Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tuberkulosis tulang belakang atau dikenal juga dengan spondilitis


tuberkulosa merupakan peradangan granulomatosa yang bersifat kronik
destruktif yang disebabkan oleh mikrobakterium tuberkulosa. Spondilitis
tuberkulosa dikenal juga sebagai penyakit Pott atau paraplegi Poot. Penyakit
ini merupakan penyebab paraplegia terbanyak setelah trauma, dan banyak
dijumpai di Negara berkembang.

Tuberkulosis tulang dan sendi 50% merupakan spondilitis tuberkulosa.


Pada negara yang sedang berkembang, sekitar 60% kasus terjadi pada usia
dibawah usia 20 tahun. Sedangkan pada negara maju, lebih sering mengenai
pada usia yang lebih tua. Meskipun perbandingan antara pria dan wanita
hampir sama, namun biasanya pria lebih sering terkena dibanding wanita yaitu
1,5:2,1. Di Indonesia tercatat 70% spondilitis tuberkulosis dari seluruh
tuberkulosis tulang yang terbanyak di daerah Ujung Pandang. Umumnya
penyakit ini menyerang orang-orang yang berada dalam keadaan sosial
ekonomi rendah (Admin, 2008, http:/www.medicine and lunex.com diperoleh
tanggal 22 juli 2008).

Seseorang yang menderita spondilitis akan mengalami kelemahan


bahkan kelumpuhan atau paling kurang mengalami kelemahan tulang, dimana
dampak tersebut akan mempengaruhi aktifitas klien, baik sebagai individu
maupun masyarakat.
Perawat berperan penting dalam mengidentifikasikan masalah-masalah
dan mampu mengambil keputusan secara kritis menangani masalah tersebut
serta mampu berkolaborasi dengan tim kesehatan yang lain untuk dapat
memberikan asuhan keperawatan yang optimal.
Penulis tertarik menyusun laporan kasus mengenai asuhan keperawatan
dengan gangguan sistem muskuloskletal : spondilitis tuberkulosisi di Ruang
Saraf (L) RSUD Dr. Soedarso Pontianak dari data tersebut diatas untuk
meningkatkan asuhan keperawatan yang sistematis, menyeluruh dan
berkesinambungan yang bertujuan untuk mencegah, meningkatkan dan
mempertahankan stasus kesehatan klien.
B. Tujuan Penulisan

1. Memperoleh suatu gambaran tentang penyakit spondilitis tuberkulosis.


2. Memperoleh suatu gambaran tentang asuhan keperawatan pada klien dengan
spondilitis tuberkulosis.
3. Mengaplikasikan teori kedalam praktek serta menetapkan asuhan
keperawatan pada klien dengan gangguan sistem muskuloskletal : spondilitis
tuberkulosis.
4. Menerapakan keperawatan dengan pendekatan dan memperoleh pengalaman
yang nyata mengenai pelaksanaan proses keprawatan klien dengan
spondilitis tuberkulosis.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. ANATOMI DAN FISIOLOGI TULANG BELAKANG

Medulla spinalis dikelompokan dan dinamai sesuia dengan daerah yang


ditempatinya diantaranya tujuh vertebra servikalis, dua belas vertebra torakalis,
lima vertebra sakralis, lima vertebra lumbalis dan empat vertebra koksigues. Dari
medulla spinalis ini keluar (dan masuk) saraf spinal melalui foramen
intervertebralis diantaranya 8 dari servikalis, 12 dari torakalis, 5 dari lumbal, 5
dari sacral dan 1 dari koksigeus.

1. Kolumna vertebralis

Kolumna vertebralis atau rangkaian tulang belakang adalah sebuah stuktur


lentur yang terbentuk oleh sejumlah tulang yang disebut dengan ruas tulang
belakang dimana berhubungan kokoh satu sama lain, tetapi tetap dapat
menghasilkan gerakan terbatas satu sama lain.. Diantara tiap dua ruas tulang
belakang terdapat bantalan tulang rawan. Panjang rangkaian tulang belakang pada
orang dewasa dapat mencapai 57 sampai 67 sentimeter. Seluruhnya terdapat 33
ruas tulang, 24 buah diantaranya adalah tulang-tulang terpisah dan 9 ruas sisanya
bergabung membentuk 2 tulang (Price C. Evelyn, 2002, hlm 56 dan Watson
Roger, 2002, hlm 156).

Kolumna vertebralis merupakan tulang yang tidak beraturan dan bentuk


dari tiap-tiap ruas tulang belakang pada umumnya sama, hanya ada perbedaannya
sedikit tergantung pada kerja yang di tanganinya.

Ruas-ruas ini terdiri atas beberapa bagian yaitu :

1. Badan Ruas, merupakan bagian yang terbesar, bentuknya tebal dan kuat
terletak disebelah depan
2. Lengkungan Ruas, bagian ini melingkari dan melindungi lubang ruas tulang
belakang, terletak disebelah belakang, pada bagian ini dapat beberapa
benjolan, yaitu :
1) Prosesus spinosus / taju duri, terdapat di tengah-tengah lengkungan ruas
menonjol kebelakang.
2) Prosesus tranversum / taju sayap, terdapat disamping kiri dan kanan
lengkung ruas.
3) Prosesus artikulasi / taju penyendi, membantu persedian dengan ruas
tulang belakang

Ruas tulang belakang ini tersusun dari atas kebawah dan diantara
masing-masing ruas dihubungkan oleh tulang rawan yang disebut dengan
cakram antara ruas sehingga tulang belakang bisa tegak dan membungkuk,
disamping itu disebelah depan dan di belakangnya terdapat kumpulan serabut-
serabut kenyal yang memperkuat kedudukan ruas tulang belakang (Syaifudin,
1997, hlm 21).

Bagian dari ruas tulang belakang meliputi :

a. Vetebra servikalis (tulang leher) ada 7 ruas

Ketujuh vertebra servikalis merupakan vertebra terkecil dan dapat dengan


mudah dikenali karena proseksus tranversusnya mengandung foramina untuk
tempat lewatnya arteri vertebralis.

Ruas pertama vertebra servikalis disebut atlas yang memungkinkan kepala


untuk menganguk. Ruas kedua disebut prosesus odontoid (aksis) yang
memungkinkan kepala untuk berputar kekiri dan kekanan.Ruas ketujuh
mempunyai taju yan disebut prosesus Prominan.

b. Vertebra torakalis (tulang punggung) terdiri dari 12 ruas

Kedua belas vertebra torakalis lebih besar dari vertebra servikalis dan
ukurannya semakin besar dari atas ke bawah, pada bagian dataran sendi sebelah
atas, bawah, kiri, dan kanan membentuk persendian dari tulang iga.

c. Vertebra lumbalis (tulang pinggang) terdiri dari 5 ruas

Kelima vertebra lumbalis merupakan vertebra paling besar dan tidak


mempunyai segi untuk berartikulasi dengan iga. Prosesus spinosusnya besar dan
kuat dan merupakan perlekatan otot.

d. Vertebra sakralis (tulang kelangkangan) terdiri dari 5 ruas

Kelima vertebralis sakralis bergabung menjadi satu tulang besar yang


disebut sacrum. Di samping kiri dan kanannya terdapat lubang-lubang kecil 5
buah yang disebut foramen sakralis. Os sacrum menjadi dinding bagian tulang
belakang dari rongga panggul.

e. Vertebra koksigilis (tulang ekor) terdiri dari 4 ruas


Tulang koksiges merupakan tulang kecil berbentuk segitiga yang terdiri
dari ronnga panggul, dapat bergerak sedikit karena membentuk persendiaan
dengan sakrum (Watson Roger, 2002, hlm 158-163 dan Syaifuddin, 1997, hlm
21-22).

2. Saraf-Saraf Spinal

Medula spinalis terdiri dari 31 segmen jaringan saraf dan masing-


masing memiliki sepasang saraf spinal yang keluar dari kanalis vertebralis
melalui foramina intervertebralis (lubang pada tulang bertebra). Saraf-saraf
spinal diberi nama sesuai dengan dengan foramina intervertebralis tempat
keluarnya saraf-saraf tersebut, kecuali saraf servikal pertama yang keluar
diantara tulang oksipital dan vertebra servikal pertama.

Dalam medulla spinal keluar 31 pasang saraf, tediri dari :

a. Servikal : 8 pasang

b. Torakal : 12 pasang

c. Lumbal : 5 pasang

d. Sakral : 5 pasang

e. Koksigial : 1 pasang

Pada semua saraf spinal tersebar ke segmen-segmen tubuh tertentu


keculi bagian torakal, saraf-saraf spinal bagian ventral ini saling terjalin
sehingga menbentuk jalinan saraf yang disebut pleksus. Dengan demikian
pleksus yang terbentuk adalah :

a. Pleksus servikalis. Dibentuk oleh cabang-cabang saraf servikal yang


pertama (C1-C4), cabang ini berkerja sama dengan nervus vagus dan nervus
assesoris yang menpersarafi otot-otot leher dan bahu, dan juga menpersarafi
nervus frenikus yang menpersarafi diagframa.

b. Pleksus brakialis. Dibentuk dari segmen servikal 4 sampai torakal kesatu


yang menpersarafi ekstermitas atas.

Cabang-cabangnya pada lengan yang penting adalah :

1) Saraf radial, terletak di sekeliling humerus bagian belakang dan sisi


terluar lengan bawah dimana menspersarafi otot-otot ekstensi siku,
pergelangan tangan, dan tangan. Cedera saraf radial dapat
mengakibatkan wrist-droop, yaitu suatu keadaan di man sendi fleksi
tidak dapat di ekstensikan.
2) Saraf ulnar dan medial masing-maisng terletak di sisi dalam dan
pada pertengahan dan menpersarafi otot-otot fleksor pergelangan
tangan dan tangan. Cedera pada daerah tersebut dapat menyebabkan
hiperekstensi dan tangan seperti mencakar (claw-like)
3) Saraf terkecil keempat, yaitu saraf muskulokutaneus mempersarafi
fleksor sendi siku bisep.

c. Saraf saraf torakal tidak membentuk pleksus tetapi keluar dari ruang
interkosta sebagai saraf interkostalis. Saraf-saraf ini mempersarafi otot-otot
abdomen, otot dada, dan kulit dada.

d. Pleksus lumbalis, saraf lumbal ke-1 dan ke-2 membentuk nervus


genitofemoralis yang mengurus persarafan kulit daerah genetalia dan paha.
Saraf L2-L4 membentuk obturatorius yang mensarafi otot obturator dan
abductor paha bagian sensori mensarafi persendian paha.

e. Pleksus sakralis, dari L4 sampai S5 yang mensarafi otot-otot dan kulit


tubuh bagian dan ekstermitas bawah. Saraf utama dari pleksus adalah saraf
iskiadiskus/siatik, saraf terbesar dalam tubuh. saraf iskiadikus/siatik
menembus bokong dan turun kebawah melalui bagian belakang paha
mempersarafi otot pada daerah tersebut.

Saraf ini membagi daerah di atas lutut menjadi dua cabang-cabang


utama, yaitu :

1) Saraf peroneal, yang mempersarafi otot kaki bagian depan.

2) Saraf tibial, yang mempersarafi otot kaki bagian belakang.

f. Pleksus koksigealis, dengan cabang-cabang saraf dari sakralis bagian


bawah, membentuk pleksus kecil kedua di belakang rongga panggul, yang
menyuplai otot dan kulit di daerah tersebut, misalnya ruang pelvik
mempersarafi otot dan kulit pada daerah tersebut, misalnya otot-otot
perineum, spingter eksternal anus, kulit, dan jaringan-jaringan lain genetalia
eksternal dan perineum.

II. SPONDILITIS TUBERKULOSA

A. DEFINISI
Spondilitis tuberkulosa atau tuberkulosis tulang belakang adalah peradangan
granulomatosa yg bersifat kronis destruktif oleh Mycobacterium tuberculosis.
Dikenal pula dengan nama Potts disease of the spine atau tuberculous vertebral
osteomyelitis. Spondilitis ini paling sering ditemukan pada vertebra T8 - L3 dan
paling jarang pada vertebra C1 2. Spondilitis tuberkulosis biasanya mengenai
korpus vertebra, tetapi jarang menyerang arkus vertebrae.

B. ETIOLOGI
Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri berbentuk batang yg bersifat
acid-fastnon-motile (tahan terhadap asam pada pewarnaan, sehingga sering
disebut juga sebagai Basil/bakteri Tahan Asam (BTA)) dan tidak dapat diwarnai
dengan baik melalui cara yg konvensional. Dipergunakan teknik Ziehl-Nielson
untuk memvisualisasikannya. Bakteri tubuh secara lambat dalam media egg-
enriched dengan periode 6-8 minggu. Produksi niasin merupakan karakteristik
Mycobacterium tuberculosis dan dapat membantu untuk membedakannnya
dengan spesies lain
Spondilitis tuberkulosa merupakan infeksi sekunder dari tuberkulosis di
tempat lain di tubuh,
5 95 % disebabkan oleh mikobakterium tuberkulosis tipik ( 2/3 dari tipe
human dan 1/3 dari tipe bovin ) dan
5 10 % oleh mikobakterium tuberkulosa atipik.
Lokalisasi spondilitis tuberkulosa terutama
pada daerah vertebra torakal bawah dan lumbal
atas, sehingga diduga adanya infeksi sekunder
dari suatu tuberkulosa traktus urinarius, yg
penyebarannya melalui pleksus Batson pada
vena paravertebralis.
Meskipun menular, tetapi orang tertular
tuberculosis tidak semudah tertular flu. Penularan penyakit ini memerlukan
waktu pemaparan yg cukup lama dan intensif dengan sumber penyakit (penular).
Menurut Mayoclinic, seseorang yg kesehatan fisiknya baik, memerlukan kontak
dengan penderita TB aktif setidaknya 8 jam sehari selama 6 bulan, untuk dapat
terinfeksi. Sementara masa inkubasi TB sendiri, yaitu waktu yg diperlukan dari
mula terinfeksi sampai menjadi sakit, diperkirakan sekitar 6 bulan. Bakteri TB
akan cepat mati bila terkena sinar matahari langsung. Tetapi dalam tempat yg
lembab, gelap, dan pada suhu kamar, kuman dapat bertahan hidup selama
beberapa jam. Dalam tubuh, kuman ini dapat tertidur lama (dorman) selama
beberapa tahun.

C. PATOGENESIS
Spondilitis tuberkulosa merupakan suatu tuberkulosis tulang yang sifatnya
sekunder dari TBC tempat lain di dalam tubuh. Penyebarannya secara
hematogen, diduga terjadinya penyakit ini sering karena penyebaran hematogen
dari infeksi traktus urinarius melalui pleksus Batson. Infeksi TBC vertebra
ditandai dengan proses destruksi tulang progresif tetapi lambat di bagian depan
(anterior vertebral body). Penyebaran dari jaringan yang mengalami perkejuan
akan menghalangi proses pembentukan tulang sehingga berbentuk tuberculos
squestra. Sedang jaringan granulasi TBC akan penetrasi ke korteks dan terbentuk
abses paravertebral yang dapat menjalar ke atas atau bawah lewat ligamentum
longitudinal anterior dan posterior. Sedangkan diskus intervertebralis karena
avaskular lebih resisten tetapi akan mengalami dehidrasi dan penyempitan karena
dirusak oleh jaringan granulasi TBC. Kerusakan progresif bagian anterior
vertebra akan menimbulkan kifosis (Savant, 2007).
Perjalanan penyakit spondilitis tuberkulosa terdiri dari lima stadium yaitu:
1. Stadium implantasi
Setelah bakteri berada dalam tulang, apabila daya tahan tubuh penderita
menurun, bakteri akan berduplikasi membentuk koloni yang berlangsung
selama 6-8 minggu. Keadaan ini umumnya terjadi pada daerah paradiskus dan
pada anak-anak pada daerah sentral vertebra.
2. Stadium destruksi awal
Selanjutnya terjadi destruksi korpus vertebra dan penyempitan yang ringan
pada diskus. Proses ini berlangsung selama 3-6 minggu.
3. Stadium destruksi lanjut
Pada stadium ini terjadi destruksi yang massif, kolaps vertebra, dan terbentuk
massa kaseosa serta pus yang berbentuk cold abses, yang tejadi 2-3 bulan
setelah stadium destruksi awal. Selanjutnya dapat terbentuk sekuestrum dan
kerusakan diskus intervertebralis. Pada saat ini terbentuk tulang baji terutama
di depan (wedging anterior) akibat kerusakan korpus vertebra sehingga
menyebabkan terjadinya kifosis atau gibbus.
4. Stadium gangguan neurologis
Gangguan neurologis tidak berkaitan dengan beratnya kifosis yang terjadi
tetapi ditentukan oleh tekanan abses ke kanalis spinalis. Vertebra torakalis
mempunyai kanalis spinalis yang kecil sehingga gangguan neurologis lebih
mudah terjadi di daerah ini. Apabila terjadi gangguan neurologis, perlu dicatat
derajat kerusakan paraplegia yaitu:
i. Derajat I
Kelemahan pada anggota gerak bawah setelah beraktivitas atau berjalan
jauh. Pada tahap ini belum terjadi gangguan saraf sensoris.
ii. Derajat II
Kelemahan pada anggota gerak bawah tetapi penderita masih dapat
melakukan pekerjaannya.
iii. Derajat III
Kelemahan pada anggota gerak bawah yang membatasi gerak atau
aktivitas penderita disertai dengan hipoestesia atau anestesia.
iv. Derajat IV
Gangguan saraf sensoris dan motoris disertai dengan gangguan defekasi
dan miksi.
TBC paraplegia atau Pott paraplegia dapat terjadi secara dini atau lambat
tergantung dari keadaan penyakitnya. Pada penyakit yang masih aktif,
paraplegia terjadi karena tekanan ekstradural dari abses paravertebral atau
kerusakan langsung sumsum tulang belakang oleh adanya granulasi jaringan.
Paraplegia pada penyakit yang tidak aktif atau sembuh terjadi karena tekanan
pada jembatan tulang kanalis spinalis atau pembentukan jaringan fibrosis yang
progresif dari jaringan granulasi tuberkulosa. TBC paraplegia terjadi secara
perlahan dan dapat terjadi destruksi tulang disertai dengan angulasi dan
gangguan vaskuler vertebra.
5. Stadium deformitas residual
Stadium ini terjadi kurang lebih 3-5 tahun setelah stadium implantasi. Kifosis
atau gibbus bersifat permanen karena kerusakan vertebra yang massif di
depan (Savant, 2007).

D. PATOFISIOLOGI
Kuman yg bangun kembali dari paru-paru akan menyebar mengikuti
aliran darah ke pembuluh tulang belakang dekat dengan ginjal. Kuman
berkembang biak umumnya di tempat aliran darah yg menyebabkan kuman
berkumpul banyak (ujung pembuluh). Terutama di tulang belakang, di sekitar
tulang thorakal (dada) dan lumbal (pinggang) kuman bersarang. Kemudian
kuman tersebut akan menggerogoti badan tulang belakang, membentuk kantung
nanah (abses) yg bisa menyebar sepanjang otot pinggang sampai bisa mencapai
daerah lipat paha. Dapat pula memacu terjadinya deformitas. Gejala awalnya
adalah perkaratan umumnya disebut pengapuran tulang belakang, sendi-sendi
bahu, lutut, panggul. Tulang rawan ini akan terkikis menipis hingga tak lagi
berfungsi. Persendian terasa kaku dan nyeri, kerusakan pada tulang rawan sendi,
pelapis ujung tulang yg berfungsi sebagai bantalan dan peredam kejut bila dua
ruang tulang berbenturan saat sendi digerakkan.
Terbentuknya abses dan badan tulang belakang yg hancur, bisa
menyebabkan tulang belakang jadi kolaps dan miring ke arah depan. Kedua hal
ini bisa menyebabkan penekanan syaraf-syaraf sekitar tulang belakang yg
mengurus tungkai bawah, sehingga gejalanya bisa kesemutan, baal-baal, bahkan
bisa sampai kelumpuhan.
Badan tulang belakang yg kolaps dan miring ke depan menyebabkan tulang
belakang dapat diraba dan menonjol di belakang dan nyeri bila tertekan, sering
sebut sebagai gibbus
Bahaya yg terberat adalah kelumpuhan tungkai bawah, karena penekanan
batang syaraf di tulang belakang yg dapat disertai lumpuhnya syaraf yg
mengurus organ yg lain, seperti saluran kencing dan anus (saluran pembuangan).

Tuberkulosis tulang adalah suatu proses peradangan yg kronik dan


destruktif yg disebabkan basil tuberkulosis yg menyebar secara hematogen
dari fokus jauh, dan hampir selalu berasal dari paru-paru. Penyebaran basil ini
dapat terjadi pada waktu infeksi pri-mer atau pasca primer. Penyakit ini sering
ter-jadi pada anak-anak. Basil tuberkulosis biasanya menyangkut dalam
spongiosa tulang. Pada tempat infeksi timbul osteitis, kaseasi clan likuifaksi
dengan pembentukan pus yg kemudian dapat mengalami kalsifikasi. Berbeda
dengan osteomielitis piogenik, maka pembentukan tulang baru pada tuberkulosis
tulang sangat sedikit atau tidak ada sama sekali. Di samping itu, periostitis dan
sekwester hampir tidak ada. Pada tuberkulosis tulang ada kecenderungan terjadi
perusakan tulang rawan sendi atau diskus intervertebra.

Dari pemeriksaan fisik Pada pemeriksaan refleks fisiologis normal. Ditemukan


hipestesia (raba) setinggi VT6. Tidak ditemukan adanya refleks patologis. Pada
pemeriksaan nervi cranialis tidak ditemukan adanya kelainan.
E. PATOLOGI
Tuberkulosa pada tulang belakang dapat terjadi karena penyebaran hematogen
atau penyebaran langsung nodus limfatikus para aorta atau melalui jalur limfatik
ke tulang dari fokus tuberkulosa yang sudah ada sebelumnya di luar tulang
belakang. Pada penampakannya, fokus infeksi primer tuberkulosa dapat bersifat
tenang. Sumber infeksi yang paling sering adalah berasal dari sistem pulmoner
dan genitourinarius.

Pada anak-anak biasanya infeksi tuberkulosa tulang belakang berasal dari


fokus primer di paru-paru sementara pada orang dewasa penyebaran terjadi dari
fokus ekstrapulmoner (usus, ginjal, tonsil). Penyebaran basil dapat terjadi melalui
arteri intercostal atau lumbar yang memberikan suplai darah ke dua vertebrae
yang berdekatan, yaitu setengah bagian bawah vertebra diatasnya dan bagian atas
vertebra di bawahnya atau melalui pleksus Batsons yang mengelilingi columna
vertebralis yang menyebabkan banyak vertebra yang terkena. Hal inilah yang
menyebabkan pada kurang lebih 70% kasus, penyakit ini diawali dengan
terkenanya dua vertebra yang berdekatan, sementara pada 20% kasus melibatkan
tiga atau lebih vertebra.
Berdasarkan lokasi infeksi awal pada korpus vertebra dikenal tiga bentuk
spondilitis:

1. Peridiskal / paradiskal
Infeksi pada daerah yang bersebelahan dengan diskus (di area metafise di
bawah ligamentum longitudinal anterior / area subkondral). Banyak
ditemukan pada orang dewasa. Dapat menimbulkan kompresi, iskemia dan
nekrosis diskus. Terbanyak ditemukan di regio lumbal.
2. Sentral
Infeksi terjadi pada bagian sentral korpus vertebra, terisolasi sehingga
disalahartikan sebagai tumor. Sering terjadi pada anak-anak. Keadaan ini
sering menimbulkan kolaps vertebra lebih dini dibandingkan dengan tipe lain
sehingga menghasilkan deformitas spinal yang lebih hebat. Dapat terjadi
kompresi yang bersifat spontan atau akibat trauma. Terbanyak di temukan di
regio torakal.
3. Anterior
Infeksi yang terjadi karena perjalanan perkontinuitatum dari vertebra di atas
dan dibawahnya. Gambaran radiologisnya mencakup adanya scalloped karena
erosi di bagian anterior dari sejumlah vertebra (berbentuk baji). Pola ini
diduga disebabkan karena adanya pulsasi aortik yang ditransmisikan melalui
abses prevertebral dibawah ligamentum longitudinal anterior atau karena
adanya perubahan lokal dari suplai darah vertebral.
4. Bentuk atipikal
Dikatakan atipikal karena terlalu tersebar luas dan fokus primernya tidak
dapat diidentifikasikan. Termasuk didalamnya adalah tuberkulosa spinal
dengan keterlibatan lengkung syaraf saja dan granuloma yang terjadi di
canalis spinalis tanpa keterlibatan tulang (tuberkuloma), lesi di pedikel,
lamina, prosesus transversus dan spinosus, serta lesi artikuler yang berada di
sendi intervertebral posterior. Insidensi tuberkulosa yang melibatkan elemen
posterior tidak diketahui tetapi diperkirakan berkisar antara 2%-10%.

F. MANIFESTASI KLINIS
Gambaran klinis spondilitis tuberkulosa yaitu:
a. Badan lemah, lesu, nafsu makan berkurang, dan berat badan menurun.
b. Suhu subfebril terutama pada malam hari dan sakit (kaku) pada punggung.
Pada anak-anak sering disertai dengan menangis pada malam hari.
c. Pada awal dijumpai nyeri interkostal, nyeri yang menjalar dari tulang
belakang ke garis tengah atas dada melalui ruang interkostal. Hal ini
disebabkan oleh tertekannya radiks dorsalis di tingkat torakal.
d. Nyeri spinal menetap dan terbatasnya pergerakan spinal
e. Deformitas pada punggung (gibbus)
f. Pembengkakan setempat (abses)
g. Adanya proses tbc (Tachdjian, 2005).
Kelainan neurologis yang terjadi pada 50 % kasus spondilitis tuberkulosa karena
proses destruksi lanjut berupa:
a. Paraplegia, paraparesis, atau nyeri radix saraf akibat penekanan medula
spinalis yang menyebabkan kekakuan pada gerakan berjalan dan nyeri.
b. Gambaran paraplegia inferior kedua tungkai yang bersifat UMN dan
adanya batas defisit sensorik setinggi tempat gibbus atau lokalisasi nyeri
interkostal (Tachdjian, 2005).

G. DIAGNOSIS SPONDILITIS TUBERKULOSA


Diagnosis pada spondilitis tuberkulosa meliputi:
1. Anamnesis
Anamnesis dilakukan untuk mendapatkan keterangan dari pasien, meliputi
keluhan utama, keluhan sistem badan, riwayat penyakit sekarang, riwayat
penyakit dahulu, dan riwayat penyakit keluarga atau lingkungan.
2. Pemeriksaan fisik
a. Inspeksi
Pada klien dengan spondilitis tuberkulosa kelihatan lemah, pucat, dan
pada tulang belakang terlihat bentuk kiposis.
b. Palpasi
Sesuai dengan yang terlihat pada inspeksi, keadaan tulang belakang
terdapat adanya gibbus pada area tulang yang mengalami infeksi.
c. Perkusi
Pada tulang belakang yang mengalami infeksi terdapat nyeri ketok.
d. Auskultasi
Pada pemeriksaan auskultasi, keadaan paru tidak ditemukan kelainan.
3. Pemeriksaan medis dan laboratorium (Lauerman, 2006).

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG SPONDILITIS TUBERKULOSA


Pemeriksaan penunjang pada spondilitis tuberkulosa yaitu:
1. Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan darah lengkap didapatkan leukositosis dan LED meningkat.
b. Uji mantoux positif tuberkulosis.
c. Uji kultur biakan bakteri dan BTA ditemukan Mycobacterium.
d. Biopsi jaringan granulasi atau kelenjar limfe regional.
e. Pemeriksaan hispatologis ditemukan tuberkel.
f. Pungsi lumbal didapati tekanan cairan serebrospinalis rendah.
g. Peningkatan CRP (C-Reaktif Protein).
h. Pemeriksaan serologi dengan deteksi antibodi spesifik dalam sirkulasi.
i. Pemeriksaan ELISA (Enzyme-Linked Immunoadsorbent Assay) tetapi
menghasilkan negatif palsu pada penderita dengan alergi.
j. Identifikasi PCR (Polymerase Chain Reaction) meliputi denaturasi DNA
kuman tuberkulosis melekatkan nukleotida tertentu pada fragmen DNA
dan amplifikasi menggunakan DNA polimerase sampai terbentuk rantai
DNA utuh yang diidentifikasi dengan gel.
2. Pemeriksaan radiologis
a. Foto toraks atau X-ray untuk melihat adanya tuberculosis pada paru.
Abses dingin tampak sebagai suatu bayangan yang berbentuk spindle.
b. Pemeriksaan foto dengan zat kontras.
c. Foto polos vertebra ditemukan osteoporosis, osteolitik, destruksi korpus
vertebra, penyempitan diskus intervertebralis, dan mungkin ditemukan
adanya massa abses paravertebral.
d. Pemeriksaan mielografi.
e. CT scan memberi gambaran tulang secara lebih detail dari lesi
irreguler, skelerosis, kolaps diskus, dan gangguan sirkumferensi tulang.
f. MRI mengevaluasi infeksi diskus intervertebralis dan osteomielitis tulang
belakang serta menunjukkan adanya penekanan saraf (Lauerman, 2006).

I. DIAGNOSIS BANDING SPONDILITIS TUBERKULOSA


Diagnosis banding pada spondilitis tuberkulosa yaitu:
1. Fraktur kompresi traumatik akibat tumor medulla spinalis.
2. Metastasis tulang belakang dengan tidak mengenai diskus dan terdapat
karsinoma prostat.
3. Osteitis piogen dengan demam yang lebih cepat timbul.
4. Poliomielitis dengan paresis atau paralisis tungkai dan skoliosis.
5. Skoliosis idiopatik tanpa gibbus dan tanda paralisis.
6. Kifosis senilis berupa kifosis tidak lokal dan osteoporosis seluruh kerangka.
7. Penyakit paru dengan bekas empiema tulang belakang bebas penyakit.
8. Infeksi kronik non tuberkulosis seperti infeksi jamur (blastomikosis).
9. Proses yang berakibat kifosis dengan atau tanpa skoliosis (Currier, 2004).

KET:

a. Infeksi piogenik (contoh : karena staphylococcal/suppurative spondylitis).


Adanya sklerosis atau pembentukan tulang baru pada foto rontgen
menunjukkan adanya infeksi piogenik. Selain itu keterlibatan dua atau lebih
corpus vertebra yang berdekatan lebih menunjukkan adanya infeksi
tuberkulosa daripada infeksi bakterial lain.
b. Infeksi enterik (contoh typhoid, parathypoid). Dapat dibedakan dari
pemeriksaan laboratorium.
c. Tumor/penyakit keganasan (leukemia, Hodgkins disease, eosinophilic
granuloma, aneurysma bone cyst dan Ewings sarcoma) Metastase dapat
menyebabkan destruksi dan kolapsnya corpus vertebra tetapi berbeda dengan
spondilitis tuberkulosa karena ruang diskusnya tetap dipertahankan. Secara
radiologis kelainan karena infeksi mempunyai bentuk yang lebih difus
sementara untuk tumor tampak suatu lesi yang berbatas jelas.
d. Scheuermanns disease mudah dibedakan dari spondilitis tuberkulosa oleh
karena tidak adanya penipisan korpus vertebrae kecuali di bagian sudut
superior dan inferior bagian anterior dan tidak terbentuk abses paraspinal.

J. PROGNOSIS SPONDILITIS TUBERKULOSA


Spondilitis tuberkulosa merupakan penyakit menahun dan apabila dapat
sembuh secara spontan akan memberikan cacat pembengkokan pada tulang
punggung. Dengan jalan radikal operatif, penyakit ini dapat sembuh dalam waktu
singkat sekitar 6 bulan (Tachdjian, 2005).
Prognosis dari spondilitis tuberkulosa bergantung dari cepatnya dilakukan
terapi dan ada tidaknya komplikasi neurologis. Diagnosis sedini mungkin dan
pengobatan yang tepat, prognosisnya baik walaupun tanpa operasi. Penyakit
dapat kambuh apabila pengobatan tidak teratur atau tidak dilanjutkan setelah
beberapa saat karena terjadi resistensi terhadap pengobatan (Lindsay, 2008).
Untuk spondilitis dengan paraplegia awal, prognosis untuk kesembuhan saraf
lebih baik sedangkan spondilitis dengan paraplegia akhir, prognosis biasanya
kurang baik. Apabila paraplegia disebabkan oleh mielitis tuberkulosa
prognosisnya ad functionam juga buruk (Lindsay, 2008).
.
K. KOMPLIKASI SPONDILITIS TUBERKULOSA
Komplikasi yang dapat ditimbulkan oleh spondilitis tuberkulosa yaitu:
1. Potts paraplegia
a. Muncul pada stadium awal disebabkan tekanan ekstradural oleh pus
maupun sequester atau invasi jaringan granulasi pada medula spinalis.
Paraplegia ini membutuhkan tindakan operatif dengan cara dekompresi
medula spinalis dan saraf.
b. Muncul pada stadium lanjut disebabkan oleh terbentuknya fibrosis dari
jaringan granulasi atau perlekatan tulang (ankilosing) di atas kanalis
spinalis.
2. Ruptur abses paravertebra
a. Pada vertebra torakal maka nanah akan turun ke dalam pleura sehingga
menyebabkan empiema tuberkulosis.
b. Pada vertebra lumbal maka nanah akan turun ke otot iliopsoas membentuk
psoas abses yang merupakan cold absces (Lindsay, 2008).
3. Cedera corda spinalis (spinal cord injury). Dapat terjadi karena adanya
tekanan ekstradural sekunder karena pus tuberkulosa, sekuestra tulang,
sekuester dari diskus intervertebralis (contoh : Potts paraplegia prognosa
baik) atau dapat juga langsung karena keterlibatan korda spinalis oleh jaringan
granulasi tuberkulosa (contoh : menigomyelitis prognosa buruk). Jika cepat
diterapi sering berespon baik (berbeda dengan kondisi paralisis pada tumor).
MRI dan mielografi dapat membantu membedakan paraplegi karena tekanan
atau karena invasi dura dan corda spinalis.

L. PENATALAKSANAAN SPONDILITIS TUBERKULOSA


Pada prinsipnya pengobatan spondilitis tuberkulosa harus dilakukan segera
untuk menghentikan progresivitas penyakit dan mencegah atau mengkoreksi
paraplegia atau defisit neurologis. Prinsip pengobatan Potts paraplegia yaitu:
1. Pemberian obat antituberkulosis.
2. Dekompresi medula spinalis.
3. Menghilangkan atau menyingkirkan produk infeksi.
4. Stabilisasi vertebra dengan graft tulang (bone graft) (Graham, 2007).

Pengobatan pada spondilitis tuberkulosa terdiri dari:


1. Terapi konservatif
a. Tirah baring (bed rest).
b. Memberi korset yang mencegah atau membatasi gerak vertebra.
c. Memperbaiki keadaan umum penderita.
d. Pengobatan antituberkulosa.
Standar pengobatan berdasarkan program P2TB paru yaitu:
i. Kategori I untuk penderita baru BTA (+/-) atau rontgen (+).
a) Tahap 1 diberikan Rifampisin 450 mg, Etambutol 750 mg, INH
300 mg, dan Pirazinamid 1.500 mg setiap hari selama 2 bulan
pertama (60 kali).
b) Tahap 2 diberikan Rifampisin 450 mg dan INH 600 mg 3 kali
seminggu selama 4 bulan (54 kali).
ii. Kategori II untuk penderita BTA (+) yang sudah pernah minum obat
selama sebulan, termasuk penderita yang kambuh.
1. Tahap 1 diberikan Streptomisin 750 mg, INH 300 mg, Rifampisin
450 mg, Pirazinamid 1500 mg, dan Etambutol 750 mg setiap hari.
Streptomisin injeksi hanya 2 bulan pertama (60 kali) dan obat
lainnya selama 3 bulan (90 kali).
2. Tahap 2 diberikan INH 600 mg, Rifampisin 450 mg, dan
Etambutol 1250 mg 3 kali seminggu selama 5 bulan (66 kali).
Kriteria penghentian pengobatan yaitu apabila keadaan umum
penderita bertambah baik, LED menurun dan menetap, gejala-gejala
klinis berupa nyeri dan spasme berkurang, serta gambaran radiologis
ditemukan adanya union pada vertebra.
2. Terapi operatif
a. Apabila dengan terapi konservatif tidak terjadi perbaikan
paraplegia atau malah semakin berat. Biasanya 3 minggu sebelum operasi,
penderita diberikan obat tuberkulostatik.
b. Adanya abses yang besar sehingga diperlukan drainase abses
secara terbuka, debrideman, dan bone graft.
c. Pada pemeriksaan radiologis baik foto polos, mielografi, CT,
atau MRI ditemukan adanya penekanan pada medula spinalis (Ombregt,
2005).
Walaupun pengobatan kemoterapi merupakan pengobatan utama bagi
penderita spondilitis tuberkulosa tetapi operasi masih memegang peranan
penting dalam beberapa hal seperti apabila terdapat cold absces (abses
dingin), lesi tuberkulosa, paraplegia, dan kifosis.
a. Cold absces
Cold absces yang kecil tidak memerlukan operasi karena dapat terjadi
resorbsi spontan dengan pemberian tuberkulostatik. Pada abses yang besar
dilakukan drainase bedah.
b. Lesi tuberkulosa
1) Debrideman fokal.
2) Kosto-transveresektomi.
3) Debrideman fokal radikal yang disertai bone graft di bagian depan.
c. Kifosis
1) Pengobatan dengan kemoterapi.
2) Laminektomi.
3) Kosto-transveresektomi.
4) Operasi radikal.
5) Osteotomi pada tulang baji secara tertutup dari belakang.
Operasi kifosis dilakukan apabila terjadi deformitas hebat. Kifosis
bertendensi untuk bertambah berat, terutama pada anak. Tindakan operatif
berupa fusi posterior atau operasi radikal (Graham, 2007).

Anda mungkin juga menyukai