Anda di halaman 1dari 13

TUGAS BAHASA INDONESIA

MEMBUAT CER
PEN
SEBU AH
NAMA

SEBUAH CERITA
Dibuat oleh :
Moch Farid Azis (19/XA)

SMA NEGERI 1 SRAGEN


2010-2011
Nama, bukan suatu hal yang asing lagi. Tapi, karena sebuah nama aku
dapat lebih memaknai kehidupanku sebagai anak manusia. Namaku Arjuno dan
inilah kisahku.

Aku memang bukan berasal dari keluarga kaya yang terpandang. Ayahku
bukan seorang pejabat yang berlambang tikus, bukan juga seorang guru yang killer,
bukan pula seorang astronot yang sering ke luar angkasa ataupun alien yang suka
menampakkan kendaraan canggihnya agar dikagumi dan diabadikan dalam kamera
sehingga ia bisa terkenal sampai sekarang. Bukan, bukan itu, Ayahku hanya bekerja
sebagai kuli serabutan. Meski begitu aku sangat menyayanginya dan tidak pernah
mencoba untuk tidak mengakuinya sebagai Ayahku.

Meski dari keluarga yang sederhana (sangat) aku tidak terlalu terpengaruh
dengan status itu. Namun, setelah aku masuk di salah satu SMA terkemuka di
Jakarta aku baru merasakan jerih payah yang telah dilakukannya untukku, untuk
masa depanku. Itulah sebabnya aku bersikeras agar dapat mengikuti lomba SAINS
yang diadakan oleh suatu Universitas terkemuka di Indonesia. Dan yang paling
kuharapkan dari semua hadiah yang akan kudapat nanti adalah aku dapat
membebaskanku dari segala biaya yang berhubungan dengan sekolahku ini
(singkatnya beasiswa). Bahkan guruku sampai jenuh melarangku untuk ikut lomba
tersebut karena aku masih di kelas sepuluh awal dan juga dapat kelas yang terakhir
yaitu XG, kelas yang hampir seluruh siswanya memiliki status sosial sepertiku
namun berprestasi.

Arjuno, sudah berapa kali Ibu bilang kalau kamu belum bisa mengikuti
perlombaan ini. Kamu masih kelas sepuluh, Juno. Sedangkan saingan kamu
nantinya kebanyakan adalah siswa kelas sebelas bahkan dua belas, kata Bu Susan
kesal.
Ayolah Bu, saya mohon, Ibu bisa mengikutkan saya dalam perlombaan itu.
Saya yakin saya bisa menangin lomba itu. Karena hanya dengan cara inilah saya
bisa meringankan beban kedua orangtua saya, pintaku dengan wajah memelas
yang kubuat-buat. Berharap Ibu guru bisa memberiku kesempatan pertama di tahun
ajaran baru ini.
Kamu yakin, kamu bisa? Baik, kalau begitu saya akan memberikan
kesempatan untuk kamu mengikuti perlombaan SAINS ini. Tapi, jika kamu gagal
dalam kesempatan ini, bahkan kamu mempermalukan sekolah dengan hasil lomba
yang sangat minimal (peringkat paling akhir di antara yang terakhir). Kamu akan
sangat susah untuk bisa diikutkan lomba dalam even-even yang akan datang. Apa
kamu siap dengan konsekuensi itu? tanya Bu Susan berharap nyaliku akan turun
dan mundur dari calon peserta lomba.
Beneran, Bu? Wow, terimakasih banyak ya Bu. Ibu emang guru yang paling
pengertian dan baik banget, walaupun Ibu itu galak banget waktu ngajar di kelas.
Tapi, gak masalah deh. Yang terpenting sekarang adalah Ibu sudah memberikan
saya kesempatan emas. Saya janji, saya akan berusaha semaksimal mungkin untuk
dapat menang dalam lomba itu, kataku dengan ekspresi bahagia yang sebenarnya
lebih mirip dengan anak bayi yang berhenti menangis karena dibelikan permen satu
biji.
Jadi, menurut kamu saya itu guru yang galak, gitu? tanya Bu Susan sinis.
Ya, jelaslah Bu. Ibu tau sendiri kan, setiap Ibu ngajar di kelas, semua murid
langsung diam. Keadaan kelas menjadi hening seperti kuburan. Ya, otomatis Ibu
itu..., kataku terhenti setelah aku sadar bahwa aku telah mencari masalah dengan
hiu yang lapar di laut bebas.
Otomatis Ibu itu apa? Kenapa nggak dilanjutin ngomongnya? katanya
dengan ekspresi menakutkan bak seorang kuntilanak yang mencari mangsa di siang
bolong.
Untunglah saat itu bel sekolah berbunyi, tanda jam istirahat telah selesai.
Jadi, aku tidak perlu mencari alasan untuk meninggalkan tempat itu dan mengakhiri
pembicaraan sebelum aku mencari alasan lain yang sungguh tidak logis. Seperti,
tetangga saya mau lahiran atau saya diajak bolos teman saya. Tidak, itu sangat
mustahil.
Akhirnya, setelah menjalani tekanan batin dan pikiran yang sangat dalam, aku
mendapatkan juara pertama dalam lomba tersebut. Thanks God, akhirnya aku bisa
mendapatkan beasiswa itu, dan meringankan beban kedua orangtuaku. Terutama
ayahku. Setelah aku mendapat juara, aku pun mendapat hadiah tambahan berupa
perpindahan kelas ke kelas yang dihuni oleh siswa yang sangat cerdas dan ber-IQ
tinggi, serta siswa yang orangtuanya berduit, yaitu kelas XA.
Juno, mulai hari ini kamu bisa belajar di kelas ini. Selamat ya? Kamu senang
kan sekarang? Ibu harap kamu bisa terus meningkatkan prestasi kamu. Kalau tidak,
bukan tidak mungkin kamu akan kembali ke kelas lamamu, kata Bu Susan
memperingatkan.
Iya Bu, saya akan berusaha semaksimal mungkin. Ibu tenang aja. Oh, iya,
Ibu jangan kangen ya sama saya. Kan Ibu udah nggak ngajar di kelas saya
sekarang,kataku senang.
Saya memang nggak ngajar kamu di kelas. Tapi, saya akan selalu
mengawasi gerak-gerik kamu. Yang perlu kamu ingat ketika kamu berada di kelas ini
adalah jangan pernah sekali-kali kamu bohong tentang diri kamu yang sebenarnya
kepada orang lain apalagi diri kamu sendiri. Ini cuma sekedar peringatan supaya
kamu nggak salah dalam bertindak, lanjut Bu Susan yang setelah itu langsung pergi
menuju ruangannya. Sementara aku masih bertanya-tanya apa maksud dari
omongan Bu Susan tadi.

Hari pertama di kelas baru. Hari ini pasti akan sangat menyenangkan,
pikirku.
Namun, itu semua hanya ada di dalam pikiranku saja. Teman-temanku
mempunyai nama yang bagus dan enak didengar, sementara aku? Setiap aku
dipanggil dengan nama lengkapku, teman-temanku langsung tertawa mengejek.
Beban batin di hari pertama,pikirku lagi.
Tiba-tiba ada segerombolan siswa yang menghampiriku mereka adalah Ricky,
Gilang, dan Rangga. Mereka adalah siswa kelas XD yang terkenal kenakalannya.
Wow, gue nggak nyangka di sekolah kita ada tokoh wayangnya, kata Ricky
menyindirku.
Mendingan, loe ganti nama aja deh. Nama panggilan loe emang bagus, Juno
kan? Tapi, nama panjang loe, Arjuno. Ditambah dandanan loe hari ini.. JELEK
BANGET!!ejek Rangga sambil tertawa.
Mending, kita cepetan pergi dari sini, sebelum ada kambing ngamuk nyudruk
kita, ajak Gilang, yang kemudian berlalu dan diikuti oleh Ricky dan Rangga.
Setelah mereka berlalu, Rasty dan Vito sahabat baikku dari SMP tiba-tiba
datang menghampiri.
Tadi, mereka ngapain loe Juno? Pasti mereka ngledekin ya? Nggak usah loe
dengerin deh kata-kata mereka. Mereka emang suka banget ngerusak mood orang
lain,kata Rasty menenangkan pikiranku.
Gue emang nggak terlalu ngurusin ejekan mereka. Tapi, idenya Rangga
bagus juga,kataku.
Loe nggak lagi kepikiran buat ganti nama loe kan? tanya Vito penasaran.
Maybe? Tapi, gue pengen nyoba itu. Cuma sementara aja kok, paling cuma
1 bulan. Dan yang gue rubah cuma nama lengkap, sapaan gue tetap Juno dong.
Gimana menurut kalian? tanyaku berharap ada usul nama yang keren untukku.
Terserah loe aja deh.jawab mereka serempak.
Oke dah, mulai besok akan aku ubah, kataku.

Hai, kenalkan, namaku Vita, ajak Vita berkenalan.


Hai juga. Namaku Juno, jawabku.
Apa nama lengkapmu, Juno? tanya Vita.
Emm,, emm.., jawabku dengan membisu karena kebingungan.
Ada apa Jun? tanya Vita lagi.
Gak pa pa Vit. Nama lengkapku Junio Vile Devil, jawabku dengan gugup.
Owh.., Vita mengangguk.

Langit malam gelap telah tergantikan oleh cerahnya langit pagi nan sejuk.
Hari kedua di kelas baru akan segera dimulai. Ok, saatnya ganti nama. Mulai dari
facebook, twitter, dan yahoo answer, kataku dalam hati ketika bangun. Tetapi ketika
aku bangun dari tempat tidur, aku tersadar, bahwa aku tidak memiliki itu semua. Aku
hanya memiliki sebatang hp butut pemberian ayahku.
Juunooo...! Sudah bangun nak? tanya ibuku bergegas untuk
membangunkan.
Sudah bu. Juno sudah bangun, jawabku dengan tanda tanya. Biasanya aku
bangun tidur kalo dibangunin. Tapi ini beda, aku bangun tidur dengan sendiri. Tidak
dibangunkan.
Ya udah. Cepetan mandi! suruh ibu.
Iya, jawabku dengan santai.
Sampai di sekolah, kulalui hadapan teman sekelasku dengan mengendarai
sepeda onthel tua.
Hei! Itu Juno, kan? Iya, itu anak baru di kelas kita. Gue gak nyangka
punya teman sepeda butut. Eh salah, maksudku, teman bersepeda butut.
Hahahaha.., celoteh dan ejekan teman-teman baruku ketika melihatku melintas.
Sabar,sabar,sabar, ucap sahabatku, Rasty di parkiran dengan suara
lembutnya.
Iya, Ras, kataku sambil mengangguk dan kukatakan, Bawaanmu
sepertinya banyak dan berat. Biar aku bantu.
Enggak, gak usah. Ntar malah ngrepotin kamu, jawab Rasty dengan malu-
malu.
Gak usah malu-malu. Mana tasnya. Aku bawain, paksaku.
Iya, ini. Ati-ati. Berat, kata Rasty.
Halah, enteng. Tapi kasian kamu kalo bawa berat gini, sahutku dengan sok
kuat. Padahal emang berat benar bawaannya. Kasian.. Akan aku bawakan sampai
ke kelasnya.

Cuit-cuit.. Ihiirr.. Siapa tuh? Kyaknya da yang baru jadian, sorak teman-
temanku XG. Aku dan Rasty tersipu malu mendengar sorak teman-teman. Tapi, ya
sudahlah. Biarkan saja. Kami hanya sebatas sahabat.
Juno, kyaknya cukup sampai di sini aja deh, kata Rasty.
Apa?Apanya? jawabku dengan kaget diikuti sorak-sorakan dari teman-
teman.
Itu, yang kamu bawa. Taruh di situ saja. Makasih ya! kata Rasty dengan
tersenyum senang.
Saatnya ke kelas. Aku siswa baru di sana, gak boleh terlambat masuk kelas.
Krriiiiinngg... Krriiiiinngg... Krriiiiinngg..., bunyi bel telah terdengar. Aku harus
cepat-cepat masuk kelas. Lari, lari, dan lari.
Hei Juno! Coba lihat rambutmu, kata temanku dengan nada lantang.
Emangnya ada apa? tanyaku dengan bingung. Apa yang salah dengan
rambutku, pikirku.
Kayaknya rambutmu perlu di-laundry atau dipel sekalian. Hahahaha.., ejek
teman-temanku.
Langsung saja aku masuk kelas tanpa permisi. Beberapa saat berlalu, guru
Kimia datang dan doa hendak belajar dimulai. Kukira aku salah jadwal, eh ternyata
memang benar jam pertama pelajaran fisika dan ternyata guru fisika sedang
berhalangan mengajar karena ada tugas ke luar kota, ke Semarang. Langsung saja
Bapak Najib (guru kimia) memberikan titipan tugas fisika.
Ya,, gak jadi ulangan, batinku dan teman-temanku. Sudah lama kunantikan
ulangan Kimia, tapi ditunda lagi. Tapi tak apa. Aku jadi punya lebih banyak waktu
untuk belajar lebih matang dan mendalam.
Vita, teman sekelasku yang baru. Dia sangat baik dan cantik. Dia
membantuku dalam menyesuaikan diri dengan kelas baruku, lingkungan baruku.
Bahkan ketika aku berkenalan dengannya, dia juga menawarkanku untuk belajar
kelompok bersamanya. Tentunya, langsung aku terima tawaran itu.
Jam dinding telah menunjuk pukul 13.30 siang. Sekolah usai dan saatnya
pulang. Aku jalan ke parkiran bersama Vita. Kukira dia akan pulang dengan
mengendarai motor bagus. Tapi perkiraanku salah. Dia tidak mengendarai motor
bagus atau sejenisnya. Dia pulang mengendarai sepeda onthel. Sungguh tidak
tersemat dipikirku, ternyata ada anak kelas favorit, pintar, dan kaya pulang dan pergi
sekolah naik sepeda onthel.
Mau pulang bareng? tanyanya.
Emm, emangnya boleh? tanyaku balik.
Bolehlah. Aku akan lebih senang kalo pulang gak sendirian, jawabnya.
Lalu kami pulang bersama. Aku temani dia sampai di depan rumah.

Tak terasa, 15 menit telah berlalu. Kami sudah sampai di depan rumah Vita.
Sungguh tak kusangka. Rumahnya begitu mewah dan megah. Aku jadi kecil nyali
berteman dengannya.
Juno.. Juno.. Hei, Juno..! Kamu ngalamun ya?? tanya Vita.
I, i, iya.. Aku gak sengaja ngalamun. Maaf ya., jawabku dengan gugup dan
gemetar.
Ya sudah. Pulang sana. Ntar dicari ortumu lho, kata Vita.
Iya, iya. Ya sudah. Aku pulang dulu. Assalamualaikum, pamitku.
Iya. Waalaikumsalam. Hati-hati ya! jawab Vita.
Sampai di rumah, kuketuk pintu dan ucapkan salam. Ibu menyambutku
dengan baju lamanya dengan penuh senyuman. Kuletakkan tas dan bergegas
menuju kamar untuk tidur dan belajar dalam mimpi. Tetapi itu berlangsung hanya
sejenak, karena aku harus membantu ayah bekerja. Bekerja mencari nafkah untuk
menghidupi keluarga dan bekal masa depanku.

Mentari pagi telah beranjak naik. Seperti biasa, aku masuk kelas dengan sisa
waktu yang mepet, alias hampir terlambat. Namun aku tidak pernah terlambat.
Juno, Juno..! Vito dan Rasty memanggilku.
Iya, ada apa? jawabku.
Kamu ingat ini hari keberapa? tanya Vito.
Maksudmu? Aku gak tau apa yang kamu katakan, Vit, jawab Juno.
Ini hari ke 31, alias 1 bulan. Kamu pernah berkata bahwa kamu mengganti
nama lengkapmu hanya dalam 1 bulan. Setelah itu, kamu akan kembali dengan
nama lengkapmu, jelas Rasty.
Owh,, masalah nama, jawab Juno dengan enteng.
Jadi, udah kamu ubah lagikan? Dan kamu akan mengakui nama aslimu,
bukan? tanya Rasty dan Vito serius.
Emm, gimana ya? Aku lebih nyaman dengan nama baruku. Aku tidak lagi
minder dan berkecil hati seperti dulu. Jadi, aku tidak akan merubah nama baruku ke
nama lamaku, Jawab Juno.
Juno. Kamu ini gimana ta? Kok gak konsisten dengan kata-katamu dulu?
Nama merupakan pemberian orang tua, sahut Rasty.
Pemberian sih pemberian. Tapi namanya yang bagus gitu napa? Teman-
teman pada punya nama yang bagus-bagus dan keren. Sedangkan aku? Aku diberi
nama lengkap Arjuno Aqil Ijlal. Nama yang gak keren & memalukan, jawabku
dengan sinis & tak peduli.
Lebih baik nama aslimu, Juno. Karena nama aslimu merupakan permberian
terindah dari orangtuamu Juno. Hargai, dan jangan abaikan itu, kata Vito.
Iya, iya. Pergi sana! Aku mau ke kelas dulu, bentakku dengan nada marah.

Di kelas, Vita membawa buku yang berceritakan tentang wayang. Ketika dia
asik membaca, aku datang menemuinya.
Buku apaan tuh? Pasti buku pelajaran, tanyaku dengan nada sok tahu.
Eh, salah. Ini memang buku pelajaran, tapi bukan pelajaran yang biasanya,
jawab Vita.
Lha terus? Itu buku apaan? tanyaku bingung.
Ini buku yang menceritakan kehidupan perwayangan. Isinya bagus lho,
jawab Vita.
Owh, ya. Silahkan dilanjutkan, kataku.

Hari berganti hari. Semakin lama, aku semakin dekat dengan Vita. Entah apa
yang kurasa. Aku tak tau. Vita begitu baik kepadaku. Dia selalu memotivasiku dan
memberi semangat kepadaku ketika aku mengalami kesulitan maupun
keputusasaaan. Bayang wajahnya selalu terbesit di ingatanku.

Suatu hari, entah mengapa, aku ingin mengajaknya pergi. Akhirnya aku
memberanikan diri untuk mengajaknya pergi keluar rumah. Aku mengajaknya pergi
ke taman kota. Beruntung, dia mau.

Tiba hari yang kutunggu-tunggu itu. Sepulang sekolah, kami mampir ke taman
kota. Di bangku taman, dia membuka buku tentang wayang.
Vita, kamu kok seneng banget sih baca buku perwayangan? tanyaku.
Karena, aku suka dengan pesan-pesan yang tersirat di dalamnya. Dan ada
tokoh perwayangan yang sangat aku idolakan, jawab Vita.
Siapa? tanyaku.
Arjuna. Dia tokoh perwayangan yang paling baik, pemberani, bijkasana, dan
tidak mudah putus asa. Karena karaktermu mirip dia, bolehkah aku memanggilmu
Arjuna? jelas dan tanya Vita.
Arjuna?? Itukan mirip sekali dengan nama asliku, sahutku.
Nama asli? Memangnya namamu yang sekarang ini bukan nama aslimu?
tanya Vita.
Emm, i, iya, jawabku dengan pelan.
Kenapa? Kenapa kamu tidak menggunakan nama aslimu? Kamu tidak
suka? tanya Vita serius.
Emm, gimana ya. Iya, jujur, aku gak suka, jawabku.
Kenapa? Memangnya apa nama aslimu? tanya Vita.
Nama asliku, Arjuno Aqil Ijlal, jawabku dengan malu.
Hahaha, nama yang bagus, sahut Vita sambil tertawa.
Memangnya apa arti namaku? tanyaku dengan bingung.
Arjuno berasal dari kata Arjuna yang berarti bersinar terang, Aqil berarti yang
baik budi, kalo Ijlal artinya terhormat atau mulia, jawab Vita.

Sesampai di rumah, aku langsung ambil sepeda onthel dan bergegas


berangkat pergi ke warnet. Aku cari arti dari nama palsuku. Dan akhirnya ketemu.
Ternyata nama asliku sangat jauh, sangat jauh lebih baik dan bagus daripada nama
palsuku. Aku langsung pulang dan bergegas sungkem untuk meminta maaf kepada
kedua ortuku karena tanpa sepengetahuan mereka, aku telah mengganti nama
lengkapku menjadi Junio Vile Devil. Alhamdulillah dan sujud syukur aku panjatkan.
Orangtuaku mau memaafkan kesalahanku.
Bapak, ibu. Juno minta maaf. Juno minta maaf, kataku sambil menangis.
Ada apa Juno? Mengapa kau menangis? Apa yang terjadi? tanya ibu dan
bapakku.
Bapak, ibu. Juno sudah mengganti nama asli Juno dengan nama palsu
ketika di sekolah. Juno mengganti nama Juno menjadi Junio Vile Devil. Nama yang
sangat buruk, jawabku dengan tangisan.
Ow, jadi itu sebabnya. Sudahlah. Jangan menangis. Bapak dan ibu tidak
marah, karena kamu telah berani mengatakan yang sebenarnya. Tidak
menyembunyikan kesalahan. Sudah. Jangan menangis lagi, nasihat bapak dan
ibuku ketika susana berubah menjadi hening.
Iya pak, bu. Juno akan berlaku jujur. Tidak berbohong lagi. Apalagi sampai
mengganti nama. Juno tidak akan pernah mengganti nama Juno lagi. Maturnuwun,
jawabku dengan bahagia.

Awan agak mendung, tapi kutetap berangkat sekolah. Tak ada alasan untuk
siswa SMA membolos karena hujan. Di kelas, Vita menanyaiku.
Arjuna, kamu udah sungkem pa belum? tanya Vita.
Emm, sudah. Kemarin aku langsung sungkem untuk meminta maaf kepada kedua
ortuku karena tanpa sepengetahuan mereka, aku telah mengganti nama lengkapku
menjadi Junio Vile Devil. Makasih Vita, jawabku.
Iya, sama-sama. Jangan kamu ulangi lagi lho ya. Hargai pemberian orang
tuamu walau hanya sekedar nama. Sebuah nama, sebuah cerita. Orang tua
memberi nama pasti ada maksud dan tujuan tertentu, tidak seenaknya saja, tambah
Vita.
Betul tuh. Iya Betul, sahut Vito dan Rasty secara tiba-tiba.

Akhirnya, aku menggunakan nama asliku lagi dan mengumumkan ke teman-


temanku serta meminta maaf karena telah membohongi mereka. Meski aku
ditertawakan, aku tetap semangat dan senang menggunakan nama asliku, karena
nama asliku merupakan pemberian orang tuaku, dan sangat lebih baik daripada
nama palsuku.

Sore hari, ketika pulang sekolah. Hanya ada aku dan Vita di tempat parkir
sepeda. Aku temui Vita dan bicara serius.
Sore, Vita.., sapaku.
Iya, sore juga Juno.., jawabnya sambil tersenyum.
Aku mau ngomong sesuatu nih, nyataku.
Apaan? Kayaknya penting, tanya Vita.
Emm., iya. Penting banget. Aku, aku, aku, jawabku dengan gugup kurang
percaya diri.
Aku apa? tanya Vita sambil menepuk bahuku.
Aku suka kamu, aku cinta kamu Vit, jawabku dengan lancang karena
ditepuk Vita.
Ow... Terus? tanyanya sambil tersenyum.
Bolehkah aku menjadi pacarmu? Aku menyukaimu apa adanya, tanyaku.
Emm,, gimana ya?? Aku jawab nanti kalau udah sampai di depan rumahku,
jawab Vita.
Ya. Kalau begitu, aku antar kamu pulang, nyataku.

Sesampainya aku dan Vita di depan rumah Vita. Vita menjawab sebelum aku
tanya lagi.
Juno, aku mau. Aku juga suka ma kamu, jawabnya.
Vit, Vita. Aku tidak salah dengarkan? tanyaku sambil tidak percaya.
Enggak., kamu gak salah dengar. Ya dah. Ndang pulang, jawab dan
suruhnya.
Iya. Assalamualaikum, jawabku mengakhiri dan bergegas pulang.
Waalaikumsalam, jawabnya sambil masuk rumah.

Ternyata Vita juga merasakan apa yang aku rasakan. Dia menerimaku apa
adanya. Akhirnya kami berpacaran. Untuk saat ini, besok, dan seterusnya. Tak lupa
aku beritahukan ke Rasty dan Vito. Dan aku selalu ingin membahagiakan ortu dan
tidak ingin mengecewakannya.

Anda mungkin juga menyukai