BAB I
PENDAHULUAN
Akalasia esofagus, atau dikenal juga dengan nama Simple ectasia, Kardiospasme,
Megaesofagus, Dilatasi esofagus difus tanpa stenosis atau Dilatasi esofagus
idiopatik adalah suatu gangguan neuromuskular. Istilah achalasia berarti gagal
untuk mengendur dan merujuk pada ketidakmampuan dari lower esophageal
sphincter (cincin otot antara esophagus bagian bawah dan lambung) untuk
membuka dan membiarkan makanan lewat kedalam lambung. Kegagalan relaksasi
batas esofagogastrik pada proses menelan ini menyebabkan dilatasi bagian
proksimal esofagus tanpa adanya gerak peristaltik. Penderita akalasia merasa perlu
mendorong atau memaksa turunnya makanan dengan air atau minuman guna
menyempurnakan proses menelan. Gejala lain dapat berupa rasa penuh substernal
dan umumnya terjadi regurgitasi.1,2
Akalasia mulai dikenal oleh Thomas Willis pada tahun 1672. Mula-mula diduga
penyebabnya adalah sumbatan di esofagus distal, sehingga dia melakukan dilatasi
dengan tulang ikan paus dan mendorong makanan masuk ke dalam lambung. Pada
tahun 1908 Henry Plummer melakukan dilatasi dengan kateter balon. Pada tahun
1913 Heller melakukan pembedahan dengan cara kardiomiotomi di luar mukosa
yang terus dianut sampai sekarang.1,2,3 Namun, Penyebab dari achalasia ini masih
belum diketahui dengan pasti. Teori-teori atas penyebab akalasia pun mulai
bermunculan seperti suatu proses yang melibatkan infeksi, kelainan atau yang
diwariskan (genetik), sistim imun yang menyebabkan tubuh sendiri untuk merusak
esophagus (penyakit autoimun), dan proses penuaan (proses degeneratif).4,5
Achalasia merupakan salah satu penyakit yang jarang terjadi. Prevalensi akalasia
esophagus sekitar 10 kasus per 100.000 populasi di mana rasio kejadian penyakit
ini sama antara laki-laki dengan perempuan yaitu 1 : 1. Menurut penelitian,
distribusi umur pada akalasia biasanya sering terjadi antara umur kelahiran sampai
dekade ke-9, tapi jarang terjadi pada 2 dekade pertama (kurang dari 5% kasus
didapatkan pada anak-anak). Umur rata-rata pada pasien orang dewasa adalah 25-
60 tahun.1,3
Walaupun penyakit ini jarang terjadi tapi kita harus bisa mengenali dan mengatasi
penyakit ini karena komplikasi yang ditimbulkan dari penyakit ini sangat
mengancam nyawa seperti obstruksi saluran pernapasan sampai sudden death.
Oleh karena itu, sangat penting bagi kita untuk mengetahui penegakan diagnosis
Akalasia esofagus. Diagnosis Akalasia Esofagus ditegakkan berdasarkan gejala
klinis, gambaran radiologik, esofagoskopi dan pemeriksaan manometrik.1 Sifat
terapi pada akalasia hanyalah paliatif, karena fungsi peristaltik esofagus tidak dapat
dipulihkan kerabali. Terapi dapat dilakukan dengan memberi diet tinggi kalori,
medikamentosa, tindakan dilatasi, psikoterapi, dan operasi esofagokardiotomi
(operasi Heller).2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Akalasia esofagus, atau dikenal juga dengan nama Simple ectasia, Kardiospasme,
Megaesofagus, Dilatasi esofagus difus tanpa stenosis atau Dilatasi esofagus
idiopatik adalah suatu gangguan neuromuskular. Istilah achalasia berarti gagal
untuk mengendur dan merujuk pada ketidakmampuan dari lower esophageal
sphincter (cincin otot antara esophagus bagian bawah dan lambung) untuk
membuka dan membiarkan makanan lewat kedalam lambung.1
B. Anatomifisiologi
Dinding esofagus terdiri dari 3 lapisan yaitu : mukosa yang merupakan epitel
skuamosa, submukosa yang terbuat dari jaringan fibrosa elastis dan merupakan
lapisan yang terkuat dari dinding esofagus, otot-otot esofagus yang terdiri dari otot
sirkuler bagian dalam dan longitudinal bagian luar dimana 2/3 bagian atas dari
esofagus merupakan otot skelet dan 1/3 bagian bawahnya merupakan otot
polos.1,4,5
Pada bagian leher, esofagus menerima darah dari a. karotis interna dan trunkus
tyroservikal. Pada bagian mediastinum, esofagus disuplai oleh a. esofagus dan
cabang dari a. bronkial. Setelah masuk ke dalam hiatus esofagus, esofagus
menerima darah dari a. phrenicus inferior, dan bagian yang berdekatan dengan
gaster di suplai oleh a. gastrica sinistra. Darah dari kapiler-kapiler esofagus akan
berkumpul pada v. esofagus, v. thyroid inferior, v. azygos, dan v. gastrica.1,4,5
Esofagus diinervasi oleh persarafan simpatis dan parasimpatis (nervus vagus) dari
pleksus esofagus atau yang biasa disebut pleksus mienterik Auerbach yang terletak
di antara otot longitudinal dan otot sirkular sepanjang esofagus.1,4,5 Esofagus
mempunyai 3 bagian fungsional. Bagian paling atas adalah upper esophageal
sphincter (sfingter esofagus atas), suatu cincin otot yang membentuk bagian atas
esofagus dan memisahkan esofagus dengan tenggorokan. Sfingter ini selalu
menutup untuk mencegah makanan dari bagian utama esofagus masuk ke dalam
tenggorokan. Bagian utama dari esofagus disebut sebagai badan dari esofagus,
suatu saluran otot yang panjangnya kira-kira 20 cm. Bagian fungsional yang ketiga
dari esofagus yaitu lower esophageal sphincter (sfingter esophagus bawah), suatu
cincin otot yang terletak di pertemuan antara esofagus dan lambung. Seperti
halnya sfingter atas, sfingter bawah selalu menutup untuk mencegah makanan dan
asam lambung untuk kembali naik/regurgitasi ke dalam badan esofagus. Sfingter
bagian atas akan berelaksasi pada proses menelan agar makanan dan saliva dapat
masuk ke dalam bagian atas dari badan esofagus. Kemudian, otot dari esofagus
bagian atas yang terletak di bawah sfingter berkontraksi, menekan makanan dan
saliva lebih jauh ke dalam esofagus. Kontraksi yang disebut gerakan peristaltik ini
akan membawa makanan dan saliva untuk turun ke dalam lambung. Pada saat
gelombang peristaltik ini sampai pada sfingter bawah, maka akan membuka dan
makanan masuk ke dalam lambung.5
Esofagus berfungsi membawa makanan, cairan, sekret dari faring ke gaster melalui
suatu proses menelan, dimana akan terjadi pembentukan bolus makanan dengan
ukuran dan konsistensi yang lunak, proses menelan terdiri dari tiga fase yaitu :
1. Fase oral, makanan dalam bentuk bolus akibat proses mekanik bergerak pada
dorsum lidah menuju orofaring, palatum mole dan bagian atas dinding posterior
faring terangkat.
2. Fase pharingeal, terjadi refleks menelan (involuntary), faring dan laring bergerak
ke atas oleh karena kontraksi m. Stilofaringeus, m. Salfingofaring, m. Thyroid dan
m. Palatofaring, aditus laring tertutup oleh epiglotis dan sfingter laring.
C. Epidemiologi
Prevalensi akalasia sekitar 10 kasus per 100.000 populasi. Namun, hingga sekarang,
insidens penyakit ini telah cukup stabil dalam 50 tahun terakhir yaitu sekitar 0,5
kasus per 100.000 populasi per tahun. Rasio kejadian penyakit ini sama antara laki-
laki dengan perempuan. Menurut penelitian, distribusi umur pada akalasia biasanya
sering terjadi antara umur kelahiran sampai dekade ke-9, tapi jarang terjadi pada 2
dekade pertama (kurang dari 5% kasus didapatkan pada anak-anak). Umur rata-
rata pada pasien orang dewasa adalah 25-60 tahun.1,3
D. Etiologi
Penyebab penyakit ini sampai sekarang belum diketahui. Hanya pada penyakit
Chagas, penyebabnya telah diketahui.7 Secara histologik, ditemukan kelainan
berupa degenerasi sel ganglion plexus Auerbach sepanjang esofagus pars torakal.
Dari beberapa data disebutkan bahwa faktor-faktor seperti herediter, infeksi,
autoimun, dan degeneratif adalah kemungkinan penyebab dari akalasia.1,2,3,4,5
1. Teori Genetik
Temuan kasus akalasia pada beberapa orang dalam satu keluarga telah mendukung
bahwa akalasia kemungkinan dapat diturunkan secara genetik. Kemungkinan ini
berkisar antara 1 % sampai 2% dari populasi penderita akalasia.
2. Teori Infeksi
3. Teori Autoimun
Penemuan teori autoimun untuk akalasia diambil dari beberapa somber. Pertama,
respon inflamasi dalam pleksus mienterikus esofagus didominasi oleh limfosit T
yang diketahui berpefan dalam penyakit autoimun. Kedua, prevalensi tertinggi dari
antigen kelas II, yang diketahui berhubungan dengan penyakit autoimun lainnya.
Yang terakhir, beberapa kasus akalasia ditemukan autoantibodi dari pleksus
mienterikus.
4. Teori Degeneratif
E. Patofisiologi
1. Neuropatologi
Saraf eferen dari n. vagus, dengan badan-badan selnya di nukleus motoris dorsalis,
menstimulasi relaksasi dari LES dan gerakan peristaltik yang merupakan respon dari
proses menelan. Dengan mikroskop cahaya, serabut saraf vagus terlihat normal
pada pasien akalasia. Namun demikian, dengan menggunakan mikroskop elektron
ditemukan adanya degenerasi Wallerian dari n. vagus dengan disintegrasi dari
perubahan aksoplasma pada sel-sel Schwann dan degenarasi dari sehlbung myehn,
yang merupakan perubahan-perubahan yang serupa dengan percobaan transeksi
saraf.1
Pada muskularis propria, khususnya pada otot polos sirkuler biasanya menebal pada
pasien akalasia. Goldblum mengemukakan secara mendetail beberapa kelainan otot
pada pasien akalasia setelah proses esofagektomi. Hipertrofi otot muncul pada
semua kasus, dan 79% dari specimen memberikan bukti adanya degenerasi otot
yang biasanya melibatkan fibrosis tapi tennasuk juga nekrosis likuefaktif, perubahan
vakuolar, dan kalsifikasi distrofik. Disebutkan juga bahwa perubahan degeneratif
disebabkan oleh otot yang memperbesar suplai darahnya oleh karena obstruksi
yang lama dan dilatasi esofagus. Kemungkinan lain menyebutkan bahwa hipertrofi
otot merupakan reaksi dari hilangnya persarafan.1
Kelainan mukosa, di perkirakan akibat sekunder dari statis luminal kronik yang telah
digambarkan pada akalasia. Pada semua kasus, mukosa skuamosa dari penderita
akalasia menandakan hiperplasia dengan papillamatosis dan hiperplasia sel basal.
Rangkaian p53 pada mukosa skuamosa dan sel CD3+ selalu melebihi sel CD20+,
situasi ini signifikan dengan inflamasi kronik, yang kemungkinan berhubungan
dengan tingginya resiko karsinoma sel skuamosa pada pasien akalasia.1
Fungsi otot skelet pada proksimal esofagus dan spingter esofagus atas terganggu
pada pasien akalasia. Meskipun peristaltik pada otot skelet normal tetapi amplitude
kontraksi peristaltik mengecil. Massey dkk. juga melaporkan bahwa refleks sendawa
juga terganggu. Ini menyebabkan esofagus berdilatasi secara masif dan obstruksi
jalan napas akut.
7. Kelainan Neurofisiologik
F. Gambaran Klinis
Akalasia biasanya mulai pada dewasa muda walaupun ada juga yang ditemukan
pada bayi dan sangat jarang pada usia lanjut. Biasanya gejala yang ditemukan
adalah
1. Disfagia merupakan keluhan utama dari penderita Akalasia. Disfagia dapat terjadi
secara tiba-tiba setelah menelan atau bila ada gangguan emosi. Disfagia dapat
berlangsung sementara atau progresif lambat. Biasanya cairan lebih sukar ditelan
dari pada makanan padat.
2. Regurgitasi dapat timbul setelah makan atau pada saat berbaring. Sering
regurgitasi terjadi pada malam hari pada saat penderita tidur, sehingga dapat
menimbulkan pneumonia aspirasi dan abses paru.
3. Rasa terbakar dan Nyeri Substernal dapat dirasakan pada stadium permulaan.
Pada stadium lanjut akan timbul rasa nyeri hebat di daerah epigastrium dan rasa
nyeri ini dapat menyerupai serangan angina pektoris.
5. Gejala lain yang biasa dirasakan penderita adalah rasa penuh pada substernal
dan akibat komplikasi dari retensi makanan.1,2,3,8,9,10
G. Diagnosis
1. Pemeriksaan Radiologik
2. Pemeriksaan Esofagoskopi
3. Pemeriksaan Manometrik
H. Penatalaksanaan
Sifat terapi pada akalasia hanyalah paliatif, karena fungsi peristaltik esofagus tidak
dapat dipulihkan kembali. Terapi dapat dilakukan dengan memberi diet tinggi kalori,
medikamentosa, tindakan dilatasi, psikoterapi, dan operasi esofagokardiotomi
(operasi Heller).2
a. Terapi Medikasi
c. Pneumatic Dilatation
2. Terapi Bedah
2. Bronkhitis
3. Pneumonia aspirasi
4. Abses paru
5. Divertikulum
6. Perforasi esofagus
8. Sudden death.
J. Prognosis
KESIMPULAN
Akalasia esofagus, atau dikenal juga dengan nama Simple ectasia, Kardiospasme,
Megaesofagus, Dilatasi esofagus difus tanpa stenosis atau Dilatasi esofagus
idiopatik adalah suatu gangguan neuromuskular. Istilah achalasia berarti gagal
untuk mengendur dan merujuk pada ketidakmampuan dari lower esophageal
sphincter (cincin otot antara esophagus bagian bawah dan lambung) untuk
membuka dan membiarkan makanan lewat kedalam lambung. Kegagalan relaksasi
batas esofagogastrik pada proses menelan ini menyebabkan dilatasi bagian
proksimal esofagus tanpa adanya gerak peristaltik.
Akalasia biasanya mulai pada dewasa muda walaupun ada juga yang ditemukan
pada bayi dan sangat jarang pada usia lanjut. Biasanya gejala yang ditemukan
adalah disfagia, regurgitasi, rasa terbakar dan nyeri substernal, penurunan berat
badan dan rasa penuh pada substernal.
Sifat terapi pada akalasia hanyalah paliatif, karena fungsi peristaltik esofagus tidak
dapat dipulihkan kembali. Terapi dapat dilakukan dengan memberi diet tinggi kalori,
medikamentosa, tindakan dilatasi, psikoterapi, dan operasi esofagokardiotomi
(operasi Heller). Pembedahan memberikan hasil yang lebih baik dalam
menghilangkan gejala pada sebagian besar pasien dan seharusnya lebih baik
dilakukan daripada pneumatic dilatation apabila ada ahli bedah yang tersedia.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ritcher, I.E. 1999. Achalasia. In: Castell, D. O, Ritcher, I.E. The Esophagus, 4th
edition. Lippincott Williams and Wilkins. Philadelphia. Pg. 6-221
2. Siegel, G. Leighton. 1998. Penyakit Jalan Napas Bagian Bawah, Esofagus dan
Mediastinum Pertimbangan Endoskopik. Dalam: Adams, G. L., Boies, Lawrence R.,
Higler, P. A. BOIES Buku Ajar Penyakit THT, edisi 6. Jakarta. EGC. Hal. 4-462
3. Sjamsuhidajat. 1997. Wim de Jong Buku Ajar Itmu Bedah. EGC. Jakarta. Hal. 9-676
4. D., Emslie, Smith, et all. 1988. Textbook of Physiology, 11th edition. Churchill
Livingstone, English Language Book Society. London. Pg. 52-239
5. Soepardi, A. Efiaty, Iskandar, Nurbaiti. 2001. Akalasia. Dalam: Buku Ajar llmu
Kesehatan Telinga-Hidung-Tenggorok Kepala Leher. Fakultas Kedokteran UI. Jakarta.
Hal: 2-240
7. Nelson. 2005. Ilmu Kesehatan Anak Volume 2. EGC. Jakarta. Hal. 1298
8. Ismail, Ali. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid ll. Edisi Ketiga. Balai Penerbit
FKUI. Jakarta. Hal. 320-322
12. Caffey, John. 1973. Pediatric X-ray Diagnosis Volume 2. Year Book Medical
Publisher Incorporated. Chicago. USA. Hal. 1696-1673
13. Goyal, Raj K. 1994. Diseases of The Esophagus. In: Jeffers, J. D., Boynton, S. D.
Harrisons Principles of Internal Medicine, 13th edition. McGraw-Hill, Inc. New York.
Pg. 1358
14. J., Finley R. 2002. Achalasia: Thoracoscopic and Laparoscopic Myotomi. In:
Pearson F.G. MD, Cooper J.D. MD, et all. Esophageal Surgery, 2nd edition. Churchill
Livingstone. New York. Pg. 76-569