Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

Retardasi mental (RM) adalah suatu gangguan heterogen yang terdiri dari fungsi
intelektual yang dibawah rata rata dan gangguan dalam ketrampilan adaptif yang ditemukan
sebelum orang berusia 18 tahun. Gangguan dipengaruhi oleh faktor genetik, lingkungan dan
psikososial. Selama dekade terakhir, semakin dikenali faktor biologis , termasuk kelainan
kromosom kecil, sindrom genetika dan intoksikasi timbal subklinis dan berbagai pemaparan
toksin pranatal pada orang dengan retardasi mental ringan (sampai 85 persen dari populasi
retardasi mental).1
Prevalensi retardasi mental pada suatu waktu diperkirakan adalah kira kira 1 persen
dari populasi. Insidensi retardasi mental sulit dihitung karena kesulitan mengenali onsetnya.
Pada banyak kasus, retardasi mungkin laten selama waktu yang panjang sebelum
keterbatasan seseorang diketahui atau karena adaptasi baik. (kaplan) prevalensi untuk RM
ringan 0,37 0,59% sedangkan untuk RM sedang, berat dan sangat berat adalah 0,3 0,4%.
2 Insidensi tertinggi adalah pada anak usia sekolah, dengan puncak usia 10 sampai 14 tahun.
Retardasi mental 1,5 kali lebih sering pada laki laki dibandingkan dengan wanita. Pada
lanjut usia, prevalensi lebih sedikit karena mereka dengan retardasi mental yang berat atau
sangat berat memiliki angka mortalitas yang tinggi yang disebabkan dari penyulit gangguan
fisik yang menyertai.1
Retardasi mental merupakan masalah dunia dengan implikasi yang besar terutama bagi
negara berkembang. Diperkirakan angka kejadian retardasi mental berat sekitar 0.3% dari
seluruh populasi dan hamper 3% mempunyai IQ dibawah 70. Sebagai sumber daya manusia
tentunya mereka tidak bisa dimanfaatkan karena 0.1% dari anak-anak ini memerlukan
perawatan, bimbingan serta pengawasan sepanjang hidupnya.3 Sehingga retardasi mental
masih merupakan dilema, sumber kecemasan bagi keluarga dan masyarakat. Demikian pula
dengan diagnosis, pengobatan dan pencegahannya masih merupakan masalah yang tidak
kecil.

1
BAB II
STATUS PASIEN

I. IDENTIFIKASI PASIEN
a. Nama : Sdri. NBK
b. Jenis kelamin : Perempuan
c. Umur : 16 tahun
d. Status perkawinan : Belum kawin
e. Agama : Islam
f. Tingkat pendidikan : Tidak Sekolah
g. Warga negara : Indonesia
h. Suku bangsa : Sumatera
i. Alamat : Bekri, Lampung Tengah
j. Pekerjaan : Turut Orang Tua

A. STATUS INTERNUS
- Keadaan Umum
Sensorium : Compos mentis
Suhu : 36,3C
Nadi : 82x/menit
Pernafasan : 18x/menit
Tekanan Darah : 100/70 mmHg
Turgor : < 2 detik

- Sistem Kardiovaskular : tidak ada kelainan


- Sisem Respiratorik : tidak ada kelainan
- Sistem Gastrointestinal : tidak ada kelainan
- Sistem Urogenital : tidak ada kelainan
- Kelainan Khusus : tidak ada kelainan

B. STATUS NEUROLOGIKUS
- Motorik:
o Tonus : eutoni

2
o Klonus : tidak ada
o Refleks fisiologis : +/+ normal
o Refleks patologis : -/-
o Kekuatan : otot lengan +5/+5, otot tungkai +4/+4
- Sensibilitas : tidak ada kelainan
- Susunan Saraf Vegetatif : tidak ada kelainan
- Fungsi Luhur : tidak ada kelainan
- Kelainan khusus : tidak ada kelainan

C. ANAMNESIS
Identitas alloanamnesis (pasien ditemui di Poliklinik Jiwa RSUP Dr. Mohammad
Hoesin Palembang)
1. Nama : Ny. M
2. Jenis kelamin : Perempuan
3. Umur : 28 tahun
4. Alamat : Bekri, Lampung Tengah
5. Pendidikan : SMA
6. Pekerjaan : pedagang
7. Hubungan dgn pasien : Kakak kandung
- Sebab Utama
Mudah marah

- Keluhan Utama
Tertutup dan mudah marah

- Riwayat Perjalanan Penyakit


Sejak 10 tahun yang lalu pasien tidak bisa konsentrasi dalam belajar. Pasien
juga pernah tidak naik kelas. Kemudian pasien berhenti sekolah sejak kelas 5 SD.
Menurut kakak pasien hal itu karena pasien tidak bisa konsentrasi dan sangat susah
bila disuruh untuk belajar. Ketika orang tua pasien sudah mempersiapkan anak untuk
belajar mengerjakan Pekerjaan Rumah yang diberikan oleh guru, pasien hanya
bertahan paling lama 2 menit untuk menghadap buku tersebut, dan setelah itu pasien
berlari keluar rumah untuk main bersama teman-temannya. Pasien tidak mau

3
mengerjakan perintah yang diberikan ibu pasien. Setiap pulang dari sekolah, pasien
selalu mengeluh pusing dan demam.
Sejak 6 bulan yang lalu pasien sering marah-marah, sikap perilaku menantang
(+), pasien juga mudah menangis tanpa sebab, dan pasien mudah tersinggung. Pasien
sering di marah oleh ibu pasien. Orang tua pasien sering melakukan kekerasan
terhadap pasien sejak kecil. Pasien lebih senang bermain handphone, karna
menurutnya dengan online, orang-orang lebih banyak memperhatikannya.
Sejak 2 minggu yang lalu pasien semakin sering marah dan melawan dengan
orang-orang disekitar. Pasien juga tidak mau makan dan sering menyendiri. Pasien
juga masih sering menangis sendiri. Pasien kadang marah dengan cara merobek kasur,
prilaku ingin bunuh diri (-). Pasien tidak mengalami gangguan saat tidur. Pasien
masih bisa melakukan kegiatan sehari-hari seperti mandi, memakai pakaian sendiri.
Pasien tidak pernah mendengar bisikan-bisikan yang tidak jelas. Pasien juga tidak
pernah melihat seseorang yang tidak bisa dilihat orang lain.

- Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat kejang (+) saat usia 1 tahun sampai 2 tahun

- Riwayat Premorbid
Bayi : lahir normal, cukup bulan, ditolong oleh dukun. Pasien diberi ASI,
namun tidak tahu sampai berapa bulan, perkembangan awal baik.
Anak-anak : tumbuh kembang baik, interaksi sosial baik
Remaja : pasien memiliki sedikit teman, interaksi sosial kurang baik, pendiam,
menarik diri, mudah marah, mudah tersinggung, lebih senang bermain
handphone dan aktif di sosial media.

- Riwayat Perkembangan organobiologi


- Riwayat kejang (+), usia 1-2 tahun, tidak berobat
- Riwayat demam tinggi yang lama (-)
- Trauma kepala (-)
- Asma (-)

- Riwayat Penggunaan alkohol dan obat-obatan terlarang


Riwayat mengonsumsi alkohol dan NAPZA disangkal.

4
- Riwayat pendidikan
Pasien putus sekolah sejak kelas 5 SD

- Riwayat pekerjaan
Tidak bekerja

- Riwayat perkawinan
Pasien belum menikah.

- Keadaan sosial ekonomi


Pasien tinggal bersama keluarga dengan keadaan sosial ekonomi menengah ke bawah.

- Riwayat keluarga
Riwayat keluarga dengan gangguan jiwa disangkal.
Pedigre : Pasien merupakan anak ketiga dari empat bersaudara.

D. AUTOANAMNESIS DAN OBSERVASI


Wawancara dan observasi dilakukan pada Senin, 4 September 2017 pukul 15.05 s.d.
15.40 WIB di Poliklinik Rumah Sakit Dr. Mohammad Hoesin, Palembang.
Penampilan pasien cukup rapi, pasien memakai baju berwarna ungu dengan bawahan
coklat tua. Pasien berperawakan kurus dengan tinggi badan sekitar 137 cm dan
berat badan 36 kg, warna kulit sawo matang. Pemeriksa dan pasien duduk saling
berhadapan. Selama wawancara pasien tidak dapat menjawab pertanyaan dengan
segera jika ditanya, selalu melihat ke arah kakak pasien ketika diberi pertanyaan dan
menjawab pertanyaan dengan sangat lambat, intonasi berbicara pasien cukup jelas
dengan nada suara yang rendah, pasien tidak pernah menatap wajah pemeriksa.

5
Pemeriksa Pasien Interpretasi
(Psikopatologi)
Selamat sore, namanya siapa? Neneng
Neneng umurnya berapa? 16 tahun
Ini siapa? (nunjuk ke wanita yang Ayuk
membawa neneng)
Neneng tinggal ayuknya? Di Palembang sama ayuk,
Dimana? tapi asalnya dari Lampung
Oh Lampung, terus disini Main
ngapain?
Main? Neneng emang ga sayang Udah ga sekolah
ninggalin sekolahnya?
Kenapa ga sekolah lagi? Soalnya pas sekolah sering
dicaci sama temen
Loh, kenapa temennya gitu? Gatau
Udah dari sejak kapan? Selama neneng sekolah
Terus neneng bales apa (tidak di respon)
didiemin?
Neneng sering cerita sama orang Sama ibu pernah sekali
tua?
Trus apa kata ibu? (tidak direspon)
Kenapa ga dijawab neng? Ibu (hanya senyum)
marah ya?
Neneng pas sekolah gimana (hanya senyum)
belajarnya?
Kenapa ga dilanjut? Soalnya sekolah susah
Susah? Tapi neneng naik terus Pernah sekali ga naik
kan sekolahnya?
Neneng kalo ga sekolah lagi Di rumah aja
kayak gini, biasanya ngapain?
Di rumah bantuin ibu? (senyum)
Ibu kerjanya apa neng? Dagang
Oh berarti neneng suka bantuin (senyum) ga ada.
ibu dagang ya? Atau neneng udah
punya toko sendiri?

6
Neneng kenapa suka marah (senyum) gapapa.
marah sekarang? Kan gabaik gitu
Atau ada bisikin neneng buat (ketawa) gaada.
marah marah?
Trus kenapa? Ayo cerita (sulit mendapatkan jawaban,
namun akhirnya) sering ga
dibolehin main hape (sambil
ketawa)

E. KEADAAN UMUM
- Kesadaran/Sensorium : Compos Mentis
- Perhatian : Inadekuat
- Sikap : Cukup kooperatif
- Inisiatif : Tidak ada `
- Tingkah Laku Motorik : Hipoaktif
- Ekspresi Fasial : Tampak murung
- Verbalisasi : Tidak jelas
- Cara Bicara : Lambat, menggumam, tidak spontan
- Kontak Psik:- Kontak Fisik : Tidak ada
- Kontak Mata : Ada, inadekuat
- Kontak Verbal : Ada, inadekuat

F. KEADAAN KHUSUS (SPESIFIK)


- Keadaan Afektif : Menyempit
- Keadaan Mood : Hipotimik
- Hidup Emosi
Stabilitas : Iritable
Kedalaman : Normal
Pengendalian : Terkendali
Adekuat-Inadekuat : Adekuat
Echt/Unecht : Echt
Einfuhlung : Bisa dirabarasakan
Arus emosi : Abnormal

7
- Keadaan dan Fungsi Intelek
Daya ingat (amnesia, dsb) : Baik
Daya Konsentrasi : Kurang baik
Orientasi : Baik
Luas Pengetahuan Umum dan Sekolah : Tidak sesuai
Discriminative Judgement : Cukup
Discriminative Insight : Baik
Dugaan taraf intelegensi : IQ dibawah rata-rata
Kemunduran intelektual (demensia, dsb) : Tidak ada
- Kelainan Sensasi dan Persepsi
Ilusi : Tidak ada
Halusinasi : Tidak ada.
- Keadaan Proses Berpikir
Psikomotilitas : Menurun
Mutu proses berpikir : Tidak jelas
Arus Pikiran
Produktivitas : Kurang
Kontinuitas : Cukup
Hendaya berbahasa : Ada
Flight of ideas : Tidak ada
Inkoherensi : Ada
Sirkumstansial : Tidak ada
Tangensial : Tidak ada
Terhalang : Tidak ada
Terhambat : Tidak ada
Perseverasi : Tidak ada
Verbigerasi : Tidak ada

- Isi Pikiran
Pola Sentral : Tidak ada
Waham : Tidak ada
Ide terfiksir : Tidak ada
Fobia : Tidak ada
Hipokondria : Tidak ada
8
Konfabulasi : Tidak ada
Perasaan inferior : Tidak ada
Perasaan berdosa/salah : Tidak ada
Rasa permusuhan/dendam : Tidak ada
Kecurigaan : Tidak ada
Lain-lain : Tidak ada
- Pemilikan Pikiran
Obsesi : Tidak ada
Alienasi : Tidak ada
- Bentuk Pikiran
Autistik : Ada
Dereistik : Tidak ada
Simbolik : Tidak ada
Paralogik : Tidakada
Simetrik : Tidak ada
Konkritisasi : Tidak ada
Lain-lain : Tidak ada
- Keadaan Dorongan Instinktual dan Perbuatan
Abulia/Hipobulia : Tidak ada
Vagabondage : Tidak ada
Katatonia : Tidak ada
Kompulsi : Tidak ada
Raptus/Impulsivitas : Tidak ada
Mannerisme : Tidak ada
Kegaduhan Umum : Tidak ada
Autisme : Ada
Deviasi Seksual : Tidak ada
Logore : Tidak ada
Ekolalia : Tidak ada
Ekopraksi : Tidak ada
Mutisme : Tidak ada
Lain-lain : Tidak ada
a. Kecemasan (anxiety) yang terlihat secara nyata (overt):Tidak ada
b. Reality Testing Ability : Baik

9
G. DIAGNOSIS MULTIAKSIAL
- AKSIS I : Z63.7 Problem dalam hubungan yang berkaitan dengan gangguan
mental atau kondisi medis umum
F 32.0 Episode depresi ringan
- AKSIS II : F70 Retardasi mental ringan (Suspek)
- AKSIS III : Tidak ada diagnosis
- AKSIS IV : Masalah berkaitan dengan lingkungan sosial
Masalah dengan pendidikan
- AKSIS V : GAF Scale 60-51

H. DIAGNOSIS DIFERENSIAL
Z63.7 Problem dalam hubungan yang berkaitan dengan gangguan mental atau kondisi
medis umum + F 32.0 Episode depresi ringan

I. TERAPI
a. Psikofarmaka
Risperidon 1 x 0,5 mg
Fluoxetin 1 x 10 mg
b. Psikoterapi
Suportif
a. Memotivasi pasien dan menganjurkan pasien untuk selalu minum obat secara
teratur agar penyakitnya terkontrol dan menjelaskan kepada pasien apa yang akan
terjadi jika obat tidak diminum
Terapi Perilaku
b. Meningkatkan kuantitas dan kualitas aktifitas pasien, memberikan pengalaman
menyenangkan, dan mengajarkan pasien untuk bersantai
Kognitif
c. Seperti menghilangkan keyakinan palsu dan latihan relaksasi dengan instruksi
dari diri sendiri, juga telah dianjurkan untuk pasien retardasi mental yang mampu
mengikuti instruksi pasien.
Terapi Interpersonal
d. Memperbaiki cara pasien menghadapi stres dan meningkatkan harga diri pasien.

10
Keluarga dan lingkungan
e. Memberikan penjelasan kepada keluarga dan orang sekitar tentang penyakit
pasien sehingga tercipta dukungan sosial dalam lingkungan yang kondusif
sehingga membantu proses penyembuhan

J. PROGNOSIS
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad functionam : Dubia ad bonam
Quo ad sanationam : Dubia ad malam

11
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Retardasi Mental


2.1.1 Definisi
Keterbelakangan mental atau lazim disebut retardasi mental (RM) adalah suatu keadaan
dengan intelegensia yang kurang (subnormal) sejak masa perkembangan (sejak lahir atau
sejak masa anak-anak). Biasanya terdapat perkembangan mental yang kurang secara
keseluruhan, tetapi gejala utama ialah intelegensi yang terbelakang. Retardasi mental disebut
juga oligofrenia (oligo = kurang atau sedikit dan fren = jiwa) atau tuna mental. Keadaan
tersebut ditandai dengan fungsi kecerdasan umum yang berada dibawah rata-rata dan disertai
dengan berkurangnya kemampuan untuk menyesuaikan diri atau berprilaku adaptif.3
Menurut Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa edisi ke-III (PPDGJ III)
adalah suatu keadaan perkembangan mental yang terhenti atau tidak lengkap, yang terutama
ditandai oleh hendaya keterampilan selama masa perkembangan, sehingga berpengaruh pada
semua tingkat intelegensia yaitu kemampuan kognitif, bahasa, motorik, dan sosial.4
Menurut American Association Mental Retardation (AAMR) 2002 adalah suatu
disabilitas yang ditandai dengan suatu limitasi/keterbatasan yang bermakna baik dalam fungsi
intelektual maupun prilaku adaptif yang diekspresikan dalam keterampilan konseptual, social
dan praktis.
Menurut Diagnostic and Scientific Manual IV-TR (DSM IV-TR) adalah sama dengan
definisi AAMR tetapi ditambahkan batas derajat IQ 70.2

2.1.2 Etiologi
a. Kelainan Kromosom
Sindrom Down
Sindrom down adalah kondisi yang disebabkan oleh adanya kelebihan
kromosom pada pasangan ke-21 dan ditandai dengan retardasi mental serta anomali
fisik yang beragam.1 Untuk seorang ibu usia pertengahan (> 32 tahun), resiko
memiliki anak dengan sindroma Down adalah kira-kira 1 dalam 100 kelahiran.
Retardasi mental adalah cirri yang menumpang pada sindrom Down. Sebagian besar
pasien berada dlam kelompok retardasi sedang sampai berat., hanya sebagian kecil
yang memiliki IQ di atas 50. Diagnosis sindrom Down relatif mudah pada anak yang

12
lebih besar tetapi seringkali sukar pada neonates. Tanda yang paling penting pada
neonates adalah hipotonia umum, fisura palpebra yang oblik, kulit leher yang
berlebihan, tengkorak yang kecil dan datar, tulang pipi yang tinggi, dan lidah yang
menonjol. Dapat dilihat juga tangan tebal dan lebar, dengan garis transversal tunggal
pada telapak tangan, dan jari kelingking pendek dan melengkung ke dalam.1

Gambar 1. Karakteristik Sindroma Down

Sindrom Fragile X
Sindrom fragile X merupakan bentuk retardasi mental yang diwariskan dan
disebabkan oleh mutasi gen pada kromosom X.1 Diyakini terjadi pada kira-kira 1
tiap 1000 kelahiran laki-laki dan 2000 kelahiran perempuan. Derajat retardasi mental
terentang dari ringan sampai berat. Ciri perilakunya adalah tingginya angka
gangguan defisit atensi/hiperaktivitas, ganguan belajar, dan gangguan perkembangan
pervasive seperti gangguan akuisitik. Defisit dalam fungsi bahasa adalah
pembicaraan yang cepat dan perseveratif dengan kelainan dalam mengkombinasikan
kata-kata membentuk frasa dan kalimat.1

Sindrom Prader-Willi
Kelianan ini akibat dari penghilangan kecil pada kromosom 15, biasanya
terjadi secara sporadic. Prevalensinya kurang dari 1 dalam 10000. Orang dengan
sindrom ini menunjukkan perilaku makan yang kompulsif dan sering kali obesitas,
retardasi mental, hipogonadisme, perawakan pendek, hipotonia, dan tangan dan kaki

13
yang kecil. Anakanak dengan sindrom ini seringkali memiliki perilaku oposisional
yang menyimpang.1

Gambar 2. Karakteristik Sindrom Prader-Willi

Sindrom tangisan kucing (cat-cry [cri-du-chat] syndrome)


Anak-anak dengan sindrom tangisa kucing kehilangan bagian dari kromosom
5. Mereka mengalami retardasi mental berat dan menunjukkan banyak stigmata yang
seringkali disertai dengan penyimpangan kromosom, seperti mikrosefali, telinga
yang letaknya rendah, fisura palpebra oblik, hipertelorisme, dan mikrognatia.
Tangisan seperti kucing yang khas (disebabkan oleh kelainan laring) yang
memberikan nama sindrom secara bertahap berubah dan menghilang dengan
bertambahnya usia.1

Kelainan kromosom lain


Sindrom penyimpangan autosomal lain yang disertai dengan retardasi mental
adalah jauh lebih jarang terjadi dibandingkan Sindrom Down.1

b. Faktor Genetik Lain


Phenylketonuria (PKU) merupakan gangguan yang menghambat metabolisme
asam phenylpyruvic, menyebabkan retardasi mental kecuali bila pola makan amat
dikontrol.3 PKU ditransmisikan dengan trait Mendel autosomal resesif yang sederhana
dan terjadi pada kira-kira yang di institusi adalah kira-kira 1 persen dalam setiap 10.000
sampai 15.000 kelahiran hidup. Bagi orang tua yang telah memiliki anak dengan PKU,

14
kemungkinan memiliki anak lain dengan PKU adalah satu dalam setiap empat sampai
lima kehamilan selanjutnya. Defek metabolisme dasar pada PKU adalah
ketidakmampuan untuk mengubah fenilalanin, suatu asam amino esensial, menjadi
paratirosin karena tidak adanya atau tidak aktifnya enzim fenilalanin hidroksilase, yang
mengkatalisis perubahan tersebut.
Sebagian besar pasien dengan PKU mengalami retardasi yang berat, tetapi
beberapa dilaporkan memiliki kecerdasan yang ambang atau normal. Walaupun
gambaran klinis bervariasi, anak PKU tipikal adalah hiperaktif dan menunjukkan
perilaku yang aneh dan tidak dapat diramalkan, yang menyebabkan sulit ditangani.
Mereka seringkali memiliki temper tantrum dan seringkali menunjukkan gerakan aneh
pada tubuhnya dan anggota gerak atas dan manerisme memutir tangan, dan perilaku
mereka kadang-kadang meyerupai anak autistic atau skizofrenik. Komunikasi verbal
dan nonverbal biasanya sangat terganggu atau tidak ditemukan. Koordiansi anak adalah
buruk, dan mereka memiliki banyak kesulitan perceptual.1

Gambar 3. Phenylketouria

c. Faktor Prenatal
Beberapa kasus retardasi mental disebabkan oleh infeksi dan penyalahgunaan
obat selama ibu mengandung. Infeksi yang biasanya terjadi adalah Rubella, yang dapat
menyebabkan kerusakan otak. Penyakit ibu juga dapat menyebabkan retardasi mental,
seperti sifilis, cytomegalovirus, dan herpes genital. Obat-obatan yang digunakan ibu

15
selama kehamilan dapat mempengaruhi bayi melalui plasenta. Sebagian dapat
menyebabkan cacat fisik dan retardasi mental yang parah. Anak-anak yang ibunya
minum alkohol selama kehamilan sering lahir dengan sindrom fetal dan merupakan
kasus paling nyata sebagai penyebab retardasi mental. Komplikasi kelahiran, seperti
kekurangan oksigen atau cedera kepala, infeksi otak, seperti encephalitis dan
meningitis, terkena racun, seperti cat yang mengandung timah sangat berpotensi
menyebabkan retardasi mental.3

d. Faktor Perinatal
Beberapa bukti menunjukkan bahwa bayi premature dan bayi dengan berat badan
lahir rendah berada dalam resiko tinggi mengalami gangguan neurologis dan intelektual
yang bermanifestasi selama tahun-tahun sekolahnya. Bayi yang menderita pendarahan
intrakranial atau tanda-tanda iskemia serebral terutama rentan terhadap kelainan
kognitif. Derajat gangguan perkembangan saraf biasanya berhubungan dengan beratnya
perdarahan intrakranial.1

e. Gangguan Didapat Pada Masa Anak-anak


Kadang-kadang status perkembangan seorang anak dapat berubah secara
dramatik akibat penyakit atau trauma fisik tertentu. Secara retrospektif, kadang-kadang
sulit untuk memastikan gambaran kemajuan perkembangan anak secara lengkap
sebelum terjadinya gangguan, tetapi efek merugikan pada perkembangan atau
keterampilan anak tampak setelah gangguan. Beberapa penyebab yang didapat pada
masa anak-anak antara lain :1
Infeksi
Infeksi yang paling serius mempengaruhi interitas serebral adalah ensefalitis
dan meningitis.
Trauma kepala
Penyebab cedera kepala yang terkenal pada anak-anak yag menyebabkan
kecacatan mental, termasuk kejang, adalah kecelakaan kendaraan bermotor. Tetapi,
lebih banyak cedera kepala yang disebabkan oleh kecelakaan di rumah tangga,
seperti terjatuh dari tangga. Penyiksaan anak juga suatu penyebab cedera kepala.
Masalah lain

16
Cedera otak dari henti jantung selama anesthesia jarang terjadi. Satu penyebab
cedera otak lengkap atau parsial adalah afiksia yang berhubugan dengan nyaris
tenggelam. Pemaparan jangka panjang dengan timbal adalah penyebab gangguan
kecerdasan dan keterampilan belajar. Tumor intracranial dengan berbagai jenis dan
asal, pembedahan, dan kemoterapi juga dapat merugikan fungsi otak

f. Faktor Lingkungan dan Sosiokultural


Suatu bentuk retardasi mental dipengaruhi oleh lingkungan dengan sosioekonomi
rendah. Faktor-faktor psikososial, seperti lingkungan rumah atau sosial yang miskin,
yaitu yang memberi stimulasi intelektual, penelantaran atau kekerasan dari orang tua,
dapat menjadi penyebab atau memberi kontribusi dalam perkembangan retardasi mental
pada anak-anak.3 TIdak ada penyebab biologis yang telah dikenali pada kasus tersebut.
Anak-anak dalam keluarga yag miskin dan kekurangan secara sosiokultural
adalah sasaran dari kondisi merugikan perkembangan dan secara potensial patogenik.
Lingkungan prenatal diganggu oleh perawatan medis yang buruk dan gizi maternal
yang buruk. Kehamilan remaja sering disertai dengan penyulit obstetric, prematuritas,
dan berat badan lahir rendah. Perawatan medis setelah kelahiran buruk, malnutrisi,
pemaparan dengan zat toksin tertentu seperti timbale dan trauma fisik adalah serig
terjadi. Ketidakstabilan keluarga, sering pindah, dan pengasuh yang berganti-ganti
tetapi tidak adekuat sering terjadi. Selain itu, ibu dalam keluarga tersebut sering
berpendidikan rendah dan tidak siap memberikan stimulasi yang sesuai bagi anak-
anaknya.
Masalah lain yang tidak terpecahkan adalah pengaruh ganguan mental parental
yang parah. Gangguan tersebut dapat menganggu pengasuhan dan stimulasi anak dan
aspek lain dari lingkungan mereka, dengan demikian menempatkan anak pada resiko
perkembangan. Anak-anak dari orang tua dengan gagguan mood dan skizofrenia
diketahui berada dalam resiko mengalami gangguan tersebut dan gangguan yang
berhubungan. Penelitian terakhrir menunjukkan tingginya prevalensi gangguan
keterampialan motorik dan gangguan perkembangan lainnya tetapi tidak selalu disertai
retardasi mental.1

2.1.3 Diagnosis
Menurut pedoman diagnostik PPDGJ III intelegensia bukan merupakan karakteristik
yang berdiri sendiri, melainkan harus dinilai berdasarkan sejumlah besar ketrampilan khusus

17
yang berbeda. Meskipun ada kecenderungan umum bahwa semua ketrampilan ini akan
berkembang ke tingkat yang serupa pada setiap individu, tetapi ada ketimpangan
(discrepancy) yang luas, terutama pada penyandang RM. Orang yang demikian mungkin
memperlihatkan hendaya berat dalam satu bidang tertentu (misalnya bahasa) atau mungkin
mempunyai suatu area ketrampilan tertentu yang lebih tinggi (misalnya tugas visuospasial
sederhana) pada RM berat. Keadaan ini akan menimbulkan kesulitan dalam menentukan
kriteria diagnostik dimana seorang penyandang RM harus diklasifikasikan.
Penilaian tingkat kecerdasan harus berdasarkan semua informasi yang tersedia,
termasuk temuan klinis, perilaku adaptif (yang dinilai dalam kaitan dengan latar belakang
budayanya), dan hasil tes psikometrik.
Untuk diagnosis pasti, harus ada penurunan tingkat kecerdasan yang meningkatkan
berkurangnya kemampuan adaptasi terhadap tuntutan dari lingkungan sosial biasa sehari
hari. Gangguan jiwa dan fisik yang menyertai retardasi mental mempunyai pengaruh besar
pada gambaran klinis dan penggunaan dari semua keterampilannya. Oleh karena itu kategori
diagnostik yang dipilih harus berdasarkan penilaian kemampuan global dan bukan atas suatu
hendaya atau ketrampilan khusus. Tingkat IQ yang ditetapkan hanya merupakan petunjuk dan
seharusnya tidak ditetapkan secara kaku dalam memandang keabsahan permasalahan lintas
budaya.
Kriteria diagnostik untuk RM menurut DSM IV TR adalah sebagai berikut:
1. Fungsi intelektual dibawah rata rata (IQ 70 atau kurang) yang telah diperiksa secara
individual.
2. Kekurangan atau gangguan dalam perilaku adaptif (sama dengan kekurangan individu
untuk memenuhi tuntutan standar perilaku sesuai dengan usianya dari lingkungan
budayanya) dalam sedikitnya 2 hal, yaitu komunikasi, self-care, kehidupan rumah-
tangga, ketrampilan sosial/interpersonal, menggunakan sarana komunitas, mengarahkan
diri sendiri, ketrampilan akademis fungsional, pekerjaan, waktu senggang, kesehatan dan
keamanan
3. Awitan terjadi sebelum usia 18 tahun
Kode diagnostik dan derajat RM menurut DSM IV TR adalah sebagai berikut :4
317 Retardasi mental ringan, IQ 50 55 sampai 70
318 Retardasi mental sedang, IQ 35 40 sampai 50 55
318.1 Retardasi mental berat, IQ 20 25 sampai 35 40
318.2 Retardasi mental sangat berat, IQ dibawah 20 atau 25

18
Fungsi intelektual dapat diketahui dengan tes fungsi kecerdasan dan hasilnya
dinyatakan sebagai suatu taraf kecerdasan atau IQ. Dapat dihitung dengan :3
IQ = MA/CA x 100%
MA = Mental Age, umur mental yang didapat dari hasil tes
CA = Chronological Age, umur yang didapat berdasarkan perhitungan tanggal lahir
Diagnosis retardasi mental dapat dibuat setelah riwayat penyakit, pemeriksaan
intelektual yang baku, dan pengukuran fungsi adaptif menyatakan bahwa perilaku anak
sekarang adalah secara bermakna di bawah tingkat yang diharapakan. Diagnosis sendiri tidak
menyebutkan penyebab ataupun prognosisnya. Suatu riwayat psikiatrik adalah berguna untuk
mendapatkan gambaran longitudinal perkembangan fungsi anak, dan pemeriksaan stigma
fisik, kelainan neurologis, dan tes laboratorium dapat digunakan untuk memastikan penyebab
dan prognosis.1
a. Riwayat Penyakit
Riwayat penyakit paling sering didapatkan dari orang tua atau pengasuh, dengan
perhatian khusus pada kehamilan ibu, persalinan, dan kelahiran. Terdapat riwayat
keluarga retardasi mental, hubungan darah pada orangtua, dan gangguan herediter. Juga
dapat menilai latar belakang sosiokultural pasien, iklim emosional di rumah, dan fungsi
intelektual pasien.1
b. Wawancara Psikiatrik
Dua faktor yang sangat penting saat jika mewawancarai pasien adalah sikap
pewawancara dan cara berkomunikasi dengan pasien. Kemampuan verbal pasien,
termasuk bahasa reseptif dan ekspresif, harus dinilai sesegera mungkin dengan
mengobservasi komunikasi verbal dan nonverbal antara pengasuh dan pasien dan dari
riwayat penyakit. Sangat membantu jika memeriksa pasien dan pengasuhnya bersama-
sama. Jika pasien menggunakan bahasa isyarat, pengasuh dapat sebagai penerjemah.
Orang terertardasi mengalami kegagalan seumur hidup dalam berbagai bidang, dan
mereka mungkin mengalami kecemasan sebelum menjumpai pewawancara.
Pewawancara dan pengasuh harus berusaha untuk memberikan pasien suatu penjelasan
yang jelas, suportif, dan konkret tentang proses diagnostik, terutama pasein dengan
bahasa reseptif yang memadai. Dukungan dan pujian harus diberikan dalam bahasa yang
sesuai dengan usia dan pengertian pasien.
Pengendalian pasien terhadap pola motilitas harus dipastikan, dan bukti klinis
adanya distraktibilitas dan distorsi dalam persepsi dan daya ingat harus diperiksa.
Pemakaian bahasa, tes realitas, dan kemampuan menggali dan pengalaman penting untuk

19
dicatat. Sifat dan maturitas pertahanan pasien (menundukkan diri sendiri menggunakan
penghindaran, represi, penyangkalan, introyeksi, da isolasi) harus diamati. Potensi
sublimasi, toleransi frustasi, dan pengendalian impuls (terutama terhadap dorongan
motorik, agresif, dan seksual) harus dinilai. Juga penting adalah citra diri dan peranannya
dalam perkembangan keyakinan diri, dan juga penilaian keuletan, ketetapan hati,
keingintahuan, dan kemauan menggali hal yang tidak diketahui.
Pada umumnya pemeriksaan psikiatrik pasien yang teretardasi harus
mengungkapkan bagaimana pasien mengalami stadium perkembangan. Dalam hal
kegagalan atau regresi, juga dapat mengembangkan sifat kepribadian yang
memungkinkan perencanaan logis dari penatalaksanaan dan pendekatan pengobatan. 1
c. Pemeriksaan Fisik
Berbagai bagian tubuh memiliki karakteristik tertentu yang sering ditemukan pada
orang retardasi mental dan memiliki penyebab prenatal. Sebagai contoh, konfigurasi dan
ukuran kepala memberikan petunjuk terhadap berbagai kondisi seperti mikrosefali,
hidrosefalus, dan sindroma Down. Wajah pasien mungkin memiliki beberapa stigmata
retardasi mental yang sangat mempermudah diagnosis. Tanda fasial tersebut adalah
hipertelorisme, tulang hidung yang datar, alis mata yang menonjol, lipatan epikantus,
opasitas kornea, perubahan retina yag letaknya rendah atau bentuknya aneh, lidah yang
menonjol, dan gangguan gigi geligi. Lingkaran kepala harus diukur sebagai bagian dari
pemeriksaan klinis. Warna dan tekstur kulit dan rambut, palatum dengan lengkung yang
tinggi, ukuran kelenjar tiroid, dan ukuran anak dan batang tubuh dan ekstremitasnya
adalah bidang lain yang digali. 1
d. Pemeriksaan Neurologis
Gangguan sensorik sering terjadi pada orang retardasi mental, sebagai contoh
sampai 10 persen orang retardasi mental mengalami gangguan pendengaran empat kali
lebih tinggi dibandingkan orang normal. Gangguan sensorik dapat berupa gangguan
pendengaran dan gangguan visual. Gangguan pendengaran terentang dari ketulian
kortikal sampai deficit pendengaran yang ringan. Gangguan visual dapat terentang dari
kebutaan sampai gangguan konsep ruang, pengenalan rancangan, dan konsep citra tubuh.
Gangguan dalam bidang motorik dimanifestasikan oleh kelainan pada tonus otot
(spastisitas atau hipotonia), refleks (hiperefleksia), dan gerakan involunter
(koreoatetosis). Derajat kecacatan lebih kecil ditemukan dalam kelambanan dan
koordinasi yang buruk.1

20
e. Tes Laboratorium
Tes laboratorium yang digunakan pada kasus retardasi mental adalah pemeriksaan
urin dan darah untuk mencari gangguan metabolik. Penentuan kariotipe dalam
laboratorium genetic diindikasikan bila dicurigai adanya gangguan kromosom.
Amniosintesis, di mana sejumlah kecil cairan amniotic diambil dari ruang amnion
secara transabdominal antara usia kehamilan 14 dan 16 minggu, telah berguna dalam
diagnosis berbagai kelainan kromosom bayi, terutama Sindroma Down. Amniosintesis
dianjukan untuk semua wanita hamil berusia di atas 35 tahun.
Pengambilan sampel vili korionik (CVS; chorionic villi sampling) adalah teknik
skrining yang baru untuk menentukan kelainan janin. Cara ini dilakukan pada usia
kehamilan 8 dan 10 minggu. Hasilnya tersedia dalam waktu singkat (beberapa jam atau
hari), dan jika kehamilan adalah abnormal, keputusan untuk mengakhiri kehamilan dapat
dilakukan dalam trimester pertama. Prosedur memiliki resiko keguguran antara 2 dan 5
persen. 1
f. Pemeriksaan Psikologis
Tes psikologis, dilakukan oleh ahli psikologis yang berpengalaman, adalah bagian
standar dari pemeriksaan untuk retardasi mental. Pemeriksaan psikologis dilakukan
untuk menilai kemampuan perceptual, motorik, linguistik, dan kognititf. Informasi
tentang factor motivasional, emosional, dan interpersonal juga penting.1

2.1.4 Klasifikasi
Menurut PPDGJ-III retardasi mental dibagi menjadi :4
F70 Retardasi Mental Ringan
Bila menggunakan tes IQ baku yang tepat, maka IQ berkisar antara 50 69
menunjukkan retardasi mental ringan.
Pemahaman dan penggunaan bahasa cenderung terlambat pada berbagai tingkat, dan
masalah kemampuan berbicara yang mempengaruhi perkembangan kemandirian dapat
menetap sampai dewasa. Walaupun mengalami keterlambatan dalam kemampuan bahasa,
tapi sebagian besar dapat mencapai kemampuan bicara untuk keperluan sehari hari.
Kebanyakan juga dapat mandiri penuh dalam merawat diri sendiri dan mencapai ketrampilan
praktis dan ketrampilan rumah tangga, walaupun tingkat perkembangannya agak lambat
daripada normal.
Kesulitan utama biassanya tampak dalam pekerjaan sekolah yang bersifat akademis dan
banyak masalah khusus dalam membaca dan menulis.

21
Etiologi organik hanya dapat diidentifikasikan pada sebagian kecil penderita. Keadaan
lain yang menyertai, seperti autisme, gangguan perkembangan lain, epilepsi, gangguan
tingkah laku, atau disabilitas fisik dapat ditemukan dalam berbagai proporsi. Bila terdapat
gangguan demikian, maka harus diberi kode diagnosis tersendiri.
F71 Retardasi Mental Sedang
IQ biasanya berada dalam rentang 35-49. Umumnya ada profil kesenjangan dari
kemampuan, beberapa dapat mencapai tingkat yang lebih tinggi dalam ketrampilan visuo-
spasial daripada tugas tugas yang tergantung pada bahasa, sedangkan yang lainnya sangat
canggung namun dapat mengadakan interaksi sosial dan percakapan sederhana.
Tingkat perkembangan bahasa bervariasi, ada yang dapat mengikuti percakapan
sederhana, sedangkan yang lain hanya dapat berkomunikasi seadanya untuk kebutuhan dasar
mereka.
Suatu etiologi organik dapat diidentifikasikan pada kebanyakan penyandang retardasi
mental sedang. Autisme masa kanak atau gangguan perkembangan pervasif lainnya terdapat
pada sebagian kecil kasus, dan mempunyai pengaruh besar pada gambaran klinis dan tipe
penatalaksanaan yang dibutuhkan. Epilepsi, disabilitas neurologik dan fisik juga lazim
ditemukan meskipun kebanyakan penyandang retardasi mental sedang mampu berjalan tanpa
bantuan.
Kadang kadang didapatkan gangguan jiwa lain, tetapi karena tingkat perkembangan
bahasanya yang terbatas sehingga sulit menegakkan diagnosis dan harus tergantung dari
informasi yang diperoleh dari orang lain yang mengenalnya. Setiap gangguan penyerta harus
diberi kode diagnosis tersendiri.
F72 Retardasi Mental Berat
IQ biasanya berada dalam rentang 20-34. Pada umumnya mirip dengan retardasi mental
sedang dalam hal :
- Gambaran klinis
- Terdapatnya etiologi organik
- Kondisi yang menyertainya
- Tingkat prestasi yang rendah
- Kebanyakan penyandang retardasi mental berat menderita gangguan motorik yang
mencolok atau defisit lain yang menyertainya, menunjukkan adanya kerusakan atau
penyimpangan perkembangan yang bermakna secara klinis dari susunan saraf pusat.

22
F73 Retardasi Mental Sangat Berat
IQ biasanya dibawah 20. Pemahaman dan penggunaan bahasa terbatas, hanya mengerti
perintah dasar dan mengajukan permohonan sederhana. Keterampilan visuospasial yang
paling dasar dan sederhana tentang memilih dan mencocokkan mungkin dapat dicapainya dan
dengan pengawasan dan petunjuk yang tepat, penderita mungkin dapat sedikit ikut
melakukan tugas praktis dan rumah tangga.
Suatu etiologi organik dapat diidentifikasi pada sebagian besar kasus. Biasanya ada
disabilitas neurologik dan fisik lain yang berat yang mempengaruhi mobilitas, seperti epilepsi
dan hendaya daya lihat dan daya dengar. Sering ada gangguan perkembangan pervasif dalam
bentuk sangat berat khususnya autisme yang tidak khas (atypical autism) terutam pada
penderita yang dapat bergerak.
F78 Retardasi Mental Lainnya
Kategori ini hanya digunakan bila penilaian dari tingkat retardasi mental dengan
memakai prosedur biasa sangat sulit atau tidak mungkin dilakukan karena adanya gangguan
sensorik atau fisik, misalnya buta, bisu, tuli dan penderita yang perilakunya terganggu berat
atau fisiknya tidak mampu.
F79 Retardasi Mental YTT
Jelas terdapat retardasi mental, tetapi tidak ada informasi yang cukup untuk
menggolongkannya dalam salah satu kategori tersebut diatas.

2.1.5 Penatalaksanaan
Retardasi mental berhubungan dengan beberapa gangguan heterogen dan berbagai
faktor psikososial. Terapi yang terbaik untuk retardasi mental adalah pencegahan primer,
sekunder, dan tersier.1
a. Pencegahan Primer
Pencegahan primer merupakan tindakan yang dilakukan untuk menghilangkan atau
menurunkan kondisi yang menyebabkan perkembangan gangguan yang disertai dengan
retardasi mental. Tindakan tersebut termasuk :
Pendidikan untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat umum
tentang retardasi mental.
Usaha terus-menerus dari professional bidang kesehatan untuk menjaga dan
memperbaharui kebijaksanaan kesehatan masyarakat.
Aturan untuk memberikan pelayanan kesehatan maternal dan anak yang optimal.
Eradikasi gangguan yang diketahui disertai dengan kerusakan system saraf pusat.

23
Konseling keluarga dan genetik membantu menurunkan insidensi retardasi mental
dalam keluarga dengan riwayat gangguan genetic yang berhubungan dengan retardasi
mental. Untuk anak-anak dan ibu dengan sosioekonomi rendah, pelayanan medis
prenatal dan perinatal yang sesuai dan berbagai program pelengakap dan bantuan
pelayanan social dapat menolong menekan komplikasi medis dan psikososial.
b. Pencegahan Sekunder dan Tersier
Jika suatu gangguan yang disertai dengan retardasi mental telah dikenali, gangguan
harus diobati untuk mempersingkat perjalanan penyakit (pencegahan sekunder) dan
untuk menekan sekuele atau kecacatan yang terjadi setelahnya (pencegahan tersier).
Gangguan metabolik dan endokrin herediter, seperti PKU dan hipotiroidisme,
dapat diobati dalam stadium awal dengan control diet atau dengan terapi penggantian
hormone.
Anak retardasi mental seringkali memiliki kesulitan emosional dan perilaku yang
memerlukan terapi psikiatrik. Kemampuan kognitif dan sosial yang terbatas yang
dimiliki anak tersebut memerlukan modalitas terapi psikiatrik yang dimodifikasi
berdasarkan tingkat kecerdasan anak.
1) Pendidikan untuk anak
Lingkungan pendidikan untuk anak-anak dengan retardasi mental harus
termasuk program yang lengkap yang menjawab latihan keterampilan adaptif,
latihan keterampilan sosial, dan latihan kejujuran. Perhatian khusus harus dipusatkan
pada komunikasi dan usaha untuk meningkatkan kualitas hidup. Terapi kelompok
seringkali merupakan format yang berhasil dimana anak-anak dengan retardasi
mental dapat belajar dan mempraktekkan situasi hidup nyata dan mendapatkan
umpan balik yang mendukung.
2) Terapi perilaku, kognitif, dan psikodinamika
Kesulitan dalam beradaptasi di antara orang retardasi mental adalah luas dan
sangat bervariasi sehingga sejumlah intervensi sendiri atau dalam kombinasi
mungkin berguna.
Terapi perilaku telah digunakan selama bertahun-tahun untuk membentuk dan
meningkatkan perilaku sosial dan untuk mengendalikan dan menekan perilaku
agresif dan destruksi pasien. Dorongan positif untuk perilaku yang diharapkan dan
memulai hukuman (seperti mencabut hak istimewa) untuk perilaku yang tidak
diinginkan telah banyak menolong.

24
Terapi kognitif seperti menghilangkan keyakinan palsu dan latihan relaksasi
dengan instruksi dari diri sendiri, juga telah dianjurkan untuk pasien retardasi mental
yang mampu mengikuti instruksi pasien.
Terapi psikodinamika telah digunakan pada pasien retardasi mental dan
keluarganya untuk menurunkan konflik tentang harapan yang menyebabkan
kecemasan, kekerasan, dan depresi yang menetap.
3) Pendidikan keluarga
Satu bidang yang penting dalam pendidikan keluarga dari pasien dengan
retardasi mental adalah tentang cara meningkatkan kompetensi dan harga diri sambil
mempertahnkan harapan yang realistic untuk pasien. Keluarga seringkali merasa
sulit untuk menyeimbangkan antara mendorong kemandirian dan memberikan
lingkungan yang mengasuh dan suportif bagi anak retardasi mental, yang
kemungkinan mengalami suatu tingkat penolakan dan kegagalan di luar konteks
keluarga.
Orang tua mungkin mendapatkan manfaat dari konseling yang terus-menerus
datau terpai keluarga. Orang tua harus diberikan kesempatan untuk mengekspresikan
perasaan bersalah, putus asa, kesedihan, penyangkalan yang terus-menerus timbul,
dan kemarahan tentang gangguan dan masa depan anak. Dokter psikiatrik harus siap
untuk memberikan semua informasi medis dasar dan terakhir tentang penyebab,
terapi, dan bidang lain yang berhubungan (seperti latihan khusus dan perbaikna
defek sensorik).
4) Intervensi farmakologis
Pendekatan farmakologis dalam terpai gangguan mental komorbid pada pasien
retardasi mental adalah banyak kesamaannya seperti untuk pasien yang tidak
mengalami retardasi mental. Semakin banyak data yang mendukung pemakaian
berbagai medikasi untuk pasien dengan gangguan mental yang tidak retardasi
mental. Beberapa penelitian telah memusatkan perhatian pada pemakaian medikasi
untuk sindrom perilaku berikut ini yang sering terjadi di antara retardasi mental:
Agresi dan perilaku melukai diri sendiri
o Beberapa bukti dari penelitian telah menyatakan bahwa lithium (Eskalith)
berguna dalam menurunkan agresi dan perilaku melukai diri sendiri.
o Antagonis narkotik seperti naltrexone (Trexan) telah dilaporkan
menurunkan perilaku melukai diri sendiri pada pasien retardasi mental yang
juga memenuhi kriteria diagnostik untuk gangguan austik infantile. Satu

25
hipotesis yang diajukan sebagai mekanisme kerja terapi naltrexone adalah
bahwa obat mempengaruhi pelepasan opioid endogen yang dianggap
berhubungan dengan melukai diri sendiri.
o Carbamazepine (Tegretol) dan valproic acid (Depakene) adalah medikasi
yang juga bermanfaat pada beberapa kasus perilaku melukai diri sendiri.
Gerakan motorik stereotipik
Medikasi antipsikotik, seperti haloperidol (Haldol) dan chlorpromazine
(Thorazine), menurunkan perilaku stimulasi diri yang berulang pada pasien
retardasi mental, terapi medikasi tersebut tidak meningkatkan perilaku adaptif.
Beberapa anak dan orang dewasa (sampai sepertiga) dengan retardasi mental
menghadapi resiko tinggi mengalami tardive dyskinesia dengan pemakaian
kontinu medikasi antipsikotik.
Perilaku kemarahan eksplosif
Penhambat-, seperti propranolol dan buspirone (BuSpar), telah dilaporkan
menyebabkan penurunan kemarahan ekspolasif di antara pasien dengan
retardasi mental dan gangguan autistik. Penelitian sistematik diperlukan
sebelum obat dapat ditetapkan sebagai manjur.
Gangguan defisit atensi/hiperaktivitas
Penelitian terapi methylphenidate pada pasien retardasi mental ringan dengan
gangguan defisit atensi/hiperaktivitas telah menunjukkan perbaikan bermakna
dalam kemampuan mempertahankan perhatian dan menyelesaikan tugas.
Penelitian terapi metylphenidate tida menunjukkan bukti adanya perbaikan
jangka panjang dalam keterampilan sosial atau belajar.

2.2 Depresi
2.2.1 Definisi
Depresi merupakan salah satu gangguan mood. Gangguan mood dianggap
sebagai sindrom, yang terdiri atas sekelompok tanda dan gejala bertahan selama
berminggu-minggu, berbulan-bulan yang menunjukkan penyimpangan nyata fungsi
habitual seseorang serta kecenderungan untuk kambuh, sering dalam bentuk periodik
atau siklik. Pasien dengan mood terdepresi (yaitu, depresi) merasakan hilangnya
energi dan minat, perasan bersalah, sulit berkonsentrasi, hilang nafsu makan, dan
pikiran tentang kematian atau bunuh diri. Berdasarkan WHO Depresi merupakan
gangguan mental yang ditandai dengan munculnya gejala penurunan mood,

26
kehilangan minat terhadap sesuatu, perasaan bersalah, gangguan tidur atau nafsu
makan, kehilangan energi, dan penurunan konsentrasi. 5,1

2.2.2 Diagnosis
Pedoman diagnosis menurut PPDGJ-III.5
Pedoman diagnostik pada depresi dibagi menjadi :
Semua gejala utama depresi :
o afek depresif
o kehilangan minat dan kegembiraan
o berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah.
Gejala lainnya:
o konsentrasi dan perhatian berkurang
o harga diri dan kepercayaan diri berkurang
o gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
o pandangan masa depan yang suram dan pesimis
o gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri
o tidur terganggu
o nafsu makan berkurang
Episode depresif biasanya harus berlangsung sekurang-kurangnya 2 minggu,
akan tetapi jika gejala amat berat dan beronset sangat cepat, maka masih
dibenarkan untuk menegakkan diagnosis dalam kurun waktu dari 2 minggu.

Tingkat Gejala Gejala Fungsi Keterangan


Depresi Utama Lain
Ringan 2 2 Baik -
Nampak
Sedang 2 3-4 Terganggu
Distress
Sangat Sangat
Berat 3 >4
terganggu Distress
Tabel 1. Penggolongan Depresi Menurut ICD-10

Episode depresif ringan menurut PPDGJ III


(1) Sekurang-kurangnya harus ada 2 dan 3 gejala utama depresi seperti tersebut di atas

27
(2) Ditambah sekurang-kurangnya 2 dari gejala lainnya
(3) Tidak boleh ada gejala yang berat diantaranya lamanya seluruh episode berlangsung
sekurang-kurangnya sekitar 2 minggu
(4) Hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan sosial yang biasa dilakukannya.

Episode depresif sedang menurut PPDGJ III


(1) Sekurang-kurangnya harus ada 2 dan 3 gejala utama
(2) Ditambah sekurang-kurangnya 3 atau 4 dari gejala lainnya
(3) Lamanya seluruh episode berlangsung minimum 2 minggu
(4) Menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan, dan
urusanrumah tangga.

Episode Depresif Berat dengan Tanpa Gejala Psikotik menurut PPDGJ III :
(1) Semua 3 gejala utama depresi harus ada
(2) Ditambah sekurang-kurangnya 4 dari gejala lainnya dan beberapa diantaranya harus
berintensitas berat
(3) Bila ada gejala penting (misalnya retardasi psikomotor) yang menyolok, maka pasien
mungkin tidak mau atau tidak mampu untuk melaporkan banyak gejalanya secara rinci.
Dalam hal demikian, penilaian secara menyeluruh terhadap episode depresi berat masih
dapat dibenarkan.
(4) Sangat tidak mungkin pasien akan mampu meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan atau
urusan rumah tangga, kecuali pada taraf yang sangat terbatas.

Episode Depresif Berat dengan Gejala Psikotik menurut PPDGJ III :


Episode depresi berat yang memenuhi kriteria menurut No. 3 di atas (F.32.2)
tersebut di atas, disertai waham, halusinasi atau stupor depresi. Waham biasanya
melibatkan ide tentang dosa, kemiskinan atau malapetaka yang mengancam dan pasien
merasa bertanggung jawab atas hal itu. Halusinasi auditorik atau alfatorik biasanya
berupa suara yang menghina atau menuduh, atau bau kotoran.Retardasi psikomotor
yang berat dapat menuju pada stupor.

28
2.2.3 Tatalaksana
Terapi psikologi5
Keluarga dan lingkungan. Memberikan penyuluhan bersama dengan pasien yang
diharapkan keluarga dapat membantu dan mendukung kesembuhan pasien.
Sosial-Budaya. Terapi kerja berupa memanfaatkan waktu luang dengan melakukan
hobi atau pekerjaan yang disukai pasien dan bermanfaat. Terapi rekreasi dapat berupa
berlibur atau bepergian kesuatu daerah yang disenangi pasien.
Religius. Bimbingan keagamaan agar pasien selalu menjalankan ibadah sesuai ajaran
agama yang dianutnya, yaitu menjalankan solat lima waktu, menegakkan amalan
sunah seperti mengaji, berzikir, dan berdoa kepada Allah SWT.

Terapi fisik5
Pada farmakoterapi digunakan obat anti depresan, dimana anti depresan dibagi
dalam beberapa golongan yaitu :
Golongan trisiklik, seperti : amitryptylin, imipramine, clomipramine dan
opipramol.
Golongan tetrasiklik, seperti : maproptiline, mianserin dan amoxapine.
Golongan MAOI-Reversibel (RIMA, Reversibel Inhibitor of Mono Amine
Oxsidase-A), seperti : moclobemide.
Golongan atipikal, seperti : trazodone, tianeptine dan mirtazepine.
Golongan SSRI (Selective Serotonin Re-Uptake Inhibitor), seperti : sertraline,
paroxetine, fluvoxamine, fluxetine dan citalopram.

Dalam pengaturan dosis perlu mempertimbangkan onset efek primer (efek


klinis) sekitar 2-4 minggu, efek sekunder (efek samping) sekitar 12-24 jam serta
waktu paruh sekitar 12-48 jam (pemberian 1-2 kali perhari).3
Ada lima proses dalam pengaturan dosis, yaitu:
1. Initiating Dosage (dosis anjuran), untuk mencapai dosis anjuran selama minggu I.
Misalnya amytriptylin 25 mg/hari pada hari I dan II, 50 mg/hari pada hari III dan
IV, 100 mg/hari pada hari V dan VI.
2. Titrating Dosage (dosis optimal), dimulai pada dosis anjuran sampai dosis efektif
kemudian menjadi dosis optimal. Misalnya amytriptylin 150 mg/hari selama 7

29
sampai 15 hari (miggu II), kemudian minggu III 200 mg/hari dan minggu IV 300
mg/hari.
3. Stabilizing Dosage (dosis stabil), dosis optimal dipertahankan selama 2-3 bulan.
Misalnya amytriptylin 300 mg/hari (dosis optimal) kemudian diturunkan sampai
dosis pemeliharaan.
4. Maintining Dosage (dosis pemeliharaan), selama 3-6 bulan. Biasanya dosis
pemeliharaan dosis optimal. Misalnya amytriptylin 150 mg/hari.
5. Tapering Dosage (dosis penurunan), selama 1 bulan. Kebalikan dari initiating
dosage. Misalnya amytriptylin 150 mg/hari 100 mg/hari selama 1 minggu, 100
mg/hari 75 mg/hari selama 1 minggu, 75 mg/hari 50 mg/hari selama 1 minggu,
50 mg/hari 25 mg/hari selama 1 minggu.

Dengan demikian obat anti depresan dapat diberhentikan total. Kalau


kemudian sindrom depresi kambuh lagi, proses dimulai lagi dari awal dan
seterusnya. Pada dosis pemeliharaan dianjurkan dosis tunggal pada malam hari
(single dose one hour before sleep), untuk golongan trisiklik dan tetrasiklik. Untuk
golongan SSRI diberikan dosis tunggal pada pagi hari setelah sarapan. Pemberian
obat anti depresi dapat dilakukan dalam jangka panjang oleh karena addiction
potential-nya sangat minimal.

30
BAB IV
ANALISIS KASUS

Seorang perempuan berumur 16 tahun dan belum menikah. Pasien dibawa ke


RSUP Mohammad Hoesin oleh keluarga dengan kondisi compos mentis, dengan
sebab utama tertutup dan mudah marah. Sejak 10 tahun yang lalu pasien tidak bisa
konsentrasi dalam belajar. Pasien juga pernah tidak naik kelas. Kemudian pasien
berhenti sekolah sejak kelas 5 SD. Menurut kakak pasien hal itu karena pasien tidak
bisa konsentrasi dan sangat susah bila disuruh untuk belajar. Ketika orang tua pasien
sudah mempersiapkan anak untuk belajar mengerjakan Pekerjaan Rumah yang
diberikan oleh guru, pasien hanya bertahan paling lama 2 menit untuk menghadap
buku tersebut, dan setelah itu pasien berlari keluar rumah untuk main bersama teman-
temannya. Pasien tidak mau mengerjakan perintah yang diberikan ibu pasien. Setiap
pulang dari sekolah, pasien selalu mengeluh pusing dan demam.
Sejak 2 minggu yang lalu pasien semakin sering marah dan melawan dengan
orang-orang disekitar. Pasien lebih senang bermain handphone, karna menurutnya
dengan online, orang-orang lebih banyak memperhatikannya. Pasien juga tidak mau
makan dan sering menyendiri. Pasien juga masih sering menangis sendiri. Pasien
kadang marah dengan cara merobek kasur, prilaku ingin bunuh diri (-). Pasien tidak
mengalami gangguan tidur. Pasien masih bisa melakukan kegiatan sehari-hari seperti
mandi, memakai pakaian sendiri.
Saat dilakukan wawancara psikiatri, pasien tidak dapat menjawab pertanyaan
dengan segera jika ditanya, selalu melihat ke arah kakak pasien ketika diberi
pertanyaan dan menjawab pertanyaan dengan sangat lambat, intonasi berbicara pasien
cukup jelas dengan nada suara yang rendah. Pasien bisa menyebutkan nama, umur,
alamat dan yang mengantar dengan benar. Pasien tidak mengetahui bahwa dirinya
sakit dan alasan dibawa berobat. Pasien tampak terlihat sedih dan kehilangan minat.
Ketika ditanya yang dirasakannya saat ini, pasien hanya bergumam. Pasien tidak
terlihat memiliki perasaan bersalah, tidak berguna, perasaan inferior dan memiliki ide
bunuh diri karena masalahnya tersebut. Pasien tidakpernah mendengar bisikan-bisikan
yang tidak jelas. Pasien dan keluarga mengatakan bahwa pasien tidak pernah memiliki
keluhan yang sama sebelumnya. Riwayat penyakit yang sama di keluarga disangkal.
Pasien pernah mengalami kejang pada saat usia 1 hingga 2 tahun. Pasien mengatakan

31
bahwa dia tidak merokok, tidak mengkonsumsi minuman keras atau menggunakan zat
terlarang.
Dari autoanamnesis dan pemeriksaan status mental didapatkan gejala episode
depresi ringan berupa kehilangan minat dan kegembiraan yaitu sering menyendiri dan
sering menangis sendiri. serta gejala lainnya yaitu konsentrasi dan perhatian
berkurangn dan nafsu makan berkurang. Gejala yang dialami lebih dari 2 minggu
yang lalu. Berdasarkan kriteria diagnosis menurut PPDGJ III episode depresi ringan
minimal ada 2 dari 3 gejala utama ditambah minimal 2 gejala lainnya dan tidak boleh
ada gejala berat diantaranya serta sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan aktivitas
sosial. Lamanya seluruh episode berlangsung minimal 2 minggu.
Dari autoanamnesis dan pemeriksaan status mental lain didapatkan gejala
retardasi mental yang dialami berupa gangguan dalam kemampuan kognitif, bahasa,
dan sosial. Berdasarkan Kriteria diagnostik untuk RM menurut DSM IV TR yang
terdapat pada pasien yaitu kekurangan atau gangguan dalam perilaku adaptif yaitu
komunikasi, self-care, ketrampilan sosial/interpersonal, menggunakan sarana
komunitas, mengarahkan diri sendiri, ketrampilan akademis fungsional serta awitan
terjadi sebelum usia 18 tahun. Berdasarkan PPDGJ III dapat ditegakkan diagnosis
aksis I sebagai Z63.7 Problem dalam hubungan yang berkaitan dengan gangguan
mental atau kondisi medis umum dan F 32.0 Episode depresi ringan. Aksis II F70
Retardasi mental ringan (suspek). Aksis III tidak ada diagnosis, aksis IV masalah
berkaitan dengan lingkungan sosial dan masalah dengan pendidikan aksis V dengan
GAF Scale 60-51

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA: Retardasi Mental. Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan
Perilaku Psikiatri Klinis, Binarupa Aksara, Jakarta, 2010
2. Elvira SD, Hadisukanto G. Retardasi Mental. Buku Ajar Psikiatri, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta, 2010
3. Salmiah S: Retardasi Mental. Departemen Kedokteran Gigi Anak Fakultas Kedokteran
Gigi Univeritas Sumatera Utara, Medan, 2010
4. Maslim R. F70-F79 Retardasi Mental. Buku Saku PPDGJ-III, Bagian Ilmu Kedokteran
Jiwa FK-Unika Atmajaya, Jakarta, 2003
5. Sadock BJ and Sadock VA. Gangguan Mood/ Suasana Perasaan. Dalam: Kaplan &
Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis. Edisi 2, editor:Muttaqin H and Elseria RN. Jakarta:
EGC; 2010. p.189-229.

33

Anda mungkin juga menyukai