Anda di halaman 1dari 4

BAB IV

PEMBAHASAN

Pasien dengan keluhan hidung tersumbat sejak 1 tahun yang lalu dan
memberat dalam 2 bulan terakhir. Pasien juga mengeluh sering bersin saat terkena
debu dan saat pagi hari, selain itu pasien juga memiliki riwayat alergi makanan
dan obat berupa asam mefenamat. Hal ini sesuai dengan kepustakaan yang
menyebutkan bahwa terdapat beberapa faktor penyebab terjadinya polip nasal,
antara lain: infeksi sinus kronis, asma, rhinitis alergi (hay fever), cystic fibrosis,
Sindrom Churg-Strauss, Sensitivitas NSAID (respon alergi seperti aspirin,
ibuprofen, asam mefenamat, naproxen, dll). Pasien tersebut memiliki dua faktor
resiko yang dapat menyebabkan polip nasal antara lain riwayat rhinitis alergi dan
sensitivitas terhadap NSAID berupa asam mefenamat.(1)/4
Pemeriksaan fisik rinoskopi didapatkan adanya suatu masa padat kenyal
berwarna keabu-abuan dan tidak nyeri disertai adanya septum deviasi, sesuai
dengan kepustakaan bahwa Secara makroskopi polip merupakan massa bertangkai
dengan permukaan licin, berbentuk bulat atau lonjong, berwarna putih keabu-
abuan, agak bening, lobular, dapat tunggal atau multiple dan tidak sensitive (bila
ditekan atau ditusuk tidak terasa sakit). Warna polip yang pucat tersebut
disebabkan karena mengandung banyak cairan dan sedikitnya aliran darah ke
polip. Bila terjadi iritasi kronis atau proses peradangan warna polip dapat berubah
menjadi kemerah-merahan dan polip yang sudah menahun warnanya dapat
menjadi kekuning-kuningan karena banyak mengandung jaringan ikat, sedangkan
septum deviasi akibat adanya desakan dari polip nasal yang mendesak septum dan
menyebabkan adanya pergeseran dari septum nasal. (2)/3
Hasil CT-Scan pasien didapatkan massa di cavum nasi kiri yang meluas
hingga sinus ethmoidalis dan sinus frontalis hal ini terjadi akibat adanya
pembentukan polip yang sering diasosiasikan dengan inflamasi kronik, disfungsi
saraf otonom serta predisposisi genetik. Bila proses terus berlanjut, mukosa yang
sembab makin membesar menjadi polip dan kemudian akan turun ke rongga
hidung dengan membentuk tangkai. Polip juga dapat tumbuh ke arah posterior
yaitu ke nasofaring yang disebut dengan polip choana, namun dengan tidak
adanya pemeriksaan endoskopi, letak tumbuhnya polip tidak dapat diketahui.
(2,3)/3,1

Hasil lab menunjukkan gula darah yang tinggi yaitu gula darah 2 jam
postprandial 374 mg/dl dan gula darah puasa 167 mg/dl menunjukkan adanya
diabetes melitus type 2 yang didukung dengan tidak adanya riwayat DM usia
muda dan penggunaan insulin sejak usia muda. Jumlah gula darah sebagai acuan
ditegakkannya diabetes melitus merujuk dari WHO yaitu gula darah 2 jam
postprandial 200 mg/dl dan gula darah puasa 126 mg/dl. Ketidakseimbangan
elektrolit berupa kalium 3,5 mmol/L dan klorida 108 mmol/L dapat terjadi akibat
ketidakseimbangan antara asupan cairan dengan pengeluaran cairan mengingat
pasien mengalami DM type 2 yang memiliki symptom berupa hiperdiuresis dan
rasa haus/sering minum.(4)
Pasien didiagnosis polip nasal grade 2 +sinusitis maxilaris + septum deviasi
sinistra. Polip nasal dapat didiagnosa dengan temuan berupa massa bertangkai
dengan permukaan licin, berbentuk bulat atau lonjong, berwarna putih keabu-
abuan, agak bening, lobular, dapat tunggal atau multiple dan tidak sensitive (bila
ditekan atau ditusuk tidak terasa sakit),(2)/3 sedangkan grade 2 menandakan polip
sudah keluar dari meatus media sehingga tampak di rongga hidung namun belum
mennyebabkan obstruksi total, sedangkan deviasi septum dapat terjadi akibat
desakan polip yang mendesak septum sehingga menyebabkan deviasi yang dalam
hal ini secara pasti tidak dapat ditentukan apakah antrochoanal atau ethmoidal.(5)
Sinusitis maksilaris dapat terjadi akibat adanya hambatan saluran antara sinus
maxilaris dengan rongga hidung yang menyebabkan terjadinya infeksi akibat
gangguan pembersihan bakteri, hal ini dapat terjadi akibat adanya sumbatan pada
ostium sinus maxila yang didesak oleh polip nasal dan didukung dengan letak
ostium yang lebih tinggi daripada bagian terbawah sinus maxilaris sehingga
meningkatkan resiko terjadinya infeksi.(5)
Pasien dilakukan prosedur polipektomi via endoskopi dan ethmoidektomi
anterior (FESS) dan dilakukan tampon yang dibuka setelah 3 hari. Tatalaksana
polip yaitu polipektomi, ethmoidektomi ataupun FESS, yang dalam hal ini
dilakukan FESS menggunakan endoskopi untuk dilakukan polipektomi dan
ethmoidektomi anterior yang dinilai lebih efisien. Sesuai dengan kepustakaan,
prosedur ini dilakukan apabila adanya indikasi berupa polip nasal dengan gejala
tertentu yang tidak dapat diatasi dengan obat yang dalam kasus pasien ini yaitu
dengan komplikasi berupa sinusitis maxilaris yang berulang. Tampon dilakukan
untuk mencegah terjadinya perdarahan dan dilepaskan setelah 3 hari dengan
harapan telah terbentuk bekuan darah sehingga tampon dapat dilepaskan.(5,6,7,8)
Terapi postoperasi pasien diberikan injeksi ceftriaxone, ketorolac dan
transamin. Ceftriaxone merupakan antibiotik golongan cephalosporin generasi ke-
3 yang digunakkan sebagai antibiotik profilaksis untuk mencegah terjadinya
infeksi post operasi. Ketorolac merupakan obat antinyeri golongan obat
antiinflamasi non-steroid (OAINS) kelompok indoles yang berperan dalam
menghambat terbentuknya prostaglandin. prostaglandin berperan sebagai pemicu
rasa sakit dengan cara meningkatkan kepekaan reseptor nyeri akibat rangsangan
mekanik atau kimia dengan menurunkan nilai ambang polimodal nosiseptor dari
serat syaraf C, sehingga pada pasien ini diberikan ketorolac sebagai antinyeri post
operasi. (9,10)
DAFTAR PUSTAKA

1. Christine Case-Lo. Nasal polyps [online] 5 January 2017 [cited on: 30 Juni
2015]; Available from: URL: http://www.healthline.com/health/nasal-
polyps#Overview1.
2. McClay JE. Nasal polyps [online] 5 January 2017 [cited on: 30 Juni 2015];
Available from: URL: http://emedicine.medscape.com/article/994274-
overview#a0199
3. Soepardi EA, Nurbaiti Iskandar, dkk. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala & Leher, Edisi 6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2007: hlm
123-5
4. Vijan, S. 2010. Type 2 diabetes. Annals of Internal Medicine. 152 (5): ITC31-15.
5. Nizar NW, Mangunkusumo E. Polip Hidung. Dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Ed. Ke-5. Jakarta: FKUI. 2006.
6. Kingdom TT, Orlandi RR. Image-guided surgery of the sinuses: current
technology and applications. Otolaryngol Clin North Am. 2004 Apr. 37(2):381-
400.
7. Mendelsohn D, Jeremic G, Wright E, Rotenberg E. Revision Rates After
Endoscopic Sinus Surgery: A Recurrence Analysis. Ann Otol Rhinol Laryngol.
March 2011. 120(3):162-166.

8. Kumar N, Sindwani R. Bipolar microdebrider may reduce intraoperative blood


loss and operating time during nasal polyp surgery. Ear Nose Throat J. 2012 Aug.
91(8):336-44.

9. Anonim. United States National Library of Medicine. [Online].; 2013 [cited 2016
11 25. Available from: http://toxnet.nlm.nih.gov/cgi-bin/sis/htmlgen?LACT.
10.Sulistyowati R. Perbedaan Pengaruh Pemberian Ketorolak dan Deksketoprofen
Sebagai Analgesik Pasca Bedah Terhadap Agregasi Trombosit. Universitas
dipenogoro. 2009;: p. 17-25.

Anda mungkin juga menyukai