Anda di halaman 1dari 43

Laporan Kasus

Seorang Laki-Laki, 41 Tahun, Datang dengan Keluhan


Sesak Semakin Hebat Sejak 1 Hari SMRS

Oleh:

Evita Yolanda 040848216181

Inthan Atika 040848216124

Pembimbing:

dr. Ian Effendi, Sp.PD, KGH

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA

RUMAH SAKIT DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

2016
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus

Seorang Laki-Laki, 41 Tahun, Datang dengan Keluhan


Sesak Semakin Hebat Sejak 1 Hari SMRS

Oleh :

Evita Yolanda
Inthan Atika

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik di Bagian/Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya RSUP Dr. Moh. Hoesin Palembang.

Palembang, 3 Oktober 2016

dr.Ian Effendi,Sp.PD, KGH

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah S.W.T. atas karunia-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul Seorang Laki-Laki, 41 Tahun,
Datang dengan Keluhan Sesak Semakin Hebat Sejak 1 Hari SMRS.
Laporan kasus ini merupakan salah satu syarat Kepaniteraan Klinik di
Bagian/Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSUP DR. Moh. Hoesin Palembang
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr.Ian Effendi,Sp.PD,KGH
selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan selama penulisan dan
penyusunan laporan kasus ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan laporan
kasus ini. Oleh karena itu, kritik dan saran dari berbagai pihak sangat penulis
harapkan. Semoga laporanini dapat memberi manfaat bagi pembaca.

Palembang, Oktober 2016

Penulis

iii
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL...............................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN................................................................................ii
KATA PENGANTAR.............................................................................................iii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................1
BAB II LAPORAN KASUS ..............................................................................2
Identifikasi..............................................................................................2
Anamnesis..............................................................................................2
Pemeriksaan Fisik..................................................................................3
Pemeriksaan Tambahan..........................................................................5
Diagnosis................................................................................................5
Tatalaksana.............................................................................................5
Prognosis................................................................................................6
BAB III TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................7
Gagal Ginjal Kronis...............................................................................7
Nefrosklerosis Hipertensif ....................................................................16
Anemia pada Penyakit Ginjal................................................................22
BAB IV ANALISIS KASUS...............................................................................33
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................36
BAB I
PENDAHULUAN

Gagal ginjal kronis adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari 3
bulan, berdasarkan kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal.
Nefrosklerosis hipertensif (NH) merupakan salah satu bentuk komplikasi organ
target (ginjal) akibat hipertensi. Laporan US Renal Data System (USRDS) tahun
2006 menyebutkan kejadian NH sedikitnya 24% setiap tahun pada populasi pasien
penyakit ginjal kronik terminal (PGKT), sedangkan di Eropa sekitar 17%. Ada
dugaan bahwa kejadian NH berkaitan dengan faktor genetik karena angka
kejadian lebih tinggi pada pasien kulit hitam dibandingkan kulit putih. Namun,
kepastian apakah NH merupakan penyebab PGKT masih dalam perdebatan.
Patogenesis NH belum sepenuhnya dipahami meski ada dugaan faktor
genetik dan kegagalan mekanisme autoregulasi glomerulus memegang peranan.
Terdapat beberapa panduan kriteria klinis dalam penegakan diagnosis NH dan
biopsi ginjal merupakan kunci utama diagnosis NH. Tata laksana utama NH
adalah pengendalian tekanan darah dengan target penurunan tekanan darah adalah
<140/90 mmHg; dan tidak ada perbedaan dalam pemilihan obat antihipertensi
yang akan digunakan.
Patogenesis NH belum sepenuhnya dipahami, diduga multifaktorial, di
antaranya kegagalan mekanisme autoregulasi glomerular. Di samping itu,
tampaknya faktor genetik dan terakhir, adanya jejas pada podosit, diduga juga
berperan dalam patogenesis NH. Hingga saat ini, NH masih merupakan diagnosis
perekslusionam sebagai etiologi penyakit ginjal kronik atas kriteria klinis riwayat
hipertensi lama tanpa tanda penyakit ginjal primer. Kelainan histopatologis NH
masih diperdebatkan karena indikasi biopsi yang terbatas.
Tidak adanya kriteria pasti untuk NH apalagi jika tanpa disertai gambaran
histopatologi menyebabkan diagnosis NH sering terlewatkan. Maka penting bagi
dokter umum untuk mempelajari lebih lanjut mengenai gagal ginjal kronis yang
disebabkan oleh nefrosklerosis hipertensi mengingat prevalensi hipertensi yang
cukup tinggi di tingkat pelayanan primer.

1
BAB II
LAPORAN KASUS

I. IDENTIFIKASI
Nama : Tn. TAM
Tanggal Lahir : 12 September 1975
Umur : 41 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Jl. Kenanga I Senalang, Lubuk Linggau Utara
Pekerjaan : Wiraswasta
Agama : Islam
Bangsa : Indonesia
Suku Bangsa : Sumatera
MRS : 17 Agustus 2016
No. RM : 966710

II.ANAMNESIS
II.1.Keluhan Utama:
Sesak semakin hebat sejak 1 hari SMRS

2.2. Riwayat Perjalanan Penyakit:

1 bulan SMRS os mengeluh sesak napas, mengi (-), sesak timbul saat
beraktivitas, dan sesak hilang dengan istirahat. Sesak tidak dipengaruhi cuaca dan
emosi, terbangun malam hari karena sesak (-) os nyaman tidur dengan satu bantal
seperti biasa. Batuk (-), demam (-). Os mengeluh bengkak pada kedua tungkai,
bengkak di perut (-), bengkak di mata (-). Os merasa BAK menjadi lebih sedikit
dari biasanya dan frekuensinya menjadi berkurang. Nyeri pinggang (-), nyeri di
bawah pusar (-), sering kencing di malam hari (-), sering haus (-), sering mudah
lapar (-), mual (-), muntah (-), BAB tidak ada keluhan, os tidak berobat.
1 minggu SMRS os mengeluh sesak bertambah dan dirasakan saat
aktivitas sedang, mengi (-), sesak berkurang dengan istirahat. Bengkak pada kedua
tungkai belum menghilang, dan os belum juga berobat.
1 hari SMRS os mengeluh sesak semakin hebat saat berjalan ke kamar
mandi, sesak sedikit berkurang dengan istirahat, sesak tidak dipengaruhi cuaca
2
dan emosi, mengi (-), terbangun malam hari karena sesak (-) os nyaman tidur
dengan satu bantal seperti biasa. Bengkak pada kedua tungkai (+), bengkak di
perut (-), bengkak di mata (-). Demam (-), batuk (-), mual (-), muntah (-), badan
terasa lemah (+), nafsu makan menurun (-). BAK semakin berkurang hanya 1/4
gelas, buih (-), busa (-), berwarna keruh (-), berpasir (-), darah (-) sering kencing
di malam hari (-). Tangan atau kaki terasa kebas (-) kram (-), gatal-gatal di tubuh
(-), kejang (-), penurunan kesadaran (-). Os lalu berobat ke RS di Lubuk Linggau
dan dikatakan sakit ginjal lalu os di rujuk ke RSMH untuk cuci darah pertama
kali.

2.3. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat asma tidak ada
Riwayat batuk lama tidak ada
Riwayat sakit paru tidak ada
Riwayat hipertensi ada, sudah 20 tahun, tidak terkontrol
Riwayat DM tidak ada
Riwayat BAK berpasir tidak ada
Riwayat batu ginjal tidak ada

Riwayat Kebiasaan
Riwayat merokok ada sejak usia 30 tahun 1 bungkus/minggu
Riwayat konsumsi obat penghilang nyeri atau obat lain dalam jangka
waktu lama tidak ada

2.4. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat penyakit yang sama dalam keluarga disangkal.
Riwayat sakit paru dalam keluarga disangkal.
Riwayat darah tinggi, kencing manis, kelainan jantung, kelainan ginjal
dalam keluarga disangkal.

III. PEMERIKSAAN
Pemeriksaan Fisik Umum
Kesadaran : GCS = 15 (E4M6V5)
Suhu Badan : 36,4 C
Nadi : 91 kali/menit
Pernapasan : 28 kali/menit, reguler, cepat dan dalam, bau (-)
Tekanan Darah : 170/100 mmHg
BB : 55 kg TB : 165 cm

3
Pemeriksaan Fisik Khusus
Kepala
Bentuk : Normochepali Deformitas : (-)
Simetris : simetris Nyeri tekan : (-)
Rambut : normal Bising : (-)

Mata
Exophtalmus :- sklera : ikterik (-/-)
Enophtalmus :- kornea : normal
Kelopak : normal pupil : normal
Conjunctiva visus : 6/6
- palpebra : anemis (+/+) gerakan : normal
- bulbi : normal lapangan pandang : normal

Leher
JVP : 5-2 cmH2O,
Kel. getah bening : tidak teraba Kaku kuduk :-
Kel. Gondok : tidak teraba Tumor :-
Trachea : sentral

Thorax
Jantung :Inspeksi : Ictus kordistidakterlihat
Palpasi : Ictus kordistidak teraba
Perkusi : Batas jantungatas ICS II, batas kanan linea
sternalis dextra, batas kiri ICS V linea
axilaris anterior sinistra
Auskultasi : HR= 95x/menit, Bunyi jantung I-II (+)
normal, murmur (-), gallop (-)
Paru :Inspeksi : Statis simetris kanan = kiri
Dinamis simetris kanan & kiri
Retraksi sela iga (-)
Palpasi :Stem fremitus kiri = kanan
Pelebaran sela iga (-)
Nyeri tekan (-), Krepitasi (-)
Perkusi :Sonor kedua lapang paru
Batas paru hepar ICS V
Peranjakan 1 sela iga
Auskultasi : Vesikuler (+) normal, wheezing (-), ronkhi
basah halus (+)
Abdomen :Inspeksi : cembung, venektasi (-), jaringan parut (-)
Palpasi : Lemas, venektasi (-), jaringan parut (-),
hepar dan lien tak teraba
4
Perkusi : Timpani, shifting dulness (+)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Ekstremitas : Akral hangat (+/+), edema pretibial (+/+) makula
hiperpigmentasi dorsum pedis dextra et sinistra

LABORATORIUM:

DARAH LENGKAP DAN KIMIA DARAH

Jenis Pemeriksaan Hasil Rujukan


Protein Total 5,0 gr/dL 6,4-8,3 gr/dL
Albumin 3,3 gr/dL 3,5-5,0 gr/dL
Globulin 1,7 gr/dL 2,6-3,6 gr/dL
Hemoglobin 8,8 gr/dL 13,48-17,40 gr/dL
Hematokrit 27% 43-49%
Eritrosit 2,92x 103 /mm3 4,40-6,30x103/mm3
Leukosit 8,9 x 103 /mm3 4,73-10,89 x 103 /mm3
Trombosit 220 x 103/L 170-396 x 103/L
Hitung Jenis Leukosit
Basofil 0 0-1
Eosinofil 1 1-6
Netrofil 70 50-70
Limfosit 23 20-40
Monosit 6 2-8
MCV 92 fl 82 -92 fl
MCH 30 pg 27-31 pg
MCHC 32,6 % 32 37 %
GDS 95 mg/dL <200 mg/dL
SGOT 25 U/L 0-38 U/L
SGPT 15 U/L 0-41 U/L
Ureum 308 mg/dL <50 mg/dL
Kreatinin 10,80 mg/dL 0,50-0,90 mg/dL
Kalsium 8,9 mg/dL 8,8-10,2 mg/dL
Natrium 136 mg/dL 135-155 mg/dL
Kalium 4,1 mg/dL 3,5-5,5 mg/dL
LAJU FILTRASI GROMERULUS:
Rumus Cockroft Gault:

LFG = ((140-41)x55):(72x10,80)
= 7,0 ml/menit/1,73m2 (CKD stage V)

ANALISA GAS DARAH

5
Jenis Pemeriksaan Hasil Rujukan
FIO2 40,0 %
Temperatur 36,6 C
pH 7,31 7,35-7,45(Nilai kritis
<7,2 - >7,6)
pCO2 27,4 mmHg 35-45 mmHg (Nilai
kritis <20 - >75)
pO2 120,5 mmHg 83-108 mmHg (Nilai
kritis <40)
HCO3 15,9 mmol/L 21 28 mmol/l (<10 -
>40)
Total CO2 16,8 mmol/L
URINALISIS

Jenis Pemeriksaan Hasil Rujukan


Warna Kuning Kuning
Kejernihan Agak keruh Jernih
Berat Jenis 1,020 1,003-1,030
Ph 6,5 5-9
Protein Positif ++ Negatif
Glukosa Negatif Negatif
Keton Negatif Negatif
Darah Negatif Negatif
Bilirubin Negatif Negatif
Urobilinogen 1 0,1-1,8
Nitrit Negatif Negatif
Leukosit Esterase Negatif Negatif
Sedimen Urine
Epitel Positif + Negatif
Leukosit 4-5 0-5
Eritrosit 0-1 0-1
Silinder Negatif Negatif
Kristal Negatif Negatif
Bakteri Negatif Negatif
Mukus Negatif Negatif
Jamur Negatif Negatif

6
7
PEMERIKSAAN RADIOLOGIS

Rontgen thorax PA : Kardiomegali, LVH (Left Ventricle Hypertrophy).

EKG
Irama sinus
HR 95x per menit, reguler
Axis kiri.
Gel P normal
PR interval 0,16 detik.
Kompleks QRS 0,06 detik.
R/S di V1 < 1.
S di V1 + R di V5/V6 < 35.
ST changes (-). T inverted di lead I, Avl, V5, V6.
Kesan: LV strain

IV. DIAGNOSIS
CKD stage V ec Nefrosklerosis Hipertensi
Hipertensi stage II
Anemia

DIAGNOSIS BANDING:
Gagal Ginjal Akut

V. PENATALAKSANAAN
A. Norfarmakologis
8
Istirahat
Edukasi
O2 Nasal Canul 3 L/m
Rencana hemodialisis

B. Farmakologis
- IVFD D5 gtt x/m micro
- Inj. Furosemid 1 x 20 mg IV
- Clonidine 3 x 0,15 gr (P.O)
- Valsartan 1 x 50 mg (PO)
- Asam folat 2x1 tab
- Vit B1,B6,B12 1x1 tab

VI. SARAN PEMERIKSAAN:


Benzidine test
BNO
USG
Echocardiography

VI. PROGNOSIS
Quo ad Vitam : dubia ad bonam
Quo ad Functionam : dubiaad malam

VII. FOLLOW UP

Tanggal/ Jam Catatan Perkembangan Terintegrasi

18 agustus S= sesak
2016/ 06.00 O= sens: CM, TD: 170/100 mmHg, N: 88x/m
RR: 28x/m, T: 36,5C
Keadaan spesifik
Kepala : Konjungtiva palpebra pucat +/+, sklera ikterik -/-
Leher : JVP 5-2 cmH2O
Thorax : jantung: HR 88x/m, murmur (-) gallop (-)
Paru : vesikuler (+), ronkhi basah halus (+), wheezing (-)
Abdomen: datar, lemas, shifting dulness (+)
Ekstremitas : edema pretibia (+/+)
A: CKD stage V ec nefrosklerosis hipertensi
P: Non Farmakologis
- Istirahat
- O2 5 L/m kanul
9
- Edukasi
- Diet protein 40 gr
- Balance cairan
Farmakologis
- IVFD D5 gtt x/m micro
- Inj. Furosemid 1 x 20 mg IV
- Clonidine 3 x 0,15 gr (P.O)
- Valsartan 1 x 50 mg (PO)
- Asam folat 2x1 tab
- Vit B1,B6,B12 1x1 tab
- R/ HD hari ini
19 agustus S= sesak
2016/ 06.00 O= sens: CM, TD: 160/100 mmHg, N: 92x/m
RR: 26x/m, T: 36,4C
Keadaan spesifik
Kepala : Konjungtiva palpebra pucat +/+, sklera ikterik -/-
Leher : JVP 5-2 cmH2O
Thorax : jantung: HR 92x/m, murmur (-), gallop (-)
Paru : vesikuler (+), ronkhi basah halus (+), wheezing (-)
Abdomen: datar, lemas, shifting dulness (-)
Ekstremitas : edema pretibia (+/+)
A: CKD stage V ec nefrosklerosis hipertensi
P: Non Farmakologis
- Istirahat
- O2 5 L/m kanul
- Edukasi
- Diet protein 40 gr
Farmakologis
- IVFD D5 gtt x/m micro
- Inj. Furosemid 1 x 20 mg IV
- Clonidine 3 x 0,15 gr (P.O)
- Valsartan 1 x 50 mg (PO)
- Asam folat 2x1 tab
- Vit B1,B6,B12 1x1 tab
20 agustus S= -
2016/ 06.00 O= sens: CM, TD: 180/100 mmHg, N: 90x/m
RR: 21x/m, T: 36,5C
Keadaan spesifik

10
Kepala : Konjungtiva palpebra pucat -/-, sklera ikterik -/-
Leher : JVP 5-2 cmH2O
Thorax : jantung: HR 92x/m, murmur (-), gallop (-)
Paru : vesikuler (+), ronkhi basah halus (+), wheezing (-)
Abdomen: datar, lemas, shifting dulness (-)
Ekstremitas : edema pretibia (+/+)
A: CKD stage V ec nefrosklerosis hipertensi
P: Non Farmakologis
- Istirahat
- O2 5 L/m kanul
- Edukasi
- Diet protein 40 gr
Farmakologis
- IVFD D5 gtt x/m micro
- Inj. Furosemid 1 x 20 mg IV
- Clonidine 3 x 0,15 gr (P.O)
- Valsartan 1 x 50 mg (PO)
- Asam folat 2x1 tab
- Vit B1,B6,B12 1x1 tab

11
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 GAGAL GINJAL KRONIS


Definisi
Gagal ginjal kronis adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari
3 bulan, berdasarkan kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal seperti
proteinuria. Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal, diagnosis penyakit ginjal kronik
ditegakkan jika nilai laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73m,
seperti pada tabel berikut:

Tabel. Batasan penyakit ginjal kronik


c. Kerusakan ginjal > 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal,
dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus berdasarkan:
0 Kelainan patologik
1 Petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria atau kelainan pada
pemeriksaan pencitraan
d. Laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1,73m selama > 3 bulan dengan
atau tanpa kerusakan ginjal

Pada pasien dengan penyakit ginjal kronik, klasifikasi stadium ditentukan oleh
nilai laju filtrasi glomerulus, yaitu stadium yang lebih tinggi menunjukkan nilai
laju filtrasi glomerulus yang lebih rendah. Klasifikasi tersebut membagi penyakit
ginjal kronik dalam lima stadium. Stadium 1 adalah kerusakan ginjal dengan
fungsi ginjal yang masih normal, stadium 2 kerusakan ginjal dengan penurunan
fungsi ginjal yang ringan, stadium 3 kerusakan ginjal dengan penurunan yang
sedang fungsi ginjal, stadium 4 kerusakan ginjal dengan penurunan berat fungsi
ginjal, dan stadium 5 adalah gagal ginjal (Suwitra, 2006).

12
Tabel. Laju filtrasi glomerulus (LFG) dan stadium penyakit ginjal kronik
Stadium Deskripsi LFG (mL/menit/1.73
m)
0 Risiko meningkat 90 dengan faktor
risiko
1 Kerusakan ginjal disertai LFG normal atau 90
Meninggi
2 Penurunan ringan LFG 60-89
3 Penurunan moderat LFG 30-59
4 Penurunan berat LFG 15-29
5 Gagal ginjal < 15 atau dialisis

Etiologi
Dari data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian Renal
Registry (IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak
sebagai berikut glomerulonefritis (25%), diabetes melitus (23%), hipertensi (20%)
dan ginjal polikistik (10%).
a. Glomerulonefritis
Istilah glomerulonefritis digunakan untuk berbagai penyakit ginjal yang
etiologinya tidak jelas, akan tetapi secara umum memberikan gambaran
histopatologi tertentu pada glomerulus. Berdasarkan sumber terjadinya kelainan,
glomerulonefritis dibedakan primer dan sekunder. Glomerulonefritis primer
apabila penyakit dasarnya berasal dari ginjal sendiri sedangkan glomerulonefritis
sekunder apabila kelainan ginjal terjadi akibat penyakit sistemik lain seperti
diabetes melitus, lupus eritematosus sistemik (LES), mieloma multipel, atau
amiloidosis.
Gambaran klinik glomerulonefritis mungkin tanpa keluhan dan ditemukan secara
kebetulan dari pemeriksaan urin rutin atau keluhan ringan atau keadaan darurat
medik yang harus memerlukan terapi pengganti ginjal seperti dialisis.
b. Diabetes melitus
Menurut American Diabetes Association (2003) diabetes melitus
merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
kedua-duanya. Diabetes melitus sering disebut sebagai the great imitator, karena
penyakit ini dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai
macam keluhan. Gejalanya sangat bervariasi. Diabetes melitus dapat timbul secara
perlahan-lahan sehingga pasien tidak menyadari akan adanya perubahan seperti
minum yang menjadi lebih banyak, buang air kecil lebih sering ataupun berat
badan yang menurun. Gejala tersebut dapat berlangsung lama tanpa diperhatikan,
sampai kemudian orang tersebut pergi ke dokter dan diperiksa kadar glukosa
darahnya

c. Hipertensi
Hipertensi adalah tekanan darah sistolik 140 mmHg dan tekanan darah diastolik
90 mmHg, atau bila pasien memakai obat antihipertensi (Mansjoer, 2001).
Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi dua golongan yaitu
hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya atau
idiopatik, dan hipertensi sekunder atau disebut juga hipertensi renal.

d. Ginjal polikistik
Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan atau
material yang semisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada keadaan ini dapat
ditemukan kista-kista yang tersebar di kedua ginjal, baik di korteks maupun di
medula. Selain oleh karena kelainan genetik, kista dapat disebabkan oleh berbagai
keadaan atau penyakit. Jadi ginjal polikistik merupakan kelainan genetik yang
paling sering didapatkan. Nama lain yang lebih dahulu dipakai adalah penyakit
ginjal polikistik dewasa (adult polycystic kidney disease), oleh karena sebagian
besar baru bermanifestasi pada usia di atas 30 tahun. Ternyata kelainan ini dapat
ditemukan pada fetus, bayi dan anak kecil, sehingga istilah dominan autosomal
lebih tepat dipakai daripada istilah penyakit ginjal polikistik dewasa.

Faktor risiko
Faktor risiko gagal ginjal kronik, yaitu pada pasien dengan diabetes
melitus atau hipertensi, obesitas atau perokok, berumur lebih dari 50 tahun, dan
individu dengan riwayat penyakit diabetes melitus, hipertensi, dan penyakit ginjal
dalam keluarga (Mansjoer, 2002).

Patofisiologi
Penurunan fungsi ginjal yang progresif tetap berlangsung terus meskipun
penyakit primernya telah diatasi atau telah terkontrol. Hal ini menunjukkan
adanya mekanisme adaptasi sekunder yang sangat berperan pada kerusakan yang
sedang berlangsung pada penyakit ginjal kronik. Bukti lain yang menguatkan
adanya mekanisme tersebut adalah adanya gambaran histologik ginjal yang sama
pada penyakit ginjal kronik yang disebabkan oleh penyakit primer apapun.
Perubahan dan adaptasi nefron yang tersisa setelah kerusakan ginjal yang awal
akan menyebabkan pembentukan jaringan ikat dan kerusakan nefron yang lebih
lanjut. Demikian seterusnya keadaan ini berlanjut menyerupai suatu siklus yang
berakhir dengan gagal ginjal terminal (Mansjoer, 2002).

Gambaran klinik
Gambaran klinik gagal ginjal kronik berat disertai sindrom azotemia
sangat kompleks, meliputi kelainan-kelainan berbagai organ seperti: kelainan
hemopoeisis, saluran cerna, mata, kulit, selaput serosa, kelainan neuropsikiatri dan
kelainan kardiovaskular.
a. Kelainan hemopoeisis
Anemia normokrom normositer dan normositer (MCV 78-94 CU), sering
ditemukan pada pasien gagal ginjal kronik. Anemia yang terjadi sangat bervariasi
bila ureum darah lebih dari 100 mg% atau bersihan kreatinin kurang dari 25 ml
per menit.
b. Kelainan saluran cerna
Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian pasien
gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Patogenesis mual dam
muntah masih belum jelas, diduga mempunyai hubungan dengan dekompresi oleh
flora usus sehingga terbentuk amonia. Amonia inilah yang menyebabkan iritasi
atau rangsangan mukosa lambung dan usus halus. Keluhan-keluhan saluran cerna
ini akan segera mereda atau hilang setelah pembatasan diet protein dan
antibiotika.
c. Kelainan mata
Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian kecil
pasien gagal ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah beberapa hari
mendapat pengobatan gagal ginjal kronik yang adekuat, misalnya hemodialisis.
Kelainan saraf mata menimbulkan gejala nistagmus, miosis dan pupil asimetris.
Kelainan retina (retinopati) mungkin disebabkan hipertensi maupun anemia yang
sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Penimbunan atau deposit garam
kalsium pada conjunctiva menyebabkan gejala red eye syndrome akibat iritasi dan
hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga dijumpai pada beberapa pasien gagal
ginjal kronik akibat penyulit hiperparatiroidisme sekunder atau tersier.
d. Kelainan kulit
Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas dan
diduga berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan gatal ini akan
segera hilang setelah tindakan paratiroidektomi. Kulit biasanya kering dan
bersisik, tidak jarang dijumpai timbunan kristal urea pada kulit muka dan
dinamakan urea frost
e. Kelainan selaput serosa
Kelainan selaput serosa seperti pleuritis dan perikarditis sering dijumpai
pada gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Kelainan selaput serosa
merupakan salah satu indikasi mutlak untuk segera dilakukan dialisis.
f. Kelainan neuropsikiatri
Beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil, dilusi, insomnia, dan
depresi sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Kelainan mental berat
seperti konfusi, dilusi, dan tidak jarang dengan gejala psikosis juga sering
dijumpai pada pasien GGK. Kelainan mental ringan atau berat ini sering dijumpai
pada pasien dengan atau tanpa hemodialisis, dan tergantung dari dasar
kepribadiannya (personalitas).
g. Kelainan kardiovaskular
Patogenesis gagal jantung kongestif (GJK) pada gagal ginjal kronik sangat
kompleks. Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi, aterosklerosis, kalsifikasi
sistem vaskular, sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik terutama pada
stadium terminal dan dapat menyebabkan kegagalan faal jantung (Mansjoer,
2002).

Diagnosis
Pendekatan diagnosis gagal ginjal kronik (GGK) mempunyai sasaran
berikut:
a. Memastikan adanya penurunan faal ginjal (LFG)
b. Mengejar etiologi GGK yang mungkin dapat dikoreksi
c. Mengidentifikasi semua faktor pemburuk faal ginjal (reversible factors)
d. Menentukan strategi terapi rasional
e. Meramalkan prognosis
Pendekatan diagnosis mencapai sasaran yang diharapkan bila dilakukan
pemeriksaan yang terarah dan kronologis, mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik
diagnosis dan pemeriksaan penunjang diagnosis rutin dan khusus.

a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik


Anamnesis harus terarah dengan mengumpulkan semua keluhan yang
berhubungan dengan retensi atau akumulasi toksin azotemia, etiologi GGK,
perjalanan penyakit termasuk semua faktor yang dapat memperburuk faal ginjal
(LFG). Gambaran klinik (keluhan subjektif dan objektif termasuk kelainan
laboratorium) mempunyai spektrum klinik luas dan melibatkan banyak organ dan
tergantung dari derajat penurunan faal ginjal.
b. Pemeriksaan laboratorium
Tujuan pemeriksaan laboratorium yaitu memastikan dan menentukan
derajat penurunan faal ginjal (LFG), identifikasi etiologi dan menentukan
perjalanan penyakit termasuk semua faktor pemburuk faal ginjal.
1) Pemeriksaan faal ginjal (LFG)
Pemeriksaan ureum, kreatinin serum dan asam urat serum sudah cukup
memadai sebagai uji saring untuk faal ginjal (LFG).
2) Etiologi gagal ginjal kronik (GGK)
Analisis urin rutin, mikrobiologi urin, kimia darah, elektrolit dan
imunodiagnosis.
3) Pemeriksaan laboratorium untuk perjalanan penyakit
Progresivitas penurunan faal ginjal, hemopoiesis, elektrolit, endoktrin, dan
pemeriksaan lain berdasarkan indikasi terutama faktor pemburuk faal ginjal
(LFG).
c. Pemeriksaan penunjang diagnosis
Pemeriksaan penunjang diagnosis harus selektif sesuai dengan tujuannya,
yaitu:
1) Diagnosis etiologi GGK
Beberapa pemeriksaan penunjang diagnosis, yaitu foto polos perut,
ultrasonografi (USG), nefrotomogram, pielografi retrograde, pielografi
antegrade dan Micturating Cysto Urography (MCU).

2) Diagnosis pemburuk faal ginjal


Pemeriksaan radiologi dan radionuklida (renogram) dan pemeriksaan
ultrasonografi (USG) (Suwitra, 2006).

Pencegahan
Upaya pencegahan terhadap penyakit ginjal kronik sebaiknya sudah mulai
dilakukan pada stadium dini penyakit ginjal kronik. Berbagai upaya pencegahan
yang telah terbukti bermanfaat dalam mencegah penyakit ginjal dan
kardiovaskular, yaitu pengobatan hipertensi (makin rendah tekanan darah makin
kecil risiko penurunan fungsi ginjal), pengendalian gula darah, lemak darah,
anemia, penghentian merokok, peningkatan aktivitas fisik dan pengendalian berat
badan (Suwitra, 2006).

Penatalaksanaan
a. Terapi konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal
secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia,
memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan
dan elektrolit.
1) Peranan diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau
mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan
terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen.
2) Kebutuhan jumlah kalori
Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus adekuat dengan
tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen,
memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi.
3) Kebutuhan cairan
Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya jumlah
diuresis mencapai 2 L per hari.
4) Kebutuhan elektrolit dan mineral
Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung dari
LFG dan penyakit ginjal dasar (underlying renal disease).
b. Terapi simtomatik
1) Asidosis metabolik
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium
(hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat
diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera
diberikan intravena bila pH 7,35 atau serum bikarbonat 20 mEq/L.
2) Anemia
Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu pilihan
terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi darah harus
hati-hati karena dapat menyebabkan kematian mendadak.
3) Keluhan gastrointestinal
Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering
dijumpai pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan utama
(chief complaint) dari GGK. Keluhan gastrointestinal yang lain adalah
ulserasi mukosa mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang harus
dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik.
4) Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.
5) Kelainan neuromuskular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis
reguler yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal paratiroidektomi.
6) Hipertensi
Pemberian obat-obatan anti hipertensi.
7) Kelainan sistem kardiovaskular
Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang
diderita.

c. Terapi pengganti ginjal


Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu
pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis,
dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal.
1) Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik
azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada
pasien GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG).
Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif. Beberapa
yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis, ensefalopati/neuropati
azotemik, bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik,
hipertensi refrakter, muntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg%
dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m,
mual, anoreksia, muntah, dan astenia berat.
Hemodialisis di Indonesia dimulai pada tahun 1970 dan sampai sekarang telah
dilaksanakan di banyak rumah sakit rujukan. Umumnya dipergunakan ginjal buatan yang
kompartemen darahnya adalah kapiler-kapiler selaput semipermiabel (hollow fibre
kidney). Kualitas hidup yang diperoleh cukup baik dan panjang umur yang tertinggi
sampai sekarang 14 tahun. Kendala yang ada adalah biaya yang mahal.
2) Dialisis peritoneal (DP)
Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis
(CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik CAPD, yaitu
pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah
menderita penyakit sistem kardiovaskular, pasien-pasien yang cenderung akan
mengalami perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan pembuatan AV shunting,
pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal terminal) dengan residual urin masih
cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai co-morbidity dan co-mortality. Indikasi
non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk melakukan
sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal.
3) Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan faal) (Suwitra,
2006).

3.2 NEFROSKLEROSIS HIPERTENSIF


Istilah nefrosklerosis hipertensif sebenarnya telah lama digunakan untuk
menggambarkan suatu sindrom klinis yang ditandai dengan adanya riwayat hipertensi
esensial lama, retinopati hipertensi, hipertrofi ventrikel kiri, proteinuria minimal, dan insufi
siensi renal yang progresif.
Secara sederhana, nefrosklerosis diartikan sebagai pengerasan ginjal. Kata ini
diperkenalkan oleh Theodor Fahr lebih dari satu abad yang lalu. Secara terminologi,
nefrosklerosis hipertensif diartikan sebagai nefrosklerosis benigna, dengan ditemukannya
kerusakan pada arteriola arkuata, interlobular, serta arteriola aferen dan eferen. Gambaran
histopatologi ditandai adanya hialinoisis arteriolar dan hipertrofi otot vascular (Tracy & Ishii,
2000).

EPIDEMIOLOGI
Berdasarkan laporan USRDS, nefrosklerosis hipertensif terjadi sedikitnya 24% setiap
tahun pada populasi pasien penyakit ginjal kronik terminal (PGKT) di Amerika Serikat. Di
Eropa, mengacu pada data register European Dialysis and Transplant Association, angka
kejadian NH sebagai penyebab PGKT berkisar 12%. Data tiap negara bervariasi, Perancis
dan Italia melaporkan kejadian NH sebagai penyebab PGKT masing-masing berkisar 21%
dan 27%. Di Asia, Jepang melaporkan bahwa kejadian hipertensi sebagai penyebab PGKT
sekitar 6%, sedangkan di Cina sekitar 7%. Di Indonesia sendiri, angka kejadian hipertensi
sebagai etiologi PGK pada populasi berkisar 8,46% (Suwitra, 2006). Prevalensi NH sering
overestimated karena hipertensi jarang menjadi etiologi tunggal NH, dan diagnosis sering
didasarkan hanya pada data klinis. Selain itu, terkadang gambaran histologi nefrosklerosis,
tetapi klinis tidak ada hipertensi. Ada dugaan kejadian NH berkaitan dengan faktor genetik;
angka kejadian lebih tinggi pada ras kulit hitam dibandingkan kulit putih. Zuccala dan
Zucchelli melaporkan kejadian NH sebesar 45% pada kulit putih, sedangkan Fogo
melaporkan 85% pada kulit hitam.
Dari faktor usia, kejadian NH meningkat seiring dengan pertambahan usia dengan usia
puncak 65 tahun pada ras kulit putih dan 45 65 tahun pada ras kulit hitam. Umumnya,
diagnosis NH pada pasien usia lanjut dibuat berdasarkan klinis mengingat pada praktiknya,
terdapat keengganan melakukan biopsi ginjal pada populasi ini meskipun usia lanjut bukan
kontraindikasi (Moutzouris dkk, 2009). Lagipula jika biopsi ginjal dapat dilakukan, tetap sulit
membedakan apakah jejas vaskuler disebabkan proses penuaan atau karena hipertensi.
Umumnya, penyakit renovaskular ateromatosa sering dijumpai pada pasien berusia lebih dari
50 tahun.

PATOGENESIS
Patogenesis NH belum sepenuhnya dipahami. Ada banyak faktor yang berperan seperti
mekanisme autoregulasi yang tidak adekuat sehingga tidak mampu mempertahankan
homeostasis tubuloglomerular feedback dan tekanan intraglomerular, adanya iskemi
glomerular, hemodinamik glomerular, dan peranan angiotensin II intraglomerular Hipertensi
sendiri dapat merupakan penyebab progresivitas kerusakan fungsi ginjal atau juga sebaliknya,
yakni dapat merupakan faktor penyebab sekunder PGK. Hubungan erat ini tampak jelas
melalui evaluasi progresivitas penderita PGK; akan dijumpai perlambatan di kelompok
dengan pencapaian target penurunan tekanan darah yang lebih rendah.

Mekanisme Autoregulasi Kapiler Glomerulus Normal


Tekanan glomerular dipengaruhi oleh tiga faktor yakni tekanan arteri rerata (mean
arterial pressure MAP) atau tekanan perfusi, dan resistensi relatif dari kedua arteriole yakni
aferen dan eferen. Pada kondisi normal, tekanan darah sistemik yang mengalami peningkatan
secara episodik ataupun kontinyu tidak berakibat banyak pada mikrovaskular glomerular. Hal
ini karena adanya perlindungan oleh suatu mekanisme autoregulasi dengan vasokonstriksi
arteriole aferen (preglomerular) untuk mempertahankan renal blod flow dan agar tekanan
hidrostatik intraglomerular dalam keadaan relatif konstan. Respons awal terhadap
peningkatan MAP adalah peningkatan resistensi arteriol aferen (RA) untuk mencegah
diteruskannya tekanan sistemik yang tinggi ke dalam kapiler glomerular. Resistensi arteriol
eferen (RE) akan menurun dan menyebabkan dekompresi pada glomerulus. Hal ini berguna
untuk membatasi peningkatan tekanan hidrostatik kapiler glomerular (glomerular capillary
hydraulic pressure PGC) dan untuk mempertahankan aliran plasma renal (renal plasma fl
ow) dalam kondisi konstan.

Kegagalan Mekanisme Autoregulasi Kapiler Glomerulus pada Nefrosklerosis


Hipertensif
Jika MAP berada sedikit di atas batas autoregulasi, yang terjadi adalah nefrosklerosis
benigna, namun akselerasi peningkatan tekanan darah yang mendadak mengakibatkan
terjadinya nefrosklerosis maligna. Pada hipertensi, mekanisme autoregulasi dan fungsi
endotel dalam memproduksi nitric oxide (NO) yang masih normal dan intak terhadap shear
stress akan mampu mempertahankan tekanan intraglomerular dalam keadaan normal
sehingga penurunan fungsi ginjal menjadi sangat lambat. Kompensasi yang terjadi dari sisa-
sisa glomerulus terjadi melalui mekanisme adaptasi yakni dengan meningkatkan laju fi ltrasi
glomerulus. Resistensi arteriol baik pada aferen dan eferen akan mengalami penurunan yang
akan menyebabkan peningkatan aliran plasma renal dan laju filtrasi glomerular. Pada kondisi
ini, peningkatan tekanan MAP akan diteruskan langsung ke dalam kapiler glomerular
mengakibatkan terjadinya hipertensi glomerular, peningkatan fi ltrasi protein, dan
merangsang pelepasan sitokin dan growth factor yang akan menyebabkan jejas pada kapiler.
Hipertensi yang berlangsung lama akan menyebabkan perubahan resistensi arteriol
aferen dan eferen yang telah menyempit akibat perubahan struktur mikrovaskuler. Kondisi ini
akan menyebabkan iskemi glomerular dan mengaktivasi respons infl amasi. Hasilnya, akan
terjadi pelepasan mediator infl amasi, endotelin, dan aktivasi angiotensin II (AII) intrarenal.
Kondisi ini pada akhirnya akan mengaktivasi apoptosis, meningkatkan produksi matriks dan
deposit pada mikrovaskular glomerulus dan terjadilah sklerosis glomerulus atau
nefrosklerosis.

Iskemia glomerular

Pada hipertensi, nefron yang masih sehat akan melakukan kompensasi dengan
melakukan vasodilatasi aferen diikuti peningkatan tekanan intraglomerular (hipertensi
glomerular dan hiperfi ltrasi glomerular) disertai proteinuria masif, yang pada akhirnya akan
menyebabkan nefrosklerosis hipertensif dan berujung pada PGKT. Struktur arteri aferen
berubah, terjadi wrinkling collaps dan sklerosis global pada membran basal glomerulus
sehingga arteriol menjadi tidak intak. Konsekuensi hipertensi kronik akan berakibat
terjadinya jejas mikrovaskular, iskemia, dan hipertrofi kapiler glomerular. Penyempitan arteri
dan arteriol aferen berakibat aliran darah menuju glomerulus menjadi berkurang sehingga
terjadi iskemia glomerular dan glomerulosklerosis. Iskemia glomerular menurunkan aliran
plasma pascaglomerular yang akan memicu iskemia tubular, dan kemudian mengaktivasi
endotelin, TGF- yang mengakibatkan sklerosis glomerular, tubulointerstisial atau
nefrosklerosis.

HISTOPATOLOGI
Gambaran histopatologi pada NH ditandai dengan adanya hialinosis arteriolar dan
hipertrofi otot vaskular. Hialinosis diartikan sebagai lesi yang mengandung bahan aselular,
tidak berstruktur, terdiri atas glikoprotein dan kadang-kadang meleburkan lipid.
Secara umum, pada NH terjadi perubahan histologi vaskuler, glomerular dan
tubulointerstitial. Perubahan vaskuler berupa hipertrofi medial dan penebalan fi broplastik
intimal yang menyebabkan penyempitan lumen vaskuler arteri renalis dan arteriol glomerular,
dan deposisi materi hialin pada dinding arteriol. Perubahan glomerular berupa fokal global
dan fokal segmental sklerosis sedangkan perubahan pada tubulointerstitial berupa atrofi atau
dilatasi tubulus (Marin dkk, 2005).
Gambaran histopatologi NH pada bentuk benigna maupun maligna dikenal sebagai
hiperplasia miointimal interlobular dan pembuluh arteriolar aferen, hialinisasi
arteriosklerosis, pengerutan glomerulus dan berakhir dengan glomerulosklerosis global.
Perubahan-perubahan ini terjadi akibat iskemia glomerular yang disebabkan oleh
penyempitan arteriol aferen:
1) Hialinosis arteriol dan arteri interlobular dengan penebalan tunika media disebabkan
oleh hipertrofi dan hiperplasia otot polos vaskular, material hialin akibat insudasi protein
plasma pada dinding arteriolar, berwarna cerah pada pengecatan PAS. Besarnya insudasi
protein plasma diikuti dengan penyempitan lumen arteriol.

Hialinosis arteriol aferen merupakan penanda kerusakan ginjal pada hipertensi esensial,
deposit hialin ditemukan pada otot polos arteriol yang mengalami atrofi sehingga
memengaruhi tekanan lumen arteriol dengan akibat permeabilitas endotel meningkat dan
meningkatkan insudasi protein plasma.
2) Hipertrofi miointima (fi broplastic intimal thickening) pada pembuluh darah
interlobu-lar dan arteriol berakibat penyempitan lumen arteriolar dan arteria interlobaris,
selanjutnya wrinkling collaps dari glomerular tuft dan glomerulosclerosis. Kerusakan
mikrovaskular ditentukan oleh skor proliferasi miointima. Ditemukan penebalan fibroelastik
dengan pembentukan jaringan ikat pada tunika me-dia arteriol aferen. Penelitian morfometrik
me-laporkan bahwa NH akibat hipertensi esensial berkorelasi antara volume insterstitial,
clear-ance creatinine, dengan hiperplasi muscular arteriol, dan tidak berkorelasi dengan
hialino-sis arteriol atau oleh penebalan arteriol inter-lobar.

DIAGNOSIS
Secara klinis, nefrosklerosis hipertensif ditandai dengan adanya riwayat hipertensi lama
dengan retinopati hipertensif derajat I atau II, adanya hipertrofi ventrikel kiri jantung,
sedimen urin normal dan proteinuria kurang dari 1 gram per 24 jam. Adanya PGK dengan
nilai kreatinin > 1.8 mg/dL atau creatinine clearance <40 mL/menit/1,73m2 serta USG ginjal
menunjukkan ginjal mengecil dan bentuk iregular dapat membantu mengarahkan ke
diagnosis NH (Rose & Kaplan, 2009).
Secara klinikopatologis, terdapat dua kelompok NH, yakni nefrosklerosis benigna dan
nefrosklerosis maligna. Nefrosklerosis, nefrosklerosis benigna, dan penyakit ginjal
hipertensif merupakan terminologi yang dipakai para klinisi bilamana kerusakan ginjal
dianggap terjadi akibat hipertensi esensial. Gambaran histopatologi meliputi perubahan
mikrovaskular berupa hialinosis dinding pembuluh darah preglomerular, penebalan tunika
intima dan duplikasi internal elastic lamina arkuata dan arteri interlobaris dan akhirnya
berlanjut dengan kerusakan glomerulus berupa glomerulosklerosis, atrofi tubulus, dan
fibrosis interstitialis.
Bentuk lain adalah NH maligna, keadaan ini berkaitan dengan terjadinya akselerasi
tekanan darah atau hipertensi maligna yang ditandai dengan terbentuknya nekrosis fibrinoid
dan hiperplasia miointima yang bila tidak cepat diatasi akan berakibat kerusakan ginjal
progresif. Nefrosklerosis maligna akhir-akhir ini makin berkurang dengan kemajuan
pengelolaan obat-obat antihipertensi.
Biopsi ginjal merupakan kunci diagnosis NH. Peranan biopsi ginjal pada nefrosklerosis
hipertensif serupa dengan kondisi pada nefropati diabetik. Biopsi ginjal hanya dilakukan pada
keadaan tertentu saja yakni pada penderita yang tidak mengalami akselerasi hipertensi atau
riwayat hipertensi yang lama disertai dengan kadar serum kreatinin kurang dari 2,5 mg/dL
dan proteinuria lebih dari 1.500 mg per 24 jam meski ada juga yang menyebutkan proteinuria
dapat kurang dari 500 mg/24 jam.

PENATALAKSANAAN
Peningkatan tekanan darah sudah terbukti mengakibatkan gangguan fungsi ginjal.
Penurunan tekanan darah merupakan kunci
utama dalam mencegah progresi penurunan fungsi ginjal pada NH. Namun yang sering
menjadi pertanyaan adalah berapa target penurunan tekanan darah dan jenis obat apa yang
terbaik.

Hingga saat ini, penatalaksanaan NH masih mengacu pada penelitian AASK (African
American Study of Kidney Disease and Hypertension). AASK meneliti 1094 orang ras
Afrika-Amerika yang hipertensi kronik dengan gangguan fungsi ginjal yang tidak dapat
dijelaskan sebabnya serta adanya proteinuria ringan berkisar 500 600 mg per hari.
Digunakan tiga obat antihipertensi yakni ramipril, metoprolol dan amlodipin. Target
penurunan tekanan darah adalah 125/75 mmHg atau 140/90 mmHg. Sasaran primer pada
akhir penelitian ini adalah perubahan LFG yakni saat pertama terjadi penurunan LFG 50%
atau LFG 25 ml/menit/1.73 m2; saat terjadi gagal ginjal; atau saat kematian. Penelitian ini
selama 4 tahun, didapatkan rerata penurunan tekanan darah tertinggi adalah 141/85 mmHg
dan rerata penurunan tekanan darah terendah adalah 128/78 mmHg. Sasaran primer ternyata
tidak berbeda bermakna pada kelompok dengan target 140/90 mmHg atau 125/75 mmHg.
Hal ini menunjukkan bahwa target tekanan darah kurang dari 140/90 mmHg tidak
memberikan hasil lebih baik. Dari segi kelompok jenis obat, ramipril menunjukkan hasil
sasaran primer yang lebih baik bermakna dibanding dengan metoprolol atau amlodipin.
Metoprolol sendiri tidak berbeda bermakna dengan amlodipin. Namun setelah 10 tahun
penelitian, tidak didapatkan perbedaan bermakna antara ketiga jenis antihipertensi maupun
penurunan tekanan darah serendah mungkin terhadap progresi penurunan LFG.

Penelitian lain dalam skala lebih kecil dilakukan oleh Siewer-Delle dkk di Swedia.
Diteliti 23 pasien pria dengan hipertensi primer baru dan 11 pasien pria dengan normotensi
dengan usia yang sama. Antihipertensi yang dipakai adalah penyekat beta dan penambahan
hidroklorotiazid jika diperlukan. LFG dinilai pada saat awal, saat 7 tahun dan saat 14 tahun.
Setelah 7 tahun penelitian, ternyata didapatkan penurunan LFG dari 103 ml/menit/1.73m 2
menjadi 84 ml/ menit/1.73m2 namun setelah itu tidak terjadi penurunan LFG sampai dengan
tahun ke-14. Selama 14 tahun penelitian, didapatkan rerata tekanan darah berkisar 139/88
mmHg. Siewert menyimpulkan bahwa pada pasien Swedia (ras kulit putih), pengendalian
hipertensi dengan obat konvensional dapat mencegah penurunan fungsi ginjal selama 14
tahun.

Disimpulkan bahwa (1) target penurunan tekanan darah pada pasien dengan
nefrosklerosis hipertensif adalah <140/90 mmHg dan (2) semua jenis antihipertensi
menunjukkan hasil yang tidak berbeda dalam mencegah progresi penurunan LFG.

3.3 ANEMIA PADA PENYAKIT GINJAL


a. Definisi Anemia
World Health Organization (WHO) mendefinisikan anemia dengan konsentrasi
hemoglobin < 13,0 mg/dl pada laki-laki dan wanita postmenopause dan < 12,0 gr/dl pada
wanita lainnya. The European Best Practice Guidelines untuk penatalaksanaan anemia pada
pasien-pasien penyakit ginjal kronik mengatakan bahwa batas bawah hemoglobin normal
adalah 11,5 gr/dl pada wanita, 13,5 gr/dl pada laki-laki dibawah atau sama dengan 70 tahun
dan 12,0 gr/dl pada laki-laki diatas 70 tahun. The National Kidney Foundations Kidney
Dialysis Outcomes Quality Initiative (K/DOQI) merekomendasikan anemia pada pasien
penyakit ginjal kronik jika kadar hemoglobin < 11,0 gr/dl (hematokrit <33%) pada wanita
premenopause dan pasien prepubertas, dan < 12,0 gr/dl (hematokrit <37%) pada laki-laki
dewasa dan wanita postmenopause. Berdasarkan PERNEFRI 2011, dikatakan anemia pada
penyakit ginjal kronik jika Hb 10 gr/dl dan Ht 30%.
Anemia sering terjadi pada pasien-pasien dengan penyakit ginjal kronis. Klinisi harus
memikirkan keadaan anemia jika tingkat Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) pasien menurun ke
2
60 ml/menit/1,73 m atau lebih rendah.

b. Etiologi Anemia pada Penyakit Ginjal Kronik

Faktor-faktor yang berkaitan dengan anemia pada penyakit ginjal kronik termasuk kehilangan
darah, pemendekan masa hidup sel darah merah, defisiensi vitamin, uremic milieu, defisiensi
eritropoetin, defisiensi besi dan inflamasi.
Kehilangan Darah
Pasien-pasien dengan penyakit ginjal kronis memiliki risiko kehilangan darah oleh karena
terjadinya disfungsi platelet. Penyebab utama kehilangan darah pada pasien-pasien ini adalah
dari dialisis, terutama hemodialisis dan nantinya menyebabkan defisiensi besi juga. Pasien-
pasien hemodialisis dapat kehilangan 3 -5 gr besi per tahun. Normalnya, kita kehilangan besi
1-2 mg per hari sehingga kehilangan besi pada pasien-pasien dialisis 10-20 kali lebih banyak.
Pemendekan masa hidup eritrosit
Masa hidup eritrosit berkurang sekitar sepertiga pasien-pasien hemodialisis.
Defisiensi Eritropoetin
Defisiensi eritropoetin merupakan penyebab utama anemia pada pasien-pasien penyakit
ginjal kronik. Para peneliti mengatakan bahwa sel-sel peritubular yang menghasilkan
eritropoetin rusak sebagian atau seluruhnya seiring dengan progresivitas penyakit ginjalnya,
sehingga produksi eritropoetin tidak serendah sesuai dengan derajat anemianya. Donelly
mengatakan bahwa defisiensi eritropoetin relatif pada penyakit ginjal kronik dapat berespon
terhadap penurunan fungsi glomerulus. Satu studi mengatakan bahwa untuk mempertahankan
kemampuan untuk meningkatkan kadar eritropoetin dengan cara tinggal pada daerah yang
tinggi.
Defisiensi Besi
Homeostasis besi tampaknya terganggu pada penyakit ginjal kronik. Untuk alasan
yang masih belum diketahui (kemungkinan karena malnutrisi), kadar transferin pada
penyakit ginjal kronik setengah atau sepertiga dari kadar normal, menghilangkan kapasitas
sistem transport besi. Situasi ini yang kemudian mengganggu kemampuan untuk
mengeluarkan cadangan besi dari makrofag dan hepatosit pada penyakit ginjal kronik.
Inflamasi
Anemia pada inflamasi juga ditandai dengan kadar besi serum yang rendah, saturasi
transferin yang rendah dan gangguan pengeluaran cadangan besi yang bermanifestasi
dengan tingginya serum feritin. Peningkatan jumlah sitokin-sitokin inflamasi di sirkulasi
seperti interleukin 6 berhubungan dengan respon yang buruk terhadap pemberian
eritropoetin pada pasien-pasien gagal ginjal terminal.

e. Diagnosis
Pada penyakit ginjal kronik, keadaan anemia yang terjadi tidak sepenuhnya berkaitan
dengan penyakit ginjalnya. Anemia pada penyakit ginjal kronik dapat dijadikan diagnosis
setelah mengeksklusikan adanya defisiensi besi dan kelainan eritrosit lainnya.

Beberapa poin harus diperiksa dahulu sebelum dilakukan pemberian terapi penambah
eritrosit, yaitu :
- Darah lengkap
- Pemeriksaan darah tepi
- Hitung retikulosit
- Pemeriksaan besi (serum iron, total iron binding capacity, saturasi transferin, serum
feritin)
- Pemeriksaan darah tersamar pada tinja
- Kadar vitamin B12
- Hormon paratiroid

FERITIN PADA GAGAL GINJAL KRONIK

Struktur dan Fungsi Feritin

Feritin merupakan protein cadangan besi utama yang dijumpai pada jaringan tubuh
manusia. Feritin terdiri dari 24 subunit dengan 2 tipe yaitu di hati (L) dan jantung (H), dengan
berat molekul 19 dan 21 kDa. Subunit H memiliki peranan yang penting dalam
mendetoksifikasi besi secara cepat oleh karena aktivitas feroksidasenya, dimana oksidasi besi
menjadi bentuk Fe(III). Sedangkan subunit L memfasilitasi nukleasi besi, mineralisasi dan
cadangan besi jangka panjang.
Feritin merupakan tempat penyimpanan zat besi terbesar dalam tubuh. Fungsi
feritin adalah sebagai penyimpanan zat besi terutama di dalam hati, limpa dan sumsum
tulang. Zat besi yang berlebihan akan disimpan dan bila diperlukan dapat dimobilisasi
kembali. Hati merupakan tempat penyimpanan feritin terbesar di dalam tubuh dan
berperan dalam mobilisasi feritin serum. Pada penyakit hati akut maupun kronik kadar
feritin serum meningkat, hal ini disebabkan pengambilan feritin dalam sel hati terganggu
dan terdapat pelepasan feritin dari sel hati yang rusak. Pada penyakit keganasan sel darah
merah, kadar feritin serum meningkat disebabkan meningkatnya sintesis feritin oleh sel
leukemia. Pada keadaan infeksi dan inflamasi terjadi gangguan pelepasan zat besi dari sel
retikuloendotelial dan disekresikan ke dalam plasma. Sintesis feritin dipengaruhi oleh
konsentrasi cadangan besi intrasel dan berkaitan pula dengan cadangan zat besi intrasel
(hemosiderin).

Feritin pada Keadaan Inflamasi

Kadar C-Reactive Protein (CRP) akan meningkat cepat pada infeksi, disebut
respon fase akut. Peningkatan CRP berhubungan dengan peningkatan konsentrasi
interleukin-6 (IL-6) di dalam plasma yang sebagian besar diproduksi oleh makrofag.
Makrofag merupakan sel imun yang berperan langsung dengan kadar besi dalam tubuh
manusia. Makrofag membutuhkan zat besi untuk memproduksi highly toxic hydroxyl
radical, juga merupakan tempat penyimpanan besi yang utama pada saat terjadi proses
inflamasi. Sitokin, radikal bebas, serta protein fase akut yang dihasilkan oleh hati akan
mempengaruhi homeostasis besi oleh makrofag dengan cara mengatur ambilan dan
keluaran besi sehingga akan memicu peningkatan retensi besi dalam makrofag pada saat
terjadi inflamasi. Besi juga mengatur aktivitas sitokin, proliferasi, dan aktivitas limfosit
sehingga diferensiasi dan aktivasi makrofag akan terpengaruh.

Protein fase akut memegang peran dalam proses inflamasi yang kompleks.
Konsentrasi protein fase akut meningkat secara signifikan selama proses inflamasi akut
karena tindakan pembedahan, infark miokard, infeksi, dan tumor. Peningkatan disebabkan
oleh sintesis di hati, namun tidak dapat digunakan untuk menentukan penyebab inflamasi.
Pengukuran protein fase akut dapat digunakan untuk mengamati progresivitas dari inflamasi
serta melihat respon terapi dengan melihat nilai protein fase akut saat mulai meningkat dan
kadar yang tertinggi. Kadar feritin serum tidak dapat menggambarkan indeks cadangan besi
dalam tubuh pada saat terjadi kerusakan sel tubuh. Feritin diproduksi oleh sistem reticulo
endotelial, yang berperan penting dalam proses metabolisme zat besi saat pembentukan
hemoglobin dari sel darah merah senescent. Proses inflamasi dan infeksi akut akan memicu
blokade pelepasan zat besi sehingga akan menurunkan kadar zat besi serum.

Hiperferitinemia Pada Penyakit Ginjal Kronik


Kadar feritin serum tinggi yang ekstrim, >2000 ng/ml, biasanya menandakan
adanya kelebihan besi yang juga dikenal dengan hemosiderosis. Kebanyakan laporan
kasus mengenai kelebihan besi dijumpai pada masa belum digunakannya ESA, ketika
transfusi darah lebih sering digunakan dalam mengatasi anemia.
Peningkatan serum feritin selama inflamasi, infeksi, penyakit hati dan kondisi-
kondisi lain yang tidak berhubungan dengan besi dapat menghalangi kemampuan dalam
menilai status besi pada pasien GGK yang berada dalam kondisi-kondisi tersebut. Feritin
serum merupakan penanda adanya malignansi, seperti pada neuroblastoma, renal cell
carcinoma dan limfoma Hodgkin. Hiperferitinemia juga berhubungan dengan disfungsi
hati. Inflamasi kronik sering terjadi pada pasien-pasien dengan PGK dan lebih dari 40-
70% pasien dengan PGK dapat mengalami peningkatan kadar CRP. Sehingga, inflamasi
kemungkinan keadaan yang sering terjadi pada hiperferitinemia pada PGK.

INFLAMASI DAN ANEMIA PADA GAGAL GINJAL KRONIK


Inflamasi dan respon fase akut berkaitan dengan sistem hematopoetik. Selama periode
awal respon fase akut, konsentrasi hemoglobin selalu menurun secara drastis. Hal ini
disebabkan oleh pengrusakan eritrosit yang meningkat oleh makrofag retikuloendotelial
inflamasi yang teraktivasi yang membersihkan sirkulasi dari eritrosit yang dilapisi dengan
imunoglobulin atau kompleks imun. Pada pasien-pasien dengan fungsi ginjal yang normal,
penurunan hemoglobin yang tiba-tiba merangsang sekresi eritropoetin selama 4-10 hari.
Ternyata, sekresi eritropoetin yang meningkat ini dihambat oleh sitokin-sitokin proinflamasi
pada pasien-pasien yang mengalami respon fase akut.
Faktor pertumbuhan seperti eritropoetin dan beberapa sitokin penting untuk
pertumbuhan dan diferensiasi progenitor eritrosit pada sumsum tulang. Pada konsentrasi
rendah, sitokin-sitokin proinflamasi TNF- dan IL-1 menstimulasi pertumbuhan awal
progenitor. Efek inflamasi yang mensupresi eritropoesis terutama disebabkan oleh
peningkatan aktivitas sitokin-sitokin proinflamasi pada sel-sel prekursor pada berbagai
tingkatan eritropoesis. Dikatakan bahwa efek inhibisi pada prekursor eritroid ini terutama
disebabkan oleh perubahan sensitivitas terhadap eritropoetin. Efek inhibisi TNF- dan IL-1
pada eritropoesis dapat diatasi dengan pemberian dosis tinggi ESA. Pada pasien-pasien
dengan gagal ginjal terminal, resistensi ESA berhubungan dengan respon inflamasi seperti
pada pasien dengan peningkatan CRP atau fibrinogen kurang respon terhadap ESA. Gunell
dkk melaporkan bahwa albumin serum yang rendah dan kadar CRP yang meningkat juga
memprediksi resistensi terhadap ESA pada pasien-pasien hemodialisis dan peritoneal dialisis,
yang mendukung konsep bahwa respon inflamasi menyebabkan hipoalbuminemia dan
anemia pada pasien-pasien gagal ginjal terminal.

PROTEIN ENERGY MALNUTRITION PADA PASIEN-PASIEN DIALISIS


Malnutrisi merupakan masalah yang serius pada pasien-pasien gagal ginjal kronik yang
diterapi dengan dialisis. Hal ini berhubungan dengan malnutrisi yang akan memberikan
outcome yang buruk pada pasien.

a. Penyebab Malnutrisi pada pasien dialisis


Malnutrisi tidak jarang terjadi pada pasien-pasien dialisis dan penyebabnya
bermacam-macam. Prosedur dialisis sendiri menyebabkan hilangnya nutrisi-nutrisi kedalam
dialisat dan efek dari hilangnya nutrisi-nutrisi ini menyebabkan peningkatan katabolisme
selama hemodialisis. Timbulnya asidosis metabolik yang biasa terjadi pada pasien-pasien
dengan gagal ginjal mungkin berhubungan dengan peningkatan katabolisme pada pasien-
pasien ini.
Asam amino hilang melalui dialisat dan dengan aliran dialiser yang kuat, hilangnya
vitamin melalui dialisat juga terjadi. Gejala uremia seperti anoreksia, nausea dan muntah dan
gejala-gejala ini tidak selalu terkontrol pada pasien-pasien dialisis reguler, menyebabkan
terjadinya pengurangan ambilan protein dan energi. Falken-hagen dkk meneliti bahwa pasien
gagal ginjal yang diterapi dengan hemodialisis ataupun peritoneal dialisis menunjukkan pola
konsumsi makanan yang berbeda-beda. Penyebab dari berkurangnya nafsu makanan tidak
sepenuhnya diketahui, namun peningkatan leptin serum atau faktor lainnya yang menekan
nafsu makan mungkin terlibat.

b. Diagnosis Malnutrisi pada Pasien Dialisis


Adanya malnutrisi tidaklah diketahui hanya dengan satu tes saja atau dievaluasi
hanya pada satu waktu saja, sehingga penting untuk menskrining pasien apakah dijumpai
adanya malnutrisi dengan beberapa pemeriksaan dan dilakukan secara reguler. Penting juga
untuk melakukan pemeriksaan status protein dan komposisi tubuh sama seperti ambilan
nutrisi, untuk mengidentifikasi adanya malnutrisi.
Albumin serum, sering digunakan untuk mengukur cadangan protein, dapat terganggu
dengan adanya proses akut, infeksi yang sering terjadi pada pasien-pasien dialisis. Adanya
infeksi akses yang kronis atau infeksi lainnya dapat mengurangi konsentrasi serum albumin
oleh karena berkurangnya sintesa albumin di hati sebagai respon terhadap peningkatan
produksi fase akut reaktan. Yeu dan Kaysen menunjukkan bahwa konsentrasi serum albumin
merupakan petunjuk hilangnya albumin melalui dialisat, begitu juga produksi CRP yang
berkitan dengan inflamasi. Hal ini menunjukkan bahwa serum albumin tidak selalu dipercaya
dalam menilai status nutrisi.
Pada populasi pre gagal ginjal terminal, serum transferin tampaknya sangat berguna
dalam menilai status nutrisi, namun serum transferin terganggu pada keadaan defisiensi besi,
dan keadaan defisiensi besi yang sering terjadi ini berhubungan dengan penggunaan ESA
dalam pengobatan anemia pada pasien-pasien hemodialisis reguler menyebabkan pengukuran
ini kurang diandalkan.
Pengukuran komposisi tubuh seperti antropometri, Bioelectrical Impedance Analysis
(BIA), dan Subjective Global Assessment (SGA), telah semua dilaporkan berguna untuk
menilai satus nutrisi pada pasien dengan gagal ginjal terminal yang didialisis reguler.
Antropometri telah digunakan bertahun-tahun pada subjek yang sehat, sama seperti pada
pasien gagal ginjal dengan dialisis reguler, dan antropometri telah sering digunakan pada
pasien-pasien tersebut.
Subjective Global Assessment awalnya dikembangkan untuk digunakan pada keadaan
akut di rumah sakit, namun juga berguna untuk mengukur status nutrisi pada populasi CAPD.
Kesemua alat pengukuran komposisi tubuh ini memiliki keterbatasan. Antropometri
sangat dipengaruhi kesalahan operator dan juga dipengaruhi turgor kulit. Untuk
menghindarinya gunakalah kaliper kulit dengan kualitas yang baik. BIA ternyata tidak terlalu
berguna dikarenakan BIA lebih signifikan untuk pengukuran komposisi tubuh dan komposisi
air tubuh. Dual energy x ray absorptiometry dapat membedakan lemak dengan massa non
lemak namun ketersediaanya tidak sellau dapat diharapkan. Karena antropometri cukup
banyak tersedia dan cukup simpel, ia bersifat aplikatif pada berbagai klinik dialisis dan
merupakan alat yangpaling berguna untuk mengukur komposisi tubuh.
Status nutrisi harus dianalisa secara teratur pada semua pasien-pasien dialisis, sehingga
jika terjadi sedikit penurunan pada status nutrisi dapat segera diketahui. Protein serum harus
dimonitor setiap 1-3 bulan, antropometri dimonitor setiap 6 bulan dan daftar makanan apa
saja yang dikonsumsi juga harus selalu dicatat.

c. Penatalaksanaan Malnutrisi pada Pasien Dialisis


Jika malnutrisi terjadi, outcome pasien akan menurun. Sehingga, pencegahan
terhadap malnutrisi sangatlah penting. Pasien-pasien harus diberikan protein dan energi yang
adekuat untuk mencegah kejadian malnutrisi. Meskipun belum ada studi yang menunjukkan
pencegahan malnutrisi dapat mengubah outcome pasien, hubungan yang jelas antara status
nutrisi yang buruk dan peningkatan risiko kematian menunjukkan malnutrisi haruslah
dihindari.

Diet Protein
Adanya diet protein sering diteliti, sebagai salah satu strategi utnuk memperlambat
progresivitas gagal ginjal terminal, mengurangi sindroma uremikum dan unutk mengevaluasi
kebutuhan protein yang tepat pada pasien-pasien gagal ginjal dengan terapi dialisis reguler.
Pada pasien-pasien hemodialisis, belum ada penelitian prospektif non randomized
yang meneliti diet protein dan outcome yang terjadi. Namun, beberapa studi menunujukkan
bahwa kebutuhan protein 1,2 gr/kgBB/hari berhubungan dengan keseimbangan nitrogen
positif. Kebutuhan akan protein yang meningkat mungkin berhubungan dengan hilangnya
protein dan asam amino melalui dialisat atau efek katabolik dari prosedur hemodialisis.
Hilangnya protein melalui dialisat lebih tinggi pada peritoneal dialisis dibandingkan dengan
hemodialisis sekitar 5-15 gr/hari dan hilangnya protein meningkat pada episode peritonitis.

Kebutuhan Energi
Kebutuhan energi juga merupakan hal yang penting pada pasien-pasien dialisis.
Beberapa studi telah menunjukkan bahwa kebutuhan energi pada pasien-pasien dialisis tidak
berbeda dari orang yang sehat. Rekomendasi kebutuhan energi pada pasien-pasien dialisis
adalah 35 kkal/kgBB/hari. Jika pasien tidak mampu mengkonsumsi protein dan energi yang
dibutuhkan dari diet, pengukuran yang lebih agresif haruslah dikerjakan untuk meyakinkan
kebutuhan energi yang adekuat (Suwitra, 2006).
BAB III
PEMBAHASAN

Tn. TAM, 41 tahun datang dengan keluhan sesak semakin hebat sejak 1 hari SMRS.
1 bulan SMRS os mengeluh sesak napas, mengi (-), sesak timbul saat beraktivitas,
dan sesak hilang dengan istirahat. Sesak tidak dipengaruhi cuaca dan emosi, terbangun
malam hari karena sesak (-) os nyaman tidur dengan satu bantal seperti biasa. Batuk (-),
demam (-), os mengeluh bengkak pada kedua tungkai yang terjadi sepanjang hari, os merasa
BAK menjadi lebih sedikit dari biasanya dan frekuensinya menjadi berkurang, mual (-),
muntah (-), BAB tidak ada keluhan, os tidak berobat.
1 minggu SMRS os mengeluh sesak bertambah dan dirasakan saat aktivitas sedang,
mengi (-), sesak berkurang dengan istirahat. Bengkak pada kedua tungkai belum menghilang,
dan os belum juga berobat.
1 hari SMRS os mengeluh sesak semakin hebat saat berjalan ke kamar mandi, mengi
(-), sesak sedikit berkurang dengan istirahat, sesak dirasakan bertambah bila os tidur
terlentang, os nyaman tidur dengan posisi setengah duduk. Bengkak pada kedua tungkai (+),
demam (-), mual (-), muntah (-), BAK semakin berkurang hanya 1/4 gelas, buih (-), busa (-),
berwarna keruh (-), berpasir (-), darah (-). BAB tidak ada keluhan, os lalu berobat ke RS
Lubuk Linggau dan dikatakan sakit ginjal lalu os di rujuk ke RSMH
Pasien memiliki riwayat hipertensi ada sejak usia 20 tahun, riwayat DM disangkal,
riwayat BAK berpasir tidak ada, riwayat merokok ada sejak usia 35 tahun 1 bungkus/minggu.
Riwayat darah tinggi, kencing manis, kelainan jantung, kelainan ginjal dalam keluarga
disangkal.
Pasien datang dengan GCS 15 (E4M6V5), suhu 36,4 C, nadi 95 kali/menit, pernapasan
28 kali/menit, reguler, cepat dan dalam, tekanan darah 170/100 mmHg yaitu hipertensi stage
II. Pasien memiliki berat badan 55 kg dan tinggi badan 165 cm yaitu keadaan gizi
normoweight.
Pada pemeriksaan kepala dan leher didapatkan konjungtiva palpebra anemis +, JVP 5-
2 cmH2O, dan tidak ada pembesaran kelenjar getah bening.
Pada pemeriksaan thorax ditemukan ronkhi basah halus (+), cor terdapat kardiomegali.
Pada pemeriksaan abdomen didapatkan inspeksi cembung, venektasi (-), jaringan parut (-);
palpasi lemas, venektasi (-), jaringan parut (-), hepar dan lien tak teraba; perkusi timpani,
shifting dullness (+); auskultasi bising usus (+) normal.
Pada pemeriksaan ekstremitas akral hangat (+/+), edema pretibial (+/+).
Pada pemeriksaan penunjang laboratorium didapatkan kondisi anemia,
hipoalbuminemia, dan ureum serta kreatinin yang tinggi. Pada pemeriksaan rontgen thorax
didapatkan kardiomegali dan pembesaran ventrikel kiri yang mengindikasikan hipertensi
kronis.
Mekanisme terjadinya NH oleh hipertensi belum sepenuhnya dipahami. Ada banyak
faktor yang berperan seperti mekanisme autoregulasi yang tidak adekuat sehingga tidak
mampu mempertahankan homeostasis tubuloglomerular feedback dan tekanan
intraglomerular, adanya iskemi glomerular, hemodinamik glomerular, dan peranan
angiotensin II intraglomerular.
Tekanan glomerular dipengaruhi oleh tiga faktor yakni tekanan arteri rerata (mean
arterial pressure MAP) atau tekanan perfusi, dan resistensi relatif dari kedua arteriole yakni
aferen dan eferen. Pada kondisi normal, tekanan darah sistemik yang mengalami peningkatan
secara episodik ataupun kontinyu tidak berakibat banyak pada mikrovaskular glomerular. Hal
ini karena adanya perlindungan oleh suatu mekanisme autoregulasi dengan vasokonstriksi
arteriole aferen (preglomerular) untuk mempertahankan renal blod flow dan agar tekanan
hidrostatik intraglomerular dalam keadaan relatif konstan. Respons awal terhadap
peningkatan MAP adalah peningkatan resistensi arteriol aferen (RA) untuk mencegah
diteruskannya tekanan sistemik yang tinggi ke dalam kapiler glomerular. Resistensi arteriol
eferen (RE) akan menurun dan menyebabkan dekompresi pada glomerulus. Hal ini berguna
untuk membatasi peningkatan tekanan hidrostatik kapiler glomerular dan untuk
mempertahankan aliran plasma renal.
Jika MAP berada sedikit di atas batas autoregulasi, yang terjadi adalah nefrosklerosis
benigna, namun akselerasi peningkatan tekanan darah yang mendadak mengakibatkan
terjadinya nefrosklerosis maligna. Pada hipertensi, mekanisme autoregulasi dan fungsi
endotel dalam memproduksi nitric oxide (NO) yang masih normal dan intak terhadap shear
stress akan mampu mempertahankan tekanan intraglomerular dalam keadaan normal
sehingga penurunan fungsi ginjal menjadi sangat lambat. Kompensasi yang terjadi dari sisa-
sisa glomerulus terjadi melalui mekanisme adaptasi yakni dengan meningkatkan laju fi ltrasi
glomerulus. Resistensi arteriol baik pada aferen dan eferen akan mengalami penurunan yang
akan menyebabkan peningkatan aliran plasma renal dan laju filtrasi glomerular. Pada kondisi
ini, peningkatan tekanan MAP akan diteruskan langsung ke dalam kapiler glomerular
mengakibatkan terjadinya hipertensi glomerular, peningkatan fi ltrasi protein, dan
merangsang pelepasan sitokin dan growth factor yang akan menyebabkan jejas pada kapiler.
Hipertensi yang berlangsung lama akan menyebabkan perubahan resistensi arteriol
aferen dan eferen yang telah menyempit akibat perubahan struktur mikrovaskuler. Kondisi ini
akan menyebabkan iskemi glomerular dan mengaktivasi respons infl amasi. Hasilnya, akan
terjadi pelepasan mediator infl amasi, endotelin, dan aktivasi angiotensin II (AII) intrarenal.
Kondisi ini pada akhirnya akan mengaktivasi apoptosis, meningkatkan produksi matriks dan
deposit pada mikrovaskular glomerulus dan terjadilah sklerosis glomerulus atau
nefrosklerosis.
Pasien ini didiagnosis dengan CKD stage V ec Nefrosklerosis Hipertensi serta
hipertensi stage II. Dasar diagnosis dari CKD dan kecurigaan terhadap nefrosklerosis
hipertensif adalah dari LFG pada pasien ini yang bernilai 7,0 ml/menit/1,73 2, riwayat
hipertensi lama, dan hipertrofi ventrikel kiri jantung. Penatalaksanaan farmakologis yang
dilakukan yaitu istirahat, serta O2 Nasal Canul 5L/m untuk oksigenasi yang adekuat pada
kondisi sesak. Tatalaksana farmakologis yaitu IVFD D5 gtt x/m micro, inj. Furosemid 1 x 20
mg IV untuk mengatasi edema akibat transudasi cairan ke jaringan interstitial, asam folat 2 x
1 gr (P.O), neurodex 1 x 1 gr (P.O), dan clonidine 3 x 0,15 gr (P.O) untuk tatalaksana
hipertensi yang diderita pasien.
Prognosis pasien ini untuk quo ad vitam adalah dubia ad bonam, dan quo ad
fungsionam adalah dubia ad malam.
DAFTAR PUSTAKA

1. Adamson JW (ed). Iron Deficiency and Another Hipoproliferative Anemias in


th
Harrisons Principles of Internal Medicine 16 edition vol 1. McGrawHill
Companies:2005;58692

2. BrennerBM,LazarusJM.PrinsipPrinsipIlmuPenyakitDalam.Volume3Edisi
13.Jakarta:EGC,2000.14351443.

3. MansjoerA,etal.GagalginjalKronik.KapitaSelektaKedokteranJilidIIEdisi3.
Jakarta:MediaAesculapiusFKUI,2002.

4. Marin R, Gorostidi M, Ferna F, Vega N, Navascues RA. Systemic and glomerular


hypertension and progression of chronic renal disease: The dilemma of
nephrosclerosis. Kidney International 2005;68: S526.

5. Moutzouris DA, Herlitz L, Appel GB, et al. Renal biopsy in the very elderly. Clin J
Am Soc Nephrol 2009;4(6):1073-82

6. Rose BD, Kaplan M. Clinical features and treatment of hypertensive nephrosclerosis.


UpToDate. Last literature review version 17.3: September 2009.

7. Suhardjono,LydiaA,KapojosEJ,SidabutarRP.GagalGinjalKronik.BukuAjar
IlmuPenyakitDalamJilidIIEdisi3.Jakarta:FKUI,2001.427434.

8. Suwitra K. Penyakit ginjal kronik. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,


Simadibrata M, Setiati S. Editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006: 581-5.

9. Tracy RE, Ishii T. What is nephrosclerosis? lessons from USA, Japan and Mexico.
Nephrol Dial Transplant 2000;15: 1357-66.

10. Tierney LM, et al. Gagal Ginjal Kronik. Diagnosis dan Terapi Kedokteran
PenyakitDalamBuku1.Jakarta:SalembaMedika.2003.

Anda mungkin juga menyukai