Anda di halaman 1dari 206

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Tanah merupakan hal penting bagi kehidupan manusia. Diatas tanah

manusia mencari nafkah. Diatas tanah pula manusia membangun rumah sebagai

tempat bernaung dan membangun berbagai bangunan lainnya untuk perkantoran

dan sebagainya. Tanah juga mengandung berbagai macam kekayaan alam yang

dapat dimanfaatkan manusia.1 Secara hakiki, makna dan posisi strategis tanah

dalam kehidupan masyarakat Indonesia, tidak saja mengandung aspek fisik, tetapi

juga aspek sosial, ekonomi, budaya, politik, pertahanan keamanan dan aspek

hukum. Tanah bagi masyarakat memiliki makna multidimensional. Dari sisi

ekonomi, tanah merupakan sarana produksi yang dapat mendatangkan

kesejahteraan. Secara politis tanah dapat menentukan posisi seseorang dalam

pengambilan keputusan masyarakat dan sebagai budaya yang dapat menentukan

tinggi rendahnya status sosial pemiliknya.2Aspek tersebut merupakan isu sentral

yang terkait sebagai satu kesatuan yang terintegrasi dalam pengambilan proses

kebijakan hukum pertanahan yang dilakukan pemerintah.3

Pemikiran tentang penguasaan tanah oleh negara berangkat dari

pemahaman atas ketentuan alinea keempat pembukaan UUD 1945 yaitu :

1
Adrian Sutedi, 2007, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum dalam Pengadaan Tanah
Untuk Pembangunan, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 45.
2
Husein Alting, 2010, Dinamika Hukum Dalam Pengakuan dan Perlindungan Hak
Masyarakat Hukum Adat Tanah (Masa Lalu, Kini dan Masa Mendatang), Lembaga Penerbitan
Universitas Khairun, Ternate, hal. 6.
3
Adrian Sutedi, loc.cit.

1
2

Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara


Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia, dan seluruh tumpah
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial
maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, yang terbentuk dalam
suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat
dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang
Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmah kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta
dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Pemerintah memiliki tanggungjawab sekaligus tugas utama untuk

melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Kata-

kata tumpah darah memiliki makna tanah air. Tanah air Indonesia meliputi bumi,

air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Kesemuanya itu ditujukan

untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut

melaksanakan ketertiban dunia. Negara melalui pemerintah mengupayakan agar

kekayaan alam yang ada di Indonesia meliputi yang terkandung di dalamnya

adalah dipergunakan utamanya untuk kesejahteraan bangsa Indonesia. Penjabaran

lebih lanjut lanjut dari kalimat ini dituangkan dalam Pasal 33 Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945).

Hak menguasai negara yang terdapat dalam Pasal 33 UUD 1945 termuat

dalam ayat (2) dan ayat (3). Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menyatakan : Bumi dan

air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan

dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Hak menguasai

negara merupakan suatu konsep yang mendasarkan pada pemahaman bahwa

negara adalah suatu organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat sehingga bagi

pemilik kekuasaan, upaya untuk mempengaruhi pihak lain menjadi sentral yang
3

dalam hal ini dipegang oleh negara. Tanah sebagai faktor produksi yang utama

harus berada di bawah kekuasaan negara. Tanah dikuasai oleh negara artinya

tidak harus dimiliki negara. Negara memiliki hak untuk menguasai tanah melalui

fungsi negara untuk mengatur dan mengurus (regelen en besturen). Negara

berwenang menentukan pengaturan dan penyelenggaraan peruntukan,

penggunaan, persediaan dan pemeliharaannya. Selain itu negara juga berwenang

menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai (bagian dari) bumi, air

dan ruang angkasa dan menentukan serta mengatur hubungan-hubungan hukum

antar orang-orang dan perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang

angkasa. Kewenangan negara dalam bidang pertanahan merupakan pelimpahan

tugas bangsa untuk mengatur dan memimpin penguasaan dan penggunaan tanah

bersama yang dipunyainya. 4

Dalam Pasal 2 ayat (1), (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960

tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 2043) (selanjutnya disingkat UUPA) disebutkan bahwa bumi,

air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu

pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan

seluruh rakyat. Menurut Pasal 2 ayat (2) UUPA, negara diberi wewenang untuk :

a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan


dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-
orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;

4
Winahyu Erwiningsih, 2009, Hak Menguasai Negara Atas Tanah, Total Media,
Yogyakarta, hal. 83.
4

c. Menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang-orang dan


perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang
angkasa.

Beberapa ahli seperti W.G Vegting dan Gaius berpendapat bahwa

negara tidak perlu mempunyai hak milik atas tanah atau hubungan negara dengan

tanah adalah bukan hubungan pemilikan sebab hubungan milik adalah kepunyaan

perseorangan yang merupakan bagian dari hukum alam.5 Ulpianus beranggapan

bahwa benda-benda yang dipergunakan untuk umum yang disebut dengan res

publicae adalah milik negara dan pemilikan oleh negara tersebut semu karena

negara tidak dapat melarang orang lain untuk mempergunakannya. Vegtig

memberi alasan mengapa negara dapat bertindak sebagai pemilik tanah yang

dipergunakan bagi kepentingan umum, yaitu : Pertama, adanya hubungan hukum

yang khusus antara negara dan tanah-tanah yang masuk kategori res pulicae in

publico usu yang merupakan penyimpangan dari res publicae in patrimonio

(benda-benda yang menjadi kekayaan masyarakat umum). Kedua, kekuasaan

hukum yang dijalankan negara terhadap tanah yang dipergunakan oleh umum,

mempunyai isi yang sama dengan kekuasaan hukum yang dilakukan negara

terhadap tanah-tanah lain yang digunakan secara tidak terbatas. Isi kekuasaan ini

memiliki karakter yang sama dengan kekuasaan milik perseorangan dalam hukum

perdata. Ketiga, tanah yang dipergunakan untuk kepentingan dinas umum seperti

bangunan perkantoran pemerintah, termasuk res publicae in publico usu sehingga

5
Ronald Z. Titahelu, 1993, Penetapan Asas-Asas Hukum Umum Dalam Penggunaan
Tanah Untuk Sebesar-besar Kemakmuran Rakyat, Disertasi Program Pascasarjana Universitas
Airlangga, Surabaya, hal. 191.
5

menjadi milik negara. Sifat kepemilikan dari negara adalah tidak mutlak tetapi

disebut sebagai pemilikan semu atau quasi proprium. 6

Pengaturan pengadaan tanah untuk kepentingan umum dan segala

pengaturan yang terkait di Indonesia telah mengalami perkembangan sejak

unifikasi7 UUPA. Pencabutan hak atas tanah telah mendapatkan penegasan dalam

Pasal 18 UUPA yang menyatakan bahwa: Untuk kepentingan umum, termasuk

kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak

atas tanah dapat dicabut dengan memberi ganti kerugian yang layak menurut cara

yang diatur dalam undang-undang.

Ketentuan Pasal 18 UUPA tersebut merupakan jaminan bagi rakyat

mengenai hak-haknya atas tanah yang tanahnya dicabut, tetapi diikat dengan

syarat-syarat yakni pemberian ganti kerugian yang layak. Termasuk hapusnya hak

milik itu karena pencabutan hak. Ketentuan Pasal 18 UUPA menggariskan bahwa

untuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-

hak atas tanah dapat dicabut dengan memberi ganti kerugian yang layak.

Pencabutan hak atas tanah merupakan jalan yang terakhir untuk memperoleh

tanah dan atau benda-benda lainnya yang diperlukan untuk kepentingan umum.

Dalam melakukan pencabutan hak-hak atas tanah tersebut, kepentingan pemilik

tanah tetap tidak boleh diabaikan. Selain wewenang yang ada pada pemerintah

6
Ronald Z. Titahelu, Op.cit, hal. 91-110.
7
UUPA telah mengakhiri dualisme hukum pertanahan di Indonesia, yang dengan tegas
telah mencabut Agrarische Wet (S. 18750-55), kemudian Domein Verklaring yang tersebut dalam
pasal 1 Agrarische Besluit, Domein Verklaring untuk Sumatera, Keresidenan Manado dan
Keresidenan Borneo, Koninklijk Besluit dan buku kedua dari Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata.
6

untuk melakukan pencabutan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 UUPA,

harus diberikan jaminan-jaminan bagi pemilik tanah.8

Pada era pemerintahan orde baru terdapat tiga masalah pokok dalam

rangka pelaksanaan UUPA. Tiga pokok permasalahan tersebut adalah pembuatan

peraturan pelaksanaan, penyesuaian kembali beberapa materi peraturan

perundang-undangan tertentu di bidang agraria dan pelaksanaan proses

pembebasan tanah. Pada masa orde baru tuntutan pembangunan nasional semakin

memperbesar kapasitas tuntutan atas tanah dan volume pengambilan tanah dari

masyarakat. Hal ini menjadi masalah karena kriteria kepentingan umum sebagai

alasan pencabutan hak belum diatur dalam peraturan perundang-undangan yang

proporsional. Pada tahun 1973 Presiden mengeluarkan Instruksi Presiden

Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1973 tentang Pelaksanaan Pencabutan Hak-

Hak Atas Tanah Dan Benda-Benda Yang Ada diatasnya, yang berisi pedoman

jenis-jenis kegiatan yang dapat dikategorikan kepentingan umum. Secara material

Inpres tersebut dapat dipakai tetapi secara formal, seharusnya materi yang begitu

penting tidak hanya diatur dalam sebuah Inpres yang biasanya bersifat teknis dan

einmalig. Materi Inpres itu seharusnya diatur dengan undang-undang karena

menyangkut hak rakyat banyak. Pemberian bentuk Inpres atas kriteria

kepentingan umum lebih merupakan tindakan pragmatis pemerintah dalam

melancarkan program-programnya.9

Menurut Moh. Mahfud MD ada kecendrungan untuk keperluan pragmatis

pada era orde baru ini dibuat beberapa peraturan perundangan agraria secara
8
Adrian Sutedi, Op. cit, hal. 89.
9
Winahyu Erwiningsih, Op. cit, hal 175.
7

parsial dengan watak yang konservatif.10 Kecendrungan ini terlihat misalnya

dengan adanya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 tentang

Ketentuan-Ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah dan Instruksi

Presiden Nomor 9 Tahun 1973 tentang Pedoman-Pedoman Pencabutan Hak-Hak

Atas Tanah dan Benda-Benda Yang Ada Diatasnya. Kedua peraturan perundang-

undangan ini jika dilihat dari materinya lebih proporsional untuk dituangkan

dalam bentuk undang-undang. Tuntutan pragmatis telah membawa pemerintah

untuk melahirkannya hanya dalam bentuk Peraturan Menteri dan Instruksi

Presiden. Kedua bentuk peraturan perundang-undangan tersebut jelas sangat tidak

partisipatif karena secara formal hanya dilakukan secara sepihak oleh pemerintah

dan dengan sendirinya tidak aspiratif karena tidak membuka saluran secara wajar

bagi masuknya aspirasi masyarakat. 11

Pencabutan, pembebasan dan pelepasan hak-hak atas tanah tidak hanya

dilakukan oleh pemerintah untuk pembangunan berbagai proyek pemerintah,

namun juga diperuntukkan bagi proyek pembangunan untuk kepentingan umum

oleh pihak swasta tetapi pelaksanaannya dilakukan dalam bentuk dan cara yang

berbeda. Pemerintah melaksanakan pembebasan, untuk proyek pemerintah atau

proyek fasilitas umum seperti kantor pemerintah, jalan raya, pelabuhan laut,

pelabuhan udara dan sebagainya. Adapun tujuan pembebasan dilakukan oleh

10
Produk hukum yang konservatif lebih didominasi oleh lembaga-lembaga negara
terutama pihak eksekutif (sentralistis) dan lebih mencerminkan kehendak atau memberikan
justtifikasi bagi kehendak-kehendak dan program pemerintah. Hukum konservatif biasanya
memuat hal-hal yang pokok-pokok dan ambigu sehingga memberi peluang luas bagi pemerintah
untuk membuat penafsiran secara sepihak melalui berbagai peraturan pelaksana (interpretatif).
11
Moh. Mahfud MD, 1998, Politik Hukum di Indonesia, PT Pustaka LP3ES Indonesia,
Jakarta, hal. 354.
8

pihak swasta dipergunakan untuk pembangunan berbagai fasilitas umum yang

bersifat komersial misalnya : pembangunan perumahan/real estate, pusat pusat

perbelanjaan/shopping centre, pembangunan jalan bebas hambatan, dan lain-

lain.12

Ketentuan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang

Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Kepentingan Umum (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 5280), patut disimak pula mengenai jenis kepentingan

umum. Adapun ketentuan tersebut menyatakan sebagai berikut :

Tanah untuk Kepentingan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4


ayat (1) digunakan untuk pembangunan :
a. Pertahanan dan keamanan nasional;
b. Jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta api,
dan fasilitas operasi kereta api;
c. Waduk, bendungan, bendung, irigasi, saluran air minum, saluran
pembuangan air dan sanitasi, dan bangunan pengairan lainnya;
d. Pelabuhan, bandar udara, dan terminal;
e. Infrastruktur, minyak, gas dan panas bumi;
f. Pembangkit, transmisi, gardu, jaringan dan distribusi tenaga listrik;
g. Jaringan telekominikasi dan informatika pemerintah;
h. Tempat pembuangan dan pengolahan sampah;
i. Rumah sakit Pemerintah/Pemerintah Daerah;
j. Fasilitas keselamatan umum;
k. Tempat pemakaman umum Pemerintah/Pemerintah Daerah;
l. Fasilitas sosial, fasilitas umum, dan ruang terbuka hijau publik;
m. Cagar alam dan cagar budaya;
n. Kantor pemerintah/Pemerintah Daerah/desa;
o. Penataan pemukiman kumuh perkotaan dan/atau konsolidasi tanah,
serta perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah dengan
status sewa;
p. Prasarana pendidikan atau sekolah Pemerintah/Pemerintah Daerah;
q. Prasarana olahraga Pemerintah/Pemerintah Daerah; dan
r. Pasar umum dan lapangan parkir umum.

12
Adrian Sutedi, Op.cit, hal.46.
9

Menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang

Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum : Pengadaan

tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian

yang layak dan adil kepada pihak yang berhak. Terdapat pendapat keliru, bahwa

dengan liberalisasi sistem perdagangan maka untuk mengundang investor asing

perlu dirombak peraturan-peraturan hukum tanah nasional yang tidak sesuai

dengan peraturan yang berlaku di negara lain, tanpa memperhatikan sistem yang

berlaku dan konsep yang mendasarinya. Perombakan yang demikian dapat

diistilahkan change for the sake of change atau mengubah asal-asalan.

Hendaknya dipahami bahwa perbedaan yang ada tidak dimaksudkan untuk

menghambat tetapi bahwa pengembangan prinsip-prinsip hukum tanah dalam

rangka menjawab kebutuhan tersedianya perangkat hukum tertentu harus

didasarkan pada kerangka konsep yang ada.13

Dalam praktiknya dikenal 2 (dua) jenis pengadaan tanah, pertama

pengadaan tanah oleh pemerintah untuk kepentingan umum dan kedua pengadaan

tanah untuk kepentingan swasta yang meliputi kepentingan kepentingan komersial

dan bukan komersial atau bukan sosial.14 Pengadaan tanah untuk kepentingan

umum merupakan salah satu manifestasi dari fungsi sosial hak atas tanah.

Pengadaan tanah dipandang sebagai langkah awal dari pelaksanaan pembangunan

yang merata untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat atau masyarakat itu sendiri,

13
Maria S.W Sumardjono, 2009, Tanah Dalam Persepektif Hak Ekonomi Sosial dan
Budaya, PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta, (selanjutnya disingkat Maria S.W Sumardjono I),
hal. 22.
14
Bernhard Limbong, 2011, Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan:Regulasi,
Kompensasi Penegakan Hukum, Pustaka Margareta, Jakarta, (Selanjutnya disingkat Bernhard
Limbong I), hal. 129.
10

baik yang akan digunakan untuk kepentingan umum maupun kepentingan swasta.

Pengadaan tanah untuk pembangunan hanya dapat dilakukan atas dasar dan

bentuk ganti rugi yang diberikan kepada pemegang hak atas tanah itu sendiri.15

Secara normatif, pengadaan tanah itu berhubungan dengan kegiatan untuk

mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang

melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda yang

berkaitan dengan tanah. Sehubungan dengan itu, pengadaan tanah menyangkut

dua sisi dimensi harus ditempatkan secara seimbang, yaitu kepentingan

masyarakat dan kepentingan pemerintah.16 Tanah merupakan hal penting dalam

kehidupan manusia mengingat sebagian besar kehidupan bergantung pada tanah.

Sedemikian penting fungsi dan peran tanah bagi kehidupan manusia maka perlu

adanya landasan hukum yang menjadi pedoman dan sebagai bentuk jaminan

kepastian hukum, dalam pelaksanaan dan penyelesaian pertanahan, khususnya

pada persoalan pengadaan hak atas tanah untuk kepentingan umum. 17

Pembebasan lahan merupakan sebuah permasalahan global dan kompleks,

karena itu sistem administrasi tanah harus mampu mengelola pembebasan lahan

untuk pembangunan yang penting, pengembangan sektor swasta dan perubahan

penggunaan lahan dalam merespon tuntutan sosial dan ekonomi. Ditinjau dari

persepektif sempit, pembebasan tanah membentuk persimpangan proses yang

efektif yang mengelola pasar tanah, mencatat hak penggunaan tanah dan

mengimplementasikan perencanaan penggunaan lahan. Pembebasan tanah

15
Ibid, hal. 131.
16
Ibid.
17
Fauzi Noer, 1997, Tanah dan Pembangunan, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta,
(selanjutnya disingkat Fauzi Noer I), hal. 7.
11

merupakan isu lintas sektor yang kompleks-suatu masalah yang didekati di setiap

negara, tentu saja dalam setiap yurisdiksi lokal, sesuai dengan proses yang diambil

dari berbagai fungsi administrasi pertanahan, dan sering dari persepektif sejarah.

Negara negara berkembang kurang mengekspresikan dengan jelas teori yang

mendukung kekuasaan negara untuk memperoleh tanah. Titik awal di negara

berkembang ini, terletak pada bingkai kerangka konstitusional yang jelas dan

komprehensif dan hukum yang membentuk dasar untuk mengambil tanah.

Idealnya dalam pengambilan tanah harus menggabungkan standar hak asasi

manusia untuk pemukiman kembali, tingkat kompensasi yang memadai dan yang

mencerminkan kebutuhan dan harapan masyarakat.18

Pembebasan tanah tidak hanya dilakukan untuk sektor publik tetapi juga

sektor swasta. Asal manajemen perubahan spasial dan pelaksanaan struktur fisik

memastikan penggunaan tanah tersebut untuk tujuan yang tepat. Sektor publik

biasanya hanya memiliki sumber daya yang memadai untuk melaksanakan seluruh

kegiatan yang diperlukan sedangkan sektor swasta mungkin perlu inisiatif

tambahan dan daya dukung resiko.

Investasi sektor swasta membutuhkan kapasitas dan prosedur untuk

mencapai hasil yang diinginkan, termasuk margin keuntungan yang harus

ditetapkan melalui undang-undang. Sebuah strategi kunci bagi sektor publik

adalah menyediakan infrastruktur lokal dan pelayanan publik yang relevan,

khususnya fasilitas kesehatan dan pendidikan. Selain itu, mendorong individu dan

perusahaan swasta untuk menempatkan dirinya di daerah yang sesuai dengan

18
Bernhard Limbong I, Op.cit, hal. 249.
12

rencana penggunaan lahan yang mencerminkan kebutuhan dari masyarakat yang

lebih luas dan berkembang. 19

Contoh kasus pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang

diselenggarakan oleh badan usaha swasta : perkara pencabutan hak atas tanah

untuk pembangunan proyek Pulomas. Didorong oleh orientasi dasar dalam

kebijakan pertanahan mengenai penyediaan lahan untuk perumahan, diambil

kebijakan penyediaan lahan untuk proyek Perumahan Pulomas. Kebijakan ini

merangsang pemerintah menguasai sebanyak mungkin untuk kepentingan

pembangunan perumahan ke daerah lain. Untuk kelancaran pembangunan

perumahan di Pulomas, Pemerintah DKI Jakarta menempuh kebijakan yaitu

dengan membentuk yayasan Perumahan Pulomas dengan Keputusan Gubernur

Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya No IX/3/14/64 tanggal 24 Agustus

1964. Yayasan perumahan Pulomas juga ditugaskan untuk menyediakan tanah di

Pulomas. Yayasan perumahan Pulomas adalah suatu badan hukum biasa yang

tunduk pada hukum perdata umum sebagai swasta oleh karena itu kepentingannya

tidak dapat disamakan begitu saja dengan kepentingan negara, atau kepentingan

umum, karena bagaimanapun juga modal dasar yayasan adalah harta kekayaan

yang sudah dipindahkan/dipisahkan. Jadi sekalipun modal itu berasal dari Pemda

DKI Jakarta, namun ia sudah terpisah dan berdiri sendiri sehingga modal itu tidak

dapat dikatakan atau dipandang berstatus modal negara. Dengan demikian

yayasan perumahan Pulomas berdiri sendiri, sebagai badan hukum, tidaklah dapat

19
Bernhard Limbong I, Op.cit, hal. 250.
13

diberikan begitu saja wewenang penguasaan kepada yayasan Perumahan Pulomas.


20
.

Semakin terbukanya negara Indonesia bagi pelaku bisnis asing yang

menambah maraknya percaturan permaanfataan tanah, hendaknya tidak semakin

mempertajam polarisasi antara kelompok yang kuat dengan kelompok yang lemah

dalam penguasaan tanah. Dalam berbagai kegiatan ekonomi tampil tiga pelaku di

dalamnya, yakni negara/pemerintah, pihak swasta dan masyarakat. Masing-

masing mempunyai posisi tawar-menawar yang berbeda karena perbedaan di

dalam akses terhadap modal dan akses politik berkenaan dengan tanah yang

terbatas.21

Tanah dan pembangunan merupakan dua entitas yang tidak dapat

dipisahkan. Secara sederhana dikatakan bahwa tidak ada pembangunan tanpa

tanah. Pembangunan selalu membutuhkan tapak untuk perwujudan proyek-

proyek, baik yang dijalankan oleh instansi dan perusahaan milik pemerintah

sendiri, maupun perusahaan milik swasta. Hubungan pembangunan dan tanah

bukan hanya melingkupi aspek ekonomi namun juga politik. Sebagai alas hidup

manusia, tanah dengan sendiri menempatkan posisi yang vital, atas pertimbangan

karakternya yang unik sebagai benda yang tak tergantikan, tidak dapat

dipindahkan dan tidak dapat direproduksi.22

20
Adrian Sutedi, Op. cit, hal. 317.
21
Maria S.W Sumardjono I, Op.cit, hal. 23.
22
Winahyu Erwiningsih, Op. cit, hal. 270.
14

Faktor-faktor yang menyebabkan hambatan bagi penyelenggaraan

pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum oleh pihak swasta

antara lain:

1. Faktor Politik

Pertarungan orientasi yang menjadi dasar politik pertanahan antara

pemerintah dengan rakyat bermuara pada makin meningkatnya sengketa

pertanahan di Indonesia yang melibatkan rakyat, pemerintah dan swasta. Sejarah

membuktikan bahwa pemerintah mempunyai orientasi politik tersendiri yang

terkesan dipaksakan keberlakuannya pada masyarakat. Siapa menguasai sumber-

sumber agraria, dia menguasai ekonomi. Siapa menguasai ekonomi, pada

gilirannya dia menguasai percaturan politik. Jabaran praktisnya secara sederhana

adalah bahwa sikap politik adalah sikap keberpihakan. Berpihak kepada

kepentingan rakyat atau kepentingan-kepentingan lain. Masalah pengadaan tanah

di Indonesia merupakan persoalan yang cukup pelik. Hal ini karena masalah

pengadaan tanah lebih dilihat sebagai kesepakatan politik daripada kebenaran

ilmiah, yang menyangkut lintas departemen. Pembaharuan masalah pengadaan

tanah adalah masalah ideologi pembangunan. Disadari atau tidak, gagasan

bertarung itu mencerminkan keberpihakannya masing-masing kepentingan pihak-

pihak yang berkuasa. Sebagai salah satu arena pertarungan, tentu ada yang

menang ada yang kalah atau terjadi suatu kedudukan seri yang akhirnya

melahirkan sikap kompromi.


15

2. Faktor Sosial Budaya

Suatu ketika tanah menjadi bagian dari benda warisan atau harta

perusahaan bahkan tanah di banyak tempat menjadi benda yang keramat. Menurut

hukum adat manusia dengan tanahnya mempunyai hubungan yang kosmis-magis-

religius selain hubungan hukum. Hubungan ini bukan saja antara individu dan

tanah, tetapi dapat juga antar sekelompok anggota masyarakat suatu persekutuan

hukum adat (rechtsgemeentschap) dalam hubungannya dengan hak ulayat.23

Hak milik perseorangan dalam tradisi sosial diakui dalam perundang-

undangan dan memperoleh tempat dalam fungsinya yang bersifat sosial.

Walaupun UUD 1945 tidak menyebutkan secara eksplisit bahwa pemilikan secara

perseorangan adalah sah, namun jelas memberi ruang luas kepada warga negara

untuk secara perseorangan menghaki barang-barang yang diperlukan untuk

mempertahankan martabat kemanusiaannya, mengembangkan pribadi dan

bakatnya dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Sumber hak milik itu

adalah hak ulayat yang menurut hukum adat adalah hukum asli bangsa Indonesia,

artinya hak bersama atau hak masyarakat. Pemahaman ini hak milik perseorangan

dilekati fungsi sosial, yang artinya tanah milik perseorangan bukan saja

dipergunakan tanpa merugikan orang lain, justru harus diletakkan dalam rangka

pemanfaatan untuk kesejahteraan umum.24Ada kecendrungan terdesaknya hak-hak

masyarakat adat atau masyarakat lokal terhadap sumber daya alam yang menjadi

ruang hidupnya (lebensraum), baik karena diambil alih secara formal oleh pihak

lain (dengan atau tanpa kerugian yang memadai) atau karena tidak diakuinya
23
Winahyu Erwiningsih, Op.cit, hal.252.
24
Winahyu Erwiningsih, Op.cit, hal. 249.
16

(secara langsung atau tidak langsung), hak-hak masyarakat adat/masyarakat lokal

atas sumber daya alam termasuk tanah oleh negara.25

Pendekatan ini menempatkan institusi dan mekanisme sosial budaya yang

tumbuh dan berkembang dalam masyarakat sebagai instrumen alternatif

penyelesaian sengketa tanah. Penggunaan norma-norma hukum adat sebagai

pelengkap tanah yang tertulis harus tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan

UUPA. Dalam pandangan rakyat, tanah bukan saja sekedar permukaan bumi,

tetapi juga merupakan bagian yang menyeluruh dari kehidupannya. Sengketa

perdata adat mengenai tanah seringkali tidak mudah diselesaikan apalagi jika

tidak dipahami benar tradisi pada masyarakat setempat.

3. Faktor Hukum

Dilihat pergeseran paradigma baru dari era Orde Baru, tanah memiliki

pergeseran nilai, yaitu dari tanah yang dikelola bersama (sosial) berubah menjadi

skema pasar dalam era reformasi ini. Pendekatan sebelumnya yang kapitalistik

harus diubah dengan pendekatan yang lebih populistik. Reformasi agraria (Land

Reform) adalah contoh nyata paradigma populistik yang berorientasi pada

kepentingan rakyat banyak. Contoh lain adalah penolakan sejumlah pihak

terhadap pasal yang bernuansa kapitalistik dalam RUU Pengadaan Tanah yang

kini menjadi Undang-Undang adalah bukti telah terjadi perubahan paradigma.

Misalnya yang termuat dalam draft RUU Pengadaan Tanah dalam Pasal 4

disebutkan bahwa : Pengadaan lahan untuk kepentingan pembangunan. Pengadaan

lahan untuk kepentingan pembangunan meliputi : pengadaan tanah untuk

25
Winahyu Erwiningsih, Op.cit, hal. 255.
17

kepentingan umum dan pengadaaan tanah untuk kepentingan swasta. Dalam draft

RUU tersebut menunjukkan definisi kepentingan pembangunan yang mengerucut

pada dua hal, yaitu : kepentingan umum dan kepentingan usaha swasta.

Kepentingan umum mewakili public purposes sementara kepentingan usaha

swasta mewakili private purposes. Pertanyaan dasar adalah apakah private

purposes diberikan kedudukan urgensi yang sama sebagaimana terjadi pada public

purposes.

Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang

Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum disebutkan:

Pembangunan untuk Kepentingan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10

huruf b sampai dengan huruf r wajib diselenggarakan Pemerintah dan dapat

bekerjasama dengan Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah atau

Badan Usaha Swasta. Membaca undang-undang merupakan proses berpikir yang

cenderung reaktif karena mendasarkan penilaian lebih pada apa yang tersurat atau

bersifat harafiah semata, sedangkan memahami undang-undang merupakan proses

berpikir reflektif yang menunjukkan upaya untuk tidak sekadar berhenti pada hal-

hal yang bersifat harafiah semata, namun berusaha menemukan makna yang

tersirat yang justru tidak tampak dari bunyi pasal tersebut.26

Tidak mudah untuk membaca undang-undang, karena tidak hanya sekedar

bunyi kata-kata saja, tetapi harus mencari arti, makna atau tujuannya. Membaca

undang-undang tidak cukup dengan membaca pasal-pasalnya saja, tetapi harus

dibaca penjelasan dan konsiderannya. Jika hukum dikatakan sebagai suatu sistem,
26
Maria S.W Sumardjono, 2009, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan
Implementasi, PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta, (selanjutnya disingkat Maria S.W
Sumardjono II), hal. 190.
18

maka untuk memahami suatu pasal dalam undang-undang sering harus dibaca

pasal-pasal lain dalam suatu peraturan perundang-undangan yang lain.27

Undang-undang sebagaimana kaidah pada umumnya, berfungsi untuk

melindungi kepentingan manusia, sehingga harus dilaksanakan atau ditegakkan.

Undang-Undang harus diketahui oleh umum, tersebar luas dan harus jelas.

Kejelasan undang-undang sangatlah penting. Setiap undang-undang selalu

dilengkapi dengan penjelasan yang dimuat di dalam Tambahan Lembaran Negara.

Sekalipun nama dan maksudnya sebagai penjelasan, namun seringkali terjadi

penjelasan tersebut tidak juga memberi kejelasan, karena hanya dinyatakan cukup

jelas, padahal teks undang-undang tidak jelas dan memerlukan penjelasan. 28

Ketentuan undang-undang yang berlaku umum dan bersifat abstrak, tidak

dapat diterapkan begitu saja secara langsung pada peristiwa kongkret, oleh karena

itu ketentuan undang-undang harus diberi arti, dijelaskan atau ditafsirkan dan

disesuaikan dengan peristiwanya untuk diterapkan pada peristiwanya itu.

Peristiwa hukumnya harus dicari lebih dahulu dari peristiwa kongkretnya,

kemudian undang-undangnya ditafsirkan untuk dapat diterapkan.29 Peraturan

perundang-undangan yang tidak jelas, tidak lengkap, bersifat statis dan tidak dapat

mengikuti perkembangan masyarakat, dan hal itu menimbulkan ruang kosong

maka harus diisi dengan menemukan hukumnya yang dilakukan dengan cara

menjelaskan, menafsirkan atau melengkapi peraturan perundang-undangannya.

27
Sudikno Mertokusumo, 2001, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Jakarta,
hal. 50.
28
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, 1993, Bab-Bab tentang Penemuan Hukum, Citra
Aditya, Jakarta, hal. 12.
29
Ibid.
19

Upaya untuk memahami Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan

Umum tidak terdapat penjelasan yang memadai, lengkap dan tuntas mengenai

maksud pasal ini. Ketiadaan penjelasan yang detail menyebabkan maksud-maksud

tersembunyi di balik pasal dibenarkan. Ketiadaan penjelasan yang tuntas

menguatkan dugaan mengenai besarnya kepentingan modal di balik undang-

undang ini. Sehingga pengaturan mengenai pernormaan sebagai penyebab

hambatan penyelenggaraan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk

kepentingan umum. Dapat dianalisa bahwa Pasal 12 ayat (1) tersebut tidak secara

eksplisit memberikan dasar hak bagi swasta untuk menyelenggarakan pengadaan

tanah untuk kepentingan umum. Disini terjadi kekosongan hukum, oleh karena itu

penulis tertarik untuk membuat sebuah karya tulis yang berjudul : Pengaturan

Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum oleh Badan Usaha

Swasta.

Dalam penelitian ini, peneliti telah membandingkan dengan beberapa

penelitian sebelumnya yang juga membahas tentang pertanahan. Adapun

penelitian yang mirip dengan penelitian ini antara lain:

a. Penelitian dari I Dewa Gede Putra Joni Dharmawan K. SH, Program Studi

Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro, Tahun 2007, dengan

judul: Pelaksanaan Pengadaan Tanah Asal Hak Milik Adat Untuk

Kepentingan Umum Di Kecamatan Dawan Kabupaten Klungkung

Propinsi Bali (Studi Kasus Pembuatan Jalan By Pass Tohpati-Kusamba).

Rumusan masalah yang terdapat dalam penelitian ini adalah :


20

1. Bagaimanakah pelaksanaan pengadaan tanah hak milik adat (Pura)

untuk kepentingan umum di Kecamatan Dawan, Kabupaten

Klungkung, Propinsi Bali?

2. Apakah faktor pendukung dan faktor penghambat pengadaan

tanah hak milik adat (Pura) untuk kepentingan umum guna

pembuatan jalan By Pass Tohpati-Kusamba di Kabupaten

Klungkung?

3. Bagaimanakah penyelesaian pemberian ganti rugi dalam

pengadaan tanah hak milik adat (Pura) untuk kepentingan umum?

b. Penelitian dari Tri Andari Dahlan. SH, Program Studi Magister

Kenotariatan Universitas Diponegoro, Tahun 2007, dengan judul:

Pelaksanaan Pengadaan Tanah Guna Proyek Pembangunan Waduk

Jatibarang di Kota Semarang. Rumusan masalah yang terdapat dalam

penelitian ini :

1. Bagaimana pelaksanaan pengadaan tanah guna proyek

pembangunan Waduk Jatibarang di Kota Semarang?

2. Apakah dampak dari pelaksanaan pengadaan tanah bagi pemilik

tanah yang terkena proyek pembangunan Waduk Jatibarang di

Kota Semarang?

3. Apa saja hambatan-hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan

pengadaan tanah guna proyek pembangunan Waduk Jatibarang di

Kota Semarang tersebut dan bagaimana cara mengatasinya?


21

c. Penelitian dari Sonny Djoko Marlijanto SH, Program Studi Magister

Kenotariatan Universitas Diponegoro, Tahun 2010, dengan judul:

Konsinyasi Ganti Rugi Dalam Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan

Umum (Studi Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan Proyek Jalan Tol

Semarang-Solo di Kabupaten Semarang). Rumusan masalah yang terdapat

dalam penelitian ini:

1. Bagaimana mekanisme konsinyasi ganti rugi atas tanah yang

digunakan untuk Pembangunan Proyek Jalan Tol Semarang Solo

di Kabupaten Semarang?

2. Hambatan-hambatan apa yang timbul dalam mekanisme ganti rugi

atas tanah yang digunakan untuk Pembangunan Proyek Jalan Tol

Semarang Solo di Kabupaten Semarang?

3. Bagaimana proses pengadaan tanah untuk kepentingan umum

dalam rangka Pembangunan Proyek Jalan Tol Semarang Solo di

Kabupaten Semarang serta pengaruhnya terhadap pemilik hak atas

tanah yang terkena proyek tersebut?

Dari uraian penelitian diatas tidak ditemukan kesamaan, sehingga tingkat

originalitas penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan.

1.2 Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang diatas maka dapat diuraikan rumusan masalah

sebagai berikut:

1. Mengapa Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan

Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum tidak mengatur


22

secara eksplisit dasar hak bagi swasta untuk menyelenggarakan

pengadaan tanah untuk kepentingan umum?

2. Bagaimanakah pengaturan hak bagi swasta dalam menyelenggarakan

pengadaan tanah untuk kepentingan umum?

1.3 Tujuan Penulisan

1.3.1 Tujuan Umum

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk pengembangan ilmu hukum,

khususnya Hukum Agraria, yaitu mengenai pengaturan penyelenggaraan tanah

untuk kepentingan umum khususnya terkait dengan badan usaha swasta.

1.3.2 Tujuan khusus

Di samping tujuan umum tersebut di atas, penelitian ini secara spesifik

diharapkan mampu:

1. Untuk mengetahui dan menganalisa latar belakang serta tujuan Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi

Pembangunan untuk Kepentingan Umum tidak mencantumkan secara

eksplisit dasar kewenangan bagi swasta untuk menyelenggarakan

pengadaan tanah untuk kepentingan umum.

2. Untuk mengetahui secara komprehensif mengenai pengaturan dasar hak

pengadaan tanah untuk kepentingan umum.

1.4 Manfaat Penulisan

Penulis berharap penelitian ini dapat memberi manfaat bagi

pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya serta memiliki kegunaan praktis

pada khususnya sehingga penelitian ini bermanfaat secara teoritis dan praktis.
23

1.4.1 Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat dan menjadi sumbangan

pemikiran bagi pengembangan substansi disiplin bidang ilmu hukum Agraria,

terutama mengenai permasalahan aspek pengadaan tanah bagi pembangunan

untuk kepentingan umum.

1.4.2 Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaaat praktis yaitu

memberikan sumbangan pemikiran terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam

penyelenggaraan pengadaan tanah bagi kepentingan umum.

1. Bagi masyarakat, dapat memberikan sumbangan pengetahuan di bidang

hukum, khususnya dalam bidang hukum agraria, serta dapat dipakai

sebagai acuan dalam menentukan peranan badan usaha swasta dalam

penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan umum.

2. Bagi instansi pertanahan, dapat dipakai sebagai bahan evaluasi dan lebih

memperjelas yang menjadi dasar-dasar ketentuan tentang pengaturan

penyelenggaraan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan

umum.

3. Bagi peneliti, disamping untuk kepentingan penyelesaian studi juga untuk

menambah pengetahuan serta wawasan di bidang hukum agraria

khususnya mengenai penyelenggaraan pengadaan tanah bagi

pembangunan untuk kepentingan umum


24

1.5 Landasan Teoritis

1. Konsep Negara Kesejahteraan

Industri dan bisnis memerlukan tingkat rasionalitas yang tinggi.

Konsekuensinya hukum harus didasarkan atas prinsip rasional. Aturan hukum

menetapkan batas-batas tindakan individu dalam hidup bermasyarakat. Hukum

dalam hal ini ditujukan untuk memobilisasi dan mengalokasikan sumber-sumber

daya alam yang diperlukan dalam ekonomi pasar.30

Negara kesejahteraan lahir akibat adanya the great depression pada tahun

1929 yang melanda negara-negara Barat yang menganut laissez faire. Pada tahun

1930an muncul seorang ekonom Inggris, John Maynard Keynes yang

menganjurkan bahwa pemerintah dapat mencampuri kegiatan ekonomi apabila

diperlukan dengan tujuan menyejahterahkan rakyat. Hukum dalam perkembangan

ekonomi saat itu, digunakan sebagai suatu instrument intervensi pemerintah dalam

mencapai tujuannya. Hal itu merupakan jawaban terhadap kebutuhan regulasi

ekonomi dan aktivitas sosial karena adanya ketimpangan dalam hidup

bermasyarakat. Hukum secara langsung mengatur tingkah laku dalam hidup

bermasyarakat dan bukan memberi kebebasan kepada individu. Seiring dengan

perubahan bentuk kehidupan bernegara tersebut, tujuan hukum bukan lagi

memobilisasi dan mengalokasikan sumber-sumber daya alam, melainkan

diserahkan kepada pemerintah untuk apa itu hukum dalam kerangka negara

kesejahteraan.31

30
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta, (selanjutnya
disingkat Peter Mahmud Marzuki I), hal. 135.
31
Ibid.
25

Di Inggris, welfare state dipahami sebagai alternatif terhadap The Poor

Law yang kerap menimbulkan stigma karena hanya ditujukan untuk memberi

bantuan bagi orang-orang miskin.32 Berbeda dengan sistem dalam The Poor Law,

kesejahteraan negara difokuskan pada penyelenggaraan sistem perlindungan sosial

yang melembaga bagi setiap orang sebagai cerminan dari adanya hak

kewarganegaraan (right of citizenship) disatu pihak, dan di pihak lain kewajiban

negara (state obligation). Kesejahteraan negara ditujukan untuk menyediakan

pelayanan-pelayanan sosial bagi seluruh penduduk, orangtua, dan anak-anak, pria

dan wanita, kaya dan miskin, sebaik dan sedapat mungkin. Welfare state berupaya

untuk mengintegrasikan sistem sumber dan menyelenggarakan jaringan pelayanan

yang dapat memelihara dan meningkatkan kesejahteraan (well-being) warga

negara secara adil dan berkelanjutan. Negara kesejahteraan sangat erat kaitannya

dengan kebijakan sosial (social policy) yang di banyak negara mencakup strategi

dan upaya-upaya pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan warga

negaranya, terutama melalui perlindungan sosial (social protection) yang

mencakup jaminan sosial, baik berbentuk bantuan sosial dan asuransi sosial

maupun jaring pengaman sosial (social safety nets).

Menurut Bessant, Watts, Dalton dan Smith, ide dasar negara kesejahteraan

bermula dari abad ke-18 ketika Jeremy Bentham (1748-1832) mempromosikan

gagasan bahwa pemerintah memiliki tanggungjawab untuk menjamin the greatest

happiness (atau welfare) of the greatest number of their citizens. Bentham

menggunakan istilah utility (kegunaan) untuk menjelaskan konsep kebahagiaan

32
Bernhard Limbong I, Op.cit, hal. 75.
26

atau kesejahteraan. Berdasarkan prinsip utilitarianisme yang ia kembangkan,

Bentham berpendapat bahwa sesuatu yang dapat menimbulkan kebahagiaan ekstra

adalah sesuatu yang baik. Sebaliknya sesuatu yang menimbulkan sakit adalah

buruk. Menurutnya aksi-aksi pemerintah harus selalu diarahkan untuk

meningkatkan kebahagian sebanyak mungkin orang. Gagasan Bentham mengenai

reformasi hukum, peranan konstitusi, dan penelitian sosial bagi pengembangan

kebijakan sosial.33

Pencetus teori welfare state yaitu R. Kranenburg, menyatakan bahwa

negara harus secara aktif mengupayakan kesejahteraan, bertindak adil yang dapat

dirasakan seluruh masyarakat secara merata dan seimbang, bukan

menyejahterahkan golongan tertentu, namun seluruh rakyat. Sangat ceroboh jika

pembangunan ekonomi dinafikan dan pertumbuhan ekonomi hanya dipandang

dan dikonsentrasikan pada angka persentase belaka. Kesejahteraan rakyat adalah

indikator yang sesungguhnya.

Unsur dan karakteristik negara kesejahteraan menurut pendapat De Haan

sebagai berikut :

1. Undang-undang dasar memberikan perlindungan sosial secara


khusus yang menjadi sumber hukum dari semua peraturan
perundang-undangan dalam urusan sosial.
2. Menciptakan kewajiban bagi pemerintah untuk berusaha
mengadakan segala kebutuhan rakyat dalam berbagai hal yang
benar-benar nyata sesuai dengan yang dicita-citakan dalam undang-
undang dasar.
3. Undang-undang harus membangkitkan jaminan pengadaan sosial
yang baru yang lebih mendorong pemberdayaan hak-hak rakyat.

33
Bernhard Limbong I, Op.cit, hal. 76, dikutip dari Judith Bessant et.al. 2006, Talking
Policy : How Social Policy in Made, Allen and Unwin, Crows Nest.
27

4. Dalam berbagai hal yang tidak bertentangan Undang-Undang


Dasar terlebih dahulu harus dikonsultasikan dengan parlemen. 34

Merujuk pada rumusan tujuan negara yang tercantum dalam alinea

keempat Pembukaan UUD 1945 khususnya pada redaksi memajukan

kesejahteraan umum terdapat pendapat bahwa Indonesia menganut paham negara

kesejahteraan, seperti Azhary dan Hamid S. Atamimi. Azhary mengatakan bahwa

negara yang ingin dibentuk oleh bangsa Indonesia ialah negara kesejahteraan.35

Pada bagian lain, dikatakan oleh Azhary kalau di Barat negara kesejahteraan baru

dikenal sekitar tahun 1960, maka bangsa Indonesia sudah merumuskannya pada

tahun 1945 oleh Soepomo Bapak Konstitusi di Indonesia.36 Pada saat perumusan

UUD 1945, dikatakan oleh Yamin bahwa negara yang akan dibentuk itu hanya

semata-mata untuk seluruh rakyat untuk kepentingan seluruh bangsa yang akan

berdiri kuat dalam negara yang menjadi kepunyaannya. Kesejahteraan rakyat

yang menjadi dasar dan tujuan negara Indonesia merdeka ialah pada ringkasnya

keadilan masyarakat atau keadilan sosial.37 Menurut Hamid S.Attamimi bahwa

negara Indonesia memang sejak didirikan bertekad menetapkan dirinya sebagai

negara yang berdasar atas hukum, sebagai Rechtsstaat. Rechtsstaat Indonesia itu

ialah Rechtsstaat yang memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan

bangsa dan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

34
Winahyu Erwiningsih, Op.cit, hal. 15, dikutip dari De Haan P. et.al. 1986, Bestuurecht
In De Sociale Rechtsstaat, Deel I Ontwikling Organisatie, Instrumentarium, Kluwer-Deventer, hal.
17.
35
Azhary, 1995, Negara Hukum Indonesia, UI-Press, Jakarta, hal. 116.
36
Ibid, hal. 145.
37
Ibid, hal. 69.
28

Rechsstaat itu ialah Rechtsstaat yang materiil, yang sosial, yang oleh Bung Hatta

disebut Negara Pengurus, suatu terjemahan Verzorgingsstaat.38

Salah satu karakteristik teori negara kesejahteraan adalah kewajiban

pemerintah untuk mengupayakan kesejahteraan umum atau bestuurzorg. Menurut

E. Uttrecht adanya bestuurzorg ini menjadi suatu tanda yang menyatakan adanya

suatu welfare state.39 Bagir Manan menyebutkan bahwa dimensi sosial ekonomi

dari negara berdasar atas hukum adalah berupa kewajiban negara atau pemerintah

untuk mewujudkan dan menjamin kesejahteraan sosial (kesejahteraan umum)

dalam suasana sebesar-besarnya kemakmuran menurut asas keadilan sosial bagi

seluruh rakyat. Dimensi ini secara spesifik melahirkan paham negara

kesejahteraan.40 Jika adanya kewajiban pemerintah untuk memajukan

kesejahteraan umum itu merupakan ciri negara kesejahteraan maka negara

Indonesia tergolong sebagai negara kesejahteraan, karena tugas pemerintah

tidaklah semata-mata hanya di bidang pemerintahan saja, melainkan harus juga

melaksanakan kesejahteraan sosial dalam rangka mencapai tujuan negara, yang

dijalankan melalui pembangunan nasional.41

2. Asas Penyelenggaraan Kepentingan Umum

Dalam asas penyelenggaraan kepentingan umum, mengkehendaki agar

pemerintah dalam melaksanakan tugasnya selalu mengutamakan kepentingan

38
A. Hamid S. Atamimi, 1996, Der Rechtsstaat Republik Indonesia dan Persepektifnya
Menurut Pancasila dan UUD 1945, Makalah pada Seminar Dies Natalis Universitas 17 Agustus
Jakarta ke 42, diselenggarakan oleh Universitas 17 Agustus, Jakarta, Tanggal 9 Juli, hal. 6.
39
E. Utrecht, 1988, Pengantar Hukum Administrasi Negara, Pustaka Tinta Mas, Surabaya,
hal. 11.
40
Bagir Manan,1999, Pemikiran Negara Berkonstitusi di Indonesia, Makalah pada
Temu Ilmiah Nasional, Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Bandung, 6 April, hal. 2.
41
Sjachran Basah, 1985, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di
Indonesia, Alumni, Bandung, hal. 2-3.
29

umum, yakni kepentingan dan mencakup aspek kehidupan orang banyak. Asas ini

merupakan konsekuensi dianutnya konsep negara hukum modern (welfare state),

yang menempatkan pemerintah selaku pihak yang bertanggungjawab untuk

meweujudkan bestuurzorg (kesejahteraan umum) warganegaranya. Pada dasarnya

pemerintah dalam menjalankan berbagai kegiatan harus berdasarkan pada

peraturan perundang-undangan yang berlaku (asas legalitas), tetapi karena ada

kelemahan dan kekurangan asas legalitas, pemerintah dapat bertindak atas dasar

kebijaksanaan untuk menyelenggarakan kepentingan umum. Penyelenggaraan

kepentingan umum dapat berwujud hal-hal sebagai berikut : 42

1. Memelihara kepentingan umum yang khusus mengenai negara.


Contoh : tugas pertahanan dan keamanan.
2. Memelihara kepentingan umum dalam arti kepentingan bersama
dari warga negara yang tidak dapat dipelihara oleh warga
negaranya sendiri. Contoh : persediaan sandang pangan,
perumahan, kesejahteraan dan lain-lain.
3. Memelihara kepentingan bersama yang tidak seluruhnya dapat
dilakukan oleh para warga negaranya sendiri, dalam bentuk
bantuan negara.
Contoh : pendidikan dan pengajaran, kesehatan dan lain-lain.
4. Memelihara kepentingan dari warga negara perseorangan yang
tidak seluruhnya dapat diselenggarakan oleh warga negara sendiri,
dalam bentuk bantuan negara. Adakalanya negara memelihara
seluruh kepentingan perseorangan tersebut.
Contoh : pemeliharaan fakir miskin, anak yatim, anak cacat dan
lain-lain.
5. Memelihara ketertiban, keamanan dan kemakmuran setempat.
Contoh : peraturan lalu lintas, pembangunan, perumahan dan lain-
lain.
Dengan demikian tujuan/tugas pemerintah meliputi keseluruhan tindakan,

perbuatan dan keputusan dari alat-alat pemerintahan untuk mencapai tujuan

pemerintahan yaitu bukan saja tercapainya suatu ketertiban didalam masyarakat

42
Kuntjoro Purbopranoto, 1975, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan
Administrasi Negara, Alumni, Bandung, hal. 39-40.
30

akan tetapi juga tercapainya tujuan nasional atau kepentingan bersama/umum.

Perumusan tujuan pemerintah dapat dilihat dalam alinea IV Undang-Undang

Dasar 1945 yaitu :.Untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia

yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia

dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan

ikut melaksanakan ketertiban dunia.

3. Konsep Kepentingan Umum

John Salindeho telah merumuskan kepentingan umum sebagai

kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, dengan

memperhatikan segi-segi sosial, politik, psikologis dan Hankamnas atas dasar

asas-asas Pembangunan Nasional dengan mengindahkan ketahanan Nasional serta

Wawasan Nusantara.43 Menurut ketentuan hukum yang berlaku, berkenaan

dengan pencabutan hak atas tanah maka untuk pencabutan hak atas tanah untuk

kepentingan umum harus dipenuhi adanya beberapa persyaratan.

Pertama, pencabutan hak hanya dapat dilakukan bilamana kepentingan

umum harus tegas menjadi dasar dalam pencabutan hak ini. Termasuk dalam

pengertian umum ini adalah kepentingan bangsa, negara, kepentingan bersama

dari rakyat serta kepentingan pembangunan. Kedua, pencabutan hak hanya dapat

dilakukan oleh pihak yang berwenang. Untuk keperluan itu telah ditentukan dalam

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 dan berbagai peraturan pelaksanaannya

guna mengatur acara pencabutan hak atas tanah . Ketiga, pencabutan hak atas

43
John Salindeho, 1988, Masalah Tanah Dalam Pembangunan, Sinar Grafika, Jakarta, hal.
40.
31

tanah harus disertai dengan ganti kerugian yang layak. Pemilik tanah berhak atas

pembayaran sejumlah ganti kerugian yang layak berdasar atas harga yang pantas.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 196 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas

Tanah dan Benda-Benda Yang Ada Diatasnya (Lembaran Negara Nomor 288

Tahun 1961 Tambahan Lembaran Negara Nomor 2324 Tahun 1961) menjadi

pembatas terhadap penguasa sesuai dengan prinsip negara hukum, jika ingin

mencabut hak milik atas tanah/mengambil tanah warga masyarakat, haruslah

melalui prosedur hukum. Ketentuan Pasal 1 ayat (1) Instruksi Presiden Nomor 9

Tahun 1973 tentang Pedoman-Pedoman Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan

Benda-Benda Yang Ada Diatasnya menyebutkan apa yang dimaksud dengan

kepentingan umum, yakni :

(1) Suatu kegiatan dalam rangka pelaksanaan Pembangunan mempunyai


sifat kepentingan umum, apabila kegiatan tersebut menyangkut :
a. kepentingan Bangsa dan Negara, dan/atau
b. kepentingan masyarakat luas dan/atau,
c. kepentingan rakyat banyak/bersama dan/atau,
d. kepentingan pembangunan.
(2) Bentuk-bentuk kegiatan Pembangunan yang mempunyai sifat
kepentingan umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini
meliputi bidang-bidang :
a. pertahanan,
b. pekerjaan umum,
c. perlengkapan umum
d. jasa umum,
e. keagamaan,
f. ilmu pengetahuan dan seni budaya,
g. kesehatan,
h. olahraga,
i. keselamatan umum terhadap bencana alam,
j. kesejahteraan sosial,
k. makam/kuburan,
l. pariwisata dan rekreasi,
m. usaha-usaha ekonomi yang bermanfaat bagi kesejahteraan umum.
32

Kepentingan umum telah lama dijadikan suatu doktrin sebagaimana yang

dikemukakan oleh Michael G. Kitay, yang di berbagai negara diekspresikan

dengan 2 (dua) cara. Pertama, Pedoman umum (General Guide) Di sini negara

hanya menyatakan bahwa pengadaan tanah dibutuhkan untuk kepentingan umum

(public purpose). Istilah public purpose bisa saja berubah, misalnya public

menjadi social, general, common atau collective. Sementara purpose diganti

menjadi need, necessity, interest, function, utility atau use. Negara yang

menggunakan pedoman umum ini biasanya tidak secara eksplisit mencantumkan

dalam peraturan perundang-undangan tentang bidang kegiatan apakah yang

disebut sebagai kepentingan umum. Kedua, Ketentuan-Ketentuan Daftar (List

Provisions). Daftar ini secara eksplisit mengidentifikasikan kepentingan itu.

Misalnya sekolah, jalan, bangunan pemerintah dan semacamnya. Kepentingan

yang tidak tercantum dalam daftar tidak bisa dijadikan sebagai dasar pengadaan

tanah. Kerap kali kedua pendekatan diatas dikombinasikan dalam rencana

pengadaan tanah.

Menurut Maria S.W Sumardjono, konsep kepentingan umum selain harus

memenuhi peruntukannya juga harus dapat dirasakan kemanfaatannya. Agar unsur

kemanfaatan ini dapat dipenuhi, artinya dapat dirasakan oleh masyarakat secara

keseluruhan dan/atau secara langsung untuk penentuan suatu kegiatan seyogyanya

melalui penelitian terpadu.44 Oloan Sitorus juga menambahkan bahwa selain

peruntukannya dan kemanfaatannya maka harus ada siapakah yang dapat

44
Maria S.W Sumardjono, Telaah Konseptutual terhadap Beberapa Aspek Hak Milik,
Sebuah Catatan untuk Makalah Chadijdjah Dalimunte, Konsep Akademis Hak Milik Atas Tanah
Menurut UUPA, Makalah Dalam Seminar Nasional Hukum Agraria III Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara-Badan Pertanahan Nasional, Medan 19-20 September, 1990, hal. 13.
33

melaksanakan pembangunan untuk kepentingan umum dan sifat dari

pembangunan kepentingan umum tersebut, hal tersebut tetap memberikan

kemungkinan dimanipulasikannya untuk kepentingan umum. 45

Prinsip-prinsip hukum dalam pencabutan hak atas tanah pada hakikatnya

mengejar keadilan dalam penerapan undang-undang. Dalam praktiknya dalam

pencabutan hak atas tanah banyak ditemui kasus yang saling bertentangan dalam

menanggapi ada atau tidaknya asas keadilan. Tidak berlebihan jika di dalam

pencabutan hak, pemerintah telah melakukan perbuatan yang menyangkut jauh ke

dalam terhadap hak-hak asasi kemanusiaan, yaitu terhadap harta milik warga

masyarakat yang seharusnya mendapat perlindungan. Disini timbul dua

kepentingan yang saling bertentangan. Disatu pihak penguasa dengan wewenang

hak istimewanya, berdasarkan kekuatan undang-undang yang mangatur demi

kepentingan umum hendak memaksakan kehendaknya. Dilain pihak dihadapkan

pada kepentingan individu masyarakat dengan gigih mempertahankan status hak

miliknya.

Di dalam negara hukum yang modern, pemerintah selaku penyelenggara

pemerintahan negara tertinggi selalu berwenang untuk melakukan tindakan yang

menyangkut kepentingan pribdi warga masyarakat jika kepentingan umum

mengkehendakinya. Dalam melakukan perbuatan pemerintahan tersebut,

administrasi sejauh mungkin menghindarkan diri dari tindakan kesewenang-

wenagan, sebab dalam negara hukum yang demokratis dijunjung adanya asas

legalitas dan asas perlindungan hukum

45
Oloan Sitorus dan Dayat Limbong, 2004, Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum,
Mitra Kebijakan Pertanahan Indonesia, Yogyakarta, hal. 7.
34

4. Teori Pembangunan Ekonomi

Pembangunan ekonomi berkaitan erat dengan kekayaan manusia, sikap

sosial, kondisi politik dan latar belakang sejarah. Kondisi politik, psikologi, sosial

dan budaya merupakan syarat yang sama pentingnya dengan kondisi ekonomi.

Pembangunan bukan sekadar masalah memiliki sejumlah besar uang atau semata-

mata fenomena ekonomi. Pembangunan ekonomi mencakup semua aspek perilaku

masyarakat, penegakan hukum dan ketertiban, kecermatan dalam hubungan

bisnis, termasuk hubungan dengan instansi yang berkaitan dengan penerimaan

negara.46

Adam Smith adalah ahli ekonomi klasik yang dianggap paling terkemuka.

Karyanya yang sangat terkenal adalah sebuah buku yang berjudul An Iquiry into

the Nature and Cause of the Wealth of Nations yang diterbitkan tahun 1776,

terutama menyangkut masalah pembangunan ekonomi. Adam Smith tidak

memaparkan teori pertumbuhan secara sistematik namun teori yang berkaitan

dengan itu kemudian disusun oleh para ahli ekonomi berikutnya seperti yang akan

dijelaskan di bawah ini:47

4.1 Hukum alam

Adam Smith meyakini berlakunya doktrin hukum alam dalam persoalan

ekonomi. Ia menganggap setiap orang sebagai hakim yang paling tahu akan

kepentingannya sendiri yang sebaiknya dibiarkan dengan bebas mengejar

kepentingannya itu demi keuntungannya sendiri. Adam Smith pada dasarnya

46
M.L Jhingan, 2004, Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, hal. 41.
47
Ibid, hal. 81.
35

menentang setiap campur tangan pemerintah dalam industri dan perniagaan.

Kekuatan yang tidak terlihat yaitu pasar persaingan sempurna yang merupakan

mekanisme menuju keseimbangan secara otomatis, cenderung untuk

memaksimumkan kesejahteraan nasional.48

4.2 Pembagian kerja.

Pembagian kerja adalah titik permulaan dari teori pertumbuhan ekonomi

Adam Smith, yang meningkatkan daya produktivitas tenaga kerja. Penyebab dari

kenaikan produktivitas ini bukan berasal dari tenaga kerja tetapi dari modal.

Terdapat pameo yang terkenal yaitu pembagian kerja bertambah seiring dengan

meningkatnya pasar. Oleh karena itu, perluasan perniagaan dan perdagangan

internasional sangat bermanfaat. Dengan meningkatnya jumlah penduduk dan

fasilitas transportasi akan terjadi pembagian kerja yang semakin luas dan

peningkatan modal yang semakin besar.49

4.3 Proses pemupukan modal

Adam Smith menganggap pemupukan modal sebagai salah satu syarat

mutlak bagi pembangunan ekonomi. Investasi dilakukan karena para pemilik

modal mengharapkan untung dan harapan masa depan keuntungan bergantung

pada iklim investasi pada hari ini dan pada kentungan nyata.50

4.4 Agen pertumbuhan

Menurut Adam Smith, para petani, produsen dan pengusaha merupakan

agen kemajuan dan pertumbuhan ekonomi. Perdagangan bebas dan perniagaan,

yang mendorong mereka memperluas pasar, yang pada gilirannya memungkinkan


48
Ibid.
49
Ibid, hal. 82.
50
Ibid.
36

pembangunan ekonomi. Fungsi ketiga agen tersebut saling berkaitan erat.

Pembangunan pertanian mendorong peningkatan pekerjaan konstruksi dan

perniagaan. Pada waktu terjadi kenaikan surplus pertanian sebagai akibat

pembangunan ekonomi, maka permintaan akan jasa perniagaan dan barang

pabrikan akan meningkat pula, ini semua akan membawa pada kemajuan

perniagaan dan berdirinya industri manufaktur.51

4.5 Proses pertumbuhan

Proses pertumbuhan ini bersifat menggumpal (kumulatif). Apabila timbul

kemakmuran sebagai akibat kemajuan di bidang pertanian, industri manufaktur

dan perniagaan, kemakmuran itu akan menarik ke pemupukan modal, kemajuan

teknik, meningkatnya penduduk, perluasan pasar, pembagian kerja dan kenaikan

keuntungan secara terus-menerus.52

Sistem ekonomi pasar berdasarkan persaingan sempurna yang

dikembangkan Adam Smith oleh banyak pakar sering diakui sebagai organisasi

masyarakat terbaik yang mungkin dikembangkan. Hal ini terbukti bahwa jumlah

negara yang menganut sistem pasar ini makin lama makin bertambah dari tahun

ke tahun. Negara yang menganut sistem ekonomi pasar terbukti menikmati tingkat

pertumbuhan ekonomi yang tinggi. 53

Teori pembangunan ekonomi yang dikemukakan oleh Adam Smith ini

telah diterapkan di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari fakta bahwa ada sebagian

pasar barang atau jasa yang sudah bermodel persaingan sempurna. Fakta yang

51
Ibid, hal. 84.
52
Ibid.
53
Deliarnov, 2005, Perkembangan Pemikiran Ekonomi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
hal. 42.
37

terlihat adalah bagaimana pertumbuhan ekonomi di Indonesia yang selalu

diprakarsai bukan hanya oleh pemerintah, tetapi peran serta pihak swasta juga ikut

memberikan andil besar. Masyarakat tidak hanya menggantungkan diri pada

kebijakan pemerintah dalam menjalankan roda perekonomian, tetapi mereka juga

memunculkan inisiatif-inisiatif dalam kegiatan ekonominya.

Pola pikir masa lalu mengatakan bahwa pembangunan harus dibangun

menggunakan anggaran pemerintah sehingga pada kondisi anggaran pemerintah

yang terbatas, pola pikir tersebut berujung pada kesulitan memenuhi kebutuhan

pembangunan yang memadai bagi perekonomian yang berkembang pesat. Saat ini

telah didorong pola pikir yang lebih maju dalam penyediaan pembangunan

melalui model kerjasama pemerintah dan swasta (KPS) atau Public-Private

Partnership (PPP). Peran pemerintah adalah menyediakan perangkat aturan dan

regulasi yang memberi insentif bagi dunia usaha untuk memberikan layanan untuk

pembangunan tersebut. Insentif tersebut dapat berupa kebijakan (sistem maupun

tarif) pajak, bea masuk, aturan ketenagakerjaan, perizinan, pertanahan, dan

lainnya, sesuai kesepakatan dengan dunia usaha. Pemberian dukungan pemerintah

pada saat ini dilakukan dalam bentuk penyediaan lahan dan pembangunan

sebagian konstruksi. Terkait dengan pembiayaan, investasi sarana dan prasarana

saat ini masih jauh dari kemampuan negara-negara berkembang lainnya. Pada saat

ini banyak lembaga yang terkait dengan pengelolaan sarana dan prasarana
38

sehingga menyulitkan koordinasi, sementara kualitas sumber daya manusia masih

rendah.54

Perkiraan kemampuan pembiayaan badan usaha milik pemerintah melalui

BUMN (Rp 340,85 triliun), perkiraan kemampuan pembiayaan pemerintah daerah

melalui APBD (Rp 355,07 triliun), serta perkiraan investasi pihak swasta (Rp

344,67 triliun). Saat ini masih diperlukan sumber dana lain selain pemerintah

untuk menutupi kesenjangan pembiayaan. Investasi swasta menjadi tumpuan

harapan, kerjasama Pemerintah dan Swasta (Public Private Partnership/PPP)

akan digunakan sebagai alternatif sumber pembiayaan pada kegiatan pemberian

layanan dengan karakteristik layak secara keuangan dan memberikan dampak

ekonomi tinggi dan memerlukan dukungan dan jaminan pemerintah yang

minimum.55

Contoh risiko pokok yang teridentifikasi dalam proyek kerjasama

pemerintah dan swasta di Indonesia mengenai pengelolaan dan pengurangan

risiko adalah pembebasan tanah.Tanah tidak selalu siap untuk digunakan di dalam

pembangunan infrastruktur dan perolehannya sangat memerlukan waktu yang

lama dan tambahan biaya. Pemerintah saat ini berupaya untuk mendapatkan

pendanaan dan mekanisme yang memungkinkan bagi Pemerintah untuk dapat

melakukan pembelian tanah sebelum proyek dimulai, yang mana badan usaha

dapat membayarkan kembali di kemudian hari. Khusus untuk proyek jalan tol,

Pemerintah dapat menawarkan jaminan untuk menutupi tambahan biaya sebagai

akibat dari mundurnya pembebasan tanah atau naiknya biaya pembebasan tanah
54
Bapenas, 2011, Sustaining Partnership, Media Informasi Kerjasama Pemerintah dan
Swasta, Mengapa Memilih KPS, Identifikasi dan Seleksi Proyek Kerjasama, Jakarta, hal.6.
55
Ibid, hal. 5.
39

tersebut diatas batas tertentu (land capping). Selain itu, Pemerintah dapat

menawarkan penjaminan untuk menutupi biaya tambahan yang mungkin terjadi

karena adanya keterlambatan dalam proses pembebasan tanah atau adanya

kenaikan biaya pembebasan tanah bila pengambilalihan tanah ini adalah tanggung

jawab badan usaha.

Di sisi badan usaha swasta, proyek dengan kepastian hukum dan

kelembagaan akan lebih menarik bagi investor karena dapat memberikan

kepastian terhadap investasinya sesuai dengan regulasi yang berlaku di negara

tersebut. Disisi pemerintah, perlu dilakukan harmonisasi peraturan terkait

sehingga meminimalisir benturan peraturan perundang-undangan. Negara dengan

tingkat kepastian hukum yang baik lebih menarik bagi investor karena akan

memberikan rasa nyaman para investor untuk berinvestasi.56

1.6 Metode Penelitian

Metode penelitian hukum adalah sebagai cara kerja ilmuan yang

salahsatunya ditandai dengan penggunaan metode (Inggris method, Latin

methodus, Yunani methodos, meta berarti di atas, sedangkan thodos berarti suatu

jalan,suatu cara). Van Peursen menerjemahkan pengertian metode secara harfiah,

mula-mula metode diartikan sebagai suatu jalan yang harus ditempuh menjadi

penyelidikan atau penelitian berlangsung menurut suatu rencana tertentu. 57Metode

atau cara pengkajian dilakukan secara deskriptif analitik yaitu menguraikan

kaidah-kaidah dalam aturan hukum yang berhubungan dengan aspek pengadaan

56
Ibid, hal.10.
57
Johny Ibrahim, 2006, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Publishing
Malang, hal. 26.
40

tanah bagi kepentingan umum dengan jalan deskripsi atau paparan sesuai pokok

permasalahan sehingga tidak ada kontradiksi dalam kaidah-kaidah hukum yang

ada.

1.6.1 Jenis Penelitian

Penelitian yang dilakukan dalam tesis ini merupakan penelitian hukum

normatif. Penelitian hukum normatif tersebut mencakup: penelitian asas-asas

hukum, penelitian terhadap sistematik hukum, penelitian terhadap taraf

sinkronisasi vertikal dan horizontal, perbandingan hukum dan sejarah hukum.58

Sebagai penelitian hukum yang bersifat akademis berkaitan dengan upaya untuk

memberikan sumbangan yang berharga bagi perkembangan ilmu hukum

khususnya dalam bidang hukum pertanahan. Penelitian ini beranjak pada

kekosongan norma dalam Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012

tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

mengenai penyelenggaraan pengadaan tanah pembangunan untuk kepentingan

umum yang wajib diselenggarakan pemerintah dan dapat bekerjasama dengan

badan usaha swasta.

1.6.2 Jenis Pendekatan

Dalam penelitian hukum normatif, terdapat beberapa jenis pendekatan

yang dipergunakan. Pendekatan-pendekatan yang digunakan di dalam penelitian

hukum adalah: pendekatan perundang undangan (statute approach),

pendekatan konsep (conceptual approach), pendekatan analisis (analytical

approach), pendekatan perbandingan (comperative approach), pendekatan


58
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2010, Penelitan Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 14.
41

sejarah (historical approach), pendekatan filsafat (philosophical approach) dan

pendekatan kasus (case approach). Pendekatan yang digunakan dalam tesis ini

adalah:

a. Pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach) dilakukan dengan

menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan

isu hukum yang sedang ditangani.59 Pendekatan perundang-undangan dalam

tesis ini dilakukan dengan menelaah peraturan perundang-undangan dan

regulasi yang terkait dengan pengadaan tanah untuk kepentingan umum,

yakni dilakukan untuk meneliti peraturan perundang-undangan, khususnya

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-

Pokok Agraria dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang

Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum dan

peraturan perundang-undangan lainnya.

b. Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach) beranjak dari pandangan-

pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum.60

Pendekatan konseptual digunakan untuk mengkaji konsep dari pengaturan

penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan umum dengan

mendasarkan pada konsep pencabutan hak atas tanah untuk kepentingan

umum. Selain itu dalam kajiannya dikaitkan dengan konsep negara

kesejahteraan, asas penyelenggaraan kepentingan umum dan teori

pembangunan ekonomi.

59
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, (selanjutnya
disingkat Peter Mahmud Marzuki II), hal. 93.
60
Ibid, hal. 95.
42

c. Pendekatan Sejarah (Historical Approach) dilakukan dengan menelaah latar

belakang apa yang dipelajari dan perkembangan pengaturan mengenai isu

yang dihadapi.61 Pendekatan sejarah dalam tesis ini dilakukan untuk

mengkaji perkembangan pengaturan penyelenggaraan pengadaan tanah

untuk kepentingan umum di Indonesia. Tujuannya adalah untuk mengetahui

filosofi pengaturan penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan

umum, serta bagaimana pergeseran peraturan pengadaan tanah untuk

kepentingan umum oleh Badan Usaha Swasta.

d. Pendekatan Filsafat (Philosophical Approach)

Dengan sifat filsafat yang menyeluruh, mendasar dan spekulatif,

penjelajahan filsafat akan mengupas isu hukum (legal issues) dalam

penelitian normatif secara radikal dan mengupasnya secara mendalam.

Penjelajahan dalam filsafat meliputi ajaran ontologis (ajaran tentang

hakikat), aksiologis (ajaran tentang nilai), epistemologis (ajaran tentang

pengetahuan), teleologis (ajaran tentang tujuan) untuk memperjelas secara

mendalam , sejauh dimungkinkan oleh pencapaian pengetahuan manusia.

Berdasarkan ciri khas filsafat tersebut, dibantu beberapa pendekatan yang

tepat, seyogyanya dapat dilakukan sebagai Fundamental Research, yaitu

suatu penelitian untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam

terhadap implikasi sosial dan efek penerapan suatu aturan perundang-

undangan terhadap masyarakat atau kelompok masyarakat yang merupakan

61
Ibid, hal. 94.
43

penelitian terhadap sejarah, filsafat, ilmu bahasa, ekonomi, serta implikasi

sosial dan politik terhadap pemberlakuan suatu aturan hukum.62

1.6.3 Sumber Bahan Hukum

Sumber bahan hukum dalam penelitian ini berasal dari penelitian

kepustakan (library research). Penelitian kepustakaan adalah menggunakan bahan

hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Bahan hukum

primer adalah bahan yang isinya mengikat karena dikeluarkan oleh pemerintah,

contohnya berbagai peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan dan

traktat. Bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan yang isinya membahas bahan

hukum primer, contohnya makalah, buku-buku, laporan hukum dalam bentuk

akademik, tesis, laporan dan karya tulis lain, majalah yang berhubungan dengan

penelitian ini. Bahan hukum tertier adalah bahan-bahan hukum yang bersifat

menunjang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, contohnya kamus,

buku pegangan.63

Adapun bahan hukum primer yang dimaksud dalam penulisan tesis ini

adalah bahan hukum yang memiliki kekuatan mengikat, yaitu :

- Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok

Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043)

- Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi

Pembangunan Untuk Kepentingan Umum (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2012 Nomor 22)


62
Johnny Ibrahim, Op.cit, hal. 321.
63
Ashsofa Burhan, 1996, Metode Penelitian Hukum, PT. Rineka Cipta, Jakarta, hal.103-
104.
44

- Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 Pengadaan Tanah Bagi

Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum

- Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi

Pelaksana Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

- Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah Bagi

Pelaksanaan Pembangunan Kepentingan Umum

Adapun bahan hukum sekunder yang dimaksud dalam penulisan tesis

ini adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum

primer. Bahan hukum sekunder dalam penulisan tesis ini meliputi : buku buku

literature, jurnal, makalah dan bahan bahan hukum tertulis lainnya yang

berhubungan dengan permasalahan penelitian.

Adapun bahan hukum tertier yang dimaksud dalam penulisan tesis ini

yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap

bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum tertier dalam

penulisan tesis ini meliputi kamus hukum dan kamus bahasa Indonesia.

1.6. 4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Pengumpulan bahan hukum dilakukan melalui teknik studi dokumen.

Bahan hukum yang berhasil diinventarisir kemudian diidentifikasi serta

diklasifikasikan dengan melakukan pencatatan secara cermat dan sistematis sesuai

dengan tujuan dan kebutuhan penelitian.

1.6.5 Teknik Analisis Bahan Hukum

Analisis terhadap bahan-bahan hukum dilakukan dengan cara deskriptif,

analisis, evaluatif, interpretatif dan argumentatif. Deskripsi dapat berupa


45

penggambaran bahan-bahan hukum sebagaimana adanya kemudian dilanjutkan

dengan evaluasi berupa penilaian terhadap bahan-bahan hukum yang diperoleh.

Bahan-bahan hukum yang diolah tersebut kemudian diinterpretasikan

dengan metode interpretasi hukum. Dalam hal ini, interpretasi yang dipergunakan

yakni interpretasi gramatikal, interpretasi sistematik dan interpretasi otentik yang

selanjutnya dianalisis berdasarkan teori-teori yang relevan dan dikaitkan dengan

permasalahan yang ada. Hasil dari analisis ini kemudian ditarik kesimpulan secara

sistematis agar tidak menimbulkan kontradiksi antara bahan hukum yang satu

dengan bahan hukum yang lain. Terakhir diberikan pendapat-pendapat atas

interpretasi dari bahan-bahan hukum tersebut


BAB II

TINJAUAN UMUM PENGATURAN PENYELENGGARAAN

PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM

2.1 Konsep Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan

Umum

Secara etimologi tanah berarti permukaan bumi atau lapisan bumi yang di

atas sekali.64 Menurut Joseph R. Nolan dan M.J Connolly, definisi tanah (land)

adalah sebagai berikut :

the material of the earth, whatever may be the ingredients of which it is


composed, whether soil, rock, or other substance, and includes free or
occupied space for an indefinite distance upwards as well as downwards,
subject to limitations upon the use of airspace imposed, and rights in the
use of airspace granted, by law. 65

Simpson mendefinisikan pengertian tanah sebagaimana rumusan kalimat

dibawah ini :

in its original definitions in English law, land is not regarded as


comprising merely the surface; it is deemed to include everything which is
fixed to it, and also the air which lies above it right up into the sky, and
whatever lies below it right down into the center of earth; it include land
covered with water so even the sia-bes is land. 66

(definisi asli dari tanah dalam hukum Inggris adalah, bahwa tanah tidak
dipandang hanya terdiri atas permukaan bumi, akan tetapi juga dianggap
term1asuk segala sesuatu yang melekat padanya, dan juga udara yang
terletak diatasnya sampai ke langit serta apa saja yang terletak di
bawahnya sampai ke pusat bumi; termasuk pula tanah yang diliputi air dan
karena itu bahkan dasar laut pun adalah tanah.)

64
W. J. S Poerwadarminta, 2006, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka,
hal. 1195.
65
Joseph R. Nolan dan M.J Connolly, Blacks Law Dictionary, (St. Paul Minn: West
Publishing Co, Fifth Edition, 1979), hal. 789.
66
Herman Soesangobeng, Tanah dan Hak Ulayat, Makalah disampaikan dalam Seminar
Pertanahan Balitbang Dep.Keh.HAM, Jakarta, 4 November 2003.

46
47

Peter Butt memberikan pemahaman yang luas terhadap tanah yaitu : Land

is not only face of the earth, but everything under it or over it.67 Imam Sudiyat

mendefinisikan tanah dari pengertian geologis-agronomis, sebagai pengertian

geologis-agronomis, tanah ialah lapisan lepas permukaan bumi yang paling atas.

Yang dimanfaatkan untuk menanami tumbuh-tumbuhan disebut tanah garapan,

tanah pekarangan, tanah pertanian, tanah perkebunan. Sedangkan yang digunakan

untuk mendirikan bangunan dinamakan tanah bangunan. Di dalam tanah garapan

itu dari atas ke bawah berturut-turut terdapat sisiran garapan sedalam irisan bajak,

lapisan pembentukan humus dan lapisan dalam.68

Pengertian tanah menurut UUPA dapat dilihat dalam pengaturan Pasal 1

UUPA sebagai berikut :

(1) Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh
rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa Indonesia.
(2) Seluruh bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia
sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang
angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.
(3) Hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang
angkasa termaksud dalam ayat 2 pasal ini adalah hubungan yang
bersifat abadi.
(4) Dalam pengertian bumi selain permukaan bumi, termasuk pula
tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air.

Penjelasan Pasal 1 UUPA menyatakan : sudah dijelaskan dalam

Penjelasan Umum (II angka 1). Dalam Undang-Undang Pokok Agraria diadakan

perbedaan antara pengertian bumi dan tanah sebagai yang dirumuskan dalam

Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 4 ayat (1) UUPA. Tanah adalah permukaan bumi.

67
Peter Butt, 1980, Introduction to Land Law, The Law Book Company Limited, Sydney,
hal. 7.
68
Imam Sudiyat, 1982, Beberapa Masalah Penguasaan Tanah Di Berbagai Masyarakat
Sedang Berkembang, Liberty, Yogyakarta, hal. 1.
48

Perluasan pengertian bumi dan air dengan ruang angkasa adalah bersangkutan

dengan kemajuan teknik dewasa ini dan kemungkinan-kemungkinannya dalam

waktu-waktu yang akan datang.

Tanah memiliki fungsi yang penting dalam kehidupan. Tanah memiliki

hubungan yang sangat erat dengan masyarakat di bumi ini, dimana tanah

memberikan sumber kehidupan. Hubungan hidup antara umat manusia yang

teratur susunannya dan bertalian satu sama lainnya di satu pihak dan tanah di lain

pihak yaitu tanah dimana mereka berdiam, tanah memberi makan mereka, tanah

dimana mereka dimakamkan, tanah dimana meresap daya hidup, termasuk juga

hidupnya umat itu dan karenanya tergantung daripadanya, maka pikiran serba

berpasangan (participerend denken) itu dapat dan seharusnya dianggap sebagai

pertalian hukum (rechtsbetrekking) umat manusia terhadap tanah.69

Sebutan tanah dalam bahasa dapat dipakai dalam berbagai arti. Maka

dalam penggunaannya perlu diberi batasan, agar diketahui dalam arti apa istilah

itu digunakan. Dalam hukum tanah kata sebutan tanah dipakai dalam arti yuridis

sebagai suatu pengertian yang telah diberi batasan resmi oleh UUPA.70 Dalam

Pasal 4 ayat (1) UUPA dinyatakan, bahwa :

Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal
2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang
disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang
baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-
badan hukum.

Tanah dalam pengertian yuridis adalah permukaan bumi (Pasal 4 ayat (1)

UUPA) sedangkan hak atas tanah adalah hak atas sebagian tertentu permukaan
69
Boedi Harsono, 2008, Hukum Agraria Indonesia : Sejarah Pembentukan Undang-
Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannnya, Djambatan,Jakarta, hal. 479.
70
Ibid, hal. 18.
49

bumi, yang terbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar. Tanah

diberikan kepada dan dipunyai oleh orang dengan hak-hak yang disediakan oleh

UUPA, adalah untuk digunakan atau dimanfaatkan. Diberikannya dan

dipunyainya tanah dengan hak-hak tersebut tidak akan bermakna jika

penggunaannya terbatas hanya pada tanah sebagai permukaan bumi saja. Untuk

keperluan apapun tidak bisa tidak, pasti diperlukan juga penggunaan sebagian

tubuh bumi yang ada dibawahnya dan air serta ruang yang ada di atasnya. Oleh

karena itu dalam Pasal 4 ayat (2) UUPA dinyatakan :

Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi
kewenangan untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan demikian
pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada diatasnya sekadar diperlukan
untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah
itu, dalam batas-batas menurut Undang-Undang ini dan Peraturan-
peraturan hukum lain yang lebih tinggi.

Maka yang dipunyai hak atas tanah tersebut adalah tanahnya dalam arti

sebagian tertentu dari permukaan bumi, sedangkan wewenang menggunakan yang

bersumber pada hak tersebut diperluas hingga meliputi juga penggunaan

sebagian tubuh bumi yang ada dibawah tanah dan air serta ruang yang ada

diatasnya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adapun yang dimaksud

dengan pengertian tanah adalah :

1. Permukaan bumi atau lapisan bumi yang diatas sekali;


2. Keadaan bumi disuatu tempat;
3. Permukaan bumi yang diberi batas
4. Bahan-bahan dari bumi, bumi sebagai bahan sesuatu (pasir, cadas,
napal dan sebagainya.)71

71
Ibid, hal. 19.
50

Secara normatif, ditegaskan bahwa semua hak atas tanah mempunyai

fungsi sosial. Itu artinya, hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang,

penggunaannya tidak semata-mata untuk kepentingan pribadi, terlebih lagi apabila

hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah harus

disesuaikan dengan keadaannya dan sifat daripada haknya sehingga bermanfaat,

baik bagi kesejahteraan pemiliknya maupun bermanfaat pula bagi masyarakat dan

negara.

Pengadaan tanah untuk kepentingan umum merupakan salah satu

manifestasi dari fungsi sosial hak atas tanah. Pengadaan tanah dipandang sebagai

langkah awal dari pelaksanaan pembangunan yang merata untuk meningkatkan

kesejahteraan rakyat atau masyarakat itu sendiri, baik yang akan digunakan untuk

kepentingan umum maupun kepentingan swasta. Pengadaan tanah untuk

pembangunan hanya dapat dilakukan atas dasar persetujuan dari pemegang hak

atas tanah mengenai dasar dan bentuk ganti rugi yang diberikan kepada pemegang

hak atas tanah itu sendiri.

Pengadaan tanah itu berhubungan dengan kegiatan untuk mendapatkan

tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang melepaskan atau

menyerahkan tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda yang berkaitan dengan

tanah. Sehubungan dengan itu, pengadaan tanah selalu menyangkut dua sisi

dimensi kepentingan yang harus ditempatkan secara seimbang, yaitu kepentingan

masyarakat dan kepentingan pemerintah. 72

72
Bernhard Limbong I,Op.cit, hal. 129.
51

Disatu sisi pihak pemerintah atau dalam hal ini sebagai penguasa harus

melaksanakan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat atau

demi kepentingan negara dan rakyatnya sebagai salah satu bentuk pemerataan

pembangunan. Pihak masyarakat adalah sebagai pihak penyedia sarana untuk

melaksanakan pembangunan tersebut karena rakyat atau masyarakat memiliki

lahan yang dibutuhkan sebagai bentuk pelaksanaaan pembangunan. Masyarakat

dalam hal ini juga membutuhkan lahan atau tanah sebagai sumber kehidupan. 73

Apabila kedua pihak ini tidak memperhatikan dan mentaati ketentuan yang

berlaku maka terjadi pertentangan kepentingan yang mengakibatkan timbulnya

sengketa atau masalah hukum sehingga pihak penguasa dengan terpaksa pun

menggunakan cara tersendiri agar dapat mendapatkan tanah tersebut yang dapat

dinilai bertentangan dengan ketentuan yang berlaku. Pemilik hak atas tanah pun

tidak menginginkan apa yang sudah menjadi hak mereka diberikan dengan

sukarela.

Mengantisipasi hal tersebut, telah diatur bahwa untuk kepentingan umum,

termasuk kepentingan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas

tanah dapat dicabut dengan memberikan ganti kerugian yang layak. Selain itu

ditegaskan juga bahwa suatu hak itu hapus karena pencabutan hak untuk

kepentingan umum dan karena penyerahan sukarela oleh pemiliknya.

Berpedoman pada ketentuan tersebut, maka proses pelaksanaan pengadaan

tanah membutuhkan peran serta masyarakat atau rakyat untuk memberikan

tanahnya untuk kepentingan pembangunan. Masyarakat sebagai pemegang hak

73
Maria S.W Sumardjono, 2001, Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan Implementasi,
Kompas, Jakarta, (selanjutnya disingkat Maria S.W Sumardjono II), hal. 32
52

atas tanah bebas melakukan suatu perikatan dengan pihak penyelenggara

pengadaan tanah untuk pembangunan tanpa ada paksaan dari siapapun.

Tidak dapat dipungkiri bahwa pengadaan tanah sangat rentan terhadap

munculnya permasalahan, terutama dalam penanganannya. Masalah pengadaan

tanah tentu saja menyangkut hajat hidup orang banyak bila dilihat dari sisi

kebutuhan Pemerintah akan tanah untuk keperluan pembangunan. Satu-satunya

jalan yang dapat ditempuh agar keperluan akan tanah terpenuhi adalah dengan

membebaskan tanah milik rakyat, baik yang dikuasai hukum adat maupun hak-

hak yang melekat diatasnya.74

Tanah juga merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia

mengingat sebagian besar kehidupan bergantung pada tanah. Sedemikan penting

fungsi dan peran tanah bagi kehidupan manusia maka perlu adanya suatu landasan

hukum yang menjadi pedoman dan sebagai bentuk jaminan kepastian hukum,

dalam pelaksanaan penyelesaian pertanahan, khususnya pada persoalan

pengadaan tanah untuk kepentingan umum. 75

Implementasi pengadaan tanah perlu memperhatikan beberapa prinsip

(asas) sebagaimana tersirat dalam peraturan perundang-undangan dan ketentuan

terkait yang mengaturnya. Adapun prinsip-prinsip yang dimaksud adalah sebagai

berikut : Pertama, penguasaan dan penggunaan tanah oleh siapapun dan untuk

keperluan apa pun harus ada landasan haknya. Kedua, semua hak atas tanah

secara langsung maupun tidak langsung bersumber pada hak bangsa. Ketiga, cara

untuk memperoleh tanah yang sudah dihaki oleh seseorang/badan hukum harus
74
Soimin, 2001, Status Hak dan Pembebasan Tanah, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 75.
75
Fauzi Noer I, loc.cit.
53

melalui kata sepakat antar pihak yang bersangkutan dan keempat, dalam keadaan

yang memaksa, artinya jalan lain yang ditempuh gagal maka presiden memiliki

kewenangan untuk melakukan pencabutan hak, tanpa persetujuan subjek hak

menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961.

Memberikan batasan mengenai kepentingan umum bukanlah hal yang

mudah mengingat penilaiannya sangat subjektif dan terlalu abstrak untuk

dipahami.76 Selain itu istilah kepentingan umum merupakan suatu konsep yang

sifatnya begitu umum dan belum ada penjelasan secara lebih spesifik dan

terperinci untuk operasional sesuai dengan makna yang terkandung di dalam

peristilahan tersebut.77 Dalam rangka pengambilan tanah-tanah masyarakat,

penegasan tentang kepentingan umum yang akan menjadi dasar dan kriterianya

perlu ditentukan secara tegas sehingga pengambilan tanah-tanah dimaksud benar-

benar sesuai dengan landasan hukum yang berlaku. Jika tidak dirumuskan atau

diberikan kriteria dengan tegas, dikhawatirkan dapat menimbulkan penafsiran

yang beragam. 78

Secara sederhana dapat diartikan bahwa kepentingan umum dapat saja

dikatakan untuk keperluan, kebutuhan atau kepentingan orang banyak atau tujuan

yang luas, namun demikian rumusan tersebut terlalu umum dan tidak ada

76
Achmad Rusyaidi, 2012, Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum : Antara
Kepentingan Umum dan Perlindungan HAM, (Cited : 18 Oktober 2012), available from URL:
http://prpmakasar.wordpress_com
77
A.A. Oka Marhaendra, 1996, Menguak Masalah Hukum Demokrasi dan Pertanahan,
Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hal. 279.
78
Abdurahman, 1995, Masalah Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah, Pembebasan Tanah dan
Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Citra Aditya Bakti,
Bandung, hal. 36.
54

batasannya.79 Kepentingan umum adalah adalah termasuk kepentingan bangsa

dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat dengan memperhatikan segi-

segi sosial, politik, psikologis dan hankamnas atas dasar asas-asas pembangunan

nasional dengan mengindahkan ketahanan nasional serta wawasan nusantara.80

Secara etimologis, sebagaimana dijelaskan dalam Kamus Bahasa

Indonesia yang disusun oleh Tim Pusat Bahasa, frasa kepentingan umum terdiri

dari dua kata yakni kepentingan dan umum. Kata kepentingan yang berasal dari

akar kata penting mengandung pengertian sangat perlu, sangat diutamakan

sedangkan kata umum mengandung pengertian keseluruhan, untuk siapa saja,

khalayak manusia, masyarakat luas dan lazim.81

Pengertian menurut ilmu bahasa ini tentu tidak dapat dijadikan pengertian

yuridis dari frasa kepentingan umum tetapi dapat dijadikan refrensi untuk

menemukan pengertian yang diinginkan sebab ilmu hukum (yuridische kunde) di

dalam proses pembentukannya tidak dapat berdiri sendiri dan berjalan sendiri

lepas dari ilmu sosial yang lainnya, tetapi saling mendukung, berjalan bersama

dengan ilmu pengetahuan lain, termasuk ilmu bahasa (etimologi). Secara

etimologis diuraikan pula pendapat para pakar tentang makna kepentingan umum.

Roscou Pound mengemukakan tentang social interest (kepentingan masyarakat).

Pendapat Pound tentang social interest ini berasal dari pemikiran Rudolf Van

Jhering dan Jeremy Bentham. Pound mengartikan social interest adalah suatu

kepentingan yang tumbuh dalam masyarakat itu sendiri. Pound membagi tiga

79
Oloan Sitorus dan Dayat Limbong, Op.cit,hal. 6.
80
John Salindeho, 1988, loc.cit
81
Tim Pusat Bahasa Indonesia, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa,
Jakarta, hal 80.
55

kategori interest antara lain: public interest (kepentingan umum), social interest

(kepentingan masyarakat) dan private interest (kepentingan pribadi). 82

Julius Stone dalam The Proponic and Function of Law, secara meyakinkan

telah membuktikan bahwa apa yang dimaksud dengan public interest melebur

dalam social atau individual interest atau dalam usaha negara mencari

keseimbangan di dalam interest ini. Kedua analisis ini mengasumsikan

kepentingan umum dalam pandangan ilmu sosial hukum: Kepentingan umum

adalah suatu keseimbangan antara kepentingan individu, masyarakat, penguasa

serta negara.83 Jan Gijssel sebagaimana dikutip Gunanegara berpendapat bahwa

Kepentingan umum tidak mudah dirumuskan, karena kepentingan umum itu

merupakan pengertian yang kabur (vage begrif) sehingga tidak mungkin

diinstusionalisasikan ke dalam suatu norma hukum, yang apabila dipaksakan

akibatnya akan menjadi norma kabur (vage normen).84 Pendapat menurut J.J.H

Bruggink yang dikutip Gunanegara yang menyatakan bahwa kepentingan umum

sebagai suatu pengertian yang kabur artinya suatu pengertian yang isinya tidak

dapat ditetapkan secara tepat, sehingga lingkupnya tidak jelas. Arti kepentingan

umum hanya dikenali dengan cara menemukan kriteria-kriteria dari kepentingan

umum itu sendiri, dengan memberikan kriteria kepentingan umum yang tepat,

82
Roscou Pound, 1922, An Introduction To The Philosophy of Law, Yale University
Press, New Heaven, hal. 4.
83
Julius Stone, 1961, The Province and Function of Law As Logic, Justice and Social
Control, A Study In Jurisprudence, New York, hal. 45.
84
Gunanegara, 2008, Rakyat dan Negara Dalam Pengadaan Tanah untuk Pembangunan,
Tata Nusa, Jakarta, hal. 11.
56

maka kepentingan umum dalam pengadaan tanah tidak lagi berkembang atau

dikembangkan sesuai dengan kepentingan negara semata.85

Menurut John Salindeho, kepentingan umum adalah termasuk kepentingan

bangsa dan negara serta kepentingan bersama rakyat, dengan memperhatikan segi

segi sosial, politik, psikologis dan hankamnas atas dasar asas-asas pembangunan
86
nasional dengan mengindahkan ketahanan nasional serta wawasan nusantara.

Pengadaan tanah untuk kepentingan umum dalam perkembangan hukum

pertanahan di Indonesia dilakukan dengan cara dan menggunakan lembaga hukum

yang pertama, yaitu pencabutan hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada

diatasnya. Dalam praktik ketentuan undang-undang ini tidak dapat berjalan. Untuk

mengatasi hal tersebut pemerintah mengeluarkan ketentuan mengenai pembebasan

hak atas tanah. Ketentuan ini dalam praktiknya banyak menimbulkan masalah

sehingga tidak dapat berjalan secara efektif. Berdasarkan kenyataan ini

pemerintah kemudian mengeluarkan keputusan presiden mengenai pelepasan

atau penyerahan hak atas tanah.

Pembahasan mengenai prinsip-prinsip kepentingan umum dalam

pengadaan tanah untuk pembangunan penting karena beberapa alasan. Pertama,

dalam sarana pembangunan, terutama pembangunan di bidang materiil, baik di

kota maupun di desa banyak memerlukan tanah. Misal : pembuatan gedung

sekolah inpres, pasar inpres, pelebaran jalan, semuanya memerlukan tanah sebagai

sarana utamanya. Pemilikan tanah oleh individu sebagaimana diuraikan dalam

Pasal 9 ayat (2) UUPA sewaktu-waktu dapat digugurkan karena berhadapan

85
Ibid, hal. 12.
86
John Salindeho, loc.cit.
57

dengan pembangunan bagi kepentingan umum. Adapun di lain pihak sebagian

warga masyarakat juga memerlukan tanah sebagai tempat pemukiman dan tempat

mata pencahariannya. Bilamana tanah tersebut diambil begitu saja dan diperlukan

untuk kepentingan pembangunan maka jelas akan mengorbankan hak asasi warga

masyarakat.

Kedua, sebagai titik tolak di dalam pembebasan tanah, pengadaan tanah

dan pencabutan hak atas tanah. Untuk mendapatkan tanah dalam rangka

penyelenggaraan atau untuk keperluan pembangunan, harus dilaksanakan dengan

hati-hati dan dengan cara yang bijaksana. Pembebasan tanah merupakan langkah

pertama yang dapat dilakukan bilamana pemerintah memerlukan sebidang tanah

untuk kepentingan umum atau untuk kepentingan yang dapat menunjang

pembangunan.

Ketiga, setelah lahirnya otonomi daerah, dalam rangka menampung

aspirasi masyarakat di daerah, kepentingan umum dalam penafsirannya harus

disesuaikan dengan masyarakat setempat, sikap pemerintah tidak dibenarkan

secara parsial memihak bagi kepentingan golongan tertentu saja, tetapi dilakukan

secara menyeluruh baik untuk kepentingan masyarakat pedesaan maupun

perkotaan. Dengan demikian bila ada proyek pembangunan dalam masyarakat di

daerah, maka sesuai dengan prinsip kepentingan umum, maka hak atas tanah

masyarakat bukan menjadi objek dari kepentingan umum. Penggunaan tanah

harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat haknya, hingga bermanfaat bagi

kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun yang bermanfaaat

pula bagi masyarakat dan Negara. Akan tetapi dalam hal ini ketentuan tersebut
58

tidak berarti bahwa kepentingan perseorangan akan terdesak sama sekali oleh

kepentingan umum (masyarakat). Kepentingan masyarakat dan kepentingan

perseorangan harus saling melengkapi, mengimbangi hingga akhirnya akan

tercapai tujuan pokok kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi rakyat

seluruhnya.87

2.2 Pengaturan Pengadaan Tanah Dalam Pembangunan Untuk

Kepentingan Umum

Menurut Soedharyo Soimin pembebasan tanah adalah melepaskan

hubungan hukum semula yang terdapat diantara pemegang hak/penguasa atas

tanah dengan cara pemberian ganti rugi.88 Dalam pelaksanan pengadaan tanah

harus tetap berdasarkan prinsip-prinsip dan ketentuan hukum yang sesuai dengan

prinsip bahwa negara Indonesia adalah suatu negara hukum. Pengadaan tanah

untuk kepentingan umum atau pembangunan diperlukan suatu pendekatan yang

bersifat terpadu melalui legal aprroach (pendekatan dari segi hukum), prosperty

approach (pendekatan dari segi kesejahteraan), security approach (pendekatan

dari segi ketertiban umum) dan humanity approach (pendekatan dari segi

kemanusiaan). Dengan legal approach dimaksudkan bahwa prinsip-prinsip dan

ketentuan-ketentuan hukum tetap dijadikan landasan sesuai dengan prinsip bahwa

negara Indonesia adalah negara hukum. Prosperty approach dimaksudkan untuk

memperhatikan asas-asas ketertiban keamanan, sehingga stabilitas nasional akan

87
Adrian Sutedi, Op.cit, hal. 49.
88
Soedharyo Soimin, 2001, Status Hak dan Pembebasan Tanah, Sinar Grafika, Jakarta,
hal.76.
59

tetap terpelihara.89 Pembangunan dari rakyat mengandung makna bahwa rakyat

merupakan faktor dominan diberikan peranan sentral dalam menggerakkan

pembangunan dan perlu ditingkatkan kemampuannya untuk berproduksi dengan

baik melalui investigasi dibidang sumber daya manusia. Pembangunan oleh rakyat

berarti memberikan setiap manusia Indonesia memperoleh kesempatan yang adil

untuk dapat berpartisipasi dalam proses pembangunan nasional. Pembangunan

untuk rakyat berarti menjamin bahwa setiap kemajuan yang diperoleh sebagai

hasil pembangunan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat banyak.

Secara yuridis, pengambilan tanah rakyat untuk keperluangan pembangunan bisa

dilakukan melaui tiga mekanisme, yakni : pencabutan hak, pelepasan hak dan

melalui tukar-menukar dan/atau jual beli.90 Arti pengadaan tanah mempunyai tiga

unsur yaitu :

1. Kegiatan untuk mendapatkan tanah, dalam rangka pemenuhan lahan


pembangunan untuk kepentingan umum.
2. Pemberian ganti rugi kepada mereka yang terkena kegiatan pengadaan
tanah.
3. Pelepasan hubungan hukum dari pemilik tanah kepada pihak lain.91

Memori penjelasan Pasal 18 UUPA hanya menyebutkan jaminan bagi

rakyat mengenai hak-haknya atas tanah. Pencabutan hak dimungkinkan, tetapi

diikat dengan syarat-syarat, misalnya harus disertai pemberian ganti rugi yang

layak. Jika ketentuan pasal 18 UUPA dipenggal maka dapat dinyatakan adanya :

a. Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara

serta kepentingan bersama dari rakyat

89
Abdurahman, Op. cit, hal. 51.
90
Bernard Limbong, I, Op. cit, hal. 338.
91
Mudakir Iskandar Syah, 2010, Pembebasan Tanah Untuk Kepentingan Umum : Upaya
Hukum Masyarakat Yang Terkena Pembebasan dan Pencabutan Hak, Jala Permata Aksara,
Jakarta, hal. 2.
60

b. Hak-hak atas tanah dapat dicabut

c. Ganti rugi

d. Layak

e. Cara yang diatur dengan undang-undang

Hal ini dapat dilihat dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 20

Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda Yang Ada

Diatasnya. Ketentuan yang menyatakan bahwa yang dicabut haknya itu tidak

dapat menyatakan tidak bersedia haknya dicabut, dan kalau diberikan hak untuk

banding maka bandingnya ke Pengadilan Tinggi, hanya mengenai jumlah ganti

rugi yang ditawarkan pemerintah. Hakim Pengadilan Tinggi akan menetapkan

apakah tetap pada jumlah yang ditawarkan pemerintah ataupun menaikkan jumlah

uang ganti rugi tersebut.

Disusul dengan dengan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 1973 tentang

Pelaksanaan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda Yang Ada

Diatasnya yaitu pencabutan hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada

diatasnya, supaya hanya dilaksanakan benar-benar untuk kepentingan umum dan

dilakukan dengan hati-hati serta cara-cara yang adil dan bijaksana, segala

sesuatunya sesuai dengan ketentuan-ketentuan peraturan perundangan yang

berlaku. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tersebut dinyatakan

bahwa untuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama rakyat

dan kepentingan pembangunan, Presiden dalam keadaan memaksa, setelah

mendengar Menteri Agraria, Menteri Kehakiman dan Menteri yang bersangkutan

dapat mencabut hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada diatasnya.
61

Prosedurnya seperti tersebut dalam Pasal 2 dan 3 yaitu melalui Kepala

Inspeksi Agraria dengan mengajukan antara lain rencana permohonan dan alasan-

alasannya, keterangan nama yang berhak beserta luas dan macam hak atas tanah

dan rencana penampungan orang yang ada diatasnya. Disamping itu Kepala

Kanwil BPN akan meminta pertimbangan dari Kepala Daerah yang bersangkutan

tentang permohonan tersebut dan penampungan rakyat dan agar Panitia Penaksir

bersidang menetapkan ganti rugi.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak

Atas Tanah dan Benda-Benda Yang Ada Diatasnya dalam ketentuan Pasal 1

dinyatakan :

Pasal 1
Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan Bangsa dan Negara serta
kepentingan bersama dari rakyat, demikian pula kepentingan
pembangunan, maka Presiden dalam keadaan yang memaksa setelah
mendengar Menteri Agraria, Menteri Kehakiman dan Menteri yang
bersangkutan dapat mencabut hak-hak atas tanah dan benda-benda yang
ada diatasnya.
Pasal 2
(1) Permintaan untuk melakukan pencabutan hak atas tanah dan/atau
benda tersebut pada pasal 1 diajukan oleh yang berkepentingan
kepada Presiden dengan perantaraan Menteri Agraria, melalui
Kepala Inspeksi Agraria yang bersangkutan.
(2) Permintaan tersebut pada ayat 1 pasal ini oleh yang berkepentingan
disertai dengan :
a. Rencana peruntukannya dan alasan-alasannya, bahwa untuk
kepentingan umum harus dilakukan pencabutan hak itu.
b. Keterangan tentang nama yang berhak (jika mungkin serta
letak, luas dan macam hak dari tanah yang akan dicabut
haknya serta benda-benda yang bersangkutan.
c. Rencana penampungan orang-orang yang haknya akan
dicabut itu dan kalau ada, juga orang-orang yang
menggarap tanah atau menempati rumah yang
bersangkutan.
Pasal 3
(1) Setelah menerima permintaan yang dimaksud dalam Pasal 2 maka
Kepala Inspeksi Agraria segera :
62

a. Meminta kepada para Kepala Daerah yang bersangkutan


untuk memberi pertimbangan mengenai permintaan
pencabutan hak tersebut, khususnya bahwa untuk
kepentingan umum harus dilakukan pencabutan hak itu dan
tentang penampungan orang-orang sebagai yang
dimaksudkan dalam Pasal 2 ayat 2 huruf c.
b. Meminta kepada Panitia Penaksir tersebut pada Pasal 4
untuk melakukan penaksiran tentang ganti kerugian
mengenai tanah dan/atau benda-benda yang haknya akan
dicabut itu.
(2) Di dalam waktu selama-lamanya tiga bulan sejak diterimanya
permintaan Kepala Inspeksi Agraria tersebut pada ayat 1 pasal ini
maka :
a. Para Kepala Daerah itu harus sudah menyampaikan
pertimbangannya kepada Kepala Inspeksi Agraria
b. Panitia Penaksir harus sudah menyampaikan taksiran ganti
kerugian yang dimaksud itu kepada Kepala Inspeksi
Agraria.
(3) Setelah Kepala Inspeksi Agraria menerima pertimbangan para
Kepala Daerah dan taksiran ganti kerugian yang dimaksud dalam
ayat (2) pasal ini, maka ia segera menyampaikan permintaan untuk
melakukan pencabutan hak itu kepada Menteri Agraria, dengan
disertai pertimbangannya pula.
(4) Jika di dalam waktu tersebut pada ayat 2 pasal ini pertimbangan
dan/atau taksiran ganti kerugian itu belum diterima oleh Kepala
Inspeksi Agraria, maka pertimbangan untuk melakukan pencabutan
hak tersebut diajukan kepada Menteri Agraria, dengan tidak
menunggu pertimbangan Kepala Daerah dan/atau taksiran ganti
kerugian Panitia Penaksir.
(5) Dalam hal tersebut pada ayat 4 pasal ini, maka Kepala Inspeksi
Agraria di dalam pertimbangannya mencantumkan pula
keteraangan tentang taksiran ganti kerugian itu.
(6) Oleh Menteri Agraria permintaan tersebut diatas dengan disertai
pertimbangannya dan pertimbangan Menteri Kehakiman serta
pertimbangan Menteri yang bersangkutan, segera diajukan kepada
Presiden untuk mendapat keputusan.

Menurut Pasal 6 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 maka Kepala

Kanwil BPN dapat saja langsung mengajukan permohonan tersebut kepada

Kepala Badan Pertanahan Nasional tanpa rekomendasi dari Kepala Daerah dan

Panitia Penaksir. Kepala Badan Pertanahan Nasional akan menetapkan suatu

keputusan mendahului keputusan Presiden tersebut. Keputusan tentang


63

pencabutan hak atas tanah harus dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia

dan isinya juga dimuat dalam surat kabar Pasal 8 Undang-Undang Nomor 20

Tahun 1961 menyatakan bahwa yang bersangkutan jika tidak dapat menerima

jumlah uang ganti rugi yang ditetapkan Panitia Penaksir maka yang bersangkutan

dapat mengajukan permohonan banding pada Pengadilan Tiggi dengan membayar

biaya perkara, yang juga sebagai Pengadilan Pertama dan terakhir selambat-

lambatnya 1 bulan sejak tanggal keputusan Presiden yang menyatakan hak atas

tanah dan benda-benda yang ada diatasnya dinyatakan dicabut.

Pasal 1 lampiran Inpres Nomor 9 Tahun 1973 tentang Pelaksanaan

Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang Ada Diatasnya,

disebutkan 4 kategori kegiatan dalam rangka pelaksanaan pembangunan yang

mempunyai sifat kepentingan umum. Adapun kutipan pasal 1 lampiran Inpres

Nomor 9 Tahun 1973 tentang Pelaksanaan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan

Benda-Benda yang Ada Diatasnya tersebut sebagai berikut :

Pasal 1
(1) Suatu kegiatan dalam rangka pelaksanaan Pembangunan mempunyai
sifat kepentingan umum, apabila kegiatan tersebut menyangkut :
a. Kepentingan Bangsa dan Negara dan/atau
b. Kepentingan masyarakat luas, dan/atau
c. Kepentingan rakyat banyak/ bersama dan/atau
d. Kepentingan pembangunan
(2) Bentuk-bentuk kegiatan Pembangunan yang mempunyai sifat
kepentingan umum sebagai dimaksud dalam ayat (1) pasal ini
meliputi bidang-bidang :
a. Pertahanan
b. Pekerjaan Umum
c. Perlengkapan umum
d. Jasa umum
e. Keagamaan
f. Ilmu kesehatan dan seni budaya
g. Kesehatan
h. Olahraga
64

i. Kesehatan umum terhadap bencana alam


j. Kesejahteraan sosial
k. Makam/kuburan
l. Pariwisata dan rekreasi
m. Usaha-usaha ekonomi yang bermanfaat bagi kesejahteraan umum
(3) Presiden dapat menentukan bentuk-bentuk kegiatan pembangunan
lainnya kecuali sebagai dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, yang
menurut pertimbangannya perlu bagi kepentingan umum.

Pihak yang berhak mengajukan objek tersebut bukan hanya instansi

pemerintah tetapi juga usaha-usaha swasta (Pasal 3) asal saja harus disetujui oleh

pemerintah dan atau pemerintah daerah sesuai dengan rencana pembangunan.

Pada pasal 2 disebutkan proyek pembangunan tersebut harus sudah termasuk

dalam Rencana Pembangunan yang telah diberitahukan kepada masyarakat yang

bersangkutan. (Rencana induk pengembangan tersebut harus bersifat terbuka

untuk umum). Berikut ini adalah kutipan pasal 2 dan pasal 3 Instruksi Presiden

Nomor 9 Tahun 1973.

Pasal 2
(1) Suatu proyek pembangunan dinyatakan mempunyai bentuk
kegiatan sebagai dimaksud dalam Pasal 1 diatas, apabila
sebelumnya proyek tersebut sudah termasuk dalam Rencana
Pembangunan yang telah diberitahukan kepada masyarakat yang
bersangkutan.
(2) Jika suatu Proyek pembangunan daerah akan dinyatakan
mempunyai bentuk kegiatan sebagai dimaksud dalam pasal 1
diatas, maka sebelumnya proyek harus sudah termasuk dalam
Rencana Induk Pembangunan dari daerah bersangkutan dan yang
telah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Daerah setempat.
(3) Rencana Induk Pembangunan sebagai dimaksud dalam ayat (2)
pasal ini harus bersifat terbuka untuk umum.
Pasal 3
(1) Yang berhak menjadi subyek atau pemohon untuk mengajukan
permintaan pencabutan hak atas tanah adalah instansi-instansi
Pemerintah/Badan-badan Pemerintah maupun usaha-usaha swasta,
segala sesuatunya dengan memperhatikan persyaratan untuk dapat
memperoleh sesuatu hak atas tanah sesuai dengan ketentuan-
ketentuan yang berlaku.
65

(2) Usaha-usaha swasta sebagai dimaksud dalam ayat (1) pasal ini,
rencana proyeknya harus disetujui oleh Pemerintah dan atau
Pemerintah Daerah sesuai dengan Rencana Pembangunan yang
telah ada.

Selain Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961, diterbitkan pula peraturan

mengenai ketentuan-ketentuan tata cara pembebasan tanah melalui Peraturan

Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 tentang Ketentuan-Ketentuan

Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah. Ketentuan dalam pasal 1 ayat (1)

PMDN No. 15 Tahun 1975 menyatakan bahwa Pembebasan tanah ialah

melepaskan hubungan hukum yang semula terdapat diantara pemegang

hak/penguasa atas tanahnya dengan cara memberikan ganti rugi.

Panitia ditetapkan oleh Gubernur /Kepala Daerah untuk masing-masing

Kabupaten/Kotamadya dalam sesuatu wilayah Provinsi. Didalam mengadakan

penaksiran/penetapan mengenai besarnya ganti rugi, panitia pembebasan tanah

harus musyawarah dengan para pemilik/pemegang hak atas tanah dan/atau

benda/tanaman yang ada di dalamnya berdasarkan harga umum setempat (Pasal 6

Ayat 1). Jika terdapat perbedaan harga taksiran ganti rugi diantara para anggota

panitia, maka yang dipergunakan harga rata-rata dari taksiran masing-masing

anggota (Pasal 6 Ayat 3).

Pembebasan tersebut dapat untuk keperluan pemerintah ataupun swasta.

Disinilah perbedaannya dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 yang

bandingnya pada Pengadilalan Tinggi sebagaimana sudah dibicarakan. Di dalam

pembebasan hak atas tanah ini maka kemungkinan pemukiman kembali dari

penduduk yang terkena pembebasan tersebut tetap dapat ganti rugi tersebut berupa

uang, tanah dan atau fasilitas lainnya.


66

Ketentuan pembebasan tanah untuk kepentingan swasta, dalam pasal 11

PMDN No. 15 Tahun 1975 disebutkan :

(1) Pemerintah Daerah setempat berkewajiban untuk mengawasi


pelaksanaan Pembebasan Tanah dan pemberian ganti rugi.
(2) Pembebasan tanah untuk keperluan Swasta pada asasnya harus
dilakukan secara langsung antara pihak-pihak yang berkepentingan
dengan pemberian ganti rugi dengan berpedoman pada asas
musyawarah.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1976 tentang

Penggunaan Acara Pembebasan Tanah Untuk Kepentingan Pemerintah Bagi

Pembebasan Tanah Oleh Pihak Swasta menyatakan bahwa swasta dapat

mempergunakan PMDN Nomor 15 Tahun 1975 itu untuk membebaskan tanah

untuk keperluan usahanya dan Pasal 1 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2

Tahun 1976 tentang Penggunaan Acara Pembebasan Tanah Untuk Kepentingan

Pemerintah Bagi Pembebasan Tanah Oleh Pihak Swasta disebutkan sebagai

berikut :

Pembebasan tanah oleh pihak swasta untuk kepentingan pembangunan


proyek-proyek yang bersifat menunjang kepentingan umum atau termasuk
dalam bidang pembangunan sarana umum dan fasilitas sosial dapat
dilaksanakan menurut acara pembebasan tanah untuk kepentingan
Pemerintah sebagaimana diatur dalam Bab I, II, dan IV Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975.

Pasal 2 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1976 tentang

Penggunaan Acara Pembebasan Tanah Untuk Kepentingan Pemerintah Bagi

Pembebasan Tanah Oleh Pihak Swasta disebutkan bahwa Penggunaan acara

sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 peraturan ini memerlukan izin tertulis dari

Gubernur Kepala Daerah Tingkat I yang bersangkutan.


67

Penggunaan oleh swasta untuk pembebasan ini dengan mempergunakan

peraturan yang diperuntukkan pembebasan tanah untuk kepentingan umum yang

diselenggarakan oleh pemerintah telah menimbulkan dampak yang luas dan rakyat

dibingungkan bahwa proyek-proyek swasta seperti dianggap untuk kepentingan

umum. Dalam pembebasan tanah tersebut tidak terelakkan terjadinya sejumlah

tindakan-tindakan tidak terpuji karena panitia pembebasan tanah tersebut lebih

memihak kepada investor daripada membela kepentingan rakyat.

Banyak hal jika tidak terdapat kesepakatan mengenai harga ganti rugi

seperti yang terlaksana dengan PMDN Nomor 15 Tahun 1975, maka uang ganti

rugi tersebut dikonsignasi di Pengadilan Negeri setempat dan dianggaplah

pembebasan tanah tersebut sudah selesai. Dengan konsignasi uang ganti rugi

tersebut harga dapat ditekan.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1985 dalam Pasal 2

menyatakan sebagai berikut :

1. Pengadaan tanah untuk keperluan proyek-proyek pembangunan yang


dilakukan oleh instansi pemerintah dilaksanakan oleh Pimpinan
Proyek Instansi yang bersangkutan.
2. Pengadaan tanah yang dimaksud dalam ayat (1) luasnya tidak lebih
dari 5 (lima) ha.
3. Dalam melaksanakan pengadaan tanah dimaksud dalam ayat (1)
Pemimpin proyek memberitahukan kepada Camat mengenai letak dan
luas tanah yang diperlukan
4. Apabila dipandang perlu, Camat dapat meminta bantuan instansi/dinas
teknis yang bersangkutan dengan jenjang hierarki.

Pimpinan proyek mengadakan musyawarah dengan yang bersangkutan.

Oleh Dirjen Agraria dikeluarkan Edaran Nomor 590/4263/Agr tanggal 2 Agustus

1985 tentang petunjuk pelaksana Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2

Tahun 1985. Demikian pula oleh Direktorat Jenderal Anggaran Departemen


68

Keuangan diterbitkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1985,

yaitu bahwa pengeluaran yang dapat dibebankan untuk jenis pengeluaran tanah

meliputi antara lain biaya administrasi pembuatan akta jual beli oleh Camat

sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah atau sebagai Kepala Wilayah; pembelian

ganti rugi tanah termasuk bangunan dan tanaman diatasnya; penyelesaian

sertifikat tanah; biaya pengosongan; biaya pengeringan; biaya pemerataan,

pematangan tanah dan pengeluaran lain yang berhubungan dengan itu.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1987 ini diatur untuk

memberikan suatu kemudahan bagi perusahaan pembangunan perumahan yang

berbentuk badan hukum, baik untuk penyediaan tanah, pencadangan tanah dan

izin lokasi. Pasal 2 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1987

menyatakan sebagai berikut :

1. Izin lokasi untuk keperluan perusahaan yang luasnya tidak lebih dari
15 ha bagi daerah tingkat II yang telah mempunyai rencana induk
kota/rencana kota, ditetapkan oleh bupati/walikotamadya Kepala
Daerah Tingkat II.2
2. Izin lokasi yang luasnya tidak lebih dari 200 ha ditetapkan oleh
Gubernur Kepala Daerah Tingkat I
3. Izin lokasi yang luasnya lebih dari 200 ha ditetapkan oleh Gubernur
Kepala Daerah Tingkat I setelah mendapat persetujuan terlebih dahulu
dari Menteri Dalam Negeri.

Peraturan ini sebagai pengganti dari PMDN Nomor 5 Tahun 1974 khusus

tentang penyediaan dan pemberian hak atas tanah dan PMDN Nomor 2 Tahun

1984 keperluan Perusahaan Pembangunan Perumahan sederhana/perumahan

murah yang diselenggarakan dengan fasilitas kredit pemilikan rumah dari Bank

Tabungan Negara.
69

Keperluan pembebasan tanah untuk industri maka telah diatur dengan

Keppres Nomor 53 Tahun 1989, yang memberikan Hak Guna Bangunan atau Hak

Pakai kepada badan-badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia

ataupun perusahaan-perusahaan negara/daerah. Kepada perusahaan-perusahaan

tersebut diberikan izin prinsip dan izin tetap, dan telah memperoleh amdal

berdasarkan PP Nomor 29 Tahun 1986. Permohonan izin lokasi dan izin

pembebasan diberikan oleh Gubernur Kepala Daerah melalui Kepala Kanwil BPN

dan izin pencadangan diatur oleh Kepala BPN.

Kepada perusahaan negara/daerah dapat diberikan Hak pengelolaan, izin

industri diberikan oleh Menteri Perindustrian. Perusahaan yang bersangkutan

harus memberi ganti rugi yang layak berdasarkan musyawarah ataupun

memberikan penggantian tanah di lokasi lain yang nilainya seimbang. Didalam 3

tahun setelah izin prinsip sudah harus dibebaskan 60%. Disebutkan bahwa

kawasan industri tersebut tidak boleh mengurangi areal tanah pertanian dan tidak

pula diatas tanah yang berfungsi untuk melindungi sumber daya alam dan warisan

budaya.

Pasal 28 H UUD 1945 merupakan amanat adanya larangan bagi siapapun

melakukan tindakan pencabutan/pengurangan hak atas tanah, pengambilan tanah

hak milik secara sewenang-wenang, yang berdampak pada kehilangan tempat

tinggal, pekerjaan, harkat dan martabat, penghidupan yang layak atau kenikmatan-

kenikmatan dari hak milik atas tanah yang dimiliknya. Pencabutan atau

pengurangan hak milik atas tanah hanya dapat dilakukan bila sesuai dengan

norma-norma hukum, kepatutan/kewajaran, kebutuhan yang mendesak untuk


70

kepentingan umum disertai dengan suatu ganti rugi yang layak atau pemindahan

ke lokasi lain yang layak dimana tempat tujuan pemindahan itu telah tersedia

sarana/fasilitas umum dan sarana atau fasilitas sosial. 92

Undang-undang tidak dapat menjelaskan suatu kondisi tertentu, beberapa

penyelenggara pemerintahan sering mengambil keuntungan dari istilah

kepentingan umum untuk mengambil tanah milik pribadi yang jelas-jelas

bertentangan dengan konstitusi dan kepastian hukum. Kepentingan umum

diberikan suatu pembatasan hak pribadi. Untuk menggambarkan kepentingan

umum dengan tepat, pembuat undang-undang harus mengemukakan beberapa hal

dasar. Pertama, perwujudan kepentingan umum sebagian besar merupakan sistem

publik sebagai government centered dibandingkan dengan suatu sistem pribadi

market led. Kedua, definisi kepentingan publik harus layak atau mempunyai

alasan. Ketika kepuasan kepentingan umum sering dimasukkan ke dalam

beberapa hal kepentingan pribadi, pembuat undang-undang perlu membatasi

kepentingan publik kepada suatu lingkup yang layak di dalam hak pribadi atas

tanah yang dimilikinya.

2.3 Pengaturan Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan

Umum

Kepemilikan tanah merupakan sebuah hak asasi manusia yang dilindungi

oleh hukum internasional maupun hukum nasional. Dalam hukum internasional

perlindungan hukum terhadap hak milik ini diatur dalam DUHAM (Deklarasi

Umum Hak Asasi Manusia), yaitu :

92
Adrian Sutedi, Op.cit, hal. 54
71

1.) Pasal 17.1 : Setiap orang berhak untuk memiliki harta benda baik secara

pribadi maupun bersama-sama dengan orang lain.

2) Pasal 17.2 : Tidak seorangpun dapat dirampas harta bendanya secara

sewenang-wenang.

3) Pasal 30 : Tidak ada satu ketentuan pun dalam deklarasi ini yang dapat

ditafsirkan sebagai memberi hak pada suatu negara, kelompok atau orang,

untuk terlibat dalam aktivitas atau melakukan suatu tindakan nyang

bertujuan untuk menghancurkan hak dan kebebasan - kebebasan apapun

yang diatur dalam deklarasi ini.

Di Indonesia, perlindungan kepemilikan tanah rakyat diatur dalam UUD

1945, TAP-MPR No. IX Tahun 2001, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999

tentang HAM. Dalam UUD 1945, termaktub dalam pasal-pasal berikut ini :

1). Pasal 18 B tentang pengakuan hak ulayat masyarakat adat.

2). Pasal 28G Ayat (1) yang berbunyi: Setiap orang berhak atas perlindungan

diri pribadi, keluarga, kehormatan dan harta benda yang di bawah

kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari

ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang

merupakan hak asasi.

3). Pasal 28H Ayat (4), yang berbunyi: Setiap orang berhak mempunyai hak

milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara

sewenang-wenang oleh siapapun.


72

4). Pasal 28 I Ayat (3) yang berbunyi: Identitas budaya dan hak masyarakat

tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan

peradaban.93

TAP-MPR RI Nomor IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan

Pengelolaan Sumber Daya Alam, perlindungan terhadap kepemilikan tanah

tercantum dalam beberapa butir Pasal 5 yakni butir b,d dan j. Butir b yakni :

Menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Butir d yakni :

Mengakui dan menghormati hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya

bangsa atas sumber daya agraria dan sumber daya alam dan Butir j : Mengakui

dan menghormati hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas

sumber daya agraria dan sumber daya alam.

Perlindungan hukum kepemilikan tanah rakyat dalam Undang-Undang

Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia diatur dalam beberapa pasal,

yakni : Pasal 2 tentang pengakuan dan perlindungan negara terhadap HAM, Pasal

6 Ayat (1) dan (2) tentang pengakuan dan perlindungan hak ulayat, Pasal 29 Ayat

(1) tentang perlindungan terhadap hak milik, Pasal 36 Ayat (1) dan (2) tentang

hak milik sebagai hak asasi dan jaminan tidak adanya perampasan secara

sewenang-wenang atas hak miliknya dan Pasal 37 Ayat (1) tentang syarat

mencabut hak milik adalah untuk kepentingan umum, dengan pemberian ganti

rugi dan harus berdasarkan UU; menyatakan bahwa Setiap orang berhak

mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil secara

sewenang-wenang oleh siapapun.

93
Bernad Limbong, I Op.cit, hal 322
73

Perbandingan Regulasi Pengadaan Tanah di Indonesia

Pokok Keppres No. 55 Perpres No. 36 Perpres No. 65 UU No 2


Perbanding Tahun 1993 Tahun 2005 Tahun 2006 Tahun 2012
an
Pengadaan Pengadaan tanah Pengadaan tanah Pengadaan tanah Pengadaan
Tanah adalah setiap adalah setiap adalah setiap Tanah adalah
kegiatan untuk kegiatan untuk kegiatan untuk kegiatan
mendapatkan tanah mendapatkan tanah mendapatkan menyediakan
dengan cara dengan cara tanah dengan cara tanah dengan
memberikan ganti memberikan ganti memberikan ganti cara memberi
kerugian kepada rugi kepada yang rugi kepada yang ganti kerugian
yang berhak atas melepaskan atau melepaskan atau yang layak dan
tanah tersebut. menyerahkan tanah, menyerahkan adil kepada
bangunan, tanaman, tanah, bangunan, pihak yang
dan benda-benda tanaman dan berhak
yang berkaitan benda-benda yang
dengan tanah atau berkaitan dengan
pencabutan hak atas tanah.
tanah
-Mekanisme Pengadaan tanah Pengadaan tanah Pengadaan tanah Pengadaan
Pengadaan bagi pelaksanaan bagi pelaksanaan bagi pelaksanaan tanah bagi
Tanah pembangunan pembangunan pembangunan pelaksanaan
untuk kepentingan untuk kepentingan untuk kepentingan pembangunan
umum oleh umum oleh umum oleh untuk
pemerintah Pemerintah atau Pemerintah atau kepentingan
dilaksanakan pemerintah daerah Pemerintah umum oleh
dengan cara dilaksanakan Daerah Pemerintah atau
pelepasan atau dengan cara : dilaksanakan Pemerintah
penyerahan hak atas a.Pelepasan atau dengan cara Daerah
tanah. penyerahan hak atas pelepasan atau dilaksanakan
tanah, atau penyerahan hak dengan cara
b. pencabutan hak atas tanah pelepasan atau
atas tanah penyerahan hak
atas tanah
Kepentingan Kepentingan umum Kepentingan umum Kepentingan Kepentingan
Umum adalah kepentingan adalah kepentingan umum adalah umum adalah
seluruh lapisan sebagian besar kepentingan kepentingan
masyarakat. lapisan masyarakat. sebagian besar bangsa, negara
lapisan dan masyarakat
masyarakat. yang harus
diwujudkan
oleh pemerintah
dan digunakan
sebesar-
besarnya untuk
kemakmuran
rakyat.
74

-Cakupan a. jalan umum, a. jalan umum, a. jalan umum dan a. pertahanan


Kepentingan saluran jalan tol, rel kereta jalan tol, rel dan keamanan
Umum pembuangan air; api (diatas tanah, di kereta api (di atas nasional
b. waduk, ruang atas tanah, tanah, di ruang b. jalan umum,
bendungan dan ataupun diruang atas tanah, jalan tol,
bangunan pengairan bawah tanah), ataupun di ruang terowongan,
lainnya termasuk saluran air bawah tanah), jalur kereta api,
saluran irigasi. minum/air bersih, saluran air stasiun kereta
c. rumah sakit saluran minum/air bersih, api dan fasilitas
umum dan pusat- pembuangan air dan saluran operasi kereta
pusat kesehatan sanitasi. pembuangan air api
masyarakat b. waduk, dan sanitasi. c. waduk,
d. pelabuhan atau bendungan, irigasi b. waduk, bendungan,
bandar udara atau dan bangunan bendungan, bendung,
terminal. pengairan lainnya. bendungan irigasi irigasi, saluran
e. peribadatan. c. rumah sakit dan bangunan air minum,
f. pendidikan atau umum dan pusat pengairan lainnya; saluran
sekolahan. kesehatan c. pelabuhan, pembuangan air
g. pasar umum atau masyarakat. bandar udara, dan sanitasi dan
pasar INPRES d. pelabuhan, stasiun kereta api, bangunan
h. fasilitas bandar udara, dan terminal. pengairan
pemakaman umum stasiun kereta api d. fasilitas lainnya
i. fasilitas dan terminal. keselamatan d. pelabuhan,
keselamatan umum e. peribadatan. umum, seperti bandar udara
seperti tanggul f. pendidikan atau tanggul dan terminal
penanggulangan sekolah penanggulangan e. infrastuktur,
bahaya banjir, lahar g. pasar umum bahaya banjir, minyak gas dan
dan lain-lain h. fasilitas lahar, dan lain- panas bumi
j. pos dan pemakaman umum lain f. pembangkit,
telekomunikasi i. fasilitas e. tempat transmisi,
k. sarana olah raga keselamatan umum pembuangan gardu, jaringan
l. stasiun penyiaran j. pos dan sampah dan distribusi
radio, televisi telekomunikasi f. cagar alam dan tenaga listrik
beserta k. sarana olah raga cagar budaya g. jaringan
pendukungnta. l.stasiun penyiaran g. pembangkit, telekomunikasi
m. kantor radio dan televisi transmisi, dan informatika
Pemerintah dan sarana distribusi tenaga Pemerintah
n. fasilitas pendukungnya. listrik. h. tempat
Angkatan m. kantor pembuangan
Bersenjata Pemerintah, dan pengolahan
Republik Indonesia pemerintah daerah, sampah
mperwakilan negara i. rumah sakit
asing, Perserikatan Pemerintah/Pe
Bangsa-Bangsa dan merintah
atau lembaga- Daerah
lembaga j. fasilitas
internasional di keselamatan
bawah naungan umum
Perserikatan k. tempat
Bangsa-Bangsa. pemakaman
n.fasilitas Tentara umum
75

Nasional Indonesia Pemerintah/Pe


dan Kepolisian merintah
Negara Republik Daerah
Indonesia sesuai l. fasilitas
dengan tugas pokok sosial, fasilitas
dan fungsinya. umum dan
o. lembaga ruang terbuka
permasyarakatan hijau publik
dan rumah tahanan m. cagar alam
p. rumah susun dan cagar
sederhana budaya
q. tempat n. kantor
pembuangan Pemerintah/Pe
sampah merintah
r. cagar alam dan Daerah/desa
cagar budaya. o. Penataan
s. pertamanan pemukiman
t. panti sosial kumuhperkotaa
u. pembangkit, n dan/atau
tansmisi, distribusi konsolidasi
tenaga listrik tanah, serta
perumahan
untuk
masyarakat
berpenghasilan
rendah dengan
status sewa
p. prasarana
pendidikan atau
sekolah
Pemerintah/Pe
merintah
Daerah
q. Prasarana
olahraga
Pemerintah/Pe
merintah
Daerah; dan
r. pasar umum
dan lapangan
parkir umum.

2.4 Pengaturan Peran Swasta Dalam Penyelenggaraan Pengadaan Tanah

Dalam Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

Dalam rangka menjamin kelangsungan proses pembangunan ekonomi

jangka panjang dengan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan,
76

Indonesia tidak bisa hanya bertumpu pada sektor pertanian tanpa proses

industrialisasi. Walaupun industrialisasi itu penting, namun perlu untuk diakui

bahwa industrialisasi bukan merupakan tujuan akhir melainkan hanya salah satu

strategi yang ditempuh untuk mendukung proses pembangunan ekonomi guna

mencapai kemakmuran rakyat Indonesia yang berkeadilan sosial. Industrialisasi

mendorong kebijakan pertanahan yang semakin adaptif terhadap mekanisme

pasar, namun belum diikuti dengan penguatan akses rakyat dan masyarakat

hukum lokal terhadap perolehan dan penggunaan tanah. Tujuan pembangunan

nasional adalah untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang

merata material dan spiritual berdasarkan Pancasila serta bahwa hakikat

pembangunan nasional adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya, maka

landasan pelaksanaan pembangunan nasional adalah Pancasila dan Undang-

Undang Dasar 1945 pasca amandemen.

Undang-Undang Pokok Agraria yang merupakan salah satu peraturan

perundang-undangan yang menerapkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, pada bagian

konsiderannya mengedepankan bahwa UUPA harus berdasarkan Pancasila yang

sila kelimanya adalah sila keadilan sosial. Ini berarti bahwa Undang-Undang

Pokok Agraria harus berasaskan keadilan sosial dalam Pancasila. Hal ini tidak

berarti bahwa sila sila lain dalam Pancasila dapat dilepas kaitan dan

pengertiannya satu sama lain.

Rumusan Pasal 1 ayat (2) UUPA yang menerapkan sila Ketuhanan Yang

Maha Esa menunjukkan hal itu. Dalam rumusan pasal tersebut dinyatakan bahwa

: seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung
77

di dalamnya, dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai karunia Tuhan Yang

Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan

kekayaan nasional. Untuk sementara dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa

asas yaitu (1) asas menguasai dari Negara, (2) asas penggunaan bumi, air dan

ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, harus

untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dan (3) asas keadilan sosial dalam

Pancasila dalam arti bahwa di dalam upaya mewujudkan sebesar- besar

kemakmuran rakyat, sila-sila lain di dalam Pancasila tidak dapat dilepas dari sila

keadilan sosial. 94

Asas yang disebut pertama menyangkut status tanah di negara Indonesia

dan asas yang disebut kedua dan ketiga menyangkut penggunaan dan

pemanfaaatan tanah yang diukur dengan dua penentu yaitu : (1) untuk sebesar-

besar kemakmuran rakyat dan (2) dijalankan secara berkeadilan sosial dalam

Pancasila. Asas-asas tersebut diatas diharapkan dapat diterapkan dalam

penggunaan dan pemanfaatan tanah. Apapun bentuk kongkrit dari penggunaan

tanah, asas-asas tersebut menguasainya.

Pasal 14 ayat (1) UUPA memuat ketentuan tentang penggunaan tanah dan

peruntukannya dengan pernyataan :

Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 2 ayat (2) dan (3) ,


Pasal 9 ayat (2) serta Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2). Pemerintah dalam
rangka sosialisme Indonesia membuat suatu rencana umum mengenai
persedian, peruntukkan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
a. Untuk keperluan negara;

94
Mustofa dan Suratman, 2013, Penggunaan Hak Atas Tanah Untuk Industri, Sinar
Grafika, Jakarta, hal 1-4.
78

b. Untuk keperluan peribadatan dan keperluan-keperluan suci lainnya


serta dengan dasar Ketuhahan Yang Maha Esa;
c. Untuk keperluan pusat-pusat kehidupan masyarakat, sosial,
budaya, kebudayaan dan lain-lain kesejahteraan;
d. Untuk keperluan perkembangan produksi pertanian, peternakan
dan perikanan serta sejalan dengan itu;
e. Untuk keperluan perkembangan industri, transmigrasi dan
pertambangan.

Didalam kerangka membuat suatu rencana umum mengenai persediaan,

peruntukkan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam

yang terkandung didalamnya, asas-asas tersebut diharapkan tertera di dalamnya.

Arah pembangunan jangka panjang di bidang ekonomi dalam pembangunan

nasional adalah tercapainya struktur ekonomi yang seimbang yang di dalamnya

terdapat kemampuan dan kekuatan industri yang maju dan didukung oleh

kekuatan dan kemampuan pertanian yang tangguh serta merupakan pangkal tolak

bagi bangsa Indonesia untuk tumbuh dan berkembang atas kekuataannya sendiri.

Untuk mencapai sasaran pembangunan di bidang ekonomi dalam

pembangunan nasional, industri memegang peranan yang menentukan dan oleh

karenanya perlu lebih dikembangkan secara seimbang dan terpadu dengan

meningkatkan peran serta masyarakat secara aktif serta mendayagunakan secara

optimal seluruh sumber daya alam dan manusia yang tersedia. Setelah Indonesia

menandatangani perjanjian Marrakesh April 1994, pengaturan hak atas tanah bagi

investasi perlu ada perubahan. Hal ini disebabkan karena pembangunan ekonomi

itu telah mendorong berkembangnya nilai-nilai yang terkait dengan tanah.

UUPA dengan prinsip nasionalitasnya memberi kewenangan yang sangat

luas pada Negara melalui Hak Menguasasi Negara. Pasal 2 UUPA menyatakan

bahwa :
79

(1) Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar
dan hal-hal lain sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan
ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi
kekuasaan seluruh rakyat.
(2) Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi
wewenang untuk:
a. Mengatur dan menyelenggarakan, peruntukan, penggunaan,
persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa.
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi,
air dan ruang angkasa.
(3) Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut
pada ayat 2 pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan; kesejahteraan dan
kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang
merdeka, berdaulat adil dan makmur.
(4) Hak menguasai dari Negara tersebut diatas pelaksanaannya dapat
dikuasakan kepada daerah-daerah Swastantra dan masyarakat-
masyarakat hukum adat, sekadar diperlukan dan tidak bertentangan
dengan kepentingan nasional menurut ketentuan-ketentuan Peraturan
Pemerintah

Berdasarkan pada Hak Menguasai Negara ini, kemudian dibuat Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak Atas Tanah dan Benda-

Benda yang ada diatasnya. Undang-undang ini memberikan keabsahan bahwa

Negara adalah perwakilan dari kepentingan umum. Pasal 1 Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak Atas Tanah dan Benda-Benda

yang ada diatasnya menyatakan :

Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta


kepentingan bersama dari rakyat, demikian pula kepentingan
pembangunan, maka presiden dalam keadaan memaksa setelah mendengar
Menteri Agraria, Menteri Kehakiman dan Menteri yang bersangkutan
dapat mencabut hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada diatasnya.

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 (Lembaran Negara Tahun 2000

Nomor 206 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) Tahun 2000-


80

2004 pada era kebijakan pembangunan ekonomi salah satunya adalah

mengembangkan kebijakan pertanahan untuk meningkatkan pemanfaatan

penggunaan tanah secara adil, transparan dan produktif dengan mengutamakan

hak-hak rakyat setempat termasuk hak-hak ulayat dari masyarakat adat serta

berdasarkan tata ruang wilayah yang serasi dan seimbang. Tanah merupakan salah

satu unsur yang sangat penting dalam pelaksanaan pembangunan baik dilakukan

oleh pemerintah, perusahaan swasta maupun masyarakat tidak lepas dari

kebutuhan akan tanah sebagai wadah kegiatannya. 95

Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta

kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut dengan

memberi ganti rugi yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-

undang. Disamping mekanisme pencabutan hak atas tanah, UUPA sesungguhnya

juga menyebut istilah pelepasan hak atau penyerahan secara sukarela oleh

pemegang hak atas tanahnya.

Berkaitan dengan pelepasan hak atau penyerahan secara sukarela oleh

pemegang hak atas tanah tersebut secara kronologis, awalnya dibentuk melalui

Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi

Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum (bahkan sebelumnya hanya

diatur dalam PMDN Nomor 15 Tahun 1975 dan PMDN Nomor 2 Tahun 1976).

Pada tahapan berikutnya dibentuk melalui Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun

2005 dan selanjutnya melalui Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 dan baru

tahun 2012 masalah pengadaan tanah untuk kepentingan umum dibuat dalam

95
Ibid, hal. 8-9
81

bentuk undang-undang, yakni Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang

Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum yang disyahkan

pada tanggal 14 Januari 2012.

Berdasarkan konsideran Keppres No 55 Tahun 1993 tersebut, ada tiga

prinsip dasar yang melatarbelakanginya yaitu : pertama, pembangunan berbagai

fasilitas untuk kepentingan umum memerlukan bidang tanah yang cukup,

sehingga pengadaannya perlu dilakukan sebaik-baiknya. Kedua, pelaksanaan

pengadaan tanah tersebut dilakukan dengan memperhatikan peran dalam

kehidupan manusia dan prinsip penghormatan terhadap hak-hak yang sah atas

tanah. Ketiga, pengadaan tanah untuk kepentingan umum diusahakan dengan cara

yang seimbang dan untuk tingkat pertama ditempuh dengan musyawarah

langsung dengan para pemegang hak atas tanah.

Untuk lebih meningkatkan legitimasi yuridis bagi pelaksanaan pengadaan

tanah untuk pengadaan bagi kepentingan umum diterbitkan Peraturan Presiden

Nomor 36 Tahun 2005. Penerbitan Perpres Nomor 36 Tahun 2005 dimaksudkan

untuk lebih memberikan dasar normatif bagi pengadaan tanah oleh pemerintah,

karena sebelumnya hanya didasarkan pada keppres.

Perpres Nomor 36 Tahun 2005 terdapat perluasan esensi dan pengadaan

tanah untuk kepentingan umum, yakni bidang-bidang kepentingan umum menjadi

semakin banyak sehingga lebih mengakomodasi banyak kepentingan. Penerbitan

perpres ini juga dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan para investor yang

membutuhkan banyak lahan (tanah) untuk kepentingan pembangunan proyek-

proyek investasi. Oleh karena itu, persoalan tersedianya lahan merupakan salah
82

satu faktor pertimbangan para investor sebelum menanamkan modalnya di

Indonesia. Dengan adanya kemudahan untuk memperoleh tanah bagi investor

sebagaimana ditentukan dalam Perpres Nomor 36 Tahun 2005, diharapkan iklim

investasi di Indonesia akan semakin kondusif. Hal ini dapat dipahami dan latar

belakang dibentuknya Perpres Nomor 36 Tahun 2005 ini, yakni sebagai salah satu

rekomendasi dari infrastructure summit.

Dinilai terlalu memihak kepada kepentingan investor dan tidak memihak

kepada kepentingan rakyat sebagai pemegang hak atas tanah, banyak desakan agar

Perpres Nomor 36 Tahun 2005 direvisi. Pada tanggal 5 Juni 2006 diterbitkan

Perpres Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Perpres Nomor 36 Tahun

2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk

Kepentingan Umum. Tujuan dari diterbitkannya Perpres Nomor 65 Tahun 2006

itu adalah untuk lebih meningkatkan prinsip penghormatan terhadap hak-hak atas

tanah yang sah dan kepastian hukum dalam pengadaan tanah bagi pelaksanaan

pembangunan untuk kepentingan umum.96

Pada saat pemerintah melancarkan kebijakan untuk penanaman modal baik

dengan penanaman modal asing (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967) maupun

dalam rangka penanaman modal dalam negeri (Undang-Undang Nomor 6 Tahun

1968), dan demikian pula telah terjadinya begitu banyak pembebasan pembebasan

tanah oleh swasta yang tidak terencana untuk keperluan pembangunan perumahan

maupun untuk industri dan lain-lain tujuan termasuk yang bersifat spekulatif maka

96
Ibid, hal 181-183.
83

untuk mentertibkannya telah ditertibkan oleh Menteri Dalam Negeri Peraturan

Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1974.

Dari Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 1973 disinyalir

bahwa dikonstatir adanya pembelian/pemilikan/penguasaan atas tanah milik

rakyat yang dilakukan baik oleh sementara orang maupun oleh badan-badan

hukum yang jumlahnya melampui batas/kebutuhan usahanya, dan tidak terkendali

oleh pemerintah. Demikian pula karena belum adanya land use atas tanah-tanah

tersebut maka selama belum adanya ketentuan land use atau sekarang disebut UU

Tata Ruang, maka peranan dari swasta tersebut yang menetapkan sendiri land use

tersebut maka keuntungan dari para investor tersebut harus dibayar mahal oleh

masyarakat sekitarnya sebagai suatu social economic cost.

Disinyalir adanya penguasaan/pembelian tanah yang bersifat spekulatif

dan usahanya berpaling khusus untuk mencari keuntungan yang sebesar-besarnya

yang kemudian dijual kepada swasta nasional maupun asing/joint venture maupun

kepada pemerintah dengan menawarkan harga yang tinggi namun dengan

menekan harga ketika pembelian mereka dari masyarakat. Keadaan yang

demikian samasekali tidak mendukung catur tertib pertanahan, rakyat yang

tersisih dari tempat-tempat yang subur ke daerah-daerah terpencil dan kurang

subur. Rakyat yang menjadi sasaran pembelian tanah tersebut menjadi resah,

lebih-lebih lagi didukung pekerjaan tersebut oleh oknum-oknum aparat

pedesaan/kecamatan, maupun oknum lain-lainnya.

Keadaan yang demikian telah menaikkan harga-harga untuk pembangunan

tersebut dan sangat ironis bahwa para investor kadangkala tidak ingin mengalami
84

kesusahan dalam pembebasan tanah tersebut dan menyerahkan saja kepada para

perantara tersebut. Dalam instruksi tersebut diatas, maka Menteri Dalam Negeri

menugaskan kepada Kepala-Kepala Daerah untuk mencegah masalah-masalah

tersebut dan lebih mengadakan pengawasan-pengawasan. Pembebasan tanah

untuk swasta terbanyak dari usaha-usaha real estate, industri dan termasuk industri

pariwisata. PMDN No. 5 Tahun 1974 Pasal 1 ayat (2) menyatakan :

1. Kebijakan mengenai penyediaan dan pemberian tanah untuk keperluan


perusahaan-perusahaan baik yang diselenggarakan dengan maupun
tanpa fasilitas-fasilitas penanaman modal sebagaimana yang diatur
dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal
Asing (LN 1967 No 1) dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968
tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (LN 1968 No 33) yang
ditetapkan dalam rangka menunjang pelaksanaan pembangunan pada
umumnya dan khususnya Pelita II dan mempunyai sasaran untuk
menciptakan suasana dan keadaan yang menguntungkan dan serasi
bagi kegiatan-kegiatan pembangunan, dengan tujuan agar pada satu
pihak kebutuhan penguasaha akan tanah dapat dicukupi dengan
memuaskan dan pada pihak lain sekaligus terselenggara tertib
pengusahaan dan penggunaan tanah berdasarkan peraturan-peraturan
perundangan yang berlaku, hingga tanah yang tersedia benar-benar
dimanfaatkan sesuai dengan fungsi sosialnya.

Pasal 5 ayat (6) menyebutkan bahwa perusahaan untuk pembangunan

perumahan berkewajiban antara lain untuk :

a. Mengajukan kepada pemerintah dengan perantaraan Gubernur Kepala


Daerah yang bersangkutan rencana proyek yang akan dibangunnya,
termasuk biaya, areal tanah yang diperlukan , jenis rumah dan
bangunan serta prasarana lingkungan dan fasilitas sosial, jangka waktu
diselesaikannya pembangunan rencana penjualan rumah yang sudah
selesai dibangun.
b. Mematangkan tanah dan membangunan jenis-jenis rumah yang juga
meliputi rumah-rumah murah.
c. Membangun dan memelihara selama waktu yang ditentukan
prasarana-prasarana lingkungan dan fasilitas sosial yang diperlukan,
jalan lingkungan, saluran pembuangan air, persediaan air minum,
listrik, telepon, tempat peribadatan, tempat rekreasi/olahraga, pasar
pertokoan, sekolah dan lainnya.
85

d. Menyerahkan prasarana lingkungan dan fasilitas sosial yang telah


dibangun kepada pemerintah/pemerintah daerah.
e. Menyimpan sebagian modal kerjanya di dalam Bank yang ditunjuk
oleh Gubernur Kepala Daerah yang bersangkutan sebagai jaminan
perusahaan tersebut akan benar-benar melaksanakan proyeknya.

Pasal 7 menetapkan bahwa lokasi perusahaan yang akan dibangun dan

letak tanah yang diperlukan ditetapkan oleh Gubernur/Kepala Daerah,

Bupati/Walikota Kepala Daerah dengan memperhatikan planologi daerah yang

bersangkutan.

Dalam ayat 3 ditetapkan bahwa :


a. Sejauh mungkin harus dihindarkan pengurangan areal tanah pertanian
yang subur.
b. Sedapat mungkin dimanfaatkan tanah yang semula tidak atau kurang
produktif.
c. Dihindarkan pemindahan penduduk dari tempat kediamannya
d. Diperhatikan persyaratan untuk mencegah terjadinya
pengotoran/pencemaran bagi daerah lingkungan yang bersangkutan.

Pasal 8 ditetapkan tentang luas tanah yang boleh dikuasai oleh perusahaan

tersebut oleh Menteri Dalam Negeri (tentunya sekarang Kepala BPN) atau

Gubernur Kepala Daerah. Pasal 20 disebutkan selama belum diperoleh izin dari

instansi yang berwenang maka tidak boleh melakukan pembelian, penyewaan,

pembebasan hak ataupun lain-lain bentuk perbuatan yang mengubah penguasaan

tanah yang bersangkutan, baik secara yuridis ataupun fisik, baik langsung ataupun

tidak langsung untuk kepentingan perusahaan atau calon investor.

Pasal 20 ayat (2) disebutkan sementara menunggu diperolehnya izin usaha

atau persetujuan Presiden atau Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal Pusat,

maka Gubernur Kepala Daerah yang bersangkutan :

a. Dapat mencadangkan tanah yang diperlukan untuk kepentingan


perusahaan/calon investor, seluas yang akan benar-benar diperlukan
untuk penyelenggarakan usaha yang direncanakan.
86

b. Menyampaikan pertimbangan kepada Kepala Badan Koordinasi


Penanaman Modal Pusat baik mengenai lokasi perusahaan maupun
kemungkinan penyediaan tanahnya.

Pasal 11 PMDN Nomor 5 Tahun 1974 disebutkan setelah diperoleh izin

dari Presiden atau Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal Pusat maka

perusahaan tersebut boleh melakukan pembelian, penyewaan atau pembebasan

hak dan penguasaan tanah yang diperlukannya, menurut cara-cara yang diatur

dalam peraturan perundang-undangan agraria yang ada. Pasal 11 ayat (2)

menyebutkan dalam izin yang diberikan Gubernur tersebut ditetapkan jangka

waktu dalam masa pembelian atau pembebasan haknya harus diselesaikan. Pasal

11 ayat (3) menyatakan pembelian atau pembebasan hak serta penguasaan

tanahnya dilakukan atas dasar musyawarah dengan pihak-pihak yang

mempunyainya di bawah pengawasan Bupati/Walikota Kepala Daerah yang

bersangkutan dan jika perlu memberikan bantuan jika ada kesulitan dengan

memperhatikan kepentingan kedua belah pihak. Pasal 11 ayat (4) menyatakan

bahwa selesai pembelian maka tanah yang bersangkutan harus segera diajukan

permohonan hak baru kepada pejabat yang berwenang. Pasal 11 ayat (5)

menyebutkan Bupati/Walikota Kepala Daerah dapat membatalkan setelah diberi

peringatan jika pembelian, penyewaan atau pembebasan tersebut tidak dilakukan

menurut cara yang semestinya dan/atau tidak diselesaikan dalam waktu yang

ditentukan.

Pasal 12 disebutkan Bupati/Walikota Kepala Daerah mengadakan

pengawasan agar perusahaan yang bersangkutan memenuhi kewajibannya dan

tanah yang telah dikuasai oleh perusahaan dipergunakan benar-benar dan


87

dimanfaatkan sesuai dengan izin dan melakukan kewajiban-kewajiban yang telah

ditentukan. Pasal 6 disebutkan juga bahwa dapat diberikan izin penyediaan dan

pemberian tanah untuk industrial estate yang bergerak di bidang penyediaan,

pengadaan, dan pematangan tanah bagi keperluan usaha industri, termasuk

industri pariwisata yang merupakan suatu lingkungan yang dilengkapi dengan

prasarana-prasarana umum yang diperlukan. Perusahaan-perusahaan yang

bergerak di bidang ini dapat berupa perusahaan pemerintah pusat/daerah dengan

bentuk Perum atau Persero atau Perusahaan Daerah.

- Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 268 Tahun 1982

Masalah tersebut terlihat lagi dengan Keputusan dari Menteri Dalam

Negeri Nomor 268 Tahun 1982, khusus untuk perusahaan-perusahaan real estate

yang belum membebaskan tanah ataupun belum mematangkan tanah ataupun

menyelesaikan seluruh proyek secara lengkap. Dalam keputusan tersebut

dinyatakan :

a. Dalam waktu paling lama 5 tahun harus sudah dibebaskan terhitung sejak

izin pembebasan tanah.

b. Dalam waktu 3 tahun sejak dibebaskan tanah sudah harus dimatangkan.

c. Menyelesaikan pembangunan tersebut 8 tahun sejak diperoleh izin

bangunan tetapi tidak melebihi 10 tahun.

- Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1982

Menteri Dalam Negeri telah membuat Instruksi Nomor 2 Tahun 1982

tentang Penertiban Tanah di Daerah Perkotaan yang dikuasai oleh Badan

Hukum/Perorangan yang tidak dimanfaatkan/ditelantarkan. Instruksi tersebut yang


88

ditujukan kepada para Gubernur dan Bupati/Walikota Kepala Daerah, agar tanah-

tanah yang sudah dibebaskan segera dimanfaatkan dan dipergunakan. Demikan

pula untuk mengadakan pengawasan yang intensif dan selambat-lambatnya

tanggal 24 September 1982 sudah harus dimanfaatkan/dipergunakan sesuai

dengan SK Pencadangan/Penunjukan Lokasi. Pelanggaran terhadap SK tersebut,

agar supaya dibatalkan SK tersebut dan tanahnya dikuasai langsung oleh Negara.

- Surat Edaran Nomor 593.82/5053/Agr tanggal 22 Desember 1982.

Dalam surat edaran tersebut Menteri Dalam Negeri sebaliknya mensinyalir

adanya kelambatan-kelambatan maupun hambatan-hambatan izin prinsip

pencadangan dan pembebasan tanah sehingga terjadi tunggakan-tunggakan yang

cukup besar. Tentunya ini sebagai keluhan dari para investor dalam memperoleh

izin tersebut dari pemerintah daerah yang bersangkutan.

- Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1982

PMDN ini mengatur tentang penyempurnaan PMDN Nomor 5 Tahun

1974 tentang Penyediaan dan Pemberian Tanah untuk keperluan perusahaan

terutama untuk perumahan sederhana (perumahan rumah dan fasilitas BTN).

Dalam hal ini ketentuan ini secara khusus untuk pembebasan tanah bagi

perusahaan-perusahaan pembangunan perumahan sederhana yang disetujui dan

dibiayai oleh BTN (catatan ketentuan ini bukan untuk pembebasan tanah untuk

Perum Perumnas). Permohonan diajukan kepada Gubernur KDH melalui

Bupati/Walikotamadya untuk memperoleh penetapan mengenai luas dan

lokasinya. Pembebasan tersebut termasuk kategori pembebasan tanah untuk


89

kepentingan pemerintah oleh swasta (berdasarkan PMDN Nomor 15 Tahun 1975

jo PMDN Nomor 2 Tahun 1976).

Sebagai contoh di DKI Jakarta, maka ditetapkan Keputusan Gubernur

Kepala Daerah Nomor 1898 Tahun 1991tanggal 28 Desember 1991 tentang

Petunjuk Pelaksanaan Pembaharuan Surat Izin Penggunaan Tanah Untuk

Pembangunan Perumahan (real estate) di wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta,

sebagai Kelanjutan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta

no. Da 11/23/49/1972 tanggal 20 November 1972 tentang Ketetapan Persyaratan

Pemberian Izin Penunjukkan Penggunaan Tanah Untuk Real Estate (Perumahan)

dalam Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan Keputusan Gubernur DKI

Jakarta Nomor 540 Tahun 1990 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemberian Surat

Persetujuan prinsip Pembebasan lokasi/lahan atas bidang tanah untuk

pembangunan fisik kota di DKI Jakarta. 97

97
A.P Parlindungan, 1993, Op.cit, hal. 61-67.
BAB III

PENGATURAN DASAR HAK SWASTA DALAM PENYELENGGARAAN

PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM

3.1 Politik Hukum Pengadaan Tanah Dalam Pembangunan Untuk

Kepentingan Umum

Setiap masyarakat yang teratur, menentukan pola-pola hubungan yang

bersifat tetap antara para anggotanya adalah masyarakat yang mempunyai tujuan

yang jelas. Politik adalah bidang yang berhubungan dengan tujuan masyarakat

tersebut. Struktur politik menaruh perhatian pada pengorganisasian kegiatan

kolektif untuk mencapai tujuan-tujuan bersama tersebut. Politik juga aktivitas

memilih tujuan sosial tertentu, dalam hukum persoalan yang dihadapi juga adalah

persoalan tentang keharusan untuk menentukan pilihan mengenai tujuan maupun

cara-cara yang hendak dipakai untuk mencapainya.98

Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari menjelaskan bahwa secara

etimologi, istilah politik hukum merupakan terjemahan bahasa Indonesia dari

istilah hukum Belanda rechtspolitiek, yang merupakan bentukan dari dua suku

kata yaitu recht dan politiek. Dalam bahasa Indonesia kata recht berarti hukum.

Kata politiek dalam kamus bahasa Belanda yang ditulis oleh Van der Tas

mengandung arti beleid. Kata beleid dalam bahasa Indonesia berarti

98
H. Riduan Syahrani, 2010, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti,
Banjarmasin, hal. 224.

90
91

kebijaksanaan. Jadi secara etimologi politik hukum berarti kebijaksanaan hukum

(legal policy). 99

Istilah politik hukum merupakan kombinasi dari politik dan hukum. Politik

merupakan bidang dalam masyarakat yang berhubungan dengan tujuan

masyarakat tersebut sekaligus aktivitas memilih suatu tujuan sosial tertentu.

Persoalan serupa dihadapi hukum yakni keharusan untuk menentukan suatu

pilihan mengenai tujuan maupun cara-cara yang hendak dipakai untuk mencapai

tujuan tersebut. Dengan demikian, hukum tidak lagi otonom karena memiliki

keterkaitan dengan sektor-sektor kehidupan dalam masyarakat. Hukum harus

senantiasa melakukan penyelesaian terhadap tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh

masyarakatnya. 100

Padmo Wahjono mengatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan dasar

yang menentukan arah, bentuk, maupun isi hukum yang akan dibentuk.101

Didalam tulisannya yang lain Padmo Wahjono memperjelas definisi tersebut

dengan mengatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan penyelenggara negara

tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukumkan sesuatu di dalamnya

mencakup pembentukan, penerapan, dan penegakan hukum.102 Teuku Mohammad

Radhie mendefinisikan politik hukum sebagai suatu pernyataan kehendak

99
Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, 2007, Dasar-Dasar Politik Hukum, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, hal 19-25.
100
Bernhard Limbong, 2012, Hukum Agraria Nasional, Pustaka Margaertha, Jakarta,
(Selanjutnya disingkat Bernhard Limbong II), hal. 137.
101
Padmo Wahjono, 1986, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum,Ghalia Indonesia,
Jakarta, hal. 160.
102
Padmo Wahjono, Menelisik Proses Terbentuknya Peraturan Perundang-undangan,
dalam Majalah Forum Keadilan, No. 29, April 1991, hal. 65.
92

penguasa negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya dan mengenai arah

perkembangan hukum yang dibangun. 103

Satjipto Rahardjo mendefinisikan politik hukum sebagai aktivitas memilih

dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dengan hukum

tertentu di dalam masyarakat yang cakupannya meliputi jawaban atas beberapa

pertanyaan mendasar yaitu : 1) tujuan apa yang hendak dicapai melalui sistem

yang ada; 2)cara-cara apa dan yang mana yang dirasa paling baik untuk dipakai

dalam mencapai tujuan tersebut; 3) kapan waktunya dan melalui cara bagaimana

hukum itu perlu diubah; 4) dapatkah suatu pola yang baku dan mapan dirumuskan

untuk membantu dalam memutuskan proses pemilihan tujuan serta cara-cara

untuk mencapai tujuan tersebut dengan baik.104

Terdapat pengertian atau definisi tentang politik hukum yang diberikan

oleh para ahli di dalam berbagai literatur. Dari pengertian atau definisi itu, dengan

mengambil substansinya yang ternyata sama, Moh. Mahfud MD mengemukakan

bahwa politik hukum adalah legal policy atau garis (kebijakan) resmi tentang

hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun

dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan negara. Politik

hukum merupakan pilihan tentang hukum-hukum yang akan dicabut atau tidak

diberlakukan yang kesemuanya dimaksudkan untuk mencapai tujuan negara

seperti yang tercantum di dalam Pembukaan UUD 1945.105

103
Teuku Mohammad Radhie, Pembaharuan Politik Hukum dalam Rangka Pembangunan
Nasional, dalam Majalah Prisma No. 6 Tahun II, Desember 1973, hal. 3.
104
Satjipto Rahardjo, 1991, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti Bandung, Bandung, hal.
352-353.
105
Moh. Mahfud MD, 2011, Politik Hukum di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, hal. 1.
93

Politik hukum itu ada yang bersifat permanen atau jangka panjang dan

ada yang bersifat periodik. Politik hukum yang bersifat permanen misalnya :

pemberlakuan prinsip pengujian yudisial, ekonomi kerakyatan, keseimbangan

antara kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan, penggantian hukum-hukum

peninggalan kolonial dengan hukum-hukum nasional, penguasaan sumber daya

alam oleh negara, kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan sebagainya. Disini

terlihat bahwa beberapa prinsip yang dimuat dalam UUD sekaligus berlaku

sebagai politik hukum. Politik hukum yang bersifat periodik adalah politik hukum

yang dibuat sesuai dengan perkembangan situasi yang dihadapi pada setiap

periode tertentu baik yang akan memberlakukan maupun yang akan mencabut,

misalnya pada periode 1973-1978 ada politik hukum untuk melakukan kodifikasi

dan unifikasi dalam bidang hukum-hukum tertentu, pada periode 1983-1988 ada

politik hukum untuk membentuk Peradilan Tata Usaha Negara dan pada periode

2004-2009 ada lebih dari 250 rencana pembuatan UU yang dicantumkan dalam

Program Legislasi Nasional (Prolegnas).106

Ada perbedaan cakupan antara politik hukum dan studi politik hukum,

yang pertama lebih bersifat formal pada kebijakan resmi sedangkan yang kedua

mencakup kebijakan resmi dan hal-hal lain yang terkait dengannya. Studi politik

hukum mencakup sekurang-kurangnya 3 hal yaitu : Pertama, kebijakan negara

(garis resmi) tentang hukum yang akan diberlakukan atau tidak diberlakukan

106
Prolegnas adalah daftar rencana UU yang akan dibentuk selama satu perode
pemerintahan untuk menjawab berbagai persoalan yang dihadapi pada periode yang bersangkutan.
Prolegnas ditetapkan oleh Ketua DPR berdasar kesepakatan antara DPR dan Pemerintah.
Prolegnas mempunyai dua fungsi yakni sebagai potret tentang rencana materi hukum (dalam arti
undang-undang) yang akan dibuat dan sebagai prosedur atau mekanisme pembuatan UU itu
sendiri.
94

dalam rangka pencapaian tujuan negara. Kedua, latar belakang politik, ekonomi,

sosial, budaya (poleksosbud) atau lahirnya produk hukum. Ketiga, penegakan

hukum di dalam kenyataan lapangan.

Pembahasan bab ini berangkat dari cakupan studi politik hukum yang

kedua, yakni latar belakang politik dibalik lahirnya hukum dan pengaruhnya

terhadap produk hukum. Pada tataran implementasinya, politik hukum sekurang-

kurangnya mengakomodasi tiga aspek. Pertama, pembangunan hukum yang

berintikan pembuatan materi-materi hukum agar sesuai dengan kebutuhan

pembangunan; kedua, pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk

penegakan supremasi hukum sesuai fungsi-fungsi hukum, penegakan fungsi

lembaga dan pembinaan para penegak hukum; dan ketiga, proses pembangunan

hukum dan pelaksanaannya harus menunjukkan peranan, sifat, dan orientasi

hukum dibangun dan ditegakkan.107

Menilik konsep politik hukum dari para ahli hukum sebagaimana

dijabarkan diatas, disimpulkan bahwa substansi dari politik hukum itu adalah

kebijaksanaan hukum terkait pembangunan dan perombakan hukum dalam rangka

mewujudkan apa yang menjadi tujuan negara. Politik hukum itu merupakan

langkah dan kebijakan yang diambil oleh penyelenggara negara (pemerintah yang

berkuasa) dalam rangka menciptakan sistem hukum nasional guna mewujudkan

cita-cita bangsa dan tujuan negara.

Pembicaraan mengenai politik hukum Indonesia, dimulai pada saat

diberlakukannya UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945. Soediman

107
Muhadar, 2006, Viktimisasi Kejahatan Pertanahan, Laksbang Presisndo,Surabaya, hal.
51.
95

Kartohadiprodjo mengatakan bahwa berlakunya hukum dalam suatu Negara

ditentukan oleh politik hukum Negara tersebut. Politik hukum suatu Negara dapat

dilihat dari undang-undang dasarnya, karena pada dasarnya undang-undang dasar

suatu Negara memuat sendi-sendi Negara serta kadang kala juga memuat dasar-

dasar politik hukum yang hendak diikuti oleh Negara tersebut.108

Soediman Kartohadiprodjo mengatakan bahwa sekalipun dalam Undang-

Undang Dasar 1945 tidak terdapat petunjuk mengenai politik hukum yang dianut

oleh Negara Indonesia, ternyata ketentuan politik hukum dicantumkan melalui

sarana ketetapan MPRS. Hal tersebut dapat dilihat dalam Ketetapan MPRS

No.II/1960.109 Secara garis besar dalam Ketetapan MPRS tersebut, mengenai

hukum diantaranya ditetapkan hal-hal sebagai berikut :

1. Supaya asas pembinaan hukum nasional itu sesuai dengan haluan Negara;

2. Pembinaan hukum nasional agar berlandaskan pada hukum adat yang

sesuai dengan perkembangan kesadaran rakyat Indonesia dan tidak

menghambat terciptanya masyarakat adil dan makmur.110

Seiring dengan terjadinya pergolakan politik yang dikenal dengan sebutan

pemberontakan Partai Komunis Indonesia pada tahun 1965, maka dengan

sendirinya agenda politik hukum yang digariskan oleh Ketetapan MPRS tersebut

belum terlaksana sebagaimana mestinya. Pada tahun-tahun tersebut, pemerintah

108
Soediman Kartohadiprodjo, 1967, Pengantar Tata Hukum di Indonesia, PT
Pembangunan, Jakarta, hal. 39-40.
109
Ibid, hal. 198.
110
Ibid.
96

Indonesia sibuk dengan agenda pemulihan keamanan, sementara terkait dengan

agenda pembangunan hukum menjadi terabaikan.111

Agenda politik hukum baru mulai dirancang kembali pada tahun 1973. Hal

tersebut dilakukan melalui sarana Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1973 tentang

Garis-Garis Besar Haluan Negara. Dalam ketetapan MPR tersebut dirumuskan

politik hukum yang diikuti oleh Negara Indonesia, yaitu sebagai berikut :

1. Pembangunan di bidang hukum dalam Negara Hukum Indonesia adalah


berdasarkan atas landasan sumber tertib hukum.
2. Pembinaan hukum harus mampu mengarahkan dan menampung
kebutuhan-kebutuhan hukum sesuai dengan kesadaran hukum rakyat yang
berkembang ke arah modernisasi menurut tingkat-tingkat kemajuan
pembangunan di segala bidang sehingga tercapai ketertiban dan kepastian
hukum sebagai prasarana yang harus ditujukan kearah peningkatan
pembinaan kesatuan bangsa, sekaligus berfungsi sebagai sarana
menunjang perkembangan modernisasi dan pembangunan yang
menyeluruh.
3. Memupuk kesadaran hukum dalam masyarakat dan membina sikap para
penguasa dan para pejabat pemerintah kearah penegakan hukum, keadilan
serta perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia dan ketertiban
serta kepastian hukum sesuai dengan UUD 1945.112

Berdasarkan ketetapan MPR tersebut, terlihat dengan jelas bahwa politik

hukum yang ditempuh oleh Negara Indonesia adalah mengadakan pembaharuan

hukum dan kodifikasi hukum. Politik hukum yang demikian, kembali digariskan

oleh MPR melalui Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1978 tentang Garis Besar

Haluan Negara, yaitu sebagai berikut :

1. Pembangunan di bidang hukum dalam Negara hukum Indonesia


didasarkan atas landasan sumber tertib hukum seperti terkandung
dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
2. Pembangunan dan pembinaan bidang hukum diarahkan agar hukum
mampu memenuhi kebutuhan sesuai dengan tingkat kemajuan

111
Otong Rosadi dan Andi Desman, 2012, Studi Politik Hukum : Suatu Optik Ilmu
Hukum, Thafa Media, Yogyakarta, hal. 66.
112
Ibid, hal. 67.
97

pembangunan di segala bidang, sehingga dapatlah diciptakan


ketertiban dan kepastian hukum dan memperlancar pelaksanaan
pembangunan.
3. Meningkatkan kesadaran hukum dalam masyarakat.
4. Mengusahakan terwujudnya Peradilan Tata Usaha Negara.
5. Dalam usaha pembangunan hukum nasional perlu ditingkatkan
langkah-langkah untuk penyusunan perundang-undangan yang
menyangkut hak dan kewajiban asasi warga Negara dalam rangka
mengamalkan Pancasila dan UUD 1945.113

Melalui Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1983 tentang Garis-Garis Besar

Haluan Negara, MPR menggariskan arah politik hukum sebagai berikut :

1. Pembangunan dan pembinaan hukum dalam Negara hukum Indonesia


didasarkan atas Pancasila dan UUD 1945;
2. Pembangunan dan pembinaan hukum diarahkan agar dapat :
a. Memantapkan hasil-hasil pembangunan yang telah ada;
b. Menciptakan kondisi yang lebih mantap
3. Dalam rangka pembangunan dan pembinaan hukum tersebut, akan
dilanjutkan usaha-usaha untuk :
a. Meningkatkan dan menyempurnakan pembinaan hukum nasional
dalam rangka pembaharuan hukum, antara lain mengadakan
kodifikasi serta unifikasi hukum.
b. Memantapkan kedudukan dan peranan badan-badan penegak
hukum sesuai dengan fungsi dan wewenangnya masing-masing;
c. Memantapkan sikap dan perilaku para penegak hukum serta
kemampuannya.
4. Meningkatkan penyuluhan hukum.
5. Dalam usaha pembangunan nasional perlu dilanjutkan langkah-
langkah untuk penyusunan perundang-undangan yang menyangkut hak
dan kewajiban asasi warga Negara dalam rangka mengamalkan
Pancasila dan UUD 1945.114

Arah politik hukum sebagaimana yang digariskan oleh Ketetapan MPR

Nomor II/MPR/1983 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara, kembali

digariskan oleh MPR melalui Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1988 tentang

Perubahan dan Tambahan Atas Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1983 tentang

Garis-Garis Besar Haluan Negara. Selanjutnya melalui Ketetapan MPR Nomor

113
Ibid, hal. 68.
114
Ibid, hal. 70.
98

II/MPR/1993 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara, MPR mengarahkan

politik hukum nasional sebagai berikut :

1. Terkait dengan Materi Hukum


a. Materi hukum meliputi aturan baik tertulis maupun tidak tertulis
yang berlaku dalam penyelenggaraan segenap dimensi kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, bersifat mengikat bagi
semua penduduk.
b. Pembangunan materi hukum diarahkan terwujudnya sistem hukum
nasional yang mengabdi pada kepentingan nasional dengan
penyusunan awal materi hukum secara menyeluruh yang
bersumber pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945,
khususnya penyusunan produk hukum yang sangat dibutuhkan
untuk mendukung tugas umum pemerintahan dan pembangunan
nasional.
c. Pembangunan materi hukum termasuk perencanaan hukum,
pembentukan hukum serta penelitian dan pengembangan hukum
d. Perencanaan hukum sebagai bagian penting dari proses
pembangunan materi hukum harus diselenggarakan secara terpadu
dan meliputi semua bidang pembangunan
e. Pembentukan hukum diselenggarakan melalui proses secara
terpadu dan demokratis berdasarkan Pancasila dan UUD 1945
2. Terkait Aparatur Hukum
a. Pembangunan aparatur hukum diarahkan pada terciptanya aparatur
hukum yang memiliki kemampuan untuk mengayomi masyarakat
dan mendukung pembangunan nasional.
b. Pembangunan aparatur hukum dilaksanakan melalui pembinaan
profesi hukum serta pemanfaatan semua organisasi dan lembaga
hukum.
c. Penerapan hukum dan penegakan hukum dilaksanakan secara tegas
dan lugas tetapi juga manusia berdasarkan asas keadilan dan
kebenaran dalam rangka mewujudkan ketertiban dan kepastian
hukum, meningkatkan tertib sosial dan disiplin nasional.
3. Terkait dengan Sarana dan Prasarana Hukum
a. Pembangunan sarana dan prasarana hukum diarahkan pada
terwujudnya dukungan perangkat yang mampu menjamin
kelancaran dan kelangsungan berperannya hukum sebagai pengatur
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
b. Sarana dan prasarana hukum terus ditingkatkan baik jumlah
maupun kualitasnya agar dapat mendukung upaya pembangunan
hukum secara optimal. 115

115
Otong Rosadi dan Andi Desman, Op.cit, hal. 76.
99

Arah politik hukum yang tercantum dalam Ketetapan MPR Nomor

II/MPR/1993 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara, merupakan awal dari

pembangunan hukum nasional dengan menggunakan pendekatan yang sistemik

dan holistik. Arah politik hukum sebagaimana yang tercantum dalam Ketetapan

MPR Nomor II/MPR/1993 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara, kembali

diagendakan oleh MPR hasil pemilu tahun 1997 melalui Ketetapan MPR Nomor

II/MPR/1998 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara.

Budi Harsono menjelaskan bahwa politik hukum agraria merupakan

kebijakan pemerintah di bidang agraria yang ditujukan untuk mengatur

penggunaan atau kepemilikan tanah, peruntukan dan penggunaan tanah untuk

lebih menjamin perlindungan hukum dan peningkatan kesejahteraan serta

mendorong kegiatan ekonomi melalui pemberlakuan undang-undang agraria dan

peraturan pelaksanaannya.116 Politik hukum agraria harus dilandasi dengan itikad

baik pemerintah dan para pembuat hukum (undang-undang) untuk mencapai

tujuan yang baik dalam mengeluarkan kebijakan, baik pada saat ini maupun masa

yang akan datang.

Mengacu pada pemahaman politik hukum sebagaimana yang telah

dijabarkan dapat disimpulkan bahwa politik hukum agraria menyangkut arah

kebijaksanaan hukum dalam bidang agraria. Kebijaksanaan hukum yang

dimaksud bertujuan untuk memelihara, mengawetkan, memperuntukkan,

mengusahakan, mengambil manfaat, mengurus dan membagi tanah dan sumber

daya alam lainnya yang terkandung di dalamnya untuk kepentingan dan

116
Boedi Harsono, Op. cit, hal. 17.
100

kesejahteraan rakyat.117 Dalam pelaksanaan, legal policy dapat dijabarkan dalam

bentuk sebuah peraturan perundang-undangan yang berisikan asas, dasar dan

norma dalam bidang agraria.

Merujuk pada Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945, politik hukum agraria

memiliki hubungan erat dengan konsep hak menguasai negara. Hak menguasai

negara bersumber pada alinea keempat UUD 1945 menentukan :

Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah Negara


Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia, dan seluruh tumpah
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, kedamaian abadi dan keadilan sosial
maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, yang terbentuk dalam
suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat
dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang
Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta
dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Makna yang terkandung di dalamnya adalah negara diberi tugas dan

tanggungjawab untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah

Indonesia. Dari kata-kata tumpah darah memilki makna tanah air. Tanah air

Indonesia meliputi bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya,

semuanya itu ditujukan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan

kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Sehingga negara

mengupayakan agar bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya

adalah digunakan utamanya untuk kesejahteraan bangsa Indonesia.

117
Singgih Praptodihardjo, 1953, Sendi-Sendi Hukum Tanah di Indonesia, Yayasan
Pembangunan, Jakarta, hal. 26-37.
101

Negara sebagai konsep yang berkaitan dengan kekuasaan memiliki

sejumlah tujuan hakiki sebagai pengemban tujuan dari seluruh warganya. Oleh

karena itu, wajar kalau setiap hukum positif selalu menempatkan suatu tujuan

yang terdapat dalam hukum itu yang secara inklusif termasuk tujuan negara. 118

Penjabaran selanjutnya dituangkan dalam Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945

serta dalam Pasal 1 Ayat (1), (2) dan (3) UUPA menentukan :

(1) Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh
rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa Indonesia.
(2) Seluruh bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai
karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa,
Bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional;
(3) Hubungan antara Bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa
yang termaksud dalam ayat (2) pasal ini adalah hubungan yang
bersifat abadi.

Berdasarkan pada ketentuan diatas, wilayah Indonesia adalah salah satu

kesatuan tanah air kepunyaan seluruh rakyat Indonesia sebagai suatu bangsa

Indonesia, merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa menjadi kekayaan nasional.

Kepunyaan itu melahirkan hubungan antara bangsa Indonesia dengan bumi, air

dan serta ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang ada di dalamnya adalah

hubungan yang bersifat abadi. Artinya bahwa selama bangsa Indonesia masih ada,

selama itu pula hak bangsa itu tetap melekat dan dipunyai oleh bangsa

Indonesia.119

Hak Menguasai Negara menurut UUD 1945 mengandung hak dan

kewajiban negara sebagai pemegang kekuasaan yang mengemban tugas

menciptakan kesejahteraan rakyat. Hak menguasai negara dipahami sebagai


118
Supriadi, 2010, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 58.
119
Muhammad Bakri, 2007, Hak Menguasai Tanah Oleh Negara (Paradigma Baru Untuk
Reformasi Agraria), Citra Media, Yogyakarta, hal. 39.
102

kewenangan yang dimiliki oleh negara yang berisi wewenang mengatur,

merencanakan, mengelola/mengurus serta mengawasi pengelolaan, penggunaan

dan pemanfataan tanah dan sumber daya agraria lainnya; baik dalam hubungan

antara individu, masyarakat dan negara dengan tanah dan sumber daya agraria

lainnya maupun hubungan antara perseorangan, masyarakat dan negara satu


120
dengan lainnya yang berkaitan dengan tanah dan sumber daya agraria lainnya.

Dalam Penjelasan Umum Nomor II/1/UUPA dijelaskan sebagai berikut:

Pertama-tama dasar kenasionalan itu diletakkan dalam Pasal 1 ayat (1)


yang menyatakan bahwa : seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan
tanah air dari seluruh rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa
Indonesia dan Pasal 1 ayat (2) yang berbunyi bahwa : Seluruh bumi, air
dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa
adalah bumi, air dan ruang angkasa, Bangsa Indonesia dan merupakan
kekayaan nasional. Ini berarti bahwa bumi, air dan ruang angkasa dalam
wilayah Republik Indonesia yang kemerdekaannya diperjuangkan oleh
bangsa sebagai keseluruhan, menjadi hak pula dari bangsa Indonesia jadi
tidak semata mata menjadi hak dari pemiliknya saja. Demikian pula tanah-
tanah di daerah daerah dan pulau-pulau tidaklah semata-mata menjadi
hak rakyat asli dari daerah atau pulau yang bersangkutan saja. Dengan
pengertian demikian maka hubungan bangsa Indonesia dengan bumi, air
dan ruang angkasa bangsa Indonesia merupakan semacam hubungan hak
ulayat yang diangkat pada tingkat paling atas yaitu pada tingkatan yang
mengenai seluruh wilayah negara. Adapun hubungan antara bangsa dan
bumi, air serta ruang angkasa Indonesia itu adalah hubungan yang bersifat
abadi (Pasal 1 ayat (3)). Ini berarti bahwa selama rakyat Indonesia yang
bersatu sebagai bangsa Indonesia masih ada dan selama bumi, air dan
ruang angkasa Indonesia itu masih adapula, dalam keadaan yang
bagaimanapun tidak ada sesuatu kekuatan yang akan memutuskan atau
meniadakan hubungan tersebut.

Dari penjelasan diatas, hak bangsa Indonesia atas bumi, air dan ruang

angkasa bukanlah hak milik tetapi semacam hubungan hubungan hak ulayat yang

120
Bernhard Limbong II, Op. cit, hal. 141.
103

diangkat pada tingkatan tertinggi, meliputi seluruh wilayah Indonesia. Hak bangsa

mengandung dua unsur yaitu :

1. Unsur kepunyaan bersama yang bersifat perdata, tetapi bukan berarti


hak kepemilikan dalam arti yuridis, tanah bersama dari seluruh rakyat
Indonesia yang telah bersatu menjadi bangsa Indonesia (Pasal 1 ayat
(1) UUPA). Pernyataan ini menunjukkan sifat komunalistik dari
konsepsi hukum Nasional
2. Unsur tugas kewenangan yang bersifat publik untuk mengatur dan
memimpin penguasaan dan penggunaan tanah yang dipunyai bersama
tersebut.121

Unsur perdata sifatnya abadi dan tidak memerlukan campur tangan

kekuasaan politik untuk melaksanakannya, tugas kewajiban yang termasuk hukum

publik tidak mungkin dilaksanakan sendiri oleh rakyat. Oleh karena itu

penyelenggaraannya dilakukan oleh bangsa Indonesia sebagai pemegang hak dan

pengemban amanat yang pada tingkatan tertinggi dan diserahkan kepada negara.

Unsur publik ini tercermin dari adanya kewenangan negara untuk mengatur tanah

di seluruh wilayah Republik Indonesia. Tugas kewenangan ini dilaksanakan oleh

negara berdasarkan hak menguasai negara yang dirumuskan dalam Pasal 2 UUPA

yang merupakan tafsiran autentik dari pengertian dikuasai oleh negara dalam

Pasal 33 Ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945.

Konsep dasar hak menguasai tanah oleh negara termuat dalam Pasal 33

Ayat (3) UUD 1945 yang dijabarkan lebih lanjut oleh Pasal 2 UUPA. Kata

menguasai mempunyai dua arti yaitu menguasai secara fisik dan menguasai secara

yuridis. Menguasai secara fisik adalah, orang yang menguasai sebidang tanah

dapat berbuat sesuatu misalnya: mendirikan bangunan, menanam tanaman diatas

121
Ari Sukanti Hutagalung dan Markus Gunawan, 2008, Kewenangan Pemerintah Di
Bidang Pertanahan, PT. Raja Grafindo persada, Jakarta, hal. 20.
104

tanahnya dan sebagainya. Menguasai secara yuridis adalah penguasaan atas tanah

yang dilandasi dengan hak dan dilindungi oleh hukum, umumnya juga memberi

wewenang kepada pemegang haknya untuk menguasai secara fisik tanahnya. 122

Hak menguasai tanah oleh negara termasuk penguasaan secara yuridis atas

tanah yang tidak diikuti dengan penguasaan secara fisik tanahnya. Hak menguasai

tanah oleh negara hanya memberi wewenang kepada negara untuk mengatur hal-

hal sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UUPA. Hak menguasai tanah oleh negara

berkesinambungan dengan konsep Negara kesejahteraan. Konsep Negara

kesejahteraan memikul tanggungjawab utama, mewujudkan keadilan sosial,

kesejahteraan umum dan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Hubungan

penguasaan negara dengan tanah berkaitan dengan beberapa aspek berikut:

1. Berkaitan dengan kesatuan negara, maka negara berfungsi utuk

melindungi wilayah negara, melakukan penetapan atas tugas

kewenangan pemerintah baik pusat dan daerah, serta dengan

memperhatikan perkembangan pluralisme masyarakat hukum adat;

2. Berkaitan dengan pemenuhan kepentinganumum, negara bertugas

sebagai perencana, pengatur dan pembangun (menciptakan

kepentingan umum tersebut);

3. Berkaitan dengan hak-hak perseorangan, maka negara bertugas

mengatur dan menetapkan hak-hak atas tanah yang bersifat publik

serta menjamin kelancaran hubungan-hubungan hukum antara orang

dengan tanah serta hubungan-hubungan hukum antara orang dengan

122
Muhammad Bakri, Op.cit, hal. 52.
105

tanah serta hubungan-hubungan hukum antara orang dengan orang

berkaitan dengan tanah;

4. Berkaitan dengan tanah sebagai fungsi kesejahteraan sosial, maka

negara bertugas untuk menjamin pemenuhan kesejahteraan tersebut

dengan cara mengatur dan mengawasi;

5. Berkaitan dengan fungsi kesejahteraan ekonomi, maka negara berhak

mengatur, melakukan usaha ekonomi dan melakukan pengawasan.

Politik agraria dapat dilaksanakan, dijelmakan dalam sebuah undang-

undang yang mengatur agraria yang memuat asas-asas, dasar-dasar dan soal-soal

agraria dalam garis besarnya, dilengkapi dengan peraturan pelaksanaannya.


123
Dengan demikian ada hubungan yang erat antara politik dan hukum. Bila

merujuk pada karakteristik dari semua produk hukum yang diberlakukan di

Indonesia sejak era kolonial hingga era reformasi saat ini, arah politik hukum

agraria Indonesia meliputi : kebijakan eksploitatif dan diskriminatif pada masa

kolonial, kebijakan konstruktif dan responsif pada masa Orde Lama, kebijakan

otoriter dan kapitalistik pada era Orde Baru, dan kebijakan reformatif sektoral era

reformasi saat ini.

1. Kebijakan Eksploitatif dan Diskriminatif.

Karakteristik yang melekat pada politik agraria kolonial, antara lain

meliputi dominasi, eksploitasi, diskriminasi dan dependensi.124 Eksploitasi

dilakukan dengan menggali/mengeruk sumber kekayaan alam negara jajahan

123
Urip Santoso, 2012, Hukum Agraria Kajian Komprehensif, Kencana Prenanda,
Jakarta, hal. 25.
124
Fauzi Noer, 1999, Petani dan Penguasa : Dinamika Perjalanan Politik Agraria
Indonesia, Insist Press, KPA dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, (selanjutnya disingkat Fauzi Noer
II), hal. 20.
106

untuk kepentingan negara penjajah. Penduduk pribumi diperas tenaga dan hasil

produksinya untuk diserahkan kepada penjajah, yang kemudian oleh pihak

penjajah dikirim ke negara induknya untuk kemakmuran mereka sendiri.

Karakteristik diskriminasi terjadi dalam perlakuan perbedaan ras dan etnis.

Golongan penjajah dianggap sebagai golongan yang superior, sedangkan

penduduk pribumi yang dijajah dipandang sebagai bangsa yang rendah atau hina.

Disamping itu, dalam hal kepemilikan tanah, negara sebagai pemegang kedaulatan

dianggap sebagai pemilik tanah satu-satunya, sedangkan para petani (rakyat

Indonesia) adalah penggarap tanah negara. Sebagai penggarap, para petani

diwajibkan membayar sewa tanah sebagai bentuk perpajakan atas tanah.

Penetapan nilai pajak dilakukan untuk membuat nilai tanah dengan mengukur

tanah tiap penggarap dan produktivitasnya. Dalam kenyataannya pemungutan

pajak dilakukan berdasarkan penilaian fiktif.

Kebanyakan penggarap yang didaftar sebagai pembayar pajak pemilik

tanah dalam survey penetapan nilai pajak ini adalah penduduk desa kelas atas.

Dengan kata lain, para petani kelas bawah tidak diakui sebagai pemegang hak atas

tanah, karena itu dikeluarkan dari sasaran pajak langsung. Pemerintah kolonial

pun menetapkan bahwa sewa tanah harus dinilai berdasarkan keseluruhan desa

bukan berdasarkan penggarap-penggarap individual sepanjang pengukuran dan

penilaian tanah yang akurat tidak bisa dilakukan.125

Dalam suatu sistem ini, jumlah sewa tanah yang dipungut atas suatu desa

harus ditetapkan berdasarkan kontrak-kontrak dengan kepala desa lokal dan tetua-

125
Bernhard Limbong II, Op.cit, hal. 143.
107

tetua desa. Kekurangan standar universal maka ditetapkan secara lokal setiap

tahun melalui negosiasi dengan kepala-kepala lokal tersebut. Penilaian dan

pengumpulan sewa tanah dengan menggunakan metode semacam ini dijalankan

selama beberapa dekade. Sehingga penerimaan pemerintah dari pengumpulan

sewa tanah sangat tidak stabil, dan keadilan dalam perpajakan tidak pernah

terealisasi. Hal ini disebabkan oleh variasi lokal yang besar dalam penerapannya.

Disisi lain para petani juga harus dibebani oleh sistem tanam paksa maupun

berbagai jenis kerja bakti (heerendiensten) oleh Belanda.126

Pada tahun 1870, pemerintah kolonial mengeluarkan Agrarische Wet

(AW) dan Agrarische Besluit (AB) sebagai peraturan pelaksanaannnya. Undang-

Undang ini menjamin kebebasan ekonomi bagi perusahaan-perusahaan

perkebunan swasta dan secara perlahan menghapuskan sistem tanam paksa yang

berada di bawah monopoli negara.127 Aturan-aturan ini tidak pernah mengakui hak

milik individual para petani. Semua tanah tanpa bukti kepemilikan menjadi milik

negara (domein van den staat). Tanah-tanah petani pun dianggap sebagai tanah

tak bebas, sedangkan tanah tak bertuan atau terlantar digolongkan sebagai tanah

negara bebas. Dalam Agrarische Wet diatur bahwa pemerintah dilarang untuk

menjual tanah. Pemerintah hanya menyewakan tanah negara.

2. Kebijakan Konstruktif dan Responsif

Politik hukum agraria pada era Orde Lama diawali dengan adanya tuntutan

kepada Pemerintah setelah Proklamasi Kemerdekaan pada tahun 1945 untuk

126
Gunawan Wiradi, 2000, Reforma Agraria :Perjalanan Yang Belum Berakhir, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, hal. 3.
127
Sudargo Gautama, 1998, Tafsiran UUPA 1960, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 80.
108

segera membuat produk hukum agraria nasional yang baru dan berwatak

responsif.128 Hal ini terkait kebijakan di bidang agraria warisan pemerintah

kolonial yang tidak mengakomodasi kepentingan kepentingan masyarakat

Indonesia dan bahkan merugikan rakyat Indonesia. Mena nggapi tuntutan tersebut,

pemerintah mengeluarkan beberapa undang-undang secara parsial yang berisi

pencabutan terhadap beberapa bagian dalam hukum agraria peninggalan kolonial

yang sangat menindas. Pemerintah juga membuat rancangan Undang-Undang

Agraria Nasional untuk menggantikan Agrarische Wet melalui beberapa panitia

perancang.

Dapat dikatakan bahwa politik agraria Orde Lama terfokus pada

pembangunan hukum agraria nasional sebagai penjabaran dari Pasal 33 UUD

1945 : Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai

oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pasal ini

sebenarnya mengemukakan dua hal pokok : pertama, negara ikut campur dalam

mengatur sumber daya alam sebagai alat produksi. Kedua, pengaturan yang

dilakukan negara ditujukan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Kedua hal

pokok ini saling terkait sehingga pada tataran penerapannya tidak boleh

mengabaikan satu sama lain.

Produk politik hukum agraria yang paling fenomenal adalah

diterbitkannya Undang-Undang Pokok Agraria 1960. UUPA dinilai sebagai

undang-undang yang sangat responsif karena merombak seluruh sistem yang

dianut di dalam Agrarische Wet dan semua peraturan pelaksanaannya. Masalah-

128
Karl J. Pelzer, 1991, Sengketa Agraria: Pengusaha Perkebunan Melawan Petani,
Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hal. 144.
109

masalah mendasar dalam hukum agraria lama yang dihapus oleh UUPA meliputi

domein verklaring, feodalisme dan hak konversi dalam hukum tanah serta

dualisme hukum. Konsepsi terpenting dalam UUPA yang kemudian mendasari

berbagai peraturan lainnya adalah Hak Menguasai Negara dan fungsi sosial tanah

Fungsi sosial tanah dijabarkan dalam Pasal 6 UUPA. Prinsip fungsi sosial

ini tidak lepas dari konteks landreform yang menjadi agenda pokok pemerintahan

pada masa itu. Tujuannya adalah menghindari akumulasi dan monopoli

kepemilikan tanah oleh segelintir orang. Sebaliknya unsur masyarakat atau

kebersamaan dimasukkan dalam penggunaan tanah. Dalam hak individu pun ada

hak kebersamaan. Negara berwenang membatasi individu maupun badan hukum

untuk menguasai tanah dalam jumlah besar. Pengaturan batas kepemilikan tanah

oleh perseorangan dilakukan agar kepemilikan itu hanya dihubungkan dengan

usaha mencari nafkah dan penghidupan layak atau hanya digunakan untuk

pemukiman, pertanian dan industri rumah.

Di dalam UUPA, terkandung tujuan landreform sebagai satu konsepsi

struktur agraria yang didalamnya terdapat usulan tentang perombakan penguasaan

dan penggunaan tanah. Landreform bertujuan untuk mencapai masyarakat adil

dan makmur, meningkatkan taraf hidup penggarap tanah khususnya dan rakyat

pada umumnya, dan memperluas kepemilikan tanah bagi seluruh rakyat

Indonesia, terutama kaum tani. Dengan landasan filosofi yang disebut konsepsi

tanah untuk rakyat, UUPA 1960 bertujuan bukan saja demi kepastian hukum atau

jika dirumuskan dengan istilah berbeda unifikasi hukum, tetapi tujuan yang
110

hakiki adalah mengubah susunan masyarakat, dari suatu struktur warisan stelsel

feodalisme dan kolonialisme menjadi suatu masyarakat yang adil dan sejahtera.

Hal ini juga diperkuat oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara di

dalam ketetapannya, yaitu Tap MPRS No. II/MPRS/1960 tentang Garis-garis

Besar Pola Pembangunan Nasional Berencana Tahun pertama, 1961-1969. Tap

MPRS RI Nomor II/MPRS/1960 dan Manifesto Politik menyebut tiga landasan

filosofis pembangunan pada masa ini yaitu : anti penghisapan atas manusia oleh

manusia; kemandirian ekonomi dan anti kolonialisme, imperialisme, feodalisme

dan kapitalisme dengan landreform sebagai agenda pokoknya. Pada pasal 4 ayat

(3) Tap MPRS tersebut, disebutkan bahwa landreform sebagai bagian mutlak dari

revolusi Indonesia adalah basis pembangunan semesta yang berdasarkan prinsip

bahwa tanah sebagai alat produksi tidak boleh dijadikan alat penghisapan.

Demikian juga, dari sejumlah Peraturan Perundang-Undangan di bidang

Agraria periode 1960-1966, sebagian besar tentang landreform dan pengurusan

hak atas tanah.129 Tampak jelas bahwa era pemerintahan Orde Lama meletakkan

isu agraria sebagai bidang pokok yang harus segera diprioritaskan. Itu artinya

Orde Lama menempatkan land reform sebagai kebijakan revolusioner dalam

pembangunan semestanya untuk mencapai Sosialisme Indonesia dengan

mengeluarkan peraturan mengenai redistribusi tanah. Syarat pokok untuk

pembangunan tata perekonomian adalah pembebasan berjuta-juta kaum tani dan

rakyat pada umumnya dari pengaruh kolonialisme, imperialisme, feodalisme dan

129
Nurhasan Ismail, 2006, Perkembangan Hukum Pertanahan Indonesia: Suatu
Pendekatan Ekonomi-Politik, Disertasi Pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Gajah
Mada, Yogyakarta, hal. 185.
111

kapitalisme dengan melaksanakan land reform menurut ketentuan hukum nasional

Indonesia, seraya meletakkan dasar-dasar bagi industrialisasi, terutama industri

dasar dan industri berat yang harus diusahakan dan dikuasai negara.

3. Kebijakan Otoriter dan Kapitalistik

Pembangunan dan pertumbuhan ekonomi merupakan fokus dan prioritas

pada era Orde Baru. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman

Modal Asing menjadi kebijakan perdana dalam rangka pembangunan ekonomi.

Perusahaan asing yang telah dinasionalisasi oleh Orde Lama, pada tahun 1967

mulai diprivatisasi. Bahkan negosiasi penjadwalan ulang atas utang-utang luar

negeri dilakukan sekaligus mengajukan pinjaman-pinjaman baru.130

Implikasi dari kebijakan pro pembangunan ekonomi turut mempengaruhi

kebijakan di bidang agraria. Kebijakan agraria pun lebih berorientasi pada upaya

mendukung pertumbuhan ekonomi yang ditujukan untuk pemenuhan kepentingan

dan kebutuhan pembangunan sektoral (pertanian dan industri). Pergeseran

orientasi kebijakan pun tidak dapat dihindari. Kebijakan yang lebiih populistik

sebelumnya bergeser menuju kebijakan yang pro kapitalis. Tujuannya tidak lain

dalam rangka mengejar pertumbuhan ekonomi.

Dalam bingkai pendekatan ekonomi yang cenderung kapitalistik, tanah

dipandang sebagai komoditi strategis. Ketersediaan tanah yang memadai bagi

setiap sektor pembangunan ditujukan untuk mendorong invetasi seluas-luasnya

dan sebesar-besarnya dalam rangka menunjang pertumbuhan ekonomi yang

tinggi. Tanah dipandang sebagai barang dagangan, siapa yang memiliki uang

130
Ricardo Simarmata, 2002, Kapitalisme Perkebunan:Dinamika Konsep Pemilikan
Tanah Oleh Negara, INSIST Pres, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal. 64.
112

dapat membelinya tanpa harus dibatasi. Para pemilik modal dapat menanamkan

modalnya dalam bentuk tanah yang pada gilirannya menimbulkan

terkonsentrasinya kepemilikan tanah pada segelintir orang.

Arah kebijakan agraria yang berkaitan dengan hukum agraria ditegaskan

bahwa pembangunan hukum agraria ditujukan dalam rangka memantapkan dan

mengamankan pelaksanaan pembangunan dan hasil-hasilnya: dilaksanakan

dengan mengembangkan dan membina kelengkapan perangkat peraturan

perundang-undangan di bidang agrarian; dilaksanakan dengan menyelenggarakan

Catur Tertib Agraria yaitu tertib hukum agrarian, tertib administrasi agraria, tertib

penggunaan tanah dan tertib pemeliharaan tanah dan lingkungan hidup. Dalam

konteks tersebut, jelas bahwa pembangunan hukum pun lebih menitikberatkan

pada pengamanan pelaksanaan pembangunan. Artinya tertibnya hukum agraria

ditujukan untuk mengakomodasi dan memudahkan eksploitasi sumber daya alam

dan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan yang berorientasi pada

pertumbuhan ekonomi. Jelas terlihat bahwa terjadi perubahan ideologi

pembangunan dari sosialisme kearah kapitalisme yang termanifestasi dalam

liberalisasi dan swastanisasi penguasaan dan pemanfaatan tanah dan sumber daya

agraria lainya.131 Dalam perkembangannya sejak pertengahan dekade 1980an

hingga mencapai titik kulminasi pada awal dekade 1990an swastanisasi dan

liberalisasi semakin menjadi mainstream substansi kebijakan agrarian. Ekstrimnya

131
Bernhard Limbong II, Op.cit, hal. 150.
113

bahwa terjadi komoditisasi tanah pada periode itu yang berdampak negatif bagi

perlindungan kepemilikan tanah masyarakat.132

3.2 Politik Hukum Pengaturan Hak Swasta Dalam Penyelenggaraan

Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum

Kesejahteraan rakyat merupakan tanggungjawab negara, hal tersebut

tercermin dari isi Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Lebih jauh lagi ditegaskan dalam

Pasal 34 UUD 1945 menyatakan :

(1) Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh Negara
(2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan
memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai
martabat kemanusiaan
(3) Negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas pelayanan
kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam
undang-undang

Ketentuan Pasal 33 dan 34 UUD 1945 ini merupakan landasan

konstitusional bagi Negara untuk melakukan campur tangan dalam bidang

perekonomian. Campur tangan negara dalam bidang perekonomian ini

dikhususkan pada pengaturan pasar dalam konsep negara kesejahteraan. Campur

tangan negara terhadap kegiatan ekonomi merupakan satu asas yang dibutuhkan

dalam rangka pembinaan cita hukum dari asas hukum nasional. Asas-asas lainnya

adalah asas keseimbangan dan asas pengawasan publik. Mengingat tujuan dasar

kegiatan ekonomi adalah untuk mencapai keuntungan, sehingga sasaran tersebut

mendorong terjadi penyimpangan. Maka untuk menghindari penyimpangan

diperlukan campur tangan Negara.

132
Ifdhal Kasim, 1996, Tanah Sebagai Komoditas : Kajian Kritis Atas Kebijakan
Pertanahan Orde Baru, ELSAM, Jakarta, hal. 30.
114

Politik perundang-undangan adalah subsistem hukum, politik perundang-

undangan tidak dapat dipisahkan dari politik hukum. Mengetahui politik hukum

pada dasarnya mengetahui politik perundang-undangan, demikian pula sebaliknya

yaitu mengetahui politik perundang-undangan pada dasarnya mengetahui politik

hukum. Politik tentang tata cara pembentukan terkait sistem hukum dan

instrument hukum yang digunakan dalam pembentukan peraturan perundang-

undangan. Politik penerapan hukum berkaitan dengan fungsi penyelenggaraan

pemerintahan di bidang hukum. Politik penegakan hukum berkaitan dengan sendi-

sendi sistem kenegaraan. 133

Corak dan isi politik hukum perundang-undangan dapat dilihat dari

faktor-faktor berikut :

1. Corak Politik Perundang-undangan

Peraturan perundang-undangan pada dasarnya akan mencerminkan

berbagai pemikiran dan kebijaksanaan politik yang berpengaruh, yang dapat

bersumber kepada ideologi tertentu. Seperti doktrin sosialisme akan berbeda

dengan doktrin kapitalisme di bidang ekonomi.

Politik hukum pada negara demokrasi akan berusaha memberikan

kesempatan yang luas pada keikutsertaan masyarakat menentukan corak dan isi

huku yang dikehendaki. Indonesia berdasarkan Pancasila dan yang berdasarkan

kekeluargaan akan mempunyai politik hukum tersendiri sesuai dengan rechtsidee

yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945.

133
H. Abdul Latif dan H.Hasbi Ali, 2010, Politik Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal.164.
115

Ada tiga tataran kebijaksanaan politik perundang-undangan yang

terkandung dalam kerangka dan paradigma staatsidee atau rechtsidee yaitu :

a. Pada tatanan politik, tujuan Hukum Indonesia adalah tegaknya

negara hukum yang demokratis.

b. Pada tatanan sosial dan ekonomi, politik hukum bertujuan

mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

c. Pada tataran normatif, politik hukum bertujuan tegaknya keadilan

dan kebenaran dalam setiap segi kehidupan masyarakat. Ketiga

tujuan tersebut berada dalam suatu tataran hukum nasional yang

bersumber dan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

2. Tingkat Perkembangan Masyarakat

Politik hukum yang berdasarkan perkembangan masyarakat lebih bercorak

pragmatik. Sifat ini harus secara berhati-hati ditangani, karena menyentuh

berbagai dasar atau paradigma kenegaraan yang mungkin menggeser staatsidee

atau rechtsidee yang menjadi sumber citra bernegara. Seperti kebutuhan dan

kepentingan masyarakat industri berbeda dengan kepentingan masyarakat agraris.

3. Pengaruh Global

Politik hukum memperhatikan pula pengaruh global. Dalam konteks

global, politik hukum tidak dapat semata-mata melindungi kepentingan nasional

tetapi juga melindungi kepentingan internasional atau juga harus melindungi

kepentingan lintas negara.


116

4. Intervensi Asing dalam Pembentukan Undang-Undang

Peraturan perundang-undangan di negara manapun selalu dibuat manusia

dengan suatu pemikiran mendasar di dalam benaknya. Pemikiran mendasar ini

bisa dipengaruhi oleh banyak faktor seperti keyakinan, ideologi atau agama,

pengetahuan dan juga bisa kepentingan. Kepentingan inipun bisa bermacam-

macam seperti kepentingan pribadi, kepentingan kelompok atau partai,

kepentingan rakyat atau kepentingan asing.

Dari semua faktor diatas, yang paling berbahaya adalah ketika kepentingan

asing mendominasi. Walaupun kepentingan rakyat luas bisa salah satu atau

bertentangan dengan keyakinan tertentu, akibatnya baru akan terasa pada jangka

panjang. Jika kepentingan asing dominan maka dapat ditebak bahwa dalam waktu

singkat peraturan perundang-undangan itu sudah akan menimbulkan masalah bagi

masyarakat.

Intervensi asing yang disebutkan dalam paparan pembahasan bab ini

dikategorikan dalam lima metode kelompok yaitu :

1. Intervensi pemerintah ke pemerintah yakni pemerintah asing secara

langsung menekan pemerintah suatu negara agar memasukkan suatu

klausul atau agenda dalam peraturan perundang-undangannya.

2. Intervensi lembaga internasional seperti PBB, WTO, IMF yang

mengambil peran penekanan. Kelompok ini sedikit lebih elegan karena

seakan agenda yang ingin dipaksakan adalah kesepakatan-kesepakatan

internasional. Hal ini seolah rekomendasi lembaga internasional itu

sebagai sesuatu yang ideal karena memenuhi standar dan norma


117

internasional. Bila tidak diikuti bisa terkucilkan atau tidak lagi pnatas

menerima kerjasama dunia.

3. Intervensi dunia bisnis baik bisnis yang memiliki jaringan

internasional maupun bisnis yang hanya bergerak di lingkup domestik.

Para pengusaha dan investor ini dapat menekan pemerintah agar

memuluskan berbagai kepentingan mereka dalam undang-undang.

Tidak jarang pengusaha asing menggunakan mitra lokal untuk lebih

lantang bersuara agar tidak terkesan ada kepentingan asing di balik itu.

Ancaman yang sering dimunculkan adalah memindahkan investasi ke

negara lain yang beriklim lebih baik.

4. Intervensi lembaga swadaya masyarakat. LSM termasuk ormas-ormas

dapat menjadi kelompok penekan yang efektif pada pemerintah, badan

legislatif maupun badan yudikatif.

5. Intervensi kaum intelektual, para ilmuan, lembaga konsultan dapat

dipakai untuk menekan pemerintah agar meloloskan agenda dalam

perundang-undangannya. Para birokrat dan perancang Undang-Undang

juga terkadang diundang untuk studi banding dan bertemu dengan

pakar di luar negeri. Dalam pertemuannya itulah terjadi intervensi

secara halus. Dalam kenyataannya, pola kaum intelektual ini adalah

jenis intervensi asing yang paling rapi dan paling sulit dideteksi,

karena yang akan muncul adalah keyakinan dari anak banga sendiri.
118

Pola intelektual ini hanya digunakan untuk intervensi jangka

panjang.134

Berangkat dari pembahasan corak politik perundang-undangan maka akan

dikaitkan dengan pembahasan pengaturan hak swasta dalam penyelenggaraan

pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Dimulai dari pembahasan lahirnya

Perpres No. 36 Tahun 2005. Lahirnya Perpres tersebut dilatarbelakangi dengan

ideologi pembangunan yang berjiwa kapitalis. Alasan tersebut berorientasi pada

pertumbuhan ekonomi, hal tersebut didukung dengan pernyataan Presiden bahwa

Perpres ini diterbitkan untuk percepatan pembangunan infrastruktur agar program

pemerintah mencapai target peningkatan pertumbuhan ekonomi. Alasan kedua

karena lebih mengutamakan kepentingan pengusaha atau pemilik modal baik dari

dalam negeri maupun luar negeri sebagai upaya untuk mendukung tercapainya

pertumbuhan ekonomi. Pada dasarnya keberpihakan pemerintah sebagai penguasa

politik terhadap pengusaha atau pemilik modal karena realitas politik

menunjukkan bahwa terbentuknya pemerintahan ditujukan untuk kepentingan

pemodal dimana pemerintah digunakan sebagai alat menguasai ekonomi yang

berimplikasi termarginalkannya hak-hak rakyat. Dengan adanya campur tangan

asing melalui pemberian utang luar negeri seperti IMF, Bank Dunia kepada

pemerintah Indonesia. Lembaga donor membuat skenario supaya Indonesia tidak

mampu membayar utangnya sehingga lembaga donor dapat mengintervensi

kebijakan ekonomi Indonesia. Skenario yang dilakukan pemberi utang adalah

pembangunan infrastruktur dimana sebagai akibat Negara penerima bantuan

134
Ibid, hal. 166-168.
119

harus mengadakan pembebasan tanah untuk kepentingan Negara donor. Cara IMF

dan Bank Dunia ini merupakan program neo-liberal dengan memaksakan program

penyesuaian struktural.135 Perpres No. 36 Tahun 2005 melemahkan posisi

masyarakat seperri komunitas ada, karena hak mereka atas tanah terabaikan.

Seharusnya perpres ini muncul dalam satu paket dalam penataan ruang dan

UUPA. Dasarnya adalah reformasi bidang ini harus menyeluruh dan terintegrasi.

Pengamat sosial ekonom, Gunawan Wiradi menilai Perpres No. 36 Tahun 2005

ini bersifat parsial karena persoalan mendasar adalah kondisi yang sengaja dibuat

Negara tidak mampu membayar utang luar negeri sehingga Negara donor dapat

menyetirnya. Salah satu bentuk kendali Negara pemberi donor adalah prinsip

pengadaan infrastruktur yang menguntungkan mereka yang membuat Negara

terutang terikat dan harus mengadakan pembebasan tanah demi kepentingan

investor. 136

Politik perundang-undangan merupakan sebagian dari politik hukum,

sebagai dasar kebijakan politik hukum berlaku bagi politik perundang-undangan.

Politik perundang-undangan berkenaan dengan pembangunan materi hukum

meliputi : Pertama, pembentukan dan pembaharuan perundang-undangan. Kedua,

penginventarisasian dan penyesuaian unsur-unsur tatanan hukum yang berlaku

dengan sistem hukum nasional. 137

Hukum akan berfungsi memberi kemudahan, mendorong perubahan atau

sekedar menjaga kestabilan tergantung sepenuhnya pada arah perkembangan

kehidupan masyarakat di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya maupun


135
Adrian Sutedi, Op.cit, hal. 210
136
Adrian Sutedi, Op.cit, hal. 223.
137
H. Abdul Latif dan H. Hasbi Ali, Op.cit, hal. 170.
120

hankam. Jadi hukum dalam kaitan dengan pembangunan hukum nasional

memerlukan rumusan politik hukum yang integral dan komprehensif sebagai

penjabaran lebih lanjut dari hal-hal umum yang telah digariskan dalam sasaran

pembangunan. Politik hukum tersebut akan mencakup politik pembangunan

hukum, politik penentuan isi hukum dan politik penerapan dan penegakan hukum.

Politik hukum ini harus pula mencakup aspek-aspek sumber daya sistem

pengelolaan dan sebagainya. Perubahan-perubahan politik perekonomian terutama

yang menyangkut peranan dan kedudukan Negara dalam kegiatan perekonomian.

Terdapat tiga pemikiran politik perekonomian yang dijalankan. Pertama,

Politik perekonomian yang mengarah pada etatisme ekonomi (paham yang lebih

mementingkan Negara daripada rakyat). Negara menjadi pelaku pada hampir

semua sektor perekonomian pembatasan konstitusi seperti diatur dalam Pasal 33

UUD 1945 yaitu usaha yang menguasai hajat hidup orang banyak, tidak lagi

diperhatikan. Negara mempengaruhi pula berbagai kegiatan perekonomian yang

dijalankan masyarakat melalui berbagai bentuk wewenang pengendalian yang

acapkali menjadi berlebih-lebihan.

Kedua, politik perekonomian yang mengarah pada sistem ekonomi pasar.

Sistem ini mengkehendaki masyarakat sebagai pemeran utama kegiatan

perekonomian. Peran negara harus dibatasi pada hal-hal yang bersifat mendorong

dan memberikan fasilitas pada kegiatan perekonomian. Kecenderungan pada

ekonomi pasar inilah yang menimbulkan kritik terhadap, misalnya UUPA,

peraturan perizinan, peraturan di bidang investasi dan lain-lain. Peraturan-


121

peraturan ini dipandang kurang memberikan jalan yang diperlukan bagi

kenyamanan sistem perekonomian yang sedang dijalankan.

Ketiga, politik perekonomian yang hendak menciptakan keseimbangan

antara kecendrungan etatisme dan ekonomi pasar. Keseimbangan semacam ini

dipandang sebagai bentuk politik perekonomian yang secara konstitusional

dikehendaki UUD 1945. Politik perekonomian ini secara ideologis maupun

normative hendak mengedepankan factor keadilan sosial, kesejahteraan umum

dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagai sendi utama sistem

perekoniman yang semestinya dijalankan.138

Setelah membahas uraian corak politik perundang-undangan tersebut,

maka akan dibahas penormaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum dengan

melakukan interpretasi sejarah hukum. Interpretasi sejarah hukum adalah metode

interpretasi yang ingin memahami undang-undang dalam konteks seluruh sejarah

hukum. Jika ingin mengetahui makna yang terkandung dalam suatu peraturan

perundang-undangan khususnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 maka

tidak hanya sekedar meneliti sejarah hingga terbentuknya undang-undang

melainkan juga diteliti lebih panjang proses yang mendahuluinya.

Pasal 1 lampiran Inpres Nomor 9 Tahun 1973 tentang Pelaksanaan

Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang Ada Diatasnya,

disebutkan 4 kategori kegiatan dalam rangka pelaksanaan pembangunan yang

mempunyai sifat kepentingan umum. Adapun kutipan pasal 1 tersebut sebagai

berikut :

138
H. Abdul Latif dan H. Hasbi Ali, Op.cit, hal. 192.
122

Pasal 1
(1) Suatu kegiatan dalam rangka pelaksanaan Pembangunan mempunyai
sifat kepentingan umum, apabila kegiatan tersebut menyangkut :
a. Kepentingan Bangsa dan Negara dan/atau
b. Kepentingan masyarakat luas, dan/atau
c. Kepentingan rakyat banyak/ bersama dan/atau
d. Kepentingan pembangunan
(2) Bentuk-bentuk kegiatan Pembangunan yang mempunyai sifat
kepentingan umum sebagai dimaksud dalam ayat (1) pasal ini meliputi
bidang-bidang :
a. Pertahanan
b. Pekerjaan Umum
c. Perlengkapan umum
d. Jasa umum
e. Keagamaan
f. Ilmu kesehatan dan seni budaya
g. Kesehatan
h. Olahraga
i. Kesehatan umum terhadap bencana alam
j. Kesejahteraan social
k. Makam/kuburan
l. Pariwisata dan rekreasi
m. Usaha-usaha ekonomi yang bermanfaat bagi kesejahteraan
umum
(3) Presiden dapat menentukan bentuk-bentuk kegiatan pembangunan
lainnya kecuali sebagai dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, yang
menurut pertimbangannya perlu bagi kepentingan umum.

Pihak yang berhak mengajukan objek tersebut bukan hanya instansi

pemerintah tetapi juga usaha-usaha swasta (Pasal 3) asal saja harus disetujui oleh

pemerintah dan atau pemerintah daerah sesuai dengan rencana pembangunan.

Oleh karena itu pada Pasal 2 disebutkan proyek pembangunan tersebut termasuk

dalam Rencana Pembangunan yang telah diberitahukan kepada masyarakat yang

bersangkutan. (Rencana induk pengembangan tersebut harus bersifat terbuka

untuk umum). Berikut ini adalah kutipan pasal 2 Instruksi Presiden Nomor 9

Tahun 1973.

(1) Suatu proyek pembangunan dinyatakan mempunyai bentuk


kegiatan sebagai dimaksud dalam Pasal 1 diatas, apabila
123

sebelumnya proyek tersebut sudah termasuk dalam Rencana


Pembangunan yang telah diberitahukan kepada masyarakat yang
bersangkutan.
(2) Jika suatu Proyek pembangunan daerah akan dinyatakan
mempunyai bentuk kegiatan sebagai dimaksud dalam pasal 1
diatas, maka sebelumnya proyek harus sudah termasuk dalam
Rencana Induk Pembangunan dari daerah bersangkutan dan yang
telah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Daerah setempat.
(3) Rencana Induk Pembangunan sebagai dimaksud dalam ayat (2)
pasal ini harus bersifat terbuka untuk umum.

Pasal 3 Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 1973 menyatakan sebagai

berikut :

(1) Yang berhak menjadi subyek atau pemohon untuk mengajukan


permintaan pencabutan hak atas tanah adalah instansi-instansi
Pemerintah/Badan-badan Pemerintah maupun usaha-usaha swasta,
segala sesuatunya dengan memperhatikan persyaratan untuk dapat
memperoleh sesuatu hak atas tanah sesuai dengan ketentuan-
ketentuan yang berlaku.
(2) Usaha-usaha swasta sebagai dimaksud dalam ayat (1) pasal ini,
rencana proyeknya harus disetujui oleh Pemerintah dan atau
Pemerintah Daerah sesuai dengan Rencana Pembangunan yang
telah ada.

Disamping Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 oleh Menteri Dalam

Negeri diterbitkan peraturan mengenai ketentuan-ketentuan tata cara pembebasan

tanah melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 tentang

Ketentuan-Ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah. Ketentuan dalam

Pasal 1 ayat (1) PMDN No 15 Tahun 1975 menyatakan bahwa pembebasan tanah

ialah melepaskan hubungan hukum yang semula terdapat diantara pemegang

hak/penguasa atas tanahnya dengan cara memberikan ganti rugi.

Panitia ditetapkan oleh Gubernur /Kepala Daerah untuk masing-masing

Kabupaten/Kotamadya dalam sesuatu wilayah Provinsi. Didalam mengadakan

penaksiran/penetapan mengenai besarnya ganti rugi, panitia pembebasan tanah


124

harus musyawarah dengan para pemilik/pemegang hak atas tanah dan/atau

benda/tanaman yang ada di dalamnya berdasarkan harga umum setempat (Pasal 6

Ayat 1). Jika terdapat perbedaan harga taksiran ganti rugi diantara para anggota

panitia, maka yang dipergunakan harga rata-rata dari taksiran masing-masing

anggota (Pasal 6 Ayat 3).

Pembebasan tersebut dapat untuk keperluan pemerintah ataupun swasta.

Disinilah perbedaannya dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 yang

bandingnya pada Pengadilalan Tinggi sebagaimana sudah dibicarakan. Di dalam

pembebasan hak atas tanah ini maka kemungkinan pemukiman kembali dari

penduduk yang terkena pembebasan tersebut tetap dapat ganti rugi tersebut berupa

uang, tanah dan atau fasilitas lainnya. Dalam pasal 11 PMDN No. 15 tahun 1975

disebutkan :

(1) Pemerintah Daerah setempat berkewajiban untuk mengawasi


pelaksanaan Pembebasan Tanah dan pemberian ganti rugi.
(2) Pembebasan tanah untuk keperluan Swasta pada asasnya harus
dilakukan secara langsung antara pihak-pihak yang berkepentingan
dengan pemberian ganti rugi dengan berpedoman pada asas
musyawarah.

Dicatat pula keputusan seminar segi-segi hukum pembinaan kota dan

daerah di Ambon yang diadakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional

bekerjasama dengan Pemerintah Daerah Tingkat Maluku dan Fakultas Hukum

Universitas Pattimura, antara lain menyinggung tentang Peraturan Menteri Dalam

Negeri Nomor 15 Tahun 1975 tersebut. Dikemukakan beberapa pendapat atau

pandangan sebagai berikut : Pertama, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15

tahun 1975 baik ditinjau dari segi formalnya (yang tidak memenuhi persyaratan

juridis) maupun ditinjau dari segi materiilnya (yaitu berupa perlindungan kepada
125

anggota masyarakat yang akan dicabut haknya) adalah batal menurut hukum.

Kedua, apabila Peraturan Menteri Dalam Negeri itu diuji kepada doktrin (bahwa

ada pembatasan wewenang dari badan negara untuk membuat undang-undang

dalam arti materiil) dengan anggapan bahwa pembebasan tanah adalah sama

dengan pencabutan hak maka Peraturan Menteri termaksud adalah batal karena :

- Menteri Dalam Negeri tidak mempunyai wewenang membuat

peraturan yang mengikat umum, tanpa adanya pendelegasian

wewenang.

- Mengenai pencabutan hak, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961

telah menunjuk Presiden sebagai instansi yang berwenang memutus.

- Peraturan Menteri Dalam Negeri mengatur suatu soal yang telah diatur

oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 dan isi Peraturan Menteri

Dalam Negeri tersebut bertentangan dengan isi undang-undang

termaksud.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1976 tentang

Penggunaan Acara Pembebasan Tanah Untuk Kepentingan Pemerintah Bagi

Pembebasan Tanah Oleh Pihak Swasta menyatakan bahwa swasta dapat

mempergunakan PMDN Nomor 15 Tahun 1975 itu untuk membebaskan tanah

untuk keperluan usahanya. Pasal 1 PMDN Nomor 15 Tahun 1975 itu disebutkan

sebagai berikut :

Pembebasan tanah oleh pihak swasta untuk kepentingan pembangunan


proyek-proyek yang bersifat menunjang kepentingan umum atau termasuk
dalam bidang pembangunan sarana umum dan fasilitas sosial dapat
dilaksanakan menurut acara pembebasan tanah untuk kepentingan
Pemerintah sebagaimana diatur dalam Bab I, II, dan IV Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975.
126

Pasal 2 PMDN Nomor 15 Tahun 1975 itu disebutkan sebagai berikut

Penggunaan acara sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 peraturan ini

memerlukan izin tertulis dari Gubernur Kepala Daerah Tingkat I yang

bersangkutan. Penggunaan oleh swasta untuk pembebasan ini dengan

mempergunakan peraturan yang diperuntukkan pembebasan tanah untuk

kepentingan umum yang diselenggarakan oleh pemerintah telah menimbulkan

dampak yang luas dan rakyat dibingungkan bahwa proyek-proyek swasta seperti

dianggap untuk kepentingan umum. Dalam pembebasan tanah tersebut tidak

terelakkan terjadinya sejumlah tindakan-tindakan tidak terpuji karena panitia

pembebasan tanah tersebut lebih memihak kepada investor daripada membela

kepentingan rakyat.

Dalam banyak hal jika tidak terdapat kesepakatan mengenai harga ganti

rugi seperti yang terlaksana dengan PMDN Nomor 15 Tahun 1975, maka uang

ganti rugi tersebut dikonsignasi di Pengadilan Negeri setempat dan dianggaplah

pembebasan tanah tersebut sudah selesai. Dengan konsignasi uang ganti rugi

tersebut harga dapat ditekan.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1985 dalam Pasal 2

mengatur sebagai berikut :

1. Pengadaan tanah untuk keperluan proyek-proyek pembangunan yang


dilakukan oleh instansi pemerintah dilaksanakan oleh Pimpinan
Proyek Instansi yang bersangkutan.
2. Pengadaan tanah yang dimaksud dalam ayat (1) luasnya tidak lebih
dari 5 (lima) ha.
3. Dalam melaksanakan pengadaan tanah dimaksud dalam ayat (1)
Pemimpin proyek memberitahukan kepada Camat mengenai letak dan
luas tanah yang diperlukan
127

4. Apabila dipandang perlu, Camat dapat meminta bantuan instansi/dinas


teknis yang bersangkutan dengan jenjang hierarki.

Pimpinan proyek mengadakan musyawarah dengan yang bersangkutan.

Oleh Dirjen Agraria dikeluarkan Edaran Nomor 590/4263/Agr tanggal 2 Agustus

1985 tentang petunjuk pelaksana peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2

Tahun 1985. Demikian pula oleh Direktorat Jenderal Anggaran Departemen

Keuangan diterbitkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1985,

yaitu bahwa pengeluaran yang dapat dibebankan untuk jenis pengeluaran tanah

meliputi antara lain biaya administrasi pembuatan akta jual beli oleh Camat

sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah atau sebagai Kepala Wilayah; pembelian

ganti rugi tanah termasuk bangunan dan tanaman diatasnya; penyelesaian

sertifikat tanah; biaya pengosongan; biaya pengeringan; biaya pemerataan,

pematangan tanah dan pengeluaran lain yang berhubungan dengan itu.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1987 ini diatur untuk

memberikan suatu kemudahan bagi perusahaan pembangunan perumahan yang

berbentuk badan hukum, baik untuk penyediaan tanah, pencadangan tanah dan

izin lokasi.

Dalam pasal 2 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1987

dinyatakan sebagai berikut :

1 Izin lokasi untuk keperluan perusahaan yang luasnya tidak lebih dari
15 ha bagi daerah tingkat II yang telah mempunyai rencana induk
kota/rencana kota, ditetapkan oleh bupati/walikotamadya Kepala
Daerah Tingkat II.2
2 Izin lokasi yang luasnya tidak lebih dari 200 ha ditetapkan oleh
Gubernur Kepala Daerah Tingkat I
3 Izin lokasi yang luasnya lebih dari 200 ha ditetapkan oleh Gubernur
Kepala Daerah Tingkat I setelah mendapat persetujuan terlebih dahulu
dari Menteri Dalam Negeri.
128

Peraturan ini sebagai pengganti dari PMDN Nomor 5 Tahun 1974 khusus

tentang penyediaan dan pemberian hak atas tanah dan PMDN Nomor 2 Tahun

1984 keperluan Perusahaan Pembangunan Perumahan sederhana/perumahan

murah yang diselenggarakan dengan fasilitas kredit pemilikan rumah dari Bank

Tabungan Negara. Untuk keperluan pembebasan tanah untuk industri maka telah

diatur dengan Keppres Nomor 53 Tahun 1989, yang memberikan Hak Guna

Bangunan atau Hak Pakai kepada badan-badan hukum yang didirikan menurut

hukum Indonesia ataupun perusahaan-perusahaan negara/daerah. Kepada

perusahaan-perusahaan tersebut diberikan izin prinsip dan izin tetap, dan telah

memperoleh amdal berdasarkan PP Nomor 29 Tahun 1986. Permohonan izin

lokasi dan izin pembebasan diberikan oleh Gubernur Kepala Daerah melalui

Kepala Kanwil BPN dan izin pencadangan diatur oleh Kepala BPN.

Kepada perusahaan negara/daerah dapat diberikan Hak pengelolaan, izin

industri diberikan oleh Menteri Perindustrian. Perusahaan yang bersangkutan

harus memberi ganti rugi yang layak berdasarkan musyawarah ataupun

memberikan penggantian tanah di lokasi lain yang nilainya seimbang. Didalam 3

tahun setelah izin prinsip sudah harus dibebaskan 60%. Disebutkan bahwa

kawasan industri tersebut tidak boleh mengurangi areal tanah pertanian dan tidak

pula diatas tanah yang berfungsi untuk melindungi sumber daya alam dan warisan

budaya.

Pencabutan hak seperti yang diatur dengan UU No. 20 Tahun 1961 akan

merupakan suatu bahan studi yang baik dalam konstelasi hukum di Indonesia dan

apa sebabnya tidak berjalan sebagaimana yang ingin dilaksanakan dan komentar
129

atas undang-undang tersebut akan berguna dalam pelaksanaannya di masa-masa

yang akan datang. Hal ini berkaitan dengan adanya PMDN No. 15 Tahun 1975

dengan panitianya.

Untuk kepentingan pemerintah bagi pembebasan tanah oleh pihak swasta

maka oleh pemerintah diterbitkan juga PMDN Nomor 2 Tahun 1976 tentang

Penggunaan Acara Pembebasan Tanah Untuk Kepentingan Pemerintah Bagi

Pembebasan Tanah Oleh Pihak Swasta. Dalam konsiderannya diuraikan bahwa

pelaksanaan pembangunan sebagaimana telah digariskan dalam Garis-Garis Besar

Haluan Negara (Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia

No. IV/MPR/1973) tidak semata-mata menjadi beban pemerintah, melainkan

diharapkan pula adanya peranan aktif dari pihak swasta/rakyat. Selain itu bahwa

untuk merangsang pihak swasta dalam pelaksanaan pembangunan dipandang

perlu adanya bantuan fasilitas dari Pemerintah yang berbentuk jasa-jasa dalam

pembebasan tanah rakyat dalam rangka penyediaan tanah, untuk pembangunan

proyek-proyek yang bersifat menunjang kepentingan umum atau termasuk dalam

bidang pembangunan sarana umum dan fasilitas-fasilitas sosial. PMDN Nomor 2

Tahun 1976 dalam Pasal 1 disebutkan :

Pembebasan tanah oleh pihak swasta untuk kepentingan pembangunan


proyek-proyek yang bersifat menunjang kepentingan umum atau termasuk
dalam bidang pembangunan sarana umum dan fasilitas sosial dapat
dilaksanakan menurut acara pembebasan tanah untuk kepentingan
Pemerintah sebagaimana diatur dalam Bab I, II dan Bab IV Peraturan
Menteri Dalam Negari No. 15 Tahun 1975.
Pasal 2
Penggunaan acara sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 peraturan ini,
memerlukan izin tertulis dari Gubernur Kepala Daerah Tingkat I yang
bersangkutan.
Pasal 3
130

(1) Gubernur Kepala Daerah Tingkat I memberikan izin termasuk dalam


pasal 1 Peraturan ini, atas permohonan dari pihak swasta yang
berkepentingan, dengan memperhatikan manfaat dan kegunaan proyek
yang termaksud bagi kepentingan umum/rakyat bannyak sesuai dengan
rencana proyek yang harus mereka ajukan.
(2) Gubernur Kepala Daerah Tingkat I wajib secepatnya menyampaikan
laporan kepada Menteri Dalam Negeri setiap kali dilaksanakan
pembebasan tanah rakyat menurut tata cara sebagaimana diatur dalam
Peraturan ini.
Pasal 4
Dalam surat izin pembebasan tanah oleh pihak swasta menurut acara yang
berlaku bagi pembebasan tanah untuk kepentingan Pemerintah sebagai
dimaksud dalam pasal 3 diatas, harus dicantumkan alasan-alasan dan
pertimbangan-pertimbangan yang dipergunakan oleh Gubernur Kepala
Daerah Tingkat I untuk pemberian izin tersebut.

Pengaturan mengenai pembebasan tanah untuk kepentingan swasta diatur

juga dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 dalam Pasal

11 diuraikan :

(1) Pemerintah Daerah setempat berkewajiban untuk mengawasi


pelaksanaan pembebasan tanah dan pemberian ganti rugi
(2) Pembebasan tanah untuk keperluan swasta pada asasnya harus
dilakukan secara langsung antara pihak-pihak yang berkepentingan
dengan pemberian ganti rugi dengan berpedoman kepada asas
musyawarah.

Indonesia adalah salah satu negara yang dinamis di dunia, dengan tingkat

kepadatan penduduk diperkirakan mencapai hampi 266 juta jiwa pada tahun 2009.

Kecendrungan semacam ini menuntut penambahan di bidang pengadaan sarana

dan prasarana untuk kepentingan umum (infrastruktur) seperti sarana transportasi,

sarana kesehatan, pendidikan, telekomunikasi, pengadaan air bersih, jaringan

listrik, pelabuhan, baik udara maupun laut dan sebagainya.139

139
Budi Santoso, 2008, Aspek Hukum Pembiayaan Proyek Infrastruktur Dengan Model
BOT (Build Operate Transfer), Genta Press, Jakarta, hal. 1.
131

Selama Pelita VI dengan kurun waktu 1994-1999 lalu, dana yang

dibutuhkan untuk pengadaan infrastruktur mencapai lebih dari US S 50 billion

dan selama Pelita ke VII dibutuhkan dana sebesar US S 132 bilion. Dana sebesar

itu tentu terasa sangat berat bila harus dibebankan hanya pada APBN. Kebutuhan

dana untuk pembangunan infrastruktur sampai dengan tahun 2009 diperkirakan

menelan dana antara Rp 700 triliun Rp 1.030 triliun. Sekitar Rp 200 triliun dapat

didanai dengan APBN, artinya pemerintah hanya mampu membiayai sekitar 20%

sedangkan sekitar Rp 600 triliun atau sekitar 80% nya diharapkan partisipasi

swasta lokal atau internasional. Di sektor ketenagalistrikan, sampai dengan tahun

2010 diperkirakan membutuhkan dana sampai dengan 30 miliar dolar AS. Dari

total tersebut hanya 40% yang mampu dipenuhi pemerintah, sisanya diserahkan

kepada swasta nasional atau swasta asing. Untuk rencana Jalan Tol Semarang

diperkirakan menghabiskan dana sekitar 427 juta dollar AS atau sekitar Rp 3,6

trilun.140

Melihat keterbatasan pemerintah melalui APBN dalam penyediaan dana

untuk pembangunan infrastruktrur dituntut adanya model-model atau pola-pola

baru sebagai alternatif pembiayaan proyek pembangunan. Didaerah pembiayaan

pembangunan infrastruktur dengan mengandalkan dana APBD juga dirasakan

semakin terbatas jumlahnya, untuk itu dibutuhkan pola-pola baru sebagai

alternatif pendanaan yang tidak jarang melibatkan pihak swasta (nasional-asing)

dalam proyek-proyek pemerintah. Partisipasi swasta dalam pengadaan proyek

140
Ibid, hal. 2.
132

infrastruktur tersebut tentunya merupakan fenomena yang cukup baru di

Indonesia.

Partispasi swasta dalam pembangunan infrastruktur dapat diarahkan pada

proyek yang membutuhkan dana besar, seperti halnya : jalan tol, migas,

bendungan, pembangkit listrik, perluasan bandara dan pembangunan mal. Namun

demikian, dapat pula digunakan dalam proyek infrastruktur yang tidak

membutuhkan dana besar, seperti renovasi pasar, terminal, pangkalan truk, rest

area, resort dan lain-lain. Dengan demikian yang penting proyek tersebut dapat

memberikan pendapatan ekonomi bagi kontraktor. 141

Krisis ekonomi yang menerpa negeri ini sejak awal 1998 sangat dirasakan

menurunnya kemampuan pemerintah untuk mendanai proyek pembangunan yang

telah dijadwalkan. Menurunnya kemampuan pemerintah dalam menyediakan

anggaran untuk pengadaan sarana dan prasarana sangat dirasakan pengaruhnya

bagi pemerintah daerah (Kabupaten/Kota) dalam merealisasi proyek

pembangunan yang sangat dibutuhkan rakyat banyak.

Bagi pemerintah daerah mengandalkan dana APBD untuk pembiayaan

proyek pembangunan juga sangat terbatas. Krisis ekonomi telah mengakibatkan

keterbatasan kemampuan pemerintah Pusat atau Daerah dalam merealisasikan

proyek pembangunan infrastruktur. Perlu dicari alternative pembiayaan proyek

yang lain selain mengandalkan dana APBN atau APBD.

Bagi investor asing yang akan ikut dalam proyek infrastruktur di Indonesia

maka hambatan umum yang dilontarkan adalah :

141
Ibid, hal. 4.
133

a. Clear legal and regulatory framework to guide sector participation


(PSP).
b. Predictability in the in the interpretation of the government of
Indonesia PSP policies into implementing procedures and practices.
c. Effective board based private sector competition.
d. Compatibility between project structuring the management of risk and
the expectation of financial institutions.
e. Current accurate and complete PSP-related information. 142

Untuk itu diusulkan agar pemerintah Indonesia mengembangkan konsep

hukum dan kerangka pengaturan yang : (a) Clear and consistent; (b).Accessible

for the public and private sectors (c). Predictable in their interpretation of

policies in to procedures and practices and to extent practical, (d) Competible

with good commercial practice and the requirements of international lending

institutions.

Keikutsertaan swasta dalam pengadaan infrastruktur harus pula didasarkan

pada beberapa prinsip, yaitu :

a. Tetap seiring dengan asas, tujuan, sasaran dan wawasan dalam

penyelenggaraan pembangunan nasional.

b. Saling membutuhkan, saling memperkuat dan saling menguntungkan

c. Meningkatkan efisiensi dan kualitas pembangunan dan atau pengelolaan

infrastruktur.

d. Semakin mendorong pertumbuhan ekonomi.

e. Meningkatkan kualitas pelayanan dan member manfaat yang lebih besar

pada masyarakat.

142
JD. Hal Sulivan, How the Private Sector can work in partnership with the Government
of Indonesia successfully implement infrastructure projects, Presented at the Legal Climate in
Indonesia for BOT Investment, 17 Juni 1996, Jakarta, hal. 2
134

f. Proses pengikutsertaan diselenggarakan melalui proses penawaran yang

terbuka serta transparan, sehingga ikut serta mendorong iklim investasi.

g. Tidak bertentangan dengan undang-undang yang berlaku dan sepenuhnya

tunduk pada hukum Indonesia.143

Untuk itu, diharapkan para Menteri/Pimpinan lembaga selaku

penanggungjawab dapat menyelenggarakan pra kualifikasi dengan

mengikutsertakan swasta untuk pengadaan infrastrukur harus mempertimbangkan

beberapa hal yaitu :

a. Pengalaman dalam pengerjaan proyek sejenis dengan refrensi yang

diperlukan;

b. Prestasi dan kinerja perusahaan dalam mengerjakan proyek tersebut huruf

a;

c. Kemampuan badan usaha swasta, baik yang menyangkut aspek keuangan,

tenaga ahli, peralatan, maupun kemampuan dalam pengerjaan proyek

dikaitkan dengan kondisi alam maupun kondisi sosial, budaya, ekonomi

dan lain-lain yang melingkupi proyek. 144

Dalam pidato kenegaraan tanggal 16 Agustus 2006, Presiden telah

menetapkan sembilan prioritas program kerja dalam rencana kerja pemerintah

(RKP) 2007, antara lain : percepatan pembangunan infrastruktur.

a. Khususnya pembangkit tenaga listrik, jalan tol, bandara, perkeretaapian,

pelabuhan dan telekomunikasi.

143
Budi Santoso, Op.cit, hal. 10
144
Budi Santoso, Op.cit, hal. 11.
135

b. Percepatan pembangunan infrastruktur merupakan prasyarat pertumbuhan

ekonomi tinggi dan berkelanjutan.

c. Namun kemampuan pemerintah membiayai pembangunan infrastruktur

sangat terbatas.

d. Pemerintah pusat dan daerah perlu meningkatkan partisipasi swasta

melalui kemitraan.145

Cara yang dilakukan pemerintah dalam meningkatkan peran swasta dalam

pengadaan infrastruktur adalah dengan melakukan reformasi regulasi di bidang

infrastruktur yaitu :

a. Keppres No. 7 Tahun 1998 yang pada pokoknya memberi kesempatan

pada swasta untuk berperan di sektor pembangunan infrastruktur; jalan,

telekomunikasi, ketenagalistrikan, perkeratapian dan migas. Namun

demikian realitanya swasta belum bisa berperan banyak dan

pelaksanaannya baru sebatas penunjukkan langsung, sehingga berpeluang

menimbulkan KKN.146 Era reformasi tahun 1998 ikut serta mewarnai

perubahan regulasi di bidang infrastruktur, antara lain : UU No. 36 Tahun

1999 tentang Telekomunikasi, UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak

dan Gas Bumi, UU No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan. Ketiga UU tersebut

mulai memisahkan peran dan fungsi regulator dan operator, juga

terjadinya perubahan wewenang penyelenggaraan infrastruktur yang tidak

lagi berada pada pemerintah dan dimonopoli oleh BUMN, sehingga

145
Budi Santoso, Op.cit, hal. 52.
146
Benny Soetrisno, Peran Serta Swasta Dalam Pembiayaan Infrastruktur Serta Kendala
Keseimbangan Antara Pusat dan Daerah, Makalah Seminar Dies Natalies Fakultas Hukum
Universitas Diponegoro ke 50, Hotel Grasia, 21 September 2006.
136

penyediaan infrastruktur terbuka bagi semua badan usaha: BUMN,

BUMD, swasta, koperasi. Namun realitanya perbaikan infrastruktur belum

banyak sebagaimana diharapkan.

b. Untuk mengatasi hal-hal tersebut dibentuklah sebuah lembaga yang

bertugas melakukan koordinasi percepatan penyediaan infrastruktur yang

dituangkan dalam Keppres No. 81 Tahun 2005 tentang Komite Kebijakan

Percepatan Penyediaan Infrastruktur, yang disempurnakan dengan Keppres

No. 42 Tahun 2005. Namun demikian terjadi kerancuan karena dalam

pelaksanaannya masih banyak yang mendasarkan pada Keppres No. 7

Tahun 1998.

c. Untuk menyelaraskan hambatan tersebut diatas, maka dikeluarkan

Keppres No. 67 Tahun 2005 yang intinya mensyaratkan adanya tender

terbuka pada setiap penyelenggaraan infrastruktur serta adanya dukungan

risiko oleh pemerintah. 147

Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2007 mengatur tentang Investasi

Pemerintah, Peraturan Pemerintah ini berlaku sejak tanggal 10 Januari 2007.

Dalam Peraturan Pemerintah ini dibentuk sebuah badan yang mewakili

pemerintah dalam kaitannya dengan upaya percepatan pengadaan infrastruktur di

Indonesia. Badan ini disebut dengan Badan Investasi Pemerintah (BIP). BIP

didirikan untuk mengelola dana investasi, yang pada tahun 2006 sebesar 2 triliun

dari APBN dan ditambahkan dengan 2 triliun dari APBN tahun 2007. Dana yang

dikelola bukan dana yang akan dibelanjakan habis untuk mendukung

147
Budi Santoso, Op.cit, hal. 54.
137

pembangunan infrastruktur di Indonesia, tetapi dana tersebut merupakan dana

investasi pemerintah bergulir.148

Dengan demikian dana yang dikelola BIP merupakan dana revolve

(berputar) sehingga tentu saja ada cost of money yang harus dipertimbangkan,

seperti hanya dana yang disimpan di perbankan yang memberikan hasil berupa

bunga. Dana tersebut akan digunakan untuk investasi di berbagai bidang

pembangunan infrastruktur, seperti jalan tol, telekomunikasi, energi, air bersih,

pengairan, pengelolaan limbah, minyak bumi dan sebagainya. Untuk prioritas

pertama sejumlah Rp 600 miliar akan digunakan untuk dana pembebasan tanah

proyek jalan tol Semarang-Solo. Pemerintah juga memberikan keleluasaan yang

cukup fleksibel bagi BIP sehingga memberikan ruang bagi BIP untuk melakukan

maneuver bisnis, yang penting dana tersebut dapat dipertanggungjawabkan.

Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2007 ini pada dasarnya mengatur investasi

pemerintah jangka panjang, khususnya investasi jangka panjang non permanen

dalam bentuk pembelian surat berharga dan investasi langsung dengan cara pola

kerjasama pemerintah dengan badan usaha (public private partnership) dalam

rangka penyediaan infrastruktur dan infrastruktur. Saat ini personil BIP masih

merupakan personil dari Direktorat Pengelolaan Dana Investasi (PDI) Ditjen

Perbendaharaan Departemen Keuangan.149

Pembangunan infrastruktur merupakan kewajiban pemerintah untuk

melaksanakannya, namun hal ini bukan berarti bahwa pembangunan infrastruktur

merupakan wewenang mutlak pemerintah. Masyarakat harus dilibatkan dalam

148
Budi Santoso, Op.cit, hal. 62.
149
Budi Santoso, Op.cit, hal. 63.
138

berbagai tahapan pembangunan, mulai dari tahap perencanaan sampai ke tahap

pelaksanaannya. Untuk itulah, salah satu tujuan sistem perencanaan pembangunan

nasional dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 adalah untuk mendukung

koordinasi antar pelaku pembangunan dan mengoptimalkan partisipasi

masyarakat. Untuk mendukung tercapainya sasaran pembangunan sarana dan

prasarana tahun 2010-2014 (berdasarkan kebutuhan minimum 5% dari PDB),

diperkirakan total investasi yang dibutuhkan sebesar Rp 1.923,7 triliun. Sementara

itu kemampuan pembiayaan pemerintah termasuk Dana Alokasi Khusus (DAK)

(Kementerian ESDM, Perhubungan, PU, KOMINFO, Perumahan Rakyat serta

Badan SAR Nasional) diperkirakan hanya dapat menyediakan pembiayaan

sebesar Rp 559,54 triliun.

Perkiraan kemampuan pembiayaan badan usaha milik pemerintah melalui

BUMN (Rp 340,85 triliun), perkiraan kemampuan pembiayaan pemerintah daerah

melalui APBD (Rp 355,07 triliun), serta perkiraan investasi pihak swasta (Rp

344,67 triliun). Saat ini masih diperlukan sumber dana lain selain pemerintah

untuk menutupi kesenjangan pembiayaan. Dengan kata lain, investasi swasta

menjadi tumpuan harapan. Prioritas pembangunan bidang sarana dan prasarana

2010- 2014 adalah:

(a) Menjamin ketersediaan infrastruktur dasar untuk mendukung

peningkatan kesejahteraan, yang difokuskan pada: meningkatkan

pelayanan sarana dan prasarana sesuai dengan Standar Pelayanan

Minimal (SPM);
139

(b) Menjamin kelancaran distribusi barang, jasa dan informasi untuk

meningkatkan daya saing produk nasional, yang difokuskan untuk: (i)

mendukung peningkatan daya saing sektor riil; dan (ii) meningkatkan

Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS).

KPS akan memiliki peran penting dalam mewujudkan Visi 2025

mengingat sumber daya fiskal yang terbatas. Dengan pertumbuhan ekonomi yang

lebih cepat sebagai hasil dari MP3EI 2011-2025, penerimaan pajak akan

meningkat pula, dan anggaran fiskal Indonesia akan berkembang

Kerangka peraturan sebagai payung hukum implementasi KPS bidang

infrastruktur di Indonesia menggunakan Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun

2005 yang kemudian direvisi melalui Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2010

dan Peraturan Presiden Nomor 56 Tahun 2011 tentang Kerjasama Pemerintah

Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur. Ini merupakan peraturan

pemilihan badan usaha pembangunan infrastruktur yang kompetitif, terbuka, dan

transparan. Kerjasama Pemerintah dan Swasta (Public Private Partnership/PPP)

akan digunakan sebagai alternatif sumber pembiayaan pada kegiatan pemberian

layanan dengan karakteristik layak secara keuangan dan memberikan dampak

ekonomi tinggi dan memerlukan dukungan dan jaminan pemerintah yang

minimum. Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS) merupakan kerjasama

pemerintah dengan swasta dalam penyediaan infrastruktur yang meliputi: desain

dan konstruksi, peningkatan kapasitas/rehabilitasi, operasional dan pemeliharaan

dalam rangka memberikan pelayanan. Pengembangan KPS di Indonesia utamanya


140

didasari oleh keterbatasan sumber pendanaan yang bisa dialokasikan oleh

pemerintah.

Adapun Prinsip Dasar Kerjasama Pemerintah dan Swasta meliputi hal-hal

berikut ini :

Adanya pembagian risiko antara pemerintah dan swasta dengan memberi


pengelolaan jenis risiko kepada pihak yang dapat mengelolanya;
Pembagian risiko ini ditetapkan dengan kontrak di antarapihak dimana
pihak swasta diikat untuk menyediakan layanan dan pengelolaannya atau
kombinasi keduanya;
Pengembalian investasi dibayar melalui pendapatan proyek (revenue) yang
dibayar oleh pengguna (user charge);
Kewajiban penyediaan layanan kepada masyarakat tetap pada pemerintah,
untuk itu bila swasta tidak dapat memenuhipelayanan (sesuai kontrak),
pemerintah dapat mengambilalih.

Tujuan pelaksanaan Kerjasama Pemerintah dan Swasta meliputi hal-hal

berikut ini :

Mencukupi kebutuhan pendanaan secara berkelanjutan melalui pengerahan


dana swasta;
Meningkatkan kuantitas, kualitas dan efisiensi pelayanan melalui
persaingan sehat;
Meningkatkan kualitas pengelolaan dan pemeliharaan dalam penyediaan
infrastruktur;
Mendorong dipakainya prinsip pengguna membayar pelayanan yang
diterima atau dalam hal tertentu mempertimbangkan kemampuan
membayar pengguna.

Manfaat Kerjasama Pemerintah dan Swasta meliputi hak-hal berikut ini :

Tersedianya alternatif berbagai sumber pembiayaan;


Pelaksanaan penyediaan infrastruktur lebih cepat;
Berkurangnya beban (APBN/APBD) dan risiko pemerintah;
Infrastruktur yang dapat disediakan semakin banyak;
Kinerja layanan masyarakat semakin baik;
Akuntabilitas dapat lebih ditingkatkan;
Swasta menyumbangkan modal, teknologi, dan kemampuan manajerial.
141

Pola pikir masa lalu mengatakan bahwa infrastruktur harus dibangun

menggunakan anggaran Pemerintah sehingga pada kondisi anggaran Pemerintah

yang terbatas, pola pikir tersebut berujung pada kesulitan memenuhi kebutuhan

infrastruktur yang memadai bagi perekonomian yang berkembang pesat. Saat ini

telah didorong pola pikir yang lebih maju dalam penyediaan infrastruktur melalui

model kerjasama pemerintah dan swasta (KPS) atau Public-Private Partnership

(PPP). Dengan adanya KPS, maka Pemerintah dapat memfokuskan diri untuk

membangun infrastruktur yang tidak bersifat komersial namun sangat diperlukan

oleh masyarakat, seperti pembangunan infrastruktur perdesaan, jalan arteri,

drainase dan sebagainya.

Peran pemerintah adalah menyediakan perangkat aturan dan regulasi yang

memberi insentif bagi dunia usaha untuk memberikan layanan infrastruktur

tersebut. Insentif tersebut dapat berupa kebijakan (sistem maupun tarif ) pajak, bea

masuk, aturan ketenagakerjaan, perizinan, pertanahan, dan lainnya, sesuai

kesepakatan dengan dunia usaha. Regulasi yang terkait dengan proyek KPS

khususnya dalam penyediaan infrastruktur telah berkembang sejak masa

pemerintahan Orde Baru. Dalam masa tersebut Pemerintah telah menerbitkan

beberapa regulasi sektoral yang didalamnya terdapat pengaturan berkaitan dengan

KPS, contohnya UU No. 15 Tahun1965 tentang Ketenagalistrikan, UU No. 13

Tahun 1987, PP No. 8 Tahun 1990 tentang Jalan Tol, dan PP No. 10 Tahun 1987

tentang Ketenagalistrikan. Pada masa Orde Baru hanya beberapa jenis

infrastruktur saja yang dikerjasamakan dengan Badan Usaha Swasta, misalkan

jalan tol dan ketenagalistrikan.


142

TABEL LANDASAN HUKUM

Peraturan Ketentuan

Perpres No. 56 Tahun 2011 Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 tentang
Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam
Penyediaan Infrastruktur sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Presiden Nomor 13 tahun 2010 dan Peraturan
Presiden Nomor 56 tahun 2011
Perpres No.12 Tahun 2011 Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2005 tentang Komite
Kebijakan Percepatan Penyediaan Infrastruktur (KKPPI)
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden
Nomor 12 tahun 2011.
Perpres No. 78 Tahun 2010 Peraturan Presiden Nomor 78 tahun 2010 tentang
Penjaminan Infrastruktur Dalam Proyek Kerja Sama
Pemerintah Dengan Badan Usaha yang dilakukan melalui
Penjaminan Infrastruktur
PMK No. 260 Tahun 2010 Petunjuk pelaksanaan proyekKPS yang merupakan acuan
dasar dari pelaksanaan proyek KPS ditanahair.
Permen PPN No. 03 Tahun 2009 Tata Cara Penyusunan Daftar Rencana Proyek Kerjasama
dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur.
Permen PPN No. 04 Tahun 2010 Panduan Umum Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah
dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur.
Permenko No. 01 Tahun 2006 Organisasi dan Tata Kerja Komite Kebijakan Percepatan
Penyediaan Infrastruktur
Permenko No. 04 Tahun 2006 Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian
Nomor 04/M.Ekon/06/2006 tentang Tata Cara Evaluasi
Proyek Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha dalam
Penyediaan Infrastruktur yang membutuhkan Dukungan
Pemerintah.
Perpres No. 36 Tahun 2006 jo Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan
Perpres No. 65 Tahun 2006 Untuk Kepentingan Umum
Permenko No. 03 Tahun 2006 Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian
Nomor 03/M.Ekon/06/2006 tentang Prosedur dan Kriteria
Penyusunan Daftar Prioritas Proyek Infrastruktur
Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha.

Interaksi antara berbagai pihak diatur oleh tiga perangkat undang-undang

dan beberapa peraturan sebagai berikut dibawah ini: Peraturan KPS, peraturan

khusus sektoral, dan peraturan umum lainnya yang mengatur tentang berbagai

kegiatan usaha di Indonesia. Berdasarkan sistem hukum Indonesia, undang-

undang mengatur hal-hal yang bersifat umum. Pelaksanaan dari suatu ketentuan

hukum pada umumnya diatur dalam Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri.

Peraturan-peraturan ini pada umumnya mengatur tentang tahapan-tahapan dan


143

prosedur khusus untuk melaksanakan ketentuan perundang-undangan dan

peraturan pemerintah terkait. Peraturan Presiden diterbitkan sebagai dasar untuk

melaksanakan kebijakan- kebijakan dan program-program Presiden, yang mana

harus sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Peraturan

Presiden juga terkadang merupakan panduan atas pelaksanaan lebih lanjut dari

suatu peraturan maupun Peraturan Pemerintah yang sudah ada. Keberanekaan

sektor telah menjadikan adanya keberanekaan peraturan dan undang-undang yang

berbeda pula.

Sebagaimana dimaksud di bawah ini, hampir seluruh sektor infrastruktur

diatur oleh ketentuan-ketentuan yang sudah ada sejak 2004 dengan visi

modernisasi infrastruktur nasional. Namun demikian, tidak semua peraturan

perundang-undangan sektoral yang ada telah dilengkapi dengan Peraturan

Pemerintahnya, ataupun meskipun sudah diterbitkan Peraturan Pemerintahnya,

namun Peraturan Menterinya belum diselesaikan. Para investor harus mencermati

status keberlakuan atas peraturan pada sektor yang diminatinya, oleh karena

peraturan-peraturan tambahan sering kali baru diterbitkan kemudian dan untuk

peraturanperaturan yang adapun sering kali dilakukan beberapa perubahan.

Terdapat lima dasar pengaturan dalam kategori Kerjasama Pemerintah Sawasta

Topik Peraturan Butir-Butir Penting


Ketentuan Peraturan Presiden No. 67 Peraturan ini mengatur KPS untuk proyek-
Umum KPS Tahun 2005 tentang proyek infrastruktur tertentu. Dalam hal ini
Kerjasama Pemerintah termasuk mengenai, bandara, pelabuhan,
dengan Badan Usaha dalam jalur kereta api, jalan, peny edia a n air
Penyediaan Infrastruktur bersih /sistem pengairan, air minum, air
limbah, limbah padat, informasi dan
Peraturan Presiden No. 13 komunikasi teknologi, ketenagalistrikan, dan
Tahun 2010 atas Perubahan minyak & gas.
Peraturan Presiden No. 67
Tahun 2005 tentang Proyek-proyek ini dapat dilaksanakan baik
Kerjasama Pemerintah berdasarkan yang dimohonkan ataupun tidak
144

dengan Badan Usaha dalam dimohonkan namun pada umumnya


Penyediaan Infrastruktur penyeleksian terhadap suatu Badan usaha
harus dilakukan melalui proses tender
terbuka. Proyek yang Solicited
diidentifikasi dan disiapkan oleh
Pemerintah, sedangkan untuk proyek yang
Unsolicited diidentifikasi dan diajukan
kepada Pemerintah oleh suatu Badan Usaha.

Lembaga Kontraktor Pemerintah dapat


diadakan baik di tingkat regional ataupun
nasional. Proyek KPS dapat dilaksanakan
berdasarkan perijinan Pemerintah ataupun
melalui Perjanjian Kerjasama (PK).
Pemerintah dapat memberikan dukungan
perpajakan dan / atau non-pajak untuk
meningkatkan kelayakan suatu proyek
infrastruktur. Proyek ini harus terstruktur
untuk dapat mengalokasikan risiko yang
mampu dikelola secara maksimal oleh pihak
pelasana.
Prosedur Untuk Peraturan Menteri Peraturan Menteri Keuangan No. 38 Tahun
Penyediaan Keuangan No. 38 Tahun 2006 menjabarkan kondisi-kondisi dan
Dukungan 2006 tentang Petunjuk proses untuk mengusahakan adanya
Pemerintah Pelaksanaan Pengendalian dukungan pemerintah, antara lain
Dan Pengelolaan Risiko penjaminan-penjaminan. Berdasarkan
Atas Penyediaan Peraturan Menteri Keuangan ini, pemerintah
Infrastruktur dapat memberikan jaminan terhadap tiga
jenis risiko, yaitu: Risiko Politik, Risiko
Peraturan Menteri Kinerja Proyek, dan Risiko Permintaan.
Koordinator Bidang Risiko Kinerja Proyek termasuk risiko-risiko
Ekonomi No. 4 Tahun 2006 yang terjadi akibat keterlambatan dalam
tentang Metodologi proses pembebasan lahan, peningkatan biaya
Evaluasi Proyek Infratruktur perolehan tanah, perubahan dalam
KPS yang Memerlukan spesifikasi kontrak kerja, penundaan atau
Dukungan Pemerintah adanya penurunan kontrak penyesuaian atas
tarif, keterlambatan memperoleh ijin untuk
Peratiuran Pemerintah No. memulai kegiatan. Risiko Permintaan
35 Tahun 2009 tentang mengacu terhadap pendapatan riil yang
Penyertaan Modal Negara berada di bawah pendapatan minimum yang
Republik Indonesia Untuk dijamin karena adanya permintaan yang
Pendirian Perusahaan lebih rendah dari kontrak.
Perseroan (Persero) Di
bidang Penjaminan Peraturan Menteri Koordinator Bidang
Infrastruktur Ekonomi No. 4 Tahun 2006, mensyaratkan
bahwa suatu permintaan atas dukungan
kontingen setidaknya harus dimuat pada
bagian studi kelayakan. Hal ini lebih tegas
diatur dari pada pengaturan awal studi
kelayakan sebagaimana dimuat dalam
Peraturan Menteri Keuangan No.38 tahun
2006. Kedua peraturan tersebut menentukan
bahwa dokumen lain harus diajukan untuk
meminta dukungan, termasuk format
kerjasama, rencana anggaran, hasil dari
145

konsultasi publik dan lainnya.

Pemerintah telah mendirikan PT.


Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PT. PII)
untuk mengelola jaminan-jaminan tersebut.
Dengan upaya ini maka diharapkan dapat
mengurangi pengeluaran biaya
pembangunan proyek infrastruktur
KPSdengan meningkatkan kualitas proyek
KPS dan kredibilitas, serta membantu
Pemerintah untuk mengelola risiko pajak
dengan lebih baik dengan adanya penjamian
ini. PT. PII akan membuat kerangka kerja
yang komprehensif dan konsisten untuk
dapat menilai suatu proyek dan membuat
keputusan sehubungan dengan pemberian
jaminan dari pemerintah untuk proyek-
proyek KPS

Setiap sektor infrastruktur diatur oleh undang-undang tersendiri dan

peraturan-peraturan pelaksananya. Tabel di bawah ini menunjukkan tentang

undang-undang pokok dan peraturan pemerintah dimasing-masing sektor. Selain

itu, terdapat beberapa peraturan menteri yang tidak tercantum disini yang

memberikan petunjuk tentang pelaksanaan undang-undang pokok dan peraturan

pemerintah tersebut.

SseSektor Undang-Undang dan Butir-Butir Penting


Peraturan Pemerintah
Pelabuhan Undang-undang No. 17 Tahun Pengoperasian pelabuhan (terminal) terbuka
(Pengo - 2008 tentang Pelayaran untuk Badan Usaha. PT. Pelindo
perasian (Perusahaan operator pelabuhan milik
Terminal) Peraturan Pemerintah No. 61 Negara) tidak lagi memonopoli sektor ini.
Tahun 2009 tentang Pemerintah harus mendirikan suatu Otorita
Kepelabuhan Pelabuhan sebagai regulator berbagai
kegiatan di Pelabuhan. Otoritas Pelabuhan
Peraturan Pemerintah No. 20 dapat diadakan untuk satu atau lebih
Tahun 2010 Angkutan Di pelabuhan, dan akan bertanggung jawab
Perairan untuk menerbitkan ijin konsesi, untuk
kemudian mengatur layanan yang dilakukan
oleh Badan Usaha.
Infrastruktur Undang-undang No. 23 Tahun Badan Usaha dapat berpartisipasi dalam
Kereta Api 2007 tentang Perkeretapian pembangunan dan pengoperasian
(Rel kereta api, infrastruktur rel kereta api (rel kereta api,
Stasiun dan Peraturan Pemerintah No. 50 stasiun dan fasilitas kereta api lainnya). PT.
Fasilitas Kereta Tahun 2009 tentang Kereta Api Indonesia tidak lagi
Api lainnya) Pelaksanaan Perekeretapian memonopoli. Konsesi untuk melaksanakan
146

pembangunan dan pengoperasian


Peraturan Pemerintah No. 72 infrastruktur kereta api akan diberikan oleh:
Tahun 2007 tentang Lalu Lintas Menteri: untuk infrastruktur lintas antar
dan Angkutan Kereta Api propinsi;
Gubernur: untuk infrastruktur lintas kota
yang masih dalam satu propinsi;
Walikota/Bupati: untuk infrastruktur dalam
satu kotamadya/ kabupaten.
147

Bandar udara Undang-undang No. 1 Tahun PT. Angkasa Pura (Perusahaan operator
2009 tentang Transpotasi Udara Bandara milik Negara) tidak lagi
memonopoli sektor ini. Pemerintah sedang
mempersiapkan Peraturan Pelaksanaan
untuk pengoperasian Bandara.
Ketenag a Undang-undang No. 30 PT PLN, Perusahaan Listik Negara, tidak
listrikan tentang Ketenagalistrikan lagi memonopoli infrastruktur
(Pembangkit ketenagalistrikan (pembangkit tenaga listrik,
Listrik, Undang-undang No. 27 transmisi, dan pendistribusian). Namun,
Transmisi Tahun 2003 tentang Panas PLN tetap melakukan fungsinya selaku off-
dan Bumi taker dari pembangkit tenaga listrik yang
Pendistribusian) dihasilkan. Badan Usaha dapat berpartisipasi
Peraturan Pemerintah No. dalam sektor ini melalui tender yang
59 Tahun 2007 tentang kompetitif.
Kegiatan Usaha Panas Bumi Mereka (Badan Usaha) akan berkompetisi
dalam pengajuan tarif. Pembangkit listrik,
Peraturan Pemerintah No. 3 transmisi, pendistribusian dan konsesi panas
Tahun 20005 atas Perubahan bumi akan menjadi kegiatan yang berlisensi
Peraturan Pemerintah No. 10 dengan pemisahan off-taker atau perjanjian
Tahun 1989 tentang Ketentuan layanan antara pengguna dan Badan Usaha.
Dan Pemanfaatan Pemberi otoritas lisensi adalah sebagai
Ketenagalistrikan berikut:
Menteri: untuk proyek pembangkit tenaga
listrik yang terhubung dengan jaringan
listrik nasional, atau untuk konsesi panas
bumi lintas propinsi;
Gubernur: untuk infrastruktur lintas
kotamadya/kabupaten dalam satu propinsi;
Walikota/Bupati: untuk infrastruktur
kelistrikan atau konsesi panas bumi di dalam
satu kotamadya/kabupaten.
Air Minum - Undang-undang No. 7 Tahun Suatu Badan Usaha dapat memperoleh
(Pengolahan 2004 tentang Sumber Daya konsesi untuk penyediaan air minum untuk
Air, Transmisi Air daerah yang tidak dilayani oleh Perusahaan
dan Peraturan Pemerintah No. 16 Daerah Air Minum. Penunjukkan Badan
Pendistribusian) Tahun 2005 Pengembangan Usaha untuk melakukan layanan ini harus
Sistem Penyediaan Air dilaksanakan melalui berdasarkan proses
Minum tender. GCA akan menetapkan tarif dan
mengatur persyaratan- persyaratan bagi
Badan Usaha dalam PK. Pemerintah telah
membentuk Badan Pendukung
Pengembangan Sistim Penyediaan Air
Minum (BPP SPAM) untuk, antara lain,
membantu Pemerintah Daerah dalam
pengembangan sistimpenyediaan air minum
melalui skema KPS.PPP basis.
148

Jalan Tol Undang-undang No. 38 Tahun Kegiatan usaha jalan tol tidak lagi di
2004 tentang Jalan monopoli oleh PT. Jasa Marga (perusahaan
jalan tol milik Negara). Pemerintah telah
Peraturan Pemerintah No. 15 mendirikan badan pengawas, yakni Badan
Tahun 2005 Tentang Jalan Tol Pengatur Jalan Tol, untuk melaksanakan
tender dan menetapkan tarif jalan tol.
Peraturan Pemerintah No. 44
Tahun 2009 atas Perubahan
Peraturan Pemerintah No. 15
Tahun 2005

Undang-undang No. 22 Tahun


2009 tentang Lalu Lintas Dan
Angkutan Jalan

Dalam rangka pelaksanaan tugas dan fungsi koordinasi, sinkronisasi,

penyiapan perumusan kebijakan, pemantauan dan evaluasi serta pelaksanaan

hubungan kerja dalam perencanaan pembangunan nasional di bidang sarana dan

prasarana, Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan perencanaan

Pembangunan Nasional perlu mengambil langkah-langkah percepatan penyediaan

infrastruktur melalui kerjasama pemerintah dan swasta. Berdasarkan amanat

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010-2014 Pemerintah

mendorong partisipasi swasta, masyarakat dan pemerintah daerah dalam

pelayanan dan penyelenggaraan sarana dan prasarana. Kerjasama pemerintah dan

swasta agar dapat dipahami dan dilaksanakan dengan baik oleh para pemangku

kepentingan, maka perlu ditetapkan Peraturan Menteri Negara Perencanaan

Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional

tentang Panduan Umum Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah Dengan Badan

Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur, yang untuk selanjutnya disebut Panduan

Umum. Oleh sebab itu diterbitkan Peraturan Menteri Negara Perencanaan

Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional


149

Nomor 3 Tahun 2012 tentang Panduan Umum Pelaksana Kerjasama Pemerintah

Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur.

Tujuan ditetapkan Panduan Umum ini adalah :

a. Memberikan pedoman bagi Menteri dalam menyusun panduan pelaksana

Kerjasama Pemerintah pada sektor yang bersangkutan, dan

b. Memberikan pedoman bagi Menteri/Kepala lembaga/Kepala Daerah

dalam pelaksanaan Proyek Kerjasama untuk mendorong partisipasi swasta

dalam penyediaan infrastruktur.


BAB IV

MODEL PENGATURAN DASAR HAK SWASTA DALAM

PENYELENGGARAAN PENGADAAN TANAH

UNTUK KEPENTINGAN UMUM

4.1 Model Pengaturan Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960

tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

Hukum pertanahan yang bersifat nasional baru lahir bersamaan dengan

pemberlakuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar

Pokok Agraria yang sering disebut sebagai Undang-Undang Pokok Agraria.

Kelahiran UUPA di satu sisi merupakan kulminasi dari pertentangan nilai-nilai

dan kepentingan-kepentingan dalam perkembangan hukum yang mengatur tentang

tanah dan dari sisi lain merupakan titik awal perjalanan dari pelaksanaan pilihan

nilai-nilai dan kepentingan-kepentingan yang telah tertuang dalam substansi

ketentuannya ditengah-tengah rezim pemerintahan yang bergantian membangun

dan melaksanakan kebijakan pembangunan ekonominya.

Penetapan UUPA mengakhiri pertentangan kepentingan-kepentingan dan

nilai-nilai yang ada dalam dualisme hukum pertanahan yang berlaku pada saat itu.

Dualisme hukum merupakan implikasi dari terjadinya dualisme di bidang

ekonomi, yaitu antara ekonomi yang kapitalistis yang menuntut adanya dukungan

hukum modern yang universal dengan ekonomi prakapitalis yang tradisional yang

didukung oleh norma-norma hukum kebiasaan.150 Disatu pihak, hukum

150
Boeke, JH, 1983, Prakapitalisme Di Asia, Sinar Harapan, Jakarta, hal. 10-12.

150
151

pertanahan yang bersumber pada kebijakan pemerintah kolonial menekankan pada

efisiensi dan individualisme serta keadilan distributif sebagai pilihan nilainya

dalam rangka meningkatkan pertumbuhan hasil perkebunan yang menilai ekspor

sebagai sumber pendapat Negara. Negara kolonial merupakan anak kandung dan

sekaligus sebagai kendaraan dari kapitalisme, yaitu suatu paham dalam kegiatan

ekonomi yang menekankan pada peranan pemilikan modal (alat produksi dan

uang) oleh orang perseorangan atau perusahaan yang diinvestasikan untuk

menghasilkan keuntungan yang sebesar-besarnya atas dasar nilai efisiensi dan

persaingan. 151

Gambaran dari adanya dua sistem ekonomi yang diikuti oleh berlakunya

dualisme hukum di bidang pertanahan adalah perbedaan akses untuk menguasai

dan menggunakan tanah dua kelompok masyarakat yang mematuhi dua hukum

yang berbeda.152 Perilaku ekonomi dari kelompok yang didukung oleh hukum

pertanahan yang bersumber pada kebijakan pemerintah kolonial cenderung agresif

dan dominatif serta rasional untuk melakukan perluasan tanah yang dapat dikuasai

dan diusahakan. Sebaliknya perilaku ekonomi kelompok yang didukung oleh

hukum yang bersumber dari kebiasaan cenderung pasif dan pasrah namun karena

besarnya jumlah kelompok ini sehingga sulit untuk sepenuhnya dikuasai oleh

kekuatan ekonomi kelompok pertama. Akibatnya keduanya berada dalam posisi

151
Rikardo Simarmata, Op.cit, hal. 30-33.
152
Frans Husken dan Benyamin White, 1989, Java: Social Differentiation, Food
Production and Agrarian Control dalam Gilian Hart dkk: Agrarian Transformation : Local Process
and State in Southeast Asia, University of California Press, Berkeley-Los Angelos-London, hal.
140-141. a
152

saling berhadapan yang cenderung sulit untuk diselaraskan sehingga yang agresif

dan dominatif lebih diuntungkan.153

Pemberlakuan UUPA mengakhiri pertentangan nilai-nilai dan kepentingan

dengan cara menjadikan nilai-nilai dan kepentingan tertentu sebagai pilihan

substansinya. Pilihan kepentingan yang menjadi tujuan hukum pertanahan

nasional tertuang dalam Pasal 2 ayat (3) UUPA yang mempertegas tujuan politik

hukum pertanahan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yaitu

mewujudkan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Kepentingan ini bermakna

terpenuhinya kebutuhan materiil atau kebutuhan dasar seperti pangan, sandang


154
papan, pekerjaan, kesehatan dan pendidikan dari seluruh warga masyarakat.

Kemakmuran yang dicita-citakan untuk diwujudkan bukanlah orang-perseorangan

atau kelompok dan etnis tertentu atau warga masyarakat di wilayah tertentu,

namun kemakmuran seluruh rakyat Indonesia di semua wilayah yang menjadi

bagian Indonesia.

Jika dicermati bagian-bagian dari UUPA yang terkait dengan pilihan

kepentingan sebagai tujuan yang hendak diwujudkan, maka terdapat dua tingkat

kepentingan yaitu kepentingan antara dan kepentingan akhir. Kepentingan

antara merupakan kondisi sosial ekonomi tertentu sebagai jembatan untuk

terciptanya kepentingan akhir. Kondisi-kondisi sosial ekonomi sebagai

kepentingan antara tersebut dalam UUPA dirumuskan dalam banyak istilah, yaitu

(1). Dalam bagian berpendapat, huruf d dirumuskan bahwa semua tanah

diseluruh wilayah kedaulatan bangsa dipergunakan untuk sebesar-besar


153
Boeke, JH, Op.cit, hal. 12.
154
Mubyarto, 1997, Ekonomi Rakyat, Program IDT dan Demokrasi Ekonomi Indonesia,
Aditya Media, Yogyakarta, hal. 19.
153

kemakmuran rakyat baik secara perseorangan maupun gotong-royong atau

bersama; (2) Dalam ketentuan Pasal 2 ayat (3) dirumuskan bahwa wewenang yang

bersumber pada Hak Menguasai Negara dipergunakan untuk mencapai sebesar-

besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan.

(3) Dalam penjelasan umumnya, angka I alinea terakhir dinyatakan bahwa salah

satu tujuan UUPA adalah meletakkan dasar-dasar penyusunan hukum agrarian

nasional yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran,

kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan rakyat terutama rakyat tani.

Sejumlah istilah yang tercantum dalam UUPA hanya menunjuk pada dua

kepentingan, yaitu kesejahteraan dan keadilan.155 Kesejahteraan mencakup

kemakmuran sebagai aspek materiil dan kebahagiaan sebagai aspek immaterial.

Kemakmuran akan dapat tercipta jika setiap pemilikan dan pemanfaatan tanah

dapat memberikan hasil yang dapat memenuhi kebutuhan materiil atau kebutuhan

dasar seperti pangan, sandang, papan, pekerjaan, kesehatan dan pendidikan dari

seluruh warga masyarakat. Kebahagiaan menunjuk pada terbentuknya kondisi

aman dan tenteram. Aman merupakan suatu kondisi kehidupan yang terhindar dari

konflik sosial dari kekacauan politik yang bersumber dari penguasaan dan

pemilikan tanah, sedangkan tenteram merupakan kondisi kehidupan yang setiap

orang merasa terjamin hak-hak untuk mendapatkan pekerjaan, penghasilan yang

layak, mendapatkan hak kepemilikan atas sumber daya tanah.

Diktum-diktum dalam UUPA didahului dengan pernyataaan pencabutan

terhadap beberapa peraturan perundang-undangan zaman Hindia Belanda yang

155
Boedi Harsono, Op. cit, hal. 144.
154

seluruhnya terdiri atas empat jenis peraturan perundang-undangan. Diktum UUPA

dibagi atas lima kelompok : (1) Memuat berbagai hal yang biasanya menjadi

Batang Tubuh undang-undang pada umumnya. Kelompok ini terdiri atas bab-bab,

bagian-bagian dan pasal-pasal yang seluruhnya berjumlah 4 bab dan 58 pasal.

(2)Memuat ketentuan-ketentuan konversi yang seluruhnya terdiri atas sembilan

pasal. (3) Memuat ketentuan perubahan susunan pemerintahan desa berkenaan

dengan berlakunya UUPA. (4) Memuat peralihan hak-hak dan wewenang-

wewenang swapraja dan bekas swapraja atas bumi dan air dan (5) Memuat

penyebutan, pemberlakuan dan perintah pengundangannya dalam Lembaran

Negara.

Garis besar muatan lengkap diktum kelompok pertama yang terdiri atas

bab-bab, bagian dan pasal disajikan dalam muatan diktum kelompok pertama

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 :

Bab I Tentang Dasar-Dasar dan Ketentuan Pokok (15 Pasal)


Bab II Tentang Hak-Hak Atas Tanah, Air dan Ruang Angkasa serta
Pendaftaran Tanah. Bab ini dibagi kedalam dua belas bagian,
yaitu :
i. Ketentuan-ketentuan umum (3 pasal)
ii. Pendaftaran tanah (1 pasal)
iii. Hak milik (8 pasal)
iv. Hak guna usaha (7 pasal)
v. Hak guna bangunan (6 pasal)
vi. Hak pakai (3 pasal)
vii. Hak sewa untuk bangunan (2 pasal)
viii. Hak membuka tanah dan memungut hasil hutan (1 pasal)
ix. Hak guna air, pemeliharaan dan penangkapan ikan (1pasal)
x. Hak guna ruang angkasa (1 pasal)
xi. Hak hak tanah untuk keperluan suci dan sosial ( 1 pasal)
xii. Ketentuan-Ketentuan Lain (2 pasal)
Bab III Tentang Ketentuan Pidana (1 Pasal)
Bab IV Tentang Ketentuan-ketentuan Peralihan (6 Pasal)
155

Diktum UUPA didahului dengan pencabutan beberapa peraturan

perundang-undangan agraria yang berlaku sejak puluhan tahun yang sebelumnya.

Pencabutan itu karena peraturan perundang-undangan lama sangat eksploitatif dan

tidak adil. Adapun peraturan perundang-undangan yang dicabut dengan

berlakunya UUPA dapat dibagi dalam dua kelompok. Pertama, yang dicabut

secara eksplisit yakni pencabutan secara tegas di dalam UUPA. Kedua yang

dicabut secara implisit, yakni pencabutannya tidak secara tegas dinyatakan dalam

UUPA, tetapi tercabut dengan sendirinya karena memuat materi yang

bertentangan dengan asas-asas yang dipakai dalam UUPA.

Ketentuan yang dicabut secara eksplisit diuraikan di bawah pernyataan

diktum Memutuskan dinyatakan pencabutan terhadap beberapa perundang-

undangan sebelum pernyataan Menetapkan dengan kata-kata Dengan

mencabut : Peraturan perundang-undangan yang dicabut itu adalah :

1. Agrarische Wet (S. 1870-55), sebagai yang termuat dalam pasal 51


Wet op de Staatsinrichting van Nederlands Indie (S.1925-447) dan
ketentuan dalam ayat-ayat lainnya dari pasal itu :
2. a. Domeinverkelaring tersebut dalam Pasal 1 Agrarisch Besluit S.
1870-118.
b. Algemene Domeinverkelaring tersebut dalam Pasal 1 dalam S.
1875-119a.
c. Domeinverkelaring untuk Sumatera, tersebut dalam pasal dari
S.1874-94f.
d. Domeinverkelaring untuk Keresidenan Manado, tersebut dalam
Pasal I dari S. 1877-55.
e. Domeinverkelaring untuk Residentie Zuider en Qoster-afdeling
van Borneo tersebut dalam Pasal 1 dari S.1888-58.
3. Koninklijk Besluit tanggal 16 April 1872 No. 29 (S. 1872-117) dan
peraturan pelaksanaannya.
4. Buku ke-II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia
sepanjang yang mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya, keculi ketentuan-ketentuan mengenai
156

hipotek yang masih berlaku pada mulai berlakunya udang-undang


ini.156

Meskipun tidak ada pencabutan tegas atas peraturan perundang-undangan

selain yang tersebut diatas, tetapi dengan berlakunya UUPA terdapat juga

konsekuensi bagi tercabutnya peraturan perundang-undangan lain, jika memuat

materi yang bertentangan dengan prinsip-prinsip yang dianut oleh UUPA. Hal ini

berdasarkan pada ketentuan pasal 58 UUPA, yang menyebutkan berlakunya

peraturan perundang-undangan lama masih dimungkinkan selama jiwanya tidak

bertentangan dengan UUPA. Pasal 58 tersebut berbunyi sebagai berikut :

Selama peraturan-peraturan pelaksanaan undang-undang ini belum


terbentuk, maka peraturan-peraturan baik yang tertulis maupun yang tidak
tertulis mengenai bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dan hak-hak atas tanah yang ada pada mulai berlakunya undang-
undang ini, tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dari
ketentuan-ketentuan dari Undang-Undang ini serta diberi tafsiran yang
sesuai dengan itu.

Disamping pencabutan secara tegas (eksplisit) terdapat juga pencabutan

yang sifatnya tidak langsung (implicit), sebagai contoh adalah S.1975-179

menjadi tidak berlaku (dicabut) karena memuat ketentuan-ketentuan yang

bertentangan dengan jiwa UUPA. S.1875-179 berisi Larangan Pengasingan

Tanah dari penduduk asli Indonesia (golongan Bumi Putra) terhadap orang asing.

Ketentuan tersebut jelas harus dicabut karena alasan berikut: Pertama, S.1875-179

berdasarkan pada politik hukum 1848 yang membagi-bagi penduduk ke dalam

tiga golongan, yaitu golongan Pribumi (Indonesia asli), golongan Eropa dan

golongan Timur Asing yang dalam lapangan keperdataan tunduk pada hukum

yang berbeda-beda. Kedua, UUPA tidak menggolongkan penduduk berdasarkan

156
Moh. Mahfud MD, Op. cit, hal. 175-178.
157

ras melainkan atas hukum kewarganegaraan ke dalam warga negara Indonesia dan

orang asing. Menurut UUPA setiap WNI (tanpa dipersoalkna rasnya apakah

Eropa, Cina, Arab, India dan sebaginya asalkan sudah memilki status

kewarganegaraan) dapat menjadi pemegang hak milik atas tanah yang ada di

wilayah Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

S.1875-179 dicabut karena didasarkan pada penggolongan penduduk yang

samasekali berbeda dengan UUPA. UUPA tidak berpegang pada golongan-

golongan penduduk menurut politik hukum kolonial 1848. Ukuran yang dipakai

untuk melindungi pihak ekonomi lemah tidak ditarik melalui perbedaan keturunan

antarsesama warga negara. 157

1. Pemerataan Sebagai Pilihan Periode 1960-1966

Bahwa kebijakan pembangunan ekonomi pada periode 1960 -1966 secara

normatif berorientasi pada pemerataan dapat ditarik dari fakta dalam Tap MPRS

No. II/MPRS/1960 tentang Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional

Semesta Berencana Tahapan Pertama 1961-1969, yaitu :

Pertama, Penetapan sosialisme ala Indonesia sebagai landasan ideologi

pembangunan ekonomi dalam kerangka mewujudkan masyarakat sosialis

Indonesia. Hal ini ditegaskan dalam Bagian Menimbang butir 2 Tap MPRS:

Pembangunan Nasional Semesta Berencana adalah pembangunan dalam


masa peralihan yang bersifat menyeluruh untuk menuju tercapainya
masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila atau Masyarakat
Sosialis Indonesia dimana tidak terdapat penindasan atau penghisapan atas
manusia oleh manusia.

157
Ibid, hal.180-181.
158

Bagian Menimbang tersebut menegaskan bahwa rencana pembangunan 8

(delapan) tahun yang dirancang dalam Tap MPRS tersebut merupakan rencana

dalam masa peralihan yaitu dari ekonomi yang kapitalistik ke pembangunan

ekonomi yang sosialis.158 Kapitalisme yang menjadi ideologi pembangunan

ekonomi baik pada masa kolonial maupun sampai dekade 1950an dinilai telah

mendatangkan kesengsaraan bagi rakyat Indonesia.

Atas dasar itu, rencana pembangunan ekonomi 8 (delapan) tahun

didasarkan pada ideologi sosialisme Indonesia. Dengan landasan demikian,

kebijakan pembangunan ekonomi diorientasikan pada:

1. Tercapainya keadilan sosial yaitu suatu kondisi berkembangnya sikap dan

kemauan untuk mendistribusikan sumber daya ekonomi yang ada pada

sebanyak mungkin rakyat secara merata. Sumber daya ekonomi yang ada

tidak boleh dikuasai oleh sekelompok kecil warga masyarakat, namun

harus diberikan kepada warga masyarakat sehingga mereka memiliki dan

menjalankan kegiatan usahanya sendiri untuk memenuhi kebutuhan

pokoknya.

2. Terciptanya kesejahteraan masyarakat yang ditandai oleh adanya rasa

aman atau selamat, tenteram dan makmur lahir batin.

3. Terciptanya aktivitas warga masyarakat atas dasar asas kekeluargaan dan

kegotongroyongan.

158
Soekarno, 1959, Amanat pada Sidang Pleno I Dewan Perancang Nasional (Depernas),
28 Agustus 1959, dalam Iman Toto K. Rahardjo dan Herdianto WK, 2001, Bung Karno dan
Ekonomi Berdikari, penerbit Grasindo, Jakarta, hal. 88-90.
159

4. Adanya pengakuan terhadap hak milik orang perseorangan atas sumber

daya ekonomi, namun dalam penggunaan atau pemanfataannya dibatasi

oleh kepentingan bersama.

a. Perombakan struktur penguasaan sumber daya ekonomi dari pola

penguasaan yang terpusat di tangan sekelompok kecil orang kearah pola

yang menyebar. Struktur penguasaan sumber daya ekonomi dan kegiatan

usaha sampai dekade 1950an masih terpusat di tangan sebagian kecil

warga masyarakat baik investor asing maupun investor nasional termasuk

penguasa feodal. Di tingkat pengambil kebijakan pun masih investor

nasional termasuk penguasa feodal. Di tingkat pengambil kebijakanpun

masih terdapat perbedaan antara yang menginginkan tetap berpijak pada

ideologi kapitalisme dengan konsekuensi penguasaan ekonomi secara

terpusat oleh sekelompok kecil orang dengan yang menginginkan

langsung memasuki sosialisme dengan konsekuensi harus terjadi terjadi

perombakan struktur penguasaan ekonomi. Kebijakan pembangunan

ekonomi sebagaimana ditetapkan dalam Tap MPRS No. II/MPRS/1960

dapat ditempatkan sebagai upaya pengakhiran terhadap perbedaan

pandangan dengan menempatkan sosialisme sebagai idelogi dengan

konsekuensi harus dilakukan perombakan struktur penguasaan sumber

daya ekonomi dan kegiatan usaha terutama di sector kegiatan ekonomi

primer yaitu sektor pertanian.


160

Dorongan dilakukan perombakan struktur penguasaan sumber daya

ekonomi dan kegiatan usaha dapat dicermati dari fakta-fakta dalam TAP MPRS

No. II/MPRS/1960 tersebut, yaitu :

1. Pernyataan dalam bagian Menimbang butir 5 yang menegaskan

bahwa syarat pokok untuk melaksanakan pembangunan ekonomi

adalah pembebasan rakyat dari pengaruh kolonialisme, imperialisme,

feodalisme dan kapitalisme. Kolonialisme dan imperialisme

merupakan pola pikir dan tindakan yang menekankan pada upaya

menguasai dan mengekploitasi sumber daya ekonomi yang dipunyai

suatu kelompok atau bangsa dengan menjajah secara politik untuk

kepentingan pihak penjajah.

Kedua, Ketentuan Pasal 4 ayat (3) Tap MPRS No. II/MPRS/1960 yang

menempatkan landreform sebagai basis pembangunan ekonomi dan bagian mutlak

dari revolusi. Landreform mengandung semangat penataan struktur penguasaan

sumber daya ekonomi dari penguasaan yang terpusat di tangan sekelompok kecil

orang ke penguasaan yang menyebar kepada sebanyak mungkin orang.

Penempatan landreform sebagai basis berarti perombakan struktur penguasaan

sumber daya ekonomi menjadi syarat pokok dan merupakan langkah awal yang

harus dilakukan dalam kerangka mewujudkan masyarakat sosialis Indonesia.

Struktur penyelenggaraan usaha harus dirombak dari kegiatan usaha yang hanya

dijalankan sekelompok kecil orang menuju kegiatan usaha yang dijalankan

mayoritas rakyat secara gotong-royong. Sumber pembiayaan harus mengalami

perombakan dari yang bersumber pada modal asing kepada sumber pembiayaan
161

dari dalam negeri terutama yang sudah dipunyai oleh masyarakat sendiri sebagai

pelaku usaha. Perombakan itupun harus dilaksanakan dengan segera sesuai

dengan penempatan landreform sebagai bagian mutlak dari revolusi. Kesegeraan

perombakan struktur penguasaan sumberdaya ekonomi menjadi inti dari revolusi

sehingga rakyat yang mayoritas dapat segera menguasai, memiliki dan

menjalankan kegiatan usahanya sendiri.

Ketiga, Pemberian kesempatan kepada kekuatan nasional untuk menguasai

dan menjalankan kegiatan ekonomi yang mencerminkan adanya semangat

pemerataan. Ada 3 (tiga) kelompok kekuatan nasional yang diberi peranan utama

dalam kegiatan ekonomi, yaitu :

1. Warga masyarakat yang mayoritas yang harus ditempatkan sebagai

pemilik dan sekaligus sebagai pelaksana utama kegiatan usaha.

2. Penunjukkan dan penempatan koperasi sebagai salah satu pelaku usaha

utama.

3. Penunjukkan badan usaha milik Negara sebagai pelaku usaha utama

yang diantaranya dapat dicermati dari fakta-fakta :

- Ketentuan Pasal 5 ayat (2) TAP MPRS No. II/MPRS/1960 yang

menekankan Negara untuk menguasai dan jika perlu memiliki kegiatan

usaha yang vital bagi perkembangan perekonomian nasional dan

kebutuhan hidup rakyat banyak. Ada 2 (dua) istilah yang menunjukkan

posisi dan peranan Negara yaitu menguasai dan memiliki. Istilah

menguasai menunjuk pada fungsi public Negara untuk mengatur dan

mengarahkan kegiatan usaha agar berlangsung kearah pembentukan


162

masyarakat sosialis Indonesia, sedangkan istilah memiliki

mengandung makna bahwa Negara melalui badan usaha yang

dibentuknya berfungsi sebagai pelaku kegiatan usaha di bidang-bidang

yang vital bagi pengembangan perekonomian nasional dan kebutuhan

hidup rakyat banyak.

- Ketentuan Pasal 6 ayat (3) dan (4) Tap MPRS No. II/MPRS/1960

yang menempatkan pemerintah melalui badan usaha yang dibentuknya

untuk melakukan kegiatan usaha di bidang impor barang kebutuhan

pokok rakyat, bahan penolong bagi industri vital dan ekspor bahan

baku tertentu serta kegiatan usaha di bidang angkutan yang vital.

2. Pertumbuhan Ekonomi sebagai Pilihan Periode 1967-2005.

Kepentingan yang hendak diwujudkan dalam periode ini, sebenarnya

secara formal tidak mengalami perubahan karena rezim ini penguasa yang baru

tidak pernah melakukan revisi atau perubahan terhadap UUPA sebagai induk dari

hukum pertanahan nasional. Konsekuensinya ketentuan Pasal 2 ayat (3) UUPA

yang dipertegas dalam Penjelasan Umumnya Angka I huruf a dari alinea terakhir

yang memuat tujuan hukum agrarian nasional masih berlaku dan tidak mengalami

perubahan. Kemakmuran rakyat dalam arti terpenuhinya kebutuhan pokok

masyarakat masih tetap menjadi orientasi kepentingan yang harus diwujudkan

oleh hukum pertanahan.

Meskipun secara formal tidak mengalami perubahan, namun pergantian

rezim penguasa Orde Lama (periode 1960-1966) ke Penguasa Orde Baru diikuti

oleh terjadinya perubahan orientasi kepentingan atau bahkan pilihan nilai sosial
163

sebagai acuan dari kebijakan pembangunan ekonomi. Perubahan orientasi ini telah

berpengaruh terhadap pengembangan strategi dan tahapan pencapaian

kemakmuran rakyat. Jika orientasi kebijakan pembangunan ekonomi penguasa

Orde Lama lebih menekankan pada pemerataan penguasaan sumber daya ekonomi

dan pelaksanaan kegiatan usaha kepada sebanyak mungkin orang maka sebaliknya

orientasi kebijakan pembangunan ekonomi penguasa Orde Baru lebih

menitikberatkan pada pertumbuhan ekonomi.

Pertumbuhan ekonomi ditandai oleh peningkatan secara kuantitatif atau

jumlah produksi nasional dan kegiatan usaha yang menghasilkan produksi

tersebut. Pada tingkat substansi kebijakan, orientasi pada pertumbuhan ekonomi

dapat dilihat dari fakta-fakta sebagai berikut :

a. Adanya kecenderungan penetapan angka pencapaian produksi nasional

dan kegiatan usaha sebagai target yang harus diupayakan

peningkatannya. Asumsi yang dicetuskan oleh aliran modernism ini

diyakini oleh perancang kebijakan pembangunan ekonomi Orde Baru

sebagai cara untuk memacu dan mempercepat pengentasan kehidupan

ekonomi bangsa dari keterbelakangan. Dalam hal ini, Riwanto

Tirtosudarmo merangkum pemikiran Tim Berkeley sebagai

kelompok perancang kebijakan tersebut dalam kalimat : Berbagai

kebijakan ekonomi yang diambil Pemerintah haruslah bermuara pada

pertumbuhan ekonomi (peningkatan produksi) karena tanpa

peningkatan produksi yang cukup tinggi tidak mungkin dilakukan

pembangunan bidang-bidang lainnya


164

b. Adanya kecendrungan untuk melibatkan pelaku-pelaku usaha yang

mempunyai kemampuan menjalankan kegiatan usaha. Rencana

peningkatan produksi dan ketersediaan dana investasi yang besar tidak

mungkin dapat diupayakan dan disediakan sendiri oleh Pemerintah,

namun harus melibatkan pelaku-pelaku usaha swasta yang

berkemampuan baik dari penyediaan modal maupun penguasaan

manajemen dan teknologi. Artinya pencapaian peningkatan produksi

hanya mungkin dapat diupayakan melalui pelibatan pelaku-pelaku

usaha swasta berskala besar yang memenuhi syarat berkemampuan di

bidang tersebut.

Sejak Repelita Pertama, Pemerintah sudah merencanakan untuk

melibatkan peranan pelaku usaha swasta besar meskipun dalam jumlah yang

relatif kecil, yaitu baru sekitar 25% dari keseluruhan dana investasi yang

direncanakan. Repelita Pertama merupakan tahapan membangunan kepercayaan

dunia usaha untuk berinvestasi sehingga Pemerintah harus mengambil peranan

yang lebih besar. Dalam Repelita-Repelita berikutnya, peranan usaha swasta

semakin meningkat dan dalam Repelita Kelima mereka sudah diproyeksikan

mempunyai peran dominan.

Perbandingan Rencana Peranan Pemerintah dan Swasta

REPELITA RENCANA INVESTASI INVESTASI


KEBUTUHAN PEMERINTAH SWASTA
INVESTASI
I Rp 1,420 Triliun 75% 25%
II Rp 11,415 Triliun 47% 53%
III Rp 42,835 Triliun 51% 49%
IV Rp 145, 224 54% 46%
Triliun
165

V Rp 239,1 Triliun 45% 55%


VI Rp 660,1 Triliun 27% 73%
Sumber : Lampiran Keppres masing-masing Repelita

Proyeksi penurunan peranan Pemerintah di satu pihak dan peningkatan

peranan pelaku usaha swasta terutama berskala besar menunjukkan ideologi

kapitalisme telah mendasari pembangunan ekonomi. Artinya pembangunan

ekonomi harus semakin bertumpu pada peranan pelaku usaha swasta terutama

yang berkemampuan baik modal maupun teknologi.

Penitikberatan pada pertumbuhan ekonomi sebagai pilihan orientasi

kebijakan pembangunan ekonomi penguasan Orde Baru berimplikasi pada strategi

pencapaian kemakmuran seluruh rakyat sebagai tujuan dari hukum pertanahan

nasional. Perombakan struktur penguasaan dan pemilikan tanah sebagai upaya

untuk melakukan pemerataan pemilikan tanah dinilai sebagai strategi yang tidak

akan mampu mendukung pencapaian pertumbuhan ekonomi. Bahkan strategi yang

demikian justru dinilai sebagai penghambat terhadap pertumbuhan ekonomi

karena tidak memacu setiap orang untuk bersaing dalam berprestasi. Pemberian

tanah kepada petani yang biasa dengan sistem pertanian yang subsistem tidak

akan dapat memberikan konstribusi yang berarti bagi peningkatan produksi yang

dikehendaki oleh kebijakan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi. Jika

pertumbuhan ekonomi tidak pernah tercapai sebagaimana diasumsikan oleh

pembentuk kebijakan, maka kemakmuran rakyat tidak akan pernah dapat dicapai.

Kemakmuran rakyat dapat dicapai bukan dengan cara membagi-bagikan

tanah secara langsung kepada setiap petani atau kepada sebanyak mungkin orang,

namun strategi pencapaiannya dapat diupayakan dengan memberikan kesempatan


166

kepada setiap orang untuk memperoleh dan mempunyai tanah dengan syarat

tertentu yaitu mampu mengembangkan kegiatan usaha melalui penguasaan dan

penggunaan tanah serta bersaing untuk berprestasi dalam peningkatan produksi.

Melalui strategi yang demikian, disatu sisi setiap orang sudah diberi kesempatan

yang sama untuk memperoleh dan mempunyai tanah, namun kesempatan untuk

sungguh-sungguh dapat menguasai dan mempunyai tanah akan terseleksi

berdasarkan kemampuan mereka memenuhi persyaratan dan prestasinya dalam

meningkatkann produksi dan penggunaan tanah yang diperolehnya.

Untuk mendukung strategi seperti diatas, kebijakan pembangunan

ekonomi telah meletakkan prinsip-prinsip tertentu yaitu efisien dan efektivitas

penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah sebagai basis utama dan sekaligus

sebagai acuan dalam pembentukan peraturan pelaksanaaan UUPA tanpa perlu

merubah atau merevisi asas-asas yang terdapat dalam UUPA itu sendiri. Hal ini

dapat dicermati dari ketentuan dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

atau Tap MPR No. IV/MPR/1973 dalam Bab IV D huruf a butir 12 dinyatakan

bahwa : salah satu aspek pembangunan ekonomi ialah penggunaan tanah dan

oleh karena itu demi peningkatan efisiensinya perlu diadakan perencanaan

penggunaan tanah. Begitu juga dalam Tap MPR No. IV/MPR/1978 Bab IVD.

Bagian Umum butir 20 dan Bagian Ekonomi, Pertanian huruf f dinyatakan :

Agar pemanfaatan tanah sungguh-sungguh membantu usaha meningkatkan


kesejahteraan rakyat serta dalam rangka mewujudkan keadilan sosial,
maka disamping menjaga kelestariannya perlu dilaksanakan penataan
kembali penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah
Pembangunan pertanian harus merupakan usaha yang terpadu dengan
pembangunan daerah dan pedesaan. Dalam hubungan ini diperlukan
langkah-langkah untuk mengendalikan secara efektif penggunaan,
167

penguasaan dan pemilikan tanah sehingga benar-benar sesuai dengan asas


adil dan merata.

Kutipan dari Tap MPR tersebut memberikan gambaran tentang adanya

perubahan basis strategi dalam pembangunan hukum bidang pertanahan sebagai

implikasi dari perubahan orientasi kebijakan pembangunan ekonomi yaitu

efisiensi penggunaan tanah serta menata kembali dan mengendalikan secara

efektif penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah. Perubahan ini tidak lagi

menekankan pada perombakan struktur penguasaan tanah melalui landreform,

namun lebih menekankan pada penataan agar penggunaan tanah lebih efisien

yaitu memaksimalkan hasil yang diperoleh dengan lebih menekankan biaya

serendah mungkin dan agar penggunaan tanah lebih efektif yaitu berhasil guna

memberikan dukungan langsung terhadap pencapaian pertumbuhan ekonomi yaitu

peningkatan jumlah kegiatan usaha atau investasi hasil produksinya. Efisiensi dan

efektivitas penggunaan tanah diharapkan dapat meberikan dukungannya terhadap

pertumbuhan ekonomi yang pada gilirannya akan berdampak lebih lanjut terhadap

kemakmuran rakyat. 159

Merujuk orientasi dan basis yang demikian, strategi yang dikembangkan

untuk mewujudkan kemakmuran rakyat bukan dengan mendistribusikan

penguasaan dan pemilikan sumber daya ekonomi seperti halnya tanah secara

merata kepada sebanyak mungkin warga masyarakat. Strateginya adalah

pemberian fasilitas untuk menguasai dan memiliki tanah kepada setiap orang yang

mampu secara efisien dan efektif menggunakannya untuk pengembangan

159
Bonnie Setiawan, 2003, Globalisasi Pertanian : Ancaman Atas Kedaulatan Bangsa dan
Kesejahteraan Petani, The Institute for Global Justice, Jakarta, hal.42.
168

kegiatan usaha. Meskipun setiap orang diberi kesempatan yang sama untuk

menguasai dan memilki tanah namun mereka yang efektif dan efisien yang akan

lebih banyak memanfaatkan atau diberi kesempatan tersebut.160

Politik hukum yang mengantarkan lahirnya UUPA berkisar pada dua

tataran dasar. Pertama, hendak mewujudkan sistem hukum agraria yang seragam

(unifikasi) di seluruh wilayah negara kesatuan RI. Ini merupakan konsekwensi

logis sebagai negara yang merdeka yang sedang mengarah pada pembaharuan

hukum dan sistem hukumnya. Kedua, dimaksudkan untuk mewujudkan suatu

bangunan masyarakat, khususnya petani, apakah petani penggarap, buruh tani dan

lain sebagainya kepada kondisi yang lebih bermartabat. Undang-undang ini

memberikan kemungkinan perolehan akses terhadap sumberdaya ekonomi. Dalam

konteks ini yang dimaksudkan adalah tanah, sehingga distorsi pada pemilikan dan

penguasaan tanah dapat dieliminir. Harapannya adalah tercipta suatu masyarakat

yang berkeadilan dan bermartabat.

Ada dua hal yang membuat UUPA mempunyai arti penting secara

mendasar, yaitu: statusnya dan isinya. UUPA dapat dikatakan mempunyai

kehidupan sendiri. Maksudnya, undang-undang tersebut mempunyai arti yang

lebih tinggi daripada apa yang dikatakannya, yaitu isi maupun status legal

formalnya, yaitu sebuah undang-undang yang disahkan oleh legislatif karena

mengatur hal-hal mendasar mengenai keagrarian. UUPA telah memperoleh status

simbolis sebagai bagian dari landasan fundamental bangsa ini. Artinya, undang-

160
Badan Pembangunan Hukum Nasional, 2009, Perencanaan Pembangunan Hukum
Nasional Bidang Pertanahan, Departemen Hukum dan HAM RI, Jakarta, hal. 38.
169

undang tersebut ikut menegaskan dan memperkuat eksistensi Negara Kesatuan

Republik Indonesia sebagaimana diproklamirkan dalam UUD 1945.

4.2 Model Pengaturan Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012

tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan

Umum dan Dalam Regulasi

Politik hukum agraria sebagaimana tertuang di dalam Pasal 33 UUD 1945

dan UUPA secara prinsip tidak perlu diubah, sebab pada dasarnya yang menjadi

masalah adalah implementasinya. Filosofi yang mendasarinya baik, tapi pilihan

kepentingan dan nilai sosial oleh pemerintah telah menggeser peran substantif

filosofi yang mendasari politik hukum tersebut. Dilihat dari proses pembuatannya

yang partisipatif dan isinya yang aspiratif, UUPA merupakan hukum yang

berkarakter responsif. Sementara itu dilihat dari nilai sosial yang mendasarinya,

UUPA sendiri merupakan hukum prismatik yang ideal karena mengkombinasikan

dua pilihan nilai sosial. 161

Perkembangan hukum agrarian dapat pula dilihat dari kacamata ekonomi

politik, yakni suatu pendekatan yang terkait dengan pengaruh pilihan kepentingan

dan pilihan nilai sosial yang dijadikan landasan kebijakan pemerintah. Pilihan

kepentingan yang dihadapi oleh penguasa adalah pilihan kepentingan kolektif

secara terkendali dan pilihan kepentingan sekelompok orang secara liberal.

Masalah utama yang selama ini muncul diakibatkan oleh sikap pemerintah

yang bergeser atau mengambil jalan sendiri atas nilai kepentingan dan nilai sosial

demi pembangunan, sehingga keluar dari prinsip kemakmuran rakyat. Dengan

161
H.Abdul Latif dan Hasbi Ali,Op.cit, 122.
170

demikian politik hukum agrarian di dalam UUPA sudah sesuai dengan dasar dan

tujuan Negara sebagaimana terkandung dalam UUD 1945. Namun pilihan

kepentingan pemerintah dalam implementasi telah membawa keluar pengelolaan

agraria dari nilai filosofi dan politik hukum yang mendasarinya. Pilihan nilai pada

kemakmuran sekelompok orang yang kuat secara ekonomis (pemodal) melalui

liberalisasi ekonomi telah menggeser watak populisme UUPA. Keharusan

membangun ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan dan dalam pilihan nilai

kepentingan yang seperti itu, ketentuan undang-undang yang seharusnya ditaati

banyak yang dilanggar karena kebutuhan pragmatis.

Seperti persoalan pengaturan penyelenggaraan tanah untuk kepentingan

umum dengan keluarnya Perpres No. 36 Tahun 2005, Perpres No. 65 Tahun 2006

dan terakhir Undang-Undang No. 2 Tahun 2012. Pembahasan pada sub bab ini

dimulai dari Perpres No 36 Tahun 2005. Perpres No. 36 Tahun 2005 tentang

Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

mendapat banyak tanggapan maupun menuai kontroversi. Sebagian kalangan

menolak, bahkan menganggap Perpres ini sebagai ancaman bagi hak milik yang

dijamin oleh konstitusi. Namun sebagian kalangan mendukung dengan

dikeluarkan Perpres ini, karena peraturan ini dianggap memperbaiki berbagai

peraturan yang menyangkut pengadaan tanah untuk kepentingan umum

terdahulu. 162

Secara substansial Perpres No. 36 tahun 2005 ini memberi peluang kepada

negara untuk memberikan jaminan kepada investor domestik maupun

162
H.Abdul Latif dan Hasbi Ali, Op.cit, hal. 124.
171

internasional untuk menanamkan modalnya di Indonesia terutama dalam hal

pengadaan tanah. Para pelaku bisnis menunjukkan antusiasme dan menyambut

positif kebijakan ini. Juru bicara presiden pada saat itu, Andi Malarageng

mengatakan bahwa Perpres ini memang untuk mewujudkan keepakan yang

dicapai dalam Infrastructure Summit. Pernyataan ini ditegaskan kembali oleh

Ketua Kamar Dagang Industri Indonesia yaitu MS Hidayat bahwa hal ini

merupakan komitmen pemerintah dalam menindaklanjuti hasil dalam Pertemuan

Tingkat Tinggi Bidang Infrastruktur. 163

Beberapa hal yang patut diperhatikan adalah rekomendasi politik dari

Komisi II DPR RI yang dikeluarkan pada tanggal 7 Juni 2005. Adapun butir-butir

penting yang harus diperhatikan adalah :

a. Segera melakukan revisi atas Perpres No. 36 Tahun 2005, khususnya

terhadap Pasal 3 jo Pasal 2 ayat (1), Pasal 1 angka 5 jo Pasal 5, Pasal 3

ayat (1), Pasal 4 ayat (3), Pasal, Pasal 10, Pasal 15 ayat (1) huruf a dan

ayat (2), Pasal 16 Ayat (2); dan perlu mempertimbangkan efektivitas

keberadaan panitia pengadaan tanah serta pembahasan substansi yang

mengatur jaminan tidak adanya spekulasi harga tanah dan perlunya

keberadaan Tim Independen Tanah.

b. Pada waktu yang bersamaan pemerintah perlu mengeluarkan PP dari UU

organik yang berhubungan dengan pengadaan tanah bagi pelaksanaan

pembangunan untuk kepentingan umum yaitu PP terhadap UU No. 51 Prp

Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin dan PP

163
Adrian Sutedi, Op.cit, hal. 220
172

terhadap UU No. 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah

dan Benda-Benda Yang Ada di Atasnya.

c. Pemerintah perlu segera melakukan koordinasi secara intensif dengan DPR

RI guna percepatan pembahasan RUU yang telah masuk Prolegnas yaitu

RUU tentang Pengambilaihan Lahan Untuk Kepentingan Umum.

Rekomendasi Komisi II DPR tersebut dikeluarkan setelah mengkaji isi

Perpres No. 36 Tahun 2005 dan melahirkan kesimpulan-kesimpulan sebagai

berikut :

1. Terdapat kemungkinan terjadinya perlakuan diskriminatif dalam

pelaksanaan Perpres No. 36 Tahun 2005, terutama karena pengertian

kepentingan umum dimaksudkan hanya untuk kepentingan sebagian besar

masyarakat.

2. Cara pengadaan tanah yang dilakukan melalui pencabutan hak atas tanah

memberikan terjadinya peluang kesewenang-wenangan dalam pelaksanaan

Perpres No. 36 Tahun 2005, khususnya bila tidak merujuk pada UU No.

20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak Atas Tanah dan Benda-Benda

Yang Ada di Atasnya.

3. Terdapat ketidakjelasan prinsip penghormatan dalam pengadaan tanah

apakah diberikan kepada subjek (pemegang hak atas tanah) atau objek

(hak atas tanah) yang bisa berakibat pengabaian terhadap hak asasi

pemegang hak atas tanah sebagaimana dijamin oleh Pasal 28 H ayat (4)

UUD 1945.
173

4. Terbuka ruang kolusi antara pemerintah dengan pembeli tanah (pemodal

besar) dalam proses jual beli tanah yang telah ditetapkan sebagai lokasi

pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum.

5. Monopoli pemerintah atau pemerintah daerah dalam Pembentukan Panitia

Pengadaan Tanah dan Tim/Lembaga Penilai Tanah memperkecil harapan

pemegang hak atas tanah (rakyat) memperoleh keadilan.

6. Unsur represif (pemaksaan) terlihat pada pembatasan waktu untuk

musyawarah.164

Melihat kelemahan yang ada dalam Perpres No. 36 Tahun 2005 akhirnya

Presiden mengeluarkan Peraturan presiden No. 65 Tahun 2006 tentang Perubahan

Atas Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 mengenai Pengadaan Tanah bagi

Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Pemerintah beranggapan

bahwa perubahan itu didasari keinginan pemerintah untuk meningkatkan prinsp

penghormatan terhadap hak-hak atas tanah yang sah dan kepastian hukum dalam

pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan. Perpres No. 65 Tahun2006 juga

menambah ketentuan baru, yaitu mengenai biaya panitia pengadaan tanah yang

akan diatur lebih lanjut. 165

Setelah melalui perjalanan waktu yang cukup panjang Rancangan Undang-

Undang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

akhirnya disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah dalam sidang

paripurna tanggal 16 Desember 2011. Sesuai dengan pasal 73 Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan perundang-Undangan,

164
H. Abdul Latif dan H. Hasbi Ali, Op.cit, hal. 126.
165
Adrian Sutedi, Op.cit, hal. 226.
174

RUU tersebut menjadi sah sebagai undang-undang paling lama 30 hari sejak RUU

tersebut disahkan. Dengan adanya undang-undang ini, diharapkan Indonesia

memiliki payung hukum yang kuat setingkat undang-undang untuk memperlancar

pelaksanaan pembangunan infrastruktur untuk kepentingan umum yang

memerlukan pengadaan tanah.

Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 yang diundangkan

pada tanggal 14 Januari 2012 masih memberikan pilihan kepada investor ataupun

instansi terkait. Dalam hal ini instansi bisa tetap menggunakan aturan lama atau

memakai aturan peerundang-undangan baru tersebut. Hal ini telah diatur dalam

pasal transisi. Pemilihan untuk meggunakan undang-undang itu ketika lahan

sudah terbebaskan meski dibawah 10% sangat bergantung pada instansi, atau

investor yang akan menggunakan. Bila investor ingin pembebasan lahan

menggunakan undang-undang baru maka proses ini harus mengikuti aturan

tersebut secara penuh, yakni memulai kembali proses pembebasan lahan dari awal

musyawarah penentuan harga dengan masyarakat. Terkesan mengulang-ulang,

tetapi undang-undang tersebut lebih memberikan kepastian waktu terhadap masa

pembebasan lahan kepada para pengguna yang ditargetkan selama dua (2) tahun.

Undang-Undang Pengadaan Tanah ini sebetulnya sudah dapat diberlakukan sejak

diundangkan menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012, namun

implementasi penuh baru dapat digunakan setelah terbitnya peraturan presiden

termasuk juga tentang masa transisi dan ganti rugi kepemilikan lahan.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 ini dinilai tidak menguntungkan

masyarakat. Sebab aturan tersebut telah membuat masyarakat kehilangan lahan


175

penghasilan untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi sehari-hari. Dalam perjalanan

baru beberapa bulan, undang-undang ini sudah pernah dilakukan pengujian.

Pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah

dimohonkan oleh sebuah koalisi yang menamakan dirinya Karam Tanah. Koalisi

ini beranggotan Serikat Petani Indonesia (SPI), Indonesian Human Right Comitte

for Social Justice (IHCS), Yayasan Bina Desa Sadajiwa, Konsorsium Pembaruan

Agraria (KPA), Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Walhi,

Aliansi Petani Indonesia, Sawit Watch, Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air

(KruHA), Perserikatan Solidaritas Perempuan, Yayasan Pusaka, Elsam, Indonesia

for Global Justice dan Serikat Nelayan Indonesia (SNI).

Kelompok ini memohon pengujian Pasal 2 huruf g, Pasal 9 Ayat (1), Pasal

10, Pasal 14, Pasal 21 Ayat (1), Pasal 23 Ayat (1), Pasal 40 dan Pasal 42 karena

menilai pasal-pasal tersebut tidak berpihak kepada masyarakat umum. Mereka

menuding aturan itu lebih berorientasi untuk melindungi kewenangan pemerintah

dalam membangun fasilitas umum dan lebih berorientasi kepada kepentingan

bisnis seperti membangun jalan tol dan pelabuhan.

Menurut saksi ahli yang didatangkan pemohon harus ada keseimbangan

antara hukum dan kepentingan masyarakt terkait tanah. Meski hukum harus

menjamin tersedianya bidang-bidang tanah untuk berbagai keperluan terkait

penyelenggaraan negara, hukum juga harus memperhatikan hak rakyat. Hak

rakyat dijamin kepastiannya agar tidak menjadi korban kesewenangan pemerintah

dalam pembangunan. 166

166
Bernhard Limbong II, Op.cit, hal. 319.
176

Pembahasan berikut ini adalah kutipan dari Putusan Mahkamah Konstitusi

Republik Indonesia terhadap pengajuan permohonan uji materiil terhadap

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi

Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

Pokok permohonan para Pemohon adalah menguji konstitusionalitas Pasal


9 ayat (1), Pasal 10 huruf b dan huruf d, Pasal 14 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal
23 ayat (1), Pasal 40, dan Pasal 42 UU 2/2012 terhadap UUD 1945 sebagaimana
disebutkan di atas, dengan alasan-alasan yang pada pokoknya sebagai berikut:
1. Bahwa UU 2/2012 tidak sinkron antara judul dengan isinya, karena
judul Undang-Undang a quo adalah Undang-Undang tentang
pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang secara norma hukum
bersifat sukarela, tetapi isinya justru pengadaan tanah menjadi suatu
kewajiban warga negara.
2. Bahwa Pasal 9 ayat (1) UU 2/2012 menimbulkan ketidakpastian
hukum, karena Pemerintah sebagai pelaksana Undang-Undang bisa
dengan sepihak menyatakan pengadaan tanah sudah seimbang antara
kepentingan pembangunan dengan kepentingan masyarakat, padahal
kepastian hukum yang adil adalah hak konstitusional yang dilindungi
oleh UUD 1945;
3. Bahwa jalan tol yang tercantum dalam Pasal 10 huruf b UU 2/2012
tidak termasuk kegiatan untuk kepentingan umum, karena tidak setiap
orang dapat mempergunakannya tanpa asset dan akses yang lebih.
Begitu pula katapelabuhanyang tercantum dalam Pasal 10 huruf d
Undang-Undang a quo.Tidak semua pelabuhan adalah untuk
kepentingan umum yang dipergunakan untuk penyebrangan rakyat.
4. Bahwa Pasal 14 ayat (1) UU 2/2012 tidak melibatkan masyarakat atau
pihak yang berhak atas tanah dalam proses perencanaan, karena jelas
sekali dalam pasal a quo proses perencanaan pengadaan tanah untuk
kepentingan umum pelibatannya hanya menunjuk instansi yang
memerlukan tanah;
5. Bahwa kata konsultasi publik dalam Pasal 21 ayat (1) UU 2/2012
adalah sebuah proses musyawarah yang artinya tercapainya suatu
kesepakatan adalah atas kehendak antara para pihak. Akan tetapi
konsultasi publik tidak diatur untuk menuju kemufakatan karena
keberatan dari hasil musyawarah akan dilaporkan ke gubernur oleh
instansi yang memerlukan tanah bukan oleh pihak yang berhak dan
atau mayarakat yang yang terkena dampak;
6. Bahwa jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari untuk
mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)
setempat yang diatur dalam Pasal 23 ayat (1) UU 2/2012 adalah tidak
177

rasional mengingat akses masyarakat terhadap Lembaga Pengadilan


Tata Usaha Negara di setiap provinsi belum semua tersedia;
7. Bahwa Pasal 40 UU 2/2012 tidak memasukkan unsur masyarakat
yang terkena dampak sebagai subjek yang berhak menerima ganti
kerugian.
8. Bahwa ganti kerugian objek pengadaan tanah diberikan kepada pihak
yang berhak, namun jika dihubungkan dengan Pasal 42 ayat (2) huruf
b angka 1 dan angka 2 UU 2/2012 terjadi kerancuan karena belum
ada kepastian hukum siapa pihak yang berhak atas tanah.

Pendapat Mahkamah

Menimbang bahwa setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama


permohonan para Pemohon dan bukti-bukti para Pemohon, mendengar
keterangan lisan dan membaca keterangan tertulis Pemerintah, membaca dan
mendengarkan keterangan para saksi dan ahli dari para Pemohon dan Pemerintah,
serta membaca keterangan tertulis Dewan Perwakilan Rakyat, Mahkamah
berpendapat sebagai berikut:
1. Bahwa Pasal 9 ayat (1) UU 2/2012 yang menyatakan,
Penyelenggaraan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum
memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pembangunan dan
kepentingan masyarakat, tidak mendefinisikan dengan jelas
pengertian kepentingan pembangunan dan kepentingan masyarakat
sehingga tidak jelas yang akan diseimbangkan. Menurut Mahkamah,
apabila norma Pasal 9 ayat (1) UU 2/2012 dinyatakan bertentangan
dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,
maka tidak ada lagi keseimbangan antara kepentingan pembangunan
dan kepentingan masyarakat. Artinya apabila sudah atas nama
kepentingan umum, kepentingan pembangunan yang menjadi acuan,
maka kepentingan masyarakat tidak lagi diperhatikan. Hal demikian
justru akan bertentangan dengan keadilan sebagai prinsip konstitusi.
Bahwa di dalam Undang-Undang, mungkin saja ada suatu ketentuan
yang tidak memberikan perincian mengenai istilah atau kata yang
digunakan, meskipun hal tersebut dapat menimbulkan ketidakjelasan,
ketidakpastian atas istilah atau kata yang dimaksud oleh Undang-
Undang, namun hal tersebut dapat diatasi dengan menerbitkan
peraturan perundang-undangan yang lebih rendah untuk merincinya
dengan tetap dalam semangat perlindungan terhadap berbagai
kepentingan. Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah
dalil para Pemohon a quotidak beralasan menurut hukum;
2. Pasal 10 huruf b dan huruf d UU 2/2012 menyatakan,Tanah untuk
Kepentingan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
digunakan untuk pembangunan:
a ....
b. jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta
api, dan fasilitas operasi kereta api;
178

c ....
d. pelabuhan, bandar udara, dan terminal.
Menurut Mahkamah pembangunan jalan tol dilakukan demi
kelancaran pengangkutan orang, barang, dan jasa yang menjadi hajat
hidup orang banyak, sehingga meskipun seperti didalilkan oleh para
Pemohon tidak dapat diakses secara leluasa oleh rakyat miskin, akan
tetapi dengan adanya jalan tol tersebut, baik secara langsung maupun
tidak langsung akan dirasakan manfaatnya untuk memenuhi
kebutuhan seluruh masyarakat. Demikian pula pelabuhan, untuk
daerah-daerah tertentu, distribusi sembilan bahan pokok (sembako)
hanya mungkin lewat pelabuhan. Meskipun tidak semua orang
mempergunakannya, akan tetapi masyarakat merasakan manfaatnya.
Tidak semua fasilitas untuk kepentingan umum dapat dipenuhi oleh
negara oleh karena semakin meningkatnya kebutuhan atau permintaan
masyarakat. Oleh sebab itu, meskipun negara memberi kesempatan
pada swasta untuk dapat ikut serta memenuhi kepentingan umum
tersebut, namun negara tetap dapat menentukan kebijakan yang
bersangkut paut dengan kepentingan umum, misalnya dalam
menetapkan tarif jalan tol yang dikelola oleh swasta, sehingga swasta
tidak sepenuhnya dapat menentukan sendiri tarif jalan tol yang
merupakan investasi dari yang bersangkutan. Dengan tidak ada atau
kurangnya fasilitas jalan umum dan pelabuhan, termasuk di dalamnya
jalan tol dan pelabuhan peti kemas, yang belum dapat dipenuhi oleh
negara justru akan menyulitkan distribusi orang, barang, dan jasa
yang pada gilirannya akan mengganggu pertumbuhan dan pemerataan
ekonomi masyarakat yang secara tidak langsung merugikan
kepentingan umum. Selain itu, dengan adanya jalan tol maka alat-alat
berat transportasi darat sebagian besar dialihkan ke jalan tol sehingga
beban jalan umum menjadi berkurang dan dengan demikian akan
meningkatkan keamanan pengguna jalan umum tersebut. Berdasarkan
pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah, dalil para Pemohon a quo
tidak beralasan menurut hukum;
3. Bahwa Pasal 14 ayat (1) UU 2/2012 yang menyatakan,Instansi yang
memerlukan tanah membuat perencanaan Pengadaan Tanah untuk
Kepentingan Umum menurut ketentuan peraturan perundang-
undangan.Terhadap dalil para Pemohon a quo, menurut Mahkamah,
dengan ketentuan Pasal 18 UU 2/2012 yang menyatakan:
Ayat (1) Pendataan awal lokasi rencana pembangunan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 huruf b meliputi kegiatan
pengumpulan data awal Pihak yang Berhak dan Objek
Pengadaan Tanah;
Ayat (2) Pendataan awal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari
kerja sejak pemberitahuan rencana pembangunan;
Ayat (3) Hasil pendataan awal lokasi rencana pembangunan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai
179

data untuk pelaksanaan Konsultasi Publik rencana


pembangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf
c.
Pendataan awal meliputi kegiatan pengumpulan data pihak yang
berhak dan objek pengadaan tanah, yang akan digunakan sebagai data
untuk pelaksanaan konsultasi publik rencana pembangunan.
Selanjutnya konsultasi publik tersebut dilaksanakan untuk
mendapatkan kesepakatan lokasi rencana pembangunan dari pihak
yang berhak [videPasal 19 ayat (1) UU 2/2012].
Konsultasi publik tersebut melibatkan selain pihak yang berhak,
juga dengan masyarakat yang terkena dampak, serta dilaksanakan di
tempat rencana pembangunan kepentingan umum atau di tempat yang
disepakati [videPasal 19 ayat (2) UU 2/2012]. Apabila sudah tercapai
kesepakatan dibuatkan berita acara kesepakatan [ videPasal 19 ayat (4)
UU 2/2012], dan bila tidak, hingga waktu 60 hari, maka dilaksanakan
konsultasi publik ulang [videPasal 20 ayat (2) UU 2/2012]. Seterusnya
apabila setelah dilakukan konsultasi publik ulang ternyata masih ada
pihak yang keberatan, maka yang memerlukan tanah melaporkan
keberatan dimaksud kepada gubernur setempat [vide Pasal 21 ayat (1)
UU 2/2012]. Bahkan 30 hari setelah penetapan lokasi pembangunan
masih terdapat keberatan, pihak yang berhak terhadap penetapan
lokasi dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara
(PTUN) setempat [vide Pasal 23 ayat (1)]. Akhirnya, putusan
pengadilan (tata usaha negara) yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap yang menjadi patokan diteruskan atau tidak
diteruskannya pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan
umum. Dari ketentuan-ketentuan tersebut, Mahkamah tidak
menemukan adanya pengabaian terhadap hak-hak dan kepentingan
publik termasuk hak masyarakat atau orang yang memiliki tanah yang
akan digunakan untuk kepentingan umum. Dengan perkataan lain,
negara tidak dengan semena-mena mengambil alih atau mengizinkan
penggunaan tanah yang dimiliki oleh masyarakat maupun pihak yang
terdampak untuk digunakan bagi kepentingan umum, tetapi harus
melalui tahapan dan proses yang diatur oleh Undang-Undang.
Keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan umum
telah terpenuhi di dalam ketentuan Undang-Undang tersebut. Berbeda
dengan proses pembebasan tanah untuk kepentingan umum
sebelumnya, ketentuan ini telah memberikan perlindungan hukum
yang memadai dengan membuka kesempatan kepada pihak-pihak,
baik kepada pemilik tanah maupun kepada pihak yang terkena
dampak yang merasa dirugikan untuk mengajukan keberatan bahkan
sampai ke Mahkamah Agung. Dengan demikian, dalil para Pemohon a
quo tidak beralasan menurut hukum;
4.Pasal 21 ayat (1) UU 2/2012 menyatakan, Apabila dalam Konsultasi
Publik ulang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) masih
terdapat pihak yang keberatan mengenai rencana lokasi
180

pembangunan, Instansi yang memerlukan tanah melaporkan


keberatan dimaksud kepada gubernur setempat
Menurut Mahkamah konsultasi publik ulang tetap dimaksudkan
untuk mencapai mufakat. Apabila tidak dicapai mufakat, artinya
masih ada pihak yang keberatan, maka instansi yang memerlukan
tanah melaporkan kepada gubernur. Bahkan gubernur pun setelah
mendapat laporan dari instansi yang memerlukan tanah, tidak serta
merta mengambil sikap untuk memutuskan, tetapi harus membentuk
tim untuk melakukan kajian atas keberatan rencana lokasi
pembangunan [vide Pasal 21 ayat (2) UU 2/2012] yang terdiri atas
sekretaris daerah provinsi atau pejabat yang ditunjuk sebagai ketua
merangkap anggota; Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan
Nasional sebagai sekretaris merangkap anggota; instansi yang
menangani urusan di bidang perencanaan pembangunan daerah
sebagai anggota; Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan
Hak Asasi Manusia sebagai anggota; bupati/walikota atau pejabat
yang ditunjuk sebagai anggota, dan akademisi sebagai anggota [vide
Pasal 21 ayat (3) UU 2/2012], dengan tugas meliputi: a)
menginventarisasi masalah yang menjadi keberatan; b) melakukan
pertemuan atau klarifikasi dengan pihak yang keberatan; dan c)
membuat rekomendasi diterima atau ditolaknya keberatan [vide Pasal
21 ayat (4) UU 2/2012]. Surat gubernur tentang diterima atau tidak
diterimanya keberatan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 21 ayat
(6) Undang-Undang a quo, bukanlah akhir dari proses pembebasan
tanah yang tersedia, sebab berdasarkan ketentuan Pasal 23 ayat (1)
Undang-Undang a quo, pihak yang merasa keberatan terhadap
penetapan lokasi, dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata
Usaha Negara setempat paling lama 30 hari sejak dikeluarkannya
lokasi penetapan, dan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetaplah yang menjadi dasar
diteruskan atau tidak diteruskannya pengadaan tanah untuk
kepentingan umum [vide Pasal 23 ayat (5) UU 2/2012]. Dengan
demikian ketetapan akhir ditentukan oleh putusan pengadilan, bukan
oleh keputusan pejabat tata usaha negara, yakni bukan oleh keputusan
gubernur. Berdasarkan pertimbangan tersebut menurut Mahkamah
dalil para Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum;
5. Pasal 23 ayat (1) UU 2/2012 menyatakan, Dalam hal setelah
penetapan lokasi pembangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19
ayat (6) dan Pasal 22 ayat (1) masih terdapat keberatan, Pihak yang
Berhak terhadap penetapan lokasi dapat mengajukan gugatan ke
Pengadilan Tata Usaha Negara setempat paling lambat 30 (tiga puluh)
hari kerja sejak dikeluarkannya penetapan lokasi. Terhadap dalil para
Pemohon a quo, menurut Mahkamah lebih singkatnya waktu untuk
mengajukan gugatan ke pengadilan tata usaha negara (PTUN)
setempat terhadap keputusan tentang pengadaan tanah untuk
kepentingan umum, dibandingkan dengan tenggang waktu pengajuan
181

gugatan ke pengadilan tata usaha negara sebagaimana diatur dalam UU


PTUN, karena keputusan pejabat tata usaha negara tersebut, dalam hal
ini keputusan gubernur, sudah diketahui lebih dahulu oleh pihak yang
berhak, sebab telah melalui proses konsultasi publik, konsultasi publik
ulang, dibicarakan oleh tim yang melakukan kajian atas keberatan
rencana lokasi pembangunan, sehingga sudah dapat mengantisipasinya
lebih dahulu. Adapun tenggang waktu yang ditentukan dalam Pasal 55
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara juncto Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara lebih lama karena keputusan Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara kemungkinan belum diketahui sebelumnya
oleh yang berkepentingan. Lagipula pengaturan dalam Undang-
Undang a quo yang menentukan secara khusus tentang tenggang waktu
lebih singkat dari UU PTUN merupkan opened legal policy yang
menjadi kewenangan pembentuk Undang-Undang sejauh tetap
mempertimbangkan asas kepatutan dan keadilan. Tentang dalil para
Pemohon bahwa jangka waktu 30 hari untuk pengajuan gugatan ke
PTUN tidak rasional karena akses masyarakat terhadap Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara pada setiap provinsi belum tersedia, adalah
tidak benar, sebab setiap provinsi sudah memiliki PTUN meskipun
untuk Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara hingga kini baru terdapat
pada lima tempat yakni di Medan, Jakarta, Semarang, Surabaya, dan
Makasar. Berdasarkan pertimbangan di atas Mahkamah menilai dalil
para Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum;
6. Pasal 40 UU 2/2012 menyatakan,Pemberian Ganti Kerugian atas
Objek Pengadaan Tanah diberikan langsung kepada Pihak yang
Berhak. Penjelasan pasal a quo menyatakan, yang berhak menerima
ganti kerugian antara lain:
a. pemegang hak atas tanah;
b. pemegang hak pengelolaan;
c. nadzir, untuk tanah wakaf;
d. pemilik tanah bekas milik adat;
e. masyarakat hukum adat;
f. pihak yang menguasai tanah negara dengan itikad baik;
g. pemegang dasar penguasaan atas tanah; dan/atau
h. pemilik bangunan, tanaman atau benda lain yang berkaitan dengan
tanah.
Terhadap dalil para Pemohon a quo, menurut Mahkamah, norma
yang tertera dalam Pasal 40 UU 2/2012 sudah tepat dan benar. Adalah
benar bahwa yang mendapat ganti kerugian adalah pihak yang berhak.
Mengenai Penjelasan Pasal 40 UU 2/2012 yang menyebutkan, yang
berhak mendapat ganti kerugian, antara lain:a. pemegang hak atas
tanah; b.pemegang hak pengelolaan; c. nadzir, untuk tanah wakaf; d.
pemilik tanah bekas milik adat; e. masyarakat hukum adat; f. pihak
yang menguasai tanah negara dengan itikad baik; g. pemegang dasar
182

penguasaan atas tanah; dan/atau h. pemilik bangunan, tanaman atau


benda lain yang berkaitan dengan tanah, yang menurut para Pemohon
tidak termasuk masyarakat yang terkena dampak, Mahkamah menilai
para Pemohon justru yang keliru, sebab dalam Penjelasan
menggunakan kata, antara lain, yang berarti selain yang tersebut
dalam huruf a sampai dengan huruf h masih ada pihak yang berhak
memperoleh ganti kerugian apabila memang mengalami kerugian
sehubungan dengan pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Di
samping itu, Pasal 19 ayat (2) UU 2/2012 jelas menyebutkan bahwa
konsultasi publik dilakukan dengan melibatkan pihak yang berhak dan
masyarakat yang terkena dampak. Penjelasan Pasal 19 ayat (1) UU
2/2012 menyatakan, Dalam Konsultasi Publik, Instansi yang
memerlukan tanah menjelaskan antara lain mengenai rencana
pembangunan dan cara penghitungan Ganti Kerugian yang akan
dilakukan oleh Penilai.
Selanjutnya Penjelasan Pasal 19 ayat (2) UU 2/2012
menyatakan,Yang dimaksud dengan "masyarakat yang terkena
dampak" misalnya masyarakat yang berbatasan langsung dengan
lokasi Pengadaan Tanah. Pelibatan masyarakat yang terkena dampak
dalam konsultasi publik yang agendanya antara lain adalah tentang
cara penghitungan ganti kerugian sebagaimana disebutkan dalam
Penjelasan Pasal 19 ayat (1) UU 2/2012, menunjukkan bahwa
masyarakat yang terkena dampak pun termasuk yang berhak mendapat
ganti kerugian. Mengenai pemegang hak pengelolaan yang menurut
para Pemohon seharusnya tidak mendapat ganti kerugian, menurut
Mahkamah, ketentuan bahwa pemegang hak pengelolaan mendapat
ganti kerugian merupakan pertanda bahwa pembentuk Undang-
Undang tidak menghendaki adanya pihak yang menderita kerugian
sebagai akibat pengadaan tanah untuk kepentingan umum tidak
mendapat ganti kerugian, meskipun pemegang hak pengelolaan
tersebut adalah instansi pemerintah. Berdasarkan pertimbangan
tersebut di atas, menurut Mahkamah dalil para Pemohon a quo tidak
beralasan menurut hukum;
7. Pasal 42 ayat (2) UU 2/2012 menyatakan,Penitipan Ganti Kerugian
selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), juga dilakukan terhadap:
a. Pihak yang Berhak menerima Ganti Kerugian tidak diketahui
keberadaannya; atau b. Objek Pengadaan Tanah yang akan diberikan
Ganti Kerugian: 1. sedang menjadi objek perkara di pengadilan; 2.
masih dipersengketakan kepemilikannya; 3. diletakkan sita oleh
pejabat yang berwenang; atau 4. menjadi jaminan di bank.
Menurut Mahkamah penitipan ganti kerugian pada pengadilan
negeri setempat dimaksudkan supaya uang ganti kerugian tersebut kelak
betul-betul diterima oleh yang berhak menerima. Jikalau sejak awal ada
sengketa kepemilikan atas tanah yang belum ada putusan pengadilan yang
memperoleh kekuatan hukum tetap, tentulah tidak dapat dilakukan
konsultasi publik sebab belum diketahui pihak yang berhak untuk diajak
183

dalam konsultasi publik. Akan tetapi, bisa terjadi bahwa ketika diadakan
konsultasi publik belum ada sengketa, tetapi setelah selesai konsultasi
publik dan proses selanjutnya, sebelum ganti kerugiannya diserahkan, atas
tanah yang untuk kepentingan umum dipersengketakan atau digugat
kepemilikannya. Dalam keadaan seperti tersebut adalah adil kalau ganti
kerugian tersebut dititipkan pada pengadilan negeri setempat, supaya
apabila sudah ada putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum
tetap dan telah diputuskan pihak yang berhak maka kepada yang berhak
itulah ganti kerugian diberikan. Berdasarkan pertimbangan di atas,
menurut Mahkamah dalil para Pemohon a quo tidak beralasan menurut
hukum; 167

AMAR PUTUSAN
Menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya

Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 53 ayat (3) dan Pasal 59 Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan

Untuk Kepentingan Umum, perlu menetapkan Peraturan Presiden tentang

Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan

Umum. Peraturan yang diterbitkan adalah Peraturan Presiden Republik Indonesia

Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi

Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

4.3 Model Pengaturan Yang Ideal

Penemuan hukum (rechtvinding) pada dasarnya merupakan wilayah kerja

hukum yang sangat luas cakupannya. Penemuan hukum dapat dilakukan oleh

orang perorangan (individu), ilmuwan/peneliti hukum, para penegak hukum

(hakim, jaksa, polisi dan pengacara/advokat), direktur perusahaan swasta dan

BUMN/BUMD sekalipun. Dalam diskursus penemuan hukum, lebih banyak

167
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang, data diakses pada
tanggal 24 September 2013
184

dibicarakan pada upaya penemuan hukum oleh hakim, pembentuk Undang-

Undang dan peneliti hukum. 168

Pembentuk Undang-Undang melakukan penemuan hukum, meskipun

tidak menghadapi peristiwa kongkrit atau konflik seperti hakim, tetapi untuk

menyelesaikan atau memecahkan peristiwa abstrak tertentu, jadi sifatnya adalah

preskriptif. Hasil penemuan hukumnya merupakan hukum, karena dituangkan

dalam bentuk undang-undang dan sekaligus merupakan sumber hukum. Peneliti

hukum melakukan penemuan hukum tapi sifatnya teoritis, sehingga hasil

penemuan hukumnya bukan merupakan hukum melainkan hanya sebagai sumber

hukum (doktrin).169

Suatu perundang-undangan menghasilkan peraturan yang memiliki ciri-

ciri sebagai berikut :

1. Bersifat umum dan komprehensif, yang dengan demikian merupakan

kebalikan dari sifat-sifat yang khusus dan terbatas.

2. Bersifat universal. Ia diciptakan untuk menghadapi peristiwa-peristiwa

yang akan datang yang belum jelas bentuk kongkritnya. Oleh karena itu ia

tidak dapat dirumuskan untuk mengatasi peristiwa-peristiwa tertentu saja.

3. Ia memiliki kekuatan untuk mengoreksi dan memperbaiki dirinya sendiri.

Adalah lazim bagi suatu peraturan untuk mencantumkan klausul yang

memuat kemungkinan dilakukannya peninjauan kembali.

Dibandingkan dengan aturan kebiasaan, maka perundang-undangan

memperlihatkan karakteristik suatu norma bagi kehidupan sosial yang lebih


168
Jazim Hamidi, 2005, Hermeneutika Hukum, UII Press, Yogyakarta, hal. 56.
169
Bambang Sutiyoso, 2012, Metode Penemuan Hukum : Upaya Mewujudkan Hukum
yang Pasti dan Berkeadilan, UII Press, hal. 65
185

matang, khususnya dalam hal kejelasan dan kepastiannya. Hal ini tidak terlepas

dari kaitannya dengan pertumbuhan Negara itu sendiri. Aturan kebiasaan bisa

dikatakan mengurusi hubungan antara orang dengan orang, sedangkan perundang-

undangan antara orang dengan Negara. Bentuk perundang-undangan itu tidak

akan muncul sebelum timbul pengertian Negara sebagai pengemban kekuasaan

yang bersifat sentral dan tertinggi.

Beberapa kelebihan dari perundang-undangan dibandingkan dengan

norma-norma lain adalah : (1) Tingkat prediktabilitasnya yang besar. Hal ini

berhubungan dengan sifat prospektif dari perundang-undangan, yaitu yang

pengaturannya ditujukan ke masa depan. Oleh karena itu pula ia harus dapat

memenuhi syarat agar orang-orang mengetahui apa atau tingkah laku apa yang

diharapkan dari mereka pada waktu yang akan datang dan bukan yang sudah

lewat. Dengan demikian, peraturan perundang-undangan senantiasa dituntut untuk

memberitahu secara pasti terlebih dahulu hal-hal yang diharapkan untuk dilakukan

atau tidak dilakukan ole anggota masyarakat. Asas-asas hukum , seperti Azas

tidak berlaku surut memberikan jaminan bahwa kelebihan yang demikian itu

dapat dilaksanakan secara seksama. (2) Kecuali kepastian yang lebih mengarah

kepada bentuk formal diatas, perundang-undangan juga memberikan kepastian

mengenai nilai yang dipertaruhkan. Sekali suatu peraturan dibuat, maka menjadi

pasti pulalah nilai yang hendak dilindungi oleh peraturan tersebut. Oleh karena

itu, orang tidak perlu lagi memperdebatkan apakah nilai itu diterima atau tidak.

Disamping kelebihan-kelebihan tersebut diatas, beberapa kelemahan-

kelemahan yang terkandung dalam perundang-undangan adalah :


186

1. Kekakuannya. Kelemahan ini sebetulnya segera tampil sehubungan

dengan kehendak perundang-undangan untuk menampilkan kepastian.

Apabila kepastian ini hendak dipenuhi, maka ia harus membayarnya

dengan membuat rumusan yang jelas dan terperinci dan tegar dengan

risiko menjadi norma norma yang kaku.

2. Keinginan perundang-undangan untuk membuat rumusan-rumusan yang

bersifat umum mengandung risiko, bahwa ia mengabaikan dan dengan

demikian memperkosa perbedaan-perbedaan atau ciri-ciri khusus yang

tidak dapat disamaratakan begitu saja.

Dalam ajaran penemuan hukum, undang-undang diprioritaskan atau

didahulukan dari sumber-sumber hukum lainnya, karena undang-undang bersifat

otentik dan berbentuk tertulis sehingga lebih menjamin kepastian hukum.

Undang-undang merupakan sumber hukum yang penting dan utama, yang

diundangkan dalam Lembaran Negara dengan nomor urut dalam satu tahun dan

penjelasannya dimuat dalam tambahan Lembaran Negara dengan nomor urut

tanpa dibatasi tahunnya.

Dalam membaca undang-undang tidak cukup dengan membaca pasal-

pasalnya saja, tetapi juga harus dibaca pula penjelasan dan konsiderannya. Hukum

merupakan suatu sistem, untuk memahami suatu pasal atau undang-undang maka

perlu dibaca Pasal-pasal lain atau undang-undang yang lain. 170

Sunaryati Hartono mengatakan bahwa apabila menempatkan hukum

sebagai jembatan yang akan membawa kepada ide yang dicita-citakan, maka

170
Ibid, hal. 70.
187

terlebih dahulu harus mengetahui masyarakat yang bagaimana yang dicita-citakan

oleh rakyat Indonesia Mengetahui bagaimana bentuk masyarakat yang dicita-

citakan oleh rakyat Indonesia, dapat dicari sistem hukum yang dapat mewujudkan

cita-cita dimaksud dan politik hukum yang dapat menciptakan sistem hukum

nasional yang dikehendaki. Melihat bentuk masyarakat yang dicita-citakan oleh

rakyat Indonesia, menurut Sunaryati Hartono adalah suatu masyarakat yang adil

dan makmur secara merata yang dicapai dengan cara yang wajar dan

berperikemanusiaan, yang pada gilirannya tercapai keselarasan, keserasian dan

ketentraman di seluruh negeri. Terkait dengan sistem hukum nasional yang dapat

mewujudkan masyarakat yang dicita-citakan oleh rakyat Indonesia yang dimaksud

adalah sistem hukum nasional yang berdasar Pancasila dan UUD 1945.

Sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang

akan diwujudkan melalui politik hukum nasional, merupakan sistem hukum yang

bersumber dan berakar pada berbagai sistem hukum yang digunakan oleh

masyarakat Indonesia. Romli Atmasasmita mengatakan bahwa hakikat dari politik

hukum nasional adalah kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan harus dilihat

sebagai conditio sine qua non bagi pembangunan hukum nasional, bukan sebagai

condition qum qua non. Apabila menginginkan tatanan hukum nasional sebagai

suatu sistem, maka politik hukum nasional dalam rangka mewujudkan sistem

hukum nasional yang holistik dan komprehensif, tidak hanya meliputi

pembangunan materi hukum, namun juga pembangunan budaya hukum,

pembangunan lembaga dan aparatur hukum termasuk penyempurnaan proses,

prosedur dan mekanisme hukum serta modernisasi sarana dan prasarana hukum.
188

Seluruh komponen dan unsur-unsur sistem hukum nasional sebaiknya

dibangun secara simultan, sinkron dan terpadu. Dengan menggunakan pendekatan

sistemik tersebut akan terwujud sebuah sistem hukum nasional yang holistik dan

komprehensif yang berdasarkan filsafat Pancasila dan jiwa UUD 1945 serta

sekaligus akan terpenuhi segala kepentingan dan kebutuhan masyarakat Indonesia

di masa yang akan datang. 171

Terkait dengan bentuk yang mengarahkan politik hukum nasional,

Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta mengatakan bahwa politik hukum

nasional itu belum ada atau belum jelas benar, yang telah ada baru politik

pembinaan hukum nasional sebagai suatu sub sistem politik hukum nasional.

Menurut beliau sebaiknya tentang politik hukum nasional yang dimaksud,

disepakati bersama dan demi kepastian, diundangkan dalam bentuk undang-

undang tetntang ketentuan-ketentuan pokok tentang hukum dan perundang-

undangan.

Otong Rosadi berpendapat bentuk yang paling cocok untuk mengarahkan

arah politik hukum nasional adalah melalui Ketetapan MPR sebagaimana yang

pernah dipraktekkan sebelum amandemen UUD 1945. Dalam ketetapan MPR

tersebut, dicantumkan arah politik hukum nasional yang terdiri dari politik

pembentukan hukum dan politik penegakan hukum ini, harus dipandang sebagai

satu kesatuan yang tak terpisahkan sebagaimana yang dikemukakan oleh Bagir

Manan. Idealnya, maka politik hukum nasional itu meliputi landasan, arah,

komponen dan strategi pencapaiannya.

171
Otong Rosadi dan Andi Desmon, Op. cit, hal. 88-90.
189

Ekonomi Indonesia semakin liberal pada era reformasi di bawah sistem

neoliberalisme yang digerakkan oleh kapitalisme global. Pergeseran ideologi

ekonomi berimplikasi pada politik hukum yang mengakomodasi liberalisasi

investasi, industrialisasi, swastanisasi dan perdagangan. Sebagai subsistem politik

negara, semua undang-undang sektoral agraria mengabdi pada ekonomi politik

agraria yang ekstraktif-eksploitatif.

Pergeseran ideologi ekonomi politik diyakini banyak pihak sebagai faktor

utama komplikasi persoalan agraria di Indonesia. Seperti teori domino, politik

agaria sebagai subsistem politik negara berimplikasi pada politik hukum agaria

sebagai legal policy untuk mencapai tujuan negara. Pelaksanaan legal policy itu

dituangkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang memuat asas,

dasar dan norma dalam bidang agraria dalam garis besar. 172

Tujuan negara kesejahteraan (welfare state) yang diamanatkan Pancasila

(Sila V), Pembukaan UUD 1945 tentang tujuan negara dan Pasal 33 UUD 1945

jauh dari realisasinya. Akar masalahnya ialah pergeseran ideologi ekonomi dari

sistem Ekonomi Pancasila (kerakyatan) ke sistem ekonomi pasar bebas yang

digerakkan oleh kapitalisme global di bawah rezim GATT/WTO yang kemudian

diikuti AFTA dan APEC. Sebagai subsistem pembangunan nasional, pergeseran

orientasi ekonomi politik (agraria) dari sektor pertanian ke industrialisasi dan

investasi telah melegitimasi dan mendorong eksploitasi secara sistemik dan masif

terhadap sumber daya alam (sektor ekstraktif). Kebijakan keagrariaan diarahkan

untuk mendukung kebijakan makroekonomi (pertumbuhan). Swastanisasi dan

172
Bernhard Limbong II, Op.cit, hal. 368.
190

liberalisasi semakin menjadi mainstream substansi kebijakan agraria. Ekstrimnya,

telah terjadi komoditisasi tanah dan sumber daya alam yang berdampak negatif

bagi perlindungan kepemilikan tanah dan akses masyarakat ke sumber daya

agraria.

Dalam rangka membangun hukum agraria nasional yang komprehensif,

selaras, serasi dan harmonis maka pengaturan ideal yang digunakan menggunakan

paradigma baru dan pendekatan holistik harus dikedepankan. Dalam rangka

menyusun atau membangun hukum agraria yang bersifat nasional dan holistik di

Indonesia, istilah pergeseran atau perubahan paradigma merupakan sesuatu yang

mutlak perlu untuk dimiliki para pembentuk atau pembuat undang-undang.

Ketetapan MPR RI Nomor IX / MPR / 2001 tentang Pembaruan Agraria dan

Pengelolaan Sumber Daya Alam, memuat secara implisit tentang pergeseran

paradigma ini.

Ketetapan MPR ini mengaksentuasi empat prinsip dasar, yakni pertanahan

dan sumber daya alam harus berkontribusi secara nyata untuk : 1) meningkatkan

kesejahteraan rakyat dan melahirkan sumber-sumber baru kemakmuran rakyat; 2)

tatanan kehidupan bersama yang lebih berkeadilan dalam kaitannya dengan

pemanfaatan, penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah; 3) menjamin

keberlanjutan sistem kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan Indonesia

dengan memberikan akses seluas-luasnya pada generasi yang akan datang pada

sumber-sumber ekonomi masyarakat-tanah dan 4) menciptakan tatanan kehidupan

bersama secara harmonis dengan mengatasi berbagai sengketa dan konflik agraria

di seluruh tanah air dan menata sistem pengelolaan yang tidak lagi melahirkan
191

sengketa dan konflik di kemudian hari. Paradigma baru terkait pembangunan

hukum agraria nasional menuju pengaturan yang ideal meliputi 4 (empat)

paradigma.173 Yaitu paradigma populistik, paradigma demokratis, paradigma

menghormati hak asasi manusia dan paradigma ekologis.

Pertama, paradigma populistik. Paradigma sebelumnya yang kapitalistik

harus diubah dengan paradigma yang lebih populistik. Dalam kaitannya dengan

pembentukan hukum agraria nasional, paradigma ini sangat dibutuhkan.

Paradigma yang mendasari semua hukum terkait dengan agraria haruslah

paradigma populistik, cara pandang yang mengedepankan rakyat terlebih dahulu,

bukan para investor atau kelompok orang tertentu. Dalam proses pembentukan

hukum agraria, paradigma kapitalistik harus disingkirkan. Paradigma yang lebih

berorientasi pada para pemodal ini dapat menyebabkan disorientasi pada proses

pembangunan bangsa yang pada dasarnya bertujuan untuk menyejahterahkan

rakyat banyak.

Kedua, paradigma demokratis. Tuntutan reformasi dalam satu dasawarsa

terakhir menunjukkan bagaimana pemerintahan yang agak otoriter di Era Orde

Baru telah bergeser ke paradigma yang lebih demokratis. Berbagai penolakan

rakyat terhadap kebijakan pemerintah di bidang agraria yang berujung pada

konflik di era reformasi ini merupakan bentuk dari berkembangnya paradigma

demokratis. Demokrasi mengharuskan adanya ruang bagi dialog atau komunikasi.

Dalam demokrasi yang paling dibutuhkan adalah dialog yang diskursif. Itu berarti

173
Istilah paradigma diungkapkan secara jelas dan detail oleh Thomas Kuhn. Dia
berpendapat bahwa paradigma merupakan suatu cara pandang terhadap suatu objek. Cara pandang
tersebut boleh jadi hanya bersifat penyempurnaan atau bahkan pergeseran atau penggantian suatu
pandangan secara menyeluruh.
192

sebuah keputusan lahir dari konfrontasi atau dialektika pemikiran. Terkait

prosedur yang dilakukan dalam pembuatan undang-undang, pemerintah dan DPR

harus menempatkan nilai-nilai demokrasi diatas sikap egoisme diri dan partai.

Dalam kaitan dengan masalah agraria di lapangan, ruang dialog mesti semakin

luas sedangkan ruang kekuasaan yang represif harus dipersempit. Bukan

sebaliknya.

Ketiga, paradigma menghormati hak rakyat. Rakyat Indonesia tidak lagi

menerima cara-cara represif dalam menyelesaikan kasus-kasus agraria yang

terjadi selama ini. Masyarakat Indonesia semakin memahami hak-hak mereka di

bidang politik (kebebasan, keadilan), ekonomi (kesejahteraan) maupun budaya.

Masyarakat juga mengetahui kelemahan-kelemahan sistem dan administrasi

pertanahan Indonesia, kekuatan-kekuatan tersembunyi di belakang mafia tanah,

calo tanah, demonstrasi rekayasa, hingga aparat keamanan yang bersikap represif

dalam menengahi konflik di lapangan. Jika pemerintah tidak mengedepankan hak-

hak rakyat Indonesia, selama itu pula masalah keagrariaan akan semakin marak

dan kompleks.

Keempat, paradigma ekologis. Pembangunan pada abad ke-20 yang lalu

adalah pola pembangunan konvensional yang bersifat linear, mengutamakan

kemajuan ekonomi semata-mata. Subjek pembangunan adalah manusia dan

orientasi pembangunan tertuju pada manusia. Pola ini mengabaikan pembangunan

lingkungan dan sosial budaya. Pola pembangunan ini mempunyai tiga kelemahan

pokok yaitu kegagalan pasar, kegagalan institusi dan kegagalan kebijaksanaan.

Selain itu, pembangunan konvensional hanya mengedepankan pembangunan


193

ekonomi yang berjangka pendek, sementara pembangunan sosial dan lingkungan

yang berjangka panjang diabaikan.

Paradigma Baru Hukum Agraria Nasional

Paradigma Nilai-Nilai
Populistik Berorientasi pada kepentingan rakyat
Tidak kapitalistik
Melindungi hak-hak rakyat
Demokratis Tidak otoriter
Tidak represif
Menghargai hak-hak rakyat
Mengedepankan dialog dan keterbukaan
Tidak adanya tekanan
Menghormati HAM Menghormati hak asasi manusia
Tidak represif
Adanya kepastian hukum
Menghargai kearifan lokal
Ekologis Tidak menghilangkan lahan pertanian
rakyat

Hingga saat ini begitu banyak persoalan keagrariaan terjadi di Indonesia.

Sebagai salah satu solusi terkait kondisi yang memprihatinkan ini, ditawarkan

kombinasi empat pendekatan sebagai pendekatan yang holistik dan

komprehensifnd. Keempat pendekatan itu dimaksud ialah pendekatan hukum,

politik, ekonomi, sosial budaya dan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Pertama, pendekatan hukum. Salah satu paradigma hukum adalah nilai,

oleh karena itu, hukum dapat juga dilihat sebagai sosok nilai. Sebagai perwujudan

nilai, hukum mengandung arti bahwa eksistensinya bertujuan untuk melindungi

dan memajukan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakatnya. Eksistensi

hukum sangat penting dalam kehidupan suatu masyarakat, dengan hukum

masyarakat dituntun untuk adil terhadap satu sama lain.


194

Dalam sistem konstitusi Negara Indonesia, cita negara hukum itu menjadi

suatu bagian yang tidak terpisahkan dari perkembangan gagasan kenegaraan

Indonesia sejak kemerdekaan. Meskipun dalam pasal-pasal UUD 1945 sebelum

perubahan, ide negara hukum itu tidak dirumuskan secara eksplisit, dalam

penjelasan ditegaskan bahwa Indonesia menganut ide rechtsstaat bukan

machtsstaat. Berkaitan dengan hukum pertanahan Indonesia, objek dari sistem

hukum pertanahan adalah tanah itu sendiri. Atributnya adalah aturan-aturan yang

berkaitan dengan penguasaan atas tanah tersebut atau hak-hak atas tanah.

Lingkungan sistemnya adalah wilayah tempat dimana tanah itu ada. Hubungan

internalnya adalah bagaimana hubungan yang terjalin antara tanah dengan orang-

orang yang menduduki tanah tersebut sesuai dengan hukum yang berlaku di

wilayah tanah itu ada. Hukum pertanahan adalah bagian dari hukum positif yang

mengatur hak-hak penguasaan atas tanah. Hukum pertanahan diatur dalam sistem

sehingga hak-hak penguasaan tanah juga diatur dalam sistem.

Kedua, pendekatan politik. Dalam menangani dan menyelesaikan konflik

hak atas tanah, pendekatan hukum cenderung dinilai bersifat mutlak. Artinya

hukum merupakan panglima tertinggi dimana pendekatan lainnya tunduk dibawah

pendekatan hukum. Dengan kata lain, hukum bernilai absolut karena hukum

merupakan perangkat nilai yang paling fair. Namun apakah memang demikian?

Dalam implementasinya selama ini, atas nama efektivitas pendekatan hukum

harus berjalan paralel dengan pendekatan nonhukum. Salah satu pendekatan

nonhukum adalah pendekatan politik.


195

Pendekatan hukum tidak bisa berdiri sendiri, melainkan terkoneksi dengan

beberapa pendekatan non hukum lainnya. Dengan demikian, pendekatan-

pendekatan yang bersifat holistik (menyeluruh) itu perlu diterapkan dalam tatanan

implementasi (dilakukan secara paralel). Alasannya problematika konflik

pertanahan di Indonesia sangat beragam dan tingkat kompleksitasnya sangat

tinggi.

Hukum dan politik di Indonesia terkait erat satu sama lain. Produk-produk

hukum hanya dihasilkan oleh lembaga politik, yakni DPR. DPR adalah para wakil

rakyat yang dipilih secara demokratis melalui pemilihan umum lima tahunan.

Ditangan mereka, produk-produk hukum dapat dicetuskan. Ketika mereka

menyimpang dari tugasnya untuk mengemban amanat rakyat maka rakyat

memiliki kewajiban menegur

Ketiga, Pendekatan Kesejahteraan (Ekonomi). Tujuan Negara Indonesia

adalah kesejahteraan (welfare state) sebagaimana tertuang dalam dasar negara

Pancasila dan Konstitusi (UUD 1945). Indikator kesejahteraan dapat diukur

melalui ketersediaan dan keterpenuhan kebutuhan-kebutuhan primer, pendidikan,

kesehatan dan rasa aman. Tanpa keadilan maka kesejahteraan yang didamba tidak

akan dicapai. Contoh sederhana terkait dengan keadilan adalah pemberian

kompensasi yang layak kepada rakyat yang tanahnya diambil untuk kepentingan

pembangunan. Pada prinsipnya, pengambilan tanah jangan sampai menjadi proses

pemiskinan rakyat. Demi rakyat , pemerintah harus berpikir keras (bersama pihak

swasta yang menjadi mitra kerjasama) bagaimana menyediakan kompensasi yang

menjamin rakyat pemilik tanah lebih baik daripada sebelumnya.


196

Keempat, Pendekatan Sosial Budaya. Pendekatan ini menempatkan

institusi dan mekanisme sosial budaya yang tumbuh dan berkembang dalam

masyarakat sebagai instrumen alternatif penyelesaian sengketa tanah/ konflik

agraria. Di Indonesia, walaupun tindak pidana menjadi sengketa yang paling

sering terjadi secara nasional, kejadian sengketa tanah meningkat menjadi 19% di

luar Pulau Jawa. Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap hukum formalsudah

sangat menipis. Masyarakat lebih percaya kepada penyelesaian dengan sistem

adat. Cara penyelesaian ini dapat dibenarkan karena hampir 70% tanah di

Indonesia masih dimiliki dengan sistem warisan/adat. Kepemilikan dengan

menggunakan sistem administrasi formal tidak lebih dari 30%. Masyarakat

menyatakan preferensi yang kuat pada penyelesaian sengketa secara informal,

dipilih berdasarkan mediasi dan konsiliasi.

Pendekatan hukum Menjamin keadilan bagi rakyat


Semua orang sama di mata di depan
hukum
Penegak hukum yang profesional
Penerapan hukum yang adil dan
transparan
Pancasila dan UUD 1945 sebagai
acuan utama
Pendekatan Kesejahteraan Menyejahterakan warga
Rakyat mendapat keadilan
Tidak melanggar kesepakatan
Adanya kompensasi yang memadai
Pendekatan Politik Membenahi administrasi pertanahan
Pemerintah adalah pembela rakyat
Pendekatan Sosial Budaya Menghargai kearifan local
Memakai sarana pengadilan rakyat
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Adapun kesimpulan yang dapat ditarik dari uraian pembahasan diatas

adaah :

1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi

Pembangunan untuk Kepentingan Umum tidak mengatur secara eksplisit

dasar hak bagi swasta untuk menyelenggarakan pengadaan tanah untuk

kepentingan umum karena merujuk pada konsep Hak Menguasai Negara

serta pemaknaan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 serta Pasal 2 UUPA.

Pemaknaan Pasal 33 ayat (3) UUD1945 tersebut secara garis besarnya

adalah: Negara menguasai bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung

di dalamnya, serta bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di

dalamnya dipergunakan untuk sebesar-besarnya untuk kemakmuran

rakyat. Hak Menguasai Negara merupakan suatu konsep yang

mendasarkan pada pemahaman bahwa negara adalah suatu organisasi

kekuasaan dari seluruh rakyat, sehingga bagi pemilik kekuasaan upaya

mempengaruhi pihak lain menjadi sentral yang dalam hal ini dipegang

oleh negara. Makna dari pemahaman tersebut adalah negara memiliki

kewenangan sebagai pengatur, perencana, pelaksana dan sekaligus

pengawas pengelolaan, penggunaan dan pemanfaatan sumber daya alam

nasional.

197
198

2. Pengaturan hak bagi swasta di dalam dasar pengaturan hak pengadaan

tanah untuk kepentingan umum adalah : diatur sebelumnya dalam

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1976 tentang

Penggunaan Acara Pembebasan Tanah Untuk Kepentingan Pemerintah

Bagi Pembebasan Tanah Oleh Pihak Swasta. Dengan ketentuan

pembebasan tanah oleh pihak swasta untuk kepentingan pembangunan

proyek-proyek yang bersifat menunjang kepentingan umum atau termasuk

dalam bidang pembangunan sarana umum dan fasilitas sosial dapat

dilaksanakan menurut acara pembebasan tanah untuk kepentingan

Pemerintah sebagaimana diatur dalam Bab I, II dan IV Peraturan Menteri

Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975. Penggunaan acara pembebasan

tanah tersebut memerlukan izin tertulis dari Gubernur Kepala Daerah

Tingkat I yang bersangkutan. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15

Tahun 1975 tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Tata Cara

Pembebasan Tanah pada Bab I menguraikan mengenai ketentuan umum

tentang pembebasan tanah, pada Bab II menguraikan mengenai

pembebasan tanah untuk keperluan pemerintah, dan pada Bab IV

menguraikan mengenai biaya-biaya untuk panitia pembebasan tanah.

5.2 Saran

1. Pemerintah

- Pemerintah perlu menyusun kebijakan pertanahan bagi swasta yang bersifat

komprehensif sehingga dapat menarik minat swasta untuk melakukan

pembangunan infrastruktur. Diantara kebijakan tersebut antara lain


199

melakukan amandemen terhadap Undang-Undang Pengadaan tanah dengan

mencatumkan batasan kongkrit bagi swasta dalam penyelenggaraan

pengadaan tanah bagi kepentingan umum.

- Perlu diperluas dan dikaji lebih dalam studi dan penelitian tentang pengadaan

tanah untuk kepentingan umum, yang tidak hanya terfokus pada masalah

konflik tanah, mekanisme ganti rugi melainkan juga pada masalah hubungan

agraria pada umumnya. Studi ini akan menemukan nilai-nilai yang hidup,

cara pandang serta paradigma pengadaan tanah. Dengan demikian akan

tergambar bagaimana kaitan kepentingan, motif dan kebutuhan dari berbagai

pihak yang terlibat dalam hubungan pengadaan tanah untuk kepentingan

umum
200

DAFTAR BACAAN

BUKU

Abdurahman, 1995, Masalah Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah, Pembebasan


Tanah dan Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum di Indonesia, PT. Citra Aditya Bandung.

Alting, Husein, 2010, Dinamika Hukum Dalam Pengakuan dan Perlindungan Hak
Masyarakat Hukum Adat Tanah (Masa Lalu, Kini dan Masa Mendatang),
Lembaga Penerbitan Universitas Khairun, Ternate.

Azhary, 1995, Negara Hukum Indonesia, UI-Press, Jakarta.

Badan Pembangunan Hukum Nasional, 2009, Perencanaan Pembangunan Hukum


Nasional Bidang Pertanahan, Departemen Hukum dan HAM RI, Jakarta.

Bakri, Muhammad ,2007, Hak Menguasai Tanah Oleh Negara (Paradigma Baru
Untuk Reformasi Agraria), Citra Media, Yogyakarta

Basah, Sjachran, 1985, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi
di Indonesia, Alumni, Bandung.

Boeke, JH, 1983, Prakapitalisme Di Asia, Sinar Harapan, Jakarta.

Burhan, Ashsofa, 1996, Metode Penelitian Hukum, PT. Rineka Cipta, Jakarta.

Butt, Peter, 1980, Introduction to Land Law, The Law Book Company Limited,
Sydney.

Deliarnov, 2005, Perkembangan Pemikiran Ekonomi, PT. Raja Grafindo Persada,


Jakarta.

Erwiningsih, Winahyu, 2009, Hak Menguasai Negara Atas Tanah, Total Media,
Yogyakarta.

E. Utrecht, 1988, Pengantar Hukum Administrasi Negara, Pustaka Tinta Mas,


Surabaya.

Gautama, Sudargo, 1998, Tafsiran UUPA 1960, Rineka Cipta, Jakarta.


Gunanegara, 2008, Rakyat dan Negara Dalam Pengadaan Tanah untuk
Pembangunan, Tata Nusa, Jakarta.
Hamidi, Jazim ,2005, Hermeneutika Hukum, UII Press, Yogyakarta.
201

Harsono, Boedi, 2008, Hukum Agraria Indonesia : Sejarah Pembentukan


Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannnya,
Djambatan,Jakarta.

Husken, Frans, dan Benyamin White, 1989, Java: Social Differentiation, Food
Production and Agrarian Control dalam Gilian Hart dkk: Agrarian
Transformation : Local Process and State in Southeast Asia, University of
California Press, Berkeley-Los Angelos-London.

Hutagalung, Ari Sukanti dan Markus Gunawan, 2008, Kewenangan Pemerintah


Di Bidang Pertanahan, PT. Raja Grafindo persada, Jakarta

Ibrahim, Johny, 2006, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, Bayu
Publishing Malang.

Iskandar Syah, Mudakir, 2010, Pembebasan Tanah Untuk Kepentingan Umum :


Upaya Hukum Masyarakat Yang Terkena Pembebasan dan Pencabutan
Hak, Jala Permata Aksara, Jakarta.

Jhingan, M.L, 2004, Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta.

Joseph R. Nolan dan M.J Connolly, Blacks Law Dictionary, (St. Paul Minn:
West Publishing Co, Fifth Edition, 1979).

Kartohadiprodjo, Soediman, 1967, Pengantar Tata Hukum di Indonesia, PT


Pembangunan, Jakarta.

Kasim, Ifdhal, 1996, Tanah Sebagai Komoditas : Kajian Kritis Atas Kebijakan
Pertanahan Orde Baru, ELSAM, Jakarta.

Latif, H. Abdul dan H. Hasbi Ali, 2010, Politik Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.

Limbong, Bernhard, 2011, Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan:Regulasi,


Kompensasi Penegakan Hukum, Pustaka Margareta, Jakarta.

, 2012, Hukum Agraria Nasional, Pustaka Margareta, Jakarta.

Mahfud MD, Moh., 2011, Politik Hukum di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta.

Marhaendra, A.A. Oka, 1996, Menguak Masalah Hukum Demokrasi dan


Pertanahan, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

Marzuki, Peter Mahmud, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta.


202

, 2005, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta.

Mertokusumo, Sudikno, 2001, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty,


Jakarta.

Mertokusumo, Sudikno dan A. Pitlo, 1993, Bab-Bab tentang Penemuan Hukum,


Citra Aditya, Jakarta.

Mubyarto, 1997, Ekonomi Rakyat, Program IDT dan Demokrasi Ekonomi


Indonesia, Aditya Media, Yogyakarta.

Muhadar, 2006, Viktimisasi Kejahatan Pertanahan, Laksbang Presisndo,Surabaya.

Mustofa dan Suratman, 2013, Penggunaan Hak Atas Tanah Untuk Industri, Sinar
Grafika, Jakarta.

Noer, Fauzi, 1997, Tanah dan Pembangunan, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

, 1999, Petani dan Penguasa : Dinamika Perjalanan Politik Agraria


Indonesia, Insist Press, KPA dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Parlindungan, A.P, 1993, Pencabutan dan Pembebasan Hak Atas Tanah Studi
Perbandingan, Mandar Maju, Bandung.

Pelzer, Karl J, 1991, Sengketa Agraria : Pengusaha Perkebunan Melawan Petani,


Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

Pound, Roscou, 1922, An Introduction To The Philosophy of Law, Yale


University Press, New Heaven.

Praptodihardjo, Singgih, 1953, Sendi-Sendi Hukum Tanah di Indonesia, Yayasan


Pembangunan, Jakarta.

Purbopranoto, Kuntjoro, 1975, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan


Peradilan Administrasi Negara, Alumni, Bandung.

Rahardjo, Satjipto, 1991, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti Bandung, Bandung.

Rosadi, Otong, dan Andi Desman, 2012, Studi Politik Hukum : Suatu Optik Ilmu
Hukum, Thafa Media, Yogyakarta.

Salindeho, John, 1988, Masalah Tanah Dalam Pembangunan, Sinar Grafika,


Jakarta.
203

Santoso, Budi, 2008, Aspek Hukum Pembiayaan Proyek Infrastruktur Dengan


Model BOT (Build Operate Transfer), Genta Press, Jakarta.

Santoso, Urip, 2012, Hukum Agraria Kajian Komprehensif, Kencana Prenanda,


Jakarta.

Setiawan, Bonnie, 2003, Globalisasi Pertanian : Ancaman Atas Kedaulatan


Bangsa dan Kesejahteraan Petani, The Institute for Global Justice, Jakarta.

Simarmata, Rikardo, 2002, Kapitalisme Perkebunan dan Konsep Pemilikan Tanah


oleh Negara, INSIST Press, Yogyakarta.

Sitorus, Oloan dan Dayat Limbong, 2004, Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan
Umum, Mitra Kebijakan Pertanahan Indonesia, Yogyakarta.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, 2010, Penelitan Hukum Normatif Suatu
Tinjauan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Soekarno, 1932, Swadeshi dan Massa Aksi dalam Imam Toto K. Rahardjo dan
Herdianto, Bung Karno dan Ekonomi Berdikari : Kenangan 100 tahun
Bung Karno, Grasindo, Jakarta

Soimin, Soedharyo,2001, Status Hak dan Pembebasan Tanah, Sinar Grafika,


Jakarta.

Stone, Julius, 1961, The Province and Function of Law As Logic, Justice and
Social Control, A Study In Jurisprudence, New York.

Sudiyat, Iman, 1982, Beberapa Masalah Penguasaan Tanah Di Berbagai


Masyarakat Sedang Berkembang, Liberty, Yogyakarta.

Sumardjono, Maria S.W, 2009, Tanah Dalam Persepektif Hak Ekonomi Sosial
dan Budaya, Kompas, Jakarta.

, 2009, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi, Kompas,


Jakarta.

Supriadi, 2010, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta.

Sutedi, Adrian, 2007, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum dalam Pengadaan


Tanah Untuk Pembangunan, Sinar Grafika, Jakarta.

Sutiyoso, Bambang , 2012, Metode Penemuan Hukum : Upaya Mewujudkan


Hukum yang Pasti dan Berkeadilan, UII Press
204

Syahrani, H. Riduan, 2010, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti,
Banjarmasin.

Syaukani, Imam dan A. Ahsin Thohari, 2007, Dasar-Dasar Politik Hukum, Raja
Grafindo Persada, Jakarta.

Wahjono, Padmo, 1986, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum,Ghalia


Indonesia, Jakarta.

Wiradi, Gunawan, 2000, Reforma Agraria :Perjalanan Yang Belum Berakhir,


Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

MAJALAH/JURNAL

A. Hamid S. Atamimi, 1996, Der Rechtsstaat Republik Indonesia dan


Persepektifnya Menurut Pancasila dan UUD 1945, Makalah pada Seminar
Dies Natalis Universitas 17 Agustus Jakarta ke 42, diselenggarakan oleh
Universitas 17 Agustus, Jakarta, Tanggal 9 Juli.

Bagir Manan,1999, Pemikiran Negara Berkonstitusi di Indonesia, Makalah pada


Temu Ilmiah Nasional, Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Bandung,
6 April.

Benny Soetrisno, 2000, Peran Swasta Dalam Pembiayaan Infrastruktur Serta


Kendala Keseimbangan Antara Pusat dan Daerah, Makalah pada Seminar
Dies Natalis Fakultas Hukum Universitas Diponegoro ke 50, Semarang,
21 September 2000.

Bapenas, 2011, Sustaining Partnership, Media Informasi Kerjasama Pemerintah


dan Swasta, Mengapa Memilih KPS, Identifikasi dan Seleksi Proyek
Kerjasama, Jakarta.

Herman Soesangobeng, Tanah dan Hak Ulayat, Makalah disampaikan dalam


Seminar Pertanahan Balitbang Dep.Keh.HAM, Jakarta, 4 November 2003.

JD. Hal Sulivan, How the Private Sector can work in partnership with the
Government of Indonesia successfully implement infrastructure projects,
Presented at the Legal Climate in Indonesia for BOT Investment, 17 Juni
1996, Jakarta.

Maria S.W Sumardjono, Telaah Konseptual terhadap Beberapa Aspek Hak


Milik, Sebuah Catatan untuk Makalah Chadijdjah Dalimunte, Konsep
Akademis Hak Milik Atas Tanah Menurut UUPA, Makalah Dalam
Seminar Nasional Hukum Agraria III Fakultas Hukum Universitas
205

Sumatera Utara-Badan Pertanahan Nasional, Medan 19-20 September,


1990.

Padmo Wahjono, Menelisik Proses Terbentuknya Peraturan Perundang-undangan,


dalam Majalah Forum Keadilan, No. 29, April 1991.

Soekarno, 1932, Swadeshi dan Massa Aksi dalam Imam Toto K. Rahardjo dan
Herdianto, Bung Karno dan Ekonomi Berdikari : Kenangam 100 tahun
Bung Karno, Grasindo, Jakarta.

Soekarno, 1959, Amanat pada Sidang Pleno I Dewan Perancang Nasional


(Depernas), 28 Agustus 1959, dalam Iman Toto K. Rahardjo dan
Herdianto WK, 2001, Bung Karno dan Ekonomi Berdikari, penerbit
Grasindo, Jakarta.

Teuku Mohammad Radhie, Pembaharuan Politik Hukum dalam Rangka


Pembangunan Nasional, dalam Majalah Prisma No. 6 Tahun II, Desember
1973.

KARYA ILMIAH

Nurhasan Ismail, 2006, Perkembangan Hukum Pertanahan Indonesia: Suatu


Pendekatan Ekonomi-Politik, Disertasi Pada Program Doktor Ilmu Hukum
Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Ronald Z. Titahelu, 1993, Penetapan Asas-Asas Hukum Umum Dalam
Penggunaan Tanah Untuk Sebesar-besar Kemakmuran Rakyat, Disertasi
Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya.

KAMUS

Tim Pusat Bahasa Indonesia, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa,
Jakarta.
W. J. S Poerwadarminta, 2006, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,
Jakarta.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043)
206

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah


dan Benda-Benda Yang Ada Diatasnya (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1961 Nomor 288, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 2324)

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi


Pembangunan Untuk Kepentingan Umum (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2012 Nomor 22)

Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 1973 tentang Pelaksanaan Pencabutan Hak-


Hak Atas Tanah dan Benda-Benda Yang Ada Diatasnya

Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi


Pelaksana Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah Bagi


Pelaksana Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi


Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 tentang Ketentuan-


Ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1976 tentang Penggunaan Acara
Pembebasan Tanah untuk Kepentingan Pemerintah Bagi Pembebasan
Tanah Oleh Pihak Swasta

Peraturan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor 3 Tahun


2012 tentang Panduan Umum Pelaksana Kerjasama Pemerintah Dengan
Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur

INTERNET

Achmad Rusyaidi, 2012, Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum : Antara


Kepentingan Umum dan Perlindungan HAM, (Cited : 18 Oktober 2012),
available from URL: http://prpmakasar.wordpress_com

Anda mungkin juga menyukai