanya formula
prematur (FP) dengan 24 kkal/fl.oz diberikan hingga akhir perawatan bayi dan
selanjutnya bayi mendapat formula standar (FS, 20 kkal/ fl.oz) untuk digunakan
di rumah. Karena umumnya bayi dipulangkan pada berat badan sekitar 1500 g,
maka perlu dilakukan reevaluasi terhadap penggunaan formula untuk di rumah
atau ADF. Penggunaan formula transisi (PDF/ADF) dapat dianjurkan walaupun
demikian penggunaan FS ataupun FP dapa terus digunakan sesuai pertimbangan
klinis.5

1.8 Resiko Infeksi

Sepsis pada bayi baru lahir (BBL) masih merupakan masalah yang belum
dapat terpecahkan dalam pelayanan dan perawatan BBL. Sepsis neonatal
merupakan sindrom klinis penyakit sistemik akibat infeksi yang terjadi dalam
satu bulan pertama kehidupan. Bakteri, virus, jamur dan protozoa dapat
menyebabkan sepsis pada neonatus. Angka kejadian/insidens sepsis di Negara

42
yang sedang berkembang masih cukup tinggi (1,8-18/1000) dibanding dengan
negara maju (1-5 pasien /1000 kelahiran). Pada bayi laki-laki resiko sepsis 2
kali lebih besar dari bayi perempuan. Kejadian sepsis juga meningkat pada
BKB dan BBLR. Pada bayi berat lahir amat rendah (<1000 g) kejadian sepsis
terjadi pada 26/1000 kelahiran dan keadaan ini berbeda bermakna dengan bayi
berat lahir antara 1000-2000 g yang angka kejadiannya antara 8-9/1000
kelahiran. Demikian pula resiko kematian BBLR penderita sepsis lebih tinggi
bila dibandingkan dengan bayi cukup bulan.2

Keadaan ini sering terjadi pada bayi beresiko misalnya pada BKB, BBLR,
bayi dengan gangguan napas atau bayi yang lahir dari ibu beresiko.
Berdasarkan awitannya, sepsis neonatal dibagi menjadi:2

- Early onset sepsis (EOS)

Timbul pada usia 72 jam, biasanya mikroorganisme berasal dari ibu.


Terjadi gangguan multisistem terutama sistem pernapasan, awitan
mendadak dan menjadi syok sepsis dan berakibat kematian.2

- Late onset sepsis (LOS)

Timbul pada usia 72 jam, biasanya di atas 3 minggu,


mikroorganisme didapat dari proses persalinan dengan infeksi awitan
lambat atau infeksi nosokomial. Terdapat fokus infeksi dan seringkali
terjadi meningitis.2

Sejak adanya konsensus dari American College of Chest Physicians/


Society of Critical Care Medicine (ACCP/SCCM) telah timbul berbagai istilah
dan definisi di bidang infeksi yang banyak pula dibahas pada kelompok BBL
dan penyakit anak. Istilah/definisi tersebut antara lain:2

43
- Sepsis merupakan sindrom respons inflamasi sistemik (Systemic
Inflammatory Respons Syndrome SIRS) yang terjadi sebagai akibat
infeksi bakteri, virus, jamur ataupun parasit.
- Sepsis berat adalah keadaan sepsis yang disertai disfungsi organ
kardiovaskular dan gangguan napas akut atau terdapat gangguan dua organ
lain (seperti gangguan neurologi, hematologi, urogenital, dan hepatologi).
- Syok sepsis terjadi apabila bayi masih dalam keadaan hipotensi walaupun
telah mendapatkan cairan adekuat.
- Sindroma disfungsi multi organ terjadi apabila bayi tidka mampu lagi
mempertahankan homeostasis tubuh sehingga terjadi perubahan fungsi dua
atau lebih organ tubuh.

Penyebab yang paling sering dilaporkan pada EOS adalah Staphylococcus


koagulasi negatif, Enterococcus sp., serta Staphylococcus aureus, sedangkan
pada LOS Gram negatif. Faktor resiko yaitu riwayat ibu dengan infeksi (demam
> 37,9oC sebelum atau sesudah persalinan) dan ketuban pecah dini (> 18 jam
sebelum persalinan).2

Manifestasi klinis pada sepsis neonatal:2

- Anamnesis

Bayi dicurigai mengalami sepsis jika memiliki 2 gejala kriteria A


atau 3 gejala kriteria B. (Tabel 1.8)

Tabel 1.8 Tanda dan Gejala pada Kecurigaan Sepsis Neonatal

Kriteria A Persalinan di lingkungan kurang higienis


Kesulitan bernapas, apnea, napas > 80 kali/menit, retraksi
dinding dada, grunting ekspirasi, sianosis sentral
Kejang
Tidak sadar

44
Suhu tubuh tidak normal (sejak lahir dan tidak berespon terapi,
atau tidak stabil sesudah pengukuran 3 kali)
Kondisi memburuk cepat dan dramatis
Kriteria B Air ketuban bercampur meconium
Tremor
Letargi atau lunglai
Mengantuk atau aktivitas berkurang
Iritabel/muntah/perut kembung
Malas minum (sebelumnya baik)
Tanda-tanda mulai muncul setelah hari ke-4

- Pemeriksaan fisik

Keadaan umum (kesadaran, tanda vital), kulit (perfusi kulit kurang,


sianosis, ptekie, ruam, skelerema, dan ikterik), abdomen (muntah, diare,
perut kembung, hepatomegali), pernapasan (otot bantu napas), serta
neurologi (ubun-ubun menonjol, kaku kuduk).2

- Pemeriksaan penunjang

Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan:2

Pemeriksaan jumlah leukosit dan hitung jenis secara serial untuk


menilai perubahan akibat infeksi, adanya leukositosis atau leukopeni,
neutropeni, peningkatan rasio netrofil imatur/total (I/T) lebih dari 0,2.
Peningkatan protein fase akut (C-reactive protein), peningkatan lgM.
Ditemukan kuman pada pemeriksaan kultur dan pengecatan Gram
pada sampel darah, urin dan cairan serebrospinal serta dilakukan uji
kepekaan kuman.
Analisis gas darah: hipoksia, asidosis metabolik, asidosis laktat.
Pada pemeriksaan cairan serebrospinal ditemukan peningkatan jumlah
leukosit terutama PMN, jumlah leukosit >20/mL (umur < 7 hari) atau
>10/mL (umur > 7 hari), peningkatan kadar protein, penurunan kadar
glukosa serta ditemukan kuman pada pengecatan Gram. Gambaran ini

45
sesuai dengan meningitis yang sering terjadi pada sepsis awitan
lambat.
Gangguan metabolik hipoglikemi atau hiperglikemi, asidosis
metabolik.
Peningkatan kadar bilirubin.

Pada pemeriksaan radiologi didapatkan:2

Foto toraks

Dilakukan jika ada gejala distress pernapasan. Pada foto toraks


dapat ditemukan:2

Pneumonia kongenital berupa konsolidasi bilateral atau efusi


pleura
Pneumonia karena infeksi intrapartum, berupa infiltrasi dan
destruksi jaringan bronkopulmoner, atelektasis segmental atau
lobaris, gambaran retikulogranular difus (seperti penyakit
membrane hialin) dan efusi pleura
Pada pneumonia karena infeksi pascanatal, gambarannya sesuai
dengan pola kuman setempat.
CT Scan

Jika ditemukan gejala neurologis, dapat dilakukan CT scan kepala,


dapat ditemukan obstruksi aliran cairan serebrospinal, infark atau
abses.

USG

Pada ultrasonografi dapat ditemukan ventrikulitis.

Penatalaksanaan pada sepsis neonatal yaitu:2

46
- Bayi harus dirawat dirawat di rumah sakit dan dipasang jalur intravena
serta diberikan O2
- Pemberian antibiotik: sesuai peta kuman rumah sakit pada lini pertama
dapat diberikan golongan penisilin seperti ampisilin dan golongan
aminoglikosida seperti gentamisin. Bila organisme tidak dapat ditemukan
dan bayi tetap menunjukkan tanda infeksi sesudah 48 jam, ganti ampisilin
dan beri sefotaksim, sedangkan gentamisin tetap dilanjutkan.
- Terapi lainnya: pemberian cairan dosis rumatan berupa NaCl 0,9% atau 10
mL/kgBB/30 menit pada gangguan perfusi, transfuse komponen darah
yang diperlukan, serta manajemen nutrisi secara adekuat. Pada hari-hari
awal pengobatan, biasanya neonatus mengalami kesulitan makan sehingga
disarankan untuk nothing by mouth atau ni per os (NPO). Selanjutnya
upayakan pemberian ASI enteral atau pada kondisi yang berat per NGT.
- Terapi spesifik sesuai etiologi dan gangguan sistem yang terjadi.

Komplikasi berupa gejala sisa neurologis yaitu retardasi mental, gangguan


penglihatan, gangguan konsentrasi, serta kelainan tingkah laku, dan lain-lain.2

BAB III

KESIMPULAN

Masalah yang sering timbul pada BBLR:1

47
1. Masalah pernapasan karena paru-paru yang belum matur
a. Pusat pengatur pernapasan belum sempurna
b. Surfaktan paru masih kurang, sehingga perkembangannya tidak sempurna
c. Otot pernapasan dan iga lemah
d. Dapat disertai penyakit-penyakit: penyakit membran hialin, mudah infeksi
paru, gagal pernapasan
2. Masalah pada jantung
a. Penyakit jantung bawaan asianotik
b. Penyakit jantung bawaan sianotik
3. Perdarahan otak
a. Pembuluh darah bayi prematur masih rapuh dan mudah pecah
b. Sering mengalami ganggun pernapasan sehingga memudahkan terjadi
perdarahan dalam otak
c. Perdarahan dalam otak memperburuk keadaan dan dapat menyebabkan
kematian
d. Pemberian oksigen belum mampu diatur sehingga memudahkan terjadi
perdarahan dan nekrosis
4. Fungsi hati yang belum sempurna
Mudah menimbulkan gangguan pemecahan bilirubin, sehingga mudah
terjadi hiperbilirubinemia (kuning) sampai keroikterus.
5. Anemia atau polisitemia
6. Lemak yang sedikit sehingga kesulitan mempertahankan suhu tubuh normal
a. Pusat pengatur panas belum sempurna
b. Luas badan bayi relatif besar sehingga penguapannya bertambah
c. Otot bayi masih lemah
d. Lemak kulit dan lemak coklat kurang sehingga cepat kehilangan panas
badan
e. Kemampuan metabolisme panas masih rendah, sehingga bayi dengan
BBLR perlu diperhatikan agar tidak terlalu banyak kehilangan panas badan
dan dapat diperhatikan sekitar 30oC sampai 37oC
7. Masalah pencernaan atau toleransi minum
a. Alat pencernaan belum berfungsi sempurna, sehingga penyerapan makanan
kurang baik
b. Aktivitas otot pencernaan makanan masih belum sempurna sehingga
pengosongan lambung berkurang
c. Mudah terjadinya regurgitasi isi lambung dan dapat menimbulkan aspirasi
pneumonia

48
8. Resiko infeksi

49

Anda mungkin juga menyukai