Anda di halaman 1dari 29

PENGARUH PEMBERIAN SUPLEMEN ASTAXANTHIN

TERHADAP PERUBAHAN KADAR STRESS


OKSIDATIF PENDERITA PARKINSON

Oleh :
dr. Kezia Natania Sudibyo Wisnu Sonjaya
1880721011

PROGRAM STUDI BIOMEDIK ANTI AGING MEDICINE


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR, BALI
2019
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL....................................................................................................i
DAFTAR ISI................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang...................................................................................................4
1.2. Rumusan Masalah..............................................................................................5
1.3. Tujuan Penelitian...............................................................................................5
1.3.1. Tujuan Umum........................................................................................5
1.3.2. Tujuan Khusus.......................................................................................5
1.4. Manfaat Penelitian.............................................................................................6
1.4.1. Bagi Peneliti...........................................................................................6
1.4.2. Bagi Masyarakat....................................................................................6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Perkembangan Radikal Bebas dan Antioksidan................................................7
2.1.1. Definisi Antioksidan..............................................................................8
2.1.2. Peranan Antioksidan terhadap kesehatan.............................................10
2.2. Stress Oksidatif................................................................................................10
2.2.1. Stress Oksidatif terhadap penyakit Parkinson......................................11
2.3. Metabolisme dan Fungsi Glutathione..............................................................13
2.3.1. Sistem Glutathione pada penyakit Parkinson......................................14
2.4. Karotenoid.......................................................................................................16
2.4.1. Astaxanthin..........................................................................................17
2.4.2. Astaxanthin menurunkan Kadar Stress Oksidatif................................18
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1. Kerangka Berpikir............................................................................................19
3.2. Kerangka Konsep.............................................................................................19
3.3. Hipotesis...........................................................................................................19
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1. Desain Penelitian..............................................................................................20
4.2. Tempat dan Waktu...........................................................................................20
4.3. Populasi............................................................................................................20
4.3.1. Populasi Target.....................................................................................20

ii
4.3.2. Populasi Terjangkau.............................................................................20
4.4. Sampel..............................................................................................................20
4.4.1. Metode Pengambilan Sampel...............................................................20
4.4.2. Besar Sampel........................................................................................20
4.5. Kriteria Inklusi dan Eksklusi............................................................................21
4.6. Identifikasi Variabel.........................................................................................22
4.7. Definisi Operasional.........................................................................................22
4.8. Alur Penelitian..................................................................................................24
4.9. Cara Kerja.........................................................................................................24
4.10. Manajemen Data...............................................................................................25
4.11. Etika Penelitian.................................................................................................25
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………….26

iii
iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Penyakit Parkinson merupakan gangguan neurodegeneratif yang
dicirikan dengan gejala motorik klasik yaitu bradikinesia, rigiditas, dan
tremor. Penyakit ini merupakan penyakit neurodegeneratif tersering kedua
setelah demensia Alzheimer.1,2 Insiden penyakit parkinson di Amerika
Serikat sekitar 1 juta orang pada tahun 2010 sedangkan diseluruh dunia
penderita mencapai 5 juta orang. Kebanyakan individu yang mengalami
penyakit parkinson berusia lebih dari 60 tahun. Penyakit Parkinson terjadi
pada sekitar 1% individu berusia 60 tahun dan sekitar 4% pada orang yang
berusia 80 tahun. Karena harapan hidup secara keseluruhan meningkat, jumlah
orang dengan penyakit parkinson akan meningkat di masa depan.1,2
Penyakit Parkinson ditandai oleh degenerasi progresif neuron
dopaminergik pada substantia nigra pars compakta. Meskipun penyebab
Parkinson belum sepenuhnya dipahami, beberapa faktor risiko telah diusulkan
berkaitan dengan etiologi penyakit, termasuk usia, genetika, stres oksidatif,
disfungsi mitokondria, dan faktor lingkungan. Namun, studi berbagai penanda
dan indeks pada pasien Parkinson dan hewan model menunjukkan bahwa
peningkatan produksi spesies oksigen reaktif (ROS) yang disebabkan oleh
peningkatan kerusakan oksidatif memainkan peran penting dalam
menginduksi neurotoksisitas dan akhirnya membunuh sel-sel yang
berhubungan dengan penyakit Parkinson.3
Astaxanthin, anggota unik dari xanthophylls, adalah pitonutrisi
berwarna merah yang dapat disintesis oleh mikroalga yang disebut
Haematococcus pluvialis. Studi menunjukkan bahwa astaxanthin dapat dengan
mudah melewati BBB untuk melindungi otak dari cedera akut dan
neurodegenerasi kronis. Sifat neuroprotektif dari molekul ini melibatkan anti-
oksidasi, anti-peradangan, dan anti-apoptotis. Astaxanthin aman dikonsumsi
dengan makanan dan tidak mengandung efek samping. Satu uji klinis acak
menemukan bahwa 6 mg / hari astaxanthin dapat dikonsumsi dengan aman
oleh orang dewasa yang sehat.4

4
Penelitian yang dilakukan oleh Grimmig B., Daly.L, Hudson C., Nash
KR., dan Bickford PC pada tahun 2017 menunjukkan bahwa tikus yang
diberikan astaxanthin selama 4 minggu terlindung dari paparan MPTP yang
menyebabkan hilangnya tyrosine hydroxylase (TH) sebagai pewarna
Substantia Nigra (SN) dibandingkan dengan tikus kontrol yang tidak diberikan
astaxanthin dan dibiarkan terpapar MPTP dalam dosis yang sama. Astaxanthin
yang diberikan dalam 4 minggu berturut-turut juga secara signifikan
meningkatkan rasio glutathione (GSH) yang tereduksi menjadi glutathione
teroksidasi (GSSH) yang juga berperan penting dalam penyakit Parkinson.
Berdasarkan bukti penelitian yang diuraikan di atas, maka dibuatlah karya
tulis tentang pengaruh pemberian astaxanthin terhadap perubahan kadar stress
oksidatif penderita Parkinson.4,5
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan di atas, maka dibuat
rumusan masalah sebagai berikut :
- Berapa besar kadar stress oksidatif penderita Parkinson?
- Adakah pengaruh pemberian suplemen astaxanthin terhadap perubahan
kadar stress oksidatif penderita Parkinson?
- Seberapa besar pengaruh pemberian suplemen astaxanthin terhadap
perubahan kadar stress oksidatif penderita Parkinson?
- Apa saja faktor penghambat dan pendukung pemberian suplemen
astaxanthin terhadap perubahan kadar stress oksidatif penderita Parkinson?
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Diketahuinya pengaruh pemberian suplemen astaxanthin terhadap
perubahan kadar stress oksidatif penderita Parkinson.
1.3.2. Tujuan Khusus
- Diketahuinya kadar stress oksidatif penderita Parkinson
- Diketahuinya kadar glutathione dalam plasma penderita Parkinson
- Diketahuinya hubungan antara astaxanthin dengan perubahan
kadar stress oksidatif penderita Parkinson
- Diketahuinya hubungan antara astaxanthin dengan kadar
glutathione dalam plasma penderita Parkinson

5
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat bagi Peneliti
- Menambah pengalaman dan pengetahuan peneliti dalam hal
pembuatan penelitian.
- Meningkatkan kerjasama dan pengertian antara peneliti.
- Menambah pengetahuan peneliti mengenai pengaruh pemberian
suplemen astaxanthin terhadap perubahan kadar stress oksidatif
penderita Parkinson.
1.4.2. Manfaat bagi Masyarakat
- Dengan diketahuinya pengaruh pemberian suplemen astaxanthin
terhadap penrubahan kadar stress oksidatif pada penyakit
Parkinson, maka warga dapat melakukan intervensi lebih dini dan
memperlambat gejala penyakit Parkinson.
- Dengan diketahuinya pengaruh pemberian suplemen astaxanthin
terhadap perubahan kadar stress oksidatif penderita Parkinson,
dapat menambah pengetahuan tentang pengobatan penyakit
Parkinson.

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Perkembangan Radikal Bebas dan Antioksidan


Sampai permulaan abad ke 20, tidak seorangpun percaya bahwa suatu
senyawa bernama radikal bebas dapat berada dalam keadaan bebas. Para
ilmuwan masih menggunakan istilah radikal bebas untuk suatu kelompok
atom yang membentuk suatu molekul. Perubahan terjadi ketika pada abad ke
20 seorang Rusia bernama Moses Gomberg yang lahir di Blisavetgard pada
tahun 1866, dia membuat radikal bebas organik pertama dari trifenilmetan,
yakni senyawa hidrokarbon yang digunakan sebagai bahan dasar berbagai zat
pewarna.6
Berdasarkan penelitian Gomberg dan ilmuwan lainnya, istilah radikal
bebas kemudian diartikan sebagai molekul yang relatif tidak stabil,
mempunyai satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan di orbit luarnya.
Molekul tersebut bersifat reaktif dalam mencari pasangan elektronnya. Jika
sudah terbentuk dalam tubuh maka akan terjadi reaksi berantai dan
menghasilkan radikal bebas baru yang akhirnya jumlahnya terus bertambah.6
Oksigen yang terhirup akan diubah oleh sel tubuh secara konstan
menjadi senyawa yang sangat reaktif, dikenal sebagai senyawa reaktif oksigen
(SOR) terjemahan dari reactive oxygen species (ROS). Peristiwa ini
berlangsung saat proses sintesa energi di mitokondria atau proses detoksifikasi
yang melibatkan enzim sitokrom P-450 di hati. Produksi SOR secara fisiologis
ini merupakan konsekuensi logis dalam kehidupan aerobik.6
Sebagian SOR berasal dari proses fisiologis tersebut (SOR endogen)
dan lainnya adalah SOR eksogen, seperti berbagai polutan lingkungan (emisi
kendaraan bermotor dan industri, asbes, asap rokok, dan lain-lain), radiasi
ionisasi, infeksi bakteri, jamur dan virus, serta paparan zat kimia (termasuk
obat) yang bersifat mengoksidasi. Ada 2 jenis SOR, yang berbentuk radikal
dan nonradikal. Contoh bentuk radikal adalah superoksida anion, hidroksil,
peroksil, dan lain-lain. Sementara itu, yang berbentuk nonradikal misalnya
hidrogen peroksida, oksigen singlet, hipoklorit, dan sebagainya.6

7
Pada kenyataannya, segala sesuatu di dalam hidup ini memang
diciptakan sang pencipta alam secara seimbang. Sistem defensif
dianugerahkan terhadap setiap sel berupa perangkat antioksidan enzimatis
(glutathione, ubiquinol, catalase, superoxide dismutase, hydroperoxidase, dan
sebagainya). Antioksidan enzimatis endogen ini pertama kali dikemukakan
oleh J.M. Mc Cord danI. Fridovich (ilmuwan Amerika pada tahun 1968) yang
menemukan enzim antioksidan alami di dalam tubuh manusia dengan nama
superoksida dismutase (SOD). Hanya dalam waktu singkat setelah teori
tersebut disampaikan, selanjutnya ditemukan enzim-enzim antioksidan
endogen lainnya seperti glutation peroksidase dan katalase yang mengubah
hidrogen peroksida menjadi air dan oksigen.6
Sebenarnya SOR mempunyai peran penting bagi kesehatan dan fungsi
tubuh yang normal dalam memerangi peradangan, membunuh bakteri, dan
mengendalikan tonus otot polos pembuluh darah, dan organ-organ dalam
tubuh. Namun bila dihasilkan melebihi batas kemampuan proteksi antioksidan
seluler, maka SOR akan menyerang sel itu sendiri. Struktus sel yang berubah
turut merubah fungsinya yang akan mengarah pada proses munculnya
penyakit.6
2.1.1. Definisi Antioksidan
Antioksidan adalah senyawa yang mempunyai struktur molekul
yang dapat memberikan elektronnya kepada molekul radikal bebas dan
dapat memutus reaksi berantai dari radikal bebas. Terdapat 3 macam
antioksidan yaitu antioksidan endogen (superoksida dismutase,
glutathione peroxidase, dan katalase), antioksidan bahan alami (yang
diperoleh dari tanaman atau hewan yaitu tokoferol, vit C, betakaroten,
flavonoid dan senyawa fenolik), dan antioksidan sintetik (yang terbuat
dari bahan-bahan kimia seperti Butylated Hroxyanisole/BHA, BHT,
TBHQ, PG, dan NDGA yang ditambahkan ke dalam makanan untuk
mencegah kerusakan lemak). Atas dasar fungsinya, antioksidan
dibedakan menjadi 5, yaitu :6,7
A. Antioksidan Primer
Antioksidan ini berfungsi mencegah terbentuknya radikal bebas
baru karena dapat merubah radikal bebas yang ada menjadi
molekul yang berkurang dampak negatifnya, sebelum sempat

8
bereaksi. Antioksidan primer yang ada di dalam tubuh yang sangat
terkenal adalah superoksida dismutase. Enzim ini dapat
melindungi hancurnya sel-sel di dalam tubuh akibat serangan
radikal bebas. Bekerjanya enzim SOD sangat dipengaruhi oleh
mineral-mineral seperti mangan, seng, dan tembaga.
B. Antioksidan Sekunder
Antioksidan sekunder merupakan senyawa yang berfungsi
menangkap radikal bebas yang sudah ada dan mencegah terjadinya
reaksi berantai sehingga tidak terjadi kerusakan yang lebih besar.
Contoh : vit E, vit C, dan betakaroten yang didapat banyak dalam
buah-buahan.
C. Antioksidan Tersier
Antioksidan tersier merupakan senyawa yang memperbaiki sel-sel
dan jaringan yang rusak karena serangan radikal bebas. Contoh
enzim metionin sulfoksida reduktase yang dapat memperbaiki
DNA dalam inti sel sehingga bermanfaat untuk perbaikan DNA
pada penderita kanker.
D. Oxygen Scavanger
Antioksidan ini merupakan senyawa yang dapat mengikat oksigen
sehingga tidak mendukung reaksi oksidasi, contohnya vitamin C.
E. Chelators/Sequesstrants
Antioksidan ini bekerja dengan cara mengikat logam yang
berperan sebagai katalis reaksi oksidasi, misalnya asam sitrat dan
asam amino.
Tubuh dapat menghasilkan antioksidan yang berupa enzim aktif
bila didukung oleh nutrisi pendukung atau mineral yang disebut juga
kofaktor. Antioksidan yang dihasilkan antara lain :6,7
A. Superoksida Dismutase (SOD)
Merupakan enzim yang bekerja apabila kofaktor misalnya
tembaga, mangan, dan seng yang bersumber pada kacang-
kacangan, padi-padian. Dengan demikian, sangat diperlukan sekali
mengkonsumsi bahan tersebut di atas. Tanaman yang dapat
menghasilkan SOD antara lain bayam, brokoli, sawi, dan hasil
olahan seperti tempe.

9
B. Glutathione Peroksidase (GPx)
Adalah enzim yang berperan aktif memecah H2O2 di dalam tubuh
dan menggunakannya untuk merubah glutathione (GSH) menjadi
glutathione teroksidasi (GSSG). Bersama dengan katalase menjaga
konsentrasi oksigen akhir agar stabil dan tidak berubah menjadi
pro-oksidan dan melindungi selaput-selaput sel.
C. Katalase
Enzim ini disamping mendukung aktivitas SOD juga dapat
mengkatalisis perubahan asam peroksida menjadi oksigen dan air.6
2.1.2. Peranan Antioksidan pada Kesehatan
Proses penuaan dan penyakit degeneratif hampir semuanya
disebabkan oleh stress oksidatif dimana terjadi ketidakseimbangan
jumlah oksidan dan prooksidan dalam tubuh. Pada kondisi ini, aktivitas
molekul SOR dapat menimbulkan kerusakan seluler dan genetika.1,6
2.2. Stress Oksidatif
Stress oksidatif adalah ketidakseimbangan antara radikal bebas
(prooksidan) dan antioksidan yang dipicu oleh dua kondisi umum, yaitu
kurangnya antioksidan dan kelebihan produksi radikal bebas. Keadaan stress
oksidatif membawa pada kerusakan oksidatif mulai dari tingkat sel, jaringan
hingga ke organ tubuh. Selanjutnya, keadaan ini menyebabkan terjadinya
percepatan proses penuaan dan munculnya penyakit. Stress oksidatif pada
sistem biologis sering ditandai dengan beberapa parameter meliputi
peningkatan formasi radikal bebas dan oksidan lainnya, penurunan
antioksidan, ketidakseimbangan reaksi redoks pada sel dan kerusakan
oksidatif pada komponen-komponen sel seperti lemak, protein, dan DNA.6,8
Kurang lebih 50 penyakit yang diteliti, diduga kuat berkaitan dengan
aktivitas radikal bebas. Misalnya stroke, asma, diabetes melitus, berbagai
penyakit radang usus, penyumbatan kronis pembuluh darah di jantung,
parkinson, hingga AIDS. Penuaan juga dipengaruhi oleh radikal bebas. Teori
penuaan dan radikal bebas pertama kali digulirkan oleh Denham Harman dari
University of Nebraska Medical Center di Omaha, AS pada 1956 yang
menyatakan bahwa tubuh mengalami penuaan karena serangan oksidasi dari
zat-zat perusak. Dugaan bahwa radikal bebas tersebar dimana-mana, pada
setiap kejadian pembakaran seperti merokok, memasak, pembakaran bahan

10
bakar pada mesin dan kendaraan bermotor. Paparan sinar ultraviolet yang
terus menerus, pestisida dan pencemaran lain di dalam makanan, bahkan
karena olahraga berlebihan, menyebabkan tidak adanya pilihan selain tubuh
harus melakukan tindakan protektif. Langkah yang tepat untuk menghadapi
“gempuran” radikal bebas adalah dengan mengurangi paparannya atau
mengoptimalkan pertahanan tubuh melalui aktivitas antioksidan.6,8
Terdapat beberapa macam senyawa yang dapat dijadikan sebagai
indikasi terjadinya stress oksidatif. Beberapa macam senyawa dapat dijadikan
sebagai indikator terjadinya stress oksidatif yaitu yang pertama golongan
oksidan (Superoxide anions, Hydroxyl radical, Hydrogen peroxide, dan
Peroxynitrite), yang kedua golongan antioksidan (Glutathione, Ascorbate,
Alpha-tocopherol, dan total antioxidant capacity), yang ketiga golongan
penyeimbang antioksidan/pro-oksidan (GSH/GSSH ratio, Cysteine redox
state, dan Thiol/disulfide state) serta golongan produk oksidasi (protein
carbonyls, isoprostanes, nitrotyrosine, 8-OH-dG, dan
Malondialdehyde/MDA).6,8,9

Gambar 1. Biomarker Stress Oksidatif6,8


2.2.1. Stress Oksidatif pada Penyakit Parkinson
Parkinson merupakan penyakit neurodegeneratif terbanyak
kedua setelah Alzheimer. Pada usia diatas 50 tahun, prevalensi
Parkinson sebesar 1%. Prevalensi ini semakin meningkat pada usia
diatas 65 tahun, yakni 3%. Parkinson ditandai oleh hilangnya neuron

11
dopaminergik pada bagian padat substansia nigra dan badan inklusi
sitoplasma intraneuron (badan Lewis). Gejala penyakit Parkinson
ditandai dengan tremor ritmis pada kaki atau tangan dan lama
kelamaan pasien akan mengalami kesulitan dalam mengatur gerakan.
Pasien akan mengalami bradikinesia (gerakan lambat) dan akinesia
(respon gerak lambat) serta otot-ototnya akan mengalami kekakuan.
Penyebab degenerasi neuron dopaminergik tersebut belum dimengerti
sepenuhnya. Degenerasi neuron dopaminergik ditandai oleh rendahnya
availabilitas dopamin pada striatum. Hal ini mengakibatkan kematian
progresif sel substansia nigra yang berfungsi mengatur gerakan.
Diduga, degenerasi tersebut disebabkan oleh interaksi toksin eksternal
(berasal dari lingkungan, diet dan gaya hidup) dan toksin internal
(metabolisme normal, genetik dan epigenetik).1,2,6,10–12
Teori radikal bebas terlibat pada mekanisme patogenesis
Parkinson. Hal ini didasarkan atas kepekaan sel di substansia nigra
terhadap stress oksidatif. Apabila terjadi peningkatan atau defek
inaktivasi SOR yang sitotoksik dapat menjadi awal atau memperparah
degenerasi neuron dopaminergik pada Parkinson. 6,11,13
Berbagai penelitian telah mengungkapkan peran stress oksidatif
pada Parkinson. Terdapat penurunan aktivitas antioksidan dan
peningkatan peroksidasi lipid di substansia nigra dan striatum pasien
Parkinson. Selain diakibatkan oleh SOR, penyakit Parkinson juga
dapat disebabkan oleh faktor genetik. Mutasi pada kromosom 4 telah
ditemukan pada pasien yang menderita penyakit ini karena keturunan.
Pada kromosom ini terjadi mutasi dalam mensintesis protein a-
sinuklein. Adapun a-sinuklein adalah protein yang ditemukan pada
serabut saraf presimaptik dan juga terdapat pada badan Lewy penderita
Parkinson. Disamping itu, penyakit Parkinson juga dapat terjadi akibat
kontaminasi 1-metil-4-fenil-1,2,3,6-tetrahidropridin (MPTP). MPTP
akan ikut kedalam aliran darah otak dan dioksidasi oleh enzim
monoamin oksidase (MAO-B). Enzim ini banyak terdapat pada
mitokondria sel glia pada substansia nigra. Oksidasi MPTP ini akan
menghasilkan MPDP+ yang selanjutkan akan membentuk MPP-.

12
Senyawa MPP- ini merupakan neurotoksik yang menyebabkan
pengurangan dopamin serta menimbulkan gejala Parkinson.6,13
Penelitian Abraham et al dilakukan pada 115 pasien Parkinson
dan 37 orang kontrol sehat. Pada pasien Parkinson, aktivitas enzim
SOD, GSH-Px, katalase dan G6PD lebih rendah secara bermakna
dibandingkan kontrol. Selain itu, terdapat korelasi antara aktivitas
enzim tersebut dengan derajat keparahan Parkinson. Fenomena ini
mengindikasikan keterlibatan stress oksidatif pada patogenesis
Parkinson.6,11
Penelitian Lleo et al yang dilakukan terhadap hewan coba yang
dijadikan model Parkinson diinduksi oleh toksin lingkungan, yakni 1-
metil-4-fenil-1,2,3,6-tetrahidropiridin (MPTP) yang bersifat
neurotoksin menyebabkan kematian neuron dopaminergik dan
parkinsonisme melalui penghambatan aktivitas kompleks I
mitokondria. Penghambatan COX-2 mencegah hilangnya neuron
dopaminergik yang diinduksi oleh MPTP di substansia nigra.6,12
Penelitian terbaru oleh Grimmig B et al menggunakan
suplemen antioksidan berupa astaxanthin memberikan hasil bermakna
sebagai neuroprotektan dan menghambat neuroinflamasi pada hewan
tikus yang diinduksi juga dengan MPTP.5,6,14
2.3. Metabolisme dan Fungsi Glutathione
Salah satu antioksidan endogen adalah glutathione. Glutathione
merupakan tripeptida yang tersusun dari g-L-glutamil-L-sistein-glisin. Enzim
ini mengandung gugus thiol (-SH) yang terbanyak di sel mamalia dengan
konsentrasi di atas 12 mM.6,15

Gambar 2. Struktur Glutation6,15


Glutathione memiliki 2 bentuk, yaitu bentuk thiol tereduksi (GSH) dan
disulfida teroksidasi (GSSG). GSH disintesis oleh 2 jenis enzim, yaitu g-
Glutamilsistein (gGluCys) sintase dan glutathione sintase. Enzim gGluCys

13
adalah enzim yang menggunakan glutamat dan sistein sebagai substrat dan
akan membentuk dipeptida gGluCys. Dipeptida ini akan bereaksi dengan
glisin dalam reaksi katalisasi oleh glutathione sintase untuk menghasilkan
GSH.6,15

Gambar 3. Sistem redoks GSH. GSH mengubah hidrogen dan peroksid


lipid menjadi asam lemak nontoksik atau air. GSSG berikutnya
direduksi menjadi GSH dengan adanya NADPH dan glutation
reduktase.6
Glutathione mempunyai berbagai fungsi sebagai antioksidan.
Mekanisme glutathione sebagai antioksidan antara lain sebagai transport dan
penyimpanan sistein, bereaksi dengan agen senobiotika, sebagai kofaktor
dalam reaksi isomerasi, serta berperan dalam pengaturan apoptosis.6
Glutathione berperan sebagai scavenger radikal hidroksil (-OH) dan
oksigen singlet (1O2). Defisiensi enzim ini dihubungkan dengan sejumlah
penyakit neurodegeneratif misalnya penyakit Parkinson dan penyakit Lou
Gehrig.6
2.3.1. Sistem glutathione pada penyakit Parkinson
Oksidasi enzimatik dopamine yang dikatalis oleh monoamin
oksidase (MAO) akan menghasilkan hidrogen peroksida (H2O2).
Secara normal H2O2 dikatalisis oleh enzim katalase atau glutathione
peroksidase menjadi H2O dengan menggunakan GSH sebagai
kosubstrat H2O2 yang dihasilkan dapat bereaksi dengan Fe2+ yang
akan menghasilkan senyawa turunan oksigen yang sangat reaktif, yaitu
–OH melalui reaksi Fenton.6,11

14
Gambar 4. Tabel Produksi SOR pada penyakit Parkinson6
Penurunan sistem antioksidan (penurunan konsentrasi GSH) ini
menunjukkan bahwa stress oksidatif sangat berperan dalam
patofisiologi penyakit, termasuk Parkinson. Pada substansia nigra pars
kompakta (SNpc), sistem glutathione total menurun. Penurunan
glutathione ini sebanding dengan tingkat keparahan penyakit. Pada
penderita Parkinson penurunan konsentrasi GSH hanya terjadi pada
substansia nigra dan tidak diikuti dengan peningkatan GSSG. Penderita
Parkinson akan mengalami pengurangan immunostaining GSH yang
terjadi pada sel saraf dopamine. Konsentrasi GSH penderita Parkinson
tidak hanya menurun pada sel saraf dopamine tapi juga pada sel glia
(mempunyai kandungan GSH terbanyak di otak).5,6,14
Penyebab penurunan kadar GSH pada otak penderita Parkinson
ini belum diketahui secara pasti. Tidak adanya peningkatan GSSG,
tidak dapat dijelaskan oleh stress oksidatif. Meskipun demikian,
sintesis GSH tidak mengalami penurunan karena aktivitas g-
glutamilsistein sintase pada penderita Parkinson tetap normal. Sintesis
GSH yang normal tersebut disebabkan oleh adanya peningkatan
aktivitas g-glutamiltranspeptidase (gGT). gGT merupakan ektoenzim
membran yang mengkatalisasi perpindahan g-glutamil dari GSH atau
konjugat glutathione menuju molekul akseptor. GSH ekstraseluler
digunakan sebagai substrat oleh ektoenzim gGT. Hasil reaksi gGT,

15
dipeptida sisteinglisin, dihidrolisis menjadi sistein dan glisin yang
dapat digunakan sel saraf untuk mensintesis GSH.6

Gambar 5. Siklus g-glutamil dalam sintesis glutathion. DL-


Buthione-(SR)-sulfoximine (BSO) adalah inhibitor dari sintesis enzim
g-glutamilsisteine (g-GCS)6
Oleh karena sel saraf tidak dapat mengikat GSH secara
langsung, maka peningkatan aktivitas GT merupakan mekanisme
kompensasi untuk menghasilkan dipeptida. Dipeptida ini sebagai
pemicu sel saraf untuk menghasilkan GSH. Pelepasan GSH dari sel
nigra dan peningkatan aktivitas gGT adalah tahap awal patogenesis
penyakit Parkinson. Jika sistein tidak digunakan untuk sintesis
glutathione maka akan menjadi senyawa yang lebih sitotoksik dan
dapat bereaksi ireversibel dengan inhibitor komplek I.6
2.4. Karotenoid
Meskipun berbagai jenis antioksidan dalam makanan telah
berkontribusi dalam pencegahan penyakit, namun sejumlah riset yang telah
ditakukan lebih memfokuskan pada tiga jenis antioksidan yaknivitamin E,
vitamin C dan karotenoid karena berperan penting sebagai nutrien yang
diperlukan dalam metabolisme tubuh manusia. Karotenoid merupakan
sekelompok pigmen merah, oranye, dan kuning yang dapat ditemukan baik
pada buah, umbi maupun daun tanaman, juga dalam daging hewan yang
mengkonsumsi tanaman yang mengandung karoten. Senyawa karotenoid
memiliki aktivitas antioksidan, beberapa diantaranya adalah sebagai
prekursor vitamin A. Sejumlah karoten yang penting yaitu berupa 6-karoten,
p-karoten, likopen, lutein, zeaxanthin, dan B-cryptoxanthin. Beberapa sumber
senyawa karoten yaitu: 6-karoten pada wortel, B-karoten pada sayuran hijau

16
dan buah buahan benvarna kuning-oranye, likopen pada tomat dan sayuran
hijau, lutein dan zeaxanthin pada jagung dan sayuran benrvarna hijau gelap,
misalnya brokoli dan bayam, B-cryptoxanthin pada buah jeruk. Lebih dari
400 jenis senyawa karoten telah ditemukan dalam tumbuhan tingkat tinggi,
alga, dan juga bakteri. Karoten dari tumbuhan merupakan komponen esensial
untuk proses fotosintesis dan bertanggung jawab terhadap pewarnaan merah,
oranye, dan kuning pada buah, sayuran dan bunga. selain itu karoten ini juga
merupakan prekursor untuk proses pigmentasi pada hewan laut, kuning telur,
dan lemak globulin yang bertindak sebagai sumber vitamin A.3,16
Karotenoid merupakan sekelompok pigmen alami larut lemak yang
dapat ditemukan dalam fitoplankton dan beberapa jenis fungi serta bakteri.
Warna merah, oranye, dan kuning yang nampak pada buah dan sayuran
berasal dari karotenoid. Beberapa hewan laut seperti salmon dan udang
pemakan tumbuhan yang mengandung lebih dari 700 jenis senyawa yang
merupakan penyusun kelompok karotenoid, menyebabkan hewan tersebut
memiliki warna yang cerah. Karotenoid bukan hanya sekedar pigmen, namun
juga merupakan antioksidan. Di antara senyawa karoten tersebut yang
memiliki aktivitas paling baik sebagai antioksidan adalah astaxanthin.16,17
2.4.1. Astaxanthin
Astaxanthin adalah senyawa pigmen dari laut dengan struktur
molekul sedemikian rupa sehingga membuatnya menjadi aktif sebagai
antioksidan. Antioksidan merupakan suatu agen yang bisa
menghambat terjadinya proses oksidasi. Sejumlah produk nutrien
alami dapat menetralisir efek oksidasi dari radikal bebas dan senyawa
beracun lainnya. Studi banding antara astaxanthin dan jenis karoten
lainnya telah memperlihatkan bahwa astaxanthin memiliki aktivitas
antioksidan 10 kali lebih kuat dari kelompok karoten berupa p-karoten,
canthaxanthin, lutein, dan zeaxanthin. Studi banding lainnya juga telah
dilakukan yakni antara senyawa astaxanthin dan vitamin E sebagai
pencegah oksidasi pada lemak, hasilnya menunjukkan bahwa
astaxanthin memiliki efektivitas 100-500 kali lebih baik dari vitamin E
dalam hal pencegahan peroksidasi lemak secara in vivo.16–19
Stres oksidatif dianggap terlibat baik dalam patogenesis
penyakit Parkinson dan berkontribusi terhadap neurotoksisitas MPTP.

17
Banyak strategi terapi bertujuan untuk mengurangi kerusakan yang
disebabkan oleh pelepasan berlebihan dari spesies oksigen reaktif.
Telah disarankan bahwa AXT dapat meningkatkan efektivitas enzim
antioksidan endogen, baik dengan meningkatkan tingkat ekspresi
mereka atau aktivitas enzimatik mereka. Seperti disebutkan
sebelumnya, didokumentasikan dengan baik bahwa AXT memiliki
efek antioksidan dan dapat melindungi sistem biologis, termasuk kultur
sel dan seluruh organisme dari kerusakan oksidatif. Dalam penelitian
yang dilakukan oleh Grimmig B et al, satu bulan suplementasi AXT
secara signifikan meningkatkan rasio glutathione (GSH) yang
tereduksi menjadi glutathione teroksidasi (GSSH). Bahkan setelah
terpapar MPTP, hewan yang diobati AXT masih mempertahankan
rasio GSH yang lebih menguntungkan terhadap GSSH daripada tikus
kontrol, meskipun peningkatan output spesies oksigen reaktif yang
diketahui terjadi dalam model ini.4,5,14,16,20
2.4.2. Astaxanthin menurunkan stress oksidatif
Beberapa penelitian telah dilakukan pada hewan percobaan
untuk membuktikan bahwa astaxanthin mempunyai efek neuroproteksi
dan mempunyai kemampuan untuk mengurangi SOR. Contoh salah
satu penelitian yang dilakukan oleh Al-Amin et al pada tikus percobaan
yang diberikan astaxanthin oral dengan dosis 2mg/kg selama 4 minggu
menggambarkan astaxanthin sebagai antioksidan menurunkan marker
stress oksidatif dan menaikkan aktivitas enzim antioksidan di berbagai
regio otak seperti frontal, hipotalamus, striatum, pariental, hipokampus,
dan cerebellum pada binatang tua maupun muda.5,6
Penelitian oleh Wu et al pada tikus percobaan diberikan
astaxanthin injection sekali dengan dosis 0,1 dan 0,01 nM/L
memberikan proteksi terhadap pembengkakan otak, gangguan BBB,
mencegah apoptosis dan disfungsi neurologi.20
Pada penelitian Mattei et al, tikus yang diberikan astaxanthin
oral sebesar 1 mg/kg selama 45 hari meningkatkan kapasitas
antioksidan, menaikkan kadar GSH/GSSG dalam plasma, dan
menurunkan kadar stres oksidatif di otak.5,14

18
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS
PENELITIAN

3.1. Kerangka Berpikir


Penyakit Parkinson merupakan salah satu penyakit degeneratif. Salah
satu yang dapat menyebabkan resiko penyakit Parkinson meningkat adalah
adanya peningkatan kadar stress oksidatif dalam tubuh penderita Parkinson.
Dalam penelitian ini dibuatlah kerangka berpikir bahwa pemberian suplemen
astaxanthin berpengaruh terhadap kadar stress oksidatif dengan menaikkan
kadar glutathion plasma pada penderita Parkinson dengan landasan teori
penelitian-penelitian serupa sebelumnya yang telah dilakukan terhadap hewan
percobaan.
3.2. Konsep Penelitian

Kadar Stress Oksidatif


penderita Parkinson

Usia
Suplemen Astaxanthin
selama 1 bulan

Kadar Glutathion
plasma

Perubahan Kadar Stress


Oksidatif penderita
Parkinson

3.3. Hipotesis
Terdapat efektifitas pemberian suplemen astaxanthin terhadap kadar stress
oksidatif penderita Parkinson.

19
BAB IV
METODE PENELITIAN

4.1. Desain Penelitian


Desain penelitian yang digunakan adalah studi analitik eksperimen semu
dengan pendekatan one group pretest-postest mengenai pengaruh pemberian
suplemen astaxanthin terhadap penurunan kadar stress oksidatif penderita
Parkinson.
4.2. Tempat dan Waktu
Penelitian di lakukan di RSUP Sanglah wilayah Denpasar dan berlangsung
selama 1 bulan.
4.3. Populasi
4.3.1. Populasi Target
Populasi target adalah semua penderita Parkinson di wilayah Denpasar.
4.3.2. Populasi Terjangkau
Populasi terjangkau adalah semua penderita Parkinson yang bersedia
mengikuti penelitian di wilayah RSUP Sanglah Denpasar selama 1
bulan.
4.4. Sampel
Sampel adalah mereka yang termasuk ke dalam populasi terjangkau
yaitu semua penderita Parkinson di dalam RSUP Sanglah Denpasar.
4.4.1. Metode Pengambilan Sampel
Metoda pengambilan sampel adalah dengan cara non-probability
sampling yaitu purposive sampling. Metode ini dilakukan berdasarkan
keputusan peneliti, yang menurut pendapatnya nampak mewakili
populasi.
4.4.2. Besar Sampel
Melalui rumus dibawah ini, didapatkan besar sampel penelitian sebagai
berikut
( Zα )2.p.q
n1 = ____________
L2

n2 = n1 + (10%. n1)

20
Keterangan:
n1 = jumlah sampel minimal
n2 = jumlah sampel ditambah substitusi 10% (substitusi adalah persen
responden yang mungkin drop out)
zα = nilai konversi pada tabel kurva normal, dengan nilai α = 5%
didapatkan zα pada kurva normal = 1,96
P = proporsi variabel yang ingin diteliti adalah prevalensi penderita
Parkinson di Indonesia sebesar 4%
q = 1 – P = 100% - 4% = 96%
L = derajat kesalahan yang masih dapat diterima sebesar 10%
Berdasarkan rumus didapatkan angka :

( Zα )2.p.q ( 1.96 )2 . 0.04 . 0.96


n1 = ____________ = ____________________
L2 (0,1)2
= 14.75
Untuk menjaga kemungkinan adanya subjek penelitian yang drop out,
maka dihitung :
n2 = n1 + ( 10 % . n1 )
= 14.75 + ( 10 % . 14.75 )
= 16.225 ( Dibulatkan menjadi 17 subjek penelitian )
4.5. Kriteria Inklusi dan Eksklusi
4.5.1. Kriteria Inklusi
 Penderita Parkinson primer di dalam RSUP Sanglah Denpasar.
 Penderita Parkinson tanpa komplikasi di dalam RSUP Sanglah
Denpasar.
 Penderita Parkinson yang bersedia mengikuti penelitian sampai
selesai.
4.5.2. Kriteria Eksklusi
Penderita Parkinson di dalam RSUP Sanglah yang tidak bersedia
diikutsertakan dalam penelitian.

21
4.6. Identifikasi Variabel
Penelitian ini menggunakan variabel tergantung dan variabel bebas.
 Variabel tergantung berupa perubahan kadar glutathion plasma penderita
Parkinson
 Variabel bebas berupa pemberian suplemen astaxanthin dan status
penderita Parkinson.
4.7. Definisi Operasional
4.7.1. Subjek Penelitian
Subjek Penelitian adalah semua penderita Parkinson di dalam RSUP
Sanglah yang bersedia mengikuti penelitian.
4.7.2. Usia adalah usia responden dihitung dari tanggal, bulan tahun
pengumpulan data dikurangi dengan tanggal, bulan, tahun lahir yang
tertera pada KTP yang masih berlaku. Bila terdapat kelebihan usia
kurang dari enam bulan, maka dibulatkan ke bawah.
Cara Ukur : kuesioner
Alat Ukur : KTP
Skala pengukuran : interval
Hasil ukur : kategorikal usia
Berdasarkan golongan usia, maka responden dikelompokkan menjadi :
 Usia < 45 tahun dikelompokan sebagai dewasa.
 Usia 45 – 60 tahun dikelompokan sebagai pralansia.
 Usia > 60 tahun dikelompokkan sebagai lansia.

Koding :

 Kode 1 : Dewasa
 Kode 2 : Pralansia
 Kode 3 : Lansia

4.7.3. Status penderita Parkinson


Definisi : adalah suatu keadaan dimana seseorang pernah di diagnosa
menderita penyakit Parkinson oleh Dokter dan rutin meminum obat
Parkinson.
Cara ukur : wawancara
Alat ukur : kuesioner

22
Skala pengukuran : nominal
Hasil ukur : nominal status penderita parkinson
Koding :
 Kode 1 : menderita Parkinson
 Kode 2 : tidak menderita Parkinson
4.7.4. Kadar Glutathion dalam Plasma penderita Parkinson
Definisi : kadar glutathion yang ada dalam darah manusia. Hal yang
ingin diteliti adalah kadar glutathion dalam plasma pre dan post
pemberian suplemen astaxanthin.
Cara ukur : Sampel berupa darah yang diambil dari Vena mediana
cubiti lengan kiri subyek penelitian sebanyak 2 mL. Darah kemudian
disentrifugasi dengan kecepatan 2000 rpm selama 3 menit untuk
mendapatkan plasma. Kemudian plasma disimpan di kulkas -20°C,
sebelum dilakukan pemeriksaan GSH. Kadar GSH diukur dengan cara
mencampurkan 50 L plasma dengan 1,78mL dapar fosfat 0,1 M pH 8
dan 0,2 mL TCA 5%. Campuran lalu disentrifugasi pada 1500 g
selama 5 menit, suhu 4o C. Supernatannya lalu ditambahkan dengan
0,01 mL DNTB dan dibiarkan selama 1 jam. Campuran tersebut lalu
diperiksa menggunakan spektrofotometri pada panjang gelombang 412
nm untuk menetapkan kadar GSH plasma.
Skala ukur : interval
Hasil ukur : interval kadar glutathion plasma dalam satuan µg/mL.
4.7.5. Perubahan Kadar Glutathion Plasma penderita Parkinson
Definisi : selisih antara kadar glutathion plasma pre pemberian
suplemen astaxanthin dengan kadar glutathion plasma post pemberian
suplemen astaxanthin.
Cara ukur : perubahan kadar glutathion = glutathion
plasma pretest – glutathion plasma posttest.
Alat ukur : kuesioner
Skala pengukuran : interval
Hasil ukur : ordinal perubahan kadar glutathion plasma
Koding :
 Kode 1 : Naik

23
 Kode 2 : Turun
 Kode 3 : tidak berubah
4.8. Alur Penelitian

SEMUA PENDERITA PARKINSON DI RSUP SANGLAH DENPASAR

FORM PENELITIAN IDENTITAS SUBJEK


(NAMA, TEMPAT TANGGAL LAHIR, STATUS PENDERITA PARKINSON,
KADAR GLUTATHION PRETEST, GLUTATHION POSTTEST)

PRETEST
PENGUKURAN KADAR GLUTATHION DALAM PLASMA

INTERVENSI
SUPLEMEN ASTAXANTHIN SELAMA 1 BULAN

POSTTEST
PENGUKURAN KADAR GLUTATHION DALAM PLASMA

4.9. Cara Kerja


1. Membuat usulan penelitian dan kuesioner.
2. Menentukan sampel dengan teknik non-probability sampling yaitu
purposive sampling. Sampel diambil berdasarkan populasi terjangkau
yaitu semua penderita Parkinson yang bersedia mengikuti penelitian di
dalam RSUP Sanglah Denpasar selama 1 bulan penuh.
3. Mempersiapkan instrumen penelitian berupa alat untuk mengukur kadar
glutathion dalam plasma sebagai marker stress oksidatif

24
4. Melakukan informed consent terhadap semua penderita Parkinson yang
mengikuti penelitian.
5. Melakukan pengumpulan data-data dengan menggunakan instrumen
penelitian.
6. Melakukan pengukuran kadar glutathion dalam plasma pertama sebagai
pretest.
7. Melakukan intervensi dengan suplemen Astaxanthin selama 1 bulan penuh.
8. Melakukan pengukuran kadar glutathion dalam plasma kedua sebagai
posttest.
9. Melakukan pengolahan, analisis, dan interpretasi dara dengan program
SPSS 23.0
10. Penulisan laporan penelitian.
4.10. Manajemen Data
4.10.1. Pengumpulan Data
Data diambil dari pengukuran kadar glutathion plasma sebagai marker
stress oksidatif pada penderita Parkinson setelah diberikan suplemen
Astaxanthin selama 1 bulan penuh.
4.10.2. Pengolahan Data
Data-data yang sudah dikumpulkan, dilakukan pengolahan berupa
proses editing, verifikasi dan koding. Selanjutnya dimasukkan dan
diolah dengan menggunakan program SPSS v23.
4.10.3. Penyajian Data
Data yang sudah diolah, lalu disajikan secara tekstular dan tabular.
4.11. Etika Penelitian
 Persetujuan responden ditawarkan sebelumnya dalam bentuk informed
consent.
 Kerahasian responden dalam penelitian akan dijunjung tinggi.
 Selain menjaga kerahasiaannya, bentuk pertanyaan penelitian tidak akan
menyinggung perasaan responden.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Gunawan G, Dalhar M, Kurniawan SN. Parkinson and Stem Cell Therapy.


MNJ (Malang Neurol Journal) [Internet]. 2017;3(1):39–46. Available from:
http://mnj.ub.ac.id/index.php/mnj/article/view/250
2. Driver JA, Logroscino G, Gaziano JM, Kurth T. Incidence and remaining
lifetime risk of Parkinson disease in advanced age. Neurology.
2009;72(5):432–8.
3. Ye Q, Zhang X, Huang B, Zhu Y, Chen X. Astaxanthin suppresses MPP+-
induced oxidative damage in PC12 cells through a Sp1/NR1 signaling pathway.
Mar Drugs. 2013;11(4):1019–34.
4. Grimmig B, Kim SH, Nash K, Bickford PC, Douglas Shytle R.
Neuroprotective mechanisms of astaxanthin: a potential therapeutic role in
preserving cognitive function in age and neurodegeneration. GeroScience.
2017;39(1):19–32.
5. Grimmig B, Daly L, Subbarayan M, Hudson C, Williamson R, Nash K, et al.
Astaxanthin is neuroprotective in an aged mouse model of Parkinson’s disease.
Oncotarget. 2018;9(12):10388–401.
6. Yunanto A, Setiawan B, Suhartono E. Kapita Selekta Biokimia PERAN
RADIKAL BEBAS PADA INTOKSIKASI.pdf [Internet]. Banjarmasin: PT.
Pustaka Banua; 2009. Available from: http://eprints.ulm.ac.id/984/1/ARI
YUNANTO - Kapita Selekta Biokimia PERAN RADIKAL BEBAS PADA
INTOKSIKASI.pdf
7. Dharma HS. Peranan Antioksidan Endogen dan Eksogen terhadap Kesehatan.
Med Dep Kalbe Farma. 2012;39(10):793–4.
8. Yoshikawa T, Naito Y. What is oxidative stress? Japan Med Assoc J [Internet].
2002;45(7):271–6. Available from:
http://link.springer.com/chapter/10.1007/978-1-4615-4649-8_1
9. Naito Y, Lee M-C, Kato Y, Nagai R, Yonei Y. Oxidative Stress Markers. Anti-
Aging Med. 2010;7(5):36–44.
10. Jenner P, Olanow CW. The pathogenesis of cell death in Parkinson’s disease.
Neurology [Internet]. 2006;66(10 Suppl 4):S24-36. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16717250

26
11. Nikam S, Nikam P, Ahaley SK, Sontakke A V. Oxidative stress in Parkinson’s
disease. Indian J Clin Biochem [Internet]. 2009;24(1):98–101. Available from:
http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=3453463&tool=pm
centrez&rendertype=abstract
12. Zhou C, Huang Y, Przedborski S. Oxidative stress in Parkinson’s disease: A
mechanism of pathogenic and therapeutic significance. Ann N Y Acad Sci.
2008;1147:93–104.
13. Hwang O. Role of Oxidative Stress in Parkinson’s Disease. Exp Neurobiol
[Internet]. 2013;22(1):11. Available from:
https://synapse.koreamed.org/DOIx.php?id=10.5607/en.2013.22.1.11
14. B. G, L. D, C. H, P.C. B. Astaxanthin attenuates neurotoxicity in a mouse
model of parkinson’s disease. cell Transplant [Internet]. 2016;25(8):759.
Available from:
http://www.embase.com/search/results?subaction=viewrecord&from=export&i
d=L612003640%0Ahttp://dx.doi.org/10.3727/096368916X691169%0Ahttp://r
ug.on.worldcat.org/atoztitles/link/?sid=EMBASE&issn=09636897&id=doi:10.
3727%2F096368916X691169&atitle=Astaxanthin+at
15. Yuniastuti A, Semarang UN, Sulawesi S, View I. Dasar Molekuler Glutation
dan Perannya Sebagai Antioksidan. 2016. 100 p.
16. Munifah I, Wikanta T. Astaxanthin: Senyawa Antioksidan Karoten Bersumber
dari Biota Laut. 2017;(May 2006).
17. Barros MP, Poppe SC, Bondan EF. Neuroprotective properties of the marine
carotenoid astaxanthin and omega-3 fatty acids, and perspectives for the natural
combination of both in krill oil. Nutrients. 2014;6(3):1293–317.
18. Sylviana N, Gunawan H, Lesmana R, Purba A, Akbar IB. Efek Astaxanthin
dan Latihan Teratur terhadap Pola Stres Oksidatif Pria Setelah Aktivitas Berat
The Effect of Astaxanthin and Regular Training on Dynamic Pattern of
Oxidative Stress on Male under Strenuous Exercise. Indones J Clin Pharm.
2017;6(1).
19. Wahyuningsih KA. Astaxanthin Memberikan Efek Proteksi Terhadap
Photoaging. J Med. 2011;10(3):149–60.
20. Wu H, Niu H, Shao A, Wu C, Dixon BJ, Zhang J, et al. Astaxanthin as a
potential neuroprotective agent for neurological diseases. Mar Drugs.
2015;13(9):5750–66.

27
28

Anda mungkin juga menyukai