Anda di halaman 1dari 6

Kasus Suap Penanganan Sengketa Pilkada Akil

Mochtar yang Menggurita

JAKARTA, KOMPAS.com - Kasus korupsi yang dilakukan mantan Ketua Mahkamah


Konstitusi Akil Mochtar telah menggurita. Akil pun diganjar hukuman seumur hidup karena
menerima suap dan gratifikasi terkait penanganan belasan sengketa pilkada di MK, serta
tindak pidana pencucian uang.

Bahkan, menurut jurnalis senior Harian Kompas yang menulis buku "Akal Akal Akil",
Budiman Tanuredjo, kasus korupsi Akil merupakan salah satu skandal terbesar sepanjang
sejarah peradilan Indonesia. Belum pernah terjadi seorang hakim yang juga Ketua MK masuk
penjara gara-gara terbukti melakukan korupsi dan pencucian uang yang melibatkan uang
sampai ratusan miliar rupiah. Tertangkap tangan pula.

Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi menyatakan, Akil terbukti menerima suap
sebagaimana dakwaan pertama, yaitu terkait penanganan sengketa Pilkada Kabupaten
Gunung Mas (Rp 3 miliar), Kalimantan Tengah (Rp 3 miliar), Pilkada Lebak di Banten (Rp 1
miliar), Pilkada Empat Lawang (Rp 10 miliar dan 500.000 dollar AS), dan Pilkada Kota
Palembang (sekitar Rp 3 miliar).

Hakim juga menyatakan bahwa Akil terbukti menerima suap sebagaimana dakwaan kedua,
yaitu terkait sengketa Pilkada Kabupaten Buton (Rp 1 miliar), Kabupaten Pulau Morotai (Rp
2,989 miliar), Kabupaten Tapanuli Tengah (Rp 1,8 miliar), dan menerima janji pemberian
terkait keberatan hasil Pilkada Provinsi Jawa Timur (Rp 10 miliar).

Akil juga terbukti dalam dakwaan ketiga, yaitu menerima Rp 125 juta dari Wakil Gubernur
Papua periode tahun 2006-2011, Alex Hesegem. Pemberian uang itu terkait sengketa Pilkada
Kabupaten Merauke, Kabupaten Asmat, Kabupaten Boven Digoel, Kota Jayapura, dan
Kabupaten Nduga.

Sejumlah kepala daerah dan juga pihak swasta turut terseret dalam pusaran kasus Akil. Sebut
saja, Gubernur Banten Atut Chosiyah dan adiknya, Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan.
Keduanya terbukti menyuap Akil terkait sengketa Pilkada Lebak. Kini keduanya telah divonis
penjara, empat tahun untuk Atut dan lima tahun untuk Wawan.

Berikut kasus sengketa Pilkada di MK yang dijadikan "proyek" oleh Akil, yang tengah
disidik KPK mau pun yang masih "hangat" di pengadilan Tipikor:

1. Sengketa Pilkada Lebak

Jatuhnya vonis terhadap Gubernur Banten Atut Chosiyah dan Adiknya, Tubagus Chaeri
Wardana alias Wawan tidak lantas membuat kasus sengketa Pilkada Lebak di MK ditutup.
KPK mengembangkan penyidikan terhadap kasus ini sehingga menyeret mantan kandidat
Pilkada Lebak 2013, yaitu Amir Hamzah dan Kasmin sebagai tersangka.

Amir dan Kasmin diduga bersama-sama Atut dan Wawan menyuap Akil untuk
memengaruhinya dalam memutus permohonan keberatan hasil Pilkada Lebak yang diajukan
pasangan tersebut. Dalam Pilkada Lebak, Amir-Kasmin kalah suara dengan pesaingnya,
pasangan Iti Oktavia Jayabaya-Ade Sumardi. Atas kekalahan itu, Amir mengajukan keberatan
hasil Pilkada Lebak ke MK. Adapun Susi Tur Andayani merupakan kuasa hukum Amir-
Kasmin.

2. Sengketa Pilkada Tapanuli Tengah

KPK menetapkan Gubernur Tapanuli Tengah Bonaran Situmeang sebagai tersangka pada 19
Agustus lalu. Dalam amar putusan majelis hakim Pengadilan Tipikor, Akil terbukti menerima
suap terkait dengan Pilkada Tapanuli Tengah sebesar Rp 1,8 miliar. Diduga, uang yang
berasal dari Bonaran itu disetorkan ke rekening perusahaan istrinya, CV Ratu Samagat,
dengan slip setoran ditulis "angkutan batu bara".

Pemberian uang diduga untuk mengamankan posisi Bonaran yang digugat di MK setelah
dinyatakan menang oleh KPUD Tapanuli Tengah. Pilkada Kabupaten Tapanuli Tengah
dimenangi oleh pasangan Raja Bonaran dan Sukran Jamilan Tanjung. Namun, keputusan
KPUD tersebut digugat oleh pasangan lawan.

Selanjutnya, pada 22 Juni 2011, permohonan keberatan hasil Pilkada Tapanuli Tengah ditolak
sehingga Bonaran dan Sukran tetap sah sebagai pasangan bupati dan wakil bupati terpilih.
Meski demikian, Akil sebenarnya tidak termasuk dalam susunan hakim panel. Panel untuk
sengketa pilkada saat itu adalah Achmad Sodiki (ketua), Harjono, dan Ahmad Fadlil Sumadi.

3. Sengketa Pilkada Palembang

Wali Kota non-aktif Palembang Romi Herton dan istrinya, Masyito, didakwa secara bersama-
sama menyuap Akil sebesar Rp 14,145 miliar. Romi dan asangan kandidatnya, Harno Joyo,
mengajukan gugatan terhadap hasil Pilkada Palembang dan meminta l Berita Acara
Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Palembang
dibatalkan. Hasil Pilkada Palembang menyatakan bahwa pasangan Romi-Harno kalah suara
dari pasangan Sarimuda-Nelly Rasdania dengan selisih 8 suara.

Dalam sidang putusan perkara sengketa Pilkada Palembang yang digelar 20 Mei 2013,
majelis hakim yang diketuai Akil mengabulkan permohonan Romi untuk membatalkan Berita
Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota
Palembang. Putusan tersebut membatalkan unggulnya pasangan Sarimuda-Nelly Rasdania
dan menyatakan Romi-Anwar memenangkan Pilkada Palembang.

Keterangan Tidak Benar dalam Sidang Akil

Selain kasus suap dan pencucian uang, orang-orang yang terlibat dalam pusaran korupsi
sengketa Pilkada Akil juga berusaha menutupi kesalahan sejumlah pihak dengan memberi
keterangan tidak benar dalam persidangan. Hal tersebut terjadi dalam kasus suap penanganan
sengketa Pilkada Palembang.

Selain menyuap Akil, Romi dan Masyito pun disebut memberi keterangan palsu dalan
persidangan. Bahkan, orang dekat Akil bernama Muhtar Ependy dianggap memengaruhi
saksi di persidangan dan mengarahkan saksi untuk memberi keterangan seperti yang
diperintahkan.
1. Wali Kota Palembang Romi Herton dan istrinya, Masyito

Wali Kota nonaktif Palembang Romi Herton dan istrinya, Masyito, didakwa memberikan
keterangan palsu dalam sidang Akil pada 27 Maret 2014, terkait perkara tindak pidana
korupsi terkait sengketa Pilkada di MK dan tindak pencucian uang.

Orang dekat Akil yang bernama Muhtar Ependy berperan mengarahkan keterangan Romi dan
Masyito selaku saksi untuk mengaburkan fakta di persidangan. Muhtar menyuruh keduanya
untuk mengaku tidak mengenal Muhtar dan tak pernah menyerahkan sejumlah uang kepada
Akil melalui Muhtar.

Padahal, keterangan saksi lainnya di sidang Akil dan sejumlah alat bukti memperkuat fakta
persidangan bahwa Romi dan Masyito menyuap Akil melalui Muhtar.

Romi dan Masyito juga dipaksa mengaku tidak pernah memesan atribut pilkada di PT Promic
Internasional milik Muhtar. Padahal, keduanya memesan atribut Pilkada di PT Promic
Internasional dengan bukti tagihan kepada Romi serta barang bukti berupa produk yang
dipesan Romi dan Masyito.

2. Pengusaha bernama Muhtar Ependy, teman dekat Akil

Muhtar Ependy, wirausahawan yang merupakan orang dekat Akil didakwa secara sengaja
merintangi proses pemeriksaan di pengadilan terhadap saksi dalam perkara korupsi. Jaksa
penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi menyatakan, Muhtar memengaruhi
keterangan sejumlah saksi dalam persidangan Akil.

Dalam surat dakwaan, Muhtar disebut memengaruhi Romi dan Masyito, yang dihadirkan
dalam sidang Akil. Muhtar meminta keduanya untuk bersaksi bahwa tidak mengenal Muhtar
dan tidak pernah bersama-sama datang ke Bank Kalbar cabang Jakarta untuk menyerahkan
sejumlah uang.

Muhtar juga memengaruhi supirnya yang bernama Srino agar tidak mengakui pernah
mengantar Muhtar ke rumah Akil di kawasan Pancoran untuk menyerahkan sejumlah uang.

Padahal, berdasarkan keterangan saksi lainnya dari Bank Kalbar Cabang Jakarta yaitu Iwan
Sutaryadi, Rika Fatmawati, dan Risna Hasrilianti, dinyatakan bahwa Srino pernah mengantar
Muhtar ke bank tersebut untuk mengambil uang tunai senilai Rp 3 miliar dalam bentuk dollar
Amerika untuk diantar ke rumah Akil.

Muhtar lantas menghubungi Iwan untuk mencabut seluruh keterangannya dalam berita acara
pemeriksaan dan menggantinya dengan keterangan baru yang tidak benar. Muhtar pun
meminta Iwan untuk menyampaikan kepada Rika dan Risna untuk melakukan hal yang sama.
Sehingga pada saat bersaksi di sidang Akil pada 24 Maret 2014, Iwan, Rika, dan Risna
kompak menjawab tidak ingat pernah melihat kedatangan Masyito ke Bank Kalbar Cabang
Jakarta atau pun mengenali Masyito.
CONTOH KASUS KORUPSI DI INDONESIA
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bertekad dalam program kerja seratus
harinya akan mengutamakan pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
(KKN). Menurut Presiden, KKN, akan menjadi salah satu masalah berat yang
harus diselesaikan oleh Pemerintah yang baru.
Jika dirunut, masih banyak masalah KKN di negara ini yang dalam proses
hukumnya berhenti di tengah jalan. Berikut adalah kasus-kasus KKN besar yang
menunggu untuk diselesaikan.
SOEHARTO
Kasus Soeharto Bekas presiden Soeharto diduga melakukan tindak korupsi di
tujuh yayasan (Dakab, Amal Bakti Muslim Pancasila, Supersemar, Dana Sejahtera
Mandiri, Gotong Royong, dan Trikora) Rp 1,4 triliun. Ketika diadili di Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan, ia tidak hadir dengan alasan sakit. Kemudian majelis
hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengembalikan berkas tersebut ke
kejaksaan. Kejaksaan menyatakan Soeharto dapat kembali dibawa ke pengadilan
jika ia sudah sembuh?walaupun pernyataan kejaksaan ini diragukan banyak
kalangan.

[ad#in_post]
PERTAMINA
Dugaan korupsi dalam Tecnical Assintance Contract (TAC) antara Pertamina
dengan PT Ustaindo Petro Gas (UPG) tahun 1993 yang meliputi 4 kontrak
pengeboran sumur minyak di Pendoko, Prabumulih, Jatibarang, dan Bunyu.
Jumlah kerugian negara, adalah US $ 24.8 juta. Para tersangkanya 2 Mantan
Menteri Pertambangan dan Energi Orde Baru, Ginandjar Kartasasmita dan Ida
Bagus Sudjana, Mantan Direktur Pertamina Faisal Abdaoe, serta Direktur PT UPG
Partono H Upoyo.
Kasus Proyek Kilang Minyak Export Oriented (Exxor) I di Balongan, Jawa Barat
dengan tersangka seorang pengusaha Erry Putra Oudang. Pembangunan kilang
minyak ini menghabiskan biaya sebesar US $ 1.4 M. Kerugian negara disebabkan
proyek ini tahun 1995-1996 sebesar 82.6 M, 1996-1997 sebesar 476 M, 1997-
1998 sebesar 1.3 Triliun. Kasus kilang Balongan merupakan benchmark-nya
praktek KKN di Pertamina. Negara dirugikan hingga US$ 700 dalam kasus mark-
up atau penggelembungan nilai dalam pembangunan kilang minyak bernama
Exor I tersebut.
Kasus Proyek Pipaisasi Pengangkutan Bahan Bakar Minyak (BBM) di Jawa
(Pipianisasi Jawa), melibatkan Mantan Direktur Pertamina Faisal Abdaoe, Bos
Bimantara Rosano Barack, dan Siti Hardiyanti Rukmana. Kerugian negara hingga
US$ 31,4 juta.
Korupsi di BAPINDO
Tahun 1993, pembobolan yang terjadi di Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo)
dilakukan oleh Eddy Tanzil yang hingga saat ini tidak ketahuan dimana rimbanya,
Negara dirugikan sebesar 1.3 Triliun.
HPH dan Dana Reboisasi Hasil audit Ernst & Young
Kasus HPH dan Dana Reboisasi Hasil audit Ernst & Young pada 31 Juli 2000
tentang penggunaan dana reboisasi mengungkapkan ada 51 kasus korupsi
dengan kerugian negara Rp 15,025 triliun (versi Masyarakat Transparansi
Indonesia). Yang terlibat dalam kasus tersebut, antara lain, Bob Hasan, Prajogo
Pangestu, sejumlah pejabat Departemen Kehutanan, dan Tommy Soeharto.
Bob Hasan telah divonis enam tahun penjara. Bob dinyatakan bersalah dalam
kasus korupsi proyek pemetaan hutan senilai Rp 2,4 triliun. Direktur Utama PT
Mapindo Pratama itu juga diharuskan membayar ganti rugi US$ 243 juta kepada
negara dan denda Rp 15 juta. Kini Bob dikerangkeng di LP Nusakambangan, Jawa
Tengah.
Prajogo Pangestu diseret sebagai tersangka kasus korupsi dana reboisasi proyek
hutan tanaman industri (HTI) PT Musi Hutan Persada, yang diduga merugikan
negara Rp 331 miliar. Dalam pemeriksaan, Prajogo, yang dikenal dekat dengan
bekas presiden Soeharto, membantah keras tuduhan korupsi. Sampai sekarang
nasib kasus taipan kakap ini tak jelas kelanjutannya.
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)
Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Kasus BLBI pertama kali mencuat
ketika Badan Pemeriksa Keuangan mengungkapkan hasil auditnya pada Agustus
2000. Laporan itu menyebut adanya penyimpangan penyaluran dana BLBI Rp
138,4 triliun dari total dana senilai Rp 144,5 triliun. Di samping itu, disebutkan
adanya penyelewengan penggunaan dana BLBI yang diterima 48 bank sebesar
Rp 80,4 triliun.
Bekas Gubernur Bank Indonesia Soedradjad Djiwandono dianggap bertanggung
jawab dalam pengucuran BLBI. Sebelumnya, mantan pejabat BI lainnya yang
terlibat pengucuran BLBI?Hendrobudiyanto, Paul Sutopo, dan Heru
Soepraptomo?telah dijatuhi hukuman masing-masing tiga, dua setengah, dan
tiga tahun penjara, yang dianggap terlalu ringan oleh para pengamat. Ketiganya
kini sedang naik banding.
Bersama tiga petinggi BI itu, pemilik-komisaris dari 48 bank yang terlibat BLBI,
hanya beberapa yang telah diproses secara hukum. Antara lain: Hendrawan
Haryono (Bank Aspac), David Nusa Widjaja (Bank Servitia), Hendra Rahardja
(Bank Harapan Santosa), Sjamsul Nursalim (BDNI), dan Samadikun Hartono
(Bank Modern).
Yang jelas, hingga akhir 2002, dari 52 kasus BLBI, baru 20 dalam proses
penyelidikan dan penyidikan. Sedangkan yang sudah dilimpahkan ke pengadilan
hanya enam kasus
Abdullah Puteh
Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam yang kini non aktif ini menjadi tersangka
korupsi APBD dalam pembelian helikopter dan genset listrik, dengan dugaan
kerugian Rp 30 miliar.
Kasusnya kini masih ditangani pihak kejaksaan dengan supervisi Komisi
Pemberantasan Korupsi.

http://yukiadimahaini.blogspot.co.id/2015/01/contoh-kasus-korupsi-yang-terjadi-
di.html

http://rachmat-agung.blogspot.co.id/2011/12/contoh-kasus-korupsi-di-
indonesia.html

Anda mungkin juga menyukai