Anda di halaman 1dari 38

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN

DENGAN FRAKTUR MAXILO FACIAL DI RUANG MAWAR


RSD dr. SOEBANDI JEMBER

disusun guna memenuhi tugas Program Profesi Ners (PPN)


Stase Keperawatan Bedah

oleh
Risha Putri Mahardika, S. Kep
NIM 122311101016

PROGRAM PROFESI NERS


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2017
LAPORAN PENDAHULUAN
FRAKTUR MAXILO FACIAL
(Oleh: Risha Putri Mahardika, S.Kep.)

1. Konsep Dasar Anatomi-Fisiologi


Pertumbuhan kranium terjadi sangat cepat pada tahun pertama dan kedua
setelah lahir dan lambat laun akan menurun kecepatannya. Pada anak usia 4-5
tahun, besar kranium sudah mencapai 90% cranium dewasa. Maksilofasial
tergabung dalam tulang wajah yang tersusun secara baik dalam membentuk wajah
manusia (Mansjoer, 2000).

Gambar 1. Anatomi Maksilofasial

Tulang pembentuk wajah pada manusia bentuknya lebih kecil dari


tengkorak otak. Didalam tulang wajah terdapat rongga-rongga yang membentuk
rongga mulut (cavum oris), dan rongga hidung (cavum nasi) dan rongga mata
(orbita). Tengkorak wajah dibagi atas dua bagian (Mansjoer, 2000), antara lain:
a. Bagian hidung terdiri atas:
Os Lacrimal (tulang mata) letaknya disebelah kiri/kanan pangkal hidung
di sudut mata. Os Nasal (tulang hidung) yang membentuk batang hidung sebelah
atas. Os. Konka nasal (tulang karang hidung), letaknya di dalam rongga hidung
dan bentuknya berlipat-lipat. Septum nasi (sekat rongga hidung) adalah
sambungan dari tulang tapis yang tegak (Boeis, 2002).

b. Bagian rahang terdiri atas tulang-tulang seperti :


Os Maksilaris (tulang rahang atas), Os Zigomatikum, tulang pipi yang terdiri
dari dua tulang kiri dan kanan. Os Palatum atau tulang langit-langit, terdiri dari
dua buah tulang kiri dan kanan. Os Mandibularis atau tulang rahang bawah, terdiri
dari dua bagian yaitu bagian kiri dan kanan yang kemudian bersatu di pertengahan
dagu. Dibagian depan dari mandibula terdapat processus coracoid tempat
melekatnya otot (Boeis, 2002).
Secara umum tulang tengkorak atau kraniofasial terbagi menjadi dua bagian
yaitu neurocranium adalah tulang-tulang yang membungkus otak dan
viscerocranium adalah tulang-tulang yang membentuk wajah atau maksilofasial
(James & Leslie, 2010)
a. Neurocranium dibentuk oleh
1) Os frontalis
2) Os parietalis
3) Ostemporalis
4) Os Sphenoidalis
5) Os Oksipitalis
6) Os Etmoidalis
Neurocranium terdiri atas tulang-tulang pipih yang berhubungan satu dengan
yang lain melalui sutura-sutura. Tulang-tulang yang tebal berhubungan dengan
tulang-tulang berdinding tipis. Tulang-tulang pembentuk wajah atau
viscerocranium terdiri atas tulang-tulang yang berbentuk tonjolan dan
lengkungan yang sangat rentan untuk terjadi fraktur jika mendapatkan suatu
trauma. Tulang-tulang tersebut dihubungkan oleh sutura-sutura yang juga
dapat menjadi pola atau garis fraktur.
Gambar 2. Tulang-tulang Kraniofasial (James & Leaslie, 2010)

b. Viscerocranium dibentuk oleh


1) Os Maksilaris
2) Os Palatinum
3) Os. Nasalis
4) Os Lakrimalis
5) Os Zygomatikum
6) Os Konka Nasal Inferio
7) Vomer
8) Os Mandibularis
Tulang-tulang kraniofasila terdiri atas tulang yang memilikiketebalan
berbeda. Tulang dengan struktur yang tebal disebut sebagai buttress yang
menopang atau menyangga proporsi kraniofasial dalam ukuran tinggi, lebar dan
proyeksi antero-posterior. Buttress pada maksila meliputi tulang nasomaksilaris
pada medial, tulang zigomatikomaksilaris pada lateral dan tulang
pterygomaksilaris pada posterior. Ketiga buttress ini menghasilkan suatu sistem
penyangga unit-unit fungsi pada oral, nasal, dan orbital (Miloro, 2004)
Gambar 3. Buttress Ventrikal dan Horizontal (Miloro, 2004)
2. Konsep Dasar Penyakit
2.1 Pengertian Penyakit
Fraktur adalah hilang atau putusnya kontinuitas jaringan keras tubuh. Fraktur
maksilofasial adalah fraktur yang terjadi pada tulang-tulang wajah yaitu tulang
frontal, temporal, orbitozigomatikus, nasal, maksila dan mandibula (Smeltzer,
2010).
Fraktur ialah hilang atau terputusnya kontinuitas jaringan keras tubuh (Grace
and Borley, 2007). Berdasarkan anatominya wajah atau maksilofasial dibagi
menjadi tiga bagian, ialah sepertiga atas wajah, sepertiga tengah wajah, dan
sepertiga bawah wajah. Bagian yang termasuk sepertiga atas wajah ialah tulang
frontalis, regio supra orbita, rima orbita dan sinus frontalis. Maksila, zigomatikus,
lakrimal, nasal, palatinus, nasal konka inferior, dan tulang vomer termasuk ke
dalam sepertiga tengah wajah sedangkan mandibula termasuk ke dalam bagian
sepertiga bawah wajah. Fraktur maksilofasial ialah fraktur yang terjadi pada
tulang-tulang pembentuk wajah.

2.2 Klasifikasi
Klasifikasi dari fraktur maksilofasial itu sendiri terdiri atas beberapa fraktur
yakni fraktur kompleks nasal, fraktur kompleks zigomatikus - arkus zigomatikus,
fraktur dento-alveolar, fraktur mandibula dan fraktur maksila yang terdiri atas
fraktur le fort I, II, dan III.
2.2.1 Fraktur Komplek Nasal
Tulang hidung sendiri kemungkinan dapat mengalami fraktur , tetapi yang
lebih umum adalah bahwa fraktur-fraktur itu meluas dan melibatkan proses frontal
maksila serta bagian bawah dinding medial orbital. Fraktur daerah hidung
biasanya menyangkut septum hidung. Terkadang tulang rawan septum hampir
tertarik ke luar dari alurnya pada vomer dan plat tegak lurus serta plat kribriform
etmoid mungkin juga terkena fraktur.
Perpindahan tempat fragmen-fragmen tergantung pada arah gaya fraktur.
Gaya yang dikenakan sebelah lateral hidung akan mengakibatkan tulang hidung
dan bagian-bagian yang ada hubungannya dengan proses frontal maksila
berpindah tempat ke satu sisi.

Gambar 4. Fraktur kompleks nasal terdiri dari sebuah pertemuan beberapa tulang: (1)
tulang frontal, (2) tulang hidung, (3) tulang rahang atas, (4) tulang lakrimal, (5) tulang
ethmoid, dan (6) tulang sphenoid

2.2.2 Fraktur Komplek Zigoma


Tulang zigomatik sangat erat hubungannya dengan tulang maksila, tulang
dahi serta tulang temporal, dan karena tulang-tulang tersebut biasanya terlibat bila
tulang zigomatik mengalami fraktur, maka lebih tepat bila injuri semacam ini
disebut fraktur kompleks zigomatik. Tulang zigomatik biasanya mengalami
fraktur didaerah zigoma beserta suturanya, yakni sutura zigomatikofrontal, sutura
zigomakotemporal, dan sutura zigomatikomaksilar. Suatu benturan atau pukulan
pada daerah inferolateral orbita atau pada tonjolan tulang pipi merupakan etiologi
umum. Arkus zigomatik dapat mengalami fraktur tanpa terjadinya perpindahan
tempat dari tulang zigomatik.
Gambar 5. Pandangan frontal dari fraktur zigomatik kompleks (kiri) dan pandangan
submentoverteks dari fraktur zigomatik (kanan)

Meskipun fraktur kompleks zigomatik sering disebut fraktur tripod,


namun fraktur kompleks zigomatik merupakan empat fraktur yang berlainan.
Keempat bagian fraktur ini adalah arkus zigomatik, tepi orbita, penopang
frontozigomatik, dan penopang zigomatiko-rahang atas. Arkus zigomatikus bisa
merupakan fraktur yang terpisah dari fraktur zigoma kompleks. Fraktur ini terjadi
karena depresi atau takikan pada arkus, yang hanya bisa dilihat dengan
menggunakan film submentoverteks dan secara klinis berupa gangguan kosmetik
pada kasus yang tidak dirawat, atau mendapat perawatan yang kurang baik.

2.2.3 Fraktur Dentoalveolar


Injuri dento-alveolar terdiri dari fraktur, subluksasi atau terlepasnya gigi-
gigi (avulsi), dengan atau tanpa adanya hubungan dengan fraktur yang terjadi di
alveolus, dan mungkin terjadi sebagai suatu kesatuan klinis atau bergabung
dengan setiap bentuk fraktur lainnya. Salah satu fraktur yang umum terjadi
bersamaan dengan terjadinya injuri wajah adalah kerusakan pada mahkota gigi,
yang menimbulkan fraktur dengan atau tanpa terbukanya saluran pulpa.
Gambar 6. A. Infraksi Mahkota, B. Fraktur mahkota terbatas pada enamel dan dentin
(fraktur mahkota sederhana), C. Fraktur mahkota langsung melibatkan pulpa (fraktur
mahkota terkomplikasi), D. Fraktur akar sederhana, E. Fraktur mahkota-akar
terkomplikasi, F. Fraktur akar horizontal

Injuri fasial sering menekan jaringan lunak bibir atas pada gigi
insisor,sehingga menyebabkan laserasi kasar pada bagian dalam bibir atas dan
kadang-kadang terjadi luka setebal bibir. Sering kali injuri semacam ini
menghantam satu gigi atau lebih, sehingga pecahan mahkota gigi atau bahkan
seluruh gigi yang terkena injuri tersebut tertanam di dalam bibir atas. Pada
seorang pasien yang tidak sadarkan diri pecahan gigi yang terkena fraktur atau
gigi yang terlepas sama sekali mungkin tertelan pada saat terjadi kecelakaan,
sehingga sebaiknya jika terdapat gigi atau pecahan gigi yang hilang setelah
terjadinya injuri fasial agar selalu membuat radiograf dada pasien, terutama jika
terjadi kehilangan kesadaran pada saat terjadinya kecelakaan. Fraktur pada
alveolus dapat terjadi dengan atau tanpa adanya hubungan dengan injuri pada
gigi-gigi. Fraktur tuberositas maksilar dan fraktur dasar antrum relatif merupakan
komplikasi yang umum terjadi pada ilmu eksodonti.
Gambar 7. Cedera tulang alveolar. A. Fraktur dinding tunggal dari alveolus, B. Fraktur
dari prosesus alveolar

2.2.4 Fraktur Maksila


Klasifikasi fraktur maksilofasial yang keempat adalah fraktur maksila, yang
mana fraktur ini terbagi atas tiga jenis fraktur, yakni ; fraktur Le Fort I, Le Fort II,
Le Fort III. Dari beberapa hasil penelitian sebelumnya, insidensi dari fraktur
maksila ini masing-masing sebesar 9,2% dan 29,85%.
a. Fraktur Le Fort I
Fraktur Le Fort I dapat terjadi sebagai suatu kesatuan tunggal atau
bergabung dengan fraktur-fraktur Le Fort II dan III. Pada Fraktur Le Fort I,
garis frakturnya dalam jenis fraktur transverses rahang atas melalui lubang
piriform di atas alveolar ridge, di atas lantai sinus maksilaris, dan meluas ke
posterior yang melibatkan pterygoid plate. Fraktur ini memungkinkan maksila
dan palatum durum bergerak secara terpisah dari bagian atas wajah sebagai
sebuah blok yang terpisah tunggal. Fraktur Le Fort I ini sering disebut sebagai
fraktur transmaksilari.
b. Fraktur Le Fort II
Fraktur Le Fort II lebih jarang terjadi, dan mungkin secara klinis mirip
dengan fraktur hidung. Bila fraktur horizontal biasanya berkaitan dengan
tipisnya dinding sinus, fraktur piramidal melibatkan sutura-sutura. Sutura
zigomatimaksilaris dan nasofrontalis merupakan sutura yang sering terkena.
Seperti pada fraktur Le Fort I, bergeraknya lengkung rahang atas, bias
merupakan suatu keluhan atau ditemukan saat pemeriksaan. Derajat gerakan
sering tidak lebih besar dibanding fraktur Le Fort I, seperti juga gangguan
oklusinya tidak separah pada Le Fort I.
c. Fraktur Le Fort III
Fraktur craniofacial disjunction, merupakan cedera yang parah. Bagian
tengah wajah benar-benar terpisah dari tempat perlekatannya yakni basis
kranii. Fraktur ini biasanya disertai dengan cedera kranioserebral, yang mana
bagian yang terkena trauma dan besarnya tekanan dari trauma yang bisa
mengakibatkan pemisahan tersebut, cukup kuat untuk mengakibatkan trauma
intrakranial.

Gambar 8. Fraktur Le Fort I, Le Fort II, Le Fort III


2.2.5 Fraktur Mandibula
Fraktur mandibula merupakan akibat yang ditimbulkan dari trauma
kecepatan tinggi dan trauma kecepatan rendah. Fraktur mandibula dapat terjadi
akibat kegiatan olahraga, jatuh, kecelakaan sepeda bermotor, dan trauma
interpersonal. Di instalasi gawat darurat yang terletak di kota-kota besar, setiap
harinya fraktur mandibula merupakan kejadian yang sering terlihat. Pasien
kadang-kadang datang pada pagi hari setelah cedera terjadi, dan menyadari bahwa
adanya rasa sakit dan maloklusi.
Pasien dengan fraktur mandibula sering mengalami sakit sewaktu
mengunyah, dan gejala lainnya termasuk mati rasa dari divisi ketiga dari saraf
trigeminal. Mobilitas segmen mandibula merupakan kunci penemuan diagnostik
fisik dalam menentukan apakah si pasien mengalami fraktur mandibula atau tidak.
Namun, mobilitas ini bisa bervariasi dengan lokasi fraktur. Fraktur dapat terjadi
pada bagian anterior mandibula (simpisis dan parasimpisis), angulus mandibula,
atau di ramus atau daerah kondilar mandibula.

Gambar 9. Fraktur Mandibula

Kebanyakan fraktur simfisis, badan mandibula dan angulus mandibula


merupakan fraktur terbuka yang akan menggambarkan mobilitas sewaktu
dipalpasi. Namun, fraktur mandibula yang sering terjadi disini adalah fraktur
kondilus yang biasanya tidak terbuka dan hanya dapat hadir sebagai maloklusi
dengan rasa sakit. Dalam beberapa penelitian sebelumnya, dikatakan bahwa
fraktur mandibula merupakan fraktur terbanyak yang terjadi akibat kecelakaan
lalu lintas pada pengendara sepeda motor, dengan masing-masing persentase
sebesar 51% dan 72,8%.
2.3 Epidemiologi
Data lainnya juga dilaporkan dari trauma centre level 1, bahwa diantara 663
pasien fraktur tulang wajah, hanya 25.5% berupa fraktur maksila. Di University of
Kentucky Medical Centre, dari 326 pasien wanita dewasa dengan facial trauma,
sebanyak 42.6% trauma terjadi akibat kecelakan kendaraan bermotor, 21.5%
akibat terjatuh, akibat kekerasan 13.8%, penyebab yang tidak ingin diungkapkan
oleh pasien 10,7%, cedera saat berolahraga 7,7%, akibat kecelakaan lainnya
2,4%,dan luka tembak sebagai percobaan bunuh diri serta akibat kecelakan kerja
masing-masing 0.6%. Diantara 45 pasien korban kekerasan, 19 orang diantaranya
mengalami trauma wajah akibat intimate partner violence (IPV) atau kekerasan
dalam rumah tangga.
Disamping mekanisme yang disebutkan di atas, osteoporosis ternyata juga
berpengaruh terhadap insiden fraktur maksilofasial termasuk maksila. Hal tersebut
didapatkan dari review retrospektif yang dilakukan pada 59 pasien fraktur
maksilofasial yang berusia 60 tahun ke atas di sebuah trauma centre antara tahun
1989 dan 2000. Didapat bahwa semakin parah kondisi osteoporosis, semakin
besar kemungkinan jumlah fraktur maksilofasial yang dialami. Oleh karena itu,
benturan yang lebih ringan akibat terjatuh bias menimbulkan fraktur maksilofasial
multipel sebagaimana yang terjadi pada kecelakaan kendaraan bermotor jika
pasien mengalami osteoporosis yang parah.

2.4 Etiologi
Ada banyak faktor etiologi yang menyebabkan fraktur maksilofasial itu dapat
terjadi, seperti kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja , kecelakaan akibat olah
raga, kecelakaan akibat peperangan dan juga sebagai akibat dari tindakan
kekerasan(utamanya kekerasan dalam rumah tangga, khusu bagi ibu rumahtangga
yang mengalami fraktur atau trauma pada bagian tulang maksilofacial). Tetapi
penyebab terbanyak adalah kecelakaan lalu lintas.
Terjadinya kecelakaan lalu lintas ini biasanya sering terjadi pada pengendara
sepeda motor. Kecelakaan lalulintas merupakan penyebab utama terjadinya
trauma maksilofasial. Beberapa literatur bahasa Inggris melaporkan bahwa
terdapat hubungan antara posisi duduk pengemudi atau penggunaan sistem
penahan terhadap keparahan dari cedera maksilofasial yang dialami pasien
kecelakaan lalulintas (Yokoyoma dkk, 2006). Hal ini dikarenakan kurangnya
perhatian tentang keselamatan jiwa mereka pada saat mengendarai sepeda motor
di jalan raya, seperti tidak menggunakan pelindung kepala (helm), kecepatan dan
rendahnya kesadaran tentang etika berlalu lintas.

2.5 Tanda dan Gejala


Secara umum fraktur memiliki tanda dan gejala berikut:
a. Adanya trauma
b. Nyeri karena pembengkakan
c. Gangguan fungsi tulang yang fraktur atau anggota gerak
d. Deformitas
e. Krepitasi
Mobilitas dan maloklusi merupakan hallmark adanya fraktur maksila.
Namun, kurang dari 10 % fraktor Le Fort dapat terjadi tanpa mobilitas maksila.
Gangguan oklusal biasanya bersifat subtle, ekimosis kelopak mata bilateral
biasanya merupakan satu-satunya temuan fisik. Hal ini dapat terjadi pada Le Fort
II dan III dimana disrupsi periosteum tidak cukup untuk menimbulkan mobilitas
maksila.
a. Pada inspeksi didapatkan epistaksis, ekimosis (periorbital, konjungtival, dan
skleral), edema, dan hematoma subkutan mengarah pada fraktur segmen
maksila ke bawah dan belakang mengakibatkan terjadinya oklusi prematur
pada pergigian posterior.
b. Pada pemeriksaan palpasi bilateral dapat menunjukkan step deformity pada
sutura zygomaticomaxillary, mengindikasikan fraktur pada rima orbital
inferior.
c. Manipulasi digital dengan obilitas maksila dapat ditunjukkan dengan cara
memegang dengan kuat bagian anterior maksila diantara ibu jari dengan
keempat jari lainnya, sedangkan tangan yang satunya menjaga agar kepala
pasien tidak bergerak. Jika maksila digerakkan maka akan terdengar suara
krepitasi jika terjadi fraktur.
d. Cairan serebrospinal dapat mengalami kebocoran dari fossa kranial tengah
atau anterior (pneumochepalus) yang dapat dilihat pada kanal hidung ataupun
telinga. Fraktur pada fossa kranial tengah atau anterior biasanya terjadi pada
cedera yang parah. Hal tersebut dapat dilihat melalui pemeriksaaan fisik dan
radiografi.
e. Jika mandibula utuh, adanya maloklusi gigi menunjukkan dugaan kuat ke
arah fraktur maksila. Informasi tentang kondisi gigi terutama pola oklusal
gigi sebelumnya akan membantu diagnosis dengan tanda maloklusi ini. Pada
Le Fort III pola oklusal gigi masih dipertahankan, namun jika maksila
berotasi dan bergeser secara signifikan ke belakang dan bawah akan terjadi
maloklusi komplit dengan kegagalan gigi-gigi untuk kontak satu sama lain.

2.6 Patofisiologi
Patah tulang akan menyebabkan kerusakan di korteks, pembuluh darah,
sumsum tulang dan jaringan lunak sehingga menyebabkan perdarahan, kerusakan
tulang dan jaringan sekitarnya. Keadaan ini menimbulkan hematom pada kanal
medulla antara tepi tulang dibawah periostium dengan jaringan tulang yang
mengalami fraktur. Terjadinya respon inflamasi akibat sirkulasi jaringan nekrotik
adalah ditandai dengan vasodilatasi dari plasma dan leukosit. Ketika terjadi
kerusakan tulang, tubuh mulai melakukan proses penyembuhan untuk
memperbaiki cidera, tahap ini menunjukkan tahap awal penyembuhan tulang.
Hematom yang terbentuk bisa menyebabkan peningkatan tekanan dalam sumsum
tulang yang kemudian merangsang pembebasan lemak dan gumpalan lemak
tersebut masuk kedalam pembuluh darah yang mensuplai organ-organ yang lain.
Hematom menyebabkan dilatasi kapiler diotot, sehingga meningkatkan tekanan
kapiler, kemudian menstimulasi histamin pada otot yang iskhemik dan
menyebabkan protein plasma hilang dan masuk ke interstitial. Hal ini
menyebabkan terjadinya edema, sehingga mengakibatkan pembuluh darah
menyempit dan terjadi penurunan perfusi jaringan.
2.7 Pemeriksaan Penunjang
Pada pasien dengan trauma wajah, pemeriksaan radiografis diperlukan untuk
memperjelas suatu diagnosa klinis serta untuk mengetahui letak fraktur.
Pemeriksaan radiografis juga dapat memperlihatkan fraktur dari sudut dan
perspektif yang berbeda. Pemeriksaan radiografis pada mandibula biasanya
memerlukan foto radiografis panoramic view, open-mouth Townes view, postero-
anterior view, lateral oblique view. Biasanya bila foto-foto diatas kurang
memberikan informasi yang cukup, dapat juga digunakan foto oklusal dan
periapikal.
Computed Tomography (CT) scan dapat juga memberi informasi bila terjadi
trauma yang dapat menyebabkan tidak memungkinkannya dilakukan teknik foto
radiografis biasa. Banyak pasien dengan trauma wajah sering menerima atau
mendapatkan CT-scan untuk menilai gangguan neurologi, selain itu CT-scan dapat
juga digunakan sebagai tambahan penilaian radiografi. Pemeriksaan radiografis
untuk fraktur sepertiga tengah wajah dapat menggunakan Waters view, lateral
skull view, posteroanterior skull view, dan submental vertex view.
Gambar 10. Beberapa proyeksi radiografi untuk menilai fraktur mandibula.
A. Proyeksi posterior-anterior menunjukkan fraktur pada daerah angle mandibula
(panah).
B. Proyeksi oblik lateral menunjukkan fraktur pada daerah angle mandibula
(panah).
C. Proyeksi Towne menunjukkan adanya pergeseran fraktur kondilar (panah).
D. Foto panoramik menunjukkan fraktur yang bergeser pada cbela kiri badan
mandibula dan fraktur subkondilar cbela kanan (panah) (Hupp dkk, 2008).
Gambar 11. Gambaran CT-Scan (Hupp dkk, 2008).
A. Gambaran tomografi menunjukkan kerusakan dasar orbita (panah).
B. CT scan menunjukkan kerusakan dari dinding medial dan dasar orbita
kanan

Dengan kemajuan tehnologi saat ini, dengan dikembangkannya CT Scan tiga


dimensi akan memberikan peran yang lebih baik dalam menentukan keadaan fraktur
dalam hal ada atau tidaknya displacement tulang (Tawfilis, 2006).

Gambar 12.Radiografi digital imaging 3D (Tawfilis, 2006)


2.8 Penatalaksanaan
2.8.1 Penatalaksanaan Gawat Darurat
Survey awal digunakan untuk melihat kondisi sistemik pasien dan prioritas
perawatan pasien berdasarkan luka, tanda-tanda vital, dan mekanisme terjadinya
luka. Advance Trauma Life Support (ATLS) yang dianjurkan oleh American
College of Surgeon ialah perawatan trauma ABCDE.
A: Airway maintenance with cervical spine control/ protection
a. Menghilangkan fragmen-fragmen gigi dan tulang yang fraktur.
b. Memudahkan intubasi endotrakeal dengan mereposisi segmen fraktur wajah
untuk membuka jalan nafas oral dan nasofaringeal.
c. Stabilisasi sementara posisi rahang bawah ke arah posterior dengan fraktur
kedua kondilus dan simfisis yang menyebabkan obstruksi jalan nafas atas.
B: Breathing and adequate ventilation
Stabilisasi sementara posisi fraktur rahang bawah ke arah posterior dengan
fraktur kedua kondilus dan simfisis yang menyebabkan obstruksi jalan nafas pada
pasien yang sadar.
C: Circulation with control of hemorrhage
a. Kontrol perdarahan dari hidung atau luka intraoral untuk meningkatkan jalan
nafas dan mengontrol perdarahan.
b. Menekan dan mengikat perdarahan pembuluh wajah dan perdarahan di kepala.
c. Menempatkan pembalut untuk mengontrol perdarahan dari laserasi wajah yang
meluas dan perdarahan kepala.
D: Disability: neurologic examination
a. Status neurologis ditentukan oleh tingkat kesadaran, ukuran pupil, dan reaksi.
b. Trauma periorbital dapat menyebabkan luka pada okular secara langsung
maupun tidak langsung yang dapat dilihat dari ukuran pupil, kontur, dan respon
yang dapat mengaburkan pemeriksaan neurologis pada pasien dengan sistem
saraf pusat yang utuh.
c. Menentukan perubahan pupil pada pasien dengan perubahan sensoris (alkohol
atau obat) yang tidak berhubungan dengan trauma intrakranial.
E: Exposure/ enviromental control
a. Menghilangkan gigi tiruan, tindikan wajah dan lidah.
b. Menghilangkan lensa kontak.
Selanjutnya pemeriksaan GCS perlu dilakukan. Pada umumnya, Glasgow
Coma Scale (GCS) digunakan untuk memeriksa kesadaran yang dilakukan untuk
mengetahui ada tidaknya gangguan neurologis pada saat pertama kali terjadi
trauma maksilofasial. Ada tiga variabel yang digunakan pada skala ini, yaitu
respon membuka mata, respon verbal, dan respon motorik.

2.8.2 Perawatan Definitif


Perawatan definitif fraktur panfasial dilakukan setelah keadaan umum
pasien lebih baik, terkontrol dan telah melewati masa krisis melalui perawatan
gawat darurat. Tujuan dari perawatan fraktur panfasial adalah merehabilitasi
jaringan yang terkena, mengurangi rasa sakit, penyembuhan tulang, serta
perbaikan oklusi gigi. Sebelum merencanakan perawatan terlebih dahulu
perhatikan (Fonseca, 2005):
a. Lokasi dan luasnya fraktur
b. Struktur yang terluka atau terlibat di sepanjang fraktur
c. Jumlah kehilangan jaringan lunak, meliputi kulit, mukosa dan saraf
d. Luas kehilangan tulang
e. Keadaan trauma dentoalveolar
Perawatan jenis trauma yang kompleks ini merupakan rangkuman dari
seluruh perbaikan dari semua fraktur fasial dan kranial yang individual.
Dibutuhkan perencanaan yang baik untuk meminimalkan operasi ulang dan
lamanya perawatan di rumah sakit. Koreksi definitif pada pasien dengan trauma
kraniofasial yang kompleks secara ideal dilakukan dalam 5-7 hari. Beberapa
penulis menganjurkan untuk fiksasi primer pada 12-48 jam paska trauma. Namun
dalam jangka waktu tersebut seringkali tidak cukup untuk memperoleh
pemeriksaan radiologis, dan pengelolaan gigi geligi yang adekuat terutama pada
pasien dalam keadaan koma dan tidak kooperatif.
Pada periode tersebut jaringan lunak berada dalam keadaan pembengkakan
sehingga pengelolaan operatif pada saat itu akan menyebabkan proyeksi wajah dan
kesimetrisan wajah sulit dicapai. Selain itu adanya rhinorrhoea serebrospinal atau
aerocele intrakranial merupakan alasan lain keterlambatan perawatan (Miloro, 2004).
Seringkali pasien tersebut membutuhkan waktu lebih dari tiga minggu untuk
pengelolaan life-saving yang ekstensi terhadap trauma ekstrakranial. Pada banyak
kasus keterlambatan koreksi seringkali menyebabkan telah terjadinya union pada
tulang dan kontraktur jaringan lunak sehingga diperlukan diseksi jaringan lunak
yang ekstensif untuk mendapatkan pemaparan tulang yang baik dalam rangka
reduksi dan fiksasi fraktur tulang. Selain itu diperlukan osteotomi pada garis fraktur
akibat telah terjadinya penyatuan tulang (Tawfilis, 2006)
Kunci utama dalam penatalaksanaan fraktur panfasial adalah untuk
mendapatkan fiksasi dan stabilisasi yang cukup stabil pada daerah-daerah yang tidak
stabil. Rekonstruksi harus meliputi arah 3 dimensi yaitu vertikal, horisontal dan
transversal. Terdapat dua prinsip umum untuk penatalaksanaan fraktur panfasial
yaitu dengan tehnik bottom to top (dari bawah ke atas) atau top to bottom (dari atas ke
bawah) (Miloro, 2004). Apabila kranium frontalis masih intak atau terdapat fraktur
pada fossa kranial anterior atau fronto-orbital bar tanpa adanya kehilangan tulang
atau dimana struktur-struktur tulang tersebut di atas telah terekonstruksi dengan
kuat, regio midfasial dapat direkonstruksi dalam arah atas ke bawah. Namun bila
terdapat diskontinuitas pada lengkung mandibula, hilangnya tulang pada tulang
kranial dan diskontinuitas pada dasar fosa kranial anterior atau hilangnya titik
referensi, pendekatan dilakukan dalam arah bawah ke atas. Hal ini dilakukan agar
rekonstruksi pada mandibula dapat menghasilkan hubungan yang intak dalam
mereposisi maksila. Selain itu bila basis kranial frontalis diperbaiki dan
dilekatkan terhadap tengah wajah dapat menaikkan resiko kerusakan atau
perubahan letak terhadap fosa kranialis anterior yang telah diperbaiki (Miloro,
2004).
Pada tehnik bottom to top, rekonstruksi dimulai dari mandibula. Bila
lengkung mandibula terganggu harus diperbaiki terlebih dahulu. Fraktur pada
kondilus baik unilateral maupun bilateral memerlukan reduksi segera dan fiksasi
internal untuk mempertahankan ketinggian fasial. Setelah mandibula terkoreksi
dengan baik, maksila yang mengalami disimpaksi dapat dikoreksi dengan
menyesuaikan oklusi pada rahang bawah dan dilakukan fiksasi intermaksilaris.
Perbaikan dapat dilanjutkan dalam arah atas ke bawah dan bertemu dengan segmen
maksilomandibula yang telah terfiksasi. Bila terdapat fraktur sagital pada maksila
dilakukan reduksi dan fiksasi untuk mendapatkan kembali lengkung maksila
sehingga koreksi terhadap lebar wajah tengah dapat tercapai. Fiksasi dapat
dilakukan dengan menempatkan miniplate secara transversal pada maksila. Kerugian
pada tehnik bottom to up adalah untuk rekonstruksi dilakukan dimulai dari jarak
yang cukup jauh dari elemen simetris yang stabil yaitu basis kranial. Ketidakakuratan
dalam mereduksi dan mereposisi fraktur kondilus akan menyebabkan asimetri wajah
(Miloro, 2004).
Pada tehnik top to bottom, rekonstruksi pertama-tama pada bagian luar
rangka fasial (outer facial frame) pada fraktur panfasial yaitu meliputi lengkung
zygomatik, kompleks malar dan tulang frontalis. Kemudian rekonstruksi dilakukan
pada bagian dalam rangka fasial (inner facial frame) atau pada kompleks naso-
orbitho-ethmoidal, sutura zygomatikofrontalis dan orbital rim. Setelah itu dilakukan
rekonstruksi pada maksila pada Le Fort I dengan menggunakan plat pada buttress.
Kemudian reposisi pada fraktur mandibula dan diakhiri dengan fiksasi
intermaksilaris (Miloro, 2004)
Gambar 13. Teknik Bottom Up (Miloro, 2004)
Gambar 14. Teknik top to bottom (Miloro, 2004)

Cangkok tulang biasanya dilakukan untuk merekonstruksi dinding orbital


dan hidung. Selain itu cangkok tulang dilakukan untuk koreksi sekunder bila
dibutuhkan untuk menambah kontur pada regio tertentu dan memperbaiki
kesimetrisan wajah. (Miloro, 2004).
Gambar 15. Bone graft pada dinding sinus maksila anterior (Miloro, 2004)
Berbagai macam insisi dilakukan untuk mendapatkan pemaparan tulang yang
mengalami fraktur dan merekonstruksinya antara lain dengan insisi koronal, insisi
pada kelopak mata bagian bawah, periorbital, sulkus gingivobukal, preaurikular,
retromandibular atau submandibular. Insisi koronal akan dapat memberikan
pemaparan yang lebih luas pada tulang kranium dan rangka kraniofasial bagian
atas. Selain itu insisi ini dapat memberikan akses yang optimal untuk dapat
mereduksi dan memfiksasi fragmen tulang. (Miloro, 2004)

2.9 Komplikasi
Komplikasi awal fraktur maksila dapat berupa pendarahan ekstensif serta
gangguan pada jalan nafas akibat pergeseran fragmen fraktur, edema, dan
pembengkakan soft tissue. Infeksi pada luka maksilari lebih jarang dibandingkan
pada luka fraktur mandibula. Padahal luka terkontaminasi saat tejadi cedera oleh
segmen gigi dan sinus yang juga mengalami fraktur. Infeksi akibat fraktur yang
melewati sinus biasanya tidak akan terjadi kecuali terdapat obstruksi sebelumnya.
Pada Le Fort II dan III, daerah kribiform dapat pula mengalami fraktur, sehingga
terjadi rhinorrhea cairan serebrospinal. Selain itu, kebutaan juga dapat terjadi
akibat pendarahan dalam selubung dural nervus optikus. Komplikasi akhir dapat
berupa kegagalan penyatuan tulang yang mengalami fraktur, penyatuan yang
salah, obstruksi sistem lakrimal, anestesia/hipoestesia infraorbita, devitalisasi gigi,
ketidakseimbangan otot ekstraokuler, diplopia, dan enoftalmus. Kenampakan
wajah juga dapat berubah (memanjang, retrusi).

a. Komplikasi Awal
1) Infeksi
Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma
orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini
biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan
bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
2) Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau
terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan
adanya Volkmans Ischemia.
3) Syok
Syok terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya
permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini
biasanya terjadi pada fraktur.
b. Komplikasi dalam Waktu Lama
1) Delayed Union
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan
waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karena
penurunan supai darah ke tulang.
2) Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan memproduksi
sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Nonunion
ditandai dengan adanya pergerakan yang berlebih pada sisi fraktur yang
membentuk sendi palsu atau pseudoarthrosis. Ini juga disebabkan karena
aliran darah yang kurang.
3) Malunion
Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan meningkatnya
tingkat kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas). Malunion dilakukan
dengan pembedahan dan reimobilisasi yang baik.
3. Clinical Pathway

Gangguan perfusi
Gangguan integritas kulit
jaringan perifer
Pembengkakan (tumor) Penekanan
dan kemerahan (rubor) pembuluh darah

Nyeri Akut edema

Pengeluaran mediator kimia Protein plasma hilang


Hipertermi (histamin)

Pengeluaran bradikinin dan


Peningkatan suhu
berikatan dengan nociceptor
tubuh
Ketidakseimbangan
Resiko infeksi Reaksi inflamasi nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh
Ada port de entry Pengumpulan darah
(hematoma) Resiko syok
Laserasi kulit
Kehilangan
Pembuluh darah
volume cairan
deformitas terputus (perdarahan)

Fraktur Maxillofasial
Pergesaran tulang (kerusakan fragmen Pasien tidak Intake tidak
tulang dan cedera bisa makan adekuat
jaringan lunak)

Trauma langsung Trauma tidak langsung

Faktor patologis
4. Asuhan Keperawatan
4.1 Pengkajian
a. Keluhan Utama
Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien untuk meminta
pertolongan kesehatan tergantung dari seberapa jauh dampak trauma pada
daerah wajah akibat kecelakaan.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Adanya riwayat trauma yang mengenai kepala akibat dari kecelakaan lalu
lintas atau jatuh dari ketinggian, atau bahkan trauma langsung ke wajah. Lima
pertanyaan yang harus diketahui untuk mengetahui riwayat penyakit pasien
penderita fraktur maksilofasial ialah:
1) Bagaimana kejadiannya?
2) Kapan kejadiannya?
3) Spesifikasi luka, termasuk tipe objek yang terkena, arah terkena, dan alat
yang kemungkinan dapat menyebabkannya?
4) Apakah pasien mengalami hilangnya kesadaran?
5) Gejala apa yang sekarang diperlihatkan oleh pasien, termasuk nyeri,
sensasi, perubahan penglihatan, dan maloklusi?
Jejas pada sepertiga wajah bagian atas dan kepala biasanya menimbulkan
keluhan sakit kepala, kaku di daerah nasal, hilangnya kesadaran, dan mati rasa
di daerah kening. Jejas pada sepertiga tengah wajah menimbulkan keluhan
perubahan ketajaman penglihatan, diplopia, perubahan oklusi, trismus, mati
rasa di daerah paranasal dan infraorbital, dan obstruksi jalan nafas. Jejas pada
sepertiga bawah wajah menimbulkan keluhan perubahan oklusi, nyeri pada
rahang, kaku di daerah telinga, dan trismus.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya pembedahan terdahulu
yang pernah dialami klien, penggunaan obat-obatan antikoagulan, dan
konsumsi alkohol berlebih. Kaji kemungkinan klien terhadap adanya alergi
dan riwayat imunisasi terdahulu
d. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan klinis pada struktur wajah terpenuhi setelah seluruh
pemeriksaan fisik termasuk pemeriksaan jantung dan paru, fungsi neurologis,
dan area lain yang berpotensi terkena trauma, termasuk dada, abdomen, dan
area pelvis. Evaluasi pada wajah dan kranium secara hati-hati untuk melihat
adanya trauma seperti laserasi, abrasi, kontusio, edema atau hematoma.
Ekimosis di periorbital, terutama dengan adanya perdarahan subkonjungtiva,
merupakan sebagai indikas dari adanya fraktur zigomatikus kompleks dan
fraktur rima orbita.

Gambar 16. Hematoma pada Orbita Sinistra Pasien Fraktur Maksilofasial

Gambar 17 Ekimosis di Periorbital (Hupp et al., 2008)


Pemeriksaan neurologis pada wajah dievaluasi secara hati-hati dengan
memeriksa penglihatan, pergerakan ekstraokular, dan reaksi pupil terhadap
cahaya. Pemeriksaan mandibula dengan cara palpasi ekstraoral semua area
inferior dan lateral mandibula serta sendi temporomandibular. Pemeriksaan oklusi
untuk melihat adanya laserasi pada area gingiva dan kelainan pada bidang oklusi.
Untuk menilai mobilisasi maksila, stabilisasi kepala pasien diperlukan dengan
menahan kening pasien menggunakan salah satu tangan. Kemudian ibu jari dan
telunjuk menarik maksila secara hati-hati untuk melihat mobilisasi maksila.

Gambar 18 Pemeriksaan Mobilisasi Maksila (Hupp et al., 2008)


Pemeriksaan regio atas dan tengah wajah dipalpasi untuk melihat adanya
kerusakan di daerah sekitar kening, rima orbita, area nasal atau zigoma.
Penekanan dilakukan pada area tersebut secara hati-hati untuk mengetahui kontur
tulang yang mungkin sulit diprediksi ketika adanya edema di area tersebut. Untuk
melihat adanya fraktur zigomatikus kompleks, jari telunjuk dimasukan ke
vestibula maksila kemudian palpasi dan tekan kearah superior lateral.
4.2 Masalah Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan kerusakan fragmen tulang
2. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penekanan
pembuluh darah akibat edema
3. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
intake inadekuat
4. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan trauma jaringan
5. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi
6. Risiko syok berhuungan dengan perdarahan aktif
7. Risiko infeksi berhubungan dengan adanya luka terbuka
4.3 Perencanaan Keperawatan
No. Masalah Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan Rasional
Nyeri akut berhubungan dengan NOC: NIC:
kerusakan fragmen tulang Pain Level Pain Management Pain Management
Pain Control 1. Kaji secara menyeluruh 1. Untuk mengetahui gambaran
tentang nyeri (PQRST) rasa nyeri yang dialami oleh
Setelah dilakukan tindakan pasien
keperawatan selama 2 x 24 jam 2. Observasi isyarat-isyarat 2. Menggali kualitas nyeri
pasien dapat: nonverbal dari yang dirasakan oleh pasien
a. Nyeri dada berkurang ketidaknyamanan dan memvalidasi gambaran
misalnya dari skala 3 ke 2, nyeri yang dirasakan oleh
atau dari 2 ke 1 pasien
b. ekpresi wajah rileks, tenang, 3. Gunakan komunikasi 3. Membina hubungan saling
tak tegang, tidak gelisah terapeutik agar klien dapat percaya dengan pasien agar
c. Frekuensi nadi 60-100 mengekspresikan nyeri pasien dapat leluasa
x/menit mengungkapkan
d. TD 120/ 80 mmHg keluhannya.
e. Melakukan manajemen nyeri 4. Tentukan dampak dari 4. Mengkaji kebutuhan lain
non-farmakologis ekspresi nyeri terhadap yang belum terpenuhi akibat
f. Menggunakan analgetik kualitas hidup nyeri.
g. Melaporkan gejala-gejala 5. Kontrol faktor-faktor 5. Meminimalkan
kepada tim kesehatan lingkungan yang dapat ketidaknyamanan klien atas
h. Nyeri terkontrol mempengaruhi respon klien lingkungan yang kurang
terhadap ketidaknyamanan. mendukung perbaikan
6. Ajarkan teknik manajemen kebutuhan kenyamanannya.
nyeri non-farmakologis: 6. Mengurangi rasa nyeri tanpa
distraksi-relaksasi penggunaan obat.
7. Berikan analgetik sesuai 7. Mengurangi rasa nyeri jika
anjuran tim medis teknin non-farmakologis
kurang efektif.
Ketidakefektifan perfusi NOC: 1. Monitor frekuensi dan 1. pasien dengan tetanus
jaringan perifer berhubungan Perfusi Jaringan Perifer irama jantung mempunyai suara jantung
dengan penekanan pembuluh 2. Observasi perubahan tambahan apabila ada
darah akibat edema Setelah dilakukan tindakan status mental komplikasi
keperawatan selama 3x24 jam 3. Observasi warna dan 2. pasien dengan tetanus dapat
pasien menunjukkan perfusi suhu kulit atau hipoksia dengan penurunan
jaringan membaik kreiteria membran mukosa kesadaran
hasil: 4. Ukur haluaran urin dan 3. pasien dengan tetanus
a. Daerah perifer hangat catat berat jenisnya rentan mengalami
b. Tidak ada tanda-tanda penurunan perfusi jaringan
5. Kolaborasi : Berikan
sianosis 4. pasien dengan tetanus yang
cairan IV l sesuai
c. gambaran EKG tak berakibat pada gagal
indikasi
menunjukan perluasan infark jantung berisiko mengalami
6. Pantau Pemeriksaan
d. RR 16-24 x/ menit kelebihan volume cairan
diagnostik atau dan
e. tak terdapat clubbing finger dalam tubuhnya
laboratorium mis EKG,
f. kapiler refill 3-5 detik 5. pasien dengan tetanus
elektrolit, GDA ( Pa O2,
g. nadi 60-100x / menit terjadi ketidak
Pa CO2 dan saturasi O2).
h. TD 100-140 mmHg keseimbangan cairan
Dan Pemberian oksigen
6. pasien dengan tetanus
7. Ajarkan ROM mengalami perubahan
hemodinamik dan hasil
EKG yang abnormal
7. ROM dapat memperlancar
peredaran darah perifer
Ketidakseimbangan nutrisi: NOC: Nutritional status NIC:
kurang dari kebutuhan tubuh Setelah dilakukan tindakan Nutrition monitoring
berhubungan dengan intake keperawatan 1x24 jam nutrisi 1. Monitor berat badan 1. Memantau perkembangan
inadekuat (00002/hal. 177) pasien dapat terpenuhi pasien berat badan pasien
2. Monitor tipe dan jumlah 2. Aktivitas dapat membuat
Indikator: aktivitas yang biasa metabolisme meningkat
1. Mampu mengidentifikasi dilakukan 3. Memantau hidrasi
kebutuhan nutrisi 3. Monitor kulit kering dan 4. Lingkungan dapat
Tidak terdapat tanda-tanda perubahan pigmentasi mempengaruhi motivasi
malnutrisi 4. Monitor lingkungan untuk makan
selama makan 5. Monitor hidrasi
5. Monitor turgor kulit 6. Untuk memonitor masukan
6. Monitor kalori intake dan kalori pada klien
intake nutrisi

Nutrition Management
1. Kaji adanya alergi 1. Mencegah terjadinya alergi
makanan makanan
2. Berikan informasi tentang 2. Meningkatkan pengetahuan
kebutuhan nutrisi klien terkait pentingnya
3. Ajarkan pasien bagaimana pemenuhan nutrisi
membuat catatan makanan 3. Untuk memandirikan klien
harian dan membentuk pola hidup
4. Kolaborasi dengan ahli sehat pada klien
gizi untuk menentukan 4. Untuk pemenuhan gii klien
jumlah kalori dan nutrisi secara tepat
yang dibutuhkan pasien
Hipertermi berhubungan dengan NOC: Perawatan Demam (3740)
proses infeksi Thermoregulasi (0800) a. Pantau suhu dan tanda vital a. Untuk mengetahui kondisi
Hidrasi (0602) yang lainnya klien secara berkala
b. Monitoring warna kulit dan b.Mengetahui sejauh mana
Setelah dilakukan tindakan suhu tingkat peningkatan suhu dan
keperawatan 2 x 24 jam, suhu gambaran secara fisiologis
tubuh klien dapat kembali pengaruh dari peningkatan
normal dengan kriteria hasil: suhu terhadap kondisi klien
a. Klien melaporkan c. Mengkaji kebutuhan cairan
kenyamanan suhu c. Monitoring intake-output dan kehilangan cairan klien
b. Penurunan suhu ke batas cairan akibat adanya peningkatan
normal suhu
c. Perubahan denyut nadi ke d.Membantu memenuhi
batas normal d. Dorong klien untuk kebutuhan cairan tubuh yang
d. Status kesadaran meningkat peningkatan konsumsi hilang akibat peningkatan
e. Turgor kulit dalam batas cairan evaporasi
normal e. Meminimalkan risiko
f. Membran mukosa lembab e. Pantau kondisi pasien terjadinya kejang demam
untuk menghindari berulang
komplikasi dari demam f. Menurunkan suhu tubuh klien
f. Kolaborasi dengan tim hingga ke batas normal.
medis terkait pemberian
obat antipiretik

Pengaturan Suhu (3900)


a. Monitoring suhu setiap 2 a. Mengobservasi keadaan
jam umum klien agar tidak
terjadi kejang demam
berulang
b. Monitoring tanda vital b. Memantau perubahan tanda
lainnya: TD, nadi, RR vital lainnya bersamaan
dengan meningkatnya suhu
c. Tingkatkan intake cairan tubuh klien
dan nutrisi yang adekuat c. Membantu memenuhi
kebutuhan cairan yang
d. Ajarkan kepada klien dan hilang akibat peningkatan
keluarga tentang evaporasi
bagaimana mengatasi d. Membantu klien dan
demam di rumah keluarga untuk dapat
melakukan tindakan
pencegahan terjadinya
kejang demam berulang dan
membantu klien dan
keluarga untuk melakukan
e. Kolaborasi pemberian pertolongan pertama pada
antipiretik saat klien mengalmai
peningkatan suhu tubuh
e. Menurunkan suhu tubuh
klien hingga ke batas normal
menggunakan obat.
Risiko infeksi berhubungan NOC: NIC:
dengan adanya luka terbuka Status Nutrisi: Asupan nutrisi Perlindungan Infeksi Perlindungan Infeksi
1. Monitor adanya tanda- 1. Adanya salah satu dari
Setelah dilakukan tindakan tanda infeksi (REEDA) REEDA mengindikasikan
keperawatan selama 3 x 24 jam 2. Pertahankan teknik asepsis bahwasanya luka tersebut
risiko infeksi tidak menjadi pada pasien yang berisiko mengalami infeksi
actual dengan kriteria hasil: 3. Periksa kondisi luka 2. Meminimalkan peningkatan
a. Tidak ada tanda-tanda infeksi 4. Berikan perawatan luka kejadian infeksi nosocomial
(REEDA) 5. Anjurkan klien untuk 3. Mengkaji kondisi luka secara
b. Keluarga mampu meningkatkan konsumsi menyeluruh
menyebutkan dna protein 4. Membantu luka untuk
menerapkan pemenuhan 6. Kolaborasi dengan tim gizi bergranulasi
kebutuhan nutrisi yang baik terkait pemberian diit 5. Konsumsi protein yang
bagi luka TKTP tinggi dapat mempercepat
c. Granulasi pada daerah luka proses penyembuhan luka
6. Konsumsi tinggi protein
membantu mempercepat
proses granulasi
Risiko syok berhubungan Blood Loss Severity (0413) Manajemen Cairan (4120)
dengan perdarahan aktif Fluid Balance (0601) a. Monitoring intake-output d. Mengkaji kebutuhan
Hidration (0602) cairan cairan dan kehilangan cairan
Setelah dilakukan tindakan klien akibat adanya
keperawatan 1 x 24 jam, peningkatan suhu
kebutuhan cairan klien dapat b. Monitoring status hidrasi e. Mengkaji sejauh mana
kembali seimbang dengan klien tingkatan dehidrasi yang
kriteria hasil: dialami oleh klien
a. Penurunan perdarahan c. Monitoring perubahan f. Memantau perubahan tanda
(041307) tanda-tanda vital pada klien vital lainnya bersamaan
b. Tekanan darah dalam batas dengan meningkatnya suhu
normal (060101) d. Pertahankan intake cairan tubuh klien
c. Nadi kembali dalam batas per oral yang adekuat g.Mempertahankan pemenuhan
normal (060122) kebutuhan cairan yang hilang
d. Turgor kulit membaik e. Dorong keluarga untuk akibat peningkatan evaporasi
(060116) membantu klien dalam h.Melibatkan keluarga untuk
e. Mukosa kulit kembali lembab pemenuhan kebutuhan dapat mendukung klien dalam
(060117) cairan dan nutrisi yang pemenuhan kebutuhan cairan
f. Mempertahankan intake adekuat yang hilang akibat evaporasi
cairan yang adekuat (060215) berlebih

Pengurangan Perdarahan Pengurangan Perdarahan


a. Monitor perubahan tanda a. Memantau perubahan tanda
vital vital lainnya bersamaan
b. Lakukan pembebatan atau dengan meningkatnya suhu
penekanan pada pembuluh tubuh klien
darah b. Mengurangi perdarahan yang
c. Kolaborasi pemberian terjadi secara aktif untuk
transfusi sementara waktu
c. Mengganti jumlah darah
yang hilang akibat
perdarahan aktif
DAFTAR PUSTAKA

Bulechek G.M., Butcher H.K., Dochterman J.M., Wagner C. 2013. Nursing


Interventions Classifications (NIC). 6th edition. Mosby: Elsevier Inc.

Gleadle, J. 2007. At a Glance: Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik. Jakarta:


Penerbit Erlangga.

Herdman, T. H. 2015. Diagnosis Keperawatan: Definisi & Klasifikasi 2015-2017.


Jakarta: EGC.

Hiatt James L.& Gartner Leslie P. 2010. Textbook of Head and Neck Anatomy, 4th
Edition. USA: Lippincott Williams & Wilkins.

Hupp JR, Ellis E, Tucker MR. 2008. Contemporary Oral and Maxillofacial
Surgery. Ed. Ke-5. St. Louis: Mosby Elsevier.

Capernito, Lynda Juall. 2007. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC.

Arif, Mansjoer, dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3. Jakarta. Medica
Aesculpalus, FKUI.

Moorhead S., Johnson M., Maas M.L., Swanson E. 2013. Nursing Outcomes
Classifications (NOC): Measurement of Health Outcomes. 5th edition.
Mosby: Elsevier Inc.

Price & Wilson. 2012. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.


Jakarta: EGC

Smeltzer, S. Bare, B. Hinkle, J. & Cheever, K. 2010. Brunner & Suddarths


Textbook of Medical Surgical Nursing. 11th edition. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins.

Waugh, A., Grant A. 2014. Ross and Wilson Anatomy & Physiology in Health and
Illness. 12th edition. Churchill Livingstone: Elseiver (China) Ltd.

Anda mungkin juga menyukai