oleh
Risha Putri Mahardika, S. Kep
NIM 122311101016
2.2 Klasifikasi
Klasifikasi dari fraktur maksilofasial itu sendiri terdiri atas beberapa fraktur
yakni fraktur kompleks nasal, fraktur kompleks zigomatikus - arkus zigomatikus,
fraktur dento-alveolar, fraktur mandibula dan fraktur maksila yang terdiri atas
fraktur le fort I, II, dan III.
2.2.1 Fraktur Komplek Nasal
Tulang hidung sendiri kemungkinan dapat mengalami fraktur , tetapi yang
lebih umum adalah bahwa fraktur-fraktur itu meluas dan melibatkan proses frontal
maksila serta bagian bawah dinding medial orbital. Fraktur daerah hidung
biasanya menyangkut septum hidung. Terkadang tulang rawan septum hampir
tertarik ke luar dari alurnya pada vomer dan plat tegak lurus serta plat kribriform
etmoid mungkin juga terkena fraktur.
Perpindahan tempat fragmen-fragmen tergantung pada arah gaya fraktur.
Gaya yang dikenakan sebelah lateral hidung akan mengakibatkan tulang hidung
dan bagian-bagian yang ada hubungannya dengan proses frontal maksila
berpindah tempat ke satu sisi.
Gambar 4. Fraktur kompleks nasal terdiri dari sebuah pertemuan beberapa tulang: (1)
tulang frontal, (2) tulang hidung, (3) tulang rahang atas, (4) tulang lakrimal, (5) tulang
ethmoid, dan (6) tulang sphenoid
Injuri fasial sering menekan jaringan lunak bibir atas pada gigi
insisor,sehingga menyebabkan laserasi kasar pada bagian dalam bibir atas dan
kadang-kadang terjadi luka setebal bibir. Sering kali injuri semacam ini
menghantam satu gigi atau lebih, sehingga pecahan mahkota gigi atau bahkan
seluruh gigi yang terkena injuri tersebut tertanam di dalam bibir atas. Pada
seorang pasien yang tidak sadarkan diri pecahan gigi yang terkena fraktur atau
gigi yang terlepas sama sekali mungkin tertelan pada saat terjadi kecelakaan,
sehingga sebaiknya jika terdapat gigi atau pecahan gigi yang hilang setelah
terjadinya injuri fasial agar selalu membuat radiograf dada pasien, terutama jika
terjadi kehilangan kesadaran pada saat terjadinya kecelakaan. Fraktur pada
alveolus dapat terjadi dengan atau tanpa adanya hubungan dengan injuri pada
gigi-gigi. Fraktur tuberositas maksilar dan fraktur dasar antrum relatif merupakan
komplikasi yang umum terjadi pada ilmu eksodonti.
Gambar 7. Cedera tulang alveolar. A. Fraktur dinding tunggal dari alveolus, B. Fraktur
dari prosesus alveolar
2.4 Etiologi
Ada banyak faktor etiologi yang menyebabkan fraktur maksilofasial itu dapat
terjadi, seperti kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja , kecelakaan akibat olah
raga, kecelakaan akibat peperangan dan juga sebagai akibat dari tindakan
kekerasan(utamanya kekerasan dalam rumah tangga, khusu bagi ibu rumahtangga
yang mengalami fraktur atau trauma pada bagian tulang maksilofacial). Tetapi
penyebab terbanyak adalah kecelakaan lalu lintas.
Terjadinya kecelakaan lalu lintas ini biasanya sering terjadi pada pengendara
sepeda motor. Kecelakaan lalulintas merupakan penyebab utama terjadinya
trauma maksilofasial. Beberapa literatur bahasa Inggris melaporkan bahwa
terdapat hubungan antara posisi duduk pengemudi atau penggunaan sistem
penahan terhadap keparahan dari cedera maksilofasial yang dialami pasien
kecelakaan lalulintas (Yokoyoma dkk, 2006). Hal ini dikarenakan kurangnya
perhatian tentang keselamatan jiwa mereka pada saat mengendarai sepeda motor
di jalan raya, seperti tidak menggunakan pelindung kepala (helm), kecepatan dan
rendahnya kesadaran tentang etika berlalu lintas.
2.6 Patofisiologi
Patah tulang akan menyebabkan kerusakan di korteks, pembuluh darah,
sumsum tulang dan jaringan lunak sehingga menyebabkan perdarahan, kerusakan
tulang dan jaringan sekitarnya. Keadaan ini menimbulkan hematom pada kanal
medulla antara tepi tulang dibawah periostium dengan jaringan tulang yang
mengalami fraktur. Terjadinya respon inflamasi akibat sirkulasi jaringan nekrotik
adalah ditandai dengan vasodilatasi dari plasma dan leukosit. Ketika terjadi
kerusakan tulang, tubuh mulai melakukan proses penyembuhan untuk
memperbaiki cidera, tahap ini menunjukkan tahap awal penyembuhan tulang.
Hematom yang terbentuk bisa menyebabkan peningkatan tekanan dalam sumsum
tulang yang kemudian merangsang pembebasan lemak dan gumpalan lemak
tersebut masuk kedalam pembuluh darah yang mensuplai organ-organ yang lain.
Hematom menyebabkan dilatasi kapiler diotot, sehingga meningkatkan tekanan
kapiler, kemudian menstimulasi histamin pada otot yang iskhemik dan
menyebabkan protein plasma hilang dan masuk ke interstitial. Hal ini
menyebabkan terjadinya edema, sehingga mengakibatkan pembuluh darah
menyempit dan terjadi penurunan perfusi jaringan.
2.7 Pemeriksaan Penunjang
Pada pasien dengan trauma wajah, pemeriksaan radiografis diperlukan untuk
memperjelas suatu diagnosa klinis serta untuk mengetahui letak fraktur.
Pemeriksaan radiografis juga dapat memperlihatkan fraktur dari sudut dan
perspektif yang berbeda. Pemeriksaan radiografis pada mandibula biasanya
memerlukan foto radiografis panoramic view, open-mouth Townes view, postero-
anterior view, lateral oblique view. Biasanya bila foto-foto diatas kurang
memberikan informasi yang cukup, dapat juga digunakan foto oklusal dan
periapikal.
Computed Tomography (CT) scan dapat juga memberi informasi bila terjadi
trauma yang dapat menyebabkan tidak memungkinkannya dilakukan teknik foto
radiografis biasa. Banyak pasien dengan trauma wajah sering menerima atau
mendapatkan CT-scan untuk menilai gangguan neurologi, selain itu CT-scan dapat
juga digunakan sebagai tambahan penilaian radiografi. Pemeriksaan radiografis
untuk fraktur sepertiga tengah wajah dapat menggunakan Waters view, lateral
skull view, posteroanterior skull view, dan submental vertex view.
Gambar 10. Beberapa proyeksi radiografi untuk menilai fraktur mandibula.
A. Proyeksi posterior-anterior menunjukkan fraktur pada daerah angle mandibula
(panah).
B. Proyeksi oblik lateral menunjukkan fraktur pada daerah angle mandibula
(panah).
C. Proyeksi Towne menunjukkan adanya pergeseran fraktur kondilar (panah).
D. Foto panoramik menunjukkan fraktur yang bergeser pada cbela kiri badan
mandibula dan fraktur subkondilar cbela kanan (panah) (Hupp dkk, 2008).
Gambar 11. Gambaran CT-Scan (Hupp dkk, 2008).
A. Gambaran tomografi menunjukkan kerusakan dasar orbita (panah).
B. CT scan menunjukkan kerusakan dari dinding medial dan dasar orbita
kanan
2.9 Komplikasi
Komplikasi awal fraktur maksila dapat berupa pendarahan ekstensif serta
gangguan pada jalan nafas akibat pergeseran fragmen fraktur, edema, dan
pembengkakan soft tissue. Infeksi pada luka maksilari lebih jarang dibandingkan
pada luka fraktur mandibula. Padahal luka terkontaminasi saat tejadi cedera oleh
segmen gigi dan sinus yang juga mengalami fraktur. Infeksi akibat fraktur yang
melewati sinus biasanya tidak akan terjadi kecuali terdapat obstruksi sebelumnya.
Pada Le Fort II dan III, daerah kribiform dapat pula mengalami fraktur, sehingga
terjadi rhinorrhea cairan serebrospinal. Selain itu, kebutaan juga dapat terjadi
akibat pendarahan dalam selubung dural nervus optikus. Komplikasi akhir dapat
berupa kegagalan penyatuan tulang yang mengalami fraktur, penyatuan yang
salah, obstruksi sistem lakrimal, anestesia/hipoestesia infraorbita, devitalisasi gigi,
ketidakseimbangan otot ekstraokuler, diplopia, dan enoftalmus. Kenampakan
wajah juga dapat berubah (memanjang, retrusi).
a. Komplikasi Awal
1) Infeksi
Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma
orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini
biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan
bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
2) Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau
terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan
adanya Volkmans Ischemia.
3) Syok
Syok terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya
permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini
biasanya terjadi pada fraktur.
b. Komplikasi dalam Waktu Lama
1) Delayed Union
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan
waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karena
penurunan supai darah ke tulang.
2) Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan memproduksi
sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Nonunion
ditandai dengan adanya pergerakan yang berlebih pada sisi fraktur yang
membentuk sendi palsu atau pseudoarthrosis. Ini juga disebabkan karena
aliran darah yang kurang.
3) Malunion
Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan meningkatnya
tingkat kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas). Malunion dilakukan
dengan pembedahan dan reimobilisasi yang baik.
3. Clinical Pathway
Gangguan perfusi
Gangguan integritas kulit
jaringan perifer
Pembengkakan (tumor) Penekanan
dan kemerahan (rubor) pembuluh darah
Fraktur Maxillofasial
Pergesaran tulang (kerusakan fragmen Pasien tidak Intake tidak
tulang dan cedera bisa makan adekuat
jaringan lunak)
Faktor patologis
4. Asuhan Keperawatan
4.1 Pengkajian
a. Keluhan Utama
Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien untuk meminta
pertolongan kesehatan tergantung dari seberapa jauh dampak trauma pada
daerah wajah akibat kecelakaan.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Adanya riwayat trauma yang mengenai kepala akibat dari kecelakaan lalu
lintas atau jatuh dari ketinggian, atau bahkan trauma langsung ke wajah. Lima
pertanyaan yang harus diketahui untuk mengetahui riwayat penyakit pasien
penderita fraktur maksilofasial ialah:
1) Bagaimana kejadiannya?
2) Kapan kejadiannya?
3) Spesifikasi luka, termasuk tipe objek yang terkena, arah terkena, dan alat
yang kemungkinan dapat menyebabkannya?
4) Apakah pasien mengalami hilangnya kesadaran?
5) Gejala apa yang sekarang diperlihatkan oleh pasien, termasuk nyeri,
sensasi, perubahan penglihatan, dan maloklusi?
Jejas pada sepertiga wajah bagian atas dan kepala biasanya menimbulkan
keluhan sakit kepala, kaku di daerah nasal, hilangnya kesadaran, dan mati rasa
di daerah kening. Jejas pada sepertiga tengah wajah menimbulkan keluhan
perubahan ketajaman penglihatan, diplopia, perubahan oklusi, trismus, mati
rasa di daerah paranasal dan infraorbital, dan obstruksi jalan nafas. Jejas pada
sepertiga bawah wajah menimbulkan keluhan perubahan oklusi, nyeri pada
rahang, kaku di daerah telinga, dan trismus.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya pembedahan terdahulu
yang pernah dialami klien, penggunaan obat-obatan antikoagulan, dan
konsumsi alkohol berlebih. Kaji kemungkinan klien terhadap adanya alergi
dan riwayat imunisasi terdahulu
d. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan klinis pada struktur wajah terpenuhi setelah seluruh
pemeriksaan fisik termasuk pemeriksaan jantung dan paru, fungsi neurologis,
dan area lain yang berpotensi terkena trauma, termasuk dada, abdomen, dan
area pelvis. Evaluasi pada wajah dan kranium secara hati-hati untuk melihat
adanya trauma seperti laserasi, abrasi, kontusio, edema atau hematoma.
Ekimosis di periorbital, terutama dengan adanya perdarahan subkonjungtiva,
merupakan sebagai indikas dari adanya fraktur zigomatikus kompleks dan
fraktur rima orbita.
Nutrition Management
1. Kaji adanya alergi 1. Mencegah terjadinya alergi
makanan makanan
2. Berikan informasi tentang 2. Meningkatkan pengetahuan
kebutuhan nutrisi klien terkait pentingnya
3. Ajarkan pasien bagaimana pemenuhan nutrisi
membuat catatan makanan 3. Untuk memandirikan klien
harian dan membentuk pola hidup
4. Kolaborasi dengan ahli sehat pada klien
gizi untuk menentukan 4. Untuk pemenuhan gii klien
jumlah kalori dan nutrisi secara tepat
yang dibutuhkan pasien
Hipertermi berhubungan dengan NOC: Perawatan Demam (3740)
proses infeksi Thermoregulasi (0800) a. Pantau suhu dan tanda vital a. Untuk mengetahui kondisi
Hidrasi (0602) yang lainnya klien secara berkala
b. Monitoring warna kulit dan b.Mengetahui sejauh mana
Setelah dilakukan tindakan suhu tingkat peningkatan suhu dan
keperawatan 2 x 24 jam, suhu gambaran secara fisiologis
tubuh klien dapat kembali pengaruh dari peningkatan
normal dengan kriteria hasil: suhu terhadap kondisi klien
a. Klien melaporkan c. Mengkaji kebutuhan cairan
kenyamanan suhu c. Monitoring intake-output dan kehilangan cairan klien
b. Penurunan suhu ke batas cairan akibat adanya peningkatan
normal suhu
c. Perubahan denyut nadi ke d.Membantu memenuhi
batas normal d. Dorong klien untuk kebutuhan cairan tubuh yang
d. Status kesadaran meningkat peningkatan konsumsi hilang akibat peningkatan
e. Turgor kulit dalam batas cairan evaporasi
normal e. Meminimalkan risiko
f. Membran mukosa lembab e. Pantau kondisi pasien terjadinya kejang demam
untuk menghindari berulang
komplikasi dari demam f. Menurunkan suhu tubuh klien
f. Kolaborasi dengan tim hingga ke batas normal.
medis terkait pemberian
obat antipiretik
Hiatt James L.& Gartner Leslie P. 2010. Textbook of Head and Neck Anatomy, 4th
Edition. USA: Lippincott Williams & Wilkins.
Hupp JR, Ellis E, Tucker MR. 2008. Contemporary Oral and Maxillofacial
Surgery. Ed. Ke-5. St. Louis: Mosby Elsevier.
Capernito, Lynda Juall. 2007. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC.
Arif, Mansjoer, dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3. Jakarta. Medica
Aesculpalus, FKUI.
Moorhead S., Johnson M., Maas M.L., Swanson E. 2013. Nursing Outcomes
Classifications (NOC): Measurement of Health Outcomes. 5th edition.
Mosby: Elsevier Inc.
Waugh, A., Grant A. 2014. Ross and Wilson Anatomy & Physiology in Health and
Illness. 12th edition. Churchill Livingstone: Elseiver (China) Ltd.