REFERAT
DISUSUN OLEH :
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
MARET 2017
BAB I
PENDAHULUAN
Perdarahan intrakranial yaitu akumulasi patologis darah dalam kubah
cranial. Dapat terjadi dalam parenkim otak atau ruang meningeal sekitarnya. Ada
beberapa faktor-faktor risiko dan penyebab-penyebab dari perdarahan
intracranial, beberapa diantaranya yaitu cedera kepala, kelainan
struktur pembuluh darah, yang disebut malformasi arteri vena (AVM); gangguan
perdarahan secara umum; Aneurisma serebral. Perdarahan dalam meninges atau
ruang potensial yang terkait, termasuk hematoma epidural, subdural hematoma,
dan perdarahan subarachnoid, perdarahan intraserebral (ICH) dan
perpanjangan parenkim perdarahan ke dalam ventrikel (yaitu, perdarahan
intraventrikular [IVH] 1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 PROXIMUS MORTIS APPROACH
Tiap manusia sejak lahir memperoleh hak untuk mendapatkan pelayanan
yang sama dengan prinsip dasar yaitu Autonomy, Beneficience, Non-Maleficence,
Justice dan Honesty. Semua tindakan kesehatan yang digunakan untuk mencegah,
mengobati ataupun untuk memperbaiki kualitas hidup seseorang harus dilakukan
dengan menggunakan 5 prinsip tersebut.
Suatu penyakit yang mengakibatkan kematian ataupun damage tidak
semuanya dikarenakan oleh perjalanan penyakit itu sendiri tetapi terkadang juga
terjadi secara patologis atau dikarenakan hal lain seperti tindakan kriminal,
kecelakaan dan lain-lain. Untuk itu, aparatur penegak hukum Negara membuat
suatu undang-undang agar masyarakat merasa aman serta untuk menegakkan
kebenaran. Karena itulah, biasanya dokter-dokter yang bertugas di rumah sakit
atau instansi kesehatan lainnya diminta untuk membuat surat keterangan Visum Et
Repertum oleh penyidik. Berkaitan dengan hal tersebut, ada sejumlah peraturan
dan perundang-undangan yang mengatur mengenai permasalahan tersebut , antara
lain Pasal 133 KUHP, Pasal 134 KUHP, Pasal 135 KUHP, serta dalam peraturan
pemerintah RI No. 18 tahun 1981.
Pembuatan Surat Keterangan Visum et Repertum korban hidup maupun
korban mati pada hakekatnya adalah sama, yaitu bertujuan untuk mengungkapkan
penyebab terjadinya jejas pada korban hidup dan penyebab kematian pada korban
mati dengan menggunakan pendekatan ilmu kedokteran oleh dokter. Salah satu
pendekatan yang komprehensif dan natural yang dapat dijadikan acuan adalah
konsep Translating Pendulum Hypothesis (dikemukakan oleh Gatot S. Lawrence)
yang pada intinya mengemukakan bahwa terkadang beberapa hal yang menjadi
damage berasal dari akar yang sama. Namun hasil akhirnya bergantung pada
arah kehidupan ini.
Dalam menuliskan diagnosis damage pada korban hidup ataupun sebab
kematian pada korban mati, maka digunakan pendekatan Proximus Morbus untuk
kasus korban hidup dan Proximus Mortis untuk korban mati. Kedua pendekatan
ini memiliki dasar pendekatan yang sama yaitu patomekanisme perjalanan
jejas/penyakit hingga terjadinya kematian.
Konsep Proximus Mortis Approach (PMA) digunakan dengan cara
menyebutkan alur patomekanisme keadaan yang menyebabkan suatu
damage/kematian sehingga didapatkan suatu rangkaian yang melatarbelakangi
terjadinya suatu insidens dan dapat ditunjukkan buktinya. Maka, dalam
menyebutkan rangkaiannya, perlu disebutkan terlebih dahulu keadaan morbid
yang paling dekat dengan kematian (proximate to the death) dan selanjutnya
disusul oleh keadaan morbid lain yang juga mempengaruhi secara berurutan.
Cara penulisan kesimpulan dari sebab kematian digunakan cara Multiple Cause
of Death (COD), sebagaimana yang telah dianjurkan oleh WHO. Sehingga
dituliskan keadaan morbid yang berhubungan langsung dengan kematian (I-a),
dan keadaan morbid yang mendahuluinya (I-b,I-c), serta penyebab yang
mendasari terjadinya kematian (I-d). Selain itu dituliskan pula semua keadaan
morbid lain yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan penyebab
langsung kematian tersebut, namun berkontribusi terhadap kematian dari korban
(II-a, II-b, II-c, II-d).
Selain itu, penulisan kesimpulan sebab perlukaan/ jejas/ damage
menggunakan cara Multiple Cause of Damage (MCOD). Sehingga dituliskan
terlebih dahulu keadaan morbid yang berhubungan lansung dengan damage (A-
1), dan keadaan morbid yang mendahulinya/ penyebab sebelumnya (A-2,A-3),
serta penyebab yang mendasari terjadinya kematian (A-4). Selain itu dituliskan
pula semua keadaan morbid lain yang tidak mempunyai hubungan langsung
dengan penyebab langsung damage tersebut, namun memberikan berkontribusi
terhadap damage dari korban (B-1, B-2, B-3, B-4 dan seterusnya).
2.2.1.1 ETIOLOGI
Penyebab paling sering perdarahan subaraknoid nontraumatik adalah
aneurisma serebral, yaitu sekitar 70% hingga 80%, dan malformasi
arteriovenosa (sekitar 5-10%). Aneurisma sakuler biasanya terbentuk di titik-
titik percabangan arteri, tempat terdapatnya tekanan pulsasi maksimal. Risiko
pecahnya aneurisma tergantung pada lokasi, ukuran, dan ketebalan dinding
aneurisma. Aneurisma dengan diameter kurang dari 7 mm pada sirkulasi
serebral anterior mempunyai risiko pecah terendah; risiko lebih tinggi terjadi
pada aneurisma di sirkulasi serebral posterior dan akan meningkat sesuai
besarnya ukuran aneurisma.1,5,6
Jika terjadi rupture aneurisma darah keluar dari dinding pembuluh darah
menuju ke permukaan otak dan tersebar dengan cepat melalui aliran cairan otak ke
dalam ruangan di sekitar otak khususnya mengisi ruangan subarachnoid di otak.
Perdarahan sering kali berasal dari rupturnya aneurisma di basal otak atau pada
sirkulasi willisii. Setelah terjadi aneurisma, kemudian terjadi penghentian total aliran
darah ke otak karena perdarahan menyebabkan hilangnya kesadaran. Penyumbatan
pada satu arteri menyebabkan gangguan di area otak yang terbatas yang disusul
terjadinya iskemia. Setelah itu terjadi pembengkakan sel, pelepasan mediator
vasokonstriktor, dan penyumbatan lumen pembuluh darah oleh granulosit kadang-
kadang mencegah reperfusi, meskipun pada kenyataannya penyebab primernya telah
dihilangkan. Kematian sel menyebabkan inflamasi, yang juga merusak sel di tepi area
iskemik (penumbra). Akhirnya kematian sel dapat menimbulkan Gejala sesuei perfusi
yang terganggu, yakni daerah yang disuplai pembuluh darah tersebut serta bahkan
dapat menyebabkan kematian1,10
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan pada pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa :
5. Smith WS, Johnston SC, Easton JD. Cerebrovascular diseases. In: Kasper
DL, Fauci AS,Longo DL, Braunwald E, Hauser SS, Jameson JL, editor.
Harrisons principles of internalmedicine. 16th edition. United States of
America: The McGraw-Hill Companies, Inc; 2005.
6. Sitorus, Sari Mega. Sistem Ventrikel dan Liquor Cerebrospinal. Bagian
Anatomi, Fakultas Kedokteran, 2005 Universitas Sumatera Utara. Medan.
7. Alfa AY, Soedomo A, Toyo AR, Aliah A, Limoa A, et al. Gangguan Peredaran
Darah Otak (GPDO) Dalam Harsono ed. Buku Ajar Neurologi Klinis. Edisi 1.
Yogyakarta: Gadjah Madya University Press; 2009.
8. Zebian, R.C. Emergent Management of Subarachnoid
Hemorrhage . From :
http://emedicine.medscape.com/article/794076-overview
9. Setyopranoto I. Penatalaksanaan Perdarahan Subarakhnoid. Continuing
Medical Education. 2012;
10. Andika, S.A. 2016.Indikasi pembedahan trauma kapitis. Jurnal of CDK 29
-236/ vol. 43 no. 1, th
11. Deni,W.2015. Head Up In Management Intracranial For Head Injury.
Jurnal Kesehatan Komunitas Indonesia Vol. 11.