PENDAHULUAN
Sindrom Nefrotik terjadi akibat dari masalah pada penyaringan ginjal yang
disebut glomerulus. Glomerulus merupakan vasa darah yang sangat kecil yang berada
dalam ginjal yang berfungsi memindakan dan mengeluakan kelebihan cairan dari darah
dan mengirimnya ke kandung kemih sebagai urin. Pada ginjal sehat, darah melewati
penyaring glomerulus dan mengeluarkan kelebihan produk dan menahan sel darah dan
protein yang dibutuhkan tubuh. Bagaimanapun, protein dari darah seperti albumin dapat
melewati glomerulus yang rusak dan masuk ke dalam urin. Pada sindrom nefrotik,
kerusakan glomerulus membebaskan 3 gram atau lebih masuk ke dalam urin dalam
periode 24 jam.9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. ETIOLOGI
II. PATOFISIOLOGI6,7
Proteinuria disebabkan peningkatan permeabilitas kapiler terhadap
protein akibat kerusakan glomerulus. Dalam keadaan normal membran
basal glomerulus (MBG) mempunyai mekanisme penghalang untuk
mencegah kebocoran protein. Mekanisme pertama yaitu berdasarkan
ukuran molekul dan berdasarkan muatan listrik. Dalam hal ini kedua
mekanisme penghalang tersebut terganggu. Selain itu konfigurasi molekul
protein juga menentukan lolos tidaknya protein melalui MBG.
Konsentrasi albumin plasma ditentukan oleh asupan protein,
sintesis albumin hati dan kehilangan protein melalui urin.
Hipoalbuminemia pada SN disebabkan oleh proteinuria masif dengan
akibat penurunan tekanan onkotik plasma. Untuk mempertahankan
tekanan onkotik plasma maka hati berusaha meningkatkan sintesis
albumin namun tidak dapat menghalangi timbulnya hipoalbuminemia.
Diet tinggi protein dapat meningkatkan sintesis albumin, tetapi dapat
mendorong peningkatan eksresi albumin melalui urin. Hipoalbuminemia
dapat juga terjadi akibat peningkatan reabsorbsi dan katabolisme albumin
oleh tubulus proksimal.
Pada sindrom nefrotik terdapat teori underfill yang menjelaskan
bahwa hipoalbuminemia merupakan faktor kunci terjadinya edema pada
SN. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma
sehingga cairan bergeser dari intravaskuler ke jaringan interstisium dan
terjadi edem. Akibat penurunan tekanan onkotik plasma dan bergesernya
cairan plasma terjadi hipovolemia, dan ginjal melakukan kompensasi
dengan cara mensekresi renin yang memicu rentetan aktivitas aksis renin-
angiotensin-aldosteron dengan akibat retensi natrium dan air, sehingga
produksi urine menjadi berkurang, pekat dan kadar natrium rendah.
Mekanisme kompensasi ini akan memperbaiki volume intravaskular tetapi
juga akan mengeksaserbasi terjadinya hipoalbuminemia sehingga edem
makin berlanjut.
Retensi natrium oleh ginjal merupakan defek renal utama yang
disebut overfill. Retensi natrium oleh ginjal menyebabkan cairan
ekstraseluler makin meningkat sehingga terjadi edem. Penurunan laju
filtrasi glomerulus akibat kerusakan ginjal akan menambah retensi natrium
dan edem. Kedua mekanisme tersebut ditemukan pada pasien sindrom
nefrotik. Faktor seperti asuan natrium, efek diuretik atau terapi steroid,
derajat gangguan fungsi ginjal, jenis lesi glomerulus, penyakit jantung dan
penyakit hati akan menentukan mekanisme mana yang lebih berperan.
Terjadinya peningkatan sintesis lipid dan apolipoprotein di hati dan
penurunan katabolisme kilomikron dan lipoprotein berdensitas sangat
rendah (very low density lipoprotein, VLDL). Perubahan ini menyebabkan
zat liporegulator hilang dalam urin dan menyebabkan peningkatan
kolesterol-LDL dan VLDL dalam plasma. Peningkatan kolesterol
disebabkan peningkatan LDL, yang mana merupakan lipoprotein utama
pengangkut kolesterol. Kadar trigliserida yang tinggi dikaitkan dengan
peningktan VLDL. Peningkatan sintesis hati dan gangguan konversi
VLDL menjadi LDL oleh menurunnya enzim Lipoprotein Lipase
menyebabkan kadar VLDL tingi pada SN. Mekanisme hiperlipidemia
pada SN dihubungkan dengan peningkatan sintesis lipid dan lipoprotein
hati dan menurunnya katbolisme. Peningkatan sintesis lipoprotein hati
terjadi akibat tekanan onkotik plasma atau viskositas yang menurun.
Hiperlipidemia membutuhkan terapi diet dan medikamentosa, biasanya
dengan statin.
2. Oligouri
Oligouri dapat dijumpai selama fase edema. Dikatakan
oligouri bila produksi urin 1ml/kgBB/jam
3. Hematuria makroskopik
Biasanya tidak dijumpai pada SNKM, tetapi dapat
dijumpai pada jenis SN primer lainnya
4. Hipertensi
Biasanya tidak dijumpai pada SNKM, tetapi dapat dijumpai
pada jenis SN primer lainnya
5. Gejala lain:
Anoreksia, lemah, urin berbusa, penambahan berat badan.
B. Pemeriksaan lab
1. Pemeriksaan urin
a. Albumin
Dilakukan pemeriksaan saat masuk rumah sakit dan
diulang setiap harinya. Dapat dilakukan dengan cara
semikuantitatif dan kualiatif:
o Semikuantitatif Dipstik
Lebih sensitif untuk protein albumin, dengan
indikator:
Samar = 10-30 mg%
(+) = 30 mg%
(++) = 100 mg%
(+++) = 500 mg%
(++++) = >2000 mg %
o Kualitatif Asam Sulfosalisil
Sensitif pada semua jenis protein diurin, dengan
indikator:
Samar = 20 mg% (urin sedikit keruh)
(+) = 50 mg% ( tampak garis-garis
kehitaman)
(++) = 200 mg% ( garis kehitaman mulai
kelihatan)
(+++) = 500 mg% (flokulasi)
(++++) = >1000 mg% (terdapat endapan
padat)
b. Sedimen : lekosit, eritrosit, oval fat body.
c. Volume : urin ditakar setiap 24 jam
2. Pemeriksaan darah
Dilakuan saat masuk dan diulang tiap hari, meliputi:
Darah rutin
Protein albumin serum jika 2,5 mg/dl disebut
hipoalbuminemia, dan globulin serum cenderung normal.
Kadar kolesterol serum jika 300 mg/ dl2 disebut
hiperkolesterolemia.
Kadar ureum, kreatinin.
C. Pemeriksaan Penunjang
Foto polos thorax
Digunakan untuk mengetahui ada tidaknya efusi pleura dan
infeksi pneumonia paru pada pasien sindrom nefrotik
Ultrasonografi (USG) abdominal
Digunkan untuk mengetahui gambaran, ukuran, bentukn
dan ada tidaknya obstruksi pada ginjal.
Pemeriksaan histologik
Semua penderita SN dianjurkan untuk pemeriksaan
histologik sehingga perlu dilakukan biopsi ginjal. Namun
biopsi ginjal secara perkutan atau pembedahan bersifat
invasif maka biopsi ginjal hanya dilakukan atas indikasi
tertentu.
D. Penegakan diagnosis
Edem anasarka.
Proteinuri masif >3,5 gr/hari atau dengan metode
semikuantitatif dan kualitatif (+++) atau (++++).
Hipoalbimunemia <2,5 gr/dL
Hiperkolesterolemia 300 mg/ dl2
V. PENATALAKSANAAN3,5,6,7,8,9
Pengobatan sindrom nefrotik terdiri dari pengobatan spesifik yang
ditujukan terhadap penyakit yang mendasari dan pengobatan non spesifik
untuk mengurangi proteinuria, mengontrol edem, dan mengobati
komplikasi. Pada pasien SN sebaiknya menyeimbangkan kadar natrium
dalam tubuh untuk mengurangi edem, pasien harus membatasi asupan
natrium yaitu <6 gr/hari dan membatasi asupan cairan < 1,5 L/hari.
Penggunaan diuretik bertujuan untuk menurunkan berat badan
pasien dengan sasaran 1-2 liter (0,5-1kg) per 3 hari untuk menghindari
gagal ginjal dan gangguan elektrolit akut. Loop diuretic seperti furosemid
(Lasix) 40mg/hari atau bumetanide merupakan diuretic yang paling umum
digunakan. Terkadang dibutuhkan dosis besar 80-120 mg/hari furosemid
harus diberikan, salah satunya dikarenakan rendahnya kadar albumin
serum juga membatasi efektivitas diuretic. Obat ini dapat diberikan secara
oral namun sebaiknya diberikan secara intravena karena penyerapan yang
buruk dari obat oral yang dapat disebabkan oleh adanya edema. Diuretic
golongan tiazid, metalazon, atau asetazolamid dapat diberikan sebagai
terapi kombinasi diuretic jika terjadi resistensi.
Kontrol proteinuria dapat memperbaiki hipoalbuminemia dan
mengurangi resiko komplikasi yang ditimbulkan. Pembatasan asupan
protein0,8-1,0 gr/kgBB/hari dapat mengurangi proteinuria. Obat
penghambat enzim konversi angiotensin (ACEI) dan antagonis reseptor
angiotensin II (ARB) dapat menurunkan tekanan darah dan kombinasi
keduanya memiliki efek adiktif dalam menurunkan proteinuria. ACEI
dapat mengurangi ultrafiltrasi protein glomeulus dengan cara menurunkan
tekanan intrakapiler glomerulus dan memperbaiki size barrier glomerulus.
Efek antiproteinurik obat ini berlangsung lama yaitu sekitar 2 bulan
setelah obat dihentikan. ARB jug adapt memperbaiki proteinuri dengan
cara menghambat inflamasi dan fibrosis interstisium, menghambat
peepasan sitokin, factor pertumbuhan, adesi molekul akibat kerja
angiotensin II lokal di ginjal.
Kedua obat ini digunakan sebagai lini pertama dalam proteinuria,
bahkan dalam ketiadaan kondisi hipertensi dan penggunaan kedua obat ini
bersamaan lebih efektif menurunkan proteinuria dibandingkan dengan
penggunaan hanya salah satu jenis obat. Efek antiproteinurik ini
didapatkan dengan cara menurunkan tekanan glomerulus dengan cara
memberikan efek vasodilatasi preferensial pada eferen glomerulus. Obat
anti-inflamasi non steroid (NSAID) dilaporkan dapat menurunkan
proteinuria berdasarkan efek penurunan laju filtrasi glomerulus berturut-
turut untuk penghambatan vasodilator prostaglandin. Hal ini menyebabkan
pengurangan proteinuria sampai 75%. Namun NSAID menyebabkan
penurunan progresif fungsi ginjal pada sebagian pasien.
Pengontrolan tekanan darah yang ketat sangat penting untuk
memperthankan fungsi ginjal dalam semua kasus proteinuria ginjal dengan
tujuan mencapai tekanan darah siastolik 125 mmMg dan diatolik 75
mmHg. Namun tekanan darah rendah <110 mmHg harus dihindari. Semua
golongan obat antihipertensi dapat digunakan untuk memenuhi target
tersebut disertai dengan diet rendah garam <6 gr/hari untuk
mengoptimalkan kerja obat antihipertensi. Calcium channels blockers
seperti verapamil, diltiazem atau dihydropiridine CCB merupakan obat
yang digunakan dalam memenuhi target tekanan darah dan dapat
berkontribusi untuk mengurangi proteinuria dengan cara memiliki efek
vasodilatasi sinergis dengan ACEI atau ARB pada arteri aferen dan juga
memiliki efek kardioprotektif.
Dislipidemia pada sindrom nefrotik belum secara meyakinkan
meningkatkan resiko penyakit kardiovaskular, tetapi bukti klinik dalam
populasi menyokong pendapat perlunya pengontrolan keadaan ini. Obat
penurun lemak golongan statin seperti sivastatin, pravastatin, dan
lovastatin dapat menurunkan kolesterol LDL, trigliserid, dan
meningkatkan kolesterol HDL.
Resiko tromboemboli pada sindrom nefrotik meningkat dan perlu
mendapat penangnan. 20% pasien SN menderita tromboemboli dan paling
sering pada nefropati membranosa. Dapat digunakan dipiridamol 3x75 mg
atau aspirin 100 mg/hari untuk mencegah agregasi trombosit dan deposisi
fibrin. Terapi diberikan selama pasien mengalami proteinuri nefrotik,
kadar albumin <2 gr/dl atau keduanya. Jika terjadi tromboemboli,
diberikan heparin intravena selama 5 hari, dan diikuti pemberian warfarin
oral hingga 3 bulan atau hingga kesembuhan dari SN. Pemberian heparin
dilakukan evaluasi activated partial thromboplastin time (APTT) 1,5-2,5
kali kontrol dan efek warfarin dievaluasi dengan prothrombin time (PT)
yang dinyatakan dengan International Normalized Ratio (INR) 2-3
normal.
Pasien sindrom nefrotik memiliki resiko tinggi terinfeksi patogen
encapsulated seperti pneumonia, peritonitis spontan, dan
dermohypodermitis. Kerentanan ini berhubungan dengan hilangnya
berbagai imunoglobulin diurin dan diterapi antibiotik yang sesuai dan
dapat disertai pemberian imunoglobulin G intravena. Vaksinasi anti
influenza dan antipneumonia dianjurkan dengan pemantauan antibodi
plasma setelah 6 bulan mengingat tingginya kehilangan kekebalan tubuh
pada pasien SN.
Penatalaksanaan SN meliputi terapi spesifik untuk kelainan dasar
ginjal atau penyakit penyebab (pada SN sekunder), mengurangi atau
menghilangkan proteinuria, memperbaiki hipoalbuminemia serta
mencegah dan mengatasi penyulit. Nefropati lesi minimal dan nefropati
membranosa adalah dua kelainan yang memberikan respon terapi yang
baik terhadap steroid. Regimen pemberian kortikosteroid pada orang
dewasa adalah prednison/metilprednisolon 1-1,5 mg/kg berat badan/hari
selama 4 minggu diikuti 1 mg/kg berat badan selang 1 hari selama 4
minggu. Sampai 90% pasien akan remisi bila terapi diteruskan sampai 20-
24 minggu. Pada pasien yang tidak responsif terhadap kortikosteroid,
untuk mengurangi proteinuri digunakan terapi simptomatik dengan
angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI), misal kaptopril atau
enalapril dosis rendah, dan dosis ditingkatkan setelah 2 minggu, atau obat
antiinflamasi non-steroid (OAINS) misal indometasin 3x50mg.
Angiotensin converting enzyme inhibitor mengurangi ultrafiltrasi protein
glomerulus dengan menurunkan tekanan intrakapiler glomerulus dan
memperbaiki size selective barrier glomerulus. Respon klinis yang
diharapkan terhadap kortikosteroid dapat dibagi menjadi :
a. Remisi lengkap
proteinuri minimal (< 200 mg/24 jam)
albumin serum >3 g/dl
kolesterol serum < 300 mg/dl
diuresis lancar dan edema hilang
b. Remisi parsial
proteinuri <3,5 g/harI
albumin serum >2,5 g/dl
kolesterol serum <350 mg/dl
diuresis kurang lancar dan masih edema
c. Resisten
klinis dan laboratoris tidak memperlihatkan perubahan atau perbaikan setelah
pengobatan 4 bulan dengan kortikosteroid.
Pemberian kortikosteroid memberi remisi lengkap pada 67% kasus
SN nefropati lesi minimal, remisi lengkap atau parsial pada 50% SN nefropati
membranosa dan 20%-40% pada glomerulosklerosis fokal segmental. Perlu
diperhatikan efek samping pemakaian kortikosteroid jangka lama di
antaranya nekrosis aseptik, katarak, osteoporosis, hipertensi, diabetes melitus.
Pada pasien yang sering relaps dengan kortikosteroid atau resisten
terhadap kortikosteroid dapat digunakan terapi lain dengan siklofosfamid
atau klorambusil. Siklofosfamid memberi remisi yang lebih lama daripada
kortikosteroid (75% selama 2 tahun) dengan dosis 2-3 mg/kg bb/hari
selama 8 minggu. Efek samping siklofosfamid adalah depresi sumsum
tulang, infeksi, alopesia, sistitis hemoragik dan infertilitas bila diberikan
lebih dari 6 bulan. Klorambusil diberikan dengan dosis 0,1-0,2 mg/kg
bb./hari selama 8 minggu. Efek samping klorambusil adalah azoospermia
dan agranulositosis. Siklosporin A dapat dicoba pada pasien yang relaps
setelah diberi siklofosfamid atau untuk memperpanjang masa remisi
setelah pemberian kortikosteroid. Dosis 3-5 mg/kgbb/hari selama 6 bulan
sampai 1 tahun (setelah 6 bulan dosis diturunkan 25% setiap 2 bulan).
Siklosporin A dapat juga digunakan dalam kombinasi dengan prednisolon
pada kasus SN yang gagal dengan kombinasi terapi lain. Efek samping
obat ini adalah hiperplasi gingiva, hipertrikosis, hiperurisemi, hipertensi
dan nefrotoksis.
VI. KOMPLIKASI7,8
Hiperkoagulasi
Komplikasi tromboemboli sering ditemukan pada SN
akibat peningkatan koagulasi intravascular. Pada SN dengan GN
membranosa kecenderungan terjadinya thrombosis vena renalis
cukup tinggi sedangkan pada GN lesi minimal dan GN
membranoproliferatif ferkuensinya kecil. Emboli paru dan
thrombosis vena dalam (deep vein thrombosis) sering dijumpai
pada SN. Kelainan tersebut disebabkan oleh perubahan tingkat dan
aktivitas berbagai factor koagulasi intrinsic dan ekstrinsik.
Mekanisme hiperkoagulasi pada SN meliputi peningkatan
fibrinogen, hiperagregasi trombosit dan penurunan fibrinolisis.
Gangguan koagulasi yang terjadi disebabkan peningkatan sintesis
protein oleh hati dan kehilangan protein melalui urin.
VII. PROGNOSIS 8
Prognosis sindrom nefrotik dipengaruhi oleh gangguan yang
mendasari penyakit. Proteinuria dalam sindrom nefrotik memberi andil
besar dalam resiko kardiovaskuler dan beberapa komplikasi sistemik
lainnya. Faktor prognosis tidak serupa untuk semua penyakit yang
menyebabkan sindrom nefrotik. Sebagai contoh, neropati membranosa
dimana parameter terbaik untuk memprediksi fungsi ginjl adalah
proteinuria yang luas. Remisi parsial atau kompleks dari proteinuria
selama 6 bulan memprediksi secara akurat progresifitas penyakit. Tujuan
utama terapi pasien nefrotik adalah mengurangi proteinuria ketingkat yang
paling rendah.
DAFTAR PUSTAKA