TINJAUAN PUSTAKA
dihasilkan sangat mudah larut dalam air, mudah berbusa, dan mampu menurunkan
kesadahan air. Sabun yang terbuat dari ethanolamines dan minyak kelapa
menunjukkan sifat mudah berbusa tetapi sabun tersebut lebih umum digunakan
sebagai sabun industri dan deterjen, bukan sebagai sabun rumah tangga.
Pencampuran alkali yang berbeda sering dilakukan oleh industri sabun dengan
tujuan untuk mendapatkan sabun dengan keunggulan tertentu.
Secara teknik, sabun adalah hasil reaksi kimia antara fatty acid dan alkali.
Fatty acid adalah lemak yang diperoleh dari lemak hewani atau nabati. Ada
beberapa jenis minyak yang dipakai dalam pembuatan sabun, antara lain minyak
zaitun (olive oil), minyak kelapa (coconut oil), minyak sawit (palm oil), minyak
kedelai (soy bean oil), dan lain-lain. Masing-masing mempunyai karakter dan
fungsi yang berlainan. Bahan baku yang digunakan didasarkan pada beberapa
kriteria, antara lain faktor manusia dan keamanan lingkungan, biaya, kecocokan
dengan bahan-bahan additive yang lain, serta spesifikasi khusus dari produk.
Sedangkan proses produksi aktual di lapangan bisa saja bervariasi dari satu
pabrik dengan pabrik yang lain, namun tahap-tahap utama pembuatan semua
produk tersebut adalah tetap sama. Sabun dibuat dari lemak hewan, minyak nabati
atau asam lemak (fatty acid) yang direaksikan dengan basa anorganik yang
bersifat water soluble, biasanya digunakan caustic soda/soda api (NaOH) atau
KOH (kalium hidroksida) juga alternatif yang sering juga dipakai, tergantung
spesifik sabun yang diinginkan, apakah ingin membuat sabun keras atau lunak.
Sabun hasil reaksi dengan sodium hidroksida (NaOH) biasanya lebih keras
dibandingkan dengan penggunaan potasium hidroksida (KOH). Bahan-bahan
dalam pembuatan sabun mandi seperti minyak atau lemak, NaOH atau KOH, air,
essensial dan fragrance oils, pewarna, zat aditif. Hampir semua minyak atau
lemak alami bisa dibuat menjadi sabun, seperti minyak kelapa, minyak sawit,
minyak zaitun, minyak jagung, dan minyak kedelai. NaOH atau KOH berfungsi
untuk mengubah minyak atau lemak menjadi sabun. Air sebagai katalis atau
pelarut. Air yang dipakai sebaiknya air sulingan atau air minum kemasan.
Sedangkan air dari PDAM kurang bagus karena banyak mengandung mineral.
5
Essensial dan fragrance oils ditambahkan sebagai suatu zat aditif pengharum,
pewarna untuk mewarnai sabun. Bisa juga memakai pewarna makanan.
2.3.3 Palm oil (minyak kelapa sawit) dan palm kernel oil (minyak inti kelapa
sawit)
Minyak kelapa sawit umumnya digunakan sebagai pengganti tallow.
Minyak kelapa sawit dapat diperoleh dari pemasakan buah kelapa sawit. Minyak
kelapa sawit berwarna jingga kemerahan karena adanya kandungan zat warna
karotenoid. Kandungan asam lemak yang ada di dalam minyak sawit antara lain
asam palmitat 42-44%, asam oleat 35-40%, asam linoleat 10%, asam linolenat
0,3%, asam arachidonat 0,3%, asam laurat 0,3%, dan asam miristat 0,5-1%.
Minyak inti sawit memiliki kandungan asam lemak tak jenuh lebih tinggi
dan asam lemak rantai pendek lebih rendah daripada minyak kelapa. Minyak inti
kelapa sawit diperoleh dari biji kelapa sawit. Minyak inti sawit memiliki
kandungan asam lemak yang mirip dengan minyak kelapa. Kandungan asam
lemak yang terdapat pada palm kernel oil yaitu asam laurat 40-52%, asam miristat
14-18%, asam oleat 11-19%, asam palmitat 7-9%, asam kaprat 3-7%, asam
kaprilat 3-5%, asam stearat 1-3%, dan asam linoleat 2%.
2.4.Proses Saponifikasi
Reaksi penyabunan (saponifikasi) dengan menggunakan alkali adalah
reaksi trigliserida dengan alkali (NaOH atau KOH) yang menghasilkan sabun dan
gliserin. Reaksi pembuatan sabun atau saponifikasi menghasilkan sabun sebagai
produk utama dan gliserin sebagai produk samping. Gliserin sebagai produk
samping juga memiliki nilai jual. Sabun merupakan garam yang terbentuk dari
asam lemak dan alkali. Sabun dengan berat molekul rendah akan lebih mudah
larut dan memiliki struktur sabun yang lebih keras Sabun memiliki kelarutan yang
tinggi dalam air, tetapi sabun tidak larut menjadi partikel yang lebih kecil,
melainkan larut dalam bentuk ion. Saponifikasi adalah proses hidrolisis dari alkali
pada lemak yang disengaja, biasanya dilakukan dengan penambahan basa kuat
(kaustik soda) membuat alkohol dan garam dan sisanya asam.
Atau secara singkat saponifikasi merupakan suatu reaksi yang terjadi
antara lemak dan kaustik soda atau peristiwa dari ester-ester. Pada proses
saponifikasi, trigliserida dengan suatu alkali memiliki karakteristik dimana
keduanya tidak mudah bercampur. Reaksi saponifikasi dapat mengkatalisis
8
aktif permukaan yang mempunyai ujung berbeda yaitu hidrofil (suka air) dan
hidrofob (suka lemak). Bahan aktif ini berfungsi menurunkan tegangan
permukaan air sehingga dapat melepaskan kotoran yang menempel pada
permukaan bahan, yang berfungsi sebagai emulsifier, bahan pengemulsi.
Pada kondisi aerob (cukup oksigen dan mikroorganisme), LAS memang
cepat terurai. Tetapi, LAS tidak dapat terurai pada kondisi anaerob (tidak terdapat
udara). LAS yang tidak terurai ini memiliki efek sangat toksik bagi organisme
(cukup mematikan untuk ikan dalam kadar 3-10 mg/L) dan bersifat bioakumulatif
(tersimpan dalam jaringan). Beberapa produsen menambahkan enzim dengan
maksud membantu menghilangkan noda protein, lemak, dan darah yang sukar
dihilangkan melalui pencucian biasa. Tetapi, enzim hanya akan sangat bermanfaat
bila dipakai pada pencucian dengan air hangat dimana proses ini disebut aktivasi.
Penggunaan sabun sebagai bahan pembersih yang dilarutkan dengan air di
wilayah pegunungan atau daerah pemukiman bekas rawa sering tidak
menghasilkan busa. Hal itu disebabkan oleh sifat sabun yang tidak akan
menghasilkan busa jika dilarutkan dalam air sadah (air yang mengandung logam
atau kapur). Tetapi, penggunaan deterjen dengan air yang bersifat sadah, akan
tetap menghasilkan busa yang berlimpah. Sabun maupun deterjen yang dilarutkan
dalam air pada proses pencucian, akan membentuk emulsi bersama kotoran yang
akan terbuang saat dibilas. Ada pendapat keliru yang menyatakan bahwa semakin
melimpahnya busa air sabun, akan membuat cucian menjadi lebih bersih.
Busa dengan luas permukaannya yang besar memang bisa menyerap
kotoran debu, tetapi dengan adanya surfaktan, pembersihan sudah dapat dilakukan
tanpa perlu adanya busa. Busa itu sendiri merupakan indikator yang langsung
dapat dilihat sebagai penyebab masalah lingkungan. Jadi, proses pencucian tidak
bergantung ada atau tidaknya busa atau sedikit dan banyaknya busa yang
dihasilkan. Kotoran yang melekat pada kulit atau pakaian ataupun benda-benda
lainnya, pada umumnya berasal dari lemak, minyak dan keringat, butir-butir
tanah, dan sebagainya. Zat- zat tersebut sangat sukar larut dalam air karena
bersifat non polar. Untuk itu, diperlukan sabun untuk membersihkannya. Ketika
sabun dimasukan ke dalam air, maka sabun akan mengalami ionisasi.
11
Gugus-gugus ini akan membentuk buih, dimana akan mengarah kepada air
(karena sama-sama polar), sedangkan bagian yang lain akan mengarah kepada
kotoran (karena sama-sama non polar). Oleh karena itu kotoran-kotoran akan
terikat pada sabun dan terikat pada air, maka dengan adanya gerakan tangan atau
mesin cuci, kotoran tersebut akan tertarik atau terlepas. Jika kotoran berupa
minyak atau lemak maka akan membentuk emulsi minyak dalam air dan sabun
sebagai emulgator. Jika sabun bertemu dengan kotoran tanah, maka akan
diabsorbsi oleh sabun dan membentuk suspensi butiran tanah.