Anda di halaman 1dari 46

MAKALAH

KEPERAWATAN KELAUTAN
CRUSH INJURY
[FRAKTUR TIBIA DENGAN TERAPI HBO]

Disusun Oleh Kelompok 5:

Hairul anwar

Diah indriyani

Yusleh ramadan

Wisno

Ihkwan haris ramadani

PROGRAM STUDI ALIH JEJANG S-1 KEPERAWATAN

FAKULTAS KESEHATAN

UNIVERSITAS WIRARAJA

SUMENEP

TAHUN 2016-2017

1
BAB I
PENDAHULUAN

Oksigen diperlukan untuk mempertahankan integritas sel, fungsi


metabolisme sel dan perbaikan pada jaringan yang luka. Oksigen tidak
hanya diperlukan sebagai energi pada proses metabolisme tapi juga
sangat diperlukan oleh sel polimorfonuklear, proliferasi fibroblas, dan
deposisi kolagen.1 Pada proses penyembuhan luka suplai oksigen yang
cukup sangat diperlukan untuk sintesis kolagen dan perbaikan jaringan.
Terapi hiperbarik oksigen (HBO) merupakan bentuk pengobatan
dimana penderita harus berada dalam ruangan bertekanan dan bernafas
dengan oksigen murni (100%) pada tekanan udara lebih besar daripada
udara atmosfer normal, yaitu sebesar 1 atm (760 mmHg). Keadaan ini
dapat dialami oleh seseorang pada waktu menyelam atau berada dalam
ruangan udara bertekanan tinggi (hyperbaric chamber) yaitu suatu ruang
kedap udara terbuat dari perangkat keras yang mampu diberikan tekanan
lebih besar dari 1 atm (ruang kompresi) beserta sumber oksigen dan
sistem penyalurannya ke dalam ruang rekompresi tersebut. 1,2
Terapi oksigen hiperbarik untuk pertama kalinya digunakan pada
penyakit dekompresi (Decompression Illness), yaitu suatu penyakit yang
dialami oleh penyelam dan pekerja tambang bawah tanah akibat
penurunan tekanan saat naik ke permukaan secara mendadak. Dari
berbagai penelitian terungkap bahwa oksigen hiperbarik mempunyai
manfaat lebih, tidak terbatas pada kasus-kasus penyelaman saja. Salah
satu contoh terapi oksigen hiperbarik yang berhasil yang akan dibahas
dalam referat ini ialah kegunaannya sebagai terapi penunjang / adjuvant
therapy dalam kasus fraktur tulang.

2
BAB II
FRAKTUR

2.1. Definisi
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan
tulang dan/atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh tekanan
yang berlebihan. Trauma yang menyebabkan tulang patah dapat berupa
trauma langsung dan trauma tidak langsung. Trauma langsung
menyebabkan tekanan langsung pada tulang dan terjadi fraktur pada
daerah tekanan. Trauma tidak langsung, apabila trauma dihantarkan ke
daerah yang lebih jauh dari daerah fraktur.

2.2. Klasifikasi Fraktur


Fraktur dibedakan atas beberapa klasifikasi, antara lain:
1. Klasifikasi Etiologis
Fraktur traumatik : Terjadi karena trauma yang tiba-tiba.
Fraktur patologis : Terjadi karena kelemahan tulang
sebelumnya akibat kelainan patologis di dalam tulang.
Fraktur stress : Terjadi karena adanya trauma yang
terus menerus pada suatu tempat tertentu.

3
2. Klasifikasi Klinis
Fraktur tertutup (simple fracture)
Suatu fraktur yang tidak mempunyai hubungan dengan
dunia luar.
Fraktur terbuka (compound fracture)
Fraktur yang mempunyai hubungan dengan dunia luar
melalui luka pada kulit dan jaringan lunak, dapat berbentuk
from within (dari dalam) atau from without (dari luar)
Fraktur dengan komplikasi (complicated fracture)
Fraktur yang disertai dengan komplikasi misalnya malunion,
delayed union, infeksi tulang.

Gambar II.1. Klasifikasi klinis fraktur.14

4
3. Klasifikasi Radiologis
Klasifikasi ini berdasarkan atas:
A. Lokalisasi
Diafisis
Metafisis

Intra-artikuler
Fraktur dengan dislokasi

B. Konfigurasi
Fraktur transversal, garis patah tulang melintang sumbu
tulang (80-100o dari sumbu tulang)
Fraktur obliq, garis patah tulang melintang sumbu tulang
(<80o atau >100o dari sumbu tulang)
Fraktur spiral, garis patah tulang berada di dua bidang
atau lebih
Fraktur segmental

Fraktur kominutif (comminuted), fraktur lebih dari dua


fragmen
Fraktur kompresi, biasanya pada vertebrae karena
trauma kompresi
Fraktur avulsi, fragmen kecil tertarik oleh otot atau tendo,
misalnya fraktur epikondilus humeri, fraktur trokanter
mayor, fraktur patella
Fraktur depresi, karena trauma langsung, misalnya pada
cranium
Fraktur impaksi

Fraktur pecah (burst), dimana terjadi fragmen kecil yang


berpisah, misalnya pada fraktur vertebrae, patella, tallus,
kalkaneus
Fraktur epifisis

C. Menurut Existensi

5
Fraktur complete

Fraktur torus
Fraktur green stick

Gambar II.2. Jenis-jenis bentuk fraktur.

D. Menurut hubungan antara fragmen satu dengan fragmen


lainnya
Tidak bergeser (undisplaced)
Fragmen tulang fraktur masih terdapat pada tempat
anatomisnya.
Bergeser (displaced)
Fragmen tulang fraktur tidak pada tempat anatomisnya.
Bergeser dapat terjadi dalam 6 cara:

6
o Shifted Sideways : menggeser ke samping
tetapi dekat
o Angulated : membentuk sudut tertentu
o Rotated : memutar
o Distracted : saling menjauh karena ada
interposisi
o Overriding : garis fraktur tumpang tindih
o Impacted : satu fragmen masuk ke fragmen
yang lain

Gambar II.3. Jenis fraktur overriding dan distraction.

2.4. Diagnosis Fraktur


2.4.1. Anamnesis
Biasanya penderita datang dengan suatu trauma
(traumatik, fraktur), baik yang hebat maupun trauma ringan
dan diikuti dengan ketidakmampuan untuk menggunakan
anggota gerak. Anamnesis harus dilakukan dengan
cermat, karena fraktur tidak selamanya terjadi di daerah
trauma dan mungkin fraktur terjadi pada daerah lain.
Penderita biasanya datang karena adanya nyeri,
pembengkakan, gangguan fungsi anggota gerak, krepitasi
atau datang dengan gejala-gejala lain.

2.4.2. Pemeriksaan fisik,

7
Pada pemeriksaan awal penderita, perlu diperhatikan
adanya:
1. Syok, anemia atau perdarahan.
2. Kerusakan pada organ-organ lain, misalnya otak,
sumsum tulang belakang atau organ-organ dalam
rongga thoraks, panggul dan abdomen.
3. Fraktur predisposisi, misalnya pada fraktur patologis.

2.4.3. Pemeriksaan lokal


1. Inspeksi (Look)
Apakah terdapat luka pada kulit dan jaringan
lunak untuk membedakan fraktur tertutup atau
fraktur terbuka, dasar luka, dan warna kulit
Bandingkan dengan bagian yang sehat

Perhatikan posisi anggota gerak


Perhatikan adanya deformitas berupa angulasi,
rotasi dan perpendekan
Lakukan survei pada seluruh tubuh apakah ada
trauma pada organ-organ lain

2. Palpasi
Palpasi dilakukan secara hati-hati oleh karena penderita
biasanya mengeluh sangat nyeri.
Temperatur kulit

Nyeri tekan: nyeri tekan yang bersifat superfisial


biasanya disebabkan oleh kerusakan jaringan
lunak yang dalam akibat fraktur pada tulang
Krepitasi: ditemukan secara tidak sengaja saat
gerak aktif maupun pasif
Pemeriksaan vaskuler pada daerah distal trauma
sesuai dengan anggota gerak yang terkena
Capillary Refill (pengisian) pada kuku, warna kulit
pada bagian distal daerah trauma

8
Pemeriksaan neurologis berupa pemeriksaan
saraf secara sensoris dan motoris serta gradasi
kelelahan neurologis, yaitu neuropraksia,
aksonotmesis atau neurotmesis.
Pengukuran tungkai terutama pada tungkai bawah
untuk mengetahui adanya perbedaan panjang
tungkai

3. Pergerakan (Movement)
Dengan cara mengajak penderita untuk menggerakkan
secara aktif dan pasif sendi proximal dan distal dari
daerah yang mengalami trauma. Pada penderita dengan
fraktur, setiap gerakan akan menyebabkan nyeri hebat
sehingga uji pergerakan tidak boleh dilakukan secara
kasar, disamping itu juga dapat menyebabkan kerusakan
pada jaringan lunak seperti pembuluh darah dan saraf.

4. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan radiologis diperlukan untuk menentukan
keadaan, lokasi serta extensi fraktur. Untuk
menghindarkan nyeri serta kerusakan jaringan lunak
selanjutnya, maka sebaliknya kita mempergunakan bidai
yang bersifat radiolusen untuk imobilisasi sementara
sebelum dilakukan pemeriksaan radiologis.
Tujuan pemeriksaan radiologis:
Untuk mempelajari gambaran normal tulang dan
sendi
Untuk konfirmasi adanya fraktur

Untuk melihat sejauh mana pergerakan dan


konfigurasi fragmen serta pergerakannya
Untuk menentukan teknik pengobatan

Untuk menentukan fraktur itu baru atau tidak

9
Untuk menentukan apakah fraktur intra-artikuler
atau ekstra-artikuler
Untuk melihat adanya keadaan patologis lain pada
tulang
Untuk melihat adanya benda asing, misalnya
peluru
Pemeriksaan radiologis dilakukan dengan beberapa prinsip
dua:
Two views: proyeksi AP/AnteroPosterior dan
Lateral, karena proyeksi yang salah akan dapat
memberikan informasi yang salah, maka
pemeriksaan radiologis harus benar-benar AP dan
lateral.
Two joints: terlihat dua sendi, pada bagian
proksimal dan distal fraktur.
Two limbs: dua anggota gerak sisi kanan dan kiri,
terutama pada fraktur epifisis.
Two injuries: biasanya pada multiple trauma yang
bisa melibatkan trauma di tempat lain dalam
tubuh.
Two times: Pada fraktur tertentu misalnya fraktur
tulang skafoid, foto pertama biasanya tidak jelas
sehingga biasanya diperlukan foto berikutnya 10-
14 hari kemudian.

10
2.5. Penatalaksanaan Fraktur
2.5.1. Penatalaksanaan secara Umum
Fraktur biasanya menyertai trauma. Untuk itu sangat
penting untuk melakukan pemeriksaan terhadap jalan
napas (airway), proses pernafasan (breathing) dan
sirkulasi (circulation), apakah terjadi syok atau tidak. Bila
sudah dinyatakan tidak ada masalah lagi, baru lakukan
anamnesis dan pemeriksaan fisik secara terperinci. Waktu
tejadinya kecelakaan penting ditanyakan untuk mengetahui
berapa lama sampai di RS, mengingat golden period4-6
jam. Bila lebih dari 6 jam, komplikasi infeksi semakin besar.
Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik secara cepat,
singkat dan lengkap. Kemudian lakukan foto radiologis.
Anamnesis menurut pedoman ATLS mengikuti akronim
AMPLE, yakni:25
A : Alergi
M : Medikasi yang dikonsumsi sebelum
kecelakaan
P : Past History / riwayat penyakit yang relevan
L : Last meal /makanan yang dikonsumsi
sebelum kecelakaan
E : Events related to the accident/ kejadian
terkait kecelakaan, termasuk keadaan alam,
kecepatan saat terjadinya kecelakaan, apa
yang sebenarnya terjadi?
Pemasangan bidai dilakukan untuk mengurangi rasa sakit
dan mencegah terjadinya kerusakan yang lebih berat pada
jaringan lunak selain memudahkan proses pembuatan foto.

2.6. Penatalaksanaan Kedaruratan


Segera setelah cedera, biasanya pasien berada dalam
keadaan bingung, tidak menyadari adanya fraktur dan berusaha
berjalan dengan tungkai yang patah. Maka bila dicurigai adanya
fraktur, penting untuk mengimobilisasi bagian tubuh segera
sebelum pasien dipindahkan.

11
Bila pasien yang mengalami cedera harus dipindahkan dari
kendaraan sebelum dapat dilakukan pembidaian, ekstremitas harus
disangga diatas dan dibawah tempat patah untuk mencegah
gerakan rotasi maupun angulasi. Gerakan fragmen patahan tulang
dapat menyebabkan nyeri, kerusakan jaringan lunak dan
perdarahan lebih lanjut.
Nyeri sehubungan dengan fraktur sangat berat dan dapat
dikurangi dengan menghindari gerakan fragmen tulang dan sendi
sekitar fraktur. Pembidaian yang baik sangat penting untuk
mencegah kerusakan jaringan lunak oleh fragmen tulang. Daerah
yang cedera diimobilisasi dengan memasang bidai sementara
dengan bantalan yang baik, yang kemudian dibebat dengan
kencang. Imobilisasi tulang panjang ekstremitas bawah dapat juga
dilakukan dengan membebat kedua tungkai bersama, dengan
ektremitas yang sehat bertindak sebagai bidai bagi ekstremitas
yang cedera. Pada cedera ektremitas atas, lengan dapat
dibebatkan ke dada, atau lengan bawah yang cedera digantung
pada sling. Peredaran di distal cedera harus dikaji untuk
menentukan kecukupan perfusi jaringan perifer.
Pada fraktur terbuka, luka ditutup dengan pembalut bersih
(steril) untuk mencegah kontaminasi ke jaringan yang lebih dalam.
Jangan sekali-kali melakukan reduksi fraktur, bahkan bila ada
fragmen tulang yang keluar melalui luka. Pasanglah bidai sesuai
yang diterangkan di atas.
Pada bagian gawat darurat, pasien dievaluasi dengan
lengkap. Pakaian dilepaskan dengan lembut, pertama pada bagian
tubuh sehat dan kemudian dari sisi cedera. Pakaian pasien
mungkin harus dipotong pada sisi cedera. Ektremitas sebisa
mungkin jangan sampai digerakkan untuk mencegah kerusakan
lebih lanjut.

12
BAB III

TERAPI OKSIGEN HIPERBARIK

3.1 PENDAHULUAN
Terapi hiperbarik oksigen (HBO) merupakan aplikasi dari pemberian tekanan absolut
Terapi HBO dilakukan dalam hyperbaric chamber, yang terdiri dari multiplace chamb

Gambar 3.1 Monoplace Chambers


Berikut ini keuntungan dan kerugian dari monoplace chambers:
KEUNTUNGAN KERUGIAN
Penanganan pasien individu privat & Sangat mudah terbakar dalam
pada kasus infeksi. lingkungan oksigen
Balk untuk perawatan intensif Hubungan langsung dengan
Masker muka tidak dibutuhkan, lebih pasien terbatas, kecuali pada
nyaman. chamber yang mempunyai
Ideal untuk membatasi perawatan ruangan tambahan disisinya
pasien dalam masa akut dari Terapi fisik tidak nyaman karena
penyakitnya atau luka-luka, keterbatasan tempat
kelumpuhan.
Mudah untuk mengobservasi pasien.
Dapat mudah dioperasikan dan
ditempatkan dimana saja di rumah
sakit
Membutuhkan sedikit tenaga
operator

Sedangkan keuntungan dari Multiplace chambers antara lain:

13
Memberikan terapi dalam jumlah banyak .

Bahaya kebakaran kurang.


Terapi fisik dapat dilaksanakan dalam chamber

Tekanan dapat dinaikan sampal 6 ATA untuk situasi khusus,


seperti dalam emboliudara dan penyakit dekompresi.
Prosedur bedah minor dapat dikerjakan di Multiplace
Hyperbaric Chamber,

Gambar 3.2Multiplace chambers70


3.2 Prinsip Dasar Terapi Oksigen Hiperbarik

Tekanan atmosfer diukur menggunakan beberapa satuan


unit yang setara, seperti 1 atm = 760 mmHg , atau Torr 760. Satu
atmosfer sama dengan tekanan yang diberikan dalam 10 meter air
laut. Dalam kedalaman 10 meter atau 33 kaki, seorang penyelam
terekspos 2 ATA (yakni 1 atmosfer dari atas permukaan laut dan 1
dari tekanan 10 meter air laut). Kebanyakan terapi hiperbarik
menggunakan tekanan 2.0 sampai dengan 3.0 ATA (1 atmosfer dari
atmosfer bumi ditambah 1 atau 2 atmosfer dari tekanan hyperbaric
chamber).

14
Prinsip fisika dibalik terapi HBO ialah hukum gas ideal.
Hukum Dalton mengemukakan bahwa tekanan total dari berbagai
macam campuran gas sama dengan total tekanan parsial dari
masing-masing gas.

Udara yang kita hirup berasal dari campuran gas, yang


terdiri dari 21% oksigen dan 78% nitrogen, dan 1 % ialah
campuran gas-gas lainnya. Oleh karena total tekanan udara
lingkungan ialah 760 mm Hg, maka tekanan parsial nitrogen
sama dengan 0.78 x 760 atau 593 mm Hg, dan PO 2 = 0.21 x 760
atau 160 mm Hg. Seiring tekanan total campuran gas meningkat,
tekanan parsial masing-masing gas juga ikut meningkat.

Hukum Henry menyatakan bahwa tekanan parsial gas yang


bercampur dalam cairan setara dengan tekanan yang dikeluarkan
oleh gas. Terapi HBO meningkatkan PO 2 lingkungan dan
mengakibatkan peningkatan yang signifikan dari jumlah oksigen
yang larut dalam darah. Pasien yang berada padahyperbaric
chamber yang diberi tekanan 2 ATA akan menghirup 21% oksigen
dua kali lebih banyak molekul oksigen dalam setiap napas. Hal ini
akan ekuivalen dengan menghirup 42% oksigen pada 1 ATA.

Kadar Oksigen dalam darah ialah total oksigen yang dibawa


oleh hemoglobin dan oksigen yang larut dalam plasma.
Hemoglobin akan tersaturasi dalam PO2 sekitar 100 mm Hg.
Dalam kondisi normobarik, oksigen yang larut hanya 0.3 mL
oxygen per 100 mL darah (vol%), dibandingkan dengan 20% vol
yang dibawa oleh hemoglobin.

Pada tekanan 3 ATA di hyperbaric chamber, PaO2 mendekati


2200 mmHg. Tekanan ini cukup tinggi untuk meningkatkan
oksigen yang larut hingga 5.4 vol%. Sehingga dengan kata lain,
terapi HBO dapat menyediakan oksigen yang cukup untuk
mempertahankan fungsi metabolik basal tanpa adanya
hemoglobin.

Hukum Boyle menyatakan bahwa, gas-gas yang disimpan


dalam temperatur yang konstan, volumenya berbanding terbalik
terhadap tekanan yang diberikan padanya. Dengan kata lain,
seiring peningkatan tekanan, maka volume gas akan menurun,
dan sebaliknya. Prinsip inilah yang digunakan dalam terapi
Decompression sickness dan emboli gas-udara.

15
Kondisi Normobarik
Jumlah oksigen = oksigen yang dibawa oleh hemoglobin + oksigen yang larut
dalam plasma
Jumlah oksigen arterial = 1.34 (hemoglobin)(%saturasi) + 0.003 (PaO 2)

= 1.34 (15)(100%) + 0.003 (100)


= 20.1 + 0.3 = 20.4 vol%
Jumlah oksigen vena = 1.34 (15)(70%)
= 14 vol%

Kondisi Hiperbarik3 atmosfir absolut


Jumlah oksigen arterial = 1.34 (15)(100%) + 0.003 (2200)
= 20.1 + 6.6 vol%
= 26.7 %
Tabel 3.1 Konten oksigen arterial pada kondisi normobarik VS kondisi hiperbarik 46

16
3.3EFEK FISIOLOGIS DARI TERAPI HIPERBARIK OKSIGEN
Terdapat 2 efek mendasar yang terjadi pada jaringan yang
diterapi HBO, yakni efek yang berhubungan dangan peningkatan PO 2
serta efek yang terkait dengan daya mekanik tekanan itu sendiri.
1. Efek dari peningkatan tekanan oksigen:
a. Hiperoksigenasi
Kondisi hiperbarik memungkinkan oksigen dalam
jumlah yang signifikan larut dalam darah. Plasma
yang ter-hiperoksigenasi akan mentranspor oksigen
pada area yang kekurangan akses dari sel darah
merah atau jaringan yang hipoksik.Oksigen terlarut
dalam plasma dapat dikirim ke jaringan pada jarak
sedikitnya tiga sampai empat kali yang dapat
dihantarkan oleh hemoglobin. Selain itu, sel darah
merah menjadi lebih lentur dan dapat masuk ke
sirkulasi mikrovaskuler secara lebih efisien. Sehingga
dapat lebih memungkinkan peningkatan pengantaran
oksigen.

b. Vasokonstriksi
Pada keadaan hiperbarik, terjadi vasokonstriksi,
yang membatasi aliran oksigen dan transportasi
oksigen. Hal ini terjadi hanya pada jaringan yang
normoksik dan bukan pada jaringan yang
sebelumnya hipoksik.

c. Peningkatan kecepatan proses penyembuhan


pada luka yang hipoksik
Terapi HBO memfasilitasi proses pembunuhan
bakteri, resistansi terhadap infeksi, sintesis kolagen,
dan proses epitelialisasi. Namun pada jaringan yang
cukup vaskularisasinya dan normoksik, terapi HBO
memiliki efek yang minimal terhadap penutupan
lukanya.sebaliknya pada jaringan yang iskemik dan
vaskularisasi yang buruk, terapi HBO secara
signifikan mempercepat penutupan luka.

17
d. Efek sinergis terhadap penggunaan
antimikrobial
Lingkungan yang hiperoksik pada terapi HBO
memfasilitasi perubahan fisiologis dan biokimiawi
yang berkontribusi terhadap pemberian antimikrobial
standar.

18
AKSI KETERANGAN

Menurunkan
produksi toksin
clostridial alpha pada
kasus gas gangren

Meningkatkan Granulosit bersifat oxygen-independent


efisiensi kerja dari dan oxygen-dependent.. Leukosit kehilangan
leukosit dan efektifitasnya dalam mengeradikasi kuman gram-
mensupresi bakteri positif dan gram-negatif manakala tekanan oksigen
turun di bawah 30 - 40 mm Hg. Turunnya
efektifitas granulosit di bawah kondisi hipoksik ini
mengakibatkan mekanisme pertahanan tubuh
menurun karena hanya leukosit yang
bersifat oxygen-independent saja yang tersisa
untuk mengeradikasi bakteri pathogen. Pada
lingkungan yang kaya akan oksigen, proses
fagositosis bakteri pathogen menghasilkan sebuah
ledakan oksidatif atau "oxidative burst" yang
terdiri dari radikal oksigen (hydroxyl radical,
peroxides, and superoxide). Produksi radikal O2 ini
berbanding lurus terhadap jumlah O2.

Peningkatan efektifitas dari beberapa antibiotik, termasuk


efektifitas antibiotik aminoglikosida dan antimetabolit trimethoprim,
sulfamethoxazole, dan sulfasoxazole, meningkat
pada lingkungan yang hipoksik. Namun antibiotik
golongan lain seperti
vancomycin danfluorokuinolon menjadi lebih lemah
pada kondisi hipoksik.
Saat tekanan oksigen turun di bawah 30 mm Hg,
bakteri dengan cepat membunuh jaringan.
Berbagai penelitian mendukung adanya efektifitas
dan sinergisme antara hiperoksigenasi dengan
pemberian antibiotik

Stimulasi produksi Bakteri anaerob memiliki tahanan yang lemah


granulosit dari terhadap radikal oksigen bebas.

19
AKSI KETERANGAN

antimikrobial
endogen yang
dihasilkan tubuh
(cth:radikal oksigen
bebas)
Tabel 3.1 Perubahan fisiologis dan kimiawis dalam penggunaan
terapi HBO dengan pemberian antimikroba(aksi sinergistik). 46

e. Supresi Radikal Oksigen yang Toksik

Terapi HBO melindungi jaringan terhadap efek yang


membahayakan dari radikal oksigen yang toksik. Efek
yang menguntungkan ini dikatakan dapat terjadi
dalam beberapa mekanisme.

Pertama, terapi HBO bersifat antagonis


terhadap lipid peroksidase dari membran sel
dengan cara mencegah konversi dari
endothelial xanthine dehydrogenase menjadi
xanthine oxidase,tahap yang paling penting
dalam produksi lipid peroksidase.

Kedua, terapi HBO menghambat inisiasi dari


reperfusion injurykarena mencegah
sekuestrasi neutrofil ke jaringan yang cedera.
Reperfusion injury mengacu pada kerusakan
jaringan oleh karena ketika suplai darah
kembali ke jaringan setelah masa
iskemia,pemulihan aliran darah sebenarnya
mengarah ke kerusakan vaskular progresif
dan memperluas area dengan aliran darah
yang buruk.

Ketiga, terapi HBO memungkinkan oksigen


yang cukup untuk reperfusi jaringan

20
2. Efek Mekanis dari Tekanan Oksigen yang Meningkat
Terapi hiperbarik menurunkan ukuran gelembungudara
sesuai peningkatan tekanan atmosfer dari chamber (Hukum
Boyle). Pada peningkatan tekanan, oksigen akan berdifusi
ke dalam gelembung dan menggantikan nitrogen ke dalam
larutan. Hal ini memungkinkan resolusi dari gelembung
nitrogen yang terbentuk pada Decompression Sickness dan
gelembung udara pada emboli gas vena atau arteri. Pada
kasus gas gangrene, terapi HBO menurunkan ukuran
gelembung sehingga memungkinkan perfusi yang lebih baik
dan mengurangi rasa nyeri.

21
3.4 TEKNIK OKSIGENASI HIPERBARIK
Berikut ini tabel klasifikasi penggunaan tekanan sesuai
kegunaannya:
Sampai 1,5 ATA Gangguan iskemi serebral, kardiak,
gangguan vaskular perifer, terapi
adjuvant dalam kedokteran
olahraga, trauma akustik, skin flaps.
2 3 ATA Gas gangrene, luka bakar, fraktur
terbuka,crush injurypenanganan
darurat pada penyakit dekompresi
Sampai 6 ATA Emboli udara, penyakit dekompresi

Teknisi hiperbarik mengikuti instruksi-instruksi dari dokter


hiperbarik mengenai tekanan, waktu, dan frekwensi terapi.
Kebanyakan pengobatan dipusat hiperbarik diberi tekanan antara
1,5 sampai 2,5 ATA dan waktunya biasanya 45 menit. Sebagai
contoh pada tekanan 1,5 ATA diperlukan 10 menit untuk kompresi
dan 5 menit dekompresi. Jadi maksimum oksigen saturasi (jenuh)
dipertahankan selama 30 menit. Jika ada infeksi waktu terapi dilipat
dua kali. Untuk kondisi kronis, terapi dilakukan setiap hari,
termasuk Sabtu/Minggu.
Pada chamber multiple pasien dikelompokan sesuai indikasinya.
Misalnya, semua pasien stroke dikelompokan pada sesi yang sama
dan disertai fisioterapis atau dokter jika dilakukan penelitian. Teknisi
membuat catatan lengkap mengenai sesi tersebut, datanya dicatat
dan dapat ditampilkan oleh komputer.
Kompresi dan dekompresi berlangsung mulus dan jika pasien
mengeluh misalnya sakit kuping, prosedurnya dapat dihentikan.
Jika ada masalah, pasien tersebut dapat dipindahkan ke ruang lain
dilanjutkan bagi pasien-pasien lain.
Pada chamber Monoplace, dipakai masker oksigen dan menghirup
oksigen dimulai bila chamber sudah diberi tekanan tertentu.
Tekanan partial oksigen tidak dicatat secara rutin, hanya jika
diperlukan bagi riset. Umumnya nilai Pa0 2 adalah sekitar
1000mmHg pada 1,5 ATA.
PERALATAN TAMBAHAN UNTUK HYPERBARIC CHAMBER
1. Masker oksigen.
2. Respirator dan ventilator

22
3. Peralatan untuk terapi.
a. Alat resusitasi kardiopulmonal
b. Tabung Endotrakeal
c. Alat penyedot ( penghisap)
d. Infus intra venus.
4. Peralatan untuk diagnostik
a. Baki untuk pemeriksaan medis.
b. Alat monitor transkutan oksigen
c. EEG
d. ECG
e. Alat monitor tekanan intra kranial dan tekanan intra kranial
dan tegangan oksigen CSF.
5. Alat neurologis
a. Optalmoskop
b. Dynamometer untuk mengukur spastisitas.
6. Alat latihan : Treadmill.
7. Alat terapi seperti traksi cervical untuk cedera servikal
MASKER OKSIGEN
Masker oksigen hanya diperlukan dalam multiplace chamber.
Masker Angkatan Udara USA (Gambar 3.3) bila dipakai secara
tepat, memberikan kadar oksigen sebesar 96,9% - 99% dan Pa0 2
sebesar 1640 mmHg tercapai pada 2,4 ATA

23
Gambar 3.3 Masker Angkatan Udara USA

ALAT DIAGNOSTIK
Alat dasar medikal diagnostik seperti Reflek Hammers, stetoskop,
opthalmoskop, harus ada dalam chamber.

PENGAWASAN PASIEN DALAM HYPERBARIC CHAMBER


Pasien dan pengawas didalam hyperbaric chamber dapat dimonitor
dengan mengikuti cara (Deauphince et al. 1985):
Penglihatan CCTV didalam Multiplace Chamber.

Komunikasi Untuk Monoplace dan Multiplace Chamber


menggunakan sistem komunikasi satu arah.
Tingkat pengawasan atas keparahan dan tipe penyakit.
Dengan pasien gawat, pengawasan ICU dapat berlangsung
dalam chamber.

3.5 KONTRAINDIKASI TERAPI HBO

24
HBO hanya mempunyai satu kontraindikasi absolut yaitu
Pneumothorax yang tidakd i o b a t i . D i u sa h a k a n
pengobatan p n e u m o th o ra x dengan o p e ra si
s e b e l u m pemberian terapi HBO.
Daftar di bawah ini merupakan kontraindikasi relatif yang
harus dipertimbangkan manfaat dan kerugiannya
terhadapkondisi pasien:
Infeksi respirasi Atas.
Kejang-kejang.

Empisema dengan retensi CO2.


Pasien dengan keadaan ini dapat
mengembangkan pneumothoraks oleh ka r e n a
r u p t u r n ya bula e m p i se m a se l a m a H B O.
D Il a ku k a n n ya f o t o r o n t g e n thoraks sebelum terapi
dapat menghindarkan kejadian tersebut.
Lesi pulmo simptomatik pada foto rontgen thorax.
Riwayat bedah thoraks atau bedah telinga.

Demam tinggi yang tidak terkontrol.


Demam merupakan predisposisi dari kejang. Jika
terapiOHB merupakan indikasi pada infeksi dengan
demam, suhu tubuhharus diturunkan dulu sebelum
terapi dilaksanakan.
Penyakit keganasan.
Ada beberapa kontroversi berkenaan dengan efek dari HBO,
pada pertumbuhan tumor. Eltorai et al (1987) melaporkan 3
kasus karsinoma yang tersembunyi, timbul secara klinis
setelah dimulainya HBO dan dianggap memicu proliferasi
dari tumor pada 3 kasus tersebut. Hingga kini
mekanismenya masih belum jelas, namun HBO umumnya
dipertimbangkan sebagai kontraindikasi pada keganasan,
meskipun dalam beberapa literatur, terapi HBO justru
menjadi terapi adjuvant dalam radioterapi atau kemoterapi.

Kehamilan
Ada bukti eksperimental, bahwa hewan yang terekspos
HBO selama kehamilan muda meningkatkan insiden

25
malformasi kongenital. Terapi HBO pada kehamilan
tuatidak menimbulkan efek merugikan. Pertanyaan
mengenai keselamatan terapi hiperbarik pada kehamilan di
diskusikan oleh Jennings (1987). Jika keselamatan ibunya
yang diperlukan, contohnya keracunan CO,ibunya
harus menerima prioritas terapi OHB dibandingkan fetusnya.
Banyak terapi-terapi HBO berhasil dilaksanakan dengan
baik selama kehamilan diAmerika tanpa membahayakan
fetus .

3.6 KOMPLIKASI TERAPI HIPERBARIK OKSIGEN


Meskipun komplikasi dari terapi hiperbarik oksigen sangat jarang
ditemui, namun harus diketahui dan dipertimbangkan. Komplikasi
yang dapat terjadi antara lain:
Toksisitas Oksigen pada Paru-paru
Oksigen tambahan dengan fraksi oksigen inspirasi>
50% yang diberikan pada pasien dalam jangka waktu
yang lama dapat menghasilkan cedera paru yang
progresif, termasuk penurunan kecepatan absorpsi
mukus, penurunan lung compliance, kapasitas vital,
dan kapasitas difusi. Akan tetapi kadar oksigen tinggi
yang diberikan untuk jangka waktu yang pendek (90
sampai 120 menit) dalam kondisi hiperbarik (pada
2,0-2,4 ATA) dan bahkan setiap hari sampai 6 minggu,
belum terbukti berbahaya bagi paru-paru.
Toksisitas oksigen pada sistem saraf pusat dan
sistem saraf perifer
Keracunan sistem saraf pusat dapat terjadi ketika
pasien menghirup oksigen 100% pada tekanan> 2.0
ATA. Kejadian kejang tonik-klonik selama pengobatan
HBO diperkirakan sebesar 0,3% pada 2,4 ATA dan
sampai dengan 2,5% pada 3,0 ATA. Faktor yang
terkait dengan kejadian kejang selama terapi HBO
termasuk hipertermia [> 37,8 C (100 F)],
hipertiroidisme, PaCO2 tinggi, asidosis, trauma otak
atau iskemia, riwayat kejang yang ada sebelumnya,
hipoglikemia, kekurangan vitamin E, dan obat-obatan
tertentu (vasodilator, insulin, inhibitor karbonat

26
anhydrase, mafenide asetat (Sulfamylon), epinefrin /
norepinefrin, steroid, dan aspirin). Beberapa pusat
pelayanan terapi HBO menggunakan profilaksis
benzodiazepin untuk mencegah kejang pada pasien
berisiko tinggi. Tidak ada efek sisa dari kejang akibat
keracunan oksigen yang telah dilaporkan.
Keracunan sistem saraf perifer bermanifestasi
sebagai parestesia yang muncul setelah sesi
perawatan dalam jangka panjang.
Masalah penglihatan
Myopia progresif dan reversibel dapat terjadi setelah
terapi yang panjang. Akan tetapi kondisi ini akan pulih
seperti semula dalam kurang lebih 6 minggu. Katarak
idiosinkrasi juga dapat terjadi namun merupakan
komplikasi dari pemakaian yang kronis.
Barotrauma
Barotrauma dapat terjadi pada telinga tengah, telinga
bagian luar, telinga bagian dalam, sinus, gigi, saluran
gastrointestinal dan sistem paru. Barotrauma pada
telinga tengah terjadi pada 2% dari pasien yang
menerima HBO. Gambaran klinis termasuk edema,
perdarahan, kongesti mukosa, bulging atau
penonjolan dari membran timpani, dan yang jarang
terjadi, ialah pecahnya membran timpani. Masalah
biasanya menghilang secara spontan dalam 1-2
minggu. Pencegahan dan atau pengobatan bagi
barotraumas di telinga tengah meliputi penentuan
patensi tuba estachius sebelum terapi, pengajaran
teknik autoinflasi yang benar, myringotomy dengan
jarum, serta penggunaan pressure equalization tubes.
Klaustrofobia
Oleh karena kecilnya ukuran monoplace chamber,
pasien seringkali mengalami ansietas. Akan tetapi
efek ini biasanya dapat membaik dengan pemberian
anxiolitik.

27
BAB IV
TERAPI HIPERBARIK OKSIGEN PADA FRAKTUR

Saat ini terapi HBO digunakan sebagai Adjuvant Therapy pada kasus
fraktur tulang setelah seluruh terapi definitive dikerjakan dengan baik.
Pada fraktur akan menyebabkan hipoksia lokal yang diikuti dengan
iskemia jaringan, lesi vaskuler, nekrosis ujung fragmen tulang yang patah
dan gangguan proses metabolic seluler dengan akibat akan terjadi
gangguan perfusi serta oksigenasi jaringan lunak dan tulang.
Terapi oksigen hiperbarik mempunyai efek langsung pada fraktur tulang,
yaitu :
- Meningkatkan kandungan oksigen pada tingkat jaringan
- Meningkatkan distribusi oksigen per unit aliran darah
- Reduksi edema
Efek jangka panjangnya adalah :
- Meningkatkan penyembuhan luka setelah fasciotomy
- Mengurangi angka infeksi
- Meningkatkan hasil skin graft
Penanganan dari bentuk paling parah dari kondisi ini
hampir selalu memerlukan pembedahan. Oksigen hiperbarik
merupakan intervensi efektif yang melawan peristiwa
patofisiologi yang terjadi dengan kondisi ini. Studi menunjukkan
penurunan secara statistik dan signifikan pada hilangnya fungsi
otot, metabolit terkait dengan cedera otot, edema, dan nekrosis
otot ketika HBO digunakan dalam crush injury dan
kompartemen sindrom.
Terapi oksigen hiperbarik pada kasus fraktur harus dimulai sedini
mungkin, idealnya dalam waktu 4-6 jam setelah cedera. Setelah intervensi
pembedahan darurat, pasien diberikan terapi oksigen hiperbarik dengan
tekanan 2 2,4 atm selama 60 90 menit. Untuk 2 3 hari berikutnya,
terapi oksigen hiperbarik dilakukan sehari setiap harinya kemudian dua
kali sehari setiap harinya selama 2 -3 hari, lalu setiap hari selama 2 3
hari berikutnya.
Ancaman langsung ke jaringan yang hidup setelah fraktur
terbuka dengan crush injury maupun sindrom kompartemen
adalah apakah perfusi sudah cukup atau tidak untuk

28
mempertahankan kelangsungan hidup jaringan tersebut. Edema
vasogenik pasca-trauma berkembang sebagai akibat dari
cedera dan diperbesar oleh edema sitogenik, dimana sel yang
hipoksia tersebut kehilangan kemampuan untuk
mempertahankan cairan intraseluler. Rintangan untuk proses
difusi oksigen meningkat oleh karena adanya edema dan
runtuhnya mikrosirkulasi sekunder karena tekanan dari cairan
edema (seperti terjadi pada sindrom kompartemen), sehingga
akan semakin mengurangi ketersediaan oksigen ke jaringan
yang cedera. Ketika tekanan oksigen jaringan turun di bawah
30 mmHg, respon host terhadap infeksi dan iskemia akan
menumpul. Dalam lingkungan hipoksia, neutrofil yang oxygen-
dependent menjadi rusak atau tidak ada, dan proses perbaikan
host seperti migrasi fibroblas, proliferasi, dan sekresi kolagen
berkurang. Oleh karena itu, neovaskularisasi terganggu karena
kurangnya kolagen matriks yang diperlukan sebagai substrat
untuk angiogenesis kapiler.
Alasan utama untuk menggunakan terapi HBO pada fraktur
terbuka dan luka-luka crush injury dan sindrom kompartemen
ialah pertama, pasokan oksigen ke jaringan lain yang mungkin
mati dari hipoksia selama periode awal pasca-cedera
kemungkinan besar tidak memadai sebagai akibat langsung
dari cedera. Kedua, terapi HBO meningkatkan tekanan oksigen
jaringan ke tingkat yang memungkinkan respon host yang
disebutkan di atas berfungsi. Dengan terapi HBO sebesar
tekanan 2 atmosfer absolut, kandungan oksigen darah (yaitu
kombinasi hemoglobin dan plasma yang mengandung oksigen)
meningkat sebesar 125%. Tekanan oksigen dalam plasma,
serta cairan jaringan, meningkat 10 kali lipat (yaitu 1000%).
Efeknya adalah peningkatan 3 kali lipat dalam difusi oksigen
melalui cairan jaringan. Hal ini membantu untuk
mengkompensasi efek edema yang merugikan pada penurunan
ketersediaan oksigen ke sel. Oksigen yang cukup akan terlarut
dalam plasma untuk menjaga jaringan hidup tanpa bantuan
hemoglobin.
Pengurangan edema adalah efek sekunder dari
hyperoksigenasi jaringan. Oksigen hiperbarik menginduksi
vasokonstriksi yang mengurangi aliran darah sebesar 20% (12).
Pengurangan edema terjadi karena penurunan filtrasi cairan
dari kapiler ke ruang ekstraseluler sebagai konsekuensi dari
vasokonstriksi sementara resorpsi cairan ekstraselular pada

29
tingkat kapiler dipertahankan. Hiperoksigenasi
mempertahankan pengiriman oksigen pada vasokonstriksi yang
diinduksi oleh terapi HBO tersebut. Selain itu, aliran darah di
mikrosirkulasi ditingkatkan melalui penurunan tekanan cairan
interstisial dari pengurangan edema.
Oksigen hiperbarik melawan interaksi antara oksigen
radikal beracun dan mencegah peroksidasi lipid dari membran
sel. Oksigen hiperbarik secara khusus melawan sistem beta2
integrin (cluster-designation-11) yang menginisiasi respon
perlengketan neutrofil pada endotelium kapiler venul.
Dengan mengurangi anion superoksida yang dihasilkan,
reaksinya dengan molekul nitrit oksida untuk membentuk radikal
peroksinitrit yang reaktif juga dikurangi. Mekanisme lain dari terapi
HBO terhadap cedera reperfusi ialah adanya oksigen tambahan untuk
mereperfusi jaringan sehingga menghasilkan scavengers.
Scavengers yang dimaksud ialah superoxide dismutase, catalase,
peroxidase dan glutathione yang akan mendetoksifikasi radikal
oksigen yang destruktifsebelum mereka menghancurkan jaringan.
Pada tahun 1980-an pengaruh terapi HBO pada sindrom
kompartemen otot-rangka dilaporkan dalam serangkaian artikel
dengan menggunakan model anjing. Terapi HBO secara
signifikan mengurangi jumlah otot rangka yang nekrosis
dibandingkan dengan kontrol. Bowersox et al menunjukkan
tingkat penyembuhan 90% ketika terapi HBO digunakan untuk
mengelola kulit yang dilakukan flap dan atau cangkok yang
sebelumnya gagal. Pada tahun 1987 Shupak dilaporkan
menyelamatkan anggota tubuh dari 75% dari pasien yang
berisiko amputasi setelah trauma dengan cedera iskemik yang
bersamaan.
Penyembuhan fraktur pada pasien lebih dari 40 tahun
secara signifikan diperbaiki dengan terapi HBO (p value <0,05).
Para peneliti juga mempelajari pengukuran oksigen transkutan
dan menemukan oksigen transkutan lebih ditingkatkan dalam
kelompok yang diperlakukan terapi HBO dibandingkan dengan
kelompok kontrol. Selain itu, pasien yang telah sembuh dari
patah tulang memiliki hasil pembacaan oksigen transkutan
lebih tinggi secara signifikan dibandingkan mereka yang
bahkan tidak mengalami patah tulang.
Melalui data yang diperoleh dari Hyperbaric Oxygen Therapy
Facilitates Surgery in Complex Open Elbow Injuries dalam Journal of

30
Shoulder and Elbow Surgery (2007), ditemukan bahwa menambahkan
terapi HBO untuk fiksasi internal dan flap jaringan lunak setelah
debridemen radikal kompleks cedera siku terbuka dapat menjadi alternatif
pengobatan yang sangat baik.
Dari jurnal ini diperoleh 12 kasus patah tulang terbuka pada siku,
sembilan kasus ialah patah tulang terbuka jenis IIIA, enam adalah jenis
IIIB, satu tipe IIIC. Delapan pasien mengalami cedera nervus perifer,
termasuk delapan cedera nervus radial, dua cedera nervus median, dan
dua cedera nervus ulnar. Satu pasien juga memiliki laserasi dari arteri
brakialis. Semua operasi untuk pengobatan fraktur dimulai dalam waktu
30 menit sampai 2 jam tiba di unit gawat darurat. Protokol pengobatan
bedah terdiri dari irigasi, fasiotomi, dan debridemen luas, diikuti oleh
fiksasi internal dengan atau tanpa dukungan eksternal.Semua pasien
menjalani 2 sesi terapi HBO (2,5 bar, oksigen 100%, 120 menit) dalam 48
jam setelah operasi. Fraktur terbuka kompleks pada siku biasanya
berhubungan dengan cedera jaringan lunak yang berat, yang diperberat
dengan nekrosis jaringan, edema jaringan progresif, hipoksia, kontaminasi
bakteri yang tidak terelakkan. Karena terapi HBO yang bersifat adjuvan
dapat meningkatkan konsentrasi oksigen secara signifikan di semua
jaringan tubuh oleh karena hiperoksigenasi, penurunan edema pada
jaringan melalui vasokonstriksi, dan penurunan insidens infeksi oleh
karena adanya peningkatan fagositosis sel darah putih dan sinergisme
antibiotik seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya pada subbab ini.
Terapi HBO sebagai adjuvan ini dilakukan pada kasus dengan fiksasi
internal dan terbukti dapat memperbaiki hasil klinis pasien.
Hasilnya, 12 pasien (75% kasus) mencapai hasil memuaskan
yakni secara fungsional baik, 3 (18,75%) mencapai hasil fungsional yang
cukup, dan 1 (6,25%) hasil fungsional yang buruk. Lima puluh pasien tidak
mengalami nyeri siku, sedangkan sisanya hanya sakit ringan.Empat
pasien tidak memiliki pembatasan kegiatan sehari-hari, 11 pasien
keterbatasan ringan sampai sedang. Tidak ada infeksi dalam yang terjadi
pada semua kasus. Infeksi superfisial terjadi pada 3 pasien,namun
bersifat ringan dan berhasil diterapi dengan local dressing dan antibiotik.
Osteomyelitis kronis tidak terjadi.
Coulson et al di tahun 1966 sudah menuliskan pula manfaat dari
terapi HBO pada komplikasi fraktur berupa delayed union maupun non
union. Pada studi yang dilakukan pada binatang juga didapatkan bahwa
terapi HBO dapat mempercepat pertumbuhan tulang dan mempercepat
removal sel-sel mati atau sel-sel yang abnormal. Kerwin et al (2000) pada
uji eksperimental pada kucing yang sengaja dibuat non union
membuktikan adanya peningkatan pembentukan tulang secara radiologis

31
maupun histologis pada penggunaan terapi HBO, namun vaskularisasi
tidak ditingkatkan.

32
BAB V
KASUS

Identitas
Nama : Tn. A
Usia : 39 tahun
Agama : Islam
Alamat : Surabaya
Tanggal Pemeriksaan : 28 Januari 2015

Keluhan Utama
Patah tulang kering kaki kiri

Riwayat Penyakit Sekarang


Patah tulang kering kaki kiri karena kecelakaan pada hari Kamis
tanggal 22 Januari 2015. Kecelaan tunggal, berkendara dengan sepeda
motor dan terjatuh ke kiri. Setelah kecelakaan tersebut tidak bisa berjalan
dengan baik dan terasa sakit sekali. Saat itu Penderita tidak mengetahui
jika patah tulang karena yang tampak hanya bengkak saja di kaki kiri nya.
Langsung dibawa ke UGD Rsal dr. Ramelan Surabaya dan kemudian di
rontgen kaki kiri didapatkan patah tulang tertutup pada tibia kiri. Saat ini
penderita telah melakukan terapi HBO selama 7 kali. Penderita berkata
bahwa bengkak tersebut berangsur-angsur mengecil setelah 4 kali terapi
HBO.

Riwayat Penyakit Dahulu


Diabetes mellitus disangkal
Hipertensi disangkal
Asma disangkal
Hiperkolesterol disangkal
Trauma disangkal

Status Pasien
Obyektif
Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran : Compos Mentis

33
GCS : 4-5-6
TB : 167 cm ; BB : 70 kg ;
PEMERIKSAAN FISIK :
Kepala : A/I/C/D = -/-/-/- dbn
Leher : Deviasi trakea (-) , pembesaran KGB (-), bendungan vena
(-)
Thoraks :
Jantung :
Inspeksi Normochest, Ictus cordis tak tampak
Palpasi Ictus cordis tak teraba
Perkusi Batas Jantung jelas, tidak ada pelebaran
Auskultasi S1S2 Tunggal, murmur (-), gallop (-)
Paru :
Inspeksi Gerak nafas normal
Palpasi Fremitus Raba Normal
Perkusi Sonor/sonor
Auskultasi Wheezing (-/-), Rhonki (-/-)

Abdomen
Inspeksi Cembung, Simetris
Palpasi Hepar dan Lien tak teraba
Perkusi Tymphani
Auskultasi Bising Usus Normal
Ekstremitas
Oedema --Akral Hangat + +
- + + +
Terdapat luka dan bengkak yang dibungkus gips dan ditutup
dengan perban di cruris sinistra.

34
ASSESSMENT
Diagnosa = Fraktur tertutup os. Tibia sinistra

PLANNING
Immobilisasi menggunakan traksi terus menerus, pembebatan
dengan gips, pemakaian penahan fungsional, fiksasi internal
maupun fiksasi eksternal
Anti-nyeri dan Kortikosteroid
Terapi OHB

35
I. PENGKAJIAN
Pengkajian adalah langkah awal dan dasar dalam proses keperawatan
secara menyeluruh (Boedihartono, 1994 : 10).
Pengkajian pasien Post op frakture Olecranon (Doenges, 1999) meliputi
:
a. Sirkulasi
Gejala : riwayat masalah jantung, GJK, edema pulmonal, penyakit
vascular perifer, atau stasis vascular (peningkatan risiko
pembentukan trombus).
b. Integritas ego
Gejala : perasaan cemas, takut, marah, apatis ; factor-faktor stress
multiple, misalnya financial, hubungan, gaya hidup.
Tanda : tidak dapat istirahat, peningkatan ketegangan/peka rangsang
; stimulasi simpatis.
c. Makanan / cairan
Gejala : insufisiensi pancreas/DM, (predisposisi untuk
hipoglikemia/ketoasidosis) ; malnutrisi (termasuk obesitas) ;
membrane mukosa
yang kering (pembatasan pemasukkan / periode puasa pra operasi).
d. Pernapasan
Gejala : infeksi, kondisi yang kronis/batuk, merokok.
e. Keamanan
Gejala : alergi/sensitive terhadap obat, makanan, plester, dan larutan
; Defisiensi immune (peningkaan risiko infeksi sitemik dan
penundaan penyembuhan) ; Munculnya kanker / terapi kanker
terbaru ; Riwayat keluarga tentang hipertermia malignant/reaksi
anestesi ; Riwayat penyakit hepatic (efek dari detoksifikasi obat-
obatan dan dapat mengubah koagulasi) ; Riwayat transfuse darah /
reaksi transfuse.
Tanda : menculnya proses infeksi yang melelahkan ; demam.
f. Penyuluhan / Pembelajaran
Gejala : pengguanaan antikoagulasi, steroid, antibiotic,
antihipertensi, kardiotonik glokosid, antidisritmia, bronchodilator,
diuretic, dekongestan, analgesic, antiinflamasi, antikonvulsan atau
tranquilizer dan juga obat yang dijual bebas, atau obat-obatan
rekreasional. Penggunaan alcohol (risiko akan kerusakan ginjal,
yang mempengaruhi koagulasi dan pilihan anastesia, dan juga
potensial bagi penarikan diri pasca operasi).

II. DIAGNOSA KEPERAWATAN


Diagnosa keperawatan adalah suatu penyatuan dari masalah pasien
yang nyata maupun potensial berdasarkan data yang telah

36
dikumpulkan (Boedihartono, 1994 : 17). Diagnosa keperawatan yang
muncul pada pasien dengan post op fraktur (Wilkinson, 2006) meliputi :
1. Nyeri berhubungan dengan terputusnya jaringan tulang, gerakan
fragmen tulang, edema dan cedera pada jaringan, alat
traksi/immobilisasi, stress, ansietas
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan dispnea,
kelemahan/keletihan, ketidak edekuatan oksigenasi, ansietas, dan
gangguan pola tidur.
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tekanan, perubahan
status metabolik, kerusakan sirkulasi dan penurunan sensasi
dibuktikan oleh terdapat luka / ulserasi, kelemahan, penurunan berat
badan, turgor kulit buruk, terdapat jaringan nekrotik.
4. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri/ketidak
nyamanan, kerusakan muskuloskletal, terapi pembatasan aktivitas,
dan penurunan kekuatan/tahanan.
5. Risiko infeksi berhubungan dengan stasis cairan tubuh, respons
inflamasi tertekan, prosedur invasif dan jalur penusukkan,
luka/kerusakan kulit, insisi pembedahan.
6. Kurang pengetahuan tantang kondisi, prognosis dan kebutuhan
pengobatan berhubungan dengan keterbatasan kognitif, kurang
terpajan/mengingat, salah interpretasi informasi.

III. INTERVENSI DAN IMPLEMENTASI

Intervensi adalah penyusunan rencana tindakan keperawatan yang


akan dilaksanakan untuk menanggulangi masalah sesuai dengan
diagnosa keperawatan (Boedihartono, 1994:20)

Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana


keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan (Effendi,
1995:40).
Intervensi dan implementasi keperawatan yang muncul pada pasien
dengan post op frakture Olecranon (Wilkinson, 2006) meliputi :
1. Nyeri adalah pengalaman sensori serta emosi yang tidak
menyenangkan dan meningkat akibat adanya kerusakan jaringan
aktual atau potensial, digambarkan dalam istilah seperti kerusakan ;
awitan yang tiba-tiba atau perlahan dari intensitas ringan samapai
berat dengan akhir yang dapat di antisipasi atau dapat diramalkan
dan durasinya kurang dari enam bulan.
Tujuan : nyeri dapat berkurang atau hilang.
Kriteria Hasil :
- Nyeri berkurang atau hilang
- Klien tampak tenang.
- Intervensi dan Implementasi :

37
a. Lakukan pendekatan pada klien dan keluarga
R/ hubungan yang baik membuat klien dan keluarga
kooperatif
b. Kaji tingkat intensitas dan frekwensi nyeri
R/ tingkat intensitas nyeri dan frekwensi menunjukkan skala
nyeri
c. Jelaskan pada klien penyebab dari nyeri
R/ memberikan penjelasan akan menambah pengetahuan
klien tentang nyeri.
d. Observasi tanda-tanda vital.
R/ untuk mengetahui perkembangan klien
e. Melakukan kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian
analgesik
R/ merupakan tindakan dependent perawat, dimana analgesik
berfungsi untuk memblok stimulasi nyeri.

38
2. Intoleransi aktivitas adalah suatu keadaaan seorang individu yang
tidak cukup mempunyai energi fisiologis atau psikologis untuk
bertahan atau memenuhi kebutuhan atau aktivitas sehari-hari yang
diinginkan.
Tujuan : pasien memiliki cukup energi untuk beraktivitas.
Kriteria hasil :
- perilaku menampakan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan
diri.
- pasien mengungkapkan mampu untuk melakukan beberapa
aktivitas tanpa dibantu.
- Koordinasi otot, tulang dan anggota gerak lainya baik.

Intervensi dan Implementasi :


a. Rencanakan periode istirahat yang cukup.
R/ mengurangi aktivitas yang tidak diperlukan, dan energi
terkumpul dapat digunakan untuk aktivitas seperlunya secar
optimal.
b. Berikan latihan aktivitas secara bertahap.
R/ tahapan-tahapan yang diberikan membantu proses aktivitas
secara perlahan dengan menghemat tenaga namun tujuan
yang tepat, mobilisasi dini.
c. Bantu pasien dalam memenuhi kebutuhan sesuai kebutuhan.
R/ mengurangi pemakaian energi sampai kekuatan pasien
pulih kembali.
d. Setelah latihan dan aktivitas kaji respons pasien.
R/ menjaga kemungkinan adanya respons abnormal dari tubuh
sebagai akibat dari latihan.

3. Kerusakan integritas kulit adalah keadaan kulit seseorang yang


mengalami perubahan secara tidak diinginkan.
Tujuan : Mencapai penyembuhan luka pada waktu yang sesuai.
Kriteria Hasil :
- tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus.
- luka bersih tidak lembab dan tidak kotor.
- Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.

Intervensi dan Implementasi :


a. Kaji kulit dan identifikasi pada tahap perkembangan luka.
R/ mengetahui sejauh mana perkembangan luka
mempermudah dalam melakukan tindakan yang tepat.
b. Kaji lokasi, ukuran, warna, bau, serta jumlah dan tipe cairan
luka.
R/ mengidentifikasi tingkat keparahan luka akan mempermudah
intervensi.

39
c. Pantau peningkatan suhu tubuh.
R/ suhu tubuh yang meningkat dapat diidentifikasikan sebagai
adanya proses peradangan.
d. Berikan perawatan luka dengan tehnik aseptik. Balut luka
dengan kasa kering dan steril, gunakan plester kertas.
R/ tehnik aseptik membantu mempercepat penyembuhan luka
dan mencegah terjadinya infeksi.
e. Jika pemulihan tidak terjadi kolaborasi tindakan lanjutan,
misalnya debridement.
R/ agar benda asing atau jaringan yang terinfeksi tidak
menyebar luas pada area kulit normal lainnya.
f. Setelah debridement, ganti balutan sesuai kebutuhan.
R/ balutan dapat diganti satu atau dua kali sehari tergantung
kondisi parah/ tidak nya luka, agar tidak terjadi infeksi.
g. Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai indikasi.
R / antibiotik berguna untuk mematikan mikroorganisme
pathogen pada daerah yang berisiko terjadi infeksi.

4. Hambatan mobilitas fisik adalah suatu keterbatasan dalam


kemandirian, pergerakkan fisik yang bermanfaat dari tubuh atau satu
ekstremitas atau lebih.
Tujuan : pasien akan menunjukkan tingkat mobilitas optimal.
Kriteria hasil :
- penampilan yang seimbang..
- melakukan pergerakkan dan perpindahan.
- mempertahankan mobilitas optimal yang dapat di toleransi,
dengan karakteristik:
0 = mandiri penuh
1= memerlukan alat Bantu
2= memerlukan bantuan dari orang lain untuk bantuan,
pengawasan, dan pengajaran.
3 = membutuhkan bantuan dari orang lain dan alat Bantu.
4 = ketergantungan; tidak berpartisipasi dalam aktivitas.

Intervensi dan Implementasi :


a. Kaji kebutuhan akan pelayanan kesehatan dan kebutuhan akan
peralatan.
R/ mengidentifikasi masalah, memudahkan intervensi
b. Tentukan tingkat motivasi pasien dalam melakukan aktivitas.
R/ mempengaruhi penilaian terhadap kemampuan aktivitas
apakah karena ketidakmampuan ataukah ketidakmauan.
c. Ajarkan dan pantau pasien dalam hal penggunaan alat bantu.
R/ menilai batasan kemampuan aktivitas optimal.
d. Ajarkan dan dukung pasien dalam latihan ROM aktif dan pasif.

40
R/ mempertahankan /meningkatkan kekuatan dan ketahanan
otot.
e. Kolaborasi dengan ahli terapi fisik atau okupasi.
R/ sebagai suaatu sumber untuk mengembangkan
perencanaan dan mempertahankan/meningkatkan mobilitas
pasien.

5. Risiko infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan


perifer, perubahan sirkulasi, kadar gula darah yang tinggi, prosedur
invasif dan kerusakan kulit.
Tujuan : infeksi tidak terjadi / terkontrol.
Kriteria hasil :
- tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus.
- luka bersih tidak lembab dan tidak kotor.
- Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.
Intervensi dan Implementasi :
a. Pantau tanda-tanda vital.
R/ mengidentifikasi tanda-tanda peradangan terutama bila suhu
tubuh meningkat.

41
b. Lakukan perawatan luka dengan teknik aseptik.
R/ mengendalikan penyebaran mikroorganisme patogen.
c. Lakukan perawatan terhadap prosedur inpasif seperti infus,
kateter, drainase luka, dll.
R/ untuk mengurangi risiko infeksi nosokomial.
d. Jika ditemukan tanda infeksi kolaborasi untuk pemeriksaan
darah, seperti Hb dan leukosit.
R/ penurunan Hb dan peningkatan jumlah leukosit dari normal
bisa terjadi akibat terjadinya proses infeksi.
e. Kolaborasi untuk pemberian antibiotik.
R/ antibiotik mencegah perkembangan mikroorganisme
patogen.

6. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan


pengobatan berhubungan dengan keterbatasan kognitif, kurang
terpajan/mengingat, salah
interpretasi informasi.
Tujuan : pasien mengutarakan pemahaman tentang kondisi, efek
prosedur dan proses pengobatan.
Kriteria Hasil :
- melakukan prosedur yang diperlukan dan menjelaskan alasan dari
suatu tindakan.
- memulai perubahan gaya hidup yang diperlukan dan ikut serta
dalam regimen perawatan.

Intervensi dan Implementasi:


a. Kaji tingkat pengetahuan klien dan keluarga tentang
penyakitnya.
R/ mengetahui seberapa jauh pengalaman dan pengetahuan
klien dan keluarga tentang penyakitnya.
b. Berikan penjelasan pada klien tentang penyakitnya dan
kondisinya sekarang.
R/ dengan mengetahui penyakit dan kondisinya sekarang, klien
dan keluarganya akan merasa tenang dan mengurangi rasa
cemas.
c. Anjurkan klien dan keluarga untuk memperhatikan diet
makanan nya.
R/ diet dan pola makan yang tepat membantu proses
penyembuhan.
d. Minta klien dan keluarga mengulangi kembali tentang materi
yang telah diberikan.
R/ mengetahui seberapa jauh pemahaman klien dan keluarga
serta menilai keberhasilan dari tindakan yang dilakukan.

42
43
IV. EVALUASI
Evaluasi addalah stadium pada proses keperawatan dimana taraf
keberhasilan dalam pencapaian tujuan keperawatan dinilai dan
kebutuhan untuk memodifikasi tujuan atau intervensi keperawatan
ditetapkan (Brooker, 2001).
Evaluasi yang diharapkan pada pasien dengan post operasi fraktur
adalah :
1. Nyeri dapat berkurang atau hilang setelah dilakukan tindakan
keperawatan.
2. Pasien memiliki cukup energi untuk beraktivitas.
3. Mencapai penyembuhan luka pada waktu yang sesuai
4. Pasien akan menunjukkan tingkat mobilitas optimal.
5. Infeksi tidak terjadi / terkontrol
6. Pasien mengutarakan pemahaman tentang kondisi, efek prosedur
dan proses pengobatan.

44
45
REFERENSI

1. Latham E, et al. Hyperbaric Oxygen Therapy. E medicine [online]. 2010


[cited 2011 Jan 20]. Available from:URL:
http://emedicine.medscape.com/article/1464149-overview
2. Atlantic Hyperbaric Associates. Hyperbaric Oxygen Therapy and Crush
Injury, Compartment Syndrome and Other Acute Traumatic
Ischemias.1999[cited 2011 Jan 20]. Available from:URL:
http://www.atlantichyperbaric.com/health/crush-injuries.htm
3. Ganong WF. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi ke-20.Jakarta:
EGC.2003. Bab 21.Hal 325-70
4. Anonym. Bone Structure. 2011[cited 2011 Jan 20]. Available from:URL:
http://www.cliffsnotes.com/study_guide/topicArticleId-22032,articleId-
21902.html
5. Nather A, Ong HJ. Bone Grafts and Bone Substitutes - Basic Science and
Clinical Applications. Available from:URL:
http://www.worldscibooks.com/etextbook/5695/5695_chap01.pdf
6. Ito K dan Parren SM. Biology of fracture healing. Available from:URL
http://www.aopublishing.org/"><img src="./ao bone
heal_files/MyPortalFiles"
7. Ott S. Bone Growth and Remodelling. 2008. Available
from:URL:depts.washington.edu/bonebio/ASBMRed/growth.html
8. Buckley R dan Panaro CD. General Principles of Fracture Care.2010
[cited 2011 Jan 22] Available from:URL
http://emedicine.medscape.com/article/1270717-overview
9. Sjamsuhidayat R dan Jong W D. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2.
EGC:Jakarta. 2004. Bab 40,hal.841-89.

10. Greenspan A. Imaging Modalities in Orthopedics in Chapmans


Orthopaedic Surgery 3rded Vol 1. 2001. Lippincott Williams &
Wilkins.Ch.4,185-96

46

Anda mungkin juga menyukai