Anda di halaman 1dari 21

CLINICAL SCIENCE SESSION

SINUSITIS

Oleh :
Andika Dwicahyo 1301-1206-0169
Sinta Dewi Morita F. 1301-1206-0179

Preceptor :
Ongka Muhammad Saifuddin, dr., SpTHT-KL (K)

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


BAGIAN ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG
TENGGOROK-
BEDAH KEPALA DAN LEHER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN
RS DR HASAN SADIKIN
2007
BAB I
PENDAHULUAN

Sinusitis secara mudah diartikan sebagai infeksi atau radang pada sinus
sinus paranasal yang normalnya adalah steril. Hal ini bagi kebanyakan orang
dianggap suatu hal yang remeh, dibandingkan dengan penderitaan dan nyeri yang
dapat ditimbulkannya. Sinusitis adalah suatu penyakit yang mempengaruhi lebih
dari 14% dari populasi pada kebanyakan negara di dunia. Sinusitis juga banyak
terdapat pada pasien yang sakit berat, dimana 25 75 % didiagnosa sinusitis
melalui pencitraan radiologis.
Sinusitis adalah suatu kondisi yang sangat biasa mempengaruhi 1 dari 10
orang pada beberapa tahap kehidupannya. Sinusitis lebih sering terjadi pada
populasi anak anak dibandingkan dengan dewasa. Hal ini dikarenakan frekuensi
untuk terkena infeksi saluran nafas atas pada anakanak lebih besar dibandingkan
dengan dewasa. Tetapi sinusitis jarang terjadi pada anak dengan usia kurang dari 1
tahun, karena sinussinus belum berkembang begitu sempurna pada usia tersebut.
Sinusitis jarang mengancam jiwa, tetapi karena dekatnya struktur sinus
paranasal dengan sistem saraf pusat, jalur pembuluh vena dan limfatik dapat
mengakibatkan komplikasi yang cukup serius.
Beberapa penelitian telah dan sedang dilakukan untuk mengetahui sebab -
sebab dan penanganan kasus sinusitis ini. Beberapa penyebab yang berhubungan
antara lain infeksi saluran nafas ( virus, bakteri, dan jamur ), asma, dan genetik.
Upper respiratory infections (URIs) adalah suatu kondisi yang sering
berhubungan dengan sinusitis. Dan infeksi virus yang berhubungan dengan
common cold adalah etiologi yang paling sering pada sinusitis akut. Kesulitan
yang patut diperhatikan adalah untuk membedakan URIs dan rhinitis alergika
dengan sinusitis. Untuk itu dibutuhkan keterampilan yang baik dalam
pemeriksaan yang dilakukan untuk mendiagnosa.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 SINUS PARANASAL


2.1.1 Sinus Maksilaris
Sinus maksilaris merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus
maksilaris bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan
akhirnya mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa.
Sinus maksilaris berbentuk segitiga. Dinding anterior sinus ialah
permukaan fasial os maksila yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya
adalah permukaan infra-temporal maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral
rongga hidung, dinding superiornya adalah dasar orbita dan dinding inferiornya
ialah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah
superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui
infundibulum etmoid.
Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksilaris adalah:
1. Dasar dari anatomi sinus maksilaris sangat berdekatan dengan akar gigi
rahang atas, yaitu premolar (P1 dan P2). Molar (M1 dan M2), kadang-
kadang juga gigi taring (C) dan gigi molar (M3), bahkan akar-akar gigi
tersebut dapat menonjol ke dalam sinus, sehingga infeksi gigi geligi
mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis.
2. Sinus maksilaris dapat menimbulkan komplikasi orbita.
3. Ostium sinus maksilaris terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga
drainase kurang baik, lagipula drainase juga harus melalui infundibulum
yang sempit.

2.1.2 Sinus Frontalis


Sinus frontalis yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke
empat fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum
etmoid. Sesudah lahir, Sinus frontalis mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan
akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun.
Sinus frontalis kanna dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar
daripada yang lainnya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah.
Kurang lebih 15% orang dewasa hanya mempunyai satu sinus frontalis dan
kurang lebih 5% sinus frontalisnya tidak berkembang.
Ukuran sinus frontalis adalah 2,8 cm tingginya, lebarnya 2,4 cm dan
dalamnya 2 cm. Sinus frontalis biasanya bersekat-sekat dan tepi snus berlekuk-
lekuk. Tidak adanya gambaran septum-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus
pada foto Rontgen menunjukan adanya infeksi sinus. Sinus frontalis dipisahkan
oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior, sehingga infeksi
dari sinus frontalis mudah menjalar ke daerah ini.
Sinus frontalis berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di resesus
frontalis. Resesus frontalis adalah bagian dari sinus etmoidalis anterior.
2.1.3 Sinus Etmoidalis
Dari semua sinus paranasal, sinus etmoidalis yang paling bervariasi dan
akhir-akhir ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi
bagi sinus-sinus lainnya. Pada orang dewasa bentuk sinus etmoidalis seperti
piramid dengan dasarnya di bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior
4-5 cm, tinggi 2,4 cm dan lebarnya 0,5 cm di bagian anterior dan 1,5 cm di bagian
posterior.
Sinus etmoidalis berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai
sarang tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoidalis, yang
terletak di antara konka media dan dinding medial orbita. Sel-sel ini jumlahnya
bervariasi antara 4-17 sel (rata-rata 9 sel). Berdasarkan letaknya, sinus etmoidalis
dibagi menjadi sinus sinus etmoidalis anterior yang bermuara di meatus medius
dan sinus etmoidalis posterior yang bermuara di meatus superior. Sel-sel sinus
etmoidalis anterior biasanya kecil-kecil dan banyak, letaknya di bawah perlekatan
konka media, sedangkan sel-sel sinus etmoidalis posterior biasanya lebih besar
dan lebih sedikit jumlahnya dan terletak di postero-superior dari perlekatan konka
media.
Dibagian terdepan sinus etmoidalis anterior ada bagian yang sempit,
disebut resesus frontalis, yang berhubungan dengan sinus frontalis. Sel etmoidalis
yang terbesar disebut bula etmoidalis. Di daerah etmoidalis anterior terdapat suatu
penyempitan yang disebut infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus
maksilaris. Pembekakan atau peradangan di resesus frontalis dapat menyebabkan
sinusitis frontalis dan pembekakan di ifundibulum dapat menyebabkan sinusistis
maksilaris.
Atap sinus etmoidalis yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan
lamina kribrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis
dan membatasi sinus etmoidalis dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus
etmoidalis posterior berbatasan dengan sinus sfenoidalis.

2.1.4 Sinus Sfenoidalis


Sinus sfenoidalis terletak dalam os sfenoidalis di belakang sinus
etmoidalis posterior. Sinus sfenoidalis dibagi dua oleh sekat yang disebut septum
intersfenoidalis. Ukurannya adalah 2 cm tingginya, dalamnya 2,3 cm dan lebarnya
1,7 cm. Volumenya bervariasi dari 5 sampai 7,5 ml. Saat sinus berkembang,
pembuluh darah dan nervus di bagian lateral os sfenoidalis akan menjadi sangat
berdekatan dengan rongga sinus dan tampak sebagai indentasi pada dinding sinus
sfenoidalis.
Batas-batasnya ialah, sebelah superior terdapat fosa serebri media dan
kelenjar hipofisa, sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan
dengan sinus kavernosus dan a.karotis interna (sering tampak sebagai indentasi)
dan di sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah
pons.

2.2 Definisi dan Klasifikasi Sinusitis


Sinusitis adalah suatu keadaan inflamasi pada satu atau lebih sinus
paranasal, dimana penyebeb tersering adalah infeksi. Sinusitis dikelompokan
berdasarkan :
Presentasi klinik : akut, subakut, dan kronik
Letak anatomi : etmoidalis, maksilaris, frontalis, dan sfenoidalis
Organisme penyebab : virus, bakteri, dan jamur
Keberadaan kelainan ekstra sinus : komplikata dan non komplikata
Modifikasi faktor yang berpengaruh : atopi, imunosupresi, obstruksi
Sinusitis dikategorikan sebagai sinusitis akut apabila gejala radang akut
pada sinus berlangsung dari beberapa hari sampai 4 minggu dan terapi yang
diberikan adalah dengan medikamentosa. Sinusitis subakut adalah sinusitis
dengan gejala radang akut yang sudah mereda dan penyakit berlangsung selama 4
minggu sampai 3 bulan. Perubahan histologik mukosa sinus yang terjadi pada
sinusitis subakut masih bersifat reversibel dan terapi dilakukan dengan
medikamentosa. Bila gejala sinusitis berlangsung lebih dari 3 bulan maka disebut
sinusitis kronis. Sinusitis kronis terjadi karena sinusitis akut yang tidak diobati
atau yang tidak mendapatkan pengobatan yang adekuat. Perubahan histopatologi
mukosa sinus sudah bersifat irreversibel, terjadi gangguan pada mekanisme
drainase alami sinus sehingga terapi pembedahan perlu dilakukan.

2.3 Patofisiologi
Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil
dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk
membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena mukus ini
keluar melalui meatus media. Drainase ke empat sinus paranasal dialirkan ke
dalam cavum nasi. Sinus frontalis, maksilaris, dan etmoidalis anterior
mengalirkan sekretnya melalui kompleks ostio meatal pada meatus media.
Sedangkan drainase sinus etmoidalis posterior dan sfenoidalis ke meatus superior
melalui recessus sfenoetmoidalis. Pada sinus maksilaris aktivitas mukosilier
dalam mendrainase melawan gravitasi.
Mekanisme patofisiologi dari sinusitis berhubungan dengan 3 faktor yaitu
keutuhan ostia, fungsi silia dan kualitas sekresi nasal. Perubahan salah satu faktor
dapat mempengaruhi fisiologis sinus dan dapat menyebabkan sinusitis. Adanya
gangguan pada ostium akan menghambat drainase sinus. Pembersihan mukus oleh
silia akan dialirkan ke ostium sehingga bila ada obstruksi pada ostium maka
gerakan silia menjadi terganggu dan cairan akan berakumulasi di dalam sinus.
Obstruksi pada ostia akan menyebabkan berkurangnya kadar oksigen pada
sinus. Hal ini akan memudahkan terjadinya infeksi pada sinus. Keadaan hipoksia
dan akumulasi cairan akibat obstruksi ostium merupakan medium ideal untuk
pertumbuhan bakteri.
Rongga sinus bergantung pada transport mukosilier untuk menciptakan
lingkungan yang bebas bakteri. Sinus dilapisi oleh epitel kolumner bertingkat
semu bersilia. Fungsi silia dapat terganggu karena keadaan hipoksia. Sel silia
dapat hilang atau rusak akibat polutan pernafasan, trauma pembedahan dan
penyakit sinus kronik.
Produksi mukus dari sel Goblet dapat meningkat akibat dari iritan
pernafasan, polutan, alergen serta udara dingin. Hal tersebut juga dapat
meningkatkan viskositas mukus sehingga dapat mengurangi efektivitas
pembersihan silia dan menjadi media yang baik untuk pertumbuhan bakteri.
Gbr. Kanan: Drainase sinus normal. Kiri: Drainase yang terhambat menyebabkan sinusitis

2.4 Etiologi
Penyebab sinusitis tergantung dari klasifikasinya yaitu akut dan kronis.
Penyebab sinusitis akut:
rinitis akut
infeksi daerah faring (faringitis, tonsilitis akut, adenoiditis)
infeksi gigi rahang atas M1, M2, M3, serta P1 dan P2
berenang dan menyelam
trauma (perdarahan mukosa sinus paranasal)
barotrauma yang dapat menyebabkan nekrosis mukosa sinus
Penyebab sinusitis kronis:
polusi bahan kimia yang menyebabkan silia rusak
alergi dan defisiensi imunologi
infeksi virus, bakteri dan jamur
obstruksi kompleks osteo meatal
kelainan anatomi

2.5 Gejala Klinis dan Diagnosa


Sinusitis akut:
- Sakit kepala
- Nyeri pada sinus yang terkena
- Nasal obstruksi
- Pembengkakan di wajah
- Gejala-gejala sistemik sistemik seperti : panas, malaise, lethargi
- Nasal discharge, dapat berupa mukopurulen berwarna kuning kehijauan,
kental dan agak berbau
- Kadang dirasakan nyeri di daerah lain karena adanya referred pain
- Pada sinusitis maksilaris terasa nyeri di pipi yang kadang menyebar ke
gigi. Terdapat referred pain di dahi dan depan telinga.
- Pada sinusitis frontalis terasa nyeri di dahi kadang meluas ke seluruh
kepala.
- Pada sinusitis etmoidalis nyeri dirasakan pada bagian medial hidung dan
area retro orbital
- Pada sinusitis sfenoidalis nyeri dirasakan pada verteks, oksipital, daerah
belakang mata dan daerah mastoid
- Pada rinoskopi anterior didapatkan mukosakonka hiperemis dan edema
serta adanya mukopus di ostium sinus
- Pada rinoskopi posterior didapatkan post nasal drip
Sinusitis subakut:
- Gejalanya sama dengan sinusitis akut namun gejala peradangan akutnya
(demam, sakit kepala hebat, nyeri tekan) sudah reda
- Pada rinoskopi didapatkan sekret yang purulen di meatus media atau
superior dan di nasofaring
Sinusitis kronik:
- Nasal discharge yang mukopurulen
- Nasal obstruksi yang jelas
- Post nasal drip dan gejala iritasi pada orofaring dan laring
- Nyeri dan gejala sistemik jarang
- Sakit kepala pada pagi hari
Salah satu cara menegakkan diagnosa sinusitis adalah berdasarkan kriteria
berikut ini:
Gejala Mayor:
Nyeri pada wajah
Kongesti atau rasa penuh pada wajah
Hidung tersumbat
Sekret hidung
Hyposmia atau anosmia
Adanya sekret purulen pada rongga hidung
Demam
Gejala Minor:
Sakit kepala
Fatigue (lelah)
Halitosis
Sakit gigi
Batuk
Sakit atau rasa penuh pada telinga
Diagnosa dapat ditegakkan bila terdapat:
dua atau lebih gejala mayor
satu gejala mayor dan dua gejala minor
tiga gejala minor
Selain itu pemeriksaan penunjang sangat membantu penegakkan diagnosa.

2.6 Pemeriksaan Penunjang


2.6.1 Transluminasi
Pemeriksaan transluminasi digunakan untuk menilai kondisi sinus
maksilaris dan sinus frontalis. Sinus yang sakit menjadi suram atau gelap karena
adanya sekret atau pus. Pemeriksaan ini bermakna apabila salah satu sinus normal
sebagai pembanding atau apabila telah dilakukan pemeriksaan awal saat sinus
masih normal.
2.6.2 Kultur dan Tes Resistensi
Pemeriksaan ini dapat menggunakan bahan pemeriksaan berupa sekret
hidung ataupun sinus. Sekret sinus merupakan bahan pemeriksaan yang lebih
akurat, dapat diambil dengan melakukan aspirasi pada sinus. Namun perlu
diperhatikan adanya kontaminasi bakteri dari hidung dan mulut.
2.6.3 Radiologi
Pemeriksaan ini sering dilakukan dan sangat membantu dalam
mendiagnosa sinusitis. Pada sinusitis akan tampak penebalan membran mukosa
sinus, air fluid level atau opasitas. Foto radiologi yang dapat dilakukan hdala
Waters, Caldwell, PA dan lateral. Namur spesifitas dan sensitivitas pemeriksaan
ini bergantung pada kemampuan dan pengalaman dalam menginterpretasikannya.
2.6.4 Nasal Endoskopi
Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat anatomi rongga hidung, antara
lain konka, meatus media, septum dan juga dapat melihat adanya perubahan
mukosa hidung, polip, dan tumor. Pemeriksaan ini sering dilakukan pada
penderita gangguan hidung dan sinus.
2.6.5 CT-scan
CT-scan memiliki sensitivitas dan spesifitas yang tinggi untukmelihat
adanya penebalan membran mukosa sinus, air fluid level atau opasitas. Di negara
maju pemeriksaan ini merupakan pilihan utama.
2.6.6 MRI (Magnetic Resonante Imaging)
MRI juga efektif dalam mengevaluasi sinus.

2.7 Terapi
2.7.1 Terapi Medikamentosa
Terapi medikamentosa dalam menangani sinusitis meliputi penggunaan
antibiotik, dekongestan, mukolitik dan metoda lain dalam membersihkan sekret
hidung dan kadang diperlukan pemberian kortikosteroid.
Antibiotik
Pemberian antibiotik inisial pada sinusitis dipertimbangkan berdasarkan pola
kuman secara empiris. Antibiotik inisial dapat diganti apabila tes resistensi
sudah memberikan hasil. Pertimbangan memberikan antibiotik juga
dipengaruhi oleh keparahan penyakit dan pengobatan antibiotik yang telah
diterima pasien.
Antibiotik pilihan utama dalam terapi sinusistis adalah golongan beta-laktam,
termasuk amoksisilin (dengan atau tanpa asam klavulanat), sefpodoksim, atau
sefuroksin. Untuk pasien yang alergi golongan beta-laktam dapat diberikan
trimetoprim-sulfametoksazol, doksisiklin, atau golongan makrolid pada kasus
yang ringan. Pada kasus yang berat dapat diberikan fluorokuinolon.
Pada sinusitis akut, antibiotik diberikan untuk 10-14 hari. Untuk sinusitis
kronis dibutuhkan waktu yang lebih lama yaitu 3-4 minggu. Perlu diingat
bahwa antibiotik harus tetap diberikan selama 7 hari setelah gejala hilang.
Dekongestan
Dekongestan adrenergik alfa dapat mengurangi sumbatan dengan
menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah sehingga dapat mengecilkan
jaringan yang mengalami kongesti. Obat ini dapat diberikan secara topikal
ataupun sistemik. Namun perlu diingat bahwa pemberian sediaan topikal
dibatasi maksimal 5 hari untuk meminimalisasi resiko terjadinya rinitis
medikamentosa, oleh karena itu biasanya digunakan sediaan sistemik yaitu
pseudoefedrin. Pengobatan obat ini harus berhati-hati pada penderita
hipertensi. Obat ini juga memiliki efek stimulasi sehingga sebaiknya diminum
beberapa jam sebelum tidur untuk menghindari insomnia. Dosis maksimal
dalam 1 hari adalah 240 mg, dan biasanya diberikan 3 kali sehari.
Mukolitik
Mukolitik dapat membantu mengencerkan sekret nasal dan sinus. Iodida dan
guaiafenisin dapat digunakan dalam terapi sinusitis. Efek samping yang dapat
terjadi antara lain rasa tidak nyaman pada saluran pencernaan.

Nasal toilet
Membersihkan rongga hidung dari sekretnya dapat dilakukan dengan
menggunakan larutan salin fisiologis. Irigasi mengunakan larutan salin
fisiologis dilakukan dengan cara memakai trokar yang ditusukkan di meatus
inferior, diarahkan ke sudut luar mata atau tepi atas daun telinga, selanjutnya
dialirkan larutan salin fisiologis. Sekret akan keluar melalui hidung atau
mulut. Pungsi dan irigasi dapat dilakukan melalui fossa kanina. Pada kasus
yang meragukan pungsi dapat digunakan sebagai tindakan diagnostik untuk
memastikan ada tidaknya sekret di sinus maksilaris.
Antrostomi adalah pembuatan lubang di meatus inferior yang menghubungkan
rongga hidung dengan antrum sinus maksilaris. Lubang ini dipakai untuk
menghisap sekret dan ventilasi sinus maksilaris.
Poetz displacement therapy berprinsip membuat tekanan negatif dalam rongga
hidung dan sinus paranasal untuk dapat menghisap sekret ke luar. Diteteskan
larutan vasokonstriktor (HCl efedrin 0,5-1,5%) untuk membuka ostium yang
kemudian masuk ke dalam sinus. HCl efedrin akan mengurangi edema
mukosa dan tercampur dengan sekret dalam rongga sinus kemudian dihisap ke
luar. Sementara itu pasien harus mengatakan kak-kak-kak agar palatum
molle terangkat sehingga ruang antar nasofaring dengan orofaring tertutup.
Dengan demikian cairan tidak dapat masuk ke orofaring, sedangkan ruang
nasofaring, hidung serta sinus paranasal menjadi rongga yang bertekanan
negatif pada saat penghisapan, sehingga sekret mudah keluar.
Facial sauna juga dapat menjadi cara alternatif dalam membersihkan sekret
hidung. Menghirup uap panas dari mangkok yang berisi air panas, atau mandi
dengan air panas juga dapat membersihkan sekret hidung.
Kortikosteroid
Kadang kortikosteroid topikal juga digunakan dalam pengobatan sinusitis
untuk mengecilkan edema secara optimal. Kortikosteroid terutama digunakan
pada sinusitis kronis.

2.7.2 Terapi Operatif


Terapi operatif dilakukan untuk memperbaiki drainase sinus. Terapi ini
dilakukan bila terdapat ancaman terjadinya komplikasi, penderita merasakan sakit
yang hebat, dan bila penderita tidak berespon terhadap terapi medikamentosa.
Terapi operatif dapat dibagi menjadi dua macam yaitu pembedahan radikal dan
non-radikal.
Pada pembedahan radikal dilakukan pengangkatan mukosa yang patologis
dan membuat drainase dari sinus yang terkena. Untuk sinus maksilaris dilakukan
operasi Caldwell-Luc, sedangkan untuk sinus etmoid dilakukan etmoidektomi
yang dapat dilakukan intranasal ataupun ekstranasal. Drainase sekret sinus
frontalis dilakukan dengan operasi Killian, sedangkan untuk sinus sfenoid
dilakukan pembedahan dari intranasal.

Gbr. Algoritme panatalaksanaan sinusitis.

Pada pembedahan non-radikal dikembangkan metode operasi dengan


menggunakan endoskopi yang disebut Bedah Sinus Endoskopi Fungsional
(BSEF). Prinsipnya adalah dengan membuka dan membersihkan kompleks ostio
meatal yang menjadi sumber penyumbatan dan infeksi, sehingga ventilasi dan
drainase sinus dapat lancar kembali melalui ostium alami. Dengan demikian
mukosa sinus akan kembali normal.
FESS / BSEF merupakan tehnik operasi atau pembedahan yang dilakukan
pada penyakit hidung dan sinus paranasal, misalnya sinusitis, polip dan lainnya
dengan bantuan alat endoskopi. Dengan menggunakan alat endoskopi tersebut,
rongga sempit pada hidung dan sekitarnya yang sulit dilihat dengan mata secara
langsung akan tampak dengan jelas, sehingga kelainan sekecil apapun dapat
diketahui.

Sebelum dilakukan FESS / BSEF, penderita akan dilakukan pemeriksaan


mulai dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, pemeriksaan foto rongtgen dan
CT-Scan. Penderita diberikan terapi pendahuluan untuk persiapan operasi.
Sedangkan keberhasilan pasca operasi FESS / BSEF juga ditentukan perawatan
pasca operasi minimal 4 kali, yaitu pada minggu pertama, kedua, keempat dan
minggu keenam. Tujuan dari perawatan ini adalah untuk membersihkan luka
bekas operasi dan mencegah perlengketan luka operasi.
Kelebihan tehnik FESS / BSEF adalah dapat melihat dengan lebih jelas
struktur anatomi dan kelainan di dalam rongga hidung dan sinus paranasal; dapat
menentukan lokasi penyakit dengan tepat; luka operasi minimal (tidak ada irisan
operasi di daerah muka); proses penyembuhannya lebih cepat dan lebih nyaman;
fungsi hidung dan sinus paranasal dapat dipertahankan; selain itu dapat dibuat
dokumentasi
2.7 Komplikasi
Komplikasi sinusitis berhubungan dengan daerah sinus yang terkena.
Komplikasi dapat mengenai:
Orbita dan periorbita karena tiga sisi mata berbatasan dengan sinus, dapat
berupa abses, proptosis, selulitis orbital, gangguan penglihatan, gangguan
pergerakan bola mata dan peningkatan tekanan intraokular.
Osteomielitis pada os frontal atau os maksila
Terbentuknya fistula oroantral
Komplikasi intrakranial (abses epidural, meningitis, abses otak, trombosis
sinus kavernosus)
Bila komplikasi timbul maka pengobatan harus dilakukan dengan lebih agresif
dan perlu dilakukan kerja sama dengan bagian optalmologi dan bedah saraf.

BAB III
KESIMPULAN
Sinusitis dikenal sebagai proses inflamasi pada satu atau lebih sinus
paranasal dan diklasifikasikan menjadi bentuk akut, subakut dan kronis.
Gejala sinusitis dapat berupa sumbat hidung, rinorea purulen, post nasal
drip, nyeri fasial atau dental, hiposmia atau anosmia, sakit kepala dan
batuk. Gejala yang lebih spesifik meliputi perlunakan rongga sinus, edema
mukosa, sekresi hidung purulen dan edema periorbital.
Pemeriksaan penunjang selain transiluminasi atau nasal endoskopi adalah
radiologi standar, CT-Scan yang digunakan untuk evalusi infeksi.
Terapi sinusitis berupa terapi medikamentosa dan terapi operatif. Terapi ini
didasarkan pada gejala dan ancaman komplikasi.
Komplikasi yang dapat terjadi pada sinusitis adalah abses, proptosis,
selulitis orbital, gangguan penglihatan, gangguan pergerakan bola mata,
peningkatan tekanan intraokular, osteomielitis, fistula oroantral, abses
epidural, meningitis, abses otak, dan trombosis sinus kavernosus.

BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
Bailey BJ. 2001. Maxillary, Ethmoid and Sphenoid Sinuses. In : Atlas of Head
and Neck Surgery Otolaryngology. Lippincott Raven Pub. Philadelphia New
York.

Nauman HH, Messerklinger W. 1995. Surgery of The Paranasal Sinuses. In :


Head and Neck Surgery; Face, Nose, anbd Facial Skull, Part II. Second
Edition. Thieme Medical Publisher, Inc. New York.

Adams GL, Boies Jr LC, Hilger PA. 1997. Boies: Buku Ajar Penyakit THT.
Edisi 6. Jakarta : EGC.

Soepardi EA, Iskandar N. 1997. Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung
Tenggorok. Edisi 3. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.

Mansjoer, Arif, et al. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jakarta :


Media Aesculapius.

Berger at all, Parameter for the diagnosis and management of sinusitis, The
journal of Allergy and Clinical Immunology, Vol.102, Number.6, part 2,
Dec.1998

Anda mungkin juga menyukai