Anda di halaman 1dari 5

Lokakarya Fungsional Non Peneliti 1997

DIAGNOSA PENYAKIT BRUCELLOSIS PADA SAP]


DENGAN TEKNIK UJI PENGIKATAN KOMPLEMEN
Yusuf Mukmin
Balai Penelitian Veteriner, Jalan R .E . Martadinata 30, Bogor 11614

PENDAHULUAN

Brucellosis adalah penyakit bakterial menular pada ternak khususnya


sapi perah, sapi potong dan babi . Penyakit ini dapat menular pada manusia,
sehingga dikenal sebagai salah satu penyakit zoonotik pada manusia .
Penyebab utama penyakit ini adalah kuman yang berasal dari genus Brucella
yang pada sapi disebabkan oleh B . abortus .
Penyebaran penyakit Bucellosis pada sapi telah dilaporkan terjadi
hampir di seluruh wilayah Indonesia yang setidaknya telah dilaporkan menye-
bar ke-26 propinsi (Sudibyo dan Ronohardjo, 1989) .
Luasnya penyebaran penyakit ini disebabkan karena meningkatnya
mutasi dan aktivitas penyebaran ternak dari sumber bibit ternak yang
terinfeksi ke berbagai wilayah di Indonesia (Setiawan dkk ., 1995) .
Penyakit brucellosis telah menimbulkan kerugian ekonomi bagi peter-
nak dan pembangunan subsektor peternakan secara keseluruhan yang
diperkirakan mencapai Rp . 10 Milliar per tahun (Direktorat Jenderal Peter-
nakan, 1981) . Kerugian tersebut umumnya akibat gejala klinis yang dimani-
festasikannya berupa (1) abortus atau keguguran, (2) kematian dini pada
pedet, (3) gangguan reproduksi seperti infertilitas, (4) penurunan produksi
susu, (5) penurunan daya kerja ternak akibat peradangan persendian lutut, (6)
penurunan nilai ekonomi pada ternak yang terinfeksi serta (7) timbulnya sapi
reaktor yang dapat menularkan penyakit tersebut kepada ternak lain yang
tidak terinfeksi .
Pada manusia, infeksi Brucellosis dapat terjadi akibat kontak dengan
hewan yang terinfeksi atau mengkonsumsi produk ternak yang terkontaminasi
oleh Brucella . Infeksi penyakit ini pada manusia (Priadi dkk ., 1992) umumnya
berkaitan dengan pekerjaan, seperti pekerja pada rumah potong hewan, pada
peternakan sapi maupun peternak itu sendiri .
Sudibyo (1995) melaporkan bahwa sebanyak 22,6% pekerja di RPH
babi Jakarta telah terinfeksi oleh Brucellosis, sedangkan pada peternakan sapi
perah dapat mencapai 13,6% dan 22,6% pada peternakan babi .

Diagnosa penyakit umumnya dilakukan berdasarkan isolasi kuman


Brucella yang dikonfirmasikan dengan pengujian bakteriologi seperti uji
biokimia dan uji serologis . Uji serologis merupakan teknik diagnosa yang

198
Lokakarya Fungsional Non Peneliti 1997

umum digunakan untuk brucellosis yang di Indonesia umumnya menggunakan


teknik Rose Bengal Plate Test (RBPT), Serum Agglutination Test (SAT), dan
Complement Fixation Test (CFT) . Sementara itu teknik diagnosa Enzyme-
linked lmmunosorbent Assay (ELISA) adalah teknik diagnosa yang paling
sensitif untuk uji brucellosis . Teknik ELISA sedang dikembangkan oleh Balai
Penelitian Veteriner .
Bagian ini membahas hasil pemeriksaan serologis terhadap sampel
serum darah sapi yang dikirim ke laboratorium brucella Balitvet dengan
menggunakan uji CFT .

BAHAN DAN CARA

Sebanyak 495 sampel serum darah sapi diterima dari Dinas Peternakan
Kabupaten Bogor yang berasal dari 3 kecamatan yang berbeda yaitu
kecamatan Cijeruk, Cisarua dan kecamatan Ciampea (Cibungbulang) untuk
dilakukan pemeriksaan brucellosis . Seluruh sampel disimpan di dalam freezer
pada suhu -20C sampai digunakan untuk pemeriksaan . Pencatatan seperti
asal serum dan jumlahnya dilakukan terhadap semua sampel yang diterima .

Uji Serologis
Uji pendahuluan terhadap seluruh sampel dilakukan dengan mengguna-
kan teknik RBPT mengikuti prosedur yang telah baku dilakukan di Australia .
Uji RBPT dilakukan sebagai seleksi sampel, kemudian serum yang positif
terhadap brucellosis di uji lebih lanjut dengan teknik CFT mengikuti prosedur
yang di terangkan oleh Alton dkk . (1975) .

Cara uji pengikatan komplemen


1 . Setiap lubang cawan micro yang mempunyai dasar berbentuk U (U bottom)
pada baris A masing-masing diisi serum sebanyak 0,05 ml (termasuk serum
kontrol negatif dan positif), kemudian diinaktivasi pada suhu 58C selama
30 menit di dalam penangas air.
2 . Setiap lubang cawan kecuali baris A di isi pengencer Barbital Buffer Saline
(BBS) sebanyak 0,025 mi .
3 . Serum di encerkan dalam BBS dengan cara memindahkan 0,025 ml serum
dari A ke lubang cawan di baris B, begitu seterusnya sampai baris H,
sehingga diperoleh enceran serum 1/2, 1/4, 1/8, 1/16 dan seterusnya .
4 . Setiap lubang cawan mikro mulai baris C sampai dengan H masing-masing
diisi antigen sebanyak 0,025 ml .
5 . Mulai baris B sampai dengan H masing-masing lubang ditambah 0,025 ml
komplemen .

1 99
Lokakarya Fungsional Non Peneli6 1997

6 . Semua lubang pada baris B ditambah pengencer 0,025 ml dan digunakan


sebagai kontrol terhadap adanya aktivitas antikomplementer .
7 . Cawan-cawan ini kemudian diinkubasi pada suhu 37C selama 30 menit .
8 . Setelah masa inkubasi berakhir, setiap lubang cawan mulai dari baris B
sampai dengan H masing-masing ditambah 0,025 ml eritrosit yang telah
disensitifkan dengan hemolisin . Selanjutnya cawan-cawan ini diinkubasikan
lagi pada temperatur 37C selama 30 menit sambil dikocok dengan alat
pengocok (shaker) .
9 . Cawan-cawan mikro diputar pada kecepatan 2000 rpm selama 5 menit atau
didiamkan pada suhu 4C semalam, lalu hasil reaksinya dibaca dengan
kriteria sebagai berikut :
Negatif (-) :Terjadi hemolisis sempurna, cairan dalam lubang cawan berwarna
merah, tidak ada endapan eritrosit didasar cawan .
+(+1) :Terjadi hemolisis hampir sempurna, cairan dalam cawan berwama
merah, ada sedikit eritrosit didasar cawan .
++(+2) :Sebagian besar hemolisis, cairan berwarna merah, endapan eritrosit
agak melebar dengan tepi rata .
+++(+3) :Sebagian eritrosit tidak lisis, warna cairan agak merah, endapan
eritrosit terlihat jelas .
++++(+4) : Tidak terjadi hemolisis, cairan dalam cawan bening, endapan
eritrosit terlihat nyata dengan batas pinggir rata .

Interpretasi hasil uji pengikatan komplemen


Hasil reaksi ditentukan berdasarkan terjadinya 50% hemolisis pada
pengenceran serum tertinggi . Serum dengan 'titer CFT 1/4 atau lebih
dikategorikan positif .

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan uji pendahuluan dengan menggunakan RBPT terhadap


495 sampel serum maka diperoleh sebanyak 20,3% sampel yang positif
terhadap brucellosis, yang terdiri dari 6,9% sampel asai Cijeruk ; 6,8% asal
Cisarua ; dan 6,6% asal Cibungbulang . Selanjutnya sebanyak 34 sampel yang
positif tersebut dianalisis dengan menggunakan teknik CFT .
Dengan teknik CFT ini terlihat bahwa 34 (6,8%) dari 495 sampel serum
darah sapi yang dianalisis, positif terhadap brucellosis . Secara umum, kasus
brucellosis di kabupaten Bogor masih terlihat cukup tinggi . Brucellosis pada
sapi perah di Indonesia, seperti yang dilaporkan oleh Sudibyo dan Ronohardjo
(1989) berkisar antara 0,2% - 11,8% dengan rata-rata 1,78% . Sementara itu

20 0
Lokakarya Fungsional Non Peneliti 1997

reaktor tertinggi dilaporkan tercatat di DKI Jakarta yang diikuti oleh Jatim,
Jateng dan Aceh masing-masing sebesar 11,8%, 8,3% ; 2,7% dan 0,2%
(Setiawan dkk ., 1995) .
Apabila dibandingkan dengan kejadian di masing-masing daerah ter-
sebut di atas maka hasil analisis pada sampel ini terlihat masih Iebih tinggi
dari Jateng dan Jatim . Risiko munculnya penyakit ini dikhawatirkan dapat
terjadi sewaktu-waktu apabila tidak dilakukan pengendalian penyakit secara
balk seperti vaksinasi yang teratur, terutama untuk daerah Kabupaten Bogor .
Hasil pemeriksaan serologis dengan uji pengikatan komplemen pada
serum sapi .

Tabel 1 . Hasil analisis sampel serum sapi asal kabupaten Bogor dengan
menggunakan teknik CFT

Daerah Asal Jumlah Negatif Positif

Kecamatan :
1 . Cijeruk 186 173 13 6,9
2 . Cisarua 294 274 20 6,8

3 . Cibungbulang 15 14 1 6,6

Jumlah : 495 461 34 6,8

KESIMPULAN

Hasil analisis ini menunjukkan bahwa penyakit (prevalensi) brucellosis


di Kabupaten Bogor masih cukup tinggi yaitu 6,8% . Tingkat penyakit (preva-
lensi) tersebut berada di atas rata-rata Indonesia sebesar 1,78% .
Oleh karena itu perlu dilakukan program pengendalian dan pemberan-
tasan penyakit secara ketat melalui vaksinasi yang teratur, pengawasan
lalulintas ternak baik antar propinsi maupun intra propinsi dan pengawasan
penyakit untuk daerah yang memiliki penyakit (prevalensi) yang tinggi .

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Drh . Agus Sudibyo MSiL dan
Dr. Endhie D . Setiawan MS atas dukungan dan saran yang telah diberikan
dalam penulisan makalah ini .

201
Lokakarya Fungsional Non Peneliti 1997

DAFTAR BACAAN

Alton, G .G ., L .M . Jones and D .E . Pietz . 1975 . Laboratory techniques in


brucellosis 2 nd ., WHO . Geneva .
Direktorat Jenderal Peternakan . 1981 . Penyakit Keluron menular (brucellosis) .
Pedoman Pengendalian Penyakit Hewan Menular . Bina Direktorat
Kesehatan Hewan Ditjen . Peternakan Jakarta .
Priadi, A ., R .G . Hirst, M . Soeroso dan C . Koesharyono . 1992 . Brucella Suis
Infection as Zoonosis in Java, Penyakit Hewan 24 : 110-112 .
Setiawan, E .D ., A . Sudibyo dan A . Priadi . 1995 . Brucellosis pada ternak dan
manusia . Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner . Jilid 1 .
Cisarua, 7-8 Nopember 1995 . 345-354 .
Sudibyo, A . dan P . Ronohardjo . 1989 . Brucellosis pada sapi perah . Prosiding
Pertemuan Ilmiah Ruminansia . Ruminansia besar, Jilid 1 :25-31 .
Sudibyo, A ., B .E . Patten, T .L . Spencer, Y . Mukmin dan Supartono . 1991 .
Study Brucellosis pada Sapi Perah di Jakarta . Laporan Penelitian tahun
1990/1991, Bogor Indonesia .
Sudibyo, A . 1995 . Penggunaan ELISA untuk diagnosa Brucellosis pada ternak
dan manusia . Laporan Teknis Penelitian T .A . 1994/1995 . Balitvet,
Bogor .

202

Anda mungkin juga menyukai