Anda di halaman 1dari 11

1.

Activated Sludge
A. Fungsi

Metode activated sludge ini dilakukan pada pengolahan air limbah sebelum dibuang ke
lingkungan. Pengolahan air limbah ini pada umumnya termasuk dalam pengolahan secara
biologi dimana activated sludge memanfaatkan mikroorganisme sebagai pengurai dari
material limbah yang masuk. Untuk proses ini mikroorganisme membutuhkan oksigen
agar memaksimalkan penguraian materi yang terkandung di dalam limbah. Proses yang
dimaksud adalah proses aerasi dimana oksigen ditambahkan kedalam air limbah yang
sudah dicampurkan dengan lumpur aktif. Di tahap secondary treatment air limbah akan
mengalami proses aerasi dimana air limbah dicampurkan dengan lumpur aktif dan
ditambahkan oksigen sebagai bahan utama untuk pertumbuhan dan perkembangan dari
mikroorganisme yang akan membantu proses penguraian limbah. Setelah itu lumpur aktif
akan terendap dan akan terlihat jelas batas antara lumpur dengan air. Sisa lumpur ini
disaring kembali dan ditampung untuk digunakan pada proses yang sama. Jadi lumpur
aktif ini dapat digunakan secara berulang-ulang sampai memasuki keadaan jenuh. Kita
dapat mengetahuinya dari perbedaan batas lumpur dengan air antara lumpur yang masih
baik digunakan atau lumpur yang telah jenuh. Lumpur yang masih layak digunakan akan
dipompakan kembali untuk air limbah yang lain dan dimasukkan kembali oksigen sebagai
bahan makanan utama mikroorganisme pengurai.

Lumpur aktif (activated sludge) adalah proses pertumbuhan mikroba tersuspensi. Proses
ini pada dasarnya merupakan pengolahan aerobik yang mengoksidasi material organik
menjadi CO2 dan H2O, NH4. dan sel biomassa baru. Proses ini menggunakan udara yang
disalurkan melalui pompa blower (diffused) atau melalui aerasi mekanik. Sel mikroba
membentuk flok yang akan mengendap di tangki penjernihan. Kemampuan bakteri dalam
membentuk flok menentukan keberhasilan pengolahan limbah secara biologi, karena akan
memudahkan pemisahan partikel dan air limbah. Lumpur aktif dicirikan oleh beberapa
parameter, antara lain, Indeks Volume Lumpur (Sludge Volume Index = SVI) dan Stirred
Sludge Volume Index (SSVI).

Bak pengendap awal berfungsi untuk menurunkan padatan tersuspensi (Suspended Solids)
sekitar 30 - 40 %, serta, BOD sekitar 25 %. Air limpasan dari bak pengendap awal dialirkan
ke bak aerasi secara gravitasi. Di dalam bak aerasi ini air limbah dihembus dengan udara
sehingga mikro organisme yang ada akan menguraikan zat organik yang ada dalam air
limbah. Energi yang didapatkan dari hasil penguraian zat organik tersebut digunakan oleh
mikrorganisme untuk proses pertumbuhannya. Dengan demikian didalam bak aerasi
tersebut akan tumbuh dan berkembang biomasa dalam jumlah cukup besar. Biomasa atau
mikroorganisme inilah yang akan menguraikan senyawa polutan yang ada di dalam air
limbah.

Gambar 1 ilustrasi Activated Sludge

(Sumber: http://www.sswm.info/category/implementation-tools/wastewater-
treatment/hardware/semi-centralised-wastewater-treatments-3)

B. Kekurangan dan Kelebihan


Kekurangan Kelebihan
Membutuhkan energi yang besar dan Baik untuk mereduksi nutrient
membutuhkan sumber elektrik yang
konstan
Biaya investasi dan operasi besar Kualitas effluent yang baik
Membutuhkan ahli untuk operasi dan Kebutuhan lahan minim dibandingkan
pemeliharaan dengan natural system
Tidak sesuai untuk diaplikasikan pada Dapat dimodifikasi ketika dihadapkan
skala kawasan pada debit spesifik
Membutuhkan desain dan konstruksi yang
ahli

C. Kriteria Desain
Parameter yang umum digunakan dalam lumpur aktif (Davis dan Cornwell, 1985;
Verstraete dan van Vaerenbergh, 1986) adalah sebagai berikut:
Variabel perencanan (design variabel) yang umum digunakan dalam proses pengolahan ah
limbah dengan sistem lumpur aktif (Davis dan Cornweell, 1985; Yerstraete dan van
Yaerenbergh, 1986) adalah sebagai berikut:
a. Mixed-liqour suspended solids (MLSS). Isi tangki aerasi dalam sistem lumpur aktif
disebut sebagai mixed liqour yang diterjemahkan sebagai lumpur campuran. MLSS
adalah jumlah total dari padatan tersuspensi yang berupa material organik dan mineral,
termasuk didalamnya adalah mikroorganisma. MLSS ditentukan dengan cara
menyaring lumpur campuran dengan kertas saring (filter), kemudian filter dikeringkan
pada temperatur 1050C, dan berat padatan dalam contoh ditimbang.
b. Mixed-liqour volatile suspended solids (MLVSS). Porsi material organik pada MLSS
diwakili oleh MLVSS, yang berisi material organik bukan mikroba, mikroba hidup dan
mati, dan hancuran sel (Nelson dan Lawrence, 1980). MLVSS diukur dengan
memanaskan terus sampel filter yang telah kering pada 600 - 6500C, dan nilainya
mendekati 65-75% dari MLSS.
c. Food - to - microorganism ratio (F/M Ratio). Parameter ini merupakan indikasi beban
organik yang masuk kedalam sistem lumpur aktif dan diwakili nilainya dalam kilogram
BOD per kilogram MLSS per hari (Curds dan Hawkes, 1983; Nathanson, 1986).
Adapun formulasinya sebagai berikut :
5 (0 )
= =

Dimana
Q = laju air limbah (m3/hari)
MLSS = mixed liquor suspended solid (kg/m3)
S0 = Konsentrasi BOD didalam air limbah yang masuk ke bak aerasi (kg/m3)
S = Konsentrasi BOD didalam effluent (kg/m3)
V = volume tangki areasi (m3)
Rasio F/IvI dapat dikontrol dengan cara mengatur laju sirkulasi lumpur aktif dari bak
pengendapan akhir yang disirkulasi ke bak aerasi. lebih tinggi laju sirkulasi lumpur
aktif lebih tinggi pula rasio F/M-nya. Untuk pengolahan air limbah dengan sistem
lumpur aktif konvensiooal atau standar, rasio F/M adalah 02 - 0,5 kg BOD5 per kg
MLSS per hari, tetapi dapat lebih tinggi hingga 1,5 jika digunakan oksigen murni
(Hammer, 1986). Rasio F/M yang rendah menunjukkan bahwa mikroorganisme dalam
tangki aerasi dalam kondisi lapar, semakin rendah rasio F/M pengolah limbah semakin
efisien.
d. Hidraulic retention time (HRT). Waktu tinggal hidraulik (HRT) adalah waktu rata-rata
yang dibutuhkan oleh larutan influent masuk dalam tangki aerasi untuk proses lumpur
aktif; nilainya berbanding terbalik dengan laju pengenceran (D) (Sterritt dan Lester,
1988).
1
= =

Dimana:
V = Volume tangki aerasi (m3)
D = Laju pengenceran (1/jam)
Q = Laju infuluent air limbah dalam tangki aerasi (m3/jam)
e. Umur lumpur (Sludge age). Umur lumpur adalah waktu tinggal rata-rata
mikroorganisme dalam sistem. Jika HRT memerlukan waktu dalam jam, maka waktu
tinggal sel mikroba dalam tangki aerasi dapat dalam hari lamanya. Parameter ini
berbanding terbalik dengan laju pertumbuhan mikroba. Umur lumpur dihitung dengan
formula sebagai berikut (Hammer, 1986; Curds dan Hawkes, 1983) :

() =
( ) + ( )
Dimana :
MLSS = mixed liquor suspended solid (mg/l)
V = Volume tangki aerasi (liter)
SSe = Padatan tersuspensi dalam effluent (mg/l)
SSw = Padatan tersuspens dalam lumpur limbah (mg/l)
Qe = laju effluent limbah (m3/hari)
Qw = laju inffluent limbah (m3/hari)

Umur lumpur dapat bervariasi antara 5 - 15 hari dalam konvensional lumpur aktif. Pada
musim dingin lebih lama dibandingkan musim panas (U.S. EPA, 1987a). Parameter
penting yang mengendalikan operasi lumpur aktif adalah laju pemuatan organik, suplay
oksigen, dan pengendalian dan operasi tangki pengendapan akhir. Tangki ini
mempunyai dua fungsi, yaitu sebagai penjernih dan penggemukan mikroba atau
pemekatan lumpur. Untuk operasi rutin, orang harus mengukur laju pengendapan
lumpur dengan menentukan indeks volume lumpur (SVI). (Voster dan Johnston, 1987)

f. Beban BOD (BOD Loading rate atau Volumetry Loading Rate). Beban BOD adalah
jumlah massa BOD di dalam air limbah yang masuk (influent) dibagi dengan volume
reaktor. Beban BOD dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :

( 3
. ) =

Dimana
Q = debit air limbah yang masuk (m3/hari)
So = Konsentrasi BOD di dalam air limbah yang masuk (kg/m3)
V = Volume reaktor (m3)

Campuran air limbah dan lumpur (mixed liqour) dipindahkan dari tangka aerasi ke bak
pengendapan akhir. Di dalam bak pengendapan akhir ini, lumpur yang mengandung
mikroorganisme yang masih aktif dipisahkan dari air limbah yang telah diolah. Sebagian
dari lumpur yang masih aktif ini dikembalikan ke bak aerasi dan sebagian lagi dibuang dan
dipindahkan ke pengolahan lumpur. Sel-sel mikroba terjadi dalam bentuk agregat atau
flok, densitasnya cukup untuk mengendap dalam tangki penjernih. Pengendapan lumpur
tergantung ratio F/M dan umur lumpur. Pengendapan yang baik dapat terjadi jika lumpur
mikrorganisme berada dalam fase endogercous, yang terjadi jika karbon dan sumber energi
tertatas dan jika pertumbuhan bakteri rendah. Pengendapan lumpur yang baik dapat terjadi
pada rasio F/M yang rendah (contoh : tingginya konsentrasi MLSS). Sebaliknya Rasio F/M
yang tinggi mengakibatkan pengendapan lumpur yang buruk. Dalam air limbah domestik
rasio F/M yang optimum antara 0,2 - 0,5 (Gaudy, 1988; Hammer, 1986), Rata-rata waktu
tinggal sel yang diperlukan untuk pengendapan yang efektif adalah 3 - 4 hari (Metcalf dan
Eddy, 1991). Pengendapan yang tidak baik dapat terjadi akibat gangguan yang tiba-tiba
pada parameter fisik (suhu dan pH), kekurangan makanan (contoh N, suhu mikro nutrien),
dan kehadiran zat racun (seperti logam berat) yang dapat menyebabkan hancurnya
sebagian flok yang sudah terbentuk (Chudoba, 1989). Untuk operasi rutin, operator harus
mengukur laju pengendapan lumpur dengan menentukan indeks volume lumpur (sludge
volume index, SVI), Voster dan Johnston, 1987.

Cara konvensional untuk mengamati kemampuan pengendapan lumpur adalah dengan


menentukan Indeks Volume Sludge (Sludge Volume Index = SVI. Caranya adalah sebagai
berikut ; campuran lumpur dan air limbah (mixed liquor) dari bak aerasi dimasukkan dalam
silinder kerucut volume 1 liter dan dibiarkan selama 30 menit. Volume sludge dicatat. SVI
adalah menunjukkan besamya volume yang ditempati 1 gram lumpur (sludge). SVI dapat
dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

SVI (ml/g) = (SV x 1000)/MLSS milliliter per gram

dimana :

SV = Volume endapan lumpur di dalam silinder kerucut setelah 30 menit


pengendapan(ml).

MLSS = mixed liqour suspended solid (mg/l).

Di dalam unit pengolahan air limbah dengan sistem lumpur aktif konvensional dengan
MLSS < 3 500 mg/l) nilai SVI yang normal berkisar antara 50 150 ml/g.

2. Oxidation Ditch
A. Fungsi
Sistem oksidasi parit terdiri dari bak aerasi berupa parit atau saluran yang berbentuk oval
yang dilengkapi dengan satu atau lebih rotor rotasi untuk aerasi limbah. Saluran atau parit
tersebut menerima limbah yang telah disaring dan mempunyai waktu tinggal hidraulik
(hidraulic retention time) mendekati 24 jam. Proses ini umumnya digunakan untuk
pengolahan air limbah domestik untuk komuditas yang relatif tecil dan memerlukan lahan
yang cukup besar. Cara kerja dari oxidation ditch adalah air limbah diskrin terlebih dahulu
dengan coarse screen dan dikominusi dengan comminutor agar ranting dan sampah
menjadi berukuran kecil dan dapat disisihkan. Setelah itu air limbah dialirkan ke dalam
grit chamber untuk penyisihan pasir. Tahap selanjutnya adalah primary settling tank yang
berfungsi mengendapkan partikel yang lolos dari grit chamber. Efluen settling tank ini
selanjutnya masuk ke parit oksidasi. Pada setiap unitnya, air limbah selalu mengalami
pengenceran (dilusi) otomatis ketika kembali mengalir melewati bagian inlet. Faktor dilusi
ini bisa mencapai nilai 20 s.d 30 sehingga nyaris teraduk sempurna meskipun bentuk
baknya mendukung aliran plug flow, yakni hanya teraduk pada arah radial saja dengan
aliran yang searah (unidirectional). Influennya serta merta bercampur dengan air limbah
yang sudah dioksigenasi dan mengalami fase kekurangan oksigen. Pengulangan ini
berlangsung terus-menerus selama pengoperasian parit oksidasi.
B. Kekurangan dan Kelebihan
Kekurangan Kelebihan
Membutuhkan lahan yang luas Biaya rendah karena maintenance
sederhana
Efisiensi penurunan zat organik sangat Effluent stabil
terbatas, (influen + 200 mg/lt BOD, efluen
+ 50 mg/l BOD) dan masih mengandung
zat padat tersuspensi yang tinggi dari
adanya algae (100 200 mg/l)
Umumnya digunakan untuk pengolahan Efisiensi removal BOD/COD tinggi (90-
limbah skala kecil 95%)
Reaktor sebagai penyuplai oksigen harus Operasional sederhana
dibersihkan periodik
Efisiensi tidak stabil (menurun pada malam Pengolahan sludge lebih sederhana karena
hari) karena proses fotosintesa berhenti yang dihasilkan relative sedikit dan stabil
Memungkinkan terjadinya proses
nitrifikasi dan denitrifikasi

C. Kriteria Desain
Removal Ability Oxidation :
1. Rasio BOD dan BOD removal = 85 % -90%
2. Rasio removal SS = 80% -90%
3. Rasio removal Nitrogen = 70%
4. Rasio sludge generated sekitar 75 % dari BOD atau SS removal
Pertimbangan Desain Oxidation Ditch
1. Letak aerator = pada kedalaman 1,0 - 1,3 meter
2. Udara dari atmosfer menggunakan tekanan negatif dalam air untuk memutar screw
3. Kecepatan rata-rata dalam saluran minimum = 0,3 m/detik untuk menjaga
terjadinya pengebndapan dalam aerasi
4. Dilakukan resirkulasi u/ menjaga konsentrasi MLSS dalam bak aerasi
5. Konsentrasi lumpur dalam bak aerasi = 3000 6000 mg/L
6. Rasio F/M = 0,03 0,15 kg BOD / hari / Kg VSS
Tabel 1 Kriteria Desain Oxidation Ditch

(Sumber: https://www.scribd.com/doc/241701746/Oxidation-Ditch )

3. UASB
A. Fungsi
UASB adalah proses pengolahan air limbah atau air buangan secara anaerobik (tanpa
oksigen). Alat ini berfungsi untuk mengurangi tingkat pencemaran air limbah dengan
menggunakan bantuan mikroorganisme dalam mengurangi bahan organik. Bakteri yang
digunakan adalah Methanothrix dan Methanosarcina sp. Proses penguraian anaerobik ini
akan menghasilkan gas metana dan karbon dioksida
Air limbah akan masuk mulai dari bagian bawah reaktor lalu dialirkan secara vertikal
keatas dengan kecepatan alir 13 m3/jam. Air limbah pertama kali akan melewati suatu
lapisan yang dinamakan slude bed. Air limbah yang melewati sludge bed akan mengalami
kontak secara langsung dengan bakteri anaerob yang berbentuk butiran atau granul yang
menyusun sludge bed tersebut. Hasil kontak air limbah dengan bakteri anaerob ini akan
mengurikan/mendekomposisi bahan organik yang terdapat pada air limbah dan akan
menghasilkan gas metana dan karbon dioksida atau biogas. Proses pembentukan biogas
dapat dibagi menjadi 4 tahap yaitu : hidrolisis, acidogenesis, asetogenesis atau
dehidrogenesis dan metanogenesis (Sorensen, 2004)
Gambar 2 ilustrasi UASB

(Sumber: http://water.lecture.ub.ac.id/files/2012/03/Limbah-modul_3.pdf )

Upflow anaerobic sludge blanket (UASB) merupakan sistem pengolahan anaerobik di


mana air limbah masuk dengan memanfaatkan aliran ke atas. Pengaliran air limbah
tersebut menyebabkan terjadi kontak antara air limbah dengan lumpur sehingga terbentuk
lumpur endapan. Upflow anaerobic sludge blanket (UASB) memiliki tiga zona yang terdiri
dari zona pengendapan, zona transisi, dan digestion zone. Volume zona pengendapan
sebesar 15% - 20% dari volume total reaktor. Kriteria desain yang diperhatikan dalam
perencanaan unit UASB adalah:
a. Organik loading rate (OLR) = (5 15) kgCOD/m3.hari
b. Hydraulic retention time (HRT) = (4 8) jam
c. Upflow velocity (vup) = (0,8 1,25) m/jam
B. Kekurangan dan Kelebihan
Kekurangan Kelebihan
Waktu detensi lebih rendah untuk skala
anaerobik
Beban loading tinggi
Tidak perlu suplai oksigen
Dapat meremoval PO4 (fosfat) dan NH3
(Nitrat) menjadi gas N2 melalui proses
denitrifikasi

C. Kriteria Desain
Parameter Kriteria Desain (Range)
Efisiensi removal TSS (%) 90-95
Tinggi reactor (m) 6-10
Upflow velocity (m/jam) 1-3
Waktu detensi (jam) 4-8
Volumetric loading (kg.COD/m3.d) 15-24
SRT tanpa recyc;e (hari) >10
SRT recycle 87,5% (hari) >10

Referensi

Djabu Udin dkk, Pedoman Bidang Studi Pembuangan Tinja dan Air Limbah pada Institusi
Pendidikan Sanitasi / Kesehatan Lingkungan, Depkes RI, Jakarta, 1990.

Djajadiningrat Asis Prof.Dr.Ir.KRT, Pencemaran Lingkungan, Pengelolaan Lingkungan dan


Teknologi Penanganannya, Direktorat Teknologi Lingkungan Deputi TIEML BPPT, Jakarta, 2000.

Droste Ronald L, Theory and Practice of Water and Waste Water Treatment, John Wiley & Sons
Inc, New York, 1994.

Pusat Informasi Teknik Bangunan, Pembuangan air kotor & kotoran melalui septicktank (leaflet),
Proyek Perumahan Rakyat & Penataan Bangunan, Yogyakarta, 2003

A. van Haandel, M.T. Kato, P. F. Cavalcanti, dan L. Florencio,Anaerobic Reactor Design Concepts
for The Treatment of Domestic Wastewater, Journal of Reviews in Environmental Science and

Bio/Technology, 5 (2006) 21 38.

[7] D. Mara, Domestic Wastewater Treatment in Developing Countries. London: Earthscan (2004).

U.S. EPA (1999): Sequencing Batch Reactors. (= Wastewater Technology Fact Sheet, EPA 832-F-
99-073). United States Environment Protection Agency (U.S. EPA). See document in SPANISH
U.S. EPA (Editor) (2000): Oxidation Ditches. (= Wastewater Technology Fact Sheet, EPA 832-F-00-
013). United States Environment Protection Agency. URL [Accessed: 18.01.2011].

U.S.EPA (Editor) (1980): Onsite Wastewater Treatment Systems Manual. (= EPA 625/1-80, 12).
United States Environmental Protection Agency, Office of Water Office of Research and
Development.

UNEP (Editor) (2004): A Directory of Environmentally Sound Technologies for the Integrated
Management of Solid, Liquid and Hazardous Waste for SIDS in the Caribbean Region. Nairobi:
United Nations Environment Programme Global Programme of Action (UNEP-GPA)) and Caribbean
Environmental Health Institute (CEHI).

http://www.sswm.info/category/implementation-tools/wastewater-treatment/hardware/semi-
centralised-wastewater-treatments-3

http://water.lecture.ub.ac.id/files/2012/03/Limbah-modul_3.pdf

http://www.kelair.bppt.go.id/Sitpa/Artikel/Tekstil/tekstil.html

http://ejurnal.its.ac.id/index.php/teknik/article/viewFile/17095/3136

https://www.scribd.com/doc/241701746/Oxidation-Ditch

Anda mungkin juga menyukai