SINUSITIS
Oleh :
Andika Dwicahyo 1301-1206-0169
Sinta Dewi Morita F. 1301-1206-0179
Preceptor :
Ongka Muhammad Saifuddin, dr., SpTHT-KL (K)
Sinusitis secara mudah diartikan sebagai infeksi atau radang pada sinus
sinus paranasal yang normalnya adalah steril. Hal ini bagi kebanyakan orang
dianggap suatu hal yang remeh, dibandingkan dengan penderitaan dan nyeri yang
dapat ditimbulkannya. Sinusitis adalah suatu penyakit yang mempengaruhi lebih
dari 14% dari populasi pada kebanyakan negara di dunia. Sinusitis juga banyak
terdapat pada pasien yang sakit berat, dimana 25 75 % didiagnosa sinusitis
melalui pencitraan radiologis.
Sinusitis adalah suatu kondisi yang sangat biasa mempengaruhi 1 dari 10
orang pada beberapa tahap kehidupannya. Sinusitis lebih sering terjadi pada
populasi anak anak dibandingkan dengan dewasa. Hal ini dikarenakan frekuensi
untuk terkena infeksi saluran nafas atas pada anakanak lebih besar dibandingkan
dengan dewasa. Tetapi sinusitis jarang terjadi pada anak dengan usia kurang dari 1
tahun, karena sinussinus belum berkembang begitu sempurna pada usia tersebut.
Sinusitis jarang mengancam jiwa, tetapi karena dekatnya struktur sinus
paranasal dengan sistem saraf pusat, jalur pembuluh vena dan limfatik dapat
mengakibatkan komplikasi yang cukup serius.
Beberapa penelitian telah dan sedang dilakukan untuk mengetahui sebab -
sebab dan penanganan kasus sinusitis ini. Beberapa penyebab yang berhubungan
antara lain infeksi saluran nafas ( virus, bakteri, dan jamur ), asma, dan genetik.
Upper respiratory infections (URIs) adalah suatu kondisi yang sering
berhubungan dengan sinusitis. Dan infeksi virus yang berhubungan dengan
common cold adalah etiologi yang paling sering pada sinusitis akut. Kesulitan
yang patut diperhatikan adalah untuk membedakan URIs dan rhinitis alergika
dengan sinusitis. Untuk itu dibutuhkan keterampilan yang baik dalam
pemeriksaan yang dilakukan untuk mendiagnosa.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.3 Patofisiologi
Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil
dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk
membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena mukus ini
keluar melalui meatus media. Drainase ke empat sinus paranasal dialirkan ke
dalam cavum nasi. Sinus frontalis, maksilaris, dan etmoidalis anterior
mengalirkan sekretnya melalui kompleks ostio meatal pada meatus media.
Sedangkan drainase sinus etmoidalis posterior dan sfenoidalis ke meatus superior
melalui recessus sfenoetmoidalis. Pada sinus maksilaris aktivitas mukosilier
dalam mendrainase melawan gravitasi.
Mekanisme patofisiologi dari sinusitis berhubungan dengan 3 faktor yaitu
keutuhan ostia, fungsi silia dan kualitas sekresi nasal. Perubahan salah satu faktor
dapat mempengaruhi fisiologis sinus dan dapat menyebabkan sinusitis. Adanya
gangguan pada ostium akan menghambat drainase sinus. Pembersihan mukus oleh
silia akan dialirkan ke ostium sehingga bila ada obstruksi pada ostium maka
gerakan silia menjadi terganggu dan cairan akan berakumulasi di dalam sinus.
Obstruksi pada ostia akan menyebabkan berkurangnya kadar oksigen pada
sinus. Hal ini akan memudahkan terjadinya infeksi pada sinus. Keadaan hipoksia
dan akumulasi cairan akibat obstruksi ostium merupakan medium ideal untuk
pertumbuhan bakteri.
Rongga sinus bergantung pada transport mukosilier untuk menciptakan
lingkungan yang bebas bakteri. Sinus dilapisi oleh epitel kolumner bertingkat
semu bersilia. Fungsi silia dapat terganggu karena keadaan hipoksia. Sel silia
dapat hilang atau rusak akibat polutan pernafasan, trauma pembedahan dan
penyakit sinus kronik.
Produksi mukus dari sel Goblet dapat meningkat akibat dari iritan
pernafasan, polutan, alergen serta udara dingin. Hal tersebut juga dapat
meningkatkan viskositas mukus sehingga dapat mengurangi efektivitas
pembersihan silia dan menjadi media yang baik untuk pertumbuhan bakteri.
Gbr. Kanan: Drainase sinus normal. Kiri: Drainase yang terhambat menyebabkan sinusitis
2.4 Etiologi
Penyebab sinusitis tergantung dari klasifikasinya yaitu akut dan kronis.
Penyebab sinusitis akut:
rinitis akut
infeksi daerah faring (faringitis, tonsilitis akut, adenoiditis)
infeksi gigi rahang atas M1, M2, M3, serta P1 dan P2
berenang dan menyelam
trauma (perdarahan mukosa sinus paranasal)
barotrauma yang dapat menyebabkan nekrosis mukosa sinus
Penyebab sinusitis kronis:
polusi bahan kimia yang menyebabkan silia rusak
alergi dan defisiensi imunologi
infeksi virus, bakteri dan jamur
obstruksi kompleks osteo meatal
kelainan anatomi
2.7 Terapi
2.7.1 Terapi Medikamentosa
Terapi medikamentosa dalam menangani sinusitis meliputi penggunaan
antibiotik, dekongestan, mukolitik dan metoda lain dalam membersihkan sekret
hidung dan kadang diperlukan pemberian kortikosteroid.
Antibiotik
Pemberian antibiotik inisial pada sinusitis dipertimbangkan berdasarkan pola
kuman secara empiris. Antibiotik inisial dapat diganti apabila tes resistensi
sudah memberikan hasil. Pertimbangan memberikan antibiotik juga
dipengaruhi oleh keparahan penyakit dan pengobatan antibiotik yang telah
diterima pasien.
Antibiotik pilihan utama dalam terapi sinusistis adalah golongan beta-laktam,
termasuk amoksisilin (dengan atau tanpa asam klavulanat), sefpodoksim, atau
sefuroksin. Untuk pasien yang alergi golongan beta-laktam dapat diberikan
trimetoprim-sulfametoksazol, doksisiklin, atau golongan makrolid pada kasus
yang ringan. Pada kasus yang berat dapat diberikan fluorokuinolon.
Pada sinusitis akut, antibiotik diberikan untuk 10-14 hari. Untuk sinusitis
kronis dibutuhkan waktu yang lebih lama yaitu 3-4 minggu. Perlu diingat
bahwa antibiotik harus tetap diberikan selama 7 hari setelah gejala hilang.
Dekongestan
Dekongestan adrenergik alfa dapat mengurangi sumbatan dengan
menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah sehingga dapat mengecilkan
jaringan yang mengalami kongesti. Obat ini dapat diberikan secara topikal
ataupun sistemik. Namun perlu diingat bahwa pemberian sediaan topikal
dibatasi maksimal 5 hari untuk meminimalisasi resiko terjadinya rinitis
medikamentosa, oleh karena itu biasanya digunakan sediaan sistemik yaitu
pseudoefedrin. Pengobatan obat ini harus berhati-hati pada penderita
hipertensi. Obat ini juga memiliki efek stimulasi sehingga sebaiknya diminum
beberapa jam sebelum tidur untuk menghindari insomnia. Dosis maksimal
dalam 1 hari adalah 240 mg, dan biasanya diberikan 3 kali sehari.
Mukolitik
Mukolitik dapat membantu mengencerkan sekret nasal dan sinus. Iodida dan
guaiafenisin dapat digunakan dalam terapi sinusitis. Efek samping yang dapat
terjadi antara lain rasa tidak nyaman pada saluran pencernaan.
Nasal toilet
Membersihkan rongga hidung dari sekretnya dapat dilakukan dengan
menggunakan larutan salin fisiologis. Irigasi mengunakan larutan salin
fisiologis dilakukan dengan cara memakai trokar yang ditusukkan di meatus
inferior, diarahkan ke sudut luar mata atau tepi atas daun telinga, selanjutnya
dialirkan larutan salin fisiologis. Sekret akan keluar melalui hidung atau
mulut. Pungsi dan irigasi dapat dilakukan melalui fossa kanina. Pada kasus
yang meragukan pungsi dapat digunakan sebagai tindakan diagnostik untuk
memastikan ada tidaknya sekret di sinus maksilaris.
Antrostomi adalah pembuatan lubang di meatus inferior yang menghubungkan
rongga hidung dengan antrum sinus maksilaris. Lubang ini dipakai untuk
menghisap sekret dan ventilasi sinus maksilaris.
Poetz displacement therapy berprinsip membuat tekanan negatif dalam rongga
hidung dan sinus paranasal untuk dapat menghisap sekret ke luar. Diteteskan
larutan vasokonstriktor (HCl efedrin 0,5-1,5%) untuk membuka ostium yang
kemudian masuk ke dalam sinus. HCl efedrin akan mengurangi edema
mukosa dan tercampur dengan sekret dalam rongga sinus kemudian dihisap ke
luar. Sementara itu pasien harus mengatakan kak-kak-kak agar palatum
molle terangkat sehingga ruang antar nasofaring dengan orofaring tertutup.
Dengan demikian cairan tidak dapat masuk ke orofaring, sedangkan ruang
nasofaring, hidung serta sinus paranasal menjadi rongga yang bertekanan
negatif pada saat penghisapan, sehingga sekret mudah keluar.
Facial sauna juga dapat menjadi cara alternatif dalam membersihkan sekret
hidung. Menghirup uap panas dari mangkok yang berisi air panas, atau mandi
dengan air panas juga dapat membersihkan sekret hidung.
Kortikosteroid
Kadang kortikosteroid topikal juga digunakan dalam pengobatan sinusitis
untuk mengecilkan edema secara optimal. Kortikosteroid terutama digunakan
pada sinusitis kronis.
BAB III
KESIMPULAN
Sinusitis dikenal sebagai proses inflamasi pada satu atau lebih sinus
paranasal dan diklasifikasikan menjadi bentuk akut, subakut dan kronis.
Gejala sinusitis dapat berupa sumbat hidung, rinorea purulen, post nasal
drip, nyeri fasial atau dental, hiposmia atau anosmia, sakit kepala dan
batuk. Gejala yang lebih spesifik meliputi perlunakan rongga sinus, edema
mukosa, sekresi hidung purulen dan edema periorbital.
Pemeriksaan penunjang selain transiluminasi atau nasal endoskopi adalah
radiologi standar, CT-Scan yang digunakan untuk evalusi infeksi.
Terapi sinusitis berupa terapi medikamentosa dan terapi operatif. Terapi ini
didasarkan pada gejala dan ancaman komplikasi.
Komplikasi yang dapat terjadi pada sinusitis adalah abses, proptosis,
selulitis orbital, gangguan penglihatan, gangguan pergerakan bola mata,
peningkatan tekanan intraokular, osteomielitis, fistula oroantral, abses
epidural, meningitis, abses otak, dan trombosis sinus kavernosus.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
Bailey BJ. 2001. Maxillary, Ethmoid and Sphenoid Sinuses. In : Atlas of Head
and Neck Surgery Otolaryngology. Lippincott Raven Pub. Philadelphia New
York.
Adams GL, Boies Jr LC, Hilger PA. 1997. Boies: Buku Ajar Penyakit THT.
Edisi 6. Jakarta : EGC.
Soepardi EA, Iskandar N. 1997. Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung
Tenggorok. Edisi 3. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
Berger at all, Parameter for the diagnosis and management of sinusitis, The
journal of Allergy and Clinical Immunology, Vol.102, Number.6, part 2,
Dec.1998