Anda di halaman 1dari 4

Menimbang Investasi Arab dan Tiongkok

Oleh: Agus Herta Sumarto,


Peneliti INDEF dan Dosen Universitas Mercu Buana

Beberapa hari terakhir ini masyarakat Indonesia dihebohkan oleh kedatangan

Raja Salman bin Abdulaziz al-Saud, Raja Arab Saudi. Bahkan tidak sedikit

masyarakat dan pelaku ekonomi yang terjebak pada euforia yang berlebihan. Euforia

masyarakat dan beberapa pelaku ekonomi ini sebenarnya cukup beralasan.

Kedatangan Raja Salman bin Abdulaziz al-Saud diharapkan dan diyakini akan

melakukan investasi yang sangat besar di negara Indonesia sehingga kedatangan Raja

Salman akan membawa dampak positif yang juga sangat besar terhadap

perekonomian Indonesia.

Bahkan tidak sedikit masyarakat dan pelaku ekonomi yang membanding-

bandingkan antara investasi yang dilakukan oleh Arab Saudi yang berbarengan

dengan kedatangan Raja Salman dan investasi yang dilakukan oleh negara Tiongkok

yang telah masuk ke Indonesia terlebih dahulu. Perdebatan masyarakat ini terkait

dampak ekonomi dari kedua investasi tersebut. Perdebatan seputar dampak investasi

ini merupakan hal yang wajar. Dalam prakteknya, tidak semua investasi di suatu

negara berdampak positif terhadap perekonomian negara tersebut. Investasi yang baik

adalah investasi yang menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas yaitu

ekonomi yang bisa menciptakan lapangan pekerjaan baru, meningkatkan

kesejahteraan masyarakat, dan mengurangi ketimpangan ekonomi.

Biasanya, investasi yang berdampak positif terhadap perekonomian di suatu

negara adalah investasi yang berasal dari jenis Green Field Investment (GFI) lawan dari

Brown Field Investment (BFI). Istilah GFI mengacu pada jenis investasi di mana

investor membangun perusahaan baru dari awal. Sedangkan BFI adalah investasi di

mana pihak yang menjadi investor melakukan investasi di suatu negara dengan

membeli, menggabungkan (merger), atau mengambil alih (akuisisi) perusahaan yang

sedang eksis. Dengan cara seperti ini maka biasanya biaya yang dikeluarkan oleh
investor yang melakukan investasi dengan skema BFI jauh lebih kecil dibandingkan

dengan investasi yang memakai skema GFI.

Seiring dengan perkembangan sektor keuangan yang sangat pesat, akhir-akhir

ini BFI menjadi pilihan utama para investor global. Selain karena biaya yang relatif

lebih murah, prosedur perijinan BFI juga jauh lebih mudah dibandingkan dengan

investasi dengan skema GFI. Dalam prakteknya, investor yang melakukan BFI hanya

mengeluarkan financial capital tanpa harus melakukan berbagai upaya pembangunan

infrastruktur utuk menunjang investasinya sehingga praktis para investor tidak harus

melalui berbagai prosedur perijinan investasi yang sangat ribet sebagai mana

prosedur perijinan untuk investasi dengan skema GFI. Oleh karena itu, tidak salah

jika saat ini para investor global beramai-ramai berpindah dari GFI ke BFI.

Bagi negara yang menjadi tujuan investasi, berkembangnya BFI memiliki

dampak negatif yang cukup besar. Karena sifatnya yang instan (tidak melakukan

pembangunan infrastruktur sebagaimana investasi pada umumnya), multiplier effect

ekonomi dari BFI tidak sebesar yang ditimbulkan oleh investasi dengan skema GFI.

Masuknya BFI biasanya tidak menambah penciptaan lapangan pekerjaan secara

signifikan dan bahkan tidak mendorong adanya pertumbuhan ekonomi dari sisi

supply.

Dampak negatif BFI ini pernah dirasakan langsung oleh Turki selama periode

tahun 2000 2013. Investasi asing yang masuk ke Turki malah menimbulkan

penambahan angka pengangguran. Semakin banyak investasi yang masuk, semakin

besar angka pengangguran yang terjadi di Turki. Hal ini terjadi karena investasi asing

yang masuk ke Turki sebagian besar adalah jenis BFI yang hanya melakukan merger

dan akuisisi terhadap perusahaan-peruhasaan yang sedang eksis. Oleh karena itu,

tidak sedikit negara yang mencoba membatasi masuknya BFI dengan membuat

berbagai kebijakan sebagai barriers bagi para investor yang ingin berinvestasi dengan

menggunakan skema BFI.

Indonesia sepertinya mulai mengalami gejala yang menyerupai Turki. Para

investor global yang masuk ke Indonesia sekarang lebih banyak menggunakan skema
BFI. Salah satu indikatornya adalah pesatnya perkembangan pasar modal Indonesia.

Pasar modal Indonesia mengalami perkembangan yang sangat cepat dalam beberapa

tahun terakhir ini. Pada akhir tahun 2009 nilai Indeks Harga Saham Gabungan

(IHSG) Indonesia masih berada pada level 2.500an. Pada akhir tahun 2016 nilai IHSG

sudah menembus angka 5.200an dengan nilai kapitalisasi pasar lebih dari Rp5.000

trilyun.

Oleh karena itu, tidak salah jika pemerintah Indonesia berusaha mendorong

supaya Foreign Direct Invstment (FDI) yang masuk ke Indonesia bisa melalui

mekanisme GFI. Pemerintah mencoba membuat berbagai kebijakan kemudahan

investasi dan insentif bagi investor asing yang mau menanamkan modalnya di

Indonesia dalam skema GFI.

Langkah pemerintah ini bisa dikatakan cukup berhasil. Beberapa mega proyek

pembangunan infrastruktur yang melibatkan investor global dibuat dengan

menggunakan skema GFI. Dengan adanya komitmen investasi menggunakan skema

GFI diharapkan angka pengangguran di Indonesia akan turun signifikan, dan pada

akhirnya akan menurunkan angka tingkat kemiskinan.

Namun pada perkembangannya, tidak jarang pelaksanaan investasi dengan

skema GFI oleh beberapa investor global ini mengalami beberapa modifikasi.

Komitmen investasi pembangunan proyek-proyek infrastruktur disertai dengan

berbagai syarat yang menjadikan skema GFI memiliki sifat dan karakteristik yang

menyerupai skema BFI. Beberapa investor global menyertakan syarat penyertaan

tenaga kerja asing yang berasal dari negara investor bersangkutan mulai dari top

management, midle management, first line management, bahkan sampai tingkat

pekerja.

Jika arus investasi asing yang masuk ke Indonesia melalui mekanisme GFI ini

adalah hanya proyek bayangan GFI padahal riilnya adalah BFI maka hampir bisa

dipastikan kondisi ekonomi Indonesia akan terkena dampak negatif sebagaimana

halnya Turki. Saat ini Indonesia masih bergulat dengan tingkat kemiskinan dan

ketimpangan ekonomi yang besar yang disertai dengan angka pengangguran yang
tinggi. Bila arus investasi asing yang masuk tersebut adalah BFI maka angka

pengangguran di Indonesia tidak akan berkurang, bahkan akan cenderung

bertambah sebagaimana yang terjadi di Turki. Lebih parahnya, jurang ketimpangan

juga akan terus semakin melebar.

Dalam konteks inilah pemerintah wajib bertanya, apakah investasi dari

Kerajaan Arab Saudi akan bersifat seperti BFI atau GFI? Pertanyaan yang sama juga

harus diajukan kepada negara Tiongkok yang beberapa tahun terakhir ini memiliki

komitmen memberikan dana pinjaman untuk pembangunan infrastruktur di

Indonesia. Jika salah satu dari kedua negara tersebut menyertakan persyaratan
khusus dalam investasinya seperti penggunaan tenaga kerja, bahan baku industri,

peralatan dan perlengkapan industri, serta syarat-syarat mengikat lainnya maka

hampir bisa dipastikan investasi dari negara tersebut akan sangat merugikan

perekonomian Indonesia.

Oleh karena itu, pemerintah harus tetap berhati-hati dan tidak boleh lengah.

Jangan sampai komitmen investasi yang dibuat oleh investor-investor asing dengan

skema GFI pada kenyataannya adalah kamuflase untuk mengakali skema yang

sebenarnya BFI. Bila investasi asing yang masuk ini sebenarnya adalah BFI maka

sebaiknya pemerintah mempertimbangkan ulang untuk mencari investor-investor

global lainnya yang jauh lebih meyakinkan dan mau berinvestasi di Indonesia dengan

benar-benar melalui skema GFI.

Anda mungkin juga menyukai