Anda di halaman 1dari 24

PENDAHULUAN

Kelenjar prostat adalah salah satu organ genitalia pria yang terletak di sebelah inferior
buli-buli dan melingkari uretra posterior. Bila mengalami pembesaran, organ ini dapat
menyumbat uretra pars prostatika dan menyebabkan terhambatnya aliran urin keluar dari buli-
buli. Bentuknya sebesar buah kemiri dengan berat normal pada orang dewasa kurang lebih 20
gram. McNeal membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona, antara lain zona perifer, zona
sentral, zona transisional, zona fibromuskular anterior, dan zona periuretra. Sebagian besar
hyperplasia prostat terdapat pada zona transisional.
Pertumbuhan kelenjar ini sangat tergantung pada hormon testosteron, yang di dalam sel
kelenjar prostat, hormon ini akan diubah menjadi metabolit aktif dihidrotestosteron (DHT)
dengan bantuan enzim 5-reduktase. DHT inilah yang secara langsung memacu m-RNA di
dalam sel kelenjar prostat untuk mensintesis growth factor yang memacu pertumbuhan dan
proliferasi sel kelenjar prostat.
Pada usia lanjut beberapa pria mengalami pembesaran prostat benigna (BPH). Keadaan
ini dialami oleh 50% pria yang berusia 60 tahun dan kurang lebih 80% pria yang berusia 80
tahun. Pembesaran kelenjar prostat mengakibatkan terganggunya aliran urin sehingga
menimbulkan gangguan miksi.
Namun etiologi dari BPH ini masi belum jelas dan ada beberapa teori yang
mendasarinya.
Salah satunya yaitu proses kegagalan dari apoptosis sel yang diakibatkan dari nflamasi berulang
BENIGN PROSTATE HYPERPLASIA (BPH)

ANATOMI, HISTOLOGI DAN FISIOLOGI


Prostat adalah organ genitalia pria yang terletak di sebelah inferior kandung kemih, di
sebelah superior diafragma urogenital, di depan rektum dan membungkus uretra pars prostatika.
Prostat merupakan kelenjar yang mulai menonjol pada masa pubertas. Biasanya kelenjar prostat
dapat tumbuh seumur hidup. Prostat merupakan organ kelenjar fibromuskular yang mengelilingi
uretra pars prostatika. Prostat mempunyai panjang kurang lebih 3cm dan berat normal kurang
lebih 20gram. Prostat dapat teraba pada pemeriksaan rectal toucher.
Secara histopatologis, kelenjar prostat terdiri atas komponen kelenjar dan stroma.
Komponen stroma ini terdiri atas otot polos, fibroblas, pembuluh darah, saraf dan jaringan
penyanggah lainnya. Kelenjar prostat yang jumlahnya banyak tertanam di dalam campuran otot
polos dan jaringan ikat, dan ductusnya bermuara ke uretra pars prostatika. Kelenjar-kelenjar ini
dilapisi oleh selapis epitel torak dan bagian basal terdapat sel-sel kuboid.
Prostat terbagi menjadi 5 lobus, yaitu:
lobus anterior terletak di depan uretra dan tidak mempunyai jaringan kelenjar
lobus medius adalah kelenjar berbentuk baji yang terletak diantara uretra dan duktus
ejakulatorius, bagian atas lobus medius berhubungan dengan trigonum vesica dan
mengandung banyak kelenjar
lobus posterior terletak di belakang uretra dan di bawah duktus ejakulatorius, juga
mengandung banyak kelenjar
lobus dextra dan lobus sinistra terletak disamping uretra dan dipisahkan oleh alur
vertikal dangkal yang terdapat pada facies posterior prostat, juga mengandung banyak
kelenjar
Perdarahan untuk prostat adalah cabang dari arteri vesicalis inferior dan arteri rectalis
media. Vena membentuk plexus venosus prostatikus yang menampung darah dari vena dorsalis
profunda penis dan sejumlah vena vesicales, yang selanjutnya akan bermuara ke vena iliaca
interna. Kelenjar limf regionalnya adalah kelenjar limf hipogastrik, sakral, obturator dan iliaka
eksterna.
Prostat mendapatkan inervasi otonomik simpatik dan parasimpatik dari plexus prostaticus
yang menerima masukan serabut parasimpatik dari korda spinalis S2-4 dan simpatik dari nervus
hipogastrikus (T10-L2). Rangsangan parasimpatik meningkatkan sekresi kelenjar pada epitel
prostat, sedangkan rangsangan simpatik menyebabkan pengeluaran cairan prostat ke dalam
uretra posterior, seperti pada saat ejakulasi. Sistem simpatik memberikan inervasi pada otot polos
prostat, kapsula prostat dan leher kandung kemih. Di tempat itu banyak reseptor adrenergik-a.
Rangsangan simpatik menyebabkan dipertahankan tonus otot polos tersebut. Pada usia lanjut
sebagian pria akan mengalami pembesaran kelenjar prostat akibat hiperplasia jinak sehingga
dapat menyumbat uretra posterior dan mengakibatkan terjadinya obstruksi saluran kemih.
Menurut McNeal, kelenjar prostat terbagi atas empat zona, yaitu:
zona perifer: merupakan 70% dari volume prostat dan mengelilingi distal urerta, 70-80%
kanker prostat berasal dari zona ini
zona central: merupakan 25% dari volume prostat dan mengelilingi duktus ejakulatorius
zona transisi: merupakan 5% dari volume prostat dan mengelilingi proximal uretra,
kelenjar pada zona ini tumbuh seumur hidup dan benign prostatic hyperplasia terjadi pada
zona ini
zona anterior fibromuskular: terdiri dari otot dan jaringan fibrosa
Fungsi kelenjar prostat yaitu:
mengeluarkan cairan alkalis yang menetralkan sekresi vagina yang asam, karena sperma
lebih dapat bertahan dalam suasana yang sedikit basa
menghasilkan enzim-enzim pembekuan dan fibrinolisis. Enzim-enzim pembekuan prostat
bekerja untuk membekukan semen sehingga sperma yang diejakulasi tetap bertahan di
saluran reproduksi wanita, segera setelah itu bekuan seminal diuraikan oleh fibrinolisis
sehingga sperma dapat bergerak bebas di dalam saluran reproduksi wanita
Saat otot polos pada capsula dan stroma berkontraksi, sekret yang berasal dari banyak
kelenjar masuk ke uretra pars prostatica. Jika terjadi pembesaran pada prostat maka akan
menyumbat uretra sehingga terjadi obstruksi pada saluran kemih.
Dihidrotestosteron yang dibentuk dari testosteron di sel Sertoli dan di beberapa organ
memiliki peranan dalam pertumbuhan prostat dan merangsang aktivitas sekretorik prostat.
Prostat juga dipengaruhi oleh hormon androgen, bagian yang sensitive terhadap androgen adalah
bagian perifer, sedangkan yang sensitive terhadap estrogen adalah bagian tengah. Karena itu
pada orang tua bagian tengahlah yang mengalami hiperplasia, oleh karena sekresi androgen yang
berkurang sedangkan estrogen bertambah secara relatif ataupun absolut.

DEFINISI
Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah penyakit yang disebabkan oleh penuaan. Istilah
hiperplasia prostat jinak (BPH) sebenarnya merupakan istilah histopatologis, yaitu terdapat
hiperplasia sel-sel stroma dan sel-sel epitel kelenjar prostat yang biasanya timbul di periuretral
dan zona transisi dari kelenjar yang kemudian menekan kelenjar normal yang tersisa.
Pembesaran ini akan menyebabkan obstruksi leher kandung kemih dan uretra pars prostatika,
yang mengakibatkan berkurangnya aliran kemih dari kandung kemih.

EPIDEMIOLOGI
BPH merupakan bagian yang normal dari proses penuaan pada pria. BPH merupakan
penyakit yang sering diderita oleh pria. Berdasarkan angka autopsi perubahan mikroskopik pada
prostat sudah dapat ditemukan pada usia 30-40 tahun. Bila perubahan mikroskopik ini terus
berkembang, maka akan terjadi perubahan patologi anatomik. Di klinik 50% penderita BPH
dengan gejala bladder outlet obstruction (BOO) dijumpai pada kalangan usia 60-69 tahun. Angka
ini meningkat sampai 90% pada usia 85 tahun. Karena proses pembesaran prostat perlahan-lahan
maka efek perubahan juga terjadi perlahan-lahan.
ETIOLOGI
Penyebab pasti BPH ini masih belum diketahui, penilitian sampai tingkat biologi
molekuler belum dapat mengugkapkan dengan jelas etiologi terjadinya BPH. BPH erat kaitannya
dengan ketidakseimbangan hormonal yang dipengaruhi oleh proses penuaan. Beberapa hipotesis
yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia prostat adalah sebagai berikut:
Teori dihidrotestosteron
Salah satu teori ialah teori Testosteron (T) yaitu T bebas yang dirubah menjadi
Dehydrotestosteron (DHT) oleh enzim 5 a reduktase yang merupakan bentuk testosteron
yang aktif yang dapat ditangkap oleh reseptor DHT didalam sitoplasma sel prostat yang
kemudian bergabung dengan reseptor inti sehingga dapat masuk kedalam inti untuk
mengadakan inskripsi pada RNA sehingga akan merangsang sintesis protein. Teori yang
disebut diatas menjadi dasar pengobatan BPH dengan inhibitor 5a reduktase.
Ketidakseimbangan antara esterogen-testosteron
Pada usia yang semakin tua, kadar testosteron menurun sedangkan kadar esterogen relatif
tetap, sehingga perbandingan antara esterogen dan testosteron relatif meningkat. Telah
diketahui bahwa esterogen di dalam prostat berperan dalam terjadinya proliferasi sel-sel
kelenjar prostat dengan cara meningkatkan sensitivitas sel-sel prostat terhadap
rangsangan hormon androgen, meningkatkan jumlah reseptor androgen dan menurunkan
jumlah kematian sel-sel prostat (apoptosis). Hasil akhir dari semua ini adalah, meskipun
rangsangan terbentuknya sel-sel baru akibat rangsangan testosteron menurun, tetapi sel-
sel prostat yang telah ada mempunyai umur lebih panjang sehingga massa prostat
menjadi besar.
Interaksi stroma-epitel
Diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel prostat tidak secara langsung dikontrol oleh sel-
sel stroma melalui suatu mediator tertentu. Setelah sel-sel stroma mendapatkan stimulasi
dari dihidrotestosteron dan estradiol, sel-sel stroma mensintesis suatu growth factor yang
selanjutnya mempengaruhi sel-sel stroma itu sendiri secara intrakin dan autokrin, serta
mempengaruhi sel-sel epitel secara parakrin. Stimulasi itu menyebabkan terjadinya
proliferasi sel-sel epitel maupun stroma.
Berkurangnya kematian sel prostat
Program kematian sel (apoptosis) pada sel prostat adalah mekanisme fisiologik untuk
mempertahankan homeostasis kelenjar prostat. Pada jaringan normal, terdapat
keseimbangan antara laju proliferasi sel dengan kematian sel. Berkurangnya jumlah sel-
sel prostat yang mengalami apoptosis menyebabkan jumlah sel-sel prostat secara
keseluruhan menjadi meningkat sehingga menyebabkan pertambahan massa prostat.
Sampai sekarang belum dapat diterangkan secara pasti factor-faktor yang menghambat
proses apoptosis. Diduga hormone androgen berperan dalama menghambat proses
kematian sel karena setelah dilakukan kastrasi, terjadi peningkatan aktivitas kematian sel
kelenjar prostat. Esterogen diduga mampu memperpanjang usia sel-sel prostat,
sedangkan factor pertumbuhan TGF-b berperan dalam proses apoptosis.
Teori stem sel
Untuk mengganti sel-sel yang telah mengalami apoptosis, selalu dibentuk sel-sel baru. Di
dalam kelenjar prostat dikenal suatu stem sel, yaitu sel yang mempunyai kemampuan
berproliferasi sangat ekstensif. Kehidupan sel ini sangat tergantung pada keberadaan
hormone androgen, sehingga jika hormon ini kadarnya menurun seperti yang terjadi pada
kastrasi, menyebabkan terjadinya apoptosis. Terjadinya proliferasi sel-sel pada BPH
dipostulasikan sebagai ketidaktepatannya aktivitas sel stem sehingga terjadi produksi
yang berlebihan pada sel stroma maupun sel epitel.

PATOFISIOLOGI
Karena proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan, efek perubahan juga terjadi
perlahan. Pada tahap awal pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra pars
prostatika. Keadaan ini menyebabkan tekanan intravesikal meningkat, sehingga untuk
mengeluarkan urin, kandung kemih harus berkontraksi lebih kuat untuk melawan tahanan
tersebut. Kontraksi yang terus menerus ini menyebabkan perubahan anatomik yaitu hipertrofi
otot detrusor. Fase penebalan otot detrusor ini disebut fase kompensasi dinding otot. Apabila
keadaan berlanjut, otot detrusor akan menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan
tidak mampu lagi untuk berkontraksi.
Apabila kandung kemih menjadi dekompensasi, akan terjadi retensi urin sehingga pada
akhir miksi masih ditemukan sisa urin di dalam kandung kemih, dan timbul rasa tidak tuntas
pada akhir miksi. Jika keadaan ini berlanjut, pada suatu saat akan terjadi kemacetan total,
sehingga penderita tidak mampu lagi miksi. Karena produksi urin terus terjadi, pada suatu saat
kandung kemih tidak mampu lagi menampung urin sehingga tekanan intravesika terus
meningkat. Apabila tekanan kandung kemih menjadi lebih tinggi daripada tekanan sfingter dan
obstruksi, akan terjadi inkontinensia paradoks. Retensi kronik menyebabkan refluks vesiko-
ureter, hidroureter, hidronefrosis dan gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi
infeksi. Pada waktu miksi, penderita sering kali mengedan sehingga lama-kelamaan bisa
menyebabkan hernia atau hemoroid.
Biasanya ditemukan gejala dan tanda obstruksi dan iritasi. Gejala dan tanda obstruksi
saluran kemih adalah penderita harus menunggu keluarnya kemih pertama, miksi terputus,
menetes pada akhir miksi, pancaran miksi menjadi lemah dan rasa belum puas sehabis miksi.
Gejala iritasi disebabkan hipersensitivitas otot detrusor yaitu bertambahnya frekuensi miksi,
nokturia, miksi sulit ditahan dan disuria. Gejala obstruksi terjadi karena detrusor gagal
berkontraksi dengan cukup kuat atau gagal berkontraksi cukup lama sehingga kontraksi terputus-
putus. Gejala iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna pada saat miksi atau
pembesaran prostat merangsang kandung kemih sehingga sering berkontraksi meskipun belum
penuh. Karena selalu terdapat sisa urin, dapat terbentuk batu endapan di dalam kandung kemih.
Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria. Batu tersebut dapat pula
menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks, dapat terjadi pielonefritis. Gejala dan tanda ini
dievaluasi menggunakan International Prostate Symptom Score (IPSS) untuk menentukan
beratnya keluhan klinis. Analisis gejala ini terdiri atas 7 pertanyaan yang masing-masing
memiliki nilai 0 hingga 5 yang memiliki nilai maksimum 35. Keadaan pasien BPH dapat
digolongkan berdasarkan skor yang diperoleh sebagai berikut:
Skor 0-7: bergejala ringan
Skor 8-19: bergejala sedang
Skor 20-35: bergejala berat
Selain 7 pertanyaan diatas, di dalam daftar pertanyaan IPSSterdapat satu pertanyaan tunggal
mengenai kualitas hidup (Quaility of Life atau QoL) yang juga terdiri dari 7 kemungkinan
jawaban.
Dalam 1 bulan Tidak Kurang Kurang Kadang Lebih Hampir Skor
terakhir pernah dari dari -kadang dari selalu
sekali setengah (sekitar setengah
dalam 50%)
lima kali
1.Seberapa sering anda 0 1 2 3 4 5
merasa masih ada sisa
selesai kencing?
2.Seberapa sering Anda 0 1 2 3 4 5
harus kembali kencing
dalam waktu kurang dari
2 jam setelah selesai
kencing?
3.Seberapa sering Anda 0 1 2 3 4 5
mendapatkan bahwa Anda
kencing terputus-putus?
4.Seberapa sering 0 1 2 3 4 5
pancaran kencing Anda
lemah?
5.Seberapa sering 0 1 2 3 4 5
pancaran kencing Anda
lemah?
6.Seberapa sering Anda 0 1 2 3 4 5
harus mengejan untuk
mulai kencing?
7.Seberapa sering Anda 0 1 2 3 4 5
harus bangun untuk
kencing, sejak mulai tidur
pada malam hari hingga
bangun di pagi hari?
Skor IPSS total (pertanyaan 1 sampai 7)=
Senang Senang Pada Campuran Pada Tidak Buruk
sekali umumny antara umumny bahagia sekali
a puas puas dan a tidak
tidak puas
Seandainya Anda
harus
menghabiskan
sisa hidup dengan
fungsi kencing
seperti saat ini,
bagaimana
perasaan Anda?

Pada BPH terjadi rasio peningkatan komponen stroma terhadap epitel. Kalau pada prostat
normal rasio stroma dibanding dengan epitel adalah 2:1, maka pada BPH rasionya meningkat
menjadi 4:1, sehingga terjadi peningkatan tonus otot polos prostat. Dalam hal ini massa prostat
yang menyebabkan obstruksi komponen statik, sedangkan tonus otot polos yang merupakan
komponen dinamik sebagai penyebab obstruksi prostat.

GAMBARAN KLINIS
Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun keluhan diluar
saluran kemih.
Keluhan pada saluran kemih bagian bawah
Keluhan pada saluran kemih bagian bawah (LUTS) terdiri atas gejala iritatif dan gejala
obstruktif. Untuk menilai tingkat keparahan pada saluran kemih bagian bawah digunakan skoring
IPSS.
Timbulnya gejala LUTS merupakan manifestasi kompensasi otot kandung kemih untuk
mengeluarkan urin. Pada suatu saat otot mengalami kelelahan sehingga jatuh dalam fase
dekompensasi yang diwujudkan dalam retensi urin akut.
Gejala pada saluran kemih bagian atas
Keluhan akibat penyulit hiperplasia prostat pada saluran kemih bagian atas berupa gejala
obstruksi antara lain nyeri pinggang, benjolan di pinggang yang merupakan tanda dari
hidronefrosis, atau demam yang merupakan tanda dari infeksi atau urosepsis.
Gejala diluar saluran kemih
Sering ditemukan hernia atau hemoroid yang dikarenakan sering mengejan pada saat
miksi sehingga mengakibatkan peningkatan tekanan intraabdominal.

DIAGNOSIS
Anamnesis
Pemeriksaan awal terhadap pasien BPH adalah melakukan anamnesis yang cermat guna
mendapatkan data tentang riwayat penyakit yang dideritanya. Anamnesis itu meliputi:
Keluhan yang dirasakan dan seberapa lama keluhan itu telah mengganggu
Riwayat penyakit lain dan penyakit pada saluran urogenital (pernah mengalami cedera,
infeksi atau pembedahan)
Riwayat kesehatan secara umum dan keadaan fungsi seksual
Obat-obatan yang saat ini dikonsumsi yang dapat menimbulkan keluhan miksi
Tingkat kebugaran pasien yang mungkin diperlukan untuk tindakan pembedahan
Salah satu pemandu yang tepat untuk mengarahkan dan menentukan adanya gejala obstruksi
akibat pembesaran prostat adalah IPSS.
Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik mungkin didapatkan buli-buli yang terisi penuh dan teraba massa
kistus di daerah supra simfisis akibat retensi urin. Kadang-kadang didapatkan urin yang selalu
menetes tanpa disadari oleh pasien yaitu pertanda inkontinensia paradoks.
Pada colok dubur diperhatikan:
Tonus sfingter ani atau refleks bulbokavernosus untuk menyingkirkan adanya kelainan
buli-buli neurogenik
Mukosa rektum
Keadaan prostat, antara lain: kemungkinan adanya nodul, krepitasi, konsistensi prostat,
simetri antar lobus dan batas prostat
Colok dubur pada BPH menunjukkan konsistensi prostat kenyal, lobus kanan dan kiri
simetris dan tidak didapatkan nodul.
Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan urinalisis dapat mengungkapkan adanya leukosituria dan hematuria.
Sedimen urin diperiksa untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi pada
saluran kemih. BPH yang sudah menimbulkan komplikasi infeksi saluran kemih, batu buli-buli
atau penyakit lain yang menimbulkan keluhan miksi, pada pemeriksaan urinalisis menunjukkan
adanya kelainan. Pemeriksaan kultur urin berguna dalam mencari jenis kuman yang
menyebabkan infeksi dan sekaligus menentukan sensitifitas kuman terhadap beberapa
antimikroba yang diujikan. Namun pada pasien BPH yang sudah mengalami retensi urin dan
telah memakai kateter, pemeriksaan urinalisis tidak banyak manfaatnya karena seringkali telah
ada leukosituria dan eritrosituria akibat pemasangan kateter.
Pemeriksaan faal ginjal untuk mencari kemungkinan adanya penyulit yang mengenai
saluran kemih bagian atas, sedangkan gula darah dimaksudkan untuk mencari kemungkinan
adanya penyakit diabetes mellitus yang dapat menimbulkan kelainan persarafan pada buli-buli.
Jika dicurigai adanya keganasan prostat perlu diperiksa kadar penanda tumor Prostate
Specific Antigen (PSA). Meskipun BPH bukan merupakan penyebab timbulnya karsinoma
prostat, tetapi kelompok usia BPH mempunyai resiko terjangkit karsinoma prostat. Pemeriksaan
PSA bersamaan dengan colok dubur lebih baik daripada pemeriksaan colok dubur saja dalam
mendeteksi adanya karsinoma prostat. Pemeriksaan PSA direkomendasikan sebagai salah satu
pemeriksaan awal pada BPH, dengan syarat usia sebaiknya tidak melebihi 70-75 tahun atau usia
harapan hidup lebih dari 10 tahun, sehingga jika memang terdiagnosis karsinoma prostat
tindakan radikal masih ada manfaatnya.
Pemeriksaan pencitraan
Pemeriksaan foto polos abdomen (BNO) berguna untuk mencari adanya batu opaque di
saluran kemih, adanya batu atau kalkulosa prostat dan kadang dapat menunjukkan bayangan
buli-buli yang terisi penuh urin yang merupakan tanda dari retensi urin.
Pemeriksaan pielografi intravena (IVP) dapat menerangkan kemungkinan adanya:
kelainan ginjal maupun ureter berupa hidroureter atau hidronefrosis, memperkirakan besarnya
kelenjar prostat yang ditunjukkan oleh adanya gambaran indentasi prostat dan penyulit yang
terjadi pada buli-buli. Namun pemeriksaan IVP sekarang tidak direkomendasikan pada BPH.
Pemeriksaan ultrasonografi (USG) dapat dilakukan melalui trans abdominal ultra
sonografi (TAUS) atau trans uretral ultra sonografi (TRUS). Dari TAUS diharapkan mendapat
informasi mengenai:
Perkiraan volume (besar) prostat
Panjang protrusi prostat ke buli-buli atau intra prostatic protrusion (IPP)
Kelainan pada buli-buli (massa, batu atau bekuan darah)
Menghitung residu urin pasca miksi
Hidronefrosis atau kerusakan ginjal akibat obstruksi prostat
Pada pemeriksaan TRUS dapat diukur besar prostat untuk menentukan jenis terapi yang tepat,
juga untuk mencari kemungkinan adanya fokus keganasan prostat berupa area hipoekoik dan
kemudian sebagai petunjuk dalam melakukan biopsi prostat.
Pemeriksaan uretrosistoskopi untuk mengetahui keadaan uretra pars prostatika dan buli-
buli. Namun pemeriksaan ini tidak mengenakkan bagi pasien, bisa menimbulkan komplikasi
perdarahan, infeksi, cedera uretra dan retensi urin sehingga tidak dianjurkan sebagai pemeriksaan
rutin pada BPH. Pemeriksaan ini dikerjakan pada saat akan dilakukan tindakan pembedahan
untuk menentukan perlunya tindakan TUIP,TURP atau prostatektomi terbuka. Disamping itu
pada kasus yang disertai hematuria atau dugaan adanya kasrinoma buli-buli, pemeriksaan ini
sangat membantu dalam mencari lesi pada buli-buli.
Pemeriksaan lain
Pemeriksaan derajat obstruksi prostat dapat diperkirakan dengan cara mengukur:
Residual urine yang merupakan jumlah sisa urin setelah miksi. Sisa urin ini dapat
dihitung dengan cara melakukan kateterisasi setelah miksi atau dapat ditentukan dengan
pemeriksaan USG setelah miksi. Pengukuran dengan kateterisasi lebih akurat
dibandingkan dengan USG setelah miksi, tetapi tidak mengenakkan bagi pasien dan
memiliki komplikasi. Tujuh puluh delapan persen pria normal memiliki residu urin
kurang dari 5 ml dan semua pria normal memiliki residu urin tidak lebih dari 12 ml.
Pancaran urin atau flow rate dapat dihitung secara sederhana yaitu dengan menghitung
jumlah urin dibagi dengan lamanya miksi berlangsung (ml/detik) atau dengan alat
uroflometri yang menyajikan gambaran grafik pancaran urin. Pemeriksaan yang lebih
teliti adalah dengan pemeriksaan urodinamika karena dengan pemeriksaan ini dapat
dibedakan pancaran urin yang lemah tersebut disebabkan karena obstruksi leher buli-buli
dan uretra atau kelemahan kontraksi otot detrusor.

DIAGNOSIS BANDING
Kelemahan detrusor kandung kemih
o Gangguan neurologik
Kelainan medula spinalis
Neuropati diabetik
Pasca bedah radikal pelvis
Farmakologi (obat penenang, penghambat alfa, parasimpatolitik)
Kekakuan leher kandung kemih
o Fibrosis
Retensi uretra
o Hiperplasia prostat jinak atau ganas
o Kelainan yang menyumbat uretra
o Uretralitiasis
o Uretritis akut atau kronis

PENATALAKSANAAN
Tujuan terapi pada pasien hiperplasia prostat adalah:
Memperbaiki keluhan miksi
Meningkatkan kualitas hidup
Mengurangi obstruksi infravesika
Mengembalikan fungsi ginjal jika terjadi gagal ginjal
Mengurangi volume residu urin setelah miksi
Mencegah progresifitas penyakit
Pilihan terapi adalah mulai dari:
Tanpa terapi (watchful waiting)
Medikamentosa
Terapi intervensi
Di Indonesia, tindakan transurethral resection of the prostate (TURP) masih merupakan
pengobatan terpilih bagi penderita BPH.
Observasi Medikamentosa Terapi intervensi
Pembedahan Invasif minimal
Prostatektomi terbuka TUMT
Watchful watching Antagonis adrenergik- Endourologi: TUNA
TURP Stent uretra
TUIP HIFU
TULP TUBD
Elektrovaporisasi
Inhibitor reduktase-5
Fitoterapi
Namun tidak semua pasien hiperplasia prostat perlu menjalani tindakan medik. Kadang
penderita yang mengeluh LUTS ringan dapat sembuh tanpa mendapatkan terapi apapun. Namun
di antara mereka akhirnya ada yang membutuhkan terapi medikamentosa atau tindakan medik
lain karena keluhannya semakin parah.
Terapi non bedah dianjurkan bila nilai IPSS kurang dari 15 dan dianjurkan tetap
melakukan kontrol dengan menentukan nilai IPSS. Terapi bedah dianjurkan bila nilai IPSS diatas
25 atau bila timbul obstruksi.
Prostat dibagi dalam empat derajat dengan tujuan untuk menentukan penanganannya,
yaitu:
Derajat Colok dubur Sisa volume urin
I Penonjolan prostat, batas atas < 50 mL
mudah diraba
II Penonjolan prostat jelas, batas 50.100
atas dapat dicapai
III Batas atas prostat tidak dapat >100 mL
diraba
IV Retensi urin total
Derajat I biasanya belum memerlukan tindakan bedah dan diberikan pengobatan
konservatif seperti antagonis adrenergik-a. Keuntungan antagonis adrenergi-a adalah efek positif
segera terhadap keluhan, tetapi tidak mempengaruhi proses hiperplasia prostat sama sekali.
Kekurangannya adalah obat ini tidak dianjurkan untuk pemakaian lama.
Derajat II merupakan indikasi untutk dilakukannya pembedahan. Biasanya dianjurkan
TURP. Kadang derajat II dapat dicoba dengan pengobatan konservatif.
Pada derajat III apabila diperkirakan prostat sudah cukup besar sehingga reseksi tidak
akan selesai dalam 1 jam, sebaiknya dilakukan pembedahan terbuka.
Pada derajat IV, tindakan pertama yang harus segera dilakukan adalah pembebasan
retensi urin total dengan memasang kateter atau sistostomi. Setelah itu dilakukan pemeriksaan
lebih lanjut untuk melengkapi diagnosis, kemudian tentukan terapi definitif.
Watchful waiting
Watchful waiting artinya pasien tidak mendapatkan terapi apapun tetapi perkembangan
penyakitnya tetap diawasi oleh dokter. Pilihan tanpa terapi ini ditujukan untuk pasien BPH
dengan skor IPSS dibawah 7, yaitu keluhan ringan yang tidak menggangu aktivitas sehari-hari.
Pada watchful waiting, pasien tidak mendapatkan terapi apapun dan hanya diberi penjelasan
mengenai sesuatu hal yang mungkin dapat memperburuk keluhannya, misalnya:
Jangan banyak minum dan mengkonsumsi kopi atau alkohol setelah makan malam
Kurangi konsumsi makanan atau minuman yang menyebabkan iritasi pada buli-buli
(kopi atau cokelat)
Batasi penggunaan obat-obat influenza yang mengandung fenilpropanolamin
Kurangi makanan pedas dan asin
Jangan menahan kencing terlalu lama
Setiap 6 bulan, pasien diminta untuk datang kontrol dengan ditanya dan diperiksa tentang
perubahan keluhan yang dirasakan, IPSS, pemeriksaan laboratorium pemeriksaan laju pancaran
urine, maupun volume residual urine. Jika keluhan miksi bertambah jelek daripada sebelumnya,
mungkin perlu dipikirkan untuk memilih terapi yang lain.
Medikamentosa
Sebagai patokan jika skor IPSS >7 berarti pasien perlu mendapatkan terapi
medikamentosa atau terapi lain. Tujuan terapi medikamentosa adalah berusaha untuk:
Mengurangi resistensi otot polos prostat sebagai komponen dinamik penyebab obstruksi
infravesika dengan obat-obatan penghambat adrenergik-a
Mengurangi volume prostat sebagai komponen statik dengan cara menurunkan kadar
hormon testosteron atau dihidrotestosteron melalui penghambat 5a-reduktase
Selain kedua cara diatas, sekarang banyak dipakai terapi menggunakan fitofarmaka yang
mekanismenya belum jelas.
a.Penghambat reseptor adrenergik-
Pengobatan dengan antagonis adrenergik- bertujuan menghambat kontraksi otot polos
prostat sehingga mengurangi resistensi tonus leher buli-buli dan uretra. Fenoksibenzamine
adalah obat antagonis adrenergik- non selektif yang pertama kali diketahui mampu
memperbaiki laju pancaran miksi dan mengurangi keluhan miksi. Namun obat ini tidak
disenangi oleh pasien karena menyebabkan komplikasi sistemik yang tidak diharapkan,
diantaranya adalah hipotensi postural dan menyebabkan penyulit lain pada sistem
kardiovaskuler.
Diketemukannya obat antagonis adrenergik-1 dapat mengurangi penyulit sistemik yang
diakibatkan oleh efek hambatan pada-2 dari fenoksibenzamin. Beberapa golongan obat
antagonis adrenergik-1 yang selektif mempunyai durasi obat yang pendek (short acting)
diantaranya adalah prazosin yang diberikan dua kali sehari, dan durasi obat yang panjang (long
acting) yaitu terazosin, doksazosin, dan alfuzosin yang cukup diberikan sekali sehari.
Akhir-akhir ini telah diketemukan pula golongan penghambat adrenergik- 1A, yaitu
tamsulosin yang sangat selektif terhadap otot polos prostat. Dilaporkan obat ini mampu
memperbaiki pancaran miksi tanpa menimbulkan efek terhadap tekanan darah maupun denyut
jantung.
b.Penghambat 5-reduktase
Obat ini bekerja dengan cara menghambat pembentukan dihidrotestosteron (DHT) daro
testosteron yang dikatalisis oleh enzim 5-reduktase di dalam sel prostat. Menurunnya kadar
DHT menyebabkan sintesis protein dan replikasi sel prostat menurun.
Dilaporkan bahwa pemberian obat ini (finasteride) 5 mg sehari yang diberikan sekali
setelah 6 bulan mampu menyebabkan penurunan prostat hingga 28%, dan hal ini memperbaiki
keluhan miksi dan pancaran miksi.
c.Fitofarmaka
Beberapa ekstrak tumbuh-tumbuhan tertentu dapat dipakai untuk memperbaiki gejala
akibat obstruksi prostat, tetapi data-data farmakologik tentang kandungan zat aktif yang
mendukung mekanisme kerja obat fitoterapi sampai saat ini belum diketahui secara pasti.
Kemungkinan fitoterapi bekerja sebagai: anti-esterogen, anti-androgen, menurunkan kadar sex
hormone binding globulin (SHBG), inhibisi basic fibroblast growth factor (bFGF) dan epidermal
growth factor (EGF), mengacaukan metabolisme prostaglandin, efek anti inflamasi, menurunkan
outflow resistance, dan memperkecil volume prostat. Diantara fitoterapi yang banyak dipasarkan
adalah: Pygeum africanum, Serenoa repens, Hypoxis rooperi, Radix urtica dan masih banyak
lainnya.
Pembedahan
Penyelesaian masalah pasien BPH jangka panjang yang paling baik saat ini adalah
pembedahan, karena pemberian obat-obatan atau terapi non invasif lainnya membutuhkan jangka
waktu yang sangat lama untuk melihat hasil terapi.
Desobstruksi kelenjar prostat akan menyembuhkan gejala obstruksi dan miksi yang tidak
terlampias. Pembedahan direkomendasikan pada pasien BPH yang:
Tidak menunjukkan perbaikan setelah terapi medikamentosa
Mengalami retensi urin
Infeksi saluran kemih berulang
Hematuria
Gagal ginjal
Timbulnya batu saluran kemih atau penyulit lain akibat obstruksi saluran kemih bagian
bawah
a.Prostatektomi terbuka
Beberapa macam teknik operasi prostatektomi terbuka adalah metode dari Millin yaitu
melakukan enukleasi kelenjar prostat melalui pendekatan retropubik infravesika, Freyer melalui
pendekatan suprapubik transvesika, atau transperineal. Prostatektomi terbuka adalah tindakan
yang paling tua yang masih banyak dikerjakan saat ini, paling invasif, dan paling efisien sebagai
terapi BPH. Prostatektomi terbuka dapat dilakukan melalui pendekatan suprapubik transvesika
atau infravesika. Prostatektomi terbuka dianjurkan untuk prostat yang sangat besar (>100 gram).
Penyulit yang dapat terjadi setelah prostatektomi terbuka adalah inkontinensia urin,
impotensi, ejakulasi retrograd, dan kontraktur buli-buli. Dibandingkan dengan TURP dan TUIP,
penyulit yang terjadi berupa striktura uretra dan ejakulasi retrograd lebih banyak dijumpai pada
prostatektomi terbuka. Perbaikan gejala klinis sebanyak 85-100% dan angka mortalitas sebanyak
2%.
b.Endourologi
Saat ini tindakan TURP merupakan operasi paling banyak dikerjakan di seluruh dunia.
Operasi ini lebih disenangi karena tidak diperlukan insisi pada kulit perut, masa perawatan lebih
cepat, dan memberikan hasil yang tidak banyak berbeda dengan tindakan operasi terbuka.
Pembedahan endourologi transuretra dapat dilakukan dengan memakai tenaga elektrik TURP
atau dengan memakai energi laser. Operasi terhadap prostat berupa reseksi (TURP), insisi
(TUIP), atau evaporasi. Pada TURP, kelenjar prostat dipotong menjadi bagian-bagian jaringan
prostat yang dinamakan cip prostat yang akan dikeluarkan dari buli-buli melalui evakuator Ellik.
b.1.TURP (transurethral resection of the prostate)
Reseksi kelenjar prostat dilakukan transuretra dengan mempergunakan cairan pembilas
agar daerah yang akan direseksi tetap terang dan tidak tertutup oleh darah. Cairan yang
digunakan adalah berupa larutan non ionic, yang dimaksudkan agar tidak terjadi hantaran listrik
pada saat operasi. Cairan yang sering dipakai dan harganya cukup murah yaitu H2O steril
(aquades).
Salah satu kerugian dari aquades adalah sifatnya yang hipotonik sehingga cairan ini dapat
masuk ke sirkulasi sistemik melalui pembuluh darah vena yang terbuka pada saat reseksi.
Kelebihan H2O dapat menyebabkan terjadinya hiponatremia relatif atau gejala intoksikasi air
atau dikenal dengan sindroma TURP. Sindroma ini ditandai dengan pasien yang mulai gelisah,
kesadaran somnolen, tekanan darah meningkat, dan terdapat bradikardi. Jika tidak segera diatasi,
pasien akan mengalami edema otak yang akhirnya jatuh ke dalam koma dan meninggal. Angka
mortalitas sindroma TURP ini adalah sebesar 0,99%.
Untuk mengurangi resiko timbulnya sindroma TURP operator harus membatasi diri untuk
tidak melakukan reseksi lebih dari 1 jam. Di samping itu beberapa operator memasang sistostomi
suprapubik terlebih dahulu sebelum reseksi diharapkan dapat mengurangi penyerapan air ke
sirkulasi sistemik. Penggunaan cairan non ionic lain selain H2O yaitu glisin dapat mengurangi
resiko hiponatremia pada TURP, tetapi karena harganya cukup mahal beberapa klinik urologi di
Indonesia lebih memilih pemakaian aquades sebagai cairan irigasi.
Selain sindroma TURP beberapa penyulit bisa terjadi pada saat operasi, pasca bedah dini,
maupun pasca bedah lanjut. Penyulit saat operasi meliputi perdarahan, sindroma TURP, dan
perforasi. Penyulit pasca bedah dini meliputi perdarahan dan infeksi lokal atau sistemik. Penyulit
pasca bedah lanjut meliputi inkontinensia urin, disfungsi ereksi, ejakulasi retrograd, dan striktura
uretra.
b.2.TUIP (transurethral incision of the prostate)
TUIP atau insisi leher buli-buli (bladder neck insicion) direkomendasikan pada prostat
yang ukurannya kecil (kurang dari 30 cm3), tidak dijumpai pembesaran lobus medius, pada
pasien yang umurnya masih muda, dan tidak diketemukan adanya kecurigaan karsinoma
prostat. Teknik ini dipopulerkan oleh Orandi pada tahun 1973, dengan melakukan mono insisi
atau bilateral insisi mempergunakan pisau Colling mulai dari muara ureter, leher buli-buli-
sampai ke verumontanum. Insisi diperdalam hingga kapsula prostat. Waktu yang dibutuhkan
lebih cepat, dan lebih sedikit menimbulkan komplikasi dibandingkan dengan TURP. TUIP
mampu memperbaiki keluhan akibat BPH dan meningkatkan Qmax meskipun tidak sebaik
TURP.
Sebelum melakukan tindakan ini, harus disingkirkan kemungkinan adanya karsinoma
prostat dengan melakukan colok dubur, melakukan pemeriksaan USG transrektal, dan
pengukuran kadar PSA.
b.3.Laser prostatektomi
Terdapat 4 jenis energi yang dipakai, yaitu: Nd:YAG, Holmium:YAG, KTP: YAG, dan
diode yang dapat dipancarkan melalui bare fibre, right angle fibre, atau intersitial fibre. Kelenjar
prostat pada suhu 600-650C akan mengalami koagulasi dan pada suhu yang lebih dari 1000C
mengalami vaporisasi.
Jika dibandingkan dengan pembedahan, pemakaian Laser ternyata lebih sedikit
menimbulkan komplikasi, dapat dikerjakan secara poliklinis, penyembuhan lebih cepat dan
dengan hasil yang kurang lebih sama, tetapi kemampuan dalam meningkatkan perbaikan gejala
miksi maupun pancaran maksimal tidak sebaik TURP. Disamping itu terapi ini membutuhkan
terapi ulang 2% setiap tahun. Kekurangannya adalah tidak dapat diperoleh jaringan untuk
pemeriksaan patologi (kecuali pada Ho:YAG), sering banyak menimbulkan disuria pasca bedah
yang dapat berlangsung sampai 2 bulan, tidak langsung dapat miksi spontan setelah operasi, dan
peak flow rate lebih rendah dari pada pasca TURP.
Penggunaan pembedahan dengan energi Laser telah berkembang dengan pesat akhir-
akhir ini. Penelitian klinis memakai Nd:YAG menunjukkan hasil yang hampir sama dengan cara
desobstruksi TURP, terutama dalam perbaikan skor miksi dan pancaran urine. Meskipun
demikian efek lebih lanjut dari Laser masih belum banyak diketahui. Teknik ini dianjurkan pada
pasien yang memakai terapi antikoagulan dalam jangka waktu lama atau tidak mungkin
dilakukan tindakan TURP karena kesehatannya.
b.4.Elektrovaporasi
Cara elektrovaporisasi prostat hampir mirip dengan TURP, hanya saja teknik ini memakai
roller ball yang spesifik dan dengan mesin diatermi yang cukup kuat, sehingga mampu
membuat vaporisisai kelenjar prostat. Teknik ini cukup aman, tidak banyak menimbulkan
perdarahan pada saat operasi, dan masa tinggal di rumah sakit lebih singkat. Namun teknik ini
hanya diperuntukkan pada prostat yang tidak terlalu besar (<50 gram) dan membutuhkan waktu
operasi yang lebih lama.
Tindakan invasif minimal
Selain tindakan invasif, saat ini sedang dikembangkan tindakan invasif minimal yang
terutama ditujukan untuk pasien yang mempunyai resiko tinggi terhadap pembedahan. Tindakan
invasif minimal itu diantaranya:
TUMT (transurethral microwave thermotherapy)
TUNA (transurethral needle ablation of the prostate)
Pemasangan stent (prostacath), HIFU ( high intensity focused ultrasound), dan dilatasi
dengan balon (TUBD atau transurethral balloon dilatation)
a.Thermotherapy
Termoterapi kelenjar prostat adalah pemanasan dengan gelombang mikro pada frekuensi
915-1293 MHz yang dipancarkan melalui antena yang diletakkan di dalam uretra. Dengan
pemanasan > 450C sehingga menimbulkan destruksi jaringan pada zona transisional prostat
karena nekrosis koagulasi. Makin tinggi suhu di dalam jaringan prostat makin baik hasil klinik
yang didapatkan, tetapi makin banyak menimbulkan efek samping. Prosedur ini seringkali tidak
memerlukan perawatan di rumah sakit, namun masih harus memakai kateter dalam jangka waktu
lama. Sering kali diperlukan waktu 3-6 minggu untuk menilai kepuasan pasien terhadap terapi
ini. Tidak banyak menimbulkan perdarahan sehingga cocok diindikasikan pada pasien yang
memakai terapi antikoagulansia.
Energi yang dihasilkan oleh TUMT berasal dari gelombang mikro yang disalurkan
melalui kateter ke dalam kelenjar prostat sehingga dapat merusak kelenjar prostat yang
diinginkan. Jaringan lain dilindungi oleh sistem pendingin guna menghindari dari kerusakan
selama proses pemanasan berlangsung. Morbiditasnya rendah dan dapat dikerjakan tanpa
pembiusan. TUMT terdiri atas energi rendah dan energi tinggi. TUMT energi rendah
diperuntukkan bagi adenoma yang kecil dan obstruksi ringan, sedangkan TUMT energi tinggi
untuk prostat yang besar dan obstruksi yang lebih berat. TUMT energi tinggi menghasilkan
respon terapi yang lebih baik, tetapi menimbulkan morbiditas yang lebih besar daripada yang
energi rendah.
b.TUNA (transurethral needle ablation of the prostate)
Teknik ini memakai energi dari frekuensi radio yang menimbulkan panas sampai
mencapai 1000C, sehingga menyebabkan nekrosis jaringan prostat. Sistem ini terdiri atas kateter
TUNA yang dihubungkan dengan generator yang dapat membangkitkan energi pada frekuensi
radio 490 kHz. Kateter dimasukkan ke dalam uretra melalui sistoskopi dengan pemberian
anastesi topikal xylocaine sehingga jarum yang terletak pada ujung kateter terletak pada kelenjar
prostat. Pasien seringkali masih mengeluh hematuria, disuria, kadang-kadang retensi urin, dan
epididimo-orkitis.

c.Stent uretra
Stent prostat dipasang pada uretra pars prostatika untuk mengatasi obstruksi karena
pembesaran prostat. Strent dipasang intraluminal di antara leher buli-buli dan di sebelah
proksimal verumontetum sehingga urin dapat leluasa melewati lumen uretra pars prostatika.
Stent dapat dipasang secara temporer atau permanen. Yang temporer dipasang selama 3-36 bulan
dan terbuat dari bahaan yang tidak diserap dan tidak mengadakan reaksi dengan jaringan. Alat ini
dipasang dan dilepas kembali secara endoskopi.
Stent yang permanen terbuat dari anyaman dari bahan logam super alloy, nikel atau
titanium. Dalam jangka waktu lama bahan ini akan diliputi oleh urotelium sehingga jika suatu
saat ingin dilepas harus membutuhkan anastesi umum atau regional.
Pemasangan alat ini diperuntukkan bagi pasien yang tidak mungkin menjalani operasi
karena resiko pembedahan yang cukup tinggi. Seringkali stent dapat terlepas dari insersinya di
uretra posterior atau mengalami enkrustasi. Sayangnya setelah pemasangan kateter ini, pasien
masih merasakan keluhan miksi berupa gejala iritatif, perdarahan uretra, atau rasa tidak enak
pada daerah penis.
d.HIFU (high intensity focused ultrasound)
Energi panas yang ditujukan untuk menimbulkan nekrosis pada prostat berasal dari
gelombang ultra dari transduser piezokeramik yang mempunyai frekuensi 0,5-10MHz. energy
dipancarkan melalui alat yang diletakkan transrektal dan difokuskan ke kelenjar prostat. Teknik
ini memerlukan anastesi umum. Data klinis menunjukkan terjadi perbaikan gejala klinis 50-60%
dan Qmax rata-rata meningkat 40-50%. Efek lebih lanjut dari tindakan belum diketahui, dan
sementara tercatat bahwa kegagalan terapi terjadi sekitar 10% setiap tahun.
Kontrol berkala
Setiap pasien hyperplasia prostat yang telah mendapatkan pengobatan perlu control
secara teratur untuk mengetahui perkembangan penyakitnya. Jadwal control tergantung pada
tindakan apa yang telah dijalaninya. Pasien yang hanya mendapatkan pengawasan (watchful
waiting) dianjurkan kontrol setelah 6 bulan, kemudian setiap tahun untuk mengetahui apakah
terjadi perbaikan klinis. Penilaian dilakukan dengan pemeriksaan skor IPSS, uroflometri, dan
residu urin pasca miksi.
Pada pasien yang mendapatkan terapi penghambat 5-reduktase harus dikontrol pada
minggu ke-12 dan bulan ke-6 untuk menilai respon terhadap terapi. Kemudian setiap tahun untuk
menilai perubahan gejala miksi. Pasien yang menjalani pengobatan penghambat reseptor
adrenergik- harus dinilai respon terhadap pengobatan setelah 6 minggu dengan melakukan
pemeriksaan IPSS, uroflometri, dan residu urin pasca miksi. Kalau terjadi perbaikan gejala tanpa
menunjukkan penyulit yang berarti, pengobatan dapat diteruskan. Selanjutnya kontrol dilakukan
setelah 6 bulan dan kemudian setiap tahun. Pasien yang telah menerima pengobatan
medikamentosa dan tidak menunjukkan adanya perbaikan perlu dipikirkan tindakan pembedahan
atau terapi intervensi yang lain.
Setelah pembedahan, pasien harus menjalani kontrol paling lambat 6 minggu pasca
operasi untuk mengetahui kemungkinan terjadinya penyulit. Kontrol selanjutnya setelah 3 bulan
untuk mengetahui hasil akhir operasi. Pasien yang mendapatkan terapi invasive minimal harus
menjalani kontrol secara teratur dalam jangka waktu yang lama, yaitu setelah 6 minggu, 3 bulan,
6 bulan, dan setiap tahun. Pada pasien yang mendapatkan terapi invasive minimal, selain
dilakukan penilaian terhadap skor miksi, dilakukan pemeriksaan kultur urin untuk melihat
kemungkinan penyulit infeksi saluran kemih akibat tindakan itu.
KESIMPULAN
Prostat adalah organ genitalia pria yang terletak di sebelah inferior kandung kemih, di
sebelah superior diafragma urogenital, di depan rektum dan membungkus uretra pars prostatika.
Prostat merupakan kelenjar yang mulai menonjol pada masa pubertas. Biasanya kelenjar prostat
dapat tumbuh seumur hidup. Prostat merupakan organ kelenjar fibromuskular yang mengelilingi
uretra pars prostatika. Prostat mempunyai panjang kurang lebih 3cm dan berat normal kurang
lebih 20gram. Prostat dapat teraba pada pemeriksaan rectal toucher. McNeal membagi kelenjar
prostat dalam beberapa zona, antara lain zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona
fibromuskular anterior, dan zona periuretra. Sebagian besar hyperplasia prostat terdapat pada
zona transisional.
Pertumbuhan kelenjar ini sangat tergantung pada hormon testosteron, yang di dalam sel
kelenjar prostat, hormon ini akan diubah menjadi metabolit aktif dihidrotestosteron (DHT)
dengan bantuan enzim 5-reduktase. DHT inilah yang secara langsung memacu m-RNA di
dalam sel kelenjar prostat untuk mensintesis growth factor yang memacu pertumbuhan dan
proliferasi sel kelenjar prostat.
Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah penyakit yang disebabkan oleh penuaan. Istilah
hiperplasia prostat jinak (BPH) sebenarnya merupakan istilah histopatologis, yaitu terdapat
hiperplasia sel-sel stroma dan sel-sel epitel kelenjar prostat yang biasanya timbul di periuretral
dan zona transisi dari kelenjar yang kemudian menekan kelenjar normal yang tersisa.
Pembesaran ini akan menyebabkan obstruksi leher kandung kemih dan uretra pars prostatika,
yang mengakibatkan berkurangnya aliran kemih dari kandung kemih.
Namun tidak semua pasien hiperplasia prostat perlu menjalani tindakan medik. Kadang
penderita yang mengeluh LUTS ringan dapat sembuh tanpa mendapatkan terapi apapun. Namun
di antara mereka akhirnya ada yang membutuhkan terapi medikamentosa atau tindakan medik
lain karena keluhannya semakin parah.
Tujuan terapi pada pasien hiperplasia prostat adalah memperbaiki keluhan miksi,
meningkatkan kualitas hidup, mengurangi obstruksi infravesika, mengembalikan fungsi ginjal
jika terjadi gagal ginjal, mengurangi volume residu urin setelah miksi, dan mencegah
progresifitas penyakit.

DAFTAR PUSTAKA
1. Purnomo B. BPH. Dasar-dasar urologi. Edisi 3. Malang: Fakultas Kedokteran Universitas
Brawijaya; 2011. p. 123-142.
2. Purnomo B. Prostat. Dasar-dasar urologi. Edisi 3. Malang: Fakultas Kedokteran
Universitas Brawijaya; 2011. p. 14-16.
3. Sjamsuhidajat, de Jong. Hiperplasia prostat. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta:
EGC; 2010. p. 809-903.
4. Snell RS. Prostat. Anatomi Klinik. Ed.6. Jakarta : EGC; 2006; p.345-50
5. Fauci, Braunwald, Kasper, et al. Prostate Hyperplasia. Harrisons Manual of Medicine.
Ed. 17. USA : The McGraw Company; 2009; p.399
6. Sherwood L. Sistem Reproduksi. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Ed.2. Jakarta :
EGC; 2001; p.705
7. Price SA, Wilson LM. Hiperplasia Prostat. Patofisiologi. Ed. 6. Jakarta : EGC; 2005;
p.1320
8. Pedoman Penatalaksanaan BPH di Indonesia. Available at
http://www.iaui.or.id/ast/file/bph.pdf. Accessed in 14 Juli 2011
9. Prostate. Available at http://en.wikipedia.org/wiki/Prostate. Accessed in 14 Juli 2011
10. Benign Prostatic Hyperplasia. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/437359-overview. Accessed in 14 Juli 2011
11. BPH. Available at http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-furqan.pdf. Accessed in 14
Juli 2011

Anda mungkin juga menyukai