Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN INDIVIDU

Disusun untuk Memenuhi Kompetensi Profesi Ners


Departemen Keperawatan Pediatrik di R.Perinatologi
RS Dr. Saiful Anwar Malang

Disusun Oleh :

Anggara Novananta Putra


150070300113010

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2016
ASUHAN KEPERAWATAN
By. DENGAN HMD (Hyaline Membrane Disease)

Disusun untuk Memenuhi Kompetensi Profesi Ners


Departemen Keperawatan Pediatrik di R.Perinatologi
RS Dr. Saiful Anwar Malang

Disusun Oleh :

Anggara Novananta Putra


150070300113010

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2016
LAPORAN PENDAHULUAN
HMD (HYALINE MEMBRANE DISEASE)

Disusun untuk Memenuhi Kompetensi Profesi Ners


Departemen Keperawatan Pediatrik di R.Perinatologi
RS Dr. Saiful Anwar Malang

Disusun Oleh :

Anggara Novananta Putra


150070300113010

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2016
A. Definisi
Hyaline Membrane Disease (HMD adalah gangguan pernafasan yang
sering terjadi pada bayi premature dengan tanda-tanda takipnue (>60 x/mnt),
retraksi dada, sianosis pada udara kamar, yang menetap atau memburuk pada
48-96 jam kehidupan dengan x-ray thorak yang spesifik. Tanda-tanda klinik
sesuai dengan besarnya bayi, berat penyakit, adanya infeksi dan ada tidaknya
shunting darah melalui PDA (Stark 1986).
Menurut Petty dan Asbaugh (1971), definisi dan kriteria RDS bila
didapatkan sesak nafas berat (dyspnea ), frekuensi nafas meningkat
(tachypnea ), sianosis yang menetap dengan terapi oksigen, penurunan daya
pengembangan paru,adanya gambaran infiltrat alveolar yang merata pada foto
thorak dan adanya atelektasis, kongesti vascular, perdarahan, edema paru, dan
adanya hyaline membran pada saat otopsi.
Sindrom gawat napas (RDS) (juga dikenal sebagai idiopathic respiratory
distress syndrome) adalah sekumpulan temuan klinis, radiologis, dan histologis
yang terjadi terutama akibat ketidakmaturan paru dengan unit pernapasan yang
kecil dan sulit mengembang dan tidak menyisakan udara diantara usaha napas.
Istilah-istilah Hyaline Membrane Disease (HMD) sering kali digunakan saling
bertukar dengan RDS (Bobak, 2005).
Respiratory Distress Syndrome adalah penyakit yang disebabkan oleh
ketidakmaturan dari sel tipe II dan ketidakmampuan sel tersebut untuk
menghasilkan surfaktan yang memadai. (Dot Stables, 2005).

B. Etiologi
RDS terjadi pada bayi prematur atau kurang bulan, karena kurangnya
produksi surfaktan. Produksi surfaktan ini dimulai sejak kehamilan minggu ke-22,
makin muda usia kehamilan, makin besar pula kemungkinan terjadi RDS. Ada 4
faktor penting penyebab defisiensi surfaktan pada RDS yaitu prematur, asfiksia
perinatal, maternal diabetes, seksual sesaria.. Surfaktan biasanya didapatkan
pada paru yang matur. Fungsi surfaktan untuk menjaga agar kantong alveoli
tetap berkembang dan berisi udara, sehingga pada bayi prematur dimana
surfaktan masih belum berkembang menyebabkan daya berkembang paru
kurang dan bayi akan mengalami sesak nafas. Gejala tersebut biasanya muncul
segera setelah bayi lahir dan akan bertambah berat.
RDS merupakan penyebab utama kematian bayi prematur. Sindrom ini
dapat terjadi karena ada kelainan di dalam atau diluar paru, sehingga tindakan
disesuaikan dengan penyebab sindrom ini. Kelainan dalam paru yang
menunjukan sindrom ini adalah pneumothoraks/pneumomediastinum, penyakit
membran hialin (PMH),

C. Patofisiologi
Faktor-faktor yang memudahkan terjadinya RDS pada bayi prematur
disebabkan oleh alveoli masih kecil sehingga kesulitan berkembang,
pengembangan kurang sempurna kerana dinding thorax masih lemah, produksi
surfaktan kurang sempurna. Kekurangan surfaktan mengakibatkan kolaps pada
alveolus sehingga paru-paru menjadi kaku. Hal tersebut menyebabkan
perubahan fisiologi paru sehingga daya pengembangan paru (compliance)
menurun 25% dari normal, pernafasan menjadi berat, shunting intrapulmonal
meningkat dan terjadi hipoksemia berat, hipoventilasi yang menyebabkan
asidosis respiratorik.

Telah diketahui bahwa surfaktan mengandung 90% fosfolipid dan 10%


protein , lipoprotein ini berfungsi menurunkan tegangan permukaan dan menjaga
agar alveoli tetap mengembang. Secara makroskopik, paru-paru nampak tidak
berisi udara dan berwarna kemerahan seperti hati. Oleh sebab itu paru-paru
memerlukan tekanan pembukaan yang tinggi untuk mengembang. Secara
histologi, adanya atelektasis yang luas dari rongga udara bahagian distal
menyebabkan edema interstisial dan kongesti dinding alveoli sehingga
menyebabkan desquamasi dari epithel sel alveoli type II. Dilatasi duktus alveoli,
tetapi alveoli menjadi tertarik karena adanya defisiensi surfaktan ini.

Dengan adanya atelektasis yang progresif dengan barotrauma atau


volutrauma dan keracunan oksigen, menyebabkan kerosakan pada endothelial
dan epithelial sel jalan pernafasan bagian distal sehingga menyebabkan
eksudasi matriks fibrin yang berasal dari darah. Membran hyaline yang meliputi
alveoli dibentuk dalam satu setengah jam setelah lahir. Epithelium mulai
membaik dan surfaktan mulai dibentuk pada 36- 72 jam setelah lahir. Proses
penyembuhan ini adalah komplek; pada bayi yang immatur dan mengalami sakit
yang berat dan bayi yang dilahirkan dari ibu dengan chorioamnionitis sering
berlanjut menjadi Bronchopulmonal Displasia (BPD).

D. Pencegahan

Tindakan pencegahan yang harus dilakukan untuk mencegah komplikasi


pada bayi resiko tinggi adalah mencegah terjadinya kelahiran prematur,
mencegah tindakan seksio sesarea yang tidak sesuai dengan indikasi medis,
melaksanakan manajemen yang tepat terhadap kehamilan dan kelahiran bayi
resiko tinggi.
Tindakan yang efektif utntuk mencegah RDS adalah:
1. Mencegah kelahiran < bulan (premature).
2. Mencegah tindakan seksio sesarea yang tidak sesuai dengan indikasi
medis.
3. Management yang tepat.
4. Pengendalian kadar gula darah ibu hamil yang memiliki riwayat DM.
5. Optimalisasi kesehatan ibu hamil.
6. Kortikosteroid pada kehamilan kurang bulan yang mengancam.
7. Obat-obat tocolysis (-agonist : terbutalin, salbutamol) relaksasi
uterus
Contoh : Salbutamol (ex: Ventolin Obstetric injection) 5mg/5 ml (utk
asma: 5 mg/ml)
Untuk relaksasi uterus : 5 mg salbutamol dilarutkan dalam infus 500 ml
dekstrose/NaCl diberikan i.v (infus) dgn kecepatan 10 50 g/menit dgn
monitoring cardial effect. Jika detak jantung ibu > 140/menit kecepatan
diturunkan atau obat dihentikan
8. Steroid (betametason 12 mg sehari untuk 2x pemberian, deksametason
5 mg setiap 12 jam untuk 4 x pemberian)
9. Cek kematangan paru (lewat cairan amniotik pengukuran
10. rasio lesitin/spingomielin : > 2 dinyatakan mature lung function)

E. Manifestasi Klinis

Berat dan ringannya gejala klinis pada penyakit RDS ini sangat dipengaruhi
oleh tingkat maturitas paru. Semakin rendah berat badan dan usia kehamilan,
semakin berat gejala klinis yang ditujukan.
Manifestasi dari RDS disebabkan adanya atelektasis alveoli, edema, dan
kerosakan sel dan selanjutnya menyebabkan kebocoran serum protein ke dalam
alveoli sehingga menghambat fungsi surfaktan. Gejala klinikal yang timbul iaitu :
adanya sesak nafas pada bayi prematur segera setelah lahir, yang ditandai
dengan takipnea (> 60 x/minit), pernafasan cuping hidung, grunting, retraksi
dinding dada, dan sianosis, dan gejala menetap dalam 48-96 jam pertama
setelah lahir. Berdasarkan foto thorak, menurut kriteria Bomsel ada 4 stadium
RDS yaitu :pertama, terdapat sedikit bercak retikulogranular dan sedikit
bronchogram udara, kedua, bercak retikulogranular homogen pada kedua
lapangan paru dan gambaran airbronchogram udara terlihat lebih jelas dan
meluas sampai ke perifer menutupi bayangan jantung dengan penurunan aerasi
paru. ketiga,alveoli yang kolaps bergabung sehingga kedua lapangan paru
terlihat lebih opaque dan bayangan jantung hampir tak terlihat, bronchogram
udara lebih luas. keempat, seluruh thorax sangat opaque ( white lung ) sehingga
jantung tak dapat dilihat.
Evaluasi Respiratory Distress Skor Downe :

0 1 2
Frekuens < 60x/menit 60-80 x/menit >80x/menit
i Nafas
Retraksi Tidak ada Retraksi ringan Retraksi berat
retraksi
Sianosis Tidak sianosis Sianosis hilang dengan O2 Sianosis menetap
walaupun diberi
O2
Air Entry Udara masuk Penurunan ringan udara
masuk
Merintih Tidak merintih Dapat didengar dengan Dapat didengar
stetoskop tanpa alat bantu
Evaluasi Respiratory Distress Skor Downe
Skor < 4 gangguan pernafasan ringan
Skor 4 5 gangguan pernafasan sedang
Skor > 6 gangguan pernafasan ringan (pemeriksaan gas darah
harus dilakukan)

F. Penunjang / Diagnostik

Laboratory Evaluation for Respiratory Distress in the Newborn

Test Indication
Blood culture May indicate bacteremia Not helpful initially because results
may take 48 hours
Blood gas Used to assess degree of hypoxemia if arterial sampling, or
acid/base status if capillary sampling (capillary sample usually
used unless high oxygen requirement)
Blood glucose Hypoglycemia can cause or aggravate tachypnea
Chest radiography Used to differentiate various types of respiratory distress
Complete blood Leukocytosis or bandemia indicates stress or infection
count with
differential
Neutropenia correlates with bacterial infection
Low hemoglobin level shows anemia
High hemoglobin level occurs in polycythemia
Low platelet level occurs in sepsis
Lumbar puncture If meningitis is suspected
Pulse oximetry Used to detect hypoxia and need for oxygen supplementation

2.7. Penatalaksanaan

Menurut Suriadi dan Yuliani (2001) dan Surasmi,dkk (2003) tindakan untuk
mengatasi masalah kegawatan pernafasan meliputi :
1) Mempertahankan ventilasi dan oksigenasi adekuat.
2) Mempertahankan keseimbangan asam basa.
3) Mempertahankan suhu lingkungan netral.
4) Mempertahankan perfusi jaringan adekuat.
5) Mencegah hipotermia.
6) Mempertahankan cairan dan elektrolit adekuat.

Penatalaksanaan secara umum :


a. Pasang jalur infus intravena, sesuai dengan kondisi bayi, yang paling sering
dan bila bayi tidak dalam keadaan dehidrasi berikan infus dektrosa 5 %
1. Pantau selalu tanda vital
2. Jaga kepatenan jalan nafas
3. Berikan Oksigen (2-3 liter/menit dengan kateter nasal)
b. Jika bayi mengalami apneu
1. Lakukan tindakan resusitasi sesuai tahap yang diperlukan
2. Lakukan penilaian lanjut
c. Bila terjadi kejang potong kejang
d. Segera periksa kadar gula darah
e. Pemberian nutrisi adekuat
Setelah menajemen umum, segera dilakukan menajemen lanjut sesuai
dengan kemungkinan penyebab dan jenis atau derajat gangguan nafas.
Menajemen spesifik atau menajemen lanjut:
Gangguan nafas ringan
Beberapa bayi cukup bulan yang mengalami gangguan napas ringan
pada waktu lahir tanpa gejala-gejala lain disebut Transient Tacypnea of the
Newborn (TTN). Terutama terjadi setelah bedah sesar. Biasanya kondisi
tersebut akan membaik dan sembuh sendiri tanpa pengobatan. Meskipun
demikian, pada beberapa kasus. Gangguan napas ringan merupakan tanda awal
dari infeksi sistemik.
Gangguan nafas sedang
Lakukan pemberian O2 2-3 liter/ menit dengan kateter nasal, bila masih
sesak dapat diberikan o2 4-5 liter/menit dengan sungkup. Bayi jangan diberi
minum.
Jika ada tanda berikut, berikan antibiotika (ampisilin dan gentamisin)
untuk terapi kemungkinan besar sepsis.
o Suhu aksiler <> 39C
o Air ketuban bercampur mekonium
o Riwayat infeksi intrauterin, demam curiga infeksi berat atau ketuban pecah
dini (> 18 jam)
Bila suhu aksiler 34- 36,5 C atau 37,5-39C. tangani untuk masalah suhu
abnormal dan nilai ulang setelah 2 jam:
Bila suhu masih belum stabil atau gangguan nafas belum ada perbaikan, berikan
antibiotika untuk terapi kemungkinan besar seposis
Jika suhu normal, teruskan amati bayi. Apabila suhu kembali abnormal ulangi
tahapan tersebut diatas.
Bila tidak ada tanda-tanda kearah sepsis, nilai kembali bayi setelah 2 jam
Apabila bayi tidak menunjukan perbaikan atau tanda-tanda perburukan setelah 2
jam, terapi untuk kemungkinan besar sepsis
Bila bayi mulai menunjukan tanda-tanda perbaikan kurangai terapi o2secara
bertahap . Pasang pipa lambung, berikan ASI peras setiap 2 jam. Jika tidak
dapat menyusu, berikan ASI peras dengan memakai salah satu cara pemberian
minum
Amati bayi selama 24 jam setelah pemberian antibiotik dihentikan. Bila bayi
kembali tampak kemerahan tanpa pemberian O2 selama 3 hari, minumbaik dan
tak ada alasan bayi tatap tinggal di Rumah Sakit bayi dapat dipulangkan.

Gangguan nafas berat


Amati pernafasan bayi setiap 2 jam selama 6 jam berikutnya.
Bila dalam pengamatan ganguan nafas memburuk atau timbul gejala sepsis
lainnya. Terapi untuk kemungkinan kesar sepsis dan tangani gangguan nafas
sedang dan dan segera dirujuk di rumah sakit rujukan.
Berikan ASI bila bayi mampu mengisap. Bila tidak berikan ASI peras dengan
menggunakan salah satu cara alternatif pemberian minuman.
Kurangi pemberian O2 secara bertahap bila ada perbaikan gangguan napas.
Hentikan pemberian O2 jika frekuensi napas antara 30-60 kali/menit.
Penatalaksanaan medis:
Pengobatan yang biasa diberikan selama fase akut penyakit RDS adalah:
1. Antibiotika untuk mencegah infeksi sekunder
2. Furosemid untuk memfasilitasi reduksi cairan ginjal dan menurunkan
caiaran paru
3. Fenobarbital
4. Vitamin E menurunkan produksi radikalbebas oksigen
5. Metilksantin ( teofilin dan kafein ) untuk mengobati apnea dan untuk
pemberhentian dari pemakaian ventilasi mekanik. (cusson,1992)
Salah satu pengobatan terbaru dan telah diterima penggunaan dalam
pengobatan RDS adalah pemberian surfaktan eksogen ( derifat dari sumber
alami misalnya manusia, didapat dari cairan amnion atau paru sapi, tetapi bisa
juga berbentuk surfaktan buatan ).

2.8. Komplikasi Penyakit

Komplikasi jangka pendek dapat terjadi : 1. kebocoran alveoli : Apabila


dicurigai terjadi kebocoran udara ( pneumothorak, pneumomediastinum,
pneumopericardium, emfisema intersisiel ), pada bayi dengan RDS yang tiba-tiba
memburuk dengan gejala klinikal hipotensi, apnea, atau bradikardi atau adanya
asidosis yang menetap. 2. Jangkitan penyakit karena keadaan penderita yang
memburuk dan adanya perubahan jumlah leukosit dan thrombositopeni. Infeksi
dapat timbul kerana tindakan invasiv seperti pemasangan jarum vena, kateter,
dan alat-alat respirasi. 3. Perdarahan intrakranial dan leukomalacia
periventrikular : perdarahan intraventrikuler terjadi pada 20-40% bayi prematur
dengan frekuensi terbanyak pada bayi RDS dengan ventilasi mekanik.
Komplikasi jangka panjang dapat disebabkan oleh keracunan oksigen,
tekanan yang tinggi dalam paru, memberatkan penyakit dan kekurangan oksigen
yang menuju ke otak dan organ lain. Komplikasi jangka panjang yang sering
terjadi : 1. Bronchopulmonary Dysplasia (BPD): merupakan penyakit paru kronik
yang disebabkan pemakaian oksigen pada bayi dengan masa gestasi 36
minggu. BPD berhubungan dengan tingginya volume dan tekanan yang
digunakan pada waktu menggunakan ventilasi mekanik, adanya infeksi,
inflamasi, dan defisiensi vitamin A. Insiden BPD meningkat dengan menurunnya
masa gestasi. 2. Retinopathy prematur Kegagalan fungsi neurologi, terjadi
sekitar 10-70% bayi yang berhubungan dengan masa gestasi, adanya hipoxia,
komplikasi intrakranial, dan adanya infeksi.

G. Asuhan Keperawatan

Pengkajian
1. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik akan ditemukan takhipneu (> 60 kali/menit),
pernafasan mendengkur, retraksi subkostal/interkostal, pernafasan cuping
hidung, sianosis dan pucat, hipotonus, apneu, gerakan tubuh berirama, sulit
bernafas dan sentakan dagu. Pada awalnya suara nafas mungkin normal
kemudian dengan menurunnya pertukaran udara, nafas menjadi parau dan
pernapasan dalam.
Pengkajian fisik pada bayi dan anak dengan kegawatan pernafasan dapat
dilihat dari penilaian fungsi respirasi dan penilaian fungsi kardiovaskuler.
Penilaian fungsi respirasi meliputi:
1) Frekuensi nafas
Takhipneu adalah manifestasi awal distress pernafasan pada bayi.
Takhipneu tanpa tanda lain berupa distress pernafasan merupakan usaha
kompensasi terhadap terjadinya asidosis metabolik seperti pada syok, diare,
dehidrasi, ketoasidosis, diabetikum, keracunan salisilat, dan insufisiensi ginjal
kronik. Frekuensi nafas yang sangat lambat dan ireguler sering terjadi pada
hipotermi, kelelahan dan depresi SSP yang merupakan tanda memburuknya
keadaan klinik.
2) Mekanika usaha pernafasan
Meningkatnya usaha nafas ditandai dengan respirasi cuping hidung,
retraksi dinding dada, yang sering dijumpai pada obtruksi jalan nafas dan
penyakit alveolar. Anggukan kepala ke atas, merintih, stridor dan ekspansi
memanjang menandakan terjadi gangguan mekanik usaha pernafasan.
3) Warna kulit/membran mukosa
Pada keadaan perfusi dan hipoksemia, warna kulit tubuh terlihat
berbercak (mottled), tangan dan kaki terlihat kelabu, pucat dan teraba dingin.

a. Penilaian fungsi kardiovaskuler meliputi:


1) Frekuensi jantung dan tekanan darah
Adanya sinus tachikardi merupakan respon umum adanya stress, ansietas,
nyeri, demam, hiperkapnia, dan atau kelainan fungsi jantung.
2) Kualitas nadi
Pemeriksaan kualitas nadi sangat penting untuk mengetahui volume dan
aliran sirkulasi perifer nadi yang tidak adekwat dan tidak teraba pada satu sisi
menandakan berkurangnya aliran darah atau tersumbatnya aliran darah pada
daerah tersebut. Perfusi kulit kulit yang memburuk dapat dilihat dengan adanya
bercak, pucat dan sianosis.

b. Pemeriksaan pada pengisian kapiler dapat dilakukan dengan cara:


1) Nail Bed Pressure ( tekan pada kuku)
2) Blancing Skin Test, caranya yaitu dengan meninggikan sedikit ekstremitas
dibandingkan jantung kemudian tekan telapak tangan atau kaki tersebut
selama 5 detik, biasanya tampak kepucatan. Selanjutnya tekanan dilepaskan
pucat akan menghilang 2-3 detik.
3) Perfusi pada otak dan respirasi
Gangguan fungsi serebral awalnya adalah gaduh gelisah diselingi
agitasi dan letargi. Pada iskemia otak mendadak selain terjadi penurunan
kesadaran juga terjadi kelemahan otot, kejang dan dilatasi pupil.

2. Diagnosa Keperawatan
1) Gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan imatur paru dan
dinding dada atau berkurangnya jumlah cairan surfaktan.
2) Tidak efektifnya bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan adanya
sekret pada jalan nafas dan obstruksi atau pemasangan intubasi trachea
yang kurang tepat.
3) Tidak efektifnya pola nafas yang berhubungan dengan ketidaksamaan nafas
bayi dan ventilator, tidak berfungsinya ventilator dan posisi bantuan ventilator
yang kurang tepat.
4) Resiko injuri yang berhubungan dengan ketidakseimbangan asam basa;
O2 dan CO2 dan barotrauma (perlukaan dinding mukosa) dari alat bantu
nafas.
5) Resiko perubahan peran orang tua yang berhubungan dengan hospitalisasi,
sekunder dari situasi krisis pada bayi.
6) Resiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan yang
tidak disadari (insensible water loss).
7) Intake nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan ketidakmampuan
menelan, maturitas gastrik menurun dan kurangnya absorpsi.

3. Intervensi Keperawatan

Dx. 1 Gangguan pertukaran gas b.d imaturitas paru dan neuromuskular,


defisiensi surfaktan dan ketidakstabilan alveolar.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan
pola nafas efektif.
KH:
1. Jalan nafas bersih
2. Frekuensi jantung 100-140 x/i
3. Pernapasan 40-60 x/i
4. Takipneu atau apneu tidak ada
5. Sianosis tidak ada
Intervensi
a. Posisikan untuk pertukaran udara yang optimal; tempatkan pada posisi
telentang dengan leher sedikit ekstensi dan hidung menghadap keatap
dalam posisi mengendus
Rasional: untuk mencegah adanya penyempitan jalan nafas.
b. Hindari hiperekstensi leher
Rasional: karena akan mengurangi diameter trakea.
c. Observasi adanya penyimpangan dari fungsi yang diinginkan , kenali
tanda-tanda distres misalnya: mengorok, pernafasan cuping hidung, apnea.
Rasional: memastikan posisi sesuai dengan yang diinginkan dan
mencegah terjadinya distres pernafasan.
d. Lakukan penghisapan
Rasional: menghilangkan mukus yang terakumulasi dari nasofaring, trakea,
dan selang endotrakeal.
e. Penghisapan selang endotrakeal sebelum pemberian surfaktan
Rasional: memastikan bahwa jalan napas bersih.
f. Hindari penghisapan sedikitnya 1 jam setelah pemberian surfaktan
Rasional: meningkatkan absorpsi ke dalam alvelolar
g. Observasi peningkatan pengembangan dada setelah pemberian surfaktan.
Rasional: menilai fungsi pemberian surfaktan.
h. h. Turunkan pengaturan, ventilator, khususnya tekanan inspirasi puncak
dan oksigen
Rasional: mencegah hipoksemia dan distensi paru yang berlebihan.

Dx 2. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan hilangnya fungsi


jalan nafas, peningkatan sekret pulmonal, peningkatan resistensi jalan nafas
ditandai dengan : dispneu, perubahan pola nafas, penggunaan otot pernafasan,
batuk dengan atau tanpa sputum, cyanosis.
Tujuan :
1. Pasien dapat mempertahankan jalan nafas dengan bunyi nafas yang
jernih dan ronchi (-)
2. Pasien bebas dari dispneu
3. Mengeluarkan sekret tanpa kesulitan
4. Memperlihatkan tingkah laku mempertahankan jalan nafas

Tindakan :
Independen
a. Catat perubahan dalam bernafas dan pola nafasnya
Penggunaan otot-otot interkostal/abdominal/leher dapat meningkatkan
usaha dalam bernafas
b. Observasi dari penurunan pengembangan dada dan peningkatan
fremitus
Pengembangan dada dapat menjadi batas dari akumulasi cairan dan
adanya cairan dapat meningkatkan fremitus
c. Catat karakteristik dari suara nafas
Suara nafas terjadi karena adanya aliran udara melewati batang tracheo
branchial dan juga karena adanya cairan, mukus atau sumbatan lain
dari saluran nafas
d. Catat karakteristik dari batuk
Karakteristik batuk dapat merubah ketergantungan pada penyebab dan
etiologi dari jalan nafas. Adanya sputum dapat dalam jumlah yang
banyak, tebal dan purulent
e. Pertahankan posisi tubuh/posisi kepala dan gunakan jalan nafas
tambahan bila perlu
Pemeliharaan jalan nafas bagian nafas dengan paten
f. Kaji kemampuan batuk, latihan nafas dalam, perubahan posisi dan
lakukan suction bila ada indikasi
Penimbunan sekret mengganggu ventilasi dan predisposisi
perkembangan atelektasis dan infeksi paru
g. Peningkatan oral intake jika memungkinkan
Peningkatan cairan per oral dapat mengencerkan sputum

Kolaboratif
h. Berikan oksigen, cairan IV ; tempatkan di kamar humidifier sesuai
indikasi
Mengeluarkan sekret dan meningkatkan transport oksigen
i. Berikan therapi aerosol, ultrasonik nabulasasi
Dapat berfungsi sebagai bronchodilatasi dan mengeluarkan sekret
j. Berikan fisiotherapi dada misalnya : postural drainase, perkusi
dada/vibrasi jika ada indikasi
Meningkatkan drainase sekret paru, peningkatan efisiensi penggunaan
otot-otot pernafasan
k. Berikan bronchodilator misalnya : aminofilin, albuteal dan mukolitik
Diberikan untuk mengurangi bronchospasme, menurunkan viskositas
sekret dan meningkatkan ventilasi

Diagnosa 3. Tidak efektifnya pola nafas yang berhubungan dengan


ketidaksamaan nafas bayi dan ventilator, tidak berfungsinya ventilator dan posisi
bantuan ventilator yang kurang tepat. Ditandai dengan KH :
1. RR dalam batas normal
2. Ekspansi dada maksimal
3. Tidak ada tanda sianosis
Tindakan :
Independen
a. Kaji status pernafasan, catat peningkatan respirasi atau perubahan pola
nafas
Takipneu adalah mekanisme kompensasi untuk hipoksemia dan
peningkatan usaha nafas
b. Catat ada tidaknya suara nafas dan adanya bunyi nafas tambahan
seperti crakles, dan wheezing
Suara nafas mungkin tidak sama atau tidak ada ditemukan. Crakles
terjadi karena peningkatan cairan di permukaan jaringan yang
disebabkan oleh peningkatan permeabilitas membran alveoli kapiler.
Wheezing terjadi karena bronchokontriksi atau adanya mukus pada
jalan nafas
c. Kaji adanya cyanosis
Selalu berarti bila diberikan oksigen (desaturasi 5 gr dari Hb) sebelum
cyanosis muncul. Tanda cyanosis dapat dinilai pada mulut, bibir yang
indikasi adanya hipoksemia sistemik, cyanosis perifer seperti pada kuku
dan ekstremitas adalah vasokontriksi.
d. Observasi adanya somnolen, confusion, apatis, dan ketidakmampuan
beristirahat
Hipoksemia dapat menyebabkan iritabilitas dari miokardium
e. Berikan istirahat yang cukup dan nyaman
Menyimpan tenaga pasien, mengurangi penggunaan oksigen
Kolaboratif
f. Berikan humidifier oksigen dengan masker CPAP jika ada indikasi
Memaksimalkan pertukaran oksigen secara terus menerus dengan
tekanan yang sesuai
g. Berikan pencegahan IPPB
Peningkatan ekspansi paru meningkatkan oksigenasi
h. Review X-ray dada
Memperlihatkan kongesti paru yang progresif
i. Berikan obat-obat jika ada indikasi seperti steroids, antibiotik,
bronchodilator dan ekspektorant
Untuk mencegah ARDS
b.
DAFTAR PUSTAKA

Bobak, Lowdermik. 2005. Buku Ajar Keperawatan Maternitas Edisi 4.Jakarta :


EGC

Leifer, Gloria. 2007. Introduction to maternity & pediatric nursing. Saunders


Elsevier : St. Louis Missouri

Prwawirohardjo, Sarwano. 2005. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka

Mansjoer. (2002). Kapita selekta kedokteran. Edisi III. Jakarta: FKUI.: EGC.
Wong. Donna L. (2004). Pedoman klinis keperawatan pediatrik. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai