Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

ISPA adalah infeksi yang terutama mengenai struktur saluran pernapasan

diatas laring, tetapi kebanyakan, penyakit ini mengenai bagian saluran atas dan

bawah secara simultan dan berurutan. Gambaran patofisiologinya meliputi

infiltrate peradangan dan edema mukosa, kongesti vascular, bertambahnya sekresi

mukosa, dan perubahan struktur dan fungsi siliare (Nelson 2000, p.1455).

ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) adalah suatu penyakit yang

terbanyak diderita oleh anak- anak, baik dinegara berkembang maupun dinegara

maju dan sudah mampu dan banyak dari mereka perlu masuk rumah sakit karena

penyakitnya cukup gawat. Penyakit-penyakit saluran pernapasan pada masa bayi

dan anak-anak dapat pula memberi kecacatan sampai pada masa dewasa. ISPA

masih merupakan masalah kesehatan yang penting karena menyebabkan kematian

bayi dan balita yang cukup tinggi yaitu kira-kira 1 dari 4 kematian yang terjadi di

dunia (wibowo. 2004, p.2).

Pneumonia merupakan pembunuh utama anak dibawah usia lima tahun

(Balita) di dunia, lebih banyak dibandingkan dengan penyakit lain seperti AIDS,

Malaria dan Campak. Namun, belum banyak perhatian terhadap penyakit ini. Di

dunia, dari 9 juta kematian Balita lebih dari 2 juta Balita meninggal setiap tahun

akibat pneumonia atau sama dengan 4 Balita meninggal setiap menitnya. Dari

lima kematian Balita, satu diantaranya disebabkan pneumonia (DepKes RI 2009,

p.1).

1
2

Menurut WHO (1992) beberapa faktor yang telah diketahui

mempengaruhi pneumonia dan kematian ISPA adalah malnutrisi, pemberian ASI

kurang cukup, imunisasi tidak lengkap, defisiensi vitamin A, BBLR, umur balita,

kepadatan hunian, udara dingin, jumlah kuman yang banyak di tenggorokan,

terpapar polusi udara oleh asap rokok, gas beracun dan lain-lain (Sinta. 2009,

p.2).

Berdasarkan hasil ekstrapolasi dari data SKRT 2001 menununjukkan

bahwa angka kematian balita akibat penyakit sistem pernapasan adalah 4,9/1.000

balita, yang berarti ada sekitar 5 dari 1.000 balita yang meninggal setiap tahun

akibat pneumonia. Atau berarti ada 140.000 balita yang meninggal setiap

tahunnya akibat pneumonia, atau rata-rata 1 anak balita Indonesia meninggal

akibat pneumonia setiap 5 menit (DepKes RI 2005, p.3).

Kemudian selanjutnya berdasarkan dari hasil Survei Mortalitas Subdit

ISPA Departemen Kesehatan RI tahun 2005, tampak bahwa Pneumonia masih

merupakan penyebab kematian tertinggi pada balita (22,5%). Survei ini dilakukan

di 10 propinsi dengan salah satunya pada propinsi Sumatera Barat yang terbanyak

ditemukan Balita dengan pneumonia dengan persentase 18,5% (DepKes RI 2006,

p.14).

Menteri Kesehatan mengungkapkan bahwa pemerintah Indonesia telah

berkomitmen untuk mencapai Millennium Development Goals (MDGs) bidang

kesehatan yang salah satunya adalah menurunkan 2/3 kematian balita pada

rentang waktu antara 1990-2015. Apabila angka kematian yang disebabkan oleh

pneumonia dapat diturunkan secara bermakna, maka dampaknya terhadap

pencapaian MDGs akan besar pula. Adanya keterpaduan dengan lintas program
3

melalui pendekatan MTBS di Puskesmas serta penyediaan obat dan peralatan

untuk Puskesmas Perawatan dan di daerah terpencil (Usmanto, 2009).

Tingginya mortalitas bayi dan balita karena ISPA-Pneumonia

menyebabkan penanganan penyakit ISPA-Peumonia menjadi sangat penting

artinya. Kondisi ini disadari oleh pemerintah sehingga dalam Program

Pemberantasan Penyakit (P2) ISPA telah menggariskan untuk menurunkan angka

kematian balita akibat pneumonia dari 5/1000 balita pada tahun 2000 menjadi

3/1000 balita pada tahun 2005 dan menurunkan angka kesakitan pneumonia balita

dari 10 - 20% menjadi 8 - 16% pada tahun 2005. Resiko mortalitas pada balita,

khususnya pada bayi sangat tinggi dan resiko ini lebih ditentukan pada

kemampuan ibu atau keluarga atau masyarakat dalam memberikan perhatian dan

pengobatan kepada anak-anaknya (Hendrawan, Harimat 2007, p.1).

Menurut data dari Dinas Kesehatan Sumatera Barat tahun 2008, jumlah

balita yang menderita penyakit ISPA khususnya Pneumonia sebanyak 12.547

kasus( 3,23 %) dari 381.933 jumlah balita (P2B DinKes Sumbar, 2008).

Tabel 1.1
KEJADIAN ISPA (PNEUMONIA) PADA BALITA DI SUMATERA BARAT
TAHUN 2008
4

N KABUPATEN/KOTA KEJADIAN PNEUMONIA


O Jumlah Jumlah % balita
Balita Penderita ditangani

1 Kab. Padang Pariaman 31.628 427 100


2 Kab. Agam 36.093 461 100
3 Kab. Pasaman 16.760 963 100
4 Kab. Pasaman Barat 25.779 224 100
5 Kab. 50 Kota 26.939 2.769 100
6 Kab. Tanah Datar 29.186 2.072 100
7 Kab. Solok 27.225 1.285 100
8 Kab. Sawahlunto/Sijunjung 15.320 837 100
9 Kab. Dharmasraya 13.278 8 100
10 Kab. Solok Selatan 10.509 412 100
11 Kab. Pesisir Selatan 34.594 124 100
12 Kab. Kep. Mentawai 5.322 802 100
13 Kota Padang 69.319 204 100
14 Kota Pariaman 6.354 44 100
15 Kota Padang Panjang 4.292 224 100
16 Kota Bukittinggi 8.467 163 100
17 Kota Payakumbuh 8.781 908 100
18 Kota Solok 4.603 583 100
19 Kota Sawahlunto 4.484 37 100
JUMLAH 381.933 12.547 100
Sumber: Bidang P2B Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Barat Tahun 2008
(Profil Kesehatan 2009).

Menurut data dari Dinas Kesehatan Padang Pariaman tahun 2009, jumlah

penderita ISPA pada balita adalah sebanyak 14.395 kasus (37,15%) dari 38.745

jumlah balita, dengan penderita ISPA-Pneumonia sebanyak 770 kasus (1,98%),

ISPA-Pneumonia Berat sebanyak 7 kasus (0,018%), dan ISPA-Bukan Pneumonia

sebanyak 13.618 kasus (35,14%) (P2P ISPA DinKes Padang Pariaman, 2009).

Tabel 1.2
KEJADIAN ISPA PADA BALITA DI KABUPATEN PADANG PARIAMAN
TAHUN 2009
5

No Puskesmas Jumlah REALISASI PENEMUAN PENDERITA


Balita Pneumonia Pneumonia Bukan
Berat Pneumonia
6

1 Pasar Usang 3.120 14 0 1.508


2 Ketaping 1.269 2 0 226
3 Lubuk Alung 3.259 64 0 1.780
4 Sikabu 845 5 0 320
5 Sintuk 1.646 9 1 494
6 Ulakan 1.989 35 0 918
7 Pauh Kambar 2.608 41 1 523
8 Sicincin 1.362 47 0 567
9 Kayu Tanam 1.111 9 0 1.050
10 Anduring 991 4 0 684
11 Kp. Guci 713 0 0 62
12 Pakandangan 1.771 137 0 698
13 Sungai Sariak 2.213 81 4 754
14 Padang Sago 827 90 0 243
15 Patamuan 1551 19 0 347
16 Kp. Dalam 2.252 18 0 1.093
17 Padang Alai 619 118 0 376
18 Limau Purut 862 10 0 367
19 Sungai Limau 2.889 29 1 212
20 Gasan Gadang 1.126 2 0 349
21 Sei. Geringging 1.397 0 0 97
22 Koto Bangko 1.316 3 0 27
23 Batu Basa 1.909 0 0 397
24 Ampalu 1.103 33 0 526
TOTAL 38.745 770 7 13.618
Sumber: Bidang P2P ISPA Dinas Kesehatan Kabupaten Padang Pariaman Tahun
2009

Puskesmas Pakandangan merupakan salah satu Puskesmas yang berada di

wilayah kerja Kabupaten Padang Pariaman. ISPA merupakan penyakit yang

menepati urutan pertama dari 10 penyakit terbanyak di Puskesmas Pakandangan.

Menurut data kejadian penyakit ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas

Pakandangan terdapat 799 kasus (44,91%) dari 1779 jumlah balita, dengan ISPA-

Pneumonia sebanyak 137 kasus (7,7%), ISPA-Pneumonia Berat tidak ada, dan

ISPA-Bukan Pneumonia sebanyak 662 kasus (37,21%) (KIA Puskesmas

Pakandangan, 2009).
7

Tabel 1.3
KEJADIAN ISPA PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS
PAKANDANGAN TAHUN 2009

N Jorong Jumlah REALISASI PENEMUAN BALITA


o Balita Pneumonia Pneumonia Bukan
Berat Pneumonia
1 Tj. Aur 91 4 0 34
2 Ps. Pakandangan 92 20 0 63
3 Kp. Paneh 69 4 0 38
4 Sr. Gagak 81 14 0 52
5 Ringan-ringan 140 9 0 44
6 Bayur 52 7 0 26
7 Rb. Dadok 52 6 0 34
8 Balah Air 100 12 0 26
9 Kr. Kampung 114 28 0 61
10 Prt. Pontong 42 0 0 27
11 Sp. Tigo 60 2 0 19
12 Labuah 19 0 0 9
13 Tj. Beringin 33 0 0 20
14 Sp. Gadur 61 7 0 32
15 Batiah-batiah 30 6 0 22
16 Pd. Bungo 57 3 0 24
17 Kp. Dalam 55 3 0 22
18 Kapuah 45 7 0 19
19 Ps. Balai 121 0 0 15
20 Ps. Limau 49 1 0 18
21 Kp. Tangah 78 3 0 13
22 Ps. Dama 101 0 0 21
23 Kp. Bonai 84 0 0 23
24 Hil. Gadang 27 0 0 2
25 Pd. Baru 60 0 0 15
26 Pd. Toboh 15 0 0 3
27 Pauh 43 0 0 6
TOTAL 1771 137 0 662
Sumber: KIA Puskesmas Pakandangan Tahun 2009

Tabel 1.4
10 PENYAKIT TERBANYAK DI PUSKESMAS PAKANDANGAN TAHUN
2009
N DIAGNOSA PENYAKIT JUMLAH KUNJUNGAN
O
1 ISPA 3730
2 Penyakit kulit infeksi 1634
8

3 Gastritis 1238
4 Reumatik 1613
5 Gastritis 1135
6 Hipertensi 1110
7 Penyakit kulit alergi 918
8 Penyakit pulpa dan jaringan periopikal 727
9 Demam 684
10 Chikungunya 443
Sumber: Laporan 10 Penyakit Tebanyak Puskesmas Pakandangan Tahun 2009.

Penyakit ISPA khususnya pneumonia biasa disebabkan oleh beberapa

faktor risiko antara lain : jenis kelamin, gizi kurang, BBLR, tidak mendapat ASI

yang memadai, polusi udara, kepadatan tempat tinggal, imunisasi yang tidak

memadai, defesiensi vitamin A, tingkat sosial ekonomi, tingkat pendidikan ibu

rendah, tingkat pelayanan (jangkauan), pelayanan kesehatan yang rendah, dan

menderita penyakit kronis. Pemberian ASI tidak memadai merupakan salah satu

faktor yang mempengaruhi kejadian pneumonia (Amiruddin 2005, p.150 ;

Santoso, P 2003).

Sebuah penelitian yang telah dilakukan membuktikan bahwa dengan

pemberian ASI cukup memberikan efek protektif 39,8% terhadap ISPA pada bayi

umur 0-4 bulan. Sehingga untuk menurunkan kasus ISPA pada bayi umur 0-4

bulan yaitu dengan meningkatkan prevalensi ASI eksklusif di tengah-tengah

masyarakat (Abdullah 2005, p.2).

Faktor pemberian ASI esklusif, kepadatan hunian dikamar, keberadaan

anggota keluarga yang terkena penyakit ISPA dan keberadaan anggota keluarga

yang merokok memilki hubungan dengan kejadian ISPA, sedangkan faktor status

gizi, kelengkapan imunisasi, lantai ruang tidur, kepemilikan lubang asap dapur,

dan penggunaan jenis bahan bakar tidak ada hubungan dengan kejadian ISPA
9

pada balita di wilayah kerja Puskesmas Pati 1 kabupaten Pati (Suhandayani, Ike

2006, p.71).

Rendahnya pengetahuan masyarakat berpengaruh pada tindakan

masyarakat dalam pencarian pengobatan atau care seeking yang tepat. Pada sisi

lain, rendahnya pengetahuan petugas kesehatan tentang ISPA berakibat rendahnya

mutu pelayanan kesehatan yang diberikan. Hanya 4% dari ibu yang membawa

anaknya berobat kepada petugas kesehatan yang mendapatkan penjelasan yang

memadai tentang ISPA (Sudarti 1999, p.2 ; DepKes 2002).

Dari observasi awal yang dilakukan peneliti pada tanggal 11-12 Januari

2010 terhadap 7 orang ibu yang membawa anaknya ke Puskesmas untuk berobat

dan setelah dilakukan pemeriksaan ternyata menderita pernyakit ISPA, didapatkan

data sebagai berikut 5 orang tidak mengetahui sama sekali apa itu ISPA sedangkan

2 orang lagi sedikit mengetahui penyakit ISPA itu dan menyamakan dengan flu

atau pilek. Saat peneliti menanyakan tentang pemberian ASI esklusif, 3 orang

mengatakan menyusui bayinya saja lebih dari umur anaknya 6 bulan, 2 orang

mengatakan memberikan ASI dengan ditambahkan pemberian Susu kaleng, dan 2

orang mengatakan tidak menyusui anaknya sampai anaknya berusia 6 bulan.

Berdasarkan dari uraian dari latar belakang tersebut diatas maka peneliti

tertarik untuk melakukan penelitian tentang Faktor-faktor Yang Berhubungan

dengan Kejadian ISPA Pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Pakandangan.

1. Tujuan Penelitian

Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian ISPA


10

B. Manfaat Penelitian

1. Bagi Peneliti

Untuk menambah wawasan ilmu pengetahuan bagi peneliti dan

mempraktekkan ilmu yang telah didapat selama mengikuti perkuliahan di

Program Studi Ilmu keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Fort de Kock

Bukittinggi.

2. Bagi Institusi Pendidikan

Dokumentasi bagi instansi pendidikan serta sebagai bahan bacaan bagi

mahasiswa S1 keperawatan sehingga dapat menjadi pedoman bagi peneliti

selanjutnya khusunya mengenai penatalaksanaan dan masalah dalam kejadian

ISPA pada balita.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian ISPA


1. Status Gizi
Gizi adalah suatu proses organisme menggunakan makanan yang

dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorpsi, transportasi,

penyimpanan, metabolisme dan pengeluaran zat-zat yang tidak digunakan


11

untuk mempertahankan kehidupan, petumbuhan dan fungsi normal dari organ,

menghasilkan energi (Supariasa, I Dewa Nyoman 2002, p.17).


Gizi merupakan salah satu faktor penting yang menentukan tingkat

kesehatan dan kesejahteraan manusia. Ada hubungan erat antara tingkat

keadaan gizi dengan konsumsi makanan. Tingkat keadaan gizi optimal akan

tercapai apabila konsumsi gizi makanan pada seseorang seimbang dengan

kebutuhan tubuh mereka. Gizi adalah suatu proses organisme menggunakan

makanan yang dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorpsi,

transportasi, penyimpanan, metabolisme dan pengeluaran zat-zat yang tidak

digunakan untuk mempertahankan kehidupan, pertumbuhan dan fungsi normal

dari organ-organ, serta energi. Kecukupan gizi balita dapat dilihat dari status

gizinya (Rochimah, Ade 2009, p.1).


Gizi buruk menyebabkan sistem pertahanan tubuh terhadap infeksi

menurun, karena terjadi perubahan morpologis jaringan limpoid yang berperan

dalam kekebalan. Atropi pada kelenjer thymus karena kurang gizi juga

menyebabkan kekebalan selular menurun. Atropi juga terjadi pada dinding usus

sehingga sekresi berbagai enzim berkurang. Keseluruhan gangguan pada

sistem kekebalan itu berlangsung bersama-sama hingga anak mudah menjadi

terserang penyakit infeksi (Moedji, Sjahmien 2003, p.13).


Oleh karena itu upaya pemeliharaan gizi anak haruslah merupakan

upaya pemeliharaan gizi paripurna (comprehensive core) yang mencakup

berbagai aspek yang dimulai sejak anak masih dalam rahim ibunya.
Upaya itu terdiri dari:
a. Pemeliharaan gizi pada masa prenatal.
b. Pencegahan tumbuh kembang anak sejak lahir.
c. Pencegahan dan penanggulangan dini penyakit infeksi melalui

imunisasi dan pemeliharaan sanitasi.


d. Pengaturan makanan yang tepat dan benar.
e. Pengaruh jarak kelahiran
12

Kelima upaya ini harus merupakan satu kesatuan sebagai strategi dasar

pemeliharaan gizi anak (Moedji, Sjahmien 2003, p.26-27).


Penilaian Status Gizi
Penilaian status gizi ada dua cara, ada secara langsung dan ada secara

tidak langsung (Supariasa, I Dewa Nyoman 2002, p.18).


a. Penilaian Secara Langsung
1) Antropometri
Secara umum antropometri artinya ukuran tubuh manusia. Ditinjau

dari sudut pandang gizi, maka antropometri gizi berhubungan dengan

berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh

berbagai tingkat umur dan tingkat gizi.


Penggunaan dapat digunakan dengan melihat ketidakseimbangan

asupan protein dan energi. Ketidak seimbangan ini terlihat pada pola

pertumbuhan fisik dan proposi jaringan tubuh seperti lemak, otot dan

jumlah air dalam tubuh.


2) Klinis
Pemeriksaan klinis adalah metode yang sangat penting untuk menilai

status gizi masyarakat. Metode ini didasarkan pada perubahan-

perubahan yang terjadi yang dihubungkan dengan ketidakcukupan zat

gizi. Hal ini dapat dilihat pada jaringan epitel (supervicial epithelial

tissue) seperti kulit, rambut dan mukosa oral atau pada organ-organ

yang dekat dengan permukaan tubuh seperti kelenjer tiroid.


Penggunaan metode ini untuk survei klinis secara cepat (rapid clinical

survey). Survei ini dirancang untuk mendeteksi secara umum dari

kekurangan salah satu atau lebih gizi. Disamping itu digunakan untuk

mengetahui tingkat starus gizi dengan melakukan pemeriksaan fisik

yaitu tanda (sign) dan gejala (symptom) atau riwayat penyakit.


3) Biokimia
Penilaian status gizi dengan biokimia adalah peemeriksaan specimen

yang diuji secara laboratorium yang dilakukan pada berbagai macam


13

jaringan tubuh. Jaringan tubuh yang digunakan antara lain: darah,

urine, tinja, dan juga beberapa jaringan tubuh seperti hati dan otot.
Metode ini digunakan untuk suatu peringatan bahwa kemungkinan

akan terjadi keadaan malnutrisi yang lebih parah lagi. Banyak gejala

klinis yang kurang spesifik, maka penentuan kimia faali dapat lebih

banyak menolong untuk menentukan kekurangan gizi yang spesifik.


4) Biofisik
Penentuan status gizi secara biofisik adalah metode penentuan status

gizi dengan melihat kemampuan fungsi (khususnya jaringan) dan

melihat perubahan struktur dari jaringan.


Umumnya dapat digunakan dalam situasi tertentu seperti kejadian

buta senja epidemik (epidemic of night blindess). Cara yang

digunakan adalah tes adaptasi gelap.


b. Penilaian Secara Tidak Langsung
1) Survei Konsumsi Makanan
Survei konsumsi makanan adalah penentuan status gizi secara tidak

langsung dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi yang dikonsumsi.
Pengumpulan data konsumsi makanan dapat memberikan gambaran

tentang konsumsi berbagai zat gizi pada masyarakat, keluarga dan

individu. Survei ini dapat mengidentifikasikan kelebihan dan

kekurangan zat gizi.


Statistik Vital
Pengukuran status gizi dengan statistik vital adalah dengan

menganalisa data seberapa statisik kesehatan seperti angka kematian

berdasarkan umur, angka kesakitan dan kematian akibat penyebab

tertentu dan data lainnya yang berhubungan dengan gizi.


Penggunaannya dipertimbangkan sebagai bagian dari indikator tidak

langsung pengukuran status gizi masyarakat.


3) Faktor Ekologi
Bengo mengungkapkan bahwa malnutrisi merupakan masalah ekologi

sebagai hasil interaksi beberapa faktor fisik, biologi dan lingkungan


14

budaya. Jumlah makanan yang tersedia sangat tergantung dari keadaan

ekologi seperti iklim, tanah, irigasi dan lain-lain.


Pengukuran faktor ekologi dipandang sangat penting untuk

mengetahui penyebab malnutrisi di suatu masyarakat sebagai dasar

untuk melakukan program intervensi gizi.


Menurut penelitian terdahulu oleh Ade Rochimah (2009) diperoleh

kesimpulan bahwa keadaan gizi yang buruk muncul sebagai faktor resiko yang

penting untuk terjadinya ISPA. Beberapa penelitian telah membuktikan tentang

adanya hubungan antara gizi buruk dan infeksi paru, sehingga anak-anak yang

bergizi buruk sering mendapat pneumonia. Disamping itu adanya hubungan

antara gizi buruk dengan terjadinya campak dan infeksi virus berat lainnya

serta menurunnya daya tahan tubuh anak terhadap infeksi. Balita dengan gizi

yang kurang akan lebih mudah terserang ISPA dibandingkan balita dengan gizi

normal karena faktor daya tahan tubuh yang kurang. Penyakit infeksi sendiri

akan menyebabkan balita tidak mempunyai nafsu makan dan mengakibatkan

kekurangan gizi. Pada keadaan gizi kurang, balita lebih mudah terserang

ISPA berat bahkan serangannya lebih lama (http://abhique.blogspot.com,

2009).

B. Infeksi Saluran Pernapasan Akut ( ISPA)


1. Pengertian ISPA

Istilah ISPA merupakan singkatan dari Infeksi Saluran Pernapasan Akut

dan mulai diperkenalkan pada tahun 1984 setelah dibahas dalam lokakarya

Nasional ISPA di Cipanas. Dalam pertemuan Revisi Modul tatalaksana Standar

Penyakit ISPA di Bekasi, 2005 di kalangan akademis mulai diperkenalkan


15

istilah Infeksi Respiratorik Akut (IRA) sebagai padanan istilah bahasa inggris

Acute Respiratory Infection (ARI). Infeksi Saluran Pernapasan Akut adalah

penyakit infeksi akut yang menyerang salah satu bagian atau lebih dari saluran

napas mulai dari hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah) termasuk

jaringan adneksanya, seperti sinus, rongga telinga tengah dan juga pleura

(DepKes RI 2006, p.6).

Di Indonesia, pemberantasan penyakit ISPA dimulai pada tahun 1984,

bersamaan dengan dilancarkannya pemberantasan penyakit ISPA di tingkat

global oleh WHO. Dalam tatalaksana ISPA tahun 1984 penyakit ISPA

diklasifikasikan dalam 3 tingkat, yaitu ISPA ringan, sedang dan berat.Pada

tahun 1988 WHO mempublikasikan pola baru tatalaksana penderita ISPA.

Sejak tahun 1990 pemberantasan ISPA dititikberatkan dan difokuskan pada

penanggulangan pneumonia balita, karena penyebab kematian tertinggi pada

anak usia dibawah 5 tahun adalah penyakit pernapasan dan sebagian besar

disebabkan oleh pneumonia (DepKes RI 2005, p.9).

Istilah ISPA mengandung tiga unsur, yaitu infeksi, saluran pernafasan

dan akut. Pengertian atau batasan masing-masing unsur adalah sebagai berikut:

a. Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh

manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit.


b. Saluran pernapasan adalah organ yang mulai dari hidung hingga alveoli

beserta organ adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan

pleura. Dengan demikian ISPA secara otomatis mencakup saluran

pernafasan bagian atas, saluran pernafasan bagian bawah (termasuk

jaringan paru-paru) dan organ adneksa saluran pernafasan. Dengan batasan


16

ini maka jaringan paru-paru termasuk dalam saluran pernafasan

(respiratory tract).
c. Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari ini.

Batas 14 hari ini diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk

beberapa penyakit yang dapat digolongakan ISPA proses ini dapat

berlangsung lebih dari 14 hari (Arjuna, 2004).


2. Penyebab ISPA
Penyebab ISPA terdiri lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan riketsia.

Bakteri penyebab ISPA antara lain adalah genus Sterptococcus, Stafilococcus,

Pneumococcus, Haemophylus, Bordetela dan Corynebakterium. Virus

penyebab ISPA antara lain adalah golongan Mixovirus, Adenovirus,

Coronavirus, pikornavirus, Mixoplasma, herpesvirus dan lain-lain (DepKes

RI 2006, p.25)
Bakteri adalah penyebab utama infeksi saluran pernapasan bawah, dan

Streptococcus pneumoniae di banyak negara merupakan penyebab paling

umum pneumonia yang didapat dari luar rumah sakit yang disebabkan oleh

bakteri. Namun demikian, patogen yang paling sering menyebabkan ISPA

adalah virus, atau infeksi gabungan virus-bakteri. Sementara itu, ancaman ISPA

akibat organisme baru yang dapat menimbulkan epidemi atau pandemi

memerlukan tindakan pencegahan dan kesiapan khusus (WHO 2007, p.12).


3. Klasifikasi ISPA
ISPA terdiri dari sekelompok kondisi klinik dengan etiologi dan

perjalanan klinis berbeda. ISPA diklasifikasikan sebagai berikut:


a. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi
Dalam International Classification of Disease dalam bagian

Diseases of the Respiratory System revisi yang kesepuluh, ISPA dibagi

berdasarkan atas letak anatomi saluran pernafasan serta penyebabnya.

Pembagian ini meliputi hal di bawah ini :


1) Infeksi saluran nafas atas akut
17

a) Nasofaringitis akut (commond cold)


b) Sinusiatis akut
c) Faringitis akut : faringitis streptokokus dan faringitis karena sebab

lain
d) Tonsilitis akut : tonsilitis streptokokus dan tonsilitis karena sebab

lain
e) Laringitis dan trakeitis akut
f) Epiglotitis dan laringitis obstruktif akut (croup)
2) Influenza dan pneumonia
a) Influenza dengan virus yang teridentifikasi
b) Influenza dengan virus tak teridentifikasi.
c) Pnemonia viral (Pnemonia karena adenovirus, Pnemonia oleh

virus sinsitium saluran pernafasan, Pnemonia oleh virus

parainfluenza, Pnemonia oleh virus lain)


d) Pneumonia oleh streptokokus pnemonia.
e) Pneumonia oleh karena Hemofilus influenza.
f) Pneumonia bakterial lainnya.
g) Pneumonia oleh sebab organisme lain.
3) Infeksi saluran nafas bawah akut lainnya.
a) Bronkitis akut.
b) Bronkiolitis akut
c) Infeksi saluran nafas bawah akut lain (http://doctorology.net,

2009).
b. Klasifikasi berdasarkan golongan umur
Depkes RI (2006), WHO membagi ISPA berdasarkan atas

kelompok umur, dibedakan atas dua kelompok, yaitu kelompok umur 2

bulan - < 5 tahun dan kelompok umur < 2 bulan:


1) Untuk anak umur 2 bulan - <5 tahun.
Untuk anak dalam berbagai golongan umur ini ISPA diklasifikasikan

menjadi 3 yaitu :
a) Pneumonia berat
Tanda utama :
(1) Batuk
(2) Sukar bernafas disertai napas sesak
(3) Tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam (chest

indrawing).
b) Pneumonia
Tanda utama:
(1) Batuk
18

(2) Kesukaran bernapas


(3) Disertai nafas cepat (fast breathing) sesuai golongan umur
(4) Batas napas cepat (fast breathing):
(a) Usia 2 bulan - < 1 tahun : 50 kali atau lebih/menit
(b) Usia 1 - < 5 tahun : 40 kali atau lebih/menit
c) Bukan Pneumonia
Tanda Utama:
(1) Batuk
(2) Tidak menunjukkan gejala peningkatan frekwensi napas atau

tidak ada nafas cepat


(3) Tidak ada tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam.
2) Anak umur kurang dari 2 bulan
Untuk anak dalam golongan umur ini, diklasifikasikan menjadi 2

yaitu:
a) Pneumonia berat
Tanda utama:
(1) Batuk
(2) Bernafas cepat (fast breathing), dengan frekwensi sebanyak

60 kali atau lebih/menit.


(3) Adanya tarikkan kuat pada dinding dadabagian bawah ke

dalam (severe chest indrawing).


b) Bukan Pneumonia
Tanda utama:
(1) Tidak ada nafas cepat
(2) Tak ada tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam
c. Klasifikasi berdasarkan jenis dan derajat keparahan
1) Bukan Pneumonia
Klasifikasi bukan pneumonia mencakup kelompok penderita balita

dengan batuk yang menunjukkan gejala peningkatan frekwensi

pernapasan dan tidak menunjukkan adanya tarikkan dinding dada

bagian bawah ke dalam. Dengan demikian klasifikasi bukan pneumonia

mencakup penyakit-penyakit ISPA lain dari luar pneumonia seperti

batuk, pilek bukan pneumonia (common cold, pharingitis dan otitis).


2) Pneumonia
Klasifikasi pneumonia didasarkan pada adanya batuk atau kesukaran

bernafas disertai adanya nafas sesuai umur. Batasan nafas cepat (fast

breating) pada anak usia 2 bulan 1 tahun frekuensi nafasnya


19

50x/menit atau lebih dan untuk usia 1 tahun, frekuensi nafasnya

40x/menit atau lebih.


3) Pneumonia Berat
Klasifikasi pneumonia berat berdasarkan pada adanya batuk dan

kesukaran bernafas disertai sesak nafas atau traikan dinding dada

bagian bawah ke dalam (chest breating) pada anak usia 2 bulan 5

tahun. Untuk kelompok < 2 bulan klasifikasi pneumonia berat ditandai

dengan adanya nafas cepat (fast breating) yaitu frekuensi pernafasan

sebanyak 60x/menit atau lebih adanya tarikan dinding dada bagian

bawah kedalam Severe Chest Indrawing (DepKes RI 2006, p.23).


4. Tanda dan Gejala ISPA
Tanda dan gejala ISPA tergantung kepada berat dan ringannya ISPA yang

diderita (Allians.F, 2009):


a. Gejala dari ISPA Ringan

Seseorang anak dinyatakan menderita ISPA ringan jika ditemukan satu atau

lebih gejala-gejala sebagai berikut:

1) Batuk
2) Serak, yaitu anak bersuara parau pada waktu mengeluarkan suara (misal

pada waktu berbicara atau menangis).


3) Pilek, yaitu mengeluarkan lender atau ingus dari hidung.
4) Panas atau demam, suhu badan lebih dari 370 C atau jika dahi anak

diraba.
b. Gejala dari ISPA Sedang
Seorang anak dinyatakan menderita ISPA sedang jika dijumpai gejala dari

ISPA ringan disertai satu atau lebih gejala-gejala sebagai berikut:


1) Pernafasan lebih dari 50 kali per menit pada anak yang berumur kurang

dari satu tahun atau lebih dari 40 kali per menit pada anak yang berumur

satu tahun atau lebih.


2) Cara menghitung pernafasan ialah dengan menghitung jumlah tarikan

nafas dalam satu menit. Untuk menghitung dapat digunakan arloji.


3) Suhu lebih dari 390 C (diukur dengan termometer).
20

4) Tenggorokan berwarna merah.


5) Timbul bercak-bercak merah pada kulit menyerupai bercak campak.
6) Telinga sakit atau mengeluarkan nanah dari lubang telinga.
7) Pernafasan berbunyi seperti mengorok (mendengkur).
8) Pernafasan berbunyi menciut-ciut.
c. Gejala dari ISPA Berat

Seorang anak dinyatakan menderita ISPA berat jika dijumpai gejala-gejala

ISPA ringan atau ISPA sedang disertai satu atau lebih gejala-gejala sebagai

berikut:

1) Bibir atau kulit membiru.


2) Lubang hidung kembang kempis (dengan cukup lebar) pada waktu

bernafas.
3) Anak tidak sadar atau kesadaran menurun.
4) Pernafasan berbunyi seperti orang mengorok dan anak tampak gelisah.
5) Sela iga tertarik ke dalam pada waktu bernafas.
6) Nadi cepat lebih dari 160 kali per menit atau tidak teraba.
7) Tenggorokan berwarna merah.

5. Cara Penularan ISPA


Infeksi saluran pernafasan akut atau ISPA adalah penyakit yang

disebabkan oleh kuman yang masuk ke dalam tubuh melalui kulit, makanan

atau udara. Gejalanya batuk, pilek, panas atau deman serta sakit dada. Secara

teoritis, penularan melalui kulit dapat dicegah dengan cara menghindari

sentuhan dengan penderita penyakit ini. Demikian juga penularan melalui

makanan dapat dicegah dengan mengolah makanan secara bersih. Namun,

penularan melalui udara tidak dapat dicegah karena udara yang dihirup tidak

dapat dipilah-pilah. Dalam kondisi serba darurat pasca bencana alam seperti di

Aceh saat ini, daya tahan tubuh warga setempat turun drastis. Akibatnya,

muncul-lah penyakit lama maupun baru Penularan penyakit akan sangat mudah

sebab warga yang selamat tinggal secara berhimpitan. Menurut Dokter

Chandra, penderita ispa sebisa mungkin dipisahkan dari yang tidak tertular.
21

Obat yang diberikan tergantung pada kondisi pasien yaitu yang meningkatkan

daya tahan tubuh berupa makan (Rasmaliah 2004, p.1).


Penularan penyakit ISPA dapat terjadi dari penderita ISPA dan carier

yang disebut reservoir. Bibit penyakit yang ditularkan pada orang lain melalui

kontak langsung atau melalui benda-benda yang telah tercemar oleh bibit

penyakit termasuk udara. ISPA dapt ditularkan melalui air ludah, batuk, bersin

dan udara pernafasan yang mengandung kuman terhirup oleh orang sehat dan

masuk saluran pernafasan (Rasmaliah 2004, p.2).


Penyakit ISPA adalah penyakit yang dapat ditularkan melalui udara

pernapasan yang mengandung kuman yang terhirup orang sehat lewat saluran

pernapasan. Viruslah yang menyebabkan infeksi saluran pernapasan bagian

atas, yang sering terjadi pada semua golongan masyarakat di musim dingin

(omdimas , 2009).
ISPA dapat ditularkan melalui air ludah, darah, bersin, udara. Salah satu

penularan ISPA adalah melalui udara yang tercemar dan masuk ke dalam tubuh

melalui saluran pernafasan. Bibit penyakit ISPA di udara umumnya berbentuk

aerosol yakni suspansi yang melayang di udara dapat berubah bibit penyakit

seluruhnya atau hanya sebagian dari padanya (Adrian 2007, p.3).


6. Pencegahan ISPA
Untuk mencegah ISPA perlu partisipasi aktif dari masyarakat atau

keluarga terutama ibu rumah tangga, karena ISPA sangat dipengaruhi oleh

kebersihan di dalam dan di luar rumah. Secara rinci upaya pencegahan ISPA

meliputi:
a. Memberikan imunisasi lengkap pada anak
Imunisasi adalah upaya yang dilakukan dengan sengaja memberikan

kekebalan (imunitas) pada bayi atau anak sehingga terhindar dari penyakit
(DepKes RI 2000, p.5).
Pentingnya imunisasi didasarkan pada pemikiran bahwa pencegahan

penyakit merupakan upaya terpenting dalam pemeliharaan kesehatan anak.


22

Penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi yaitu seperti tuberculosis,

difteri, pertusis, tetanus, poliomyelitis, campak, dan hepatitis (Supartini,

Yupi 2004, p.173).


WHO menganjurkan agar program imunisasi di Indonesia memiliki

tujuan untuk menurunkan angka kejadian penyakit dan angka kematian

akibat penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (Kompas 2006,

p.130).
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan penyakit

kesukaran bernapas yang disebabkan oleh virus, bakteri maupun jamur. Jika

tidak tertangani dengan baik dan benar, penyakit ISPA bisa berisiko

menimbulkan kematian pada penderita. Imunisasi lengkap merupakan salah

satu upaya dini untuk mencegah kejadian ISPA. Upaya pencegahan dini dari

serangan ISPA dilakukan dengan meningkatkan kekebalan tubuh.

Sedangkan pada anak dilakukan imunisasi secara lengkap. Ketidakpatuhan

imunisasi ditengarai berhubungan erat dengan peningkatan penderita ISPA.

Karena imunisasi yang lengkap dapat memberikan peranan cukup berarti

dalam mencegah kejadian ISPA (Agus, S 2009, p.1).


b. Menjauhkan anak dari penderita batuk/ ISPA
ISPA dapat ditularkan melalui air ludah, darah, bersin, udara

pernapasan yang mengandung kuman yang terhirup oleh orang sehat

kesaluran pernapasannya (Joko, 2008).


Menurut William dan Phelan, berpendapat bahwa anak balita

masih rentan terhadap penyakit saluran pernafasan. Hal ini disebabkan

karena imunitas anak yang belum sempurna serta ISPA merupakan

penyakitnya yang dapat melalui droplet infection penderita batuk (DepKes

RI 2005, p.25).

Pada ISPA dikenal 3 cara penyebaran infeksi yaitu:


23

1) Melalui aerosol yang lembut, terutama oleh karena batuk-batuk.


2) Melalui aerosol yang lebih kasar, terjadi pada waktu batuk-batuk dan

bersin-bersin.
3) Melalui kontak langsung/tidak langsung dari benda-benda yang

dicemari jasad renik (hand to hand transmission).


c. Menjaga agar lingkungan tempat tinggal tetap bersih dan sehat
Kesehatan lingkungan pada hakikatnya adalah suatu kondisi atau

keadaan lingkungan yang optimum sehingga berpengaruh positif terhadap

terwujudnya status kesehatan yang optimum pula (Notoatmodjo, S 2003,

p.147).
Kualitas lingkungan akan berpengaruh terhadap kesehatan manusia,

untuk itu perlu dilakukan pengendalian untuk mengurangi polusi (Haryoto

K 2000, p. 103).
Hidup bersih dan sehat dapat diartikan sebagai hidup di lingkungan

yang memiliki standar kebersihan dan kesehatan serta menjalankan

pola/perilaku hidup bersih dan sehat. Lingkungan yang sehat dapat

memberikan efek terhadap kualitas kesehatan. Kesehatan seseorang akan

menjadi baik jika lingkungan yang ada di sekitarnya juga baik. Begitu juga

sebaliknya, kesehatan seseorang akan menjadi buruk jika lingkungan yang

ada di sekitarnya kurang baik. Dalam penerapan hidup bersih dan sehat

dapat dimulai dengan mewujudkan lingkungan yang sehat. Lingkungan

yang sehat memiliki ciri-ciri tempat tinggal (rumah) dan lingkungan sekitar

rumah yang sehat (Sugyono, 2008).


d. Pengadaan rumah sehat dengan ventilasi yang memadai
Rumah merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia, disamping

kebutuhan sandang, pangan dan kesehatan. Oleh karena itu rumah haruslah

sehat dan nyaman agar penghuninya dapat berkarya untuk meningkatkan

produktifitas. Kontraksi rumah dan lingkungan yang tidak memenuhi syarat


24

kesehatan merupakan faktor resiko sumber penularan berbagai jenis

penyakit, khususnya penyakit yang berbasis lingkungan (Shinta.D, 2009)


Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor

829/Menkes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan, luas

penghawaan atau ventilasi alamiah yang permanen minimal 10% dari luas

lantai. Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi. Yang pertama adalah

untuk menjaga agar aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar. Hal ini

berarti keseimbangan O2 yang diperlukan oleh penghuni rumah tersebut

tetap terjaga. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya O2 di

dalam rumah yang berarti kadar CO2 yang bersifat racun akan meningkat.

Tidak cukupnya ventilasi juga akan menyebabkan kelembaban udara di

dalam ruangan naik karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit

dan penyerapan. Kelembaban ini akan merupakan media yang baik untuk

bakteri-bakteri, patogen (bakteri-bakteri penyebab penyakit). Fungsi kedua

dari ventilasi adalah untuk membebaskan udara ruangan dari bakteri bakteri,

terutama bakteri patogen, karena terjadi aliran udara yang terus menerus.

Fungsi lain adalah untuk menjaga agar ruangan rumah selalu tetap di dalam

kelembaban yang optimum (Notoatmodjo, S 2003, p.150).


Udara bukanlah habitat alamiah mikroba, oleh karena itu tidak

bertahan lama di dalam udara, kecuali spora-spora, telur, cacing, dan virus.

Keberadaannya di udara tak bebas dimungkinkan karena aliran udara tidak

terlalu bebas. Oleh karena itu ia dapat berada di udara relatif lebih lama.

Dengan demikian, kemungkinan untuk memasuki tubuhpun menjadi lebih

besar. Hal ini dibantu oleh taraf kepadatan penghuni ruangan, sehingga

penularan penyakit infeksi lewat udara sebagian besar terlaksana lewat


25

udara tak bebas. Secara khususnya, keadaan ventilasi di rumah-rumah

kurang baik, sehingga penyakit dapat mewabah. Penyakit morbili ini adalah

penyakit pada anak, karena menyerang yang belum cukup taraf

kekebalannya. Pencegahan penyakit seperti ini adalah dengan memperbaiki

sanitasi perumahan penduduk, atau kemungkinan lain adalah bahwa

pemanfaatan rumah dan bangunan yang tidak berjalan dengan semestinya

(Slamet, Juli Soemirat 2006, p.71).

Anda mungkin juga menyukai