Anda di halaman 1dari 6

A.

Patomekanisme
Myoma uteri (uterine fibroid) merupakan tumor monoclonal yang berasal dari
jaringan otot polos uterus (myometrium). Myoma merupakan tumor jinak yang
disebabkan oleh terbenamnya myofibroblasi dalam matriks extraseluler melebihi
batas normal sehingga terbentuk suatu massa (Vilos, et al., 2015). Meskipun begitu,
Etiologi yang pasti terjadinya mioma uteri saat ini belum diketahui. Mioma uteri
banyak ditemukan pada usia reproduktif dan angka kejadiannya rendah pada usia
menopause, dan belum pernah dilaporkan terjadi sebelum menarche. Diduga
penyebab timbulnya mioma uteri paling banyak oleh stimulasi hormon estrogen dan
gangguan genetic. Dalam proses terjadinya myoma terdapat banyak teori salah
satunya adalah teori Cell nest atau teori genitoblast, teori ini menyatakan bahwa untuk
terjadinya mioma uteri harus terdapat dua komponen penting yaitu: sel nest ( sel muda
yang terangsang) dan estrogen (perangsang sel nest secara terus menerus) (Medikare,
et al., 2011).
Awal mulanya pembentukan tumor adalah terjadinya mutasi somatik dari
sel-sel miometrium. Mutasi ini mencakupi rentetan perubahan pada
kromosom, baik secara parsial maupun secara keseluruhan. Aberasi
kromosom ditemukan pada 40-50% dari mioma uteri yang diperiksa, dan kromosom
yang ditemukan meliputi ktomosom 3, 6, 7, 13, trisomy 12 dan monosomy 22 (Hodge
& Morton, 2007).
Pada myoma uteri, kecepatan pembelahan sel dipengaruhi oleh kadar estrogen
dan progesterone sehingga banyak kasus myoma yang menyusut setelah manopouse.
Secara fisiologis, estrogen estradiol berpotensi memproduksi PR dengan bantuan ER-
. PR merupakan gen penting dalam respon jaringan fibrous terhadap progesterone
yang diproduksi oleh ovarium. Sehingga PR dan progesterone diperlukan dalam
pertumbuhan tumor, proliferasi sel dan meningkatkan formasi matriks ektraseluler.
Apabila progesterone dan PR, Estrogen dan ER- tidak cukup untuk meningkatkan
perkembangan myoma (Vilos, et al., 2015).
Mioma memiliki reseptor estrogen yang lebih banyak dibanding miometrium
normal. Teori cell nest atau teori genitoblat membuktikan dengan pemberian estrogen
ternyata menimbulkan tumor fibromatosa yang berasal dari sel imatur. Mioma uteri
terdiri dari otot polosdan jaringan yang tersusun seperti konde diliputi pseudokapsul.
Mioma uteri lebih sering ditemukan pada nulipara, faktor keturunan juga berperan.
Perubahan sekunder pada mioma uteri sebagian besar bersifaf degeneratif karena
berkurangnya aliran darah ke mioma uteri. Menurut letaknya, mioma terdiri dari
mioma submukosum, intramular dan subserosum.

B. Penegakan Diagnosis
a. Anamnesis
Dalam anamnesis dicari keluhan utama serta gejala klinis mioma lainnya,
factor risiko serta kemungkinan komplikasi yang terjadi. Biasanya teraba massa
menonjol keluar dari jalan lahir yang dirasakan bertambah panjang serta adanya
riwayat pervaginam terutama pada wanita usia 40-an. Kadang juga dikeluhkan
perdarahan kontak (Hart & Mc, 2000).
Dari penelitian multisenter yang dilakukan pada 114 pasien ditemukan
44% gejala perdarahan, yang paling sering adalah jenis mioma submukosa,
sekitar 65 % wanita dengan mioma mengeluh dismeneroe, nyeri perut
bagian bawah, serta nyeri pinggang. Tergantung dari lokasi dan arah pertumbuhan
mioma, maka kandung kemih, ureter dan usus dapat
terganggu, dimana peneliti melaporkan keluhan disuri ( 14 % ), keluhan
obstipasi (13 % ). Mioma uteri sebagai penyebab infertilitas hanya
dijumpai pada 2 10 % kasus. Infertilitas terjadi sebagai akibat obstruksi
mekanis dari tuba fallopi. Abortus spontan dapat terjadi bila mioma
menghalangi pembesaran uterus, dimana menyebabkan kontraksi uterus
yang abnormal, dan mencegah terlepas atau tertahannya uterus didalam
panggul.
b. Pemeriksaan Fisik
Mioma uteri mudah ditemukan melalui pemriksaan bimanual rutin uterus.
Diagnosis mioma uteri menjadi jelas bila dijumpai gangguan kontur uterus oleh
satu atau lebih massa yang licin, tetapi sering sulit untuk memastikan bahwa
massa seperti ini adalah bagian dari uterus (Joedsapoetro, 2009).
c. Pemeiksaan Penunjang
1) Pemeriksaan Labratorium
Anemia merupakan akibat paling sering dari mioma. Hal ini
disebabkan perdarahan uterus yang banyak dan habisnya cadangan zat besi.
Kadang-kadang mioma menghasilkan eritropoetin yang pada beberapa kasus
menyebabkan polisitemia. Adanya hubungan antara polisitemia dengan
penyakit ginjal diduga akibat penekanan mioma terhadap ureter yang
menyebabkan peninggian tekanan balik ureter dan kemudian menginduksi
pembentukan eritropoietin ginjal (Hart & Mc, 2000).
2) Ultrasonografi
Ultrasonografi transabdominal dan transvaginal bermanfaat dalam
menetapkan adanya mioma uteri. Ultrasonografi transvaginal terutama
bermanfaat pada uterus yng kecil. Uterus atau massa yang paling besar paling
baik diobservasi melalui ultrasonografi transabdominal. Mioma uteri secara
khas menghasilkan gambaran ultrasonografi yang mendemonstrasikan
irregularitas kontur maupun pembesaran uterus. Adanya kalsifikasi ditandai
oleh fokus-fokus hiperekoik dengan bayangan akustik. Degenerasi kistik
ditandai adanya daerah yang hipoekoik (Hart & Mc, 2000).
3) Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI sangat akurat dalam menggambarkan jumlah,ukuran dan lokasi
mioma, tetapi jarang diperlukan. Pada MRI, mioma tampak sebagai massa
gelap terbatas tegas dan dapat dibedakan dari miometrium yang normal. MRI
dapat mendeteksi lesi sekecil 3 mm yang dapat dilokalisasi dengan jelas,
termasuk mioma submukosa. MRI dapat menjadi alternatif ultrasonografi pada
kasus - kasus yang tidak dapat disimpulkan (Hart & Mc, 2000).
C. Penatalaksanaan
Kebanyakan kasus dari myomas uteri adalah asimptomatik dan tidak
membutuhkan terapi, meskipun begitu 20-50% menunjukan gejala klinis seperti
abnormal uterine bleeding, anemia defisiensi besi, dana tau gangguan di organ
kewanitaan. Pengobatan myoma bergantung pada keadaan klinis pasien, saat ini
terdapat 3 pilihan terapi yaitu terapi konservatif, pembedahan dan secara medis
(Vilos, et al., 2015).
a. Terapi Konservatif
Penderita dengan mioma yang kecil dan tanpa gejala tidak memerlukan
pengobatan, tetapi harus diawasi perkembangan tumornya. Jika mioma
lebih besar dari kehamilan 10 12 minggu, tumor yang berkembang cepat,
terjadi torsi pada tangkai, perlu diambil tindakan operasi (Bradley & Voorhis,
2001).
b. Terapi Pembedahan
Tindakan pembedahan yang dapat dilakukan pada pasien myoma uteri adalah
(Carranza-Mamane, et al., 2015):
1) Myomektomi
Miomektomi adalah pengambilan sarang mioma saja tanpa
pengangkatan uterus, misalnya pada mioma submukosum pada mioma geburt
dengan cara akstirpasi lewat vagina. Apabila miomektomi dikerjakan karena
keinginan memperoleh anak, maka kemungkinan akan terjadi kehamilan 30-
50%. Pengambilan sarang mioma subserosum dapat dengan mudah
dilaksanakan apabila tumor bertangkai.
Tindakan ini seharusnya hanya dibatasi pada tumor dengan tangkai
yang jelas yang dengan mudah dapat dijepit dan diikat. Bila tidak mioma dapat
diambil dari uterus pada waktu hamil atau melahirkan, sebab perdarahan dapat
berkepanjangan dan terkadang uterus dikorbankan.
2) Histerektomi
Histerektomi adalah pengangkatan uterus yang umumnya merupakan
tindakan terakhit. Tindakan ini terbaik untuk wanita berumur lebih dari 40
tahun dan tidak menghendaki anak lagi atau tumor yang lebih besar dari
kehamilan 12 minggu disertai adanya gangguan penekanan atau tumor yang
cepat membesar. Histerektomi dapat dilaksanakan perabdomen atau
pervaginum. Adanya prolapsus uteri akan mempermudah prosedur
pembedahan. Histerektomi total umumnya dilakukan dengan alasan mencegah
akan timbulnya karsinoma serviks uteri. Histeroktomi supra vaginal hanya
dilakukan apabila terdapat kesukaran teknis dalam mengangkat uterus
keseluruhan
c. Terapi non pembedahan
Terapi yang dapat memperkecil volume atau menghentikan pertumbuhan
mioma uteri secara menetap belum tersedia pada saat ini. Terapi medikamentosa
masih merupakan terapi tambahan atau terapi pengganti sementara dari operatif.
Preparat yang selalu digunakan untuk terapi medikamentosa adalah analog
GnRHa (Gonadotropin Realising Hormon Agonis), danazol, gestrinon,
tamoksifen, goserelin, antiprostaglandin, agen-agen lain seperti gossypol dan
amantadine (Chegini, et al., 2003).
D. Komplikasi
Komplikasi pada myoma uteri yang dapat terjadi adalah degenerasi ganas dan terjadi
torsi (putaran tangkai)
1) Degenerasi Ganas
Mioma uteri yang menjadi Leimiosarkoma ditemukan hanya 0,32 0,6 %
dari seluruh mioma, serta merupakan 50 75 % dari seluruh sarkoma uterus.
Keganasan umumnya baru ditemukan pada pemeriksaan histology uterus yang
telah diangkat. Kecurigaan akan keganasan uterus apabila mioma uteri cepat
membesar dan apabila terjadi pembesaran sarang mioma dalam menopause
(Wiknjosastro, 1999).
2) Putaran Tangkai (Torsi)
Sarang mioma yang bertangkai dapat mengalami torsi, timbul gangguan
sirkulasi akut sehingga mengalami nekrosis. Dengan demikian terjadilah
syndrome abdomen akut. Jika torsi terjadi perlahan-lahan gangguan akut tidak
terjadi. Hal ini hendaknya dibedakan dengan suatu keadaan dimana terdapat
banyak sarang mioma dalam rongga peritoneum (Wiknjosastro, 1999).
Sarang mioma dapat mengalami nekrosis dan infeksi yang diperkirakan
karena gangguan sirkulasi darah padanya. Misalnya terjadi pada mioma yang
menyebabkan perdarahan berupa metroragia disertai leukore dan gangguan
gangguan yang disebabkan oleh infeksi dari uterus sendiri (Wiknjosastro, 1999).
E. Prognosis
Histerektomi dengan mengangkat seluruh mioma adalah kuratif. Myomectomi
yang extensif dan secara significant melibatkan miometrium atau menembus
endometrium, maka diharuskan SC (Sectio caesaria) pada persalinan berikutnya.
Myoma yang kambuh kembali (rekurens) setelah myomectomi terjadi pada 15-40%
pasien dan 2/3nya memerlukan tindakan lebih lanjut (Vilos, et al., 2015).
Bradley, J. & Voorhis, V., 2001. Management options for uterine fibroids. In: M. Chesmy, ed.
Clinical obstetric and Gynecology. philadelphia: Lippincott williams and Wilkins, pp.
314-315.
Carranza-Mamane, B., Havelock, J. & Hemmings, R., 2015. The Management of Uterine
Fibroids in Women With Otherwise Unexplained Infertility. J Obstet Gynaecol Can,
37(3), pp. 277-285.
Chegini, N. et al., 2003. Gene expression profile of leiomyoma and myometrium and the
effect of gonadotropin releasing hormone analogue therapy. J Soc Gynecol Investig,
10(3), pp. 161-71.
Hart, M. & Mc, K. D., 2000. Fibroid and Gynaecology Ilustrated. London: Churcill
Livingstone.
Hodge, J. C. & Morton, C. C., 2007. Genetic heterogeneity among uterine leiomyomata:
insights into malignant progression. Human Molecular Genetic, 16(1), pp. R7-R13.
Joedsapoetro, M., 2009. TUmor Jinak pada Alat- Alat Genital. 2 ed. Jakarta: Yayasan Bina
Pustaka.
Medikare, V. et al., 2011. The Genetic Bases of Uterine Fibroids; A Review. J Reprod Infertil,
12(3), pp. 181-191.
Vilos, G. A., Allaire, C., Labarge, P.-Y. & Leyland, N., 2015. The Management of Uterine
Leiomyomas. J Obstet Gynaecol Can, 37(2), pp. 157-78.
Wiknjosastro, H., 1999. Ilmu Kandungan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka.

Anda mungkin juga menyukai