Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

Pemahaman mengenai sensasi nyeri serta usaha untuk mengontrol atau mereduksi
level nyeri, selalu menjadi salah satu aspek penting dari terapi medis. Dalam praktek, nyeri
adalah masalah medis yang sering ditemui. Bahkan tidak jarang menjadi keluhan utama yang
membuat pasien datang menemui dokter. Dari data yang ada, 9 dari 10 orang di Amerika
secara reguler mengalami nyeri. Setiap tahunnya, 25 juta orang di Amerika mengalami nyeri
akut karena trauma ataupun pembedahan dan 50 juta orang mengalami nyeri kronik. Nyeri
kronik adalah penyebab tersering dari disabilitas dalam jangka waktu yang lama, dan hampir
sepertiga dari orang di Amerika mengalami nyeri kronik yang berat pada masa hidupnya.1

Pada tahun 1968, Mc Caffery mendefinisikan nyeri sebagai whatever the


experiencing person says it is, existing whenever she/he says it does. Definisi ini
mengutamakan nyeri sebagai pengalaman subjektif tanpa adanya ukuran yang objektif,
dimana pendapat pasien adalah indikator utama dari ada atau tidaknya nyeri serta
intensitasnya. IASP (International Association for the Study of Pain) memberikan definisi
nyeri sebagai unpleasant sensory and emotional experience associated with actual or
potential damage, or describe in terms of such damage. And pain is always subjectif. Each
individual learns the application of the word through experience related injury in early life.1-
3

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 KLASIFIKASI NYERI

Nyeri adalah proses fisiologis yang kompleks yang dapat diklasifikasikan dalam hal
intensitas (ringan, sedang, berat), durasi (akut, sembuh, kronis), mekanismenya
(fisiologis, nosiseptif, neuropatik), dan konteks klinis, (pasca-bedah ,keganasan terkait,
neuropatik, degeneratif, dll). Deteksi nyeri, atau nosisepsi, membutuhkan aktivasi
transduser khusus yang disebut nosiseptor, yang merupakan ujung perifer dari serabut
sensorik A- dan C. Nosiseptor mencakup ujung saraf bebas, yang berespons terhadap
berbagai stimulus, termasuk tekanan mekanis, deformasi, suhu yang ekstrim, dan
berbagai zat kimia. Pada stimulus yang intens, reseptor yang lain seperti badan Paccini
dan badan Meissner juga mengirim informasi yang dipersepsikan sebagai nyeri. Zat kimia
yang menyebabkan atau memperparah nyeri adalah histamin, bradikinin, serotonin,
beberapa prostaglandin, ion kalium, dan ion hidrogen. Masing-masing zat tersebut
tertimbun di tempat cedera sel, hipoksia, atau kematian sel, yang mewaspadakan individu
terhadap kejadian tersebut. Walaupun semua reseptor nyeri mampu berespons terhadap
setiap jenis stimulus taktil, masing-masing reseptor tampak berespons paling cepat
terhadap satu jenis stimulasi spesifik.4,5
Menurut mekanismenya nyeri dibagi menjadi nosiseptif, neuropatik, campuran, atau
idiopatik. Nyeri disebut nosiseptif ketika pemeriksaan klinis menunjukkan bahwa hal itu
ditopang terutama oleh sistem nosiseptif. Nyeri nosiseptif adalah nyeri yang sebanding
dengan tingkat kerusakan jaringan aktual. Sebuah cedera yang parah, rasa sakit yang
dirasakan lebih besar daripada yang disebabkan oleh cedera kurang parah. Rasa sakit
seperti melayani fungsi protektif. Ketika tubuh merasakan stimulus berbahaya, seseorang
berperilaku dengan cara tertentu untuk mengurangi cedera dan meningkatkan
penyembuhan (misalnya menarik jarinya jauh dari benda panas). Sakit bersifat "baik" ini

2
memberikan fungsi positif. Contoh nyeri nosiseptif termasuk luka bakar akut, patah
tulang, dan sebagainya.4,6
Nosiseptif dibedakan lagi menjadi nyeri somatik dan viseral. Nyeri nosiseptif somatik
terlokalisir dengan baik, tajam, menghancurkan, atau rasa sakit yang sifatnya merobek
yang luka trauma mengikuti struktur dermatom tubuh. Ini termasuk kulit, nyeri otot dan
ligamen, juga mencakup sakit kepala dan nyeri osteogenik. Sebaliknya, nyeri nosiseptif
visceral tidak terlokalisir dan tidak terlalu spesifik dalam hubungannya dengan dermatom
tubuh sehingga menimbulkan ketidaknyamanan tertentu yang biasanya digambarkan
sebagai rasa tidak tajam, kram, atau kolik. Ketidaknyamanan nyeri viseral berhubungan
dengan usus obstruksi, tahap pertama persalinan, dilatasi viskus berongga, apendisitis dini
dan iritasi peritoneal. Nyeri viseral dimediasi oleh ujung saraf bebas di organ
gastrointestinal dan peritoneum yang berespons terhadap iritasi atau distensi. Nyeri yang
dimaksud adalah bentuk khusus dari nyeri viseral yang memancar sesuai pola dermatomal
somatik. Nyeri dimaksud dapat dijelaskan oleh teori konvergensi masukan tulang
belakang, atau teori respon refleks.4
Tidak seperti nyeri nosiseptif, nyeri neuropatik terjadi melalui perubahan sistem saraf
perifer (PNS), seperti pembentukan neuroma, generasi defisit ektopik dari akson terluka
atau somata dari akar ganglion dorsal (DRG), atau melalui perubahan SSP yang dapat
menyebabkan peningkatan rangsangan nyeri sentral dari jaringan (disebut sensitisasi
sentral) pada pasien dengan kontak yang terlalu lama terhadap rangsangan berbahaya atau
cedera saraf. Hal ini tidak sesuai dengan tingkat kerusakan jaringan dan juga dapat
bertahan tanpa adanya rangsangan berbahaya terus (perubahan patofisiologi menjadi
independen dari rangsangan menarik). Dengan demikian, nyeri neuropatik tidak melayani
fungsi protektif dan tidak memberikan manfaat bagi kesehatan secara keseluruhan dari
orang tersebut.4
Nyeri campuran (mixed pain) yang dimaksud adalah misalnya pada pasien tertentu,
komponen nyeri nosiseptif terus dapat hidup berdampingan dengan komponen nyeri
neuropatik. Pasien dengan gigih sakit punggung dan kaki setelah operasi tulang belakang
lumbal (sindrom gagal operasi punggung bawah) merupakan contoh yang umum.
Beberapa pasien dengan sindrom nyeri regional kompleks (CRPS; distrofi refleks
simpatis atau kausalgia) dapat berkembang menjadi komplikasi yang menyakitkan yang
nosiseptif (misalnya ankilosis sendi, nyeri myofascial) dan yang hidup berdampingan
dengan nyeri neuropatik yang mendasarinya. Nyeri idiopatik dapat didefinisikan sebagai
nyeri yang menetap tanpa lesi organik yang tidak sesuai dengan tingkat kerusakan
jaringan.4,6

3
Berdasarkan waktu lamanya serangan, nyeri dibedakan menjadi nyeri akut dan kronik.
Nyeri akut adalah nyeri yang dirasakan dalam waktu yang singkat dan berakhir kurang
dari 6 bulan, sumber dan daerah nyeri diketahui dengan jelas. Rasa nyeri mungkin
sebagai akibat dari luka, seperti luka operasi, ataupun pada suatu penyakit ateriosklerosis
pada arteri koroner. Sedangkan nyeri kronis yaitu nyeri yang dirasakan lebih dari 6 bulan.
Nyeri kronis ini polanya beragam dan berlangsung berbulan-bulan bahkan bertahun-
tahun. Ragam pola tersebut ada yang nyeri timbul dengan periode yang diselingi interval
bebas dari nyeri lalu timbul kembali lagi nyeri dan begitu seterusnya. Nyeri kronis juga
ada yang konstan yaitu nyeri yang terus menerus menetap tanpa ada interval bebas nyeri
dan semakin lama dapat dirasakan semakin meningkat intensitasnya walaupun telah
diberikan pengobatan. Misalnya pada nyeri karena neoplasma.

2.2 PATOFISIOLOGI NYERI


Antara kerusakan jaringan (sebagai sumber stimuli nyeri) sampai dirasakan sebagai
persepsi nyeri terdapat suatu rangkaian proses elektrofisiologik yang secara kolektif
disebut sebagai nosisepsi (nociception). Ada empat proses yang jelas yang terjadi pada
suatu nosisepsi, yakni ;6
1. Proses Transduksi (Transduction), merupakan proses dimana suatu stimuli nyeri
(noxious stimuli) di rubah menjadi suatu aktifitas listrik yang akan diterima ujung-
ujung saraf (nerve ending). Stimuli ini dapat berupa stimuli fisik (tekanan), suhu
(panas) atau kimia (substansi nyeri).
2. Proses Transmisi (Transmission), dimaksudkan sebagai penyaluran impuls melalui
saraf sensoris menyusul proses transduksi. Impuls ini akan disalurkan oleh serabut
saraf A delta dan serabut C sebagai neuron pertama, dari perifer ke medulla spinalis
dimana impuls tersebut mengalami modulasi sebelum diteruskan ke thalamus oleh
traktus sphinotalamikus sebagai neuron kedua. Dari thalamus selanjutnya impuls
disalurkan ke daerah somato sensoris di korteks serebri melalui neuron ketiga, dimana
impuls tersebut diterjemahkan dan dirasakan sebagai persepsi nyeri.
3. Proses Modulasi (Modulation), adalah proses dimana terjadi interaksi antara sistem
analgesik endogen yang dihasilkan oleh tubuh kita dengan imput nyeri yang masuk ke
kornu posterior medulla spinalis. Jadi merupakan proses asenden yang di kontrol oleh
otak. Sistem analgesik endogen ini meliputi enkefalin, endorfin, serotonin, dan
noradrenalin yang memiliki efek dapat menekan impuls nyeri pada kornu posterior
medulla spinalis. Kornu posterior ini dapat diibaratkan sebagai pintu yang dapat
tertetutup atau terbukanya pintu nyeri tersebut diperankan oleh sistem analgesik

4
endogen tersebut di atas. Proses modulasi inilah yang menyebabkan persepsi nyeri
menjadi sangat subyektif orang per orang.
4. Persepsi (Perception), adalah hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dan
unik yang dimulai dari proses transduksi, transmisi, dan modulasi yang pada
gilirannya menghasilkan suatu perasaan yang subyektif yang dikenal sebagai persepsi
nyeri.6

Gambar 1. 4 Tahap Perjalanan Nyeri5

5
Gambar 2. Skema Sistem Kontrol Gerbang dan Aspek Nosisepsi Sistem

2.2.1 The Gate Control Theory


Di tahun 1968, Melzack dan Wall mempublikasikan teori baru tentang nyeri
yang dinamakan gate control theory atau teori gerbang nyeri. Teori ini
menjelaskan mengenai bagaimana harapan personal dan budaya, mood, dan rasa
takut dapat mempengaruhi persepsi dan toleransi nyeri individu. Dengan
menekankan kemampuan jaras desenden untuk mempengaruhi persepsi nyeri,
teori gerbang nyeri menjelaskan bagaimana teknik distraksi atau teknik relaksasi
dapat mengurangi nyeri, sedangkan berfokus pada stimulus nyeri dapat
meningkatkan kemungkinan stimulus menjadi disadari. Teori gerbang nyeri
menjelaskan bagaimana gating fapat terjadi pada stimulasi saraf perifer ke
medulla spinalis. Data menunjukkan bahwa ketika neuron besar yang
membawa informasi taktil kulit distimulasi bersamaan dengan saat serabut A dan
C menyalurkan stimulus nyeri, aktivasi spinal traktus neospinotalamikus dan
paleospinotalamikus menjadi berkurang. Penurunan aktivasi ini tampaknya
disebabkan oleh inhibisi lateral sel-sel di spina dorsal oleh neuron A yang besar
dan menimbulkan beberapa derajat analgesia. Ini adalah suatu contoh mengenai
gating penyaluran stimulus nyeri.4,5

6
2.2.2 Peristiwa Perifer di Nosiseptif
Reseptor terhadap rangsangan yang menyakitkan ditemukan di kulit, otot,
tendon, permukaan artikular dan periosteum dari tulang dan pada dinding arteri
dan organ perut. Mereka hadir tapi kurang produktif di bagian struktur jaringan
dalam lainnya. Meskipun beberapa serabut saraf berakhir pada sel-sel sensorik
khusus, mereka yang bertanggung jawab untuk mendeteksi stimulus yang
menyakitkan berakhir dengan serat luas bercabang yang tumpang tindih untuk
menyusup ke bidang reseptif reseptor sekitarnya. Jalinan serat ini memastikan
bahwa stimulasi dari satu daerah jaringan memberi respons lebih dari satu
reseptor. Secara klasik, serabut saraf sensorik telah dikategorikan dalam tiga
kelompok :
1. Serat A- memiliki diameter besar dan bermielin. Mereka mentrasnmit impuls
dengan kecepatan 30-100 m/s dan digambarkan sebagai 'ambang serat rendah '
karena stimulasi yang minimal diperlukan untuk menghasilkan dorongan.
Mereka menanggapi sentuhan ringan.
2. Serat A- memiliki diameter kecil, myelin yang tipis, dan mentranmisi impuls
dalam kecepatan antara 6 dan 30 m/s. Mereka berespons terhadap tekanan
(dalam berbagai macam intensitas tekanan), panas di atas 45oC, kimia dan
dingin.

3. Serat C berdiameter kecil dan tidak memiliki selubung myelin, membawa


impuls dengan kecepatan yang relatif lambat, sekitar 1-2,5 m/s. Pada manusia,
mereka menanggapi semua jenis peristiwa berbahaya dan dengan demikian
dianggap polimodal. Mereka juga menanggapi tekanan ringan dan kehangatan.
Mereka terhitung sekitar 60-70% dari semua serabut saraf sensorik.1

2.2.3 Sistem Saraf Perifer


Sejumlah zat alogenik (penyebab nyeri) yang mempengaruhi sensitivitas
nosiseptor dilepaskan ke dalam jaringan ekstraselular sebagai akibat dari
kerusakan jaringan. Histamin, bradikinin, asetilkolin, serotonin dan substansi P
adalah bahan kimia yang meningkatkan transmisi rasa sakit. Prostaglandin adalah
kelompok zat kimia yang diyakini dapat meningkatkan sensitivitas reseptor nyeri
dengan meningkatkan efek rasa sakit lalu memprovokasi bradikinin. Mediator
kimia ini juga menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas pembuluh
darah, mengakibatkan kemerahan, rasa hangat, dan pembengkakan pada daerah
luka.8

7
Setelah nosisepsi dimulai, potensi aksi nosiseptif ditransmisikan dalam sistem
saraf perifer. Order pertama neuron berjalan dari pinggiran (kulit, kornea, organ
dalam) ke sumsum tulang belakang melalui tanduk dorsal (dorsal horn). Ada dua
jenis utama dari serat yang terlibat dalam transmisi nosiseptif. Lebih kecil dan
bermielin yaitu serat A- yang mengirimkan nosisepsi cepat, yang menghasilkan
awal 'sakit cepat'. Serat tipe C yang lebih besar, tidak bermielin yang
mengirimkan apa yang disebut sakit kedua. Jenis rasa sakit yang muncul
berkualitas tumpul, gatal atau terbakar, yang berlangsung lebih lama dari awal
rasa sakit cepat. Jenis dan konsentrasi serat saraf untuk mengirimkan rasa sakit
bervariasi menurut jenis jaringan.

Jika ada pengulangan stimulasi serat C, respon yang lebih besar dicatat dalam
neuron tanduk dorsal, menyebabkan orang untuk merasa lebih sakit. Dengan kata
lain, stimulus berbahaya yang sama menghasilkan hiperalgesia, dan orang
melaporkan rasa sakit dirasakan lebih besar daripada stimulus pertama. Untuk
alasan ini, penting untuk mengobati pasien dengan agen analgesik ketika mereka
merasakan sakit pertama kali. Pasien membutuhkan lebih sedikit obat-obatan dan
pengalaman menghilangkan rasa sakit yang lebih efektif ketika analgesik
diberikan sebelum mereka menjadi peka terhadap rasa sakit. Bahan kimia yang
mengurangi atau menghambat transmisi atau persepsi nyeri meliputi endorfin dan
enkephalins. Neurotransmitter morphine-like ini bersifat endogen (diproduksi oleh
tubuh). Mereka adalah contoh dari zat yang mengurangi transmisi nosiseptif bila
diterapkan pada serabut saraf tertentu. Istilah endorphin adalah gabungan dari 2
kata : endogen dan morfin. Endorfin dan enkephalins ditemukan dalam
konsentrasi berat dalam sistem saraf pusat (SSP), khususnya tulang belakang dan
medula dorsal horn, materi abu-abu periaqueductal, hypothalamus, dan amigdala.
Morfin dan obat-obatan opioid lainnya bertindak di lokasi reseptor untuk menekan
eksitasi yang disebabkan atau diakibatkan oleh rangsangan berbahaya. Pengikatan
opioid ke situs reseptor bertanggung jawab atas efek yang ditimbulkan setelah
pemberian berlangsung. Setiap reseptor (mu, kappa, delta) merespon secara
berbeda ketika diaktifkan.8

2.2.4 Sistem Saraf Pusat

8
Setelah luka di jaringan diketahui, serat A- dan C tetap membawa impuls
nosiseptif dan berjalan ke sumsum tulang belakang. Serat memasuki tanduk
dorsal, yang terbagi ke dalam lamina berdasarkan jenis sel. Tipe sel lamina II
sering disebut sebagai substansia gelatinosa. Pada substansia gelatinosa, ada
proyeksi yang menyampaikan nosisepsi ke bagian lain dari sumsum tulang
belakang. Nosisepsi lanjut dari sumsum tulang belakang untuk ke formasi
reticular, thalamus, sistem limbik, dan korteks serebral. Disini nosisepsi
terlokalisasi, dan karakteristiknya menjadi jelas, termasuk intensitasnya.
Keterlibatan formasi reticular, limbik dan sistem aktivasi retikuler bertanggung
jawab atas variasi individu dalam persepsi rangsangan berbahaya. Orang dapat
melaporkan stimulus yang sama secara berbeda berdasarkan tingkat kecemasan,
pengalaman masa lalu, dan harapan. Ini adalah hasil dari persepsi sadar rasa sakit.
Agar sakit secara sadar tetap dirasakan, neuron dalam sistem ascending harus
diaktifkan. Aktivasi terjadi sebagai akibat input dari nosiseptor yang terletak di
kulit dan organ internal. Setelah diaktifkan, serat penghambat interneuronal dalam
dorsal horn mematikan informasi transmisi yang merangsang impuls berbahaya
dalam jalur asending.8

2.2.5 Sistem Kontrol Desending


Sistem ini adalah sistem dari serat yang berasal dari bawah dan midportion
otak (khususnya, dalam materi abu-abu periaqueductal) dan berakhir pada serat
interneuronal penghambat di tanduk dorsal sumsum tulang belakang. Sistem ini
selalu aktif; mencegah transmisi terus menerus dari rangsangan yang
menyakitkan, sebagian melalui aksi endorfin. Selama nosisepsi terjadi, sistem
kontrol desenden diaktifkan untuk menghambat rasa sakit.
Proses kognitif dapat merangsang produksi endorphin dalam sistem kontrol
desenden. Efektivitas sistem ini digambarkan oleh efek distraksi. Distraksi atau
pengalihan perhatian yang diberikan oleh pengunjung atau acara TV favorit dari
luar dapat meningkatkan aktivitas dalam sistem kontrol desenden. Oleh karena itu,
pasien yang memiliki pengunjung mungkin tidak melaporkan sakit, karena
aktivasi sistem kontrol desenden menghasilkan informasi stimuli yang lebih
sedikit sakit saat ditransmisikan ke kesadaran. Setelah distraksi atau pengalihan
perhatian oleh pengunjung berakhir, aktivitas dalam sistem kontrol desenden

9
menurun, mengakibatkan peningkatan transmisi stimulus yang menyakitkan
kembali.8
Interkoneksi antara sistem saraf desenden dan asenden saluran sensorik
disebut serat penghambat interneuronal. Serat ini mengandung enkephalins dan
terutama dirangsang melalui kegiatan non-nosiseptor serat perifer (serat yang
biasanya tidak mengirimkan stimulus yang menyakitkan atau berbahaya) di
lapangan reseptor yang sama seperti reseptor nyeri, dan serat desenden,
dikelompokkan bersama dalam sebuah sistem yang disebut descendens control.
Enkephalin dan endorphin diduga menghambat impuls nyeri dengan merangsang
serat interneuronal hambat, yang pada gilirannya mengurangi transmisi impuls
berbahaya melalui sistem asenden.8

Gambar 3. Sistem Nosiseptif Asenden dan Desenden8

2.2.6 Traktus Spinotalamikus


Akson neuron orde kedua menyeberangi garis tengah dekat dengan tingkat
dermatomal asalnya (pada komisura anterior) ke sisi kontralateral dari sumsum
tulang belakang sebelum mereka membentuk traktus spinotalamikus dan
mengirim serat mereka ke thalamus, formasi reticular, magnus inti raphe, dan abu-
abu periaqueductal. Traktus spinotalamikus, yang secara klasik dianggap jalur
sakit besar, terletak anterolateralis di bagian putih dari sumsum tulang belakang.
Saluran ascending ini dapat dibagi ke dalam saluran lateral dan medial. Saluran
laterospinotalamik (neospinotalamik) terutama ke inti posterolateral ventral
talamus dan membawa aspek diskriminatif rasa sakit, seperti lokasi, intensitas,
dan durasi. Saluran spinotalamikus (paleospinotalamik) medial ke talamus medial
dan bertanggung jawab untuk menengahi persepsi emosional otonom dan sakit
10
tidak menyenangkan. Beberapa serat spinotalamikus juga memproyeksikan ke
abu-abu periqaueductal dan dengan demikian mungkin menjadi hubungan penting
antara sesama jalur asending dan desending.3

Gambar 4. Perjalanan Nyeri3

2.3 PENGUKURAN NYERI


Pengukuran rasa sakit penting untuk memberikan informasi tentang keparahan dan
penyebab, dan untuk menentukan serta mengevaluasi perawatan. Dalam mengukur sakit,
penting untuk diingat bahwa nyeri memiliki kualitas sensorik dan afektif. Nyeri bukan
pengalaman yang sama untuk masing-masing individu.9

2.3.1 Visual Analogue Scale

11
Skala analog visual (VAS) adalah salah satu langkah yang paling banyak
digunakan intensitas nyeri. Ini terdiri dari garis 10 cm ditandai di salah satu ujung
dengan ' tidak sakit ' dan di sisi lain dengan ' rasa sakit terburuk yang pernah
dilakukan' atau frase serupa. Pasien diminta untuk menunjukkan di baris mana dia
rasa sakit, dan nilai numerik kemudian diberikan hanya dengan mengukur panjang
antara faktor 'tidak sakit'. VAS disajikan paling nyaman sebagai aturan slide
dengan satu sisi yang digunakan oleh pasien dan yang lainnya. Beberapa
modifikasi telah direkomendasikan untuk meningkatkan penerimaan pasien dan
pemahaman. Misalnya, untuk menghindari pengelompokan terhadap pusat skala,
keterangan tertulis seharusnya tidak tumpang tindih garis. Skala dapat diwakili
seperti termometer, dengan ujung 'hot' yang mewakili rasa sakit lebih parah.
Memberikan pasien mengerti sepenuhnya bagaimana menggunakan VAS (dengan
meminta pasien untuk menunjukkan penggunaannya pada saat penjelasan),
menyediakan ukuran yang berguna untuk efektivitas pengobatan.9

2.3.2 Verbal dan Numerical Rating Scales


Skala penilaian nyeri verbal (seperti tidak ada, ringan, sedang, berat) telah
digunakan selama bertahun-tahun dan menyediakan alat sederhana untuk
mengukur intensitas nyeri. Skala nyeri lisan dapat digunakan untuk mengukur
efek dari pengobatan tertentu (tidak ada, ringan, sedang, lengkap) dan mungkin
lebih sensitif dalam mendeteksi peningkatan daripada mencari perubahan dalam
skor nyeri. Peringkat skala nyeri numerik yang mirip dengan VAS tetapi diganti
sesuai dengan angka 0-10. Pengukuran nyeri dengan menggunakan skala penilaian
verbal dan numerik berkorelasi dengan nyeri diukur dengan VAS. Mereka
memiliki kelebihan dan kekurangan serupa.9

Gambar 5.VAS9

12
2.4 TERAPI NYERI

Obat analgesik bertujuan untuk menekan semua jenis rasa nyeri beserta tingkat
keparahannya tetapi tidak menghambat sistem sensoris lainnya, aktivitas motorik ataupun
kerja sensorimotor, tidak mempunyai efek beracun pada jaringan ataupun organ. Obat ini
harus bersifat lipophilic, terutama terdisosiasi pada pH tubuh untuk memungkinkan
absorbsi, tidak memiliki metabolit aktif dan dimetabolisme oleh enzim di mana-mana
atau mudah diantagonisasi. Durasi tindakan idealnya tergantung pada konteks klinis. Obat
ini harus tersedia dalam bentuk awal mulai cepat dan pelepasan lambat. Opioid dan
inhibitor siklooksigenase, sejauh ini adalah yang paling dekat dengan idealisasi.

2.4.1 Opioid
Ada 3 prinsip reseptor opioid :
1. Reseptor mu () - dinamakan mu karena bertanggung jawab atas tindakan
morfin.
2. Reseptor delta () - deferens kurang responsif terhadap morfin daripada yang
lain, opioid kurang kuat
3. Reseptor kappa () - bertanggung jawab atas berbagai tindakan ketazocine
opioid

Ada 3 efek utama opioid mengikat ke , , dan reseptor opioid melalui


peristiwa penghambatan G-protein-mediasi :

1. Menghambat masuknya kalsium ke dalam sel melalui N, P, Q, R saluran


kalsium. Kalsium masuk ke dalam neuron aferen nosiseptif menyebabkan
keluarnya neurotransmitter eksitatori (seperti pelepasan substansi P),
depolarisasi yang berkepanjangan, potensiasi jangka panjang dan peningkatan
ekspresi proto-onkogen, yang menyebabkan peningkatan sensitivitas neuron
tersebut.
2. Kehabisan kalium menyebabkan hyperpolarisasi sehingga perubahan tegangan
yang lebih besar diperlukan untuk mencapai ambang batas depolarisasi.
3. Penghambatan adenilat siklase (adenilat siklase diperlukan untuk generasi
adenosin monofosfat siklik yang berhubungan dengan phosporylation protein
membran dan perubahan saluran ion).

Opioid punya 3 prinsip aksi dalam jalur nosisepsi :

13
1. Dalam terminal presinaptik di aferen nosisepsi primer, penghambatan
masuknya kalsium dapat mencegah keluarnya neurotransmitter eksitatori.
2. Dalam terminal postsinaptik, bertambahnya kalium yang habis dapat
menyebabkan hiperpolarisasi, membuat semakin lambat. Inhibisi kalsium
refluks juga mengurangi fase depolarisasi berkepanjangan.
3. aktivasi penghambatan jalur desenden, dengan merangsang sel-sel dalam
materi abu-abu periaqueductal (PAG) yang relay untuk inti raphe dari medula
lalu ke tanduk dorsal, mengurangi masukan nosisepsi.

Stimulasi PAG oleh opioid tidak langsung. Penghambat neuron dihambat


oleh pelepasan -aminobutyric acid (GABA) terus menerus. Opioid
menghambat pelepasan spontan ini dengan meningkatkan konduktansi kalium.

Golongan opioid yang sering digunakan sebagai obat premedikasi pada


anestesi adalah : petidin dan morfin. Sedangkan fentanil digunakan sebagai
suplemen anestesi.10

a. Terhadap susunan saraf pusat


Sebagai analgetik, obat ini bekerja pada thalamus dan substansia
gelatinosa medulla spinalis, di samping itu, narkotik juga mempunyai efek
sedasi.
b. Terhadap respirasi
Menimbulkan depresi pusat nafas terutama pada bayi dan orang tua. Efek
ini semakin manifest pada keadaan umum pasien yang buruk sehingga
perlu pertimbangan seksama dalam penggunaanya. Namun demikian efek
ini dapat dipulihkan dengan nalorpin atau nalokson.
c. Terhadap bronkus, petidin menyebabkan dilatasi bronkus, sedangakan
morfin menyebabkan konstriksi akibat pengaruh pelepasan histamin.
d. Terhadap sirkulasi
Tidak menimbulkan depresi system sirkulasi, sehingga cukup aman
diberikan pada semua pasien kecuali bayi dan orang tua. Pada kehamilan,
opioid dapat melewati barier plasenta sehingga bisa menimbulkan depresi
nafas pada bayi baru lahir.

e. Terhadap sistem lain


Merangsang pusat muntah, menimbulkan spasme spinter kandung empedu
sehingga menimbulkan kolik abdomen. Morfin merangsang pelepasan
histamine sehingga bisa menimbulkan rasa gatal seluruh tubuh atau

14
minimal pada daerah hidung, sedangkan petidin, pelepasan histaminnya
bersifat lokal ditempat suntikan.

Berdasarkan struktur kimia, analgetik opioid di bedakan menjadi 3


kelompok :10

1. Alkaloid opium (natural) : morfin dan kodein


2. Derivate semisintetik : diasetilmorfin (heroin), hidromorfin, oksimorfon,
hidrokodon, dan oksikodon.
3. Derifat sintetik
a. Fenilpiperidine : petidin, fentanil, dan alfentanil.
b. Benzmorfans : pentazosin, fenazosin dan siklasozin.
c. Morfinans : lavorvanol
d. Propionanilides : metadon
4. Tramadol

2.4.1.1 Morfin
Morfin paling mudah larut dalam air dibandingkan golongan opioid
lain dan kerja analgesinya cukup panjang (long acting). Efek kerja dari morfin
(dan juga opioid pada umumnya) relatif selektif, yakni tidak begitu
mempengaruhi unsur sensoris lain, yaitu rasa raba, rasa getar (vibrasi),
penglihatan dan pendengaran; bahkan persepsi nyeripun tidak selalu hilang
setelah pemberian morfin dosis terapi.9
Efek analgesi morfin timbul berdasarkan 3 mekanisme; (1) morfin
meninggikan ambang rangsang nyeri; (2) morfin dapat mempengaharui emosi,
artinya morfin dapat mengubah reaksi yang timbul dikorteks serebri pada
waktu persepsi nyeri diterima oleh korteks serebri dari thalamus; (3) morfin
memudahkan tidur dan pada waktu tidur ambang rangsang nyeri meningkat.
Efek morfin pada sistem saraf pusat mempunyai dua sifat yaitu depresi dan
stimulasi. Digolongkan depresi yaitu analgesia, sedasi, perubahan emosi,
hipoventilasi alveolar. Stimulasi termasuk stimulasi parasimpatis, miosis, mual
muntah, hiperaktif reflek spinal, konvulsi dan sekresi hormon anti diuretika
(ADH).9,10
Morfin tidak dapat menembus kulit utuh, tetapi dapat menembus kulit
yang luka. Morfin juga dapat menembus mukosa. Morfin dapat diabsorsi usus,
tetapi efek analgesik setelah pemberian oral jauh lebih rendah daripada efek
analgesik yang timbul setelah pemberian parenteral dengan dosis yang sama.
Morfin dapat melewati sawar uri dan mempengaruhi janin. Ekresi morfin

15
terutama melalui ginjal. Sebagian kecil morfin bebas ditemukan dalam tinja
dan keringat.9
Morfin dan opioid lain terutama diidentifikasikan untuk meredakan
atau menghilangkan nyeri hebat yang tidak dapat diobati dengan analgesik
non-opioid. Lebih hebat nyerinya makin besar dosis yang diperlukan. Morfin
sering diperlukan untuk nyeri yang menyertai ; (1) Infark miokard ; (2)
Neoplasma ; (3) Kolik renal atau kolik empedu ; (4) Oklusi akut pembuluh
darah perifer, pulmonal atau koroner ; (5) Perikarditis akut, pleuritis dan
pneumotorak spontan ; (6) Nyeri akibat trauma misalnya luka bakar, fraktur
dan nyeri pasca bedah. Efek samping morfin (dan derivat opioid pada
umumnya) meliputi depresi pernafasan, nausea, vomitus, dizzines, disforia,
pruritus, konstipasi kenaikkan tekanan pada traktus bilier, retensi urin, dan
hipotensi.

Morfin tersedia dalam tablet, injeksi, supositoria. Morfin oral dalam


bentuk larutan diberikan teratur dalam tiap 4 jam. Dosis anjuran untuk
menghilangkan atau mengguranggi nyeri sedang adalah 0,1-0,2 mg/ kg BB.
Untuk nyeri hebat pada dewasa 1-2 mg intravena dan dapat diulang sesuai
yang diperlukan.9,10

2.4.1.2 Petidin
Petidin (meperidin, demerol) adalah zat sintetik yang formulanya
sangat berbeda dengan morfin, tetapi mempunyai efek klinik dan efek
samping yang mendekati sama. Secara kimia petidin adalah etil-1metil-
fenilpiperidin-4-karboksilat.

Meperidin (petidin) secara farmakologik bekerja sebagai agonis


reseptor m (mu). Seperti halnya morfin, meperidin (petidin) menimbulkan
efek analgesia, sedasi, euforia, depresi nafas dan efek sentral lainnya. Waktu
paruh petidin adalah 5 jam. Efektivitasnya lebih rendah dibanding morfin,
tetapi lebih tinggi dari kodein. Durasi analgesinya pada penggunaan klinis 3-5
jam. Dibandingkan dengan morfin, meperidin lebih efektif terhadap nyeri
neuropatik. Perbedaan antara petidin (meperidin) dengan morfin sebagai
berikut :9,10

16
1. Petidin lebih larut dalam lemak dibandingkan dengan morfin yang larut
dalam air.
2. Metabolisme oleh hepar lebih cepat dan menghasilkan normeperidin, asam
meperidinat dan asam normeperidinat. Normeperidin adalah metabolit
yang masih aktif memiliki sifat konvulsi dua kali lipat petidin, tetapi efek
analgesinya sudah berkurang 50%. Kurang dari 10% petidin bentuk asli
ditemukan dalam urin.
3. Petidin bersifat atropin menyebabkan kekeringan mulut, kekaburan
pandangan dan takikardia.
4. Seperti morpin, menyebabkan konstipasi, tetapi efek terhadap sfingter oddi
lebih ringan.
5. Petidin cukup efektif untuk menghilangkan gemetaran pasca bedah yang
tidak ada hubungannya dengan hipotermi dengan dosis 20-25 mg i.v pada
dewasa. Morfin tidak ada.
6. Lama kerja petidin lebih pendek dibandingkan morfin.

Efek samping meperidin dan derivat fenilpiperidin yang ringan berupa


pusing, berkeringat, euforia, mulut kering, mual-muntah, perasaan lemah,
gangguan penglihatan, palpitasi, disforia, sinkop dan sedasi. Meperidin hanya
digunakan untuk menimbulkan analgesia. Pada beberapa keadaan klinis,
meperidin diindikasikan atas dasar masa kerjanya yang lebih pendek daripada
morfin. Meperidin digunakan juga untuk menimbulkan analgesia obstetrik dan
sebagai obat preanestetik. Untuk menimbulkan analgesia obstetrik
dibandingkan dengan morfin, meperidin kurang karena menyebabkan depresi
nafas pada janin.
Sediaan yang tersedia adalah tablet 50 dan 100 mg ; suntikan 10
mg/ml, 25 mg/ml, 50 mg/ml, 75 mg/ml, 100 mg/ml. ; larutan oral 50 mg/ml.
Sebagian besar pasien tertolong dengan dosis parenteral 100 mg. Dosis untuk
bayi dan anak ; 1-1,8 mg/kg BB.9,10
2.4.1.3 Fentanil
Turunan fenilpiperidin ini merupakan agonis opioid poten. Sebagai
suatu analgesik, fentanil 75-125 kali lebih potendibandingkan dengan morfin.
Awitan yang cepat dan lama aksi yang singkat mencerminkan kelarutan lipid
yang lebih besar dari fentanil dibandingkan dengan morfin. Fentanil (dan
opioid lain) meningkatkan aksi anestetik lokal pada blok saraf tepi. Keadaan
itu sebagian disebabkan oleh sifat anestetsi lokal yamg lemah (dosis yang

17
tinggi menekan hantaran saraf) dan efeknya terhadap reseptor opioid pada
terminal saraf tepi. Fentanil dikombinasikan dengan droperidol untuk
menimbulkan neureptanalgesia.
Setelah suntikan intravena ambilan dan distribusinya secara kualitatif
hampir sama dengan morfin, tetapi fraksi terbesar dirusak paru ketika pertama
kali melewatinya. Fentanil dimetabolisir oleh hati dengan N-dealkilase dan
hidrosilasidan, sedangkan sisa metabolismenya dikeluarkan lewat urin. Obat
terbaru dari golongan fentanil adalah remifentanil, yang dimetabolisir oleh
esterase plasma nonspesifik, yang menghasilkan obat dengan waktu paruh
yang singkat, tidak seperti narkotik lain durasi efeknya relatif tidak tergantung
dengan durasi infusinya.9,10

Efek yang tidak disukai ialah kekakuan otot punggung yang


sebenarnya dapat dicegah dengan pelumpuh otot. Dosis besar dapat mencegah
peningkatan kadar gula, katekolamin plasma, ADH, rennin, aldosteron dan
kortisol. Efek depresinya lebih lama dibandingkan efek analgesinya. Dosis 1-3
/kg BB analgesianya hanya berlangsung 30 menit, karena itu hanya
dipergunakan untuk anastesia pembedahan dan tidak untuk pasca bedah. Dosis
besar 50-150 mg/kg BB digunakan untuk induksi anastesia dan pemeliharaan
anastesia dengan kombinasi bensodioazepam dan inhalasi dosis rendah, pada
bedah jantung. Sediaan yang tersedia adalah suntikan 50 mg/ml.9,10

2.4.2 OPIOID ENDOGEN


Golongan Enkefalin adalah salah satu jenis opioid endogen yang merupakan
derivat dari prekursornya yaitu proenkefalin. Setiap molekul proenkefalin
mengandung empat rantai met-enkefalin, satu rantai leu-enkefalin dan beberapa
peptide yang menyerupai enkefalin namun dengan molekul yang lebih besar.
Golongan enkefalin ini secara umum bekerja seletif pada reseptor . Senyawa ini
ditemukan di medulla kelenjar adrenal dan di ujung saraf yang mengandung
katekolamin. Golongan enkefalin bekerja di reseptor opioid presinaps pada neuron
nosiseptif yang mengandung neurotransmitter seperti substansi P. Secara alami
golongan enkefalin dihidrolisa oleh dengan cepat oleh enzim peptidase di plasma
darah kita.

Golongan Endomorfin merupakan opioid agonis yang mempunyai afinitas


tinggi dan selektifitas yang tinggi pada reseptor . Molekul prekursor dari

18
endomorfin masih belum dapat ditemukan. Terdapat 2 macam endomorfin
dibedakan menurut struktur kiminya, endomorfin 1 dan endomorfin 2. Pada studi
in vivo diketahui bahwa endomorfin 1 bekerja melalui stimulasi reseptor 2
sementara endomorfin 2 titik tangkap kerjanya melalui reseptor dan .
Keduanya baik endomorfin 1 maupun endomorfin 2 bekerja menurunkan
potensial aksi pada medulla daerah rostral ventrolateral, daerah yang menjadi
pusat pengatur tekanan darah. Sementara di perifer endomorfin menurunkan
noreprinefrin yang dilepaskan neuron simpatis vaskuler.10

2.4.3 ANTAGONIS OPIOID


2.4.3.1 Nalokson
Nalokson adalah antagonis murni opioid dan bekerja pada reseptor Mu,
delta, Kappa. Pemberian nalokson pada pasien setelah mendapat morfin akan
terlihat laju nafas meningkat, kantuk menghilang, pupil mata dilatasi, tekanan
darah kalau sebelumnya rendah akan meningkat. Nalokson biasanya
digunakan untuk melawan depresi nafas pada akhir pembedahan dengan dosis
dicicil 1-2 mikrogram/kgBB intravena dan dapat diulang tiap 3-5 menit,
sampai ventilasi dianggap baik. Dosis lebih dari 0,2 mg jarang digunakan.
Dosis intramuscular 2x dosis intravena. Pada keracunan opioid nalokson dapat
diberikan per-infus dosis 3-10g/kgBB.10

Untuk depresi napas neonatus yang ibunya mendapat opioid berikan


nalokson 10 g/kgBB dan dapat diulang setelah 2 menit. Biasanya 1 ampul
nalokson 0,4 mg diencerkan sampai 10 ml, sehingga tiap ml mengandung 0,04
mg.

2.4.3.2 Naltrekson

Naltrekson merupakan antagonis opiod kerja panjang yang biasanya


diberikan peroral, pada pasien dengan ketergantungan opioid. Waktu paro
plasma 8-12 jam. Pemberian per oral dapat bertahan sampai 24 jam.
Naltrekson per oral 5 atau 10 mg dapat mengurangi pruritus, mual muntah
pada analgesia epidural saat persalinan, tampa menghilangkan efek
analgesianya.10

2.4.4 PARASETAMOL (asetaminofen) {N-asetil-p.aminofenol}

19
Parasetamol merupakan obat analgesik non narkotik dengan cara kerja
menghambat sintesis prostaglandin terutama di SSP. Parasetamol digunakan
secara luas di berbagai negara baik dalam bentuk sediaan tunggal sebagai
analgetik-antipiretik maupun kombinasi dengan obat lain dalam sediaan obat flu,
melalui resep dokter atau yang dijual bebas. Keracunan parasetamol terutama
menimbulkan nekrosis hati yang disebabkan oleh metabolitnya.9,11
Parasetamol cepat diabsorbsi dari saluran pencernaan, dengan kadar serum
puncak dicapai dalam 30-60 menit. Waktu paruh kira-kira 2 jam. Metabolisme di
hati, sekitar 3 % diekskresi dalam bentuk tidak berubah melalui urin dan 80-90 %
dikonjugasi dengan asam glukoronik atau asam sulfurik kemudian diekskresi
melalui urin dalam satu hari pertama; sebagian dihidroksilasi menjadi N asetil
benzokuinon yang sangat reaktif dan berpotensi menjadi metabolit berbahaya.
Pada dosis normal bereaksi dengan gugus sulfhidril dari glutation menjadi
substansi nontoksik. Pada dosis besar akan berikatan dengan sulfhidril dari protein
hati. Pada dosis terapi, salah satu metabolit parasetamol bersifat hepatotoksik,
didetoksifikasi oleh glutation membentuk asam merkapturi yang bersifat non
toksik dan diekskresikan melalui urin, tetapi pada dosis berlebih produksi
metabolit hepatotoksik meningkat melebihi kemampuan glutation untuk
mendetoksifikasi, sehingga metabolit tersebut bereaksi dengan sel-sel hepar dan
timbulah nekrosis sentro-lobuler. Oleh karena itu pada penanggulangan keracunan
parasetamol terapi ditujukan untuk menstimulasi sintesa glutation. Dengan proses
yang sama parasetamol juga bersifat nefrotoksik.
Jika tidak ada masalah di organ hati, dosis maksimum paracetamol untuk
orang dewasa adalah 4 gram (4000mg) per hari atau 8 tablet paracetamol 500 mg.
- Indikasi : analgesik, antipiretik
- Cara pakai : oral
- Dosis anak
o 6-12 bulan 60 mg/kali, maks. 6 kali sehari;
o 1-6 tahun 60-120 mg/kali, maks. 6 kali/hari;
o 6-12 tahun 150-300 mg/kali, maks. 1,2 g/hari;
o dewasa 300 mg 1 g/kali, maks. 4 g/hari

- Sediaan : tab. 100 mg, 500 mg; sir. 120 mg/5 ml

Parasetamol dosis 140 mg/kg pada anak-anak dan 6 gram pada orang dewasa
berpotensi hepatotoksik. Dosis 4g pada anak-anak dan 15 g pada dewasa dapat
menyebabkan hepatotoksitas berat sehingga terjadi nekrosis sentrolobuler hati.

20
Dosis lebih dari 20 g bersifat fatal. Pada alkoholisme, penderita yang
mengkonsumsi obat-obat yang menginduksi enzim hati, kerusakan hati lebih
berat, hepatotoksik meningkat karena produksi metabolit.9,11

Gejala keracunan parasetamol dapat dibedakan atas 3 stadium :

1. Stadium I (0-24 jam)


Asimptomatis atau gangguan sistim pencernaan berupa mual, muntah,
pucat, berkeringat. Pada anak-anak lebih sering terjadi muntah-muntah
tanpa berkeringat.
2. Stadium II (24-48 jam)
Peningkatan SGOT-SGPT. Gejala sistim pencernaan menghilang dan
muncul ikterus, nyeri perut kanan atas, meningkatnya bilirubin dan waktu
protombin. Terjadi pula gangguan faal ginjal berupa oliguria, disuria,
hematuria atau proteinuria.
3. Stadium III ( 72 - 96 jam )
Merupakan puncak gangguan faal hati, mual dan muntah muncul kembali,
ikterus dan terjadi penurunan kesadaran, ensefalopati hepatikum
4. Stadium IV ( 7- 10 hari)
Terjadi proses penyembuhan, tetapi jika kerusakan hati luas dan progresif
dapat terjadi sepsis, Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) dan
kematian.9,11

2.4.4.1 Antidotum Parasetamol

N-asetilsistein merupakan antidotum terpilih untuk keracunan


parasetamol. N-asetil-sistein bekerja mensubstitusi glutation, meningkatkan
sintesis glutation dan meningkatkan konjugasi sulfat pada parasetamol. N
asetil sistein sangat efektif bila diberikan segera 8-10 jam yaitu sebelum
terjadi akumulasi metabolit. Methionin per oral, suatu antidotum yang efektif,
sangat aman dan murah tetapi absorbsi lebih lambat dibandingkan dengan N
asetilsistein. Dosis dan cara pemberian N-asetilsistein :

1. Bolus 150 mg /KBB dalam 200 ml dextrose 5 % : secara perlahan selama


15 menit, dilanjutkan 50 mg/KBB dalam 500 ml dextrose 5 % selama 4

21
jam, kemudian 100 mg/KBB dalam 1000 ml dextrose melalui IV perlahan
selama 16 jam berikut.
2. Oral atau pipa nasogatrik
Dosis awal 140 mg/ kgBB 4 jam kemudian, diberi dosis pemeliharaan 70
mg / kg BB setiap 4 jam sebanyak 17 dosis. Pemberian secara oral dapat
menyebabkan mual dan muntah. Jika muntah dapat diberikan
metoklopropamid ( 60-70 mg IV pada dewasa )

Larutan N asetil sistein dapat dilarutkan dalam larutan 5 % jus atau air dan
diberikan sebagai cairan yang dingin. Keberhasilan terapi bergantung pada
terapi dini, sebelum metabolit terakumulasi.11

2.4.5 NSAID
NSAID mengurangi nosisepsi yang berhubungan dengan peradangan dan
inflamasi mediator baik dari trauma, infeksi, reaksi kekebalan atau pelepasan
transmitter saraf. Mereka juga memodifikasi reaksi inflamasi dan menurunkan
suhu ke arah normal. Relatif sejauh mana efek ini dicapai tidak selalu saling
terkait, meskipun mereka semua menghambat produksi prostaglandin. Misalnya,
ketorolac dalam dosis analgesik biasa memiliki sedikit efek inflamasi. Aspirin
adalah anti-inflamasi hanya dalam dosis yang lebih tinggi dari yang dibutuhkan
untuk analgesia. Indometasin adalah anti-inflamasi kuat dalam dosis analgesik
biasa.9
Semua NSAID menghambat sintesis porstaglandin dengan menghambat enzim
siklooksigenase (COX). Ada 2 jenis COX yaitu COX-1 dan COX-2. Struktur
COX-1 dan COX-2 telah dijelaskan, dimurnikan dan dikloning. COX-1 disebut
enzim konstitutif karena hadir di hampir semua jaringan untuk sebagian besar
waktu dan berperan penting dalam menjaga fungsi seperti aliran darah regional
dan sekresi lendir lambung. COX-2 hadir dalam otak, sumsum tulang belakang
dan macula densa dari glomerulus, dan kadang dalam waktu tertentu hadir dalam
ovarium dan uterus. Hal ini dapat diinduksi dalam sel inflamasi ketika mereka
diaktifkan oleh, katakan interleukin-1 dan tumor faktor necrosing. Induksi COX-2
bersifat sementara, mencapai maksimum setelah 4-6 jam setelah stimulasi dan
kembali ke baseline setelah 24 jam. Hal ini dihambat oleh glukokortikosteroid.
Banyak NSAID lebih selektif untuk COX-1 daripada COX-2.9

Tabel 1. Contoh Selektivitas NSAID untuk COX-1 dan COX-29

22
COX-1 > COX-2 COX-1 = COX-2 COX-2 > COX-1
Aspirin (166:1) Diclofenac Celecoxib
Indomethacin (60:1) Naproxen Rofecoxib
Ibuprofen (15:1) Etodolac Meloxicam
Piroxicam (250:1) Ketorolac
Nabumetone

1. Gol. Indomethacin
- Proses didalam tubuh
Absorpsi di dalam tubuh cepat dan lengkap, metabolisme sebagian berada
di hati, yang dieksresikan di dalam urine dan feses, waktu paruhnya 2-3
jam, memiliki anti inflamasi dan efek antipiretic yang merupakan obat
penghilang sakit yang disebabkan oleh keradangan, dapat menyembuhkan
rematik akut, gangguan pada tulang belakang dan asteoatristis.
- Efek samping
a. Reaksi gastrointrestianal: anorexia (kehilangan nafsu makan), vomting
(mual), sakit abdominal, diare.
b. Alergi: reaksi yang umumnya adalah alergi pada kulit dan dapat
menyebabkan asma.
2. Gol. Sulindac
Potensinya lebih lemah dari Indomethacine tetapi lebih kuat dari aspirin, dapat
mengiritasi lambung, indikasinya sama dengan Indomethacine.
3. Gol. Arylacetic Acid
Selain pada reaksi aspirin yang kurang baik juga dapat menyebabkan
leucopenia thrombocytopenia, sebagian besar digunakan dalam terapi rematik
dan reumatoid radang sendi, ostheoarthitis.
4. Gol. Arylpropionic Acid
Digunakan untuk penyembuhan radang sendi reumatik dan ostheoarthitis,
golongan ini adalah penghambat non selektif cox, sedikit menyebabkan
gastrointestial, metabolismenya dihati dan di keluarkan di ginjal.
5. Gol. Piroxicam
Efek mengobati lebih baik dari aspirin indomethacine dan naproxen,
keuntungan utamanya yaitu waktu paruh lebih lama 36-45 jam.
6. Gol. Nimesulide
Jenis baru dari NSAID, penghambat COX-2 yang selektif, memiliki efek anti
inflamasi yang kuat dan sedikit efek samping

Semua NSAID aktif adalah asam lemah dan terutama tidak terionisasi dalam
medium asam lambung di mana penyerapan difasilitasi. Namun, sebagian besar

23
penyerapan terjadi di usus kecil karena bentuk tak terionisasi mungkin sangat
tidak larut (misalnya aspirin) dan daerah serap mikrovili usus kecil jauh lebih luas.
Sebagian besar memiliki pKa nilai kurang dari 5 dan karena itu 99% terionisasi di
atas pH 7. Sebagian besar hampir tidak larut dalam air pada pH tubuh, meskipun
garam natrium (natrium diklofenak, naproxen sodium) yang lebih larut. Ketorolac
trometamol paling larut dan dapat diberikan secara intravena sebagai bolus dan
intramuskular tanpa menyebabkan iritasi yang signifikan. Teroxicam dan
ketoprofen dapat diberikan intravena sebagai bolus lambat, dan diklofenak sebagai
infus 30 menit. Ketorolac dan tenoxicam dapat diberikan intramuskuler.
Ketoprofen dan diklofenak dapat diberikan intramuskuler juga, tetapi hanya dalam
ke dalam otot besar, dan bahkan kemudian diklofenak dapat menyebabkan abses
kimia.9

NSAID memiliki potensi untuk mengurangi rasa sakit, terutama larut nyeri
pasca-inflamasi, dan biasanya lebih efektif untuk sakit gigi dan ortopedi daripada
opioid lemah. Ibuprofen direkomendasikan sebagai NSAID lini pertama untuk
analgesik sederhana karena memiliki jumlah reaksi merugikan terendah yang
dilaporkan per jumlah. Diklofenak populer karena tersedia dalam beberapa
formulasi. Ketorolac adalah pilihan pertama pemberian intravena karena kelarutan
yang relatif tinggi. Selektif COX-2 inhibitor telah terbukti memiliki khasiat
analgesik serupa sebagai diklofenak. Mereka telah menunjukkan sedikit atau tidak
ada iritasi lambung dalam uji coba. Penghambatan trombosit tidak terjadi dengan
dosis lebih dari 50 kali yang digunakan secara klinis. Pengaruhnya terhadap fungsi
ginjal dan asma adalah, belum, belum jelas.

Efek samping yang paling sering terjadi adalah induksi tukak lambung atau
tukak peptik yang kadang-kadang disertai anemia sekunder akibat perdarahan
saluran cerna. Beratnya efek samping ini berbeda pada masing-masing obat. Dua
mekanisme terjadinya iritasi lambung adalah: (1) iritasi yang bersifat lokal yang
menimbulkan difusi kembali asam lambung ke mukosa dan menyebabkan
kerusakan jaringan; (2) iritasi atau perdarahan lambung yang bersifat sistemik
melalui hambatan biosintesis PGE2 dan PGI2. Kedua prostaglandin ini banyak
ditemukan di mukosa lambung dengan fungsi menghambat sekresi asam lambung
dan merangsang sekresi mukus usus halus yang bersifat sitoprotektif. Mekanisme
kedua ini terjadi pada pemberian parenteral. Efek samping lain adalah gangguan

24
fungsi trombosit akibat penghambatan biosintesis tromboksan A2 dengan akibat
perpanjangan waktu perdarahan. Efek ini dimanfaatkan untuk terapi profilaksis
trombo-emboli. Obat yang digunakan sebagai terapi profilaksis trombo-emboli
dari golongan ini adalah aspirin.9

2.4.6. WHO Step-Ladder


Tangga analgesik dirancang oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk
membantu resep kesehatan dalam resep obat analgesik dengan menyarankan
strategi logis untuk mengelola rasa sakit dalam banyak situasi sakit.12
Tangga menyarankan pendekatan melangkah ke penggunaan obat penghilang
rasa sakit dari kelompok-kelompok analgesik :
1. Analgesik sederhana yaitu parasetamol dan obat anti - inflamasi non-steroid
(NSAID)
2. Opioid lemah yaitu tramadol, kodein
3. Opioid yang kuat yaitu morfin, fentanil, oxycodone, petidin
4. Adjuvant - analgesik ajuvan adalah obat yang awalnya tidak untuk rasa sakit
melainkan untuk kondisi lain tetapi telah ditemukan efektif dalam sulit untuk
mengatasi rasa sakit, terutama nyeri neuropatik. Mereka adalah kelompok
beragam obat yang termasuk antidepresan, antikonvulsan (anti kejang obat),
dan lain-lain.

Pada setiap langkah dari tangga analgesik analgesik non-opioid membentuk


dasar dari manajemen nyeri. Parasetamol dan NSAID ( jika tidak kontraindikasi )
harus selalu karena itu diresepkan dengan analgesia opioid (lemah atau kuat). Hal
ini dikenal sebagai analgesia multi-modal dan konsep bahwa rasa sakit terbaik
dikelola, bukan dengan obat tunggal atau terapi, tetapi dengan kombinasi yang
memaksimalkan efektivitas sementara menjaga efek samping rendah.12

NYERI

25
NYERI

Gambar 6.WHO Step-Ladder12

BAB III
PENUTUP

26
Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat dari
kerusakan jaringan yang aktual atau potensial. Nyeri dibedakan menjadi beberapa macam
tergantung dari klasifikasinya masing-masing, yaitu nyeri akut dan kronik, nyeri dalam dan
nyeri superficial, nyeri nosisepsi dan nyeri neuropatik, dan lainnya. Nyeri nosiseptif memiliki
4 tahap perjalanan dari kulit sampai ke otak, yaitu proses transduksi, transmisi, modulasi, dan
persepsi. Dengan mempelajari dan mengetahui masing-masing kegunaan empat tahap ini, kita
dapat mengetahui obat ataupun terapi apa yang cocok diberikan untuk mengatasi nyeri
dengan cara menghambat proses perjalanan nyeri nosisepsinya.

DAFTAR PUSTAKA
1. Sofaer B.Pain : principles, practice and patients.3th ed. United Kingdom : Nelson Thornes
Ltd; 2003.p.15-20;75-89.

27
2. Bond MR, Simpson KH. Pain Its Nature and Treatment. London : Elsevier Chuchill
Livingstone; 2006.
3. Morgan GE, Michail MS, Muray MJ. Clinical Anesthesiology, 5 th ed. New York : Lange;
2013.p.1023-37.
4. Corwin EJ. Buku saku patofisiologi. ed ke-3. Jakarta : EGC; 2009.h.380-98.
5. Sinatra RS, Jahr JS, Pitchford MW.The Essence of Analgesia and Analgesics. New York :
Cambridges University Press; 2009.p.3-12.
6. Smith H.Current therapy in pain.Philadelphia : Saunders Elsevier.2009.p.4-13.
7. Perjalanan nyeri diunduh dari http://binhasyim.wordpress.com/2007/12/16/konsep-nyeri/,
tanggal 16 Desember 2007.
8. Cheever KH, Hinkle JL.Brunner & suddarth`s textbook of medical-surgery nursing.13th
ed.Vol 1.Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins;2014.p.232-5.
9. .Textbook of anaesthesia.p.208-22.
10. Freye E, Levy JV. Opioids in medicine. Dusseldorf, Germany:Springer;2008.
11. Ritter JM, Lewis LD, Mant TGK. Drug Overdose and Poisoning.Bab 53.Dalam : A
Textbook of Clinical Pharmacology;1999.p.658- 65.
12. Diunduh dari http://www.paincommunitycentre.org/article/who-analgesic-ladder-0, pada
tanggal 25 Mei 2014.

28

Anda mungkin juga menyukai