Anda di halaman 1dari 20

Diktat Landfilling Limbah -Versi2012 Bagian 2/9

BAGIAN DUA
PENGERTIAN LAHAN-URUG (LANDFILLING)

1 LANDFILL MENERIMA SEMUA LIMBAH

Penyingkiran limbah ke dalam tanah (land disposal) merupakan cara yang paling sering dijumpai
dalam pengelolaan limbah. Cara penyingkiran limbah ke dalam tanah dengan pengurugan atau
penimbunan dikenal sebagai landfilling, yang diterapkan mula-mula pada sampah kota. Cara ini
dikenal sejak awal tahun 1900-an, dengan nama yang dikenal sebagai sanitary landfill, karena
aplikasinya memperhatikan aspek sanitasi. Definisi yang sederhana tentang sanitary landfill
adalah [Tchobanoglous, 1993]:
Metode pengurugan sampah ke dalam tanah, dengan menyebarkan sampah secara lapis-
per-lapis pada sebuah site (lahan) yang telah disiapkan, kemudian dilakukan pemadatan
dengan alat berat, dan pada akhir hari operasi, urugan sampah tersebut kemudian ditutup
dengan bahan penutup.
Metode tersebut dikembangkan akibat dampak negative dari aplikasi praktis dalam peyelesaian
masalah sampah yang dikenal sebagai open dumping. Open dumping tidak mengikuti tata cara
yang sistematis serta tidak memperhatikan dampak pada kesehatan. Metode sanitary landfill
kemudian berkembang dengan memperhatikan juga aspek pencemaran lingkungan lainnya,
serta percepatan degradasi dan sebagainya, sehingga terminologi sanitary landfill sebetulnya
sudah kurang relevan untuk digunakan.

Landfilling dibutuhkan karena:


pengurangan limbah di sumber, daur-ulang, atau minimasi limbah, tidak dapat
menyingkirkan limbah semuanya;
pengolahan limbah biasanya menghasilkan residu yang harus ditangani lebih lanjut;
kadangkala sebuah limbah sulit untuk diuraikan secara biologis, atau sulit untuk dibakar,
atau sulit untuk diolah secara kimia.

Metode landfilling saat ini digunakan bukan hanya untuk menangani sampah kota. Beberpa hal
yang perlu dicatat adalah [2]:
banyak digunakan untuk menyingkirkan sampah, karena murah, mudah dan luwes;
digunakan pula untuk menyingkirkan limbah industri, seperti sludge (lumpur) dari
pengolahan limbah cair, termasuk limbah berbahaya;
bukan pemecahan masalah limbah yang baik. Dapat mendatangkan
pencemaran lingkungan, terutama dari lindi (leachate) yang mencemari air
tanah;
Untuk mengurangi dampak negatif dibutuhkan pemilihan lokasi yang tepat, penyiapan
prasarana yang baik dengan memanfaatkan teknologi yang sesuai, dan dengan
pengoperasian yang baik pula.

2 PERKEMBANGAN LANDFILL

Saat sanitary landfill dikembangkan pada awal abad XX, perhatian utama yang ingin
ditanggulangi adalah bagaimana mengurangi dampak penimbunan sampah yang dilakukan
secara terbuka, yang menyebabkan adanya bau, asap serta berkembangnya lalat dan tikus
sebagai vector yang dapat membawa/menularkan penyakit. Jadi isu utamanya adalah terkait
dengan sanitasi. Dari definisi yang digunakan di atas, terlihat bahwa upaya penutupan
timbunan sampah dengan bahan penutup merupakan cara/teknologi yang efektif untuk
menanggulangi permasalahan yang berkembang saat itu.

Selanjutnya, teknologi sanitary landfill terus dikembangkan. Aplikasi teknologi ini di lapangan
membuktikan bahwa walaupun telah menggunakan tanah penutup secara konsisten, ternyata
tetap mencemari badan air, khususnya air tanah akibat lolosnya leachate (lindi) yang dihasilkan
ke dalam tanah. Isu lingkungan menjadi perhatian. Untuk menanggulangi hal itu, maka konsep
penggunaan liner yang kedap, serta mengolah lindi yang dihasilkan menjadi perhatian utama.
Teknologi ini terus disempurnakan, termasuk bagaimana menanggulangi gas-bio yang

Enri Damanhuri FTSL ITB Halaamn 2.1


dihasilkan, dan bagaimana agar sarana ini mempunyai kemampuan stabilitas yang baik agar
tidak longsor. Aspek hidrogeologi, hidrologi dan geoteknik dianggap merupakan variabel penting
yang perlu digunakan dalam penggunaan teknologi pengurugan tersebut. Dengan demikian
pertimbangannya bukan lagi bertumpu pada pertimbangan sanitasi semata, sehingga
penamaan sanitary menjadi kurang relevan lagi, walaupun nama sanitary landfill secara
umum masih tetap dipertahankan, termasuk di Indonesia.

Isu gas rumah kaca pada beberapa tahun terakhir telah menjadi isu utama. Isu yang
mengakibatkan adanya perubahan sudut pandang dalam masyarakat modern, khususnya bila
dikaitkan dengan pengurangan aktivitas yang menghasilkan gas rumah kaca. Landfill tradisional
yang dioperasikan saat ini menyebabkan proses pembusukan sampah berlangsung secara
anaerob, dan dipastikan akan dihasilkan gas metan (CH4), salah satu gas rumah kaca. Landfill
jenis ini dipercaya menghasilkan emisi gas rumah kaca terbesar dari sektor pengelolaan limbah.
Beberapa negara industri, seperti Uni Eropa dan Jepang memposisikan bahwa teknologi
landfilling jenis ini harus mengalami perubahan yang mendasar:
a. Penggunaan teknologi Mechanical-Biological Treatment (MBT) dalam pemrosesan sampah.
Negara-negara Uni Eropa, yang dipelopori oleh Jerman, melakukan pembatasan materi
organik sampah yang akan di-urug sampai angka di bawah 10%. Sampah yang akan diurug
harus diturunkan terlebih dahulu kadar organiknya, melalui pra-pengiolahan secara mekanis
dan secara biologis, baik secara aerobic maupun secara anaerobik.
b. Penggunaan proses pemusnahan sampah secara termal seperti yang diterapkan di Jepang.
Hampir semua sampah di Jepang diarahkan untuk menggunakan teknologi insinerasi.
Residu sisa pengolahan tersebut (abu dan debu) yang akhirnya diperbolehkan diurug di
sebuah landfill. Alasan keterbatasan lahan adalah argumen lain yang menyebabkan
penggunaan insinerator menjadi dominan.
c. Penggunaan bahan penutup yang mampu mengurangi gas metan, antara lain melalui
aplikasi tanah penutup yang kaya mikroorganisme pemakan gas metan, serta pengenalan
landfill jenis semi-aerobik, bahkan jenis aerobic.

Tentang sanitary landfill (tradisional) yang dioperasikan dengan pengurugan sampah secara
lapis-perlapis, berikut ini adalah uraian tentang perkembangannya mulai dari awal
keberadaannya sebagai sarana penanganan sampah kota:

Mengisi lembah:

Pada awalnya landfilling sampah dilaksanakan pada lahan yang tidak produktif, misalnya bekas
pertambangan, mengisi cekungan-cekungan (lihat Gambar 2.1). Cara ini dikenal dengan
metode pit atau canyon atau quarry. Dengan demikian terjadi reklamasi lahan, sehingga lahan
tersebut menjadi baik kembali.

Gambar 2.1 : Landfilling mengisi lembah / cekungan [Modivikasi dari ANRED, 1981]
Mengupas site:

Dengan terbatasnya site yang sesuai , maka dilakukan pengupasan site sampai kedalaman
tertentu (lihat Gambar 2.2). Dikenal sebagai metode slope (ramp). Perlu diperhatikan:
tinggi muka air tanah
struktur batuan / tanah keras
peralatan pengupasan / penggalian yang dimiliki
Dengan demikian akan diperoleh tanah untuk bahan penutup. Kadangkala pengupasan site
tidak dilakukan sekaligus, tetapi dilakukan secara bertahap. Terbentuk parit-parit tempat
pengurugan sampah (lihat Gambar 2.3 di bawah). Cara ini dikenal sebagai metode parit
(trench).

Gambar 2.2: Landfilling dengan mengupas site [Modivikasi dari ANRED, 1981]

Gambar 2.3: Pengupasan bertahap menimbun ke atas


[Gambar ulang dari MacBean et al., 1995]

Menimbun sampah:

Untuk daerah yang datar, dengan muka air tanah tinggi, sulit untuk mengupas site. Maka cara
yang dilakukan adalah menimbun sampah di atas area tersebut. Cara ini dikenal sebagai
metode area.

3 JENIS LANDFILL

Berdasarkan penanganan sampahnya:


Dilihat dari bagaimana sampah ditangani sebelum diurug, maka dikenal beberapa jenis aplikasi
ini, yaitu:
a. Pemotongan sampah terlebih dahulu [ANRED, 1981]:
Sampah dipotong dengan mesin pemotong 50-80 mm sehingga menjadi lebih homogen,
3
lebih padat (0,8 1,0 ton/m ), dapat ditimbun sekaligus lebih tebal (> 1,5 M).
Dapat digunakan sebagai pengomposan (aerobik) in-situ dengan ketingian sel-sel 50
cm, sehingga memungkinkan proses aerobik yang menghasilkan panas sehingga dapat
menghindari lalat.
Binatang pengerat (tikus dsb) berkurang karena rongga dalam timbunan berkurang
dihilangkan, dan timbunan lebih padat.
Bila tidak ada masalah bau, maka tidak perlu tanah penutup.
Degradasi (pembusukan) lebih cepat sehingga stabilitas lebih cepat.
Butuh alat pemotong sehingga biaya menjadi mahal.
b. Pemadatan sampah dengan baling (Gambar 2.4):
Banyak digunakan di Amerika Serikat. Di Indonesia cara ini dikenal sebagai sistem bala-
pres, diperkenalkan pada saat rencana pengoperasian TPST Bojong (tahun 2005) untuk
melayani sampah Jakarta, tetapi tidak jadi dioperasikan karena mendapat penolakan
keras dari masyarakat sekitarnya.
Sampah dipadatkan dengan mesin pemadat menjadi ukuran tertentu (misalnya
3 3
bervolume 1 m ). Kepadatan mencapai 1,0 ton/m atau lebih.
Transportasi lebih murah karena sampah lebih padat, dan benbentuk praktis.
Pengurugan di lapangan lebih mudah (dengan fork-lift).
Pengaturan sel lebih mudah dan sistematis.
Butuh investasi dan operasi alat/mesin. Biaya menjadi sangat mahal.
Dihasilkan lindi hasil pemadatan yang perlu mendapat perhatian.

Gambar 2.4: Landfilling dengan baling [[Modivikasi dari ANRED, 1981]

c. Landfill tradisional:
Cara yang dikenal di Indonesia sebagai sanitary landfill
Sampah diletakkan lapis perlapis (0,5-0,6m) sampai ketinggian 1,2 - 1,5 m
Urugan sampah membentuk sel-sel (Gambar 2.5) atau sandwich (Gambar 2.6) dan
membutuhkan ketelitian operasi alat berat agar teratur
Kepadatan sampah dicapai dengan alat berat biasa (dozer atau loader) dan
3
mencapai 0,6 - 0,8 ton/m
Membutuhkan penutupan harian 10 - 30 cm, paling tidak dalam 48 jam
Kondisi di lapisan (lift) teratas bersifat aerob (ada oksigen), sedang bagian bawah
anaerob (tidak ada oksigen) sehingga dihasilkan gas metan
Bagian-bagian sampah yang besar diletakkan di bawah agar tidak terjadi rongga
Bila pengurugan dilakukan secara tidak sistematis (secara sandwich maupun secara sel)
seperti yang biasa dilakukan di banyak TPA di Indonesia, maka akhirnya sarana ini akan
menjadi open dumping (Gambar 2.7), walaupun prasarananya sebetulnya telah
disiapkan secara baik. Sampah biasanya dituang dari atas, tetapi tidak dilanjutkan
dengan pendistribusian dan pemadartan sampah oleh alat berat pada pelataran lahan
aktif tersebut.
Gambar 2.5: Pengurugan sel sistem sel
[Gambar ulang dari MacBean et al., 1995]

Gambar 2.6: Pengurugan sistem sandwich [digambar ulang


dari
[Gambar ulang dari MacBean et al., 1995]

Gambar 2.7: Pengurugan sistem sandwich [digambar ulang


dari
[Gambar ulang dari MacBean et al., 1995]

d. Landfill dengan kompaksi (Gambar 2.8):


Banyak digunakan untuk lahan-urug yang besar dengan dozer khusus yang bisa
memadatkan sampah pada ketebalan 30 - 50 cm, dan dicapai densitas timbunan 0,8 -
3
1,0 ton/m .
Sampah menjadi lebih padat, sehingga proses yang terjadi menjadi anaerob.
Karena densitas tinggi, serangga dan tikus sulit bersarang.
Keuntungan dibanding lahan-urug tradisional adalah tanah penutup menjadi berkurang,
truk mudah berlalu lalang dan masa layan landfill akan lebih lama.
Alat berat yang digunakan mempunyai harga sekitar 3 kali lipat harga dozer biasa.
Biaya operasi-pun akan menjadi lebih tinggi.
Gambar 2.8: Dozer wheel compactor kaki-kambing [ANRED, 1981]

Berdasarkan kondisi site:

Dilihat dari kondisi topografi site, maka literatur USA membagi landfill dalam beberapa kelompok
(lihat Gambar-gambar 2.1 sampai 2.4), yaitu :
a. Metode area:
Dapat diterapkan pada site yang relatif datar.
Sampah membentuk sel-sel sampah (Gambar 2.5) yang saling dibatasi oleh tanah
penutup.
Setelah pengurugan akan membentuk slope.
Penyebaran dan pemadatan sampah berlawanan dengan kemiringan.
b. Metode slope/ramp:
Sebagian tanah digali.
Sampah kemudian diurug pada tanah.
Tanah penutup diambil dari tanah galian.
Setelah lapisan pertama selesai, operasi berikutnya seperti metode area.
c. Metode parit (trench):
Site yang ada digali, sampah ditebarkan dalam galian, dipadatkan dan ditutup harian.
Digunakan bila airtanah cukup rendah sehingga zone non-aerasi di bawah landfill
cukup tinggi ( 1,5 m).
Digunakan untuk daerah datar atau sedikit bergelombang.
Operasi selanjutnya seperti metode area.
d. Metode pit/canyon/quarry :
Memanfaatkan cekungan tanah yang ada (misalnya bekas tambang).
Pengurugan sampah dimulai dari dasar, sehingga membentuk lapisan sandwich
(Gambar 2.6).
Penyebaran dan pemadatan sampah seperti metode area.
Cara tersebut dapat berkembang lebih jauh sesuai dengan kondisi yang ada.

Berdasarkan ketersediaan oksigen dalam timbunan:

Seperti halnya pengomposan, maka pada dasarnya landfilling adalah pengomposan dalam
reaktor yang luas. Oleh karenanya terdapat kemungkinan pembusukan sampah secara aerobik
maupun secara anaerobik. Konsep landfill aerobik sebetulnya sudah dimunculkan pada awal
tahun 1980-an, sebelum isu pemanasan global muncul. Dengan adanya isu ini, maka konsep ini
mendapat perhatian, karena dapat menekan emisi gas metan sebagai salah satu gas rumah
kaca. Berikut ini adalah penjelasan lanjut tentang hal tersebut:

a. Landfill anaerobik (Gambar 2.9):


Landfill yang banyak dikenal saat ini, khususnya di Indonesia. Timbunan sampah
dilakukan lapis perlapis tanpa memperhatikan ketersediaan oksigen di dalam
timbunan.
Kondisi anaerob menghasilkan gas metan (gas bakar). Dihasilkan pula uap-uap asam-
asam organik, dan H2S yang menyebabkan jenis landfill ini berbau bila tidak ditutup
bahan penutup secara rutin.
Karena kondisinya anaerob, stabilitas sampah tidak cepat tercapai, dan dihasilkan
lindi (leachate) dengan konsentrasi tinggi.

Keterangan: 1.Timbunan sampah


Penampung lindi
Pengolah lindi 4.Mukaairdi pengolah
Muka air di penampung tidak diatur, sehingga pipa outlet bisa teren
Evapotranspirasi
Hujan
Pipa gasbio vertikal
Sistem drainase lindi

Gambar 2.9: Lahan-urug anaerob sebagai improved sanitary landfill


[digambar ulang dari Ebara Hatakeyama, 1997]

b. Landfill semi-aerobik (lihat Gambar 2.10):

Keterangan:
Timbunan sampah
Muka lindi di bawah pipa lindi
Penampung lindi
Pompa lindi menuju pengolah
Udara masuk melalui pipa lindi
Evapotranspirasi
Hujan
Pipa gasbio vertikal
Sistem drainase lindi

Gambar 2.10: Lahan-urug semi-aerob dari


Fukuoka
[digambar ulang dari Ebara Hatakeyama, 1997]

Ada beberapa kaidah teknik dasar dari landfill jenis ini yang membedakan dengan landfill
anaerob, seperti diuraikan di bawah.
Prinsip pertama adalah lindi didasar landfill tidak tergenang, artinya mudah
mengalir melalui media pengumpul lindi dan sistem perpipaan.
Prinsip kedua adalah pipa penyalur lindi tersebut berfungsi pula sebagai pipa penyalur
udara dari luar menuju timbunan sampah. Bila pada penyalur lindi landfill anaerob 2/3
dari pipa tersebut di-desain akan teris cairan, maka pada sistem semi-aerobik ini pipa di-
desain hanya 1/3 bagian yang akan terisi cairan. Artinya udara lebih leluasa masuk ke
dalam timbunan sampah.
Prinsip ketiga adalah terdapat jarak yang cukup antara bibir bawah pipa penyalur lindi
dengan muka air tertinggi pada bak penampung lindi, sehingga dapat menjamin pipa
tersebut selalu berada dalam kondisi tidak tergenang air.
Prinsip terakhir adalah walaupun sistem ini dapat mengurangi gas bio, tetapi sistem
ventilasi udara tetap dipertahankan, yang menyatu dengan sistem pipa penyalur lindi,
yang akan lebih menjamin adanya sirkulasi udara yang lebih baik.

c. Landfill aerobik (Gambar 2.11):


Mengupayakan agar timbunan sampah tetap mendapat oksigen, misalnya melalui suplai
dari blower seperti halnya pengomposan modern. Dengan demikian proses pembusukan
lebih cepat, seperti halnya pengomposan biasa.
Leachate yang dihasilkan relatif lebih baik dibanding landfill anaerob. Juga bau akan
banyak berkurang. Disamping itu, tidak dibutuhkan penutup tanah harian.
Pencapaian kondisi aerobik dapat pula dilakukan dengan pendekatan:
lapisan sampah dibiarkan beberapa hari berkontak dengan oksigen, sebelum
diatasnya dilapis sampah lain. Bila perlu dilakukan pembalikan pada lapisan
sampah tersebut. Dibutuhkan area yang luas.
cara lain adalah memasukkan udara ke dalam timbunan secara sistematis,
sehingga proses pembusukan berjalan secara aerob .

Keterangan:
Timbunan sampah
Muka lindi di bawah pipa lindi
Penampung lindi
Pompa lindi menuju pengolah
Udara masuk melalui pipa lindi menggunakan blowe
Evapotranspirasi
Hujan
Pipa gasbio vertikal
Sistem drainase lindi

Gambar 2.11: Lahan-urug aerob seperti pengomposan


[digambar ulang dari Ebara Hatakeyama, 1997]

Berdasarkan karakter lahan (site):

Di Perancis misalnya, hubungan karakter permeabilitas site dengan limbah dijadikan dasar
pembagian landfill, yaitu [15]:
Site landfill kelas 1 :
7
site kedap dengan nilai permeabilitas (k) < 10 cm/detik
migrasi leachate dapat diabaikan
untuk limbah industri, termasuk limbah B3
Site landfill kelas 2 :
4 7
site semi-kedap dengan nilai permeabilitas (k) antara 10 sampai 10 cm/detik
migrasi leachate lambat
untuk limbah sejenis sampah kota
Site landfill kelas 3 :
4
site tidak kedap dengan nilai permeabilitas (k) > 10 cm/detik
migrasi leachate cepat
untuk limbah inert dengan pencemaran diabaikan

Berdasarkan jenis limbah yang akan diurug:

Di beberapa negara maju, pembagian landfill saat ini dilakukan berdasarkan jenis limbah yang
akan diurug, seperti :
Landfill sampah kota dan sejenisnya
Landfill limbah industri
Landfill yang menerima kedua jenis limbah tersebut, dikenal sebagai co-disposal
Di Jepang, landfill dibagi menjadi [18]:
Landfill sampah domestik (sampah kota)
Landfill industri, yang dibagi menjadi :
landfill untuk limbah industri yang stabil : limbah sisa bangunan, plastik, karet, logam
dan keramik (Gambar 2.12a)
landfill dengan shut-off : dengan mengisolasi kontak air dari luar seperti air hujan
dan air tanah (Gambar 2.12b).
landfill limbah terdegradasi : oli, kertas, kayu, residu hewan / tanaman; diperlukan
adanya pengolah lindi (Gambar 2.12c)

Gambar 2.12a : Landfill limbah stabil Gambar 2.12b : Landfill dengan shut-off

Gambar 2.12c : Landfill limbah terdegradasi


[digambar ulang dari Ebara Hatakeyama,
1997]
Landfill limbah B3:

Peraturan Bapedal Indonesia tentang landfill (untuk limbah B3) membagi katagori landfill
limbah B3 menjadi 3 jenis, yaitu [19]:
Landfill katagori I : Landfill dengan liner ganda dari geomembran HDPE, digunakan
untuk limbah yang dinilai sangat berbahaya
Landfill katagori II : seperti katagori I, namun dengan liner geomembran tunggal.
Landfill katagori III : untuk limbah B3 yang dianggap tidak begitu berbahaya. Liner yang
7
digunakan adalah clay dengan nilai permeabilitas lebih kecil dari 10 cm/detik. Landfill jenis
ini identik dengan landfill sampah kota (sanitary landfill) yang baik.

Di Jepang, kebijakan pengolahan sampah mengarahkan penggunaan insinerator sebagai salah


satu pengolahan akhir. Dari pembakaran tersebut akan dihasilkan abu dan debu, yang secara
substansial merupakan bahan yang banyak mengandung logam berat. Di Indonesia, abu
incinerator termasuk dalam kelompok limbah B3, sehingga membutuhkan perlakuan khusus. Hal
yang sejalan tentang pengurangan emisi gas rumah kaca dilakukan di Jepang terhadap lahan-
urug sampah kotanya. Sebagian besar sampah kota di Jepang diproses dengan cara insinerasi,
dengan tingkat teknologi insinerator yang sudah maju. Disamping karena alasan keterbartasan
ketersediaan lahan untuk TPA, maka isu gas rumah kaca mendorong Jepang memperketat
pengaturan sampah yang boleh diurug ke lahan-urug. Konsepnya adalah sama dengan yang
diambil oleh negara Eropa, yaitu membatasi kandungan organik yang boleh diurug, dengan
proses pembakaran sampah melalui insinerator. Hanya abu (bottom ash) dan debu (fly ash)
yang boleh diurug ke lahan-urug yang mempunyai atap. Dengan demikian insinerator Jepang
harus mempunyai efisiensi pengurangan debu yang sangat tinggi, dan kriteria lahan-urugnyapun
mendekati kriteria lahan-urug limbah B3, karena sebagian besar logam berat akan terkonsentrasi
di abu dan debu tersebut. Jepang banyak membangun lahan-urug yang menggunakan atap
yang bisa digeser untuk mengurangi produksi lindi akibat masuknya hujan.

Foto Lahan-urug beratap di Jepang


Kiri: tampak atas lahan-urug, dan kanan: tampak bagin dalam
area pengurugan

Berdasarkan aplikasi tanah penutup dan penanganan leachate:

Di Jepang, landfill sampah kota dibagi berdarkan aplikasi tanah penutup, yang menjadi
keharusan dari sanitary landfill standar, serta penanggulangan leachate. Pembagian tersebut
adalah sebagai berikut [18]:
a. Controlled tipping :
Peningkatan dari open dumping. Calon lahan telah dipilih dan disiapkan secara baik.
Aplikasi tanah penutup tidak dilakukan setiap hari
Konsep ini banyak dianjurkan di Indonesia, dikenal sebagai controlled landfill
b. Sanitary landfill with a bund and dailiy cover soil :
Peningkatan controlled tipping.
Lahan penimbunan dibagi menjadi berbagai area, yang dibatasi oleh tanggul ataupun
parit.
Penutupan timbunan sampah dilakukan setiap hari, sehingga masalah bau, asap
dan lalat dapat dikurangi.
c. Sanitary landfill with leachate recirculation :
Masalah lindi (leachate) sudah diperhatikan.
Terdapat sarana untuk mengalirkan lindi dari dasar landfill ke penampungan (kolam)
Lindi kemudian dikembalikan ke timbunan sampah melalui ventilasi biogas tegak atau
langsung ke timbunan sampah.
d. Sanitary landfill with leachate treatment :
Lindi dikumpulkan melalui sistem pengumpul
Kemudian diolah secara lengkap seperti layaknya limbah cair
Pengolahan yang diterapkan bisa secara biologi maupun secara kimia.

4 PENGEMBANGAN LANDFILL

Pengembangan landfill mencakup berbagai langkah aktivitas, baik yang bersifat teknis, maupun
yang sifatnya non-teknis, seperti kesesuaian dengan regulasi terkait. Perencanaan yang
mengutamakan kehati-hatian oleh pengelola atau calon pengelola sangat penting
dikedepankan. Disamping permasalahan sosial dan lingkungan yang selalu menyertai aplikasi
landfill, pengembangan landfill membutuhkan investasi dana untuk periode waktu yang cukup
lama.
Elemen biaya yang harus menjadi pertimbangan adalah :
o Penentuan site, desain, analisis dampak lingkungan dan tahap konstruksi, paling tidak
dibutuhkan waktu 2 tahun
o Operasi, monitoring, dan administrasi : sesuai umur landfill
o Aktivitas penutupan : 1 sampai 2 tahun
o Monitoring dan pemeliharaan pasca-operasi : tergantung regulasi yang berlaku di
sebuah negara. Di Indonesia belum ada pengaturan untuk landfill sampah kota, tetapi
paling tidak diperlukan monitoring selama 5 tahun. Untuk landfill limbah B3, regulasi di
Indonesia mensyaratkan 30 tahun
o Kegiatan remediasi : perlu dilakukan untuk menyehatkan kembali site atau air tanah yang
tercemar.

Terdapat beberapa langkah yang dibutuhkan, yang dapat dikelompokkan menjadi 4 fase, yaitu:
o Fase-1 : penentuan site merupakan fase tahapan studi kelayakan, yang terdiri dari langkah-
1 sampai langkah-6, yaitu :
o Langkah-1 : estimasi volume landfill yang dibutuhkan
o Langkah-2 : investigasi dan pemilihan calon site
o Langkah-3 : penentuan regulasi yang terkait
o Langkah-4 : penilaian opsi landfill sebagai sumber enersi dan recoveri bahan
o Langkah-5 : pertimbangan penggunaan site pasca operasi
o Langkah-6 : penentuan kecocokan site
o Fase-2 : tahap desain dan analisis dampak lingkungan berdasarkan rancangan
aktivitas, terdiri dari langkah-7 sampai langkah 12
o Langkah-7 : desain area pengurugan dan pengembangan
o Langkah-8 : pengembangan rencana pengelolaan lindi
o Langkah-9 : pengembangan rencana monitoring lingkungan
o Langkah-10 : pengembangan rencana pengelolaan gas
o Langkah-11 : penyiapan spesifikasi tanah penutup o
Langkah-11 : penyiapan panduan pengoperasian
o Langkah-12 : analisa dampak lingkungan
o Fase-3 : tahapan pengoperasian, terdiri dari langkah-13 sampai langkah-14
o Langkah-13 : kajian finansial untuk rencana pengoperasian, jaminan penutupan dan
pasca operasi
o Langkah-14 : pengoperasian landfill dan monitoring aktivitas
o Fase-4 : tahapan pasca-operasi yang terdiri dari langkah-15 sampai langkah-16
o Langkah-15 : Penutupan landfill
o Langkah-16 : Pemantauan pasca operasi
5 DATA MINIMUM UNTUK PERANCANGAN LANDFILL

Sebagai acuan umum, perancangan landfilling sampah kota membutuhkan tertsedianya data
yang secara langsung maupun tidak langsung mendukung desain tersebut. Di bawah ini adalah
data yang hendaknya tersedia:

Data sekunder atau observasi langsung yang dibutuhkan:


a. Gambaran umum daerah studi, biasanya diperoleh berdasarkan data sekunder
dan/atau wawancara:
Aspek fisik, khususnya:
o Kondisi geografi;
o Aspek administrasi/pemerintahan kota;
o Kondisi topografi yang sifatnya regional, sementara togofrafi khusus (detail)
tapak site harus diukur secara langsung;
o Kondisi geologi secara umum, geomorfologi, litologi/stratigrafi;
o Kondisi iklim
o Kondisi hidrologi dan hidrogeologi secara umum atau regional.
Aspek tata-guna lahan/penggunaan lahan
Aspek kependudukan:
o Jumlah penduduk dan perkembangannya sesuai priode desain;
o Struktur penduduk;
o Penyebaran penduduk dan aktivitas kota lainnya;
Aspek prasarana-sarana kota yang tersedia:
o Jalan akses, daerah pemukiman sekitar, tata-air (badan-air), sumur-sumur air
minum di sekitar;
o Kaitkan pula dengan data sanitasi dan kondisi lingkungan setempat.
b. Pengelolaan persampahan secara umum, diperoleh berdasarkan laporan terdahulu dan
wawancara dengan pengelola sampah, disamping observasi yang bersifat umum:
Timbulan sampah: idealnya didasarkan atas pengukuran yang sistematis, bukan
berdasarkan asumsi yang diambil. Data tersebut dapat berasal dari data terakhir, tapi
mutahir (paling tidak 3 tahun sebelumnya) yang berasal dari suatu studi terdahulu yang
dilakukan secara sistematis selama 8 hari ber-turut. Sebaiknya data tersebut dikontrol
dengan melakukan pengukuran lapangan sendiri paling tidak 1 hari. Disarankan pula
bahwa data sekunder ini diperkuat dengan pengambilan sampel langsung di TPA, guna
lebih memahami pola dan fluktiuasi aliran sampah ke TPA.
Komposisi karakteristik sampah: sejalan dengan pendekatan penggunaan data
timbulan sampah di atas;
Struktur organosasi pengelola: nama instansi pengelola, alamat lengkap, status.
Fungsi pengelola:

Fungsi pengelola Ya tidak bila tidak :


sebutkan pengelolanya
Pengelola sampah kota
Pengelola sampah di pemukiman
Pengangkutan dari transfer ke TPA
Pengelola sampah komersil
Pengelola sampah pasar
Pengelola sampah industri
Penyapuan jalan
Kebersihan taman
Pengelola taman
Pengelola MCK umum
Pengelola kuburan umum
Pengelola krematorium
Pengelola drainase kota
Pengelola kebersihan sungai
Pengangkut bangkai binatang
Pengangkut limbah pohon
Pengangkut puing bangunan
Pemelihara kendaraan angkutan
Penentu pegawai baru dinas
kebers.
Penarik retribusi sampah
Melakukan training pegawai

Perangkat peraturan yang telah ada.


Tarif retribusi (Rp/unit satuan): rumah tangga, hotel, pasar, industry, sosial, lain-lain.
Pendapatan dan pengeluaran per tahun.
Pengeluaran:

Aktivitas Pewadahan Pengumpulan Pengangkutan TPA


Honor
Peralatan
Pemeliharaan
Bahan bakar
Administrasi
Lain-lain

Jumlah sumber daya manusia:

Jenis personel Adm Pen Peng Penga TPA Lain2 Jumlah


ya um ng
pua pulan kutan
Pimpinan n
Administrasi
Mandor
Supir
Teknisi
Lain-lain
Jumlah

Sistem pembiayaan seperti tipping fee, retribusi dan sejenisnya;


Pewadahan dan Pengumpulan:
oPelayanan daerah pemukiman (%): populasi dilayani, luas dilayani, dilayani
sistem pelayanan langsung, dilayani sistem pelayanan tidak langsung, institusi
pelaksana pelayanan.
o Pelayanan non-permukiman: jenis yang dilayani, jumlah yang dilayani, luas
dilayani, institusi pelaksana pelayanan dan lingkup pelayanannya.
Daerah pelayanan dan tingkat pelayanan;
Frekuensi pelayanan pengangkutan sampah:

Frekuensi % pelayanan pemukiman % pelayanan


non-
Setiap hari pemukiman
6 kali / minggu
3 - 5 kali / minggu
2 kali / minggu
1 kali / minggu
Tidak tentu

Timbulan sampah yang diangkut ke TPA:

Jenis limbah ton/hari m3/hari


Rumah tangga, institusi dan komersil
Taman, penyapuan jalan
Pembersihan saluran
Puing bangunan
Lain-lain
Jumlah

c. Penanganan landfill eksisting: data primer hasil observasi nyata (langsung) di lapangan
sangat diperlukan agar dapat merancang secara lebih baik penanganan landfill yang akan
datang; beberapa data yang perlu diperoleh antara lain adalah:
Sejarah, situasi lokasi lengkap dengan petanya, dsb
Tata cara pengoperasian: observasi secara tekun di lapangan, bagaimana tata-cara
penyiapan lahan aktif, penuangan sampah, aplikasi bahan penutup, dan sejenisnya;
Sarana pengendalian pencemaran yang ada (atau pernah ada). Evaluasi secara teliti
kinerjanya, dan lakukan sampling serta analisa di lab (misalnya lindi dan gas-bio);
Tata-cara operasi, sarana dan prasarana:

Nama TPA
Tahun mulai operasi
Tahun rencana ditutup
Luas area keseluruhan ha
Lua area efektif ha
Jumlah sampah diurug/hari m3
Jarak terhadap sentroid sampah km
Jarak terhadap pemukiman terdekat m
Metode pengurugan
Apa terdapat cara pengomposan (ya/tidak)
Jenis pengomposan
Jumlah sampah yang dikompos m3
Apa terdapat insinerator (ya/tidak)
Jenis insinerator
Jumlah sampah yang dibakar m3
Apa terdapat pembakaran liar (ya/tidak)
Apa terdapat hewan peliharaan (ya/tidak)
Apa terdapat pemulung (ya/tidak)
Apa aktivitas pemulung bersifat resmi
Lokasi TPA di sisi sungai
Lokasi TPA di daerah rawa
Lokasi TPA di tepi pantai
Lokasi TPA di lembah
Lokasi TPA di bekas pertambangan
Tanah penutup diangkut dari luar
Tanah penutup berasal dari luar (membeli)
Tanah penutup tersedia di TPA

Aktivitas daur-ulang dan pemulungan sampah di TPA;


Alat berat di TPA:

Alat berat Jumlah Kondisi Tahun


Baik Sedang Buruk
Tracked dozer (tractor)
Tracked loader
Wheeled dozer (buldozer)
Wheeled loader
Backhoe
Compactor
Lain-lain
Jembatan timbang: jenis, kapasitas, tahun, perlengkapan, kondisi;
Komposisi sampah masuk TPA: bila memungkinkan data primer selama 8 hari berturu-
turut, termasuk frekuensi dan pola tibanya truk di TPA;
Karakteristik sampah masuk TPA: pH, kadar air, total solid dan volatile, karbon organic,
N-Total Kjeldahl.
Data TPA lainnya:
Sarana/prasarana TPA lainnya:

Sarana/prasarana Keterangan
Jalan masuk permanen
Pagar
Pintu gerbang
Papan nama
Drainase keliling
Kantor
Jalan kerja permanen
Jalur hijau/zone penyangga
Listrik
Air bersih
Tanah penutup
Pelapis dasar
Ventilasi gas
Pipa pengumpul lindi
Pompa resirkulasi
Kolam penampung
Pengolah lindi
Pencuci kendaraan
Garasi
Bengkel
Laboratorium air
Gudang
Rumah petugas
Alat komunikasi
Pemadam kebakaran
Sumur pemantau pencemaran
Lain-lain

Masalah yang dijumpai di TPA:


Masalah Serius Tidak berat Tanpa masalah
Pencemaran air tanah
Lindi (sertakan analisa lab. bila ada)
Pemulung
Tanah penutup
Pengoperasian
Bau
Lalat
Pencemaran udara
Sampah berterbangan
Kebisingan
Api/kebakaran
Binatang / hewan
Lain-lain
Data pengukuran fisik langsung di lapangan:
Data utama yang harus tersedia bila sebuah site telah diputuskan sebagai lokasi pengurugan
sampah adalah data hidrologi, hidrogeologi, dan geoteknik. Pengukuran topografi secara detail
diserta inventarisasi kondisi yang ada di lapangan (bangunan, tanaman, sungai, mata-air, dan
sebagainya merupakan langkah awal untuk pengembangan site. Pembahasan lebih lanjut
tentang hal ini berada pada bagian berikutnya.

Data tambahan untuk landfill limbah industri:


Beberapa data tambahan untuk landfill limbah industri adalah tentang pengelolaan limbah
secara umum, khususnya yang terkait dg limbah yg akan ditangani, seperti :
Timbulan (generation) dan karakteristik limbah, khususnya terkait dengan masalah
leaching. Biasanya dilakukan uji laboratorium tehadap karakter fisik dan kimia. Juga
dilakukan uji solidifikasi andaikata nanti dibutuhkan proses S/S sebelum landfilling
Sarana dan prasaran penanganan limbah tsb saat ini
Teknik operasional yang selama ini digunakan

Anda mungkin juga menyukai