Anda di halaman 1dari 40

LAPORAN KASUS

TRAUMA LIEN

Disusun Oleh:
Tubagus Izzul Barr Yusuf, dr.

Pembimbing:
Tommy Ruchimat, dr., SpB-KBD

SMF Ilmu Bedah


Sub Bagian Bedah Digestif
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
Bandung
2017
IDENTITAS
Nama pasien : Asep Tatang
Umur/ Jenis kelamin : 20 tahun / Laki-laki
No Rekam Medik : 4936
Diagnosis : Perdarahan intra abdomen e.c Ruptur Lien AAST gr V dengan
hemodinamik stabil e.c Trauma tumpul abdomen + kontusio
paru sinistra e.c trauma tumpul thorak + Fraktur tertutup Iliac
wing sinistra
Terapi :
Bedah Digestif :
Oksigenasi dengan NRM 12 L/m
Antibiotik
Analgetik
Laparatomi Eksplorasi + Spleenektomi

Bedah Thorax :
Nebulisasi
Metilprednisolon 3x125mg iv
Rongen thorax dan AGD Serial per 6 jam
Rawat ruang semi intensif
Orthopedi :
Konservatif

DPJP : dr. Tommy R., Sp.B-KBD


Ruang Rawat : HCU Kemuning

ANAMNESIS
Keluhan Utama : Nyeri perut kiri atas dan Sesak
Anamnesis :
Lima jam SMRS, saat pasien sedang mengendarai motor dengan kecepatan sedang di
daerah Nagreg, helm (+), tiba-tiba mobil di depan pasien berhenti mendadak, kemudian pasien
menabrak mobil dari arah belakang sehingga pasien terlempar ke depan. Dada dan perut kiri
pasien membentur bagian belakang mobil. Kemudian setelah kejadian pasien sesak dan
merasakan nyeri di dada, keluhan juga disertai dengan nyeri pada perut kiri atas. Riwayat
pingsan (-), muntah (-), Perdarahan telinga (-), hidung (-), mulut (-).
Karena keluhannya pasien dibawa ke RSUD Cicalengka dilakukan rontgen dada dan
kepala, kemudian pasien dirujuk ke RSHS karena fasilitas RS tidak lengkap.

PEMERIKSAAN FISIK
Primary Survey:
Airways : Clear + C-Spine control
Breathing : RR : 28x/mnt, symetrical shape and movement, VBS Kiri=Kanan, Rh -/+, Wh
-/-
Circulation : Nadi : 96x/mnt, Tekanan darah : 100/70 mmHg
Disability : GCS : E4M6V5= 15
Pupil : round, equal RLO 3 mm, LR +/+
Motorik : tidak ada paresis
Secondary Survey :
a/r Thorax : Jejas (+) hemithorax kiri
a/r Abdomen : Jejas (-), datar, lembut, BU (+) normal , NT (-) , NL (-), DM (-)
a/r LUQ : Jejas (-), datar, NT (+) , NL (+), DM (-)
a/r pelvis : jejas (+) pelvis kiri
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Radiologi :
a. Cervical dalam batas normal

b. Toraks foto didapatkan gambaran kontusio paru kiri

c. Pelvis didapatkan gambaran fraktur iliac wing kiri

d. FAST didapatkan koleksi cairan di spleenorenal


space
e. CT Scan Abdomen didapatkan Laserasi Lien AAST grade IV-V

2. Pemeriksaan Laboratorium
Laboratorium 23-02-2017 23-02-2017
02.00 09.00
PT/APTT/INR 11.6/23.5/1.08
Hb 14.3 13.6
Ht 41 36
Leukosit 26.100 21.100
Trombosit 231.000 194.000
Amilase/lipase 65/51 -
SGOT/SGPT 60/37 43/38
Ur/Kr 31/0.93 22/0.78
GDS 194
Na/K 138/3.5
Laktat 2,6 0.8
pH 7,431 7.36
pCO2 30,7 30.9
pO2 202,0 318
HCO3 20,0 17.2
Base Excess -2,7 -6.9
Sat O2 99,6 99.8
TCO2 38,7 33.9

Urinalisa 23-02-2017

Bert jenis >1.030


pH 5,5
Nitrit NEG
Protein NEG
Keton NEG
Urobilinogen NORM
Bilirubin NEG
Eritrosit 2
Leukosit 1
Sililnder NEG
Kristal NEG
Bakteri NEG
Glukosa NEG
Sel epitel 1

DO 23-02-2017(dr. Agung, SpB, dr. M. romdhoni, dr. Viator)


- Ditemukan cairan peritoneum bercampur darah sebanyak 700 cc
- Ditemukan ruptur lien AAST gr V
- Ditemukan hematom luas di daerah hillus lien
- Organ solid dan organ berongga lainnya dalam batas normal
- Zona I, II, III tidak ditemukan hematoma, bulging, pulsating

DIAGNOSIS
Perdarahan intra abdomen e.c Ruptur Lien AAST gr V dengan hemodinamik stabil e.c Trauma
tumpul abdomen + kontusio paru sinistra e.c trauma tumpul thorak + Fraktur tertutup Iliac wing
sinistra yang telah dilakukan Laparotomi eksplorasi + Splenektomi

TERAPI
Bedah Digestif :
Oksigenasi dengan NRM 12 L/m
Antibiotik
Analgetik
Laparatomi Eksplorasi + Spleenektomi

Bedah Thorax :
Nebulisasi
Metilprednisolon 3x125mg iv
Rongen thorax dan AGD Serial per 6 jam
Rawat ruang semi intensif
Orthopedi :
Konservatif

PEMBAHASAN
Latar belakang
Lien merupakan organ yang paling sering cedera pada saat terjadi trauma tumpul
abdomen atau trauma toraks kiri bagian bawah. Ruptur lien merupakan kondisi yang
membahayakan jiwa karena adanya perdarahan yang hebat. Lien mendapat vaskularisasi yang
banyak, yaitu dilewati kurang lebih 350 liter darah per harinya yang hampir sama dengan satu
kantung unit darah sekali pemberian. Karena alasan ini, trauma pada lien mengancam
kelangsungan hidup seseorang.
Lien terletak tepat di bawah rangka thoraks kiri, tempat yang rentan untuk mengalami
perlukaan. Lien membantu tubuh kita untuk melawan infeksi yang ada di dalam tubuh dan
menyaring semua material yang tidak dibutuhkan lagi dalam tubuh seperti sel tubuh yang sudah
rusak. Lien juga memproduksi sel darah merah dan berbagai jenis dari sel darah putih.
Lien kadang terkena ketika trauma pada torakoabdominal dan trauma tembus abdomen.
Penyebab utamanya adalah cedera langsung karena kecelakaan lalu lintas, terjatuh dari tempat
tinggi, pada olahraga luncur atau olahraga kontak, seperti yudo, karate, dan silat. Trauma lien
terjadi pada 25% dari semua trauma tumpul abdomen. Perbandingan laki-laki dan perempuan
yaitu 3 : 2, ini mungkin berhubungan dengan tingginya kegiatan dalam olahraga, berkendaraan
dan bekerja kasar pada laki-laki. Angka kejadian tertinggi pada umur 15-35 tahun.
Mengingat besarnya masalah serta tingginya angka kematian dan kesakitan akibat ruptur
lien serta perlunya penanganan segera, maka kami menulis referat yang membahas ruptur lien
dan penatalaksanaannya.
Robeknya lien menyebabkan banyaknya darah yang ada di rongga abdomen. Ruptur pada
lien biasanya disebabkan hantaman pada abdomen kiri atas atau abdomen kiri bawah. Kejadian
yang paling sering meyebabkan ruptur lien adalah kecelakaan olahraga, perkelahian dan
kecelakaan mobil. Perlukaan pada lien akan menjadi robeknya lien segera setelah terjadi trauma
pada abdomen.
Pada pemeriksaan fisik, gejala yang khas adanya hipotensi karena perdarahan.
Kecurigaan terjadinya ruptur lien dengan ditemukan adanya fraktur costa IX dan X kiri, atau saat
abdomen kuadran kiri atas terasa sakit serta ditemui takikardi. Biasanya pasien juga
mengeluhkan sakit pada bahu kiri, yang tidak termanifestasi pada jam pertama atau jam kedua
setelah terjadi trauma. Tanda peritoneal seperti nyeri tekan dan defans muskuler akan muncul
setelah terjadi perdarahan yang mengiritasi peritoneum. Semua pasien dengan gejala takikardi
atau hipotensi dan nyeri pada abdomen kuadran kiri atas harus dicurigai terdapat ruptur lien
sampai dapat diperiksa lebih lanjut. Penegakan diagnosis dengan menggunakan CT scan. ruptur
pada lien dapat diatasi dengan splenectomy, yaitu pembedahan dengan pengangkatan lien.
Walaupun manusia tetap bisa hidup tanpa lien, tapi pengangkatan lien dapat berakibat mudahnya
infeksi masuk dalam tubuh sehingga setelah pengangkatan lien dianjurkan melakukan vaksinasi
terutama terhadap pneumonia dan flu diberikan antibiotik sebagai usaha preventif terhadap
terjadinya infeksi.

Anatomi dan Fisiologi


Lien berasal dari diferensiasi jaringan mesenkimal mesogastrium dorsal. Berat rata-rata
pada manusia dewasa berkisar 75-100 gram, biasanya sedikit mengecil setelah berumur 60 tahun
sepanjang tidak disertai adanya patologi lainnya, ukuran dan bentuk bervariasi, panjang 10-
11cm, lebar + 6-7 cm, tebal + 3-4 cm.
Lien terletak di kuadran kiri atas dorsal di abdomen pada permukaan bawah diafragma,
terlindung oleh iga ke IX, X, dan XI. Lien terpancang ditempatnya oleh lipatan peritoneum yang
diperkuat oleh beberapa ligamentum suspensorium yaitu :
1. Ligamentum splenoprenika posterior (mudah dipisahkan secara tumpul).
2. Ligamentum gastrosplenika, berisi vasa gastrika brevis
3. Ligamentum splenokolika terdiri dari bagian lateral omentum majus
4. Ligamentum splenorenal.
Lien merupakan organ paling vaskuler, dialiri darah sekitar 350 L per hari dan berisi kira-
kira 1 unit darah pada saat tertentu. Vaskularisasinya meliputi arteri lienalis, variasi cabang
pankreas dan beberapa cabang dari gaster (vasa Brevis). Arteri lienalis merupakan cabang
terbesar dari trunkus celiakus. Biasanya menjadi 5-6 cabang pada hilus sebelum memasuki lien.
Pada 85 % kasus, arteri lienalis bercabang menjadi 2 yaitu ke superior dan inferior sebelum
memasuki hilus. Sehingga hemi splenektomi bisa dilakukan pada keadaan tersebut.Vena lienalis
bergabung dengan vena mesenterika superior membentuk vena porta.
Lien asesoria ditemukan pada 30 % kasus. Paling sering terletak di hilus lien, sekitar
arteri lienalis, ligamentum splenokolika, ligamentum gastrosplenika, ligamentum splenorenal,
dan omentum majus. Bahkan mungkin ditemukan pada pelvis wanita, pada regio presakral atau
berdekatan dengan ovarium kiri dan pada scrotum sejajar dengan testis kiri.

Dibedakan menjadi 2 tipe :


1. Berupa konstriksi bagian organ yang dibatasi jaringan fibrosa.
2. Berupa massa terpisah.

Gambar 1. Anatomi Lien

Secara fisik, lien banyak berhubungan dengan organ vital abdomen yaitu, diafragma kiri
di superior, kaudal pankreas di medial, lambung di anteromedial, ginjal kiri dan kelenjar adrenal
di posteromedial, dan fleksura splenikus di inferior.

Fisiologi
Fungsi lien dibagi menjadi 5 kategori :
1. Filter sel darah merah
2. Produksi opsonin-tufsin dan properdin
3. Produksi Imunoglobulin M
4. Produksi hematopoesis in utero
5. Regulasi T dan B limfosit
Pada janin usia 5-8 bulan lien berfungsi sebagai tempat pembentukan sel darah merah
dan putih, dan tidak berfungsi pada saat dewasa. Selain itu, lien berfungsi menyaring darah,
artinya sel yang tidak normal, diantaranya eritrosit, leukosit, dan trombosit tua ditahan dan
dirusak oleh sistem retikuloendotelium disana.
Lien juga merupakan organ pertahanan utama ketika tubuh terinvasi oleh bakteri melalui
darah dan tubuh belum atau sedikit memiliki antibodi. Kemampuan ini akibat adanya
mikrosirkulasi yang unik pada lien. Sirkulasi ini memungkinkan aliran yang lambat sehingga
lien punya waktu untuk memfagosit bakteri, sekalipun opsonisasinya buruk. Antigen partikulat
dibersihkan dengan cara yang mirip oleh efek filter ini dan antigen ini merangsang respon anti
bodi Ig M di centrum germinale. Sel darah merah juga dieliminasi dengan cara yang sama saat
melewati lien.
Lien dapat secara selektif membersihkan bagian-bagian sel darah merah, dapat
membersihkan sisa sel darah merah normal. Sel darah merah tua akan kehilangan aktifitas
enzimnya dan lien yang mengenali kondisi ini akan menangkap dan menghancurkannya. Pada
asplenia kadar tufsin ada dibawah normal. Tufsin adalah sebuah tetra peptida yang melingkupi
sel sel darah putih dan merangsang fagositosis dari bakteri dan sel-sel darah tua. Properdin
adalah komponen penting dari jalur alternatif aktivasi komplemen, bila kadarnya dibawah
normal akan mengganggu proses opsonisasi bakteri yang berkapsul seperti meningokokkus, dan
pneumokokkus.

Patogenesis
Berdasarkan penyebab, ruptur lien dapat dibagi berdasar trauma pada lien yang meliputi :
1. Trauma Tajam
Trauma ini dapat terjadi akibat luka tembak, tusukan pisau atau benda tajam lainnya.
Pada luka ini biasanya organ lain ikut terluka tergantung arah trauma. Yang sering
dicederai adalah paru, lambung, lebih jarang pankreas, ginjal kiri dan pembuluh darah
mesenterium.
Pemeriksaan splenografi yang dilakukan melalui pungsi dapat menimbulkan perdarahan.
Perdarahan pasca splenografi ini jarang terjadi selama jumlah trombosit > 70.000 dan
waktu protrombin 20 % di atas normal.
2. Trauma Tumpul
Lien merupakan organ yang paling sering terluka pada trauma tumpul abdomen atau
trauma thoraks kiri bawah. Keadaan ini mungkin disertai kerusakan usus halus, hati, dan
pankreas. Penyebab utamanya adalah cedera langsung atau tidak langsung karena
kecelakaan lalu lintas, terjatuh dari tempat tinggi, pada olahraga luncur dan olahraga
kontak seperti judo, karate dan silat.
Ruptur lien yang lambat dapat terjadi dalam jangka waktu beberapa hari sampai beberapa
minggu setelah trauma. Pada separuh kasus masa laten ini kurang dari 7 hari. Hal ini
karena adanya tamponade sementara pada laserasi kecil, atau adanya hematom
subkapsuler yang membesar secara lambat dan kemudian pecah.
3. Trauma Iatrogenik
Ruptur lien sewaktu operasi dapat terjadi pada operasi abdomen bagian atas, umpamanya
karena retractor yang dapat menyebabkan lien terdorong atau ditarik terlalu jauh
sehingga hilus atau pembuluh darah sekitar hilus robek. Cedera iatrogen lain dapat terjadi
pada punksi lien (splenoportografi).
Kelainan patologi dikelompokkan menjadi :
a) Cedera kapsul
b) Kerusakan parenkim, fragmentasi, kutub bawah hampir lepas
c) Kerusakan hillus dilakukan splenektomi parsial
d) Avulsi lien dilakukan splenektomi total
e) Hematoma subkapsuler

Manifestasi klinik
Tanda fisik yang ditemukan pada ruptur lien bergantung pada adanya organ lain yang ikut
cedera, banyak sedikitnya perdarahan, dan adanya kontaminasi rongga peritoneum. Perdarahan
dapat sedemikian hebatnya sehingga mengakibatkan renjat (syok) hipovolemik hebat yang fatal.
Dapat pula terjadi perdarahan yang berlangsung sedemikian lambat sehingga sulit diketahui pada
pemeriksaan.
Pada setiap kasus trauma lien harus dilakukan pemeriksaaan abdomen secara berulang-
ulang oleh pemeriksa yang sama karena yang lebih penting adalah mengamati perubahan gejala
umum (syok, anemia) dan lokal di perut (cairan bebas, rangsangan peritoneum).
Pada ruptur yang lambat, biasanya penderita datang dalam keadaan syok, tanda
perdarahan intrabdomen, atau seperti ada tumor intraabdomen pada bagian kiri atas yang nyeri
tekan disertai anemia sekunder. Oleh karena itu, menanyakan riwayat trauma yang terjadi
sebelumnya sangat penting dalam menghadapi kasus ini.
Penderita umumnya berada dalam berbagai tingkat renjat hipovolemi dengan atau tanpa
(belum) takikardi dan penurunan tekanan darah. Penderita mengeluh nyeri perut bagian atas,
tetapi sepertiga kasus mengeluh nyeri perut kuadran kiri atas atau punggung kiri. Nyeri di daerah
puncak bahu disebut tanda Kehr, terdapat pada kurang dari separuh kasus. Mungkin nyeri di
daerah bahu kiri baru timbul pada posisi Tredenlenberg. Pada pemeriksaan fisik ditemukan masa
di kiri atas dan pada perkusi terdapat bunyi pekak akibat adanya hematom subkapsular atau
omentum yang membungkus suatu hematoma ekstrakapsular disebut tanda Ballance. Kadang
darah bebas di perut dapat dibuktikan dengan perkusi pekak geser.
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan hematokrit perlu dilakukan berulang-ulang. Selain itu biasanya didapat
leukositosis. Pemeriksaan kadar Hb, hematokrit, leukosit dan urinalisis. Bila terjadi perdarahan
akan menurunkan Hb dan hematokrit serta terjadi leukositosis. Sedangkan bila terdapat eritrosit
dalam urine akan menunjang akan adanya trauma saluran kencing.

Pemeriksaan Radiologi
Setelah trauma tumpul, organ intraabdominal yang sering terkena yaitu lien, dan lien
akan cedera dan terbentuk hematom. Meskipun ahli bedah biasanya mencoba untuk mengatasi
trauma ini dengan konservatif, ruptur lien mungkin baru disadari setelah seminggu atau sepuluh
hari setelah trauma pertama. Ada beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan, diantaranya USG,
CT scan dan angiography. Jika ada kecurigaan trauma lien, CT Scan merupakan pemeriksaan
pilihan utama. Pendarahan dan hematom akan tampak sebagai daerah yang kurang densitasnya
dibanding lien. Daerah hitam melingkar atau ireguler dalam lien menunjukkan hematom atau
laserasi, dan area seperti bulan sabit abnormal pada tepi lien menunjukkan subkapular hematom.
Kadang, dengan penanganan konservatif, abses mungkin akan terbentuk kemudian dan dapat
diidentifikasi pada CT Scan karena mengandung gas. Sensitivitas pada CT Scan tinggi, namun
spesifikasinya rendah, dan kadang riwayat dan gejala penting untuk menentukkan diagnosis
banding.
Gambaran yang paling sering ditemui yaitu fraktur tulang iga kiri bawah. Fraktur iga
menunjukkan adanya tekanan yang kuat pada kuadran kiri atas yang menyebabkan
keadaan patologi pada lien. Fraktur iga kiri bawah terdapat pada 44 % pasien dengan
ruptur lien dan perlu dilakukan pemeriksaan CT Scan lebih lanjut.
Tanda klasik yang menentukan adanya ruptur lien akut (tingginya diafragma sebelah kiri,
atelektasis lobus bawah kiri, dan efusi pleura) tidak selalu ada dan tidak bisa dijadikan
tanda yang pasti. Namun, tiap pasien dengan diafragma sebelah kiri yang meninggi
disertai dengan trauma tumpul abdomen harus dipikirkan sebagai trauma lien sampai
dibuktikan sebaliknya.
Tanda yang lebih dapat dipercaya dari trauma pada kuadran kiri atas yaitu perpindahan
ke medial udara gaster dan perpindahan inferior dari pola udara lien. Gambaran ini
menunjukkan adanya massa pada kuadran kiri atas dan menunjukkan adanya hematom
subkapsular atau perisplenik.
o Hematom kuadran kiri atas, jika besar, dapat menggeser bayangan dari tepi caudal
bawah lien, menjadi gambaran splenomegali.
o Hematom subkapsular dapat memberikan gambaran yang hampir sama, dan
massa yang ada memiliki batas yang tegas.
o Pergeseran gambaran ginjal kiri juga mungkin ditemukan.
Gambaran yang dapat menunjang yaitu ketika adanya perdarahan retroperitonial atau
darah bebas intraabdominal terlihat kontras dengan yang disebutkan diatas.
o Sedikit, jika ada, munculnya efek masa pada kuadran kiri atas
o Batas lien tidak jelas, tapi gambaran ini tidak spesifik.
o Darah retroperitoneal dapat menghapus gambaran ginjal kiri dan batas otot psoas.
o Kumpulan darah bebas di sekitar kolon kiri, menggeser pola udara pada kolon
desenden ke medial.
o Pendarahan yang banyak pada abdomen dapat menghilangkan garis flank.
o Pola udara usus yang sedikit dapat digeser keluar pelvis oleh kumpulan darah.
o Gambaran midpelvik yang opak dengan tepi lateral yang konveks dan tajam dapat
ditemukan.
o Tepi kandung kemih bertambah dan dibatasi oleh gambaran lusen yang tipis
membentuk kubah dan seperti ekstraperitonial fat.
Hematom lien kronik memberikan gambaran yang berbeda dan lebih komplek karena
diikuti dengan daftar panjang diagnosis banding. Perubahan dari hematom subkapsuler
atau parenkimal yaitu menetap, menjadi cair, dan biasanya terserap lagi.

Kadang, degenerasi kistik dari hematom intrasplenik menyebabkan formasi yang salah
dari kista.
o Sekitar 80 % dari kista lien diperkirakan berasal dari posttrauma. Sekitar 80 %
terbentuk dari kista hemoragik, dan 20 % dari kista serous dan kemungkinan
adanya darah telah diserap kembali semuanya.
o Tipis, teratur dan annular kalsifikasi terbentuk sebagai
garis fibrosis pada sekitar 30 % kista.
o Bentuk kista simetris dan unilokal, dan terdapat garis
kalsifikasi di dalam dan luar batas..
o Satu buah, besar, annular kalsifikasi lien mirip seperti
sebuah kista residual traumatik pada area tindak endemic
untuk organisme Echinococcus.
o Karakteristik dari gambaran kista traumatik tidak begitu spesifik.
o Penyebab utama dari penyebaran kalsifikasi kista lien yaitu infeksi dari
Echinococcus granulosus, tapi organisme ini jarang ada di normal geografik.
Hematom subkapsular merupakan hasil yang umum terjadi dari trauma lien dan
karakteristik gambarannya berbeda dari patologi parenkim. Dalam penyembuhan
hematom, kalsifikasi dari batas kavitas dapat muncul. Tergantung pada proyeksi,
kalsifikasi kavitas dapat muncul linear atau diskoid. Derajat dari efek masa tergantung
dari ukuran regresi hematom.
Banyak kelainan patologi lain yang dapat memberikan gambaran yang hampir sama,
seperti pada penyakit sickle sel. Infark lien kronik dapat berkembang menjadi kalsifikasi
yang mirip dengan hematom subkapsular.
Gambar 2. Gambaran trauma lien
Sumber : Steven K.R., 2009. Spleen Trauma. University of Illinois School of Medicine,
Department of Radiology. Diakses dari http://emedicine.medscape.com/article/373694-overview
pada tanggal 20-06-2011

Tampak gambaran masa yang pinggirnya mengalami kalsifikasi pada kuadran kiri atas dibawah
diafragma. Masa tersebut menggambarkan kalsifikasi hematom lien

Gambar 3a dan 3b. Gambaran cedera lien


Sumber : Ledbetter, S. dan Smithuis, R., 2007, diakses dari
http://www.radiologyassistant.nl/en/466181ff61073 pada tanggal 20-06-2011

USG
Pemeriksaan USG sulit dilakukan pada pasien trauma yang distensi abdomen, luka-luka.
USG berguna untuk mendiagnosis darah bebas intraperitoneal. Darah dalam peritoneum tampak
sebagai gambaran cairan anechoic, kadang dengan septiasi, memisahkan bagian usus dengan
organ solid disekitarnya. USG kurang sensitif dibanding CT Scan untuk mendiagnosis trauma
organ solid atau trauma intestinal.
Tujuan utama pemeriksaan USG lien pada trauma tumpul abdomen yaitu untuk menentukan
apakah ada darah di kuadran kiri atas.
Perdarahan akut tampak hipoechoic dan dapat juga hampir anechoic.
Membedakan perdarahan subkapsular dan perisplenic sulit, tapi beberapa tanda dapat
ditemukan yaitu :
o Sebuah gambaran bulan sabit halus sesuai dengan tepi lien dapat dipikirkan
sebagai subkapsular.
o Sebagai perbandingan, perdarahan ekstrakapsular biasanya bentuknya tidak
reguler.
o Walaupun efek massa dihasilkan juga pada kedua kasus, perdarahan subkapsular
lebih mungkin merubah bentuk lien.
o Membran diatas subkapsular tipis dan jarang digambarkan, oleh karena itu tidak
adanya temuan ini tidak menunjukkan diagnosis.
Dalam beberapa jam, pembekuan darah terjadi. Echogenesiti meningkat seiring
pembentukkan trombus. Hematom yang telah lama menunjukkan echogenesiti yang sama
atau lebih terang dibanding parenkim dan tetap tampak dalam 48 jam sampai lisis
dimulai. Fase echogenik biasanya sesuai dengan waktu ketika pencitraan dilakukan
dalam keadaan yang paling akut. Sebagai hasil lisis, hematom kembali ke echogenesiti
cairan, dan patologi ini kembali lebih jelas.
Kelainan parenkim umum yang halus.
o Laserasi tampak sebagai daerah yang hipoechoic, yang dapat berbentuk tidak
teratur ataupun linear.
o Infark lien mempunyai gambaran yang sama, tapi biasanya lebih baik dapat
ditentukan. Infark berbentuk baji, dengan puncak mengarah ke hilus.
Dibandingkan dengan cedera traumatis dimana distribusi lebih kompleks terlihat.
o Kehalusan cedera parenkim mungkin berhubungan dengan perdarahan lokal yang
terkait. Setiap darah terjebak segera menggumpal, menjadi isoechoic dengan
jaringan sekitarnya
Gambar 4. USG abdomen yang menunjukkan cairan bebas peritoneum. Pada trauma tumpul
abdomen biasanya hemoperiteneum.
Sumber : Steven K.R., 2009. Spleen Trauma. University of Illinois School of Medicine,
Department of Radiology. Diakses dari http://emedicine.medscape.com/article/373694-overview
pada tanggal 20-06-11

Gambar 5. (a) USG abdomen tampak area anechoic pada daerah trauma. (b) hematom
subkapsular.
Sumber : Steven K.R., 2009. Spleen Trauma. University of Illinois School of Medicine,
Department of Radiology. Diakses dari http://emedicine.medscape.com/article/373694-overview
pada tanggal 20-06-11

Computed Tomography
CT digunakan untuk mengevaluasi pasien dengan trauma tumpul tidak hanya sebagai
awal, tetapi juga untuk tindak lanjut, ketika pasien ditangani secara non-bedah. CT juga semakin
banyak digunakan untuk trauma tembus yang secara tradisional ditangani dengan operasi.
CT pada trauma abdomen:
1. Evaluasi awal dari:
a. Trauma tumpul
b. Trauma tembus
2. Follow up dari pengelolaan non-operatif
3. Menyingkirkan adanya cedera

Gambar 6. Laserasi limpa terlihat pada kontras ditingkatkan tomografi sebagai area hipodens
linier tidak teratur
Sumber : Hassan, R., et. Al., 2011, diakses dari www.mjms.usm.my pada tanggal 05-07-11

Gambar 7. Hematoma parenkim (panah) terlihat pada CT-Scan kontras sebagai area hipodens
fokus dalam parenkim lienalis ditingkatkan dengan kapsul utuh
Sumber : Hassan, R., et. Al., 2011, diakses dari www.mjms.usm.my pada tanggal 05-07-11
Gambar 8. Hematoma subcapsular (panah) terlihat sebagai area hipodens dengan perdarahan
yang terkumpul pada perisplenic yang melekuk dibawah parenkim yang mendasarinya
Sumber : Hassan, R., et. Al., 2011, diakses dari www.mjms.usm.my pada tanggal 05-07-11

Gambar 9. Darah yang terkumpul pada perisplenic (panah) terlihat sebagai area hpodens di
sekitar limpa tanpa efek massa untuk parenkim yang berdekatan
Sumber : Hassan, R., et. Al., 2011, diakses dari www.mjms.usm.my pada tanggal 05-07-11

Gambar 10. Cedera limpa grade I pada seorang gadis 17 tahun yang terlibat dalam kecelakaan
kendaraan bermotor. Dengan menggunakan CT-Scan menunjukkan sobekan kapsuler kurang dari
1 cm pada kutub lebih rendah (panah). Pasien dikelola secara konservatif dengan pemulihan
lancar.
Sumber : Hassan, R., et. Al., 2011, diakses dari www.mjms.usm.my pada tanggal 05-07-11
Gambar 11. Cedera limpa grade I pada laki-laki 35 tahun dalam sebuah kecelakaan industri.
CT-Scan dengan kontras menunjukkan perdarahan subcapsular (panah) kurang dari 10% dari
luas permukaan. Dia dikelola secara konservatif dan sembuh dengan baik.
Sumber : Hassan, R., et. Al., 2011, diakses dari www.mjms.usm.my pada tanggal 05-07-11

Gambar 12. Cedera limpa grade II pada bocah 13 tahun terluka setelah berkelahi. CT-scan
menunjukkan hematoma subkapsular melibatkan 30% -40% dari luas permukaan limpa (panah).
Pasien dikelola secara konservatif dengan pemulihan lancar.
Sumber : Hassan, R., et. Al., 2011, diakses dari www.mjms.usm.my pada tanggal 05-07-11

Gambar 13. Cedera limpa grade II pada seorang pria 30 tahun setelah diserang. CT-scan
menunjukkan laserasi 2 cm pada hilus (panah) yang dikonfirmasi pada saat operasi.
Sumber : Hassan, R., et. Al., 2011, diakses dari www.mjms.usm.my pada tanggal 05-07-11
Gambar 14. Cedera limpa grade III pada anak laki-laki berusia 15 tahun terluka saat
pertandingan sepak bola. CT-Scan dengan kontras menunjukkan beberapa luka dan hematoma
intraparenchymal (panah). Pasien dikelola secara konservatif dan sembuh total
Sumber : Hassan, R., et. Al., 2011, diakses dari www.mjms.usm.my pada tanggal 05-07-11

Gambar 15. Cedera limpa grade III pada anak laki-laki berusia 18 tahun, cedera ketika sepeda
motornya menabrak kerbau. CT-Scan dengan kontras menunjukkan laserasi di kutub atas
(panah). Temuan saat operasi menegaskan laserasi 6 cm dengan haemoperitoneum sekitar 1 liter.
Dilakukan splenektomi pada pasien ini.
Sumber : Hassan, R., et. Al., 2011, diakses dari www.mjms.usm.my pada tanggal 05-07-11

Gambar 16. Cedera limpa grade IV pada anak laki-laki 17 tahun terluka dalam kecelakaan
kendaraan bermotor. CT-Scan dengan kontras menunjukkan beberapa luka menyebabkan
devascularisation utama dari limpa. Splenektomi dilakukan untuk pasien ini.
Sumber : Hassan, R., et. Al., 2011, diakses dari www.mjms.usm.my pada tanggal 05-07-11
Gambar 17. Cedera limpa grade V pada seorang pria 18 tahun setelah sepeda motornya
menghantam truk. CT-Scan dengan kontras menunjukkan limpa hancur dengan yang
dikonfirmasi saat operasi haemoperitoneum volume yang besar. Perhatikan (panah)
menunjukkan perdarahan aktif. Splenektomi dilakukan untuk pasien ini.
Sumber : Hassan, R., et. Al., 2011, diakses dari www.mjms.usm.my pada tanggal 05-07-11
Tabel 1 : Grading untuk trauma lien menurut gambaran CT-Scan

Sumber: American Association for the Surgery of Trauma Splenic Injury Scale
Sebuah cara untuk mengingat sistem ini adalah:
1. Grade 1 kurang dari 1 cm.
2. Grade 2 adalah sekitar 2 cm (1-3 cm).
3. Grade 3 lebih dari 3 cm.
4. Grade 4 adalah lebih dari 10 cm.
5. Grade 5 adalah devascularization total atau maserasi.
Kelemahan grading ini adalah:
1. Sering meremehkan tingkat cedera.
2. kemungkinan variasi antar pembaca
3. Tidak memasukkan:
a. Adanya perdarahan aktif
b. Kontusio
4. Post-traumatik infark
5. Yang paling penting: tidak ada nilai prediktif untuk manajemen non-operasi (NOM)

The Organ Injury Scaling Committee of the American Association for the Surgery of
Trauma juga telah menyusun sistem grading yang telah direvisi pada tahun 1994, sebagai
berikut:

Grade I
Hematoma subcapsular kurang dari 10% dari luas permukaan
Capsular tear kedalamannya kurang dari 1 cm.
Grade II
Hematoma Subkapsular sebesar 10-50% dari luas permukaan
Hematoma intraparenkim kurang dari diameter 5 cm
Laserasi dengan kedalaman dari 1-3 cm dan tidak melibatkan pembuluh darah trabecular.
Grade III
Hematoma subcapsular lebih besar dari 50% dari luas permukaan atau meluas dan
terdapat ruptur hematoma subcapsular atau parenkim
Hematoma Intraparenkim lebih besar dari 5 cm atau mengalami perluasan
Laserasi yang lebih besar dari 3 cm kedalamannya atau melibatkan pembuluh darah
trabecular.
Grade IV
Laserasi melibatkan pembuluh darah segmental atau hilar dengan devascularisasi lebih
dari 25% dari lien.
Grade V
Shattered spleen atau cedera vaskuler hilar.

Tingkat Keyakinan
Dalam pengalaman penulis, secara keseluruhan sensitivitas dan spesifisitas CT dalam
deteksi cedera lien mendekati 100%.

ANGIOGRAPHY

Gambar 18. Arteriogram yang diperoleh dengan injeksi kateter arteri utama lien menunjukkan
beberapa daerah ekstravasasi agen kontras parenkim.
Sumber : Steven K.R., 2009. Spleen Trauma. University of Illinois School of Medicine,
Department of Radiology. Diakses dari http://emedicine.medscape.com/article/373694-overview
pada tanggal 20-06-11

Gambar 20. Arteriogram lienalis selektif menunjukkan pseudoaneurysms traumatis dengan


ekstravasasi di kutub atas.
Sumber : Steven K.R., 2009. Spleen Trauma. University of Illinois School of Medicine,
Department of Radiology. Diakses dari http://emedicine.medscape.com/article/373694-overview
pada tanggal 20-06-11

Gambar 21. Arteriogram diperoleh dengan suntikan arteri lienalis utama setelah embolisasi koil
superselectif dari pseudoaneurisma. Opasifikasi kontras irregular masih tampak dengan area
avaskular, itu mungkin mewakili daerah lain dari cedera vaskular.
Sumber : Steven K.R., 2009. Spleen Trauma. University of Illinois School of Medicine,
Department of Radiology. Diakses dari http://emedicine.medscape.com/article/373694-overview
pada tanggal 20-06-11

Gambar 22. Arteriogram diperoleh dengan suntikan arteri lien superselektif di kutub atas,
menegaskan zona kedua dari gangguan vaskular dengan ekstravasasi agen kontras.
Sumber : Steven K.R., 2009. Spleen Trauma. University of Illinois School of Medicine,
Department of Radiology. Diakses dari http://emedicine.medscape.com/article/373694-overview
pada tanggal 20-06-11

Gambar 23. Gambaran arteriographic akhir dari injeksi kateter arteri utama lienalis setelah
selektif / embolisasi koil superselektif. Sekitar 50% dari lien telah devascularisasi. Tidak ada sisa
cedera pembuluh darah arteri atau tampak ekstravasasi.
Sumber : Steven K.R., 2009. Spleen Trauma. University of Illinois School of Medicine,
Department of Radiology. Diakses dari http://emedicine.medscape.com/article/373694-overview
pada tanggal 20-06-11

Penemuan
Trauma lien dapat menghasilkan berbagai temuan angiografik, baik secara langsung
maupun tidak langsung. Tanda-tanda tidak langsung termasuk perpindahan lien dari dinding
perut dan daerah parenkim avaskular dari hematoma. Ketidakteraturan parenkim atau bintik-
bintik pada lien mungkin akibat dari edema lokal dari memar tanpa kelainan yang jelas.
Fragmentasi lien atau cedera arteri utama menandakan komplikasi yang mengancam
nyawa pada kebanyakan pasien, dan mereka memerlukan intervensi bedah segera.

Diagnosis banding
Pada kebanyakan kasus, diagnosis ruptur lien tidaklah sulit. Bagaimanapun juga, ahli
radiologi harus waspada terhadap proses trauma yang memungkinkan terjadinya trauma lien.
1. Benda Asing
Terkadang, bahan yang dimasukkan secara iatrogenic dapat menimbulkan gambaran
ruptur lien pada CT scan. Pada kebanyakan pusat trauma, dilakukan pemasangan NGT,
dan bahan kontras dimasukkan secara oral sebelum pemeriksaan CT scan. Artefak dan
bahan yang tak tembus sinar dari NGT dan bahan kontras dapat menutupi lien dan
menimbulkan kebingungan. Bahan yang tidak tembus sinar dari iga dan artefak dari air
fluid level dari lambung dapat juga menimbulkan hasil positif palsu. Gabungan dari efek-
efek ini, ditambah dengan scan yang berkualitas buruk dan besarnya ukuran pasien,
sering terjadi pada praktek sehari-hari.

2. Hematom
Pada derajat tertentu, hemoperitoneum selalu mengikuti terjadinya trauma lien, kecuali
jika bagian subkapsular intak. Walaupun begitu, tidak semua cairan intra abdomen
merupakan hematom. Ahli radiologi harus berhati-hati dalam mengasumsikan bahwa
trauma lien adalah penyebab adanya cairan dalam abdomen atau di sekitar lien.
Kebanyakan trauma tumpul lien terlihat pada anak-anak yang ditabrak oleh kendaraan
bermotor, kejadian yang berhubungan dengan jatuh, atau pengendara kendaraan bermotor
yang mengalami kecelakaan. Kemungkinan terbesar terjadinya positif palsu pada
kecelakaan kendaraan bermotor adalah karena pasien cenderung tua dan telah memiliki
penyakit sebelumnya.

3. Akumulasi cairan
Penyakit hati, pankreas, ginjal, dan kolon bagian kiri dapat menuju pada akumulasi cairan
pada bagian bawah lien. Penyebab lain yang dapat menyebabkan akumulasi cairan tidak
boleh dilupakan, termasuk adanya keganasan abdomen yang tidak terdiagnosis dengan
asites dan dialisis peritoneal. Walau banyak keadaan ini tidak mungkin terjadi,
kesempatan untuk memperoleh informasi dari pasien mungkin tidak ada. Pada
kebanyakan kecelakaan kendaraan bermotor, ada beberapa orang yang terluka. Orang tua
tidak dapat mentoleransi bahkan trauma kecil sekalipun, dan keadaan hemodinamik
mereka biasanya tidak sesuai dengan trauma yang terlihat. Sebagai tambahan, banyak
pasien trauma yang mengalami kecelakaan tiba di rumah sakit setelah penggunaan
alcohol dan obat-obatan. Akibatnya pasien dibawa ke bagian radiologi dalam keadaan
disedasi atau diintubasi.

4. Kista
Banyak hal yang dapat mempengaruhi lien dan menimbulkan gambaran laserasi atau
hematom lien. Ada banyak etiologi kista lien yang telah dilaporkan dalam literatur. Salah
satu etiologi ini dapat menyebabkan kesalahan diagnosis sebagai trauma lien, tapi
biasanya tidak menimbulkan hemoperitonium. Abses lien yang disebabkan oleh
endokarditis bakterial, infark lien, dan prosedur invasif dapat menyebabkan trauma lien,
dan ini dapat dihubungkan dengan cairan perilien. Lesi kistik yang menyerupai trauma
dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
- Kongenital : Epidermoid.
- Vaskular : Hematom, kista post trauma (80%), infark kistik, dan peliosis.
- Inflamasi : Abses piogenik, mikroabses jamur akibat Candida, Aspergilus, atau
Cryptococcus. Tuberculosis akibat Mycobacterium avium intracellular, Pneumocytis
carinii, atau Echinococcus. Dan pseudokista pancreas.
- Neoplasma : Hemangioma kavernosus, angiosarkoma, lienngioma, dan metastasis
(melanoma 50%).

5. Infark
Infark pada lien dapat menimbulkan gambaran trauma. Secara klasik, infark dapat
dibedakan dengan bentuk baji atau segitiga. Infark dapat melebar dari batas luar dengan
apeks menuju ke hilus lien. Lingkaran halus parenkim normal dapat terlihat sepanjang
batas luar. Walau infark tidak meningkat, pada lingkaran luar mungkin dapat terlihat
peningkatan karena terdapatnya pembuluh darah. Pada USG dan CT scan, infark dapat
disalah artikan sebagai laserasi tanpa cairan perilien.

6. Keganasan
Tumor pada lien jarang terjadi. Kebanyakan tumor yang berhubungan dengan lien adalah
limfoma, yang mencakupi 70% dari lesi. Sebagai tambahan, penyakit metastatik pada lien
tidak jarang terjadi, dan melanoma, kanker payudara, paru, ginjal, dan ovarium
merupakan kanker primernya. Proses ini terlihat hipoekoik pada USG dan hipodens pada
CT scan, dan dapat menimbulkan gambaran laserasi atau perdarahan intraparenkim.
Penyakit metastatik dapat berhubungan dengan asites yang menimbulkan gambaran
hemoperitoneum. Lesi serupa pada organ lain dan limfadenopati muncul dan
mengecualikan trauma.

7. Tumor jinak
Tumor jinak yang paling sering pada lien adalah hemangioma kavernosus. Tumor ini
dapat terlihat hiperekoik atau hipoekoik pada USG dan dapat menimbulkan gambaran
hematom dan darah yang tidak menggumpal. Hemangioma terlihat hipodens pada CT
scan. Lesi jinak dapat menimbulkan gambaran hematom parenkim atau laserasi kecil jika
dekat perifer. Petunjuk untuk diagnosis yang benar adalah perbedaan pada batas dan
bentuk hemangioma dibandingkan dengan trauma. Kalsifikasi seperti bentuk salju atau
phlebolits jarang terjadi, tapi dapat dibedakan dengan trauma. Hemangiomatosis lien
difus adalah keadaan dimana lien membesar dan digantikan hampir seluruhnya oleh
hemangioma. Gambarannya terlihat seperti trauma saat pertama terlihat.

8. Ruptur lien nontraumatik


Ruptur lien nontraumatik jarang terjadi, tapi telah dihubungkan dengan beberapa proses
penyakit. Ini dapat menimbulkan kebingungan, pertama karena kelangkaannya dan kedua
karena dugaan penyebab traumatik. Pemeriksaan teliti terhadap gambar akan menuju
kepada diagnosis yang benar.

9. Sarkoidosis
Sakoidosis adalah penyakit yang tidak diketahui etiologinya yang mana granuloma
muncul di jaringan dan organ terutama pada sistem limfatik. Lien terlibat dalam 24-59%
dari pasien dengan sarkoid, tapi biasanya asimptomatik. Dapat juga menunjukkan gejala
abdominal. Kasus berat dapat menuju kepada hipersplenisme dan ruptur spontan tanpa
etiologi yang jelas. Pada kebanyakan kasus, lien terkena secara difus, dan gambarannya
dapat menyerupai limfoma. Splenomegali tampak pada sekitar sepertiga kasus dan sering
dihubungkan dengan limfadenopati. Nodul hipodens yang terpisah tampak pada CT scan
pada sekitar 15% pasien.

10. Amiloidosis
Lien terlibat pada amiloidosis, penyakit dimana pada sel plasma terjadi penumpukan
amiloid, protein kompleks yang terbentuk terutama dari rantai polipeptida, yang terjadi di
berbagai jaringan dan organ. Amiloidosis dapat terjadi secara primer ataupun sekunder,
berhubungan dengan inflamasi kronik (terutama arthritis reumatoid), dan terjadi
berhubungan dengan myeloma multiple. Lien terkena dalam berbagai bentuk amiloidosis
dan muncul secara difus dan homogen pada kebanyakan pasien. Ini dapat terlihat pada
CT scan dengan kontras, tapi abnormalitas focal yang dapat menyerupai laserasi juga
dapat terjadi. Ruptur lien spontan, yang diyakini sebagai akibat kelemahan kapsul akibat
penumpukan amiloid, telah dilaporkan. Berkurangnya atenuasi pada organ yang terlibat
dapat membantu dalam membedakan amiloid dengan trauma.

11. Infeksi
Bartonella adalah organism gram negatif awalnya dianggap terutama menginfeksi pasien
dengan HIV. Tapi, penelitian terkini telah menunjukkan spesies Bartonella yang dapat
menyebabkan penyakit catscratch. Dua proses primer dari infeksi Bartonella, yang
melibatkan hati dan lien disebut bacillary peliosis hepatis. Secara patologis, basili ini
menyebabkan dilatasi kapiler, yang menyebabkan sejumlah kavitas berdinding tipis yang
berisi darah pada hati dan lien. CT scan abdomen menunjukkan adanya lesi multiple pada
hati dan lien dengan liendenopati dan kemunkinan asites. Lesi dapat bergabung
membentuk lesi multilokus atau berseptum. Ruptur lien spontan telah dilaporkan pada
pasien dengan bacillary peliosis hepatis.

12. Trauma sekunder


Proses-proses yang telah disebutkan di atas dapat menyebabkan ruptur lien, yang
menyebabkan derajat trauma. Lien yang membesar dengan massa tumor atau anemia
dapat terluka dengan trauma ringan seperti jatuh saat berjalan. Hemangioma atau kista
dapat ruptur dengan trauma ringan akibat kelemahan pada kapsul. Kondisi-kondisi ini
dihubungkan dengan hemoperitonium atau perdarahan parenkim dan sulit dibedakan
dengan trauma lien.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan secara tradisional adalah splenektomi. Akan tetapi, splenektomi sedapat
mungkin dihindari, terutama pada anak-anak, untuk menghindari kerentanan permanen terhadap
infeksi. Kebanyakan laserasi kecil dan sedang pada pasien stabil, terutama anak-anak,
ditatalaksana dengan observasi dan transfusi. Kegagalan dalam penatalaksanaan obsevatif lebih
sering terjadi pada trauma grade III, IV, dan V daripada grade I dan II. Pada banyak penelitian,
embolisasi arteri lienalis telah dijelaskan menggunakan berbagai pendekatan. Satu poin utama
dalam pembahasan tentang perbedaan antara embolisasi arteri lienalis utama, embolisasi arteri
lienalis selektif atau superselektif, dan embolisasi arteri lienalis di berbagai tempat. Embolisasi
ini menghambat aliran pada pembuluh yang mengalami perdarahan. Jika pembedahan
diperlukan, lien dapat diperbaiki secara bedah. Tindakan bedah yang dapat dilakukan pada
keadaan rupture lien meliputi splenorafi dan splenektomi.

SPLENORAFI
Splenorafi adalah operasi yang bertujuan mempertahankan lien yang fungsional dengan
teknik bedah. Tindakan ini dapat dilakukan pada trauma tumpul maupun tajam. Tindak bedah ini
terdiri atas membuang jaringan nonvital, mengikat pembuluh darah yang terbuka, dan menjahit
kapsul lien yang terluka. Jika penjahitan laserasi saja kurang memadai, dapat ditambahkan
dengan pemasangan kantong khusus dengan atau tanpa penjahitan omentum.

SPLENEKTOMI
Mengingat fungsi filtrasi lien, indikasi splenektomi harus dipertimbangkan benar. Selain
itu, splenektomi merupakan suatu operasi yang tidak boleh dianggap ringan. Eksposisi lien
sering tidak mudah karena splenomegali biasanya disertai dengan perlekatan pada diafragma.
Pengikatan a.lienalis sebagai tindakan pertama sewaktu operasi sangat berguna.
Splenektomi dilakukan jika terdapat kerusakan lien yang tidak dapat diatasi dengan
splenorafi, splenektomi parsial, atau pembungkusan. Splenektomi parsial bisa terdiri dari eksisi
satu segmen yang dilakukan jika ruptur lien tidak mengenai hilus dan bagian yang tidak cedera
masih vital. Tapi splenektomi tetap merupakan terapi bedah utama dan memiliki tingkat
kesuksesan paling tinggi.
Pengangkatan lien dapat dilakukan pada kondisi berikut :
1. Pecahnya lien dalam kecelakaan karena lien tidak dapat dijahit karena sangat vaskular
dan rapuh oleh karena itu untuk menyelamatkan lien pasien harus diangkat.
2. Pada penyakit kronis misalnya malaria dan Kala Azar, lien sangat membesar sehingga
menghasilkan ketidaknyamanan kepada pasien karena itu lien harus diangkat.

Efek Pengangkatan Lien :


1. Sel darah merah harus benar-benar dihitung (seharusnya mengalami peningkatan sel
darah merah) karena penghancuran sel darah merah oleh lien terhenti, tapi mengejutkan
karena jumlah sel darah merah yang dihitung akan sedikit berkurang yaitu anemia ringan.
2. Sel darah putih dan trombosit akan meningkat.
3. Mekanisme pertahanan oleh sistem kekebalan tubuh akan kurang.
4. Tidak akan ada pertahanan terhadap tetanus karena lien satu-satunya tempat di mana ada
kekebalan terhadap tetanus.
Seperti yang terlihat dari poin di atas setelah pengangkatan lien orang dapat hidup
normal, kecuali dia harus sangat berhati-hati terhadap infeksi tetanus.
Penatalaksanaan Pasien dengan Splenektomi
Tabel 3. Penatalaksanaan pasien dengan splenektomi
Sumber : Jones, P., 2010, Postsplenectomy Infection Strategies for prevention in general practice.
Australian Family Physician Vol. 3. No.6. Diakses
http://www.racgp.org.au/afp/201006/201006jones.pdf pada tanggal 20-06-2011

SPLENOSIS

Splenosis adalah autotransplantasi jaringan lien setelah splenektomi traumatik atau


pembedahan. Splenosis biasanya terjadi setelah rupture akibat trauma dari lien dan didefinisikan
sebagai autotransplantasi jaringan lien terhadap ectopic sites (bukan tempatnya). Paling sering
terjadi sebagai nodul intraperitoneal yang ditemukan baik kebetulan atau setelah ada gejala
komplikasi, dan mungkin akan menjadi jelas beberapa tahun setelah trauma. Splenosis
kebanyakan tanpa gejala yang menyebabkan dilakukannya investigasi yang tidak perlu dalam
rangka untuk membedakannya dari lesi jinak atau ganas lainnya. Ketika terdapat pada beberapa
tempat (dengan beberapa manifestasi) yang terlibat, keadaannya menjadi lebih kompleks.
Splenosis terdapat pada satu hingga dua pertiga pasien yang menjalani splenektomi
karena trauma. Implantasi dari serpihan (bagian) lien paling sering terjadi pada permukaan usus
halus dan usus besar, omentum yang lebih besar, peritoneum parietalis, mesenterium, dibawah
permukaan diafragma, dan lebih jarang dalam kasus-kasus trauma berat, terjadi pada intrahepatik
atau bahkan intrathoracic. Meskipun splenosis jarang dapat menimbulkan gejala sebagai nyeri
perut atau nyeri testis yang samar-samar, obstruksi usus karena adanya perlengketan, perdarahan
saluran cerna dan pecah spontan, biasanya hal tersebut merupakan ditemukan secara tidak
sengaja selama operasi, baik dengan laparoskopi ataupun pencitraan. Jika kita telah
mempertimbangkan splenosis, tanda-tanda dari sisa jaringan limpa sebagai tidak adanya Howell-
Jolly bodies, siderocytes, Heinz bodies dan sel darah merah pada hapusan darah perifer dapat
membantu. Kesimpulannya, semua pasien dengan riwayat operasi atau trauma limpa harus
dipertimbangkan hipotesis splenosis dalam diagnosis diferensial dari massa yang baru
ditemukan.

Gambar 24. Gambar intraoperatif menampakkan massa kebiruan-merah besar dan implan kecil
dengan melibatkan beberapa permukaan peritoneum pelvis menunjukkan jaringan limpa ektopik.
Sumber : Jorge C. Ribeiro, Carlos M. Silva, Americo R. Santos., 2006. Splenosis. A Diagnosis to
be Considered. International Braz J Urol Vol. 32 (6): 678-680, November - December, 2006.
Diakses dari http://www.scielo.br/pdf/ibju/v32n6/v32n6a08.pdf pada tanggal 05-07-11

Splenosis adalah kondisi jinak yang umumnya terjadi setelah limpa pecah melalui trauma
atau operasi. Splenosis biasanya ditemukan kebetulan dan biasanya tidak mempunyai gejala dan
tidak ada terapi yang diindikasikan. Namun, secara radiografi splenosis dapat menyerupai
keganasan, dan kebanyakan pasien harus menjalani berbagai macam pemeriksaan untuk
menentukan diagnosis penyakit yang dimilikinya. Metode diagnostik pilihan adalah skintigrafi
nuklear, khususnya, panas-yang memindai sel darah merah rusak. Splenosis biasanya terjadi
dalam rongga perut dan panggul, tetapi beberapa pasien telah dilaporkan dengan lesi splenosis
pada intrathoracic, subkutan, intrahepatik dan intrakranial.

OVERWHELMING POST SPLENECTOMY INFECTION


Pasien yang liennya telah diangkat merupakan pasien dengan risiko infeksi yang
signifikan, karena lien adalah jaringan limfoid terbesar dalam tubuh. Infeksi postsplenectomy
berat (OPSI) adalah proses fulminan serius yang membawa tingkat kematian yang tinggi.
Patogenesis dan risiko berkembangnya infeksi postsplenectomy berat (OPSI) yang fatal tetap
tidak jelas.

Gejala Infeksi Postsplenectomy Berat (OPSI)


King dan Shumacker pertama kali mendeskripsikan sepsis akibat bakteri setelah
splenektomi pada bayi dan anak-anak pada tahun 1952. Kemudian muncul bahwa sindrom ini
setara terjadi pada orang dewasa asplenic. Gejala yang tidak spesifik dan gejala fisik ringan
postsplenectomy muncul pada tahap awal OPSI, yang meliputi kelelahan, kulit menjadi
berwarna, penurunan berat badan, sakit perut, diare, sembelit, mual, dan sakit kepala. Pneumonia
dan meningitis concomitants sering lebih parah. Perjalanan klinis menjadi cepat dan dapat
berkembang menjadi koma dan kematian dapat terjadi dalam waktu 24 sampai 48 jam, karena
tingginya insiden shock, hipoglikemia, serta asidosis yang ditandai dengan gangguan elektrolit,
distress pernapasan, dan koagulasi intravaskular diseminata (DIC). Angka kematian adalah 50%
-70% meskipun dengan terapi agresif yang mencakup cairan infus, antibiotik, vasopressor,
steroid, heparin, Packed Red Cell (PRC), trombosit, cryoprecipitates, dan Fresh Frozen Plasma
(FFP). Perjalanan klinis kemudian sering disebut cermin dari sindrom Waterhouse-Friderichsen
(WFS), dan perdarahan adrenal bilateral dapat ditemukan pada otopsi. Mekanisme yang
menghubungkan splenektomi untuk WFS tidak diketahui tetapi kemungkinan penyebab OPSI
termasuk hilangnya fungsi fagositik lien, penurunan kadar imunoglobulin serum, penekanan
kepekaan limfosit, atau perubahan dalam sistem opsonin.

Tabel 2. Manifestasi Klinis Infeksi Postsplenectomy Berat (OPSI)


Infeksi samar (cryptic) (fokus tidak jelas)
Prodromal singkat, tidak spesifik
Bakteremia massif dengan organisme berkapsul
Shock septic dengan koagulasi intravaskular diseminata (DIC)
Virulensi: kematian 50% sampai 70%
Kematian terjadi kemudian dalam 24 hingga 48 jam
Sumber : Okabayashi, T., Hanazaki, K., 2008, Diakses dari www.wjgnet.com pada tanggal 20-06-11

Infeksi postsplenectomy berat telah didefinisikan sebagai septikemia dan / atau meningitis,
biasanya fulminan tetapi belum tentu fatal, dan terjadi setiap saat setelah pengangkatan lien.
Sepsis pada pasien asplenic dapat disebabkan oleh organisme apapun, baik itu bakteri,
virus, jamur, atau protozoa, namun organisme yang berkapsul sering berhubungan dengan sepsis
pada pasien dengan pengangkatan lien. Organisme yang berkapsul seperti Streptococcus
pneumoniae sangat resisten terhadap fagositosis, tapi dengan cepat diatasi dengan adanya atau
bahkan dengan sejumlah kecil jenis-antibodi spesifik. Tanpa lien, produksi antibodi segera
terhadap antigen yang baru ditemui terganggu dan bakteri dapat berkembang biak cepat. Oleh
karena itu, risiko penyakit pneumokokus invasif pada pasien tanpa lien adalah 12-25 kali lebih
besar dari populasi pada umumnya. Penyakit invasif pada pasien asplenic karena organisme yang
berkapsul seperti Streptcoccus pneumoniae (50% -90%), Neisseria meningitides, Hemophilus
influenzae, dan Streptococcus pyogens (25%) menyebabkan pertumbuhan bakteri yang
berlebihan tanpa hambatan.

Pencegahan terhadap OPSI


Pengobatan OPSI umumnya agresif karena sifat serius dari kondisi yang dialami pasien
dan mortalitas yang terkait. Terdiri dari cairan infus, antibiotik, vasopressor, steroid, heparin,
Packed Red Cell (PRC), trombosit, cryoprecipitates, dan Fresh Frozen Plasma (FFP), mungkin
gagal untuk mengubah sindrom septik fulminan ini. Oleh karena itu, pencegahan OPSI sangat
penting bagi pasien immunocompromised yang telah menjalani splenektomi. Strategi
pencegahan termasuk imunisasi dan pendidikan juga penting bagi pasien yang liennya telah
diangkat. Secara fungsional atau secara anatomi pasien asplenic mengalami peningkatan risiko
infeksi dari organisme yang berkapsul dibandingkan dengan populasi umum. Vaksin yang
tersedia untuk organisme yang paling umum termasuk vaksin pneumokokus 23-valent
polisakarida, vaksin pneumokokus 7-valent protein conjugated, vaksin Hemophilus influenzae
tipe B, dan vaksin meningokokus. Vaksin pneumokokus yang mengandung polisakarida
direkomendasikan untuk semua orang dewasa pada peningkatan risiko infeksi pneumokokus, dan
khususnya pasien asplenic. Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit di Amerika Serikat
(vaksinasi ulang setiap 6 tahun) dan Komite Inggris untuk Standar dalam Hematologi (vaksinasi
ulang setiap 5-10 tahun) direkomendasikan untuk vaksinasi ulang pencegahan OPSI, pada saat
yang sama ditekankan perlunya interval yang lebih pendek antara vaksinasi ulang dengan
vaksinasi sebelumnya untuk menjaga konsentrasi antibodi dengan kemungkinan untuk
memberikan perlindungan pada tingkat yang memadai. Sayangnya, sepsis pneumokokus yang
fatal telah dilaporkan pada pasien asplenic. Namun vaksinasi tetap dianjurkan, untuk
menawarkan perlindungan pasien yang teah diangkat liennya karena risiko mereka terhadap
pengembangan penyakit fatal dan karena vaksin itu sendiri menimbulkan risiko minimal.
Tabel 4. Rekomendasi Pencegahan Infeksi Pada Pasien Asplenik
Sumber : Sumber : Jones, P., 2010, Postsplenectomy Infection Strategies for prevention in
general practice. Australian Family Physician Vol. 3. No.6. Diakses
http://www.racgp.org.au/afp/201006/201006jones.pdf pada tanggal 20-06-2011

Jockovich melaporkan tidak ada pasien yang mengalami OPSI jika divaksinasi sebelum
splenektomi, namun OPSI berkembang pada 10,4% dari pasien yang tidak menerima vaksinasi.
Selain itu, OPSI berkembang pada 5% dari pasien yang diberi vaksinasi setelah splenektomi.
Untuk splenektomi elektif, vaksin harus diberikan minimal 2 minggu sebelum operasi.
Akhirnya, pendidikan pasien merupakan strategi wajib untuk mencegah OPSI. Penelitian telah
menunjukkan bahwa dari 11% sampai 50% dari pasien yang telah menjalani pengangkaan lien
tetap tidak menyadari risiko mereka meningkat untuk terkena infeksi serius atau tindakan
kesehatan yang tepat yang harus dilakukan. Pasien harus memahami keparahan potensi OPSI dan
kemungkinan perkembangan penyakit yang cepat.
Tabel 5. Rekomendasi Vaksinasi Profilaksis OPSI
Sumber : http://www.surgicalcriticalcare.net/Guidelines/splenectomy_vaccines.pdf diakses pada
tanggal 20-06-2011

Dokter harus menginformasikan setiap profesional kesehatan baru, termasuk dokter gigi,
status asplenic. Secara khusus, adanya peningkatan Howell-Jolly tubuh pada apusan darah tepi
harus disorot pada laporan laboratorium untuk menginformasikan dokter bahwa pasien mungkin
mengaami hyposplenism, informasi ini dan maknanya pada gilirannya harus disampaikan kepada
pasien. Selain itu, saran bagi individu asplenic akan dikeluarkan dengan formulir
dari tanda medis, seperti kartu atau gelang, yang memiliki dua tujuan. Pertama, harus
memberikan sebuah pengingat konstan untuk individu dari kondisi mereka dan, kedua,
pengetahuan tentang negara mereka mungkin penting bagi petugas medis jika terjadi keadaan
darurat.

Prognosis
Hasil dari penatalaksanaan baik operatif ataupun nonoperatif dari ruptur lien
penyembuhan 90% lebih baik pada pasien yang ditatalaksana secara nonoperatif. Angka
kematian yang berhubungan dengan trauma lien berkisar antara 10% hingga 25% dan biasanya
akibat trauma pada organ lain dan kehilangan darah yang banyak.

Kesimpulan
Lien merupakan organ yang paling sering terluka pada trauma tumpul abdomen atau
trauma toraks bagian kiri bawah. Penyebab utamanya adalah cedera langsung atau tidak
langsung, yaitu kecelakaan atau kekerasan lain, iatrogenik ataupun spontan pada penyakit lien.
Tanda-tanda trauma lien yaitu rudapaksa dalam anamnesis, tanda kekerasan di pinggang
kiri atau perut kiri atas, patah tulang iga kiri bawah, tanda umum perdarahan (hipotensi,
takikardi, anemia), tanda masa di perut kiri atas, tanda cairan bebas di dalam rongga perut, dan
tanda iritasi peritoneum lokal (kehr) atau iritasi umum.
Pada foto abdomen mungkin tampak gambaran patah tulang iga sebelah kiri, peninggian
diafragma kiri, bayangan lien yang membesar, dan adanya desakan terhadap lambung ke arah
garis tengah. Pemeriksaan CT Scan, payaran radionukleotida, atau angiografi jarang berguna
pada keadaan darurat. Namun CT Scan masih merupakan pemeriksaan pilihan utama karena
sensitivitas pada CT Scan tinggi.
Pada pemeriksaan akan tampak sebagai daerah yang kurang densitasnya dibanding lien.
Daerah hitam melingkar atau ireguler dalam lien menunjukkan hematom atau laserasi, dan area
seperti bulan sabit abnormal pada tepi lien menunjukkan subkapular hematom. USG abdomen
akan tampak hipoechoic pada perdarahan akut, dan pada pemeriksaan angiografi akan tampak
ekstravasasi agen kontras ke parenkim lien.
Setelah diagnosis ditegakkan, trauma lien dapat ditatalaksana konservatif ataupun dengan
pembedahan. Pembedahan yang dapat dilakukan yaitu splenorafi dan splenektomi. Splenektomi
dilakukan jika terdapat kerusakan lien yang tidak dapat diatasi dengan splenorafi.

Anda mungkin juga menyukai