Anda di halaman 1dari 10

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI..............................................................................................................................1

DAFTAR GAMBAR..................................................................................................................2

BAB I.........................................................................................................................................3

PENDAHULUAN..................................................................................................................3

1.1. Latar Belakang............................................................................................................3

BAB II........................................................................................................................................4

PEMBAHASAN....................................................................................................................4

2.1. Penyebaran Brucellosis...............................................................................................4

2.2. Pemberantasan Brucellosis..........................................................................................4

2.3. Kebijakan Pemerintah.................................................................................................4

BAB III.......................................................................................................................................5

PENUTUP..............................................................................................................................5

3.1. Kesimpulan.................................................................................................................5

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................................6
DAFTAR GAMBAR
BAB I

PENDAHULUAN

1 Latar Belakang

Berkenaan dengan tujuan pemerintah dalam pemenuhan kebutuhan akan protein hewani,
sapi yang merupakan salah satu sumber protein hewani tentu perlu ditingkatkan
populasinya.Peningkatan populasi sapi dapat meningkatkan hasil ternak berupa daging, kulit
ataupun air susu. Brucellosismerupakan salah satu penyakit ternak yang dapat menghambat
peningkatan populasi karena disamping dapat menyebabkan keguguran juga dapat
menurunkan produksi dan produktivitas ternak serta bersifat zoonosis.
Brucellosis adalah penyakit infeksius yang mudah menular dan menyebar dalam populasi
ternak, sehingga diperlukan survei dan monitoring secara teratur. Rumah Potong Hewan
(RPH) merupakan salah satu sarana yang dapat digunakan sebagai lokasi pengambilan
sampel dalam upaya monitoring brucellosis karena ternak yang dipotong di RPH Tamangapa
Kota Makassar berasal dari berbagai daerah di Sulawesi Selatan ataupun dari daerah lainnya
di luar Sulawesi Selatan. Brucellosis telah menyebar ke berbagai wilayah sehingga
menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar bagi pengembangan peternakan akibat
kematian dan kelemahan pedet, abortus, infertilitas, sterilitas, penurunan produksi susu dan
tenaga kerja ternak serta biaya pengobatan dan pemberantasan yang memerlukan biaya yang
cukup tinggi.
Di Indonesia, brucellosis tersebar luas di Nusa Tenggara Timur, Sulawesi, Jawa,
Sumatera dan Kalimantan. Pulau Bali sampai saat ini masih tergolong bebas brucellosis
karena adanya pengawasan yang ketat berupa larangan pemasukan sapi jenis lain, berkaitan
dengan kebijakan pemerintah untuk mempertahankan kemurnian sapi bali. Selain itu
prevalensi brucellosis pada beberapa provinsi di Indonesia sangat bervariasi. Berdasarkan
data dari Balai Besar Veteriner Maros (2013) bahwa prevalensi brucellosis di Sulawesi
Selatan berkisar 10%-15%. Brucellasp. di Indonesia banyak menginfeksi sapi sehingga
ditetapkan sebagai penyakit hewan menular strategis. Penyakit ini kurang disadari oleh
peternak karena tidak menunjukkan tanda yang nyata sakit apabila dibandingkan dengan
penyakit lain. Karekteristik ini menjadikan brucellosis dapat menyebar dengan mudah.
Kerugian ekonomi industri peternakan sapi akibat brucellosis mencapai 138,5 milyar rupiah
setiap tahun (Ditjennak, 2000). Bila tidak dilakukan pengendalian dengan baik maka negara
akan dirugikan 385 milyar/tahun (Bahri dan Martindah, 2010).
Brucellosis pada sapi harus dikendalikan agar populasi tidak menurun dan
pengendaliannya diarahkan pada pencegahan berpindahnya dan menyebarnya agen penyakit
serta mencegah adanya penderita baru. Ada dua strategi pemberantasan brucellosis
berdasarkan tingkat kejadiannya yaitu apabila prevalensi reaktor lebih dari 2% dengan
kategori tertular berat, maka metode pemberantasannya dengan cara vaksinasi, sedangkan
pada daerah tertular rendah (prevalensi kurang dari 2%), dikendalikan dengan teknik uji dan
potong bersyarat (test danslaughter). Vaksin yang digunakan dalam program pengendalian
brucellosis pada sapi adalah vaksin B.abortus strain 19 (S19) dan vaksin RB 51. Vaksin
B.abortus S19 merupakan strain (galur) hidup yang sudah dilemahkan dan memiliki sifat
stabil, dan memberikan proteksi terhadap infeksi 70-80% (Anonimus1, 2012).
Perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat menyebabkan muncul berbagai cara
mendiagnosa brucellosis pada hewan maupun manusia. Diagnosa brucellosis dapat
dilakukan dengan isolasi bakteri, uji serologis maupun biologis.

Rumusan Masalah

1. Bagaimana Epidemiologi Penyakit Brucellosis?


2. Bagaimana Pemberantasan Penyakit Brucellosis?
3. Bagaimana Kebijakan Pemerintah terhadap Penanganan Penyakit Brucellosis?

Tujuan

1. Untuk mengetahui Epidemiologi Penyakit Brucellosis


2. Untuk mengetahui Pemberantasan penyakit Brucellosis
3. Untuk mengetahui Kebijakan Pemerintah terhadap Penanganan Penyakit Brucellosis
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Penyebaran Brucellosis

Di Indonesia secara serologis, brucellosis dikenal pertama kali pada tahun 1935, yang ditemukan
pada sapi perah di Grati Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. BakteriBrucella abortus berhasil
diisolasi pada tahun 1938. Pada tahun 1940, brucellosis dilaporkan muncul di Sumatera Utara
dan Aceh, dikenal dengan sebutan sakit sane/radang sendi atau sakit burut/radang testis(Widiasih
dan Budiharta, 2012).
Brucellosis sudah bersifat endemis di Indonesia dan kadang-kadang muncul sebagai
epidemik pada banyak peternakan sapi perah di Jakarta, Bandung, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Prevalensi antar wilayah di Indonesia sangat bervariasi tergantung manajemen pemeliharaan.
Pada tahun 2006 beberapa wilayah seperti Bali, Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa telah
dinyatakan bebas brucellosis. Pulau Kalimantan dan Sumatera bagian tengah (Riau, Kepulauan
Riau, Jambi dan
Sumatera Barat) sudah tidak ditemukan kasus dan sedang dalam persiapan menuju pembebasan
brucellosis. Sedangkan Sulawesi, Aceh dan Nusa Tenggara Timur dinyatakan masih tertular
brucellosis dengan prevalensi > 2%, seperti terlihat pada Gambar 1 (Dirkeswan, 2004).
Berdasarkan laporan BBVet Wates (2010) di Pulau Jawa kasus brucellosis terjadi di
Kabupaten Boyolali, Klaten, Magelang, Salatiga, Surakarta dan Semarang. Penyebaran
brucellosis di wilayah kerja BBVet Maros meliputi Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat,
Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat (BB-Vet
Maros 2013).Kasus brucellosis di Lampung ada 1 kasus pada tahun 2009 dan 3 kasus di
Bengkulu pada tahun 2010, prevalensi < 2% (BPPV Regional III 2010). Berdasarkan laporan
BPPV Regional II (2010), kasus brucellosis di Sumatera Utara dan Acehtahun 2010, prevalensi <
2% namun dengan diterapkannya kebijakan testdan slaughter kemungkinan Pulau Sumatera
bebas brucellosis dapat segera terwujud, seperti terlihat pada Gambar 2.

Meskipun secara keseluruhan program pemberantasan berjalan


lambat, akantetapi sampai saat ini ada 14 provinsi yang dulunya memiliki
tingkat prevalensi sangat rendah sudah dinyatakan bebas yaitu Bali, Nusa
Tenggara Barat dan Pulau Lombok pada tahun 2002. Pulau Sumbawa pada
tahun 2006. Kalimantan, Sumatera Barat, Riau, Jambi, dan Kepulauan Riau
pada tahun 2009 serta Bengkulu, Sumatera Selatan, Lampung, dan
Kepulauan Bangka Belitung pada tahun 2011. Berdasarkan data yang
tersedia, salah satu zona atau wilayah yang sedang dalam persiapan menuju
pembebasan brucellosis karena tingkat prevalensinya sangat rendah yaitu
Pulau Madura, prevalensi 0,04% pada tahun 2011, Provinsi Sumatera Utara,
prevalensi 0,15% pada tahun 2011dan 0,00 % pada tahun 2012. Saat ini
program pembebasan brucellosis memasuki tahap akhir di Pulau Sumba,
Nusa Tenggara Timur. Situasi brucellosis berdasarkan provinsi di Indonesia
pada tahun 2013 dapat dilihat pada Gambar 3 dan khusus Provinsi Sulawesi
Selatan dapat dilihat pada Gambar 4 (Direktorat Kesehatan Hewan,2013).

2.2. Pemberantasan Brucellosis


2.2. Pemberantasan Beucellosis

Kebanyakan literatur tentang pola pencegahan dan pengendalian


penyakit hewan berasal dari negara maju. Sesungguhnya tidak semua prinsip
tersebut dapat diaplikasikan secara langsung pada kondisi peternakan di
Indonesia. Karena diketahui adanya berbagai perbedaan antara peternakan di
daerah maju dengan yang ada di Indonesia (kebanyakan beternak secara
tradisional). Di Indonesia, tindakan stamping out sulit dilakukan, selain itu
membutuhkan dana kompensasi yang besar juga kondisi sosial budaya yang
belum dapat mendukung pelaksanaan tindakan tersebut (Widiasih dan
Budiharta, 2012).
Strategi pemberantasan didasarkan pada tinggi rendahnya prevalensi
penyakit pada suatu daerah. Pada dasarnya, dikenal dua strategi
pemberantasan. Apabila prevalensi reaktor 2%, maka pemberantasannya
adalah dengan vaksinasi. Apabila prevalensinya <2% lazimnya diterapkan
teknik test and slaughter, artinya setiap hewan diuji secara serologi dan yang
bereaksi positif (reaktor) harus dieliminasi (Soeharsono, 2002).

2.3. Kebijakan Pemerintah


BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai