Anda di halaman 1dari 16

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL

RS BAYANGKARA PALU FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU


KESEHATAN UNIVERSITAS TADULAKO

REFERAT

PROXIMUS MORTIS APPROACH (PMA) DENGAN


PERDARAHAN PADA KEPALA

DISUSUN OLEH :

Aditya Febriansyah Putra S.Ked ( N 111 15 014)

Indrawati Z. Malotes S.Ked ( N 111 15 035)


PEMBIMBING

Dr. dr. Annisa Anwar Muthaher, S.H, M.Kes, Sp.F

DIBUAT DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL

RS BAYANGKARA FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS TADULAKO

PALU

MARET 2017
BAB I

PENDAHULUAN
Perdarahan intrakranial yaitu akumulasi patologis darah dalam kubah
cranial. Dapat terjadi dalam parenkim otak atau ruang meningeal sekitarnya. Ada
beberapa faktor-faktor risiko dan penyebab-penyebab dari perdarahan
intracranial, beberapa diantaranya yaitu cedera kepala, kelainan
struktur pembuluh darah, yang disebut malformasi arteri vena (AVM); gangguan
perdarahan secara umum; Aneurisma serebral. Perdarahan dalam meninges atau
ruang potensial yang terkait, termasuk hematoma epidural, subdural hematoma,
dan perdarahan subarachnoid, perdarahan intraserebral (ICH) dan
perpanjangan parenkim perdarahan ke dalam ventrikel (yaitu, perdarahan
intraventrikular [IVH] 1

Perdarahan intraserebral menyumbang 8-13% dari semua stroke dan hasil


dari spektrum yang luas dari gangguan. perdarahan intraserebral lebih cenderung
mengakibatkan kematian atau kecacatan utama dari stroke iskemik atau
perdarahan subarachnoid. Kerusakan otak yang dijumpai pada trauma kepala
dapat terjadi melalui dua cara (1) efek dari trauma pada fungsi otak dan (2) efek
lanjutan dari respons sel-sel otak terhadap trauma 1

Perdarahan subaraknoid dapat diartikan sebagai proses pecahnya


pembuluh darah di ruang yang berada dibawah arakhnoid (subaraknoid).
Prevalensi terjadinya perdarahan subaraknoid bervariasi untuk masing-masing
Negara ataupun daerah. Di Jepang perdarahan ini menyebabkan 25
kematian/100.000 populasi/tahun (6,6% dari seluruh kematian mendadak) dapat
mencapai hingga 33.000 orang per tahun di Amerika Serikat. Perdarahan
subarakhnoid memiliki puncak insidens pada usia ekitar 55 tahun untuk laki-laki
dan 60 tahun untuk perempuan. Lebih sering dijumpai pada perempuan dengan
rasio 3:2. Dalam hal ini tampaknya ada faktor-faktor diet, herediter dan keadaan
ekonomi yang berperan dalam patogenesisnya. 1,9
Untuk menetapkan penyebab kematian paling mungkin suatu kasus
menggunakan pendekatan Proximus Mortis ( PMA). Dimana Proximus Mortis
Approach (PMA) sendiri merupakan salah satu pendekatan yang di guanakan
untuk mengetahui penyebab kematian dari suatu kasus. Untuk itu pada bab ini
akan dijelaskan tentang Proximus Mortis Approach (PMA) untuk kasus
perdarahan intrakranial khususnya pada perdarahan subarachnoid.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 PROXIMUS MORTIS APPROACH
Tiap manusia sejak lahir memperoleh hak untuk mendapatkan pelayanan
yang sama dengan prinsip dasar yaitu Autonomy, Beneficience, Non-Maleficence,
Justice dan Honesty. Semua tindakan kesehatan yang digunakan untuk mencegah,
mengobati ataupun untuk memperbaiki kualitas hidup seseorang harus dilakukan
dengan menggunakan 5 prinsip tersebut.
Suatu penyakit yang mengakibatkan kematian ataupun damage tidak
semuanya dikarenakan oleh perjalanan penyakit itu sendiri tetapi terkadang juga
terjadi secara patologis atau dikarenakan hal lain seperti tindakan kriminal,
kecelakaan dan lain-lain. Untuk itu, aparatur penegak hukum Negara membuat
suatu undang-undang agar masyarakat merasa aman serta untuk menegakkan
kebenaran. Karena itulah, biasanya dokter-dokter yang bertugas di rumah sakit
atau instansi kesehatan lainnya diminta untuk membuat surat keterangan Visum Et
Repertum oleh penyidik. Berkaitan dengan hal tersebut, ada sejumlah peraturan
dan perundang-undangan yang mengatur mengenai permasalahan tersebut , antara
lain Pasal 133 KUHP, Pasal 134 KUHP, Pasal 135 KUHP, serta dalam peraturan
pemerintah RI No. 18 tahun 1981.
Pembuatan Surat Keterangan Visum et Repertum korban hidup maupun
korban mati pada hakekatnya adalah sama, yaitu bertujuan untuk mengungkapkan
penyebab terjadinya jejas pada korban hidup dan penyebab kematian pada korban
mati dengan menggunakan pendekatan ilmu kedokteran oleh dokter. Salah satu
pendekatan yang komprehensif dan natural yang dapat dijadikan acuan adalah
konsep Translating Pendulum Hypothesis (dikemukakan oleh Gatot S. Lawrence)
yang pada intinya mengemukakan bahwa terkadang beberapa hal yang menjadi
damage berasal dari akar yang sama. Namun hasil akhirnya bergantung pada
arah kehidupan ini.
Dalam menuliskan diagnosis damage pada korban hidup ataupun sebab
kematian pada korban mati, maka digunakan pendekatan Proximus Morbus untuk
kasus korban hidup dan Proximus Mortis untuk korban mati. Kedua pendekatan
ini memiliki dasar pendekatan yang sama yaitu patomekanisme perjalanan
jejas/penyakit hingga terjadinya kematian.
Konsep Proximus Mortis Approach (PMA) digunakan dengan cara
menyebutkan alur patomekanisme keadaan yang menyebabkan suatu
damage/kematian sehingga didapatkan suatu rangkaian yang melatarbelakangi
terjadinya suatu insidens dan dapat ditunjukkan buktinya. Maka, dalam
menyebutkan rangkaiannya, perlu disebutkan terlebih dahulu keadaan morbid
yang paling dekat dengan kematian (proximate to the death) dan selanjutnya
disusul oleh keadaan morbid lain yang juga mempengaruhi secara berurutan.
Cara penulisan kesimpulan dari sebab kematian digunakan cara Multiple Cause
of Death (COD), sebagaimana yang telah dianjurkan oleh WHO. Sehingga
dituliskan keadaan morbid yang berhubungan langsung dengan kematian (I-a),
dan keadaan morbid yang mendahuluinya (I-b,I-c), serta penyebab yang
mendasari terjadinya kematian (I-d). Selain itu dituliskan pula semua keadaan
morbid lain yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan penyebab
langsung kematian tersebut, namun berkontribusi terhadap kematian dari korban
(II-a, II-b, II-c, II-d).
Selain itu, penulisan kesimpulan sebab perlukaan/ jejas/ damage
menggunakan cara Multiple Cause of Damage (MCOD). Sehingga dituliskan
terlebih dahulu keadaan morbid yang berhubungan lansung dengan damage (A-
1), dan keadaan morbid yang mendahulinya/ penyebab sebelumnya (A-2,A-3),
serta penyebab yang mendasari terjadinya kematian (A-4). Selain itu dituliskan
pula semua keadaan morbid lain yang tidak mempunyai hubungan langsung
dengan penyebab langsung damage tersebut, namun memberikan berkontribusi
terhadap damage dari korban (B-1, B-2, B-3, B-4 dan seterusnya).

2.2 PERDARAHAN PADA KEPALA


Perdarahan pada kepala dapat disebabkan oleh kasus trauma langsung
pada kepala maupun kasus non trauma. Yang dimaksud dengan Trauma kepala
adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara lansung maupun tidak
langsung dan menyebabkan gangguan fungsi neurologist yaitu gangguan fisik,
kognitif, fungsi psikososial baik temporer maupun permanen 10,11

Hematoma epidural adalah suatu hematoma yang terakumulasi di antara


tulang tengkorak dan duramater. Sumber utama perdarahan hematoma epidural
adalah rupturnya arteri meningea media. gejala klinis hematoma epidural sebagai
berikut: Lucid interval, kesadaran makin menurun, late hemiparesis, pupil
anisokor, refleks babinski positif satu sisi, fraktur di daerah temporal, nyeri kepala
progresif. Hematoma subdural adalah hematoma akibat robekan vena di antara
duramater dan parenkim otak (bridging vein). Gejala klinis hematoma subdural
adalah nyeri kepala, dapat terjadi penurunan kesadaran, dan defsit neurologis.
Pada fraktur basis kranii, gejala klinis sesuai dengan lokasinya. Dapat terjadi
fraktur basis cranii anterior, media, maupun posterior 10,11

Hematoma intraserebral adalah perdarahan parenkim otak akibat


pecahnya arteri Intraserebral, biasanya karena cedera kepala berat. Ciri khas
hematoma intraserebral adalah hilang kesadaran dan nyeri kepala berat jika pasien
sadar kembali. Perdarahan subaraknoid non-traumatik sering terjadi pada
malformasi arteri-vena. Namun, perdarahan subaraknoid traumatik terjadi pada
sekitar 26-53 pasien dengan cedera kepala. perdarahan traumatic subaraknoid
traumatik biasanya terjadi bersamaan dengan perdarahan intrakranial lainnya
seperti hematoma epidural hanya saja prognosis perdarahan intracranial lainnya
seperti hematoma epidural, hematoma subdural, dan hematoma intraserebral
akan mempunyai hasil yang lebih buruk jika disertai dengan perdarahan
subaraknoid 10,11

2.2. PERDARAHAN SUBARACHNOID


2.2.1 DEFINISI

Pendarahan subarakhnoid ialah suatu kejadian saat adanya darah pada


rongga subarakhnoid yang disebabkan oleh proses patologis. Perdarahan
subarakhnoid ditandai dengan adanya ekstravasasi darah ke rongga
subarakhnoid yaitu rongga antara lapisan dalam (piamater) dan lapisan
tengah (arakhnoid matter) yang merupakan bagian selaput yang
membungkus otak (meninges)2

2.2.1.1 ETIOLOGI
Penyebab paling sering perdarahan subaraknoid nontraumatik adalah
aneurisma serebral, yaitu sekitar 70% hingga 80%, dan malformasi
arteriovenosa (sekitar 5-10%). Aneurisma sakuler biasanya terbentuk di titik-
titik percabangan arteri, tempat terdapatnya tekanan pulsasi maksimal. Risiko
pecahnya aneurisma tergantung pada lokasi, ukuran, dan ketebalan dinding
aneurisma. Aneurisma dengan diameter kurang dari 7 mm pada sirkulasi
serebral anterior mempunyai risiko pecah terendah; risiko lebih tinggi terjadi
pada aneurisma di sirkulasi serebral posterior dan akan meningkat sesuai
besarnya ukuran aneurisma.1,5,6

Malformasi arteriovenosa (MAV) adalah anomali vaskuler yang terdiri


dari jaringan pleksiform abnormal tempat arteri dan vena terhubungkan oleh
satu atau lebih fistula. Daerah tersebut tidak mempunyai tipe kapiler spesifik
yang merupakan celah antara arteriola dan venula, mempunyai dinding lebih
tipis dibandingkan dinding kapiler normal. MAV dikelompokkan menjadi dua,
yaitu kongenital dan didapat. MAV yang didapat terjadi akibat trombosis
sinus, trauma, atau kraniotomi.7,8
2.2.4 PATOGENSIS
Aneurisma intrakranial khas terjadi pada titik-titik cabang arteri serebral
utama. Hampir 85% dari aneurisma ditemukan dalam sirkulasi anterior dan 15%
dalam sirkulasi posterior. Secara keseluruhan, tempat yang paling umum adalah
arteri communicans anterior diikuti oleh arteri communicans posterior dan arteri
bifucartio cerebri. Dalam sirkulasi posterior, situs yang paling lebih besar adalah di
bagian atas bifurkasi arteri basilar ke artery otak posterior.4

Jika terjadi rupture aneurisma darah keluar dari dinding pembuluh darah
menuju ke permukaan otak dan tersebar dengan cepat melalui aliran cairan otak ke
dalam ruangan di sekitar otak khususnya mengisi ruangan subarachnoid di otak.
Perdarahan sering kali berasal dari rupturnya aneurisma di basal otak atau pada
sirkulasi willisii. Setelah terjadi aneurisma, kemudian terjadi penghentian total aliran
darah ke otak karena perdarahan menyebabkan hilangnya kesadaran. Penyumbatan
pada satu arteri menyebabkan gangguan di area otak yang terbatas yang disusul
terjadinya iskemia. Setelah itu terjadi pembengkakan sel, pelepasan mediator
vasokonstriktor, dan penyumbatan lumen pembuluh darah oleh granulosit kadang-
kadang mencegah reperfusi, meskipun pada kenyataannya penyebab primernya telah
dihilangkan. Kematian sel menyebabkan inflamasi, yang juga merusak sel di tepi area
iskemik (penumbra). Akhirnya kematian sel dapat menimbulkan Gejala sesuei perfusi
yang terganggu, yakni daerah yang disuplai pembuluh darah tersebut serta bahkan
dapat menyebabkan kematian1,10

Penyebab pembentukan aneurisma intrakranial dan rupture tidak dipahami;


Namun, diperkirakan bahwa aneurisma intrakranial terbentuk selama waktu yang
relatif singkat dan baik pecah atau mengalami perubahan sehingga aneurisma yang
utuh tetap stabil. Pemeriksaan patologis dari aneurisma ruptur diperoleh pada otopsi
menunjukkan disorganisasi bentuk vaskular normal dengan hilangnya lamina elastis
internal dan kandungan kolagen berkurang. Sebaliknya, aneurisma yang utuh
memiliki hampir dua kali kandungan kolagen dari dinding arteri normal, sehingga
peningkatan ketebalan aneurisma bertanggung jawab atas stabilitas relatif yang
diamati dan untuk resiko rupture menjadi rendah. Meskipun masih terdapat
kontroversi mengenai asosiasi ukuran dan kejadian pecah, 7 mm tampaknya menjadi
ukuran minimal pada saat ruptur. Secara keseluruhan, aneurisma yang ruptur
cenderung lebih besar daripada aneurisma yang tidak rupture.4
Perdarahan subaraknoid traumatik terjadi pada sekitar 26-53 pasien dengan
cedera kepala. Perdarahan traumatic subaraknoid traumatik biasanya terjadi
bersamaan dengan perdarahan intrakranial lainnya, untuk patogenesisnya adalah
sebagai berikut :
Meningkatnya volume intrakranial

Tekanan intrakranial meningkat

Compresi vena

Stagnasi darah

Tekanan intrakranial meningkat

CBF menurun

Perfusi menurun

PaO2 menurun, PaCO2meningkat, dan pH menurun

pembuluh darah dan sel menjadi rusak

darah dan cairan keluar dari pembuluh darah

menekan daerah yang ada di bawahnya termasuk pembuluh darah

aliran darah ke otak

oksigen ke jaringan otak
terjadi metabolisme anaerob

ATP yang dihasilkan sedikit +
asam laktat

Na+ hanya dapat influks tidak dapat efluks

shif cairan ke interstisial

oedem otak

semakin menghambat perfusi ke jaringan otak
Otak terdesak ke bawah melalui tentorium (herniasi otak)

Menekan pusat vasomotor, arteri cerebral post, N. Occulomotorius,
corticospinal pathway, serabut RAS

Mekanisme untuk mempertahankan kesadaran, pengaturan suhu, tekanan
darah, nadi, respirasi, dan pergerakan menjadi terganggu 11

2.2.5 MANIFESTASI KLINIS

Sebelum pecah, aneurisma biasanya tidak menyebabkan gejala-gejala sampai


menekan saraf atau bocornya darah dalam jumlah sedikit, biasanya sebelum pecahnya
besar (yang menyebabkan sakit kepala). Kemudian menghasilkan tanda bahaya,
seperti berikut di bawah ini: 9

Gambaran CT SCAN pada PSA


2.3 Perdarahan subarachnoid dapat menyebabkan kematian :
Konsep Proximus Mortis Approach (PMA) digunakan dengan cara
menyebutkan alur patomekanisme keadaan yang menyebabkan suatu
damage/kematian sehingga didapatkan suatu rangkaian yang melatarbelakangi
terjadinya suatu insidens dan dapat ditunjukkan buktinya. Maka, dalam kasus
perdarahan subarachnoid kematian terbanyak dapat disebabkan akibat kasus
nontraumatik, yaitu aneurisma serebral. Jika terjadi rupture aneurisma darah
keluar dari dinding pembuluh darah menuju ke permukaan otak dan tersebar
dengan cepat melalui aliran cairan otak ke dalam ruangan di sekitar otak
khususnya mengisi ruangan subarachnoid di otak. Perdarahan sering kali
berasal dari rupturnya aneurisma di basal otak atau pada sirkulasi willisii.
Setelah terjadi aneurisma, kemudian terjadi penghentian total aliran darah ke
otak karena perdarahan menyebabkan hilangnya kesadaran. Penyumbatan
pada satu arteri menyebabkan gangguan di area otak yang terbatas yang
disusul terjadinya iskemia. Setelah itu terjadi pembengkakan sel, pelepasan
mediator vasokonstriktor, dan penyumbatan lumen pembuluh darah oleh
granulosit kadang-kadang mencegah reperfusi, meskipun pada kenyataannya
penyebab primernya telah dihilangkan. Kematian sel menyebabkan inflamasi,
yang juga merusak sel di tepi area iskemik (penumbra). Akhirnya kematian
sel dapat menimbulkan Gejala sesuei perfusi yang terganggu, yakni daerah
yang disuplai pembuluh darah tersebut serta bahkan dapat menyebabkan
kematian.

BAB III

KESIMPULAN
Berdasarkan pada pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa :

1. Proximus Mortis Approach (PMA) atau dikenal dengan pendekatan proximus


mortis merupakan salah satu pendekatan yang digunakan untuk mengetahui
penyebab serta mekanisme dari suatu kematian.
2. Dengan menggunakan pendekatan Proximus Mortis Approach (PMA),
penyebab terjadinya kematian pada kasus perdarahan subarachnoid adalah
terjadi kematian sel yang didahului oleh aneurisma yang terjadi pada
pembuluh darah di otak ataupun pada kasus trauma yang menyebabkan
pendarahan yang menimbulkan kerusakan pada setiap organ
DAFTAR PUSTAKA
1. Tibor Becske, MD . Subarachnoid Hemorrhage . From :
http://emedicine.medscape.com/article/1164341-overview
2. Basbeth F,2012, Penulisan Proximate Cause dan but for test Sebagai
Sebab Mati dalam Sertifikat Kematian, Indonesian Journal of Legal and
Forensic Sciences 2012; 2(1): 13-16.
3. Lombardo MC. Penyakit Serebrovaskular dan Nyeri Kepala Dalam: Price SA
eds. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. 4th ed. Jakarta:
EGC; 2008.
4. Listiono, Djoko. L. Stroke Hemorhagik. Ilmu Bedah Saraf. Jakarta : Penerbit
PT Gramedia Pustaka Utama ; 2008.

5. Smith WS, Johnston SC, Easton JD. Cerebrovascular diseases. In: Kasper
DL, Fauci AS,Longo DL, Braunwald E, Hauser SS, Jameson JL, editor.
Harrisons principles of internalmedicine. 16th edition. United States of
America: The McGraw-Hill Companies, Inc; 2005.
6. Sitorus, Sari Mega. Sistem Ventrikel dan Liquor Cerebrospinal. Bagian
Anatomi, Fakultas Kedokteran, 2005 Universitas Sumatera Utara. Medan.
7. Alfa AY, Soedomo A, Toyo AR, Aliah A, Limoa A, et al. Gangguan Peredaran
Darah Otak (GPDO) Dalam Harsono ed. Buku Ajar Neurologi Klinis. Edisi 1.
Yogyakarta: Gadjah Madya University Press; 2009.
8. Zebian, R.C. Emergent Management of Subarachnoid
Hemorrhage . From :
http://emedicine.medscape.com/article/794076-overview
9. Setyopranoto I. Penatalaksanaan Perdarahan Subarakhnoid. Continuing
Medical Education. 2012;
10. Andika, S.A. 2016.Indikasi pembedahan trauma kapitis. Jurnal of CDK 29
-236/ vol. 43 no. 1, th
11. Deni,W.2015. Head Up In Management Intracranial For Head Injury.
Jurnal Kesehatan Komunitas Indonesia Vol. 11.

Anda mungkin juga menyukai