Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Tujuan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Medium yang digunakan untuk kultur jaringan tanaman dapat berupa
medium padat atau cair. Medium padat digunakan untuk menghasilkan kalus yang
selanjutkan diinduksi membentuk tanaman yang lengkap, sedangkan medium cair
biasanya dugunakan untuk kultur sel. Medium yang diggunakan mengandung
lima komponen utama, yaitu senyawa anorganik, sumber karbon, vitamin, zat
pengatur tumbuh dan suuplemen organik. Kultur jaringan tanaman terdiri dari
sejumlah teknik untuk menumbuhkan organ, jaringan dan sel tumbuhan. Jaringan
dapat dikulturkan pada agar padat atau dalam medium hara cair. Jika ditanam
dalam agar, jaringan akan membentuk kalus, yaitu massa atau sel-sel yang tak
tertata. Kultur agar juga mempergunakan teknik untuk meristem (Suryo, 2004).
Media merupakan suatu bahan yang penting untuk pertumbuhan kultur.
Media untuk pertumbuhan kultur dapat berupa media padat dan media cair. Media
padat biasanya digunakan untuk mengkulturkan kalus kemudian diinduksi
menjadi tanaman lengkap, sedangkan media cair biasanya digunakan untuk kultur
sel. Komponen yang penting dalam suatu media adalah senyawa anorganik,
sumber karbon, vitamin, zat pengatur tumbuh, dan suplemen organik (Yuwono,
2008).
Media yang terlalu padat dapat mengakibatkan akar sukar tumbuh, sebab
akar-akar sulit untuk menembus ke dalam media. Sedangkan media yang terlalu
lembek akan menyebabkan kegagalan dalam pekerjaan. Kegagalan dapat berupa
tenggelamnya eksplan yang ditanam, terutama ekspaln yang berat seperti eksplan
wartel, melinjo, eksplan bawang putih, eksplan kedelai, dan lain sebagainya.
Pemakaian media cair lebih ditekankan pada suspensi sel, yaitu untuk
menumbuhkan plb (protocorm like bodies atau disebut juga protokormus). Dari
protokarmus ini nantinya dapat tumbuh menjadi planlet apabila dipindahkan ke
dala media padat yang sesuai (Hendaryono dan Wijayani, 2007).
Media invitro yang biasa digunakan biasa berupa media padat sebab memiliki
beberapa keuntungan antara lain penggunaan eksplan terkecil akan lebih muda
terlihat, eksplan berada di atas permukaan media sehingga tidak perlu
memerlukan alat Bantu untuk aerasi, tunas dan akar akn lebih muda tumbuh pada
media yang diam. Namun pada media cair juga terdapat beberapa keuntungan
yang tidak dimiliki pada media padat yaitu antara lain tidak memerlukan
tambahan bahan pemadat, tepat untuk proses kultur protoplasma maupun kultur
sel, eksudat yang dikeluarkan oleh eksplan tidak terakumulasi disekitar eksplan,
kontak ekslan dengan media lebih besar (George and Sherington, 1984).
Dalam prosesnya, keberhasilan kultur jaringan selain dikarenakan oleh kondisi
lingkungan yang terkendali juga ditentikan oleh media kultur. Media kultur
merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan. Media kultur merupakan
komponen faktor lingkungan yang menyediakan unsure pertumbuhan tanaman
seperti unsure hara makro, unsure hara mikro, karbohidrat, vitamin dan zat
pengatur tumbuh, param-garam organic, persenyawaan komplek alamiah, arang
aktif dan bahan pemadat (George and Sherington, 1984).
Media kultur yang biasa digunakan adalah media dengan formulasi Murashige
and Skoog (MS). Media MS merupakan media dasar yang mempunyai formulasi
yang sangat lengkap. Komposisi media MS ini pada umumnya dapat digunakan
pada hampir semua jenis tanaman (Wattimena,1992).
Pada umumnya media kultur jaringan dibedakan menjadi media dasar dan
media perlakuan. Resep media dasar adalah resep kombinasi zat yang
mengandung hara esensial (makro dan mikro), sumber energi dan vitamin. Dalam
teknik kultur jaringan dikenal puluhan macam media dasar. Penamaan resep
media dasar pada umumnya diambil dari nama penemunya atau peneliti yang
menggunakan pertama kali dalam kultur khusus dan memperoleh suatu hasil yang
penting artinya. Beberapa media dasar yang banyak digunakan antara lain:
a. Media dasar Murhasige dan skoog (1962) yang dapat digunakan untuk
hampir semua jenis kultur, terutama pada tanaman herbaceous.
b. Media Knop dapat juga digunakan untuk menumbuhkan kalus wortel.
c. Media dasar B5 untuk kultur sel kedelai, alfafa, dan legume lain.
d. Media dasar White (1934) yang sangat cocok untuk kultur akar tanaman
tomat.
e. Media dasar Vacin dan Went yang biasa digunakan untuk kultur jaringan
anggrek.
f. Media dasar Nitsch dan Nitsch yang biasa digunakan dalam kultur tepung
sari (pollen) dan kultur sel.
g. Media dasar Schenk dan Hildebrandt (1972) atau media SH yang cocok
untuk kultur jaringan tanaman-tanaman monokotil.
h. Medium khusus tanaman berkayu atau Woody Plant Medium (WPM)
i. Media N6 untuk serealia terutama padi.
Unsur hara di dalam media kultur tersusun atas beberapa komponen, sebagai
berikut
a. Hara makro yang digunakan pada semua formulasi media kultur.
b. Hara mikro selalu digunakan. Ada beberapa komposisi media yang hanya
menggunakan besi atau besi-kelat.
c. Vitamin-vitamin dan asam-asam amino serta N organik, umumnya
ditambahkan dalam jumlah yang bervariasi. Vitamin, asam amino dan bahan
organic lain seperti myo inositol merupakan komponen media yang
berpengaruh baik terhadap pertumbuhan kultur. Kelompok vitamin yang
sering digunakan dalah dari golongan vitamin B yaitu Thiamin-HCL (B1),
Pyrodoxin-HCL (B6), ASAN Nikotinat dan Riboflavin (B2) (Nugroho,
1997).
d. Sumber energidan karbon berupa gula, merupakan keharusan, kecuali
untuk tujuan yang sangat khusus. Konsentrasi optimum sukrosa tergantung
dari jenis jaringan yang dikultur. Pada kultur kalus dan pucuk, konsentrasi
sukrosa yang digunakan adalah antara 2-4 % yang merupakan konsentrasi
optimum. Namun dalam kultur embrio, konsentrasi gula dapat mencapai 12
%. Menurut Szweykowske, 1974 yang dikutip oleh George & Sherrington
(1984), pembelahan sel protonema Ceratodon purpureus dipengaruhi oleh
interaksi antara glukosa dan 2iP. Gula berfungsi ganda di dalam media yaitu
berfungsi sebagai sumber energi, dan sebagai penyeimbang tekanan osmotik
media. Menurut George & Sherrington (1984), 4/5 bagian dari potensial
osmotik dalam media White disebabkan oleh gula, sedangkan dalam media
MS hanya setengah dari potensial osmotiknya disebabkan adanya gula.
e. Persenwawaan-persenyawaan organic kompleks alamiah seperti: air kelapa,
ekstrak ragi (yeast extract), juice pisang hijau, tauge, nanas, kentang dan
sebagainya.
f. Zat Pengatur Tumbuh (ZPT): ada beberapa jenis, antara lain: auxin,
sitokinin, geberelin, asam absisat, etilin dan sebagainya. ZPT merupakan
komponen penting dalam media kultur jaringan. Jenis dan konsentrasi ZPT
yang digunakan sangat tergantung pada jenis taman dan tujuan dari kultur
tersebut. Salah satu komponen yang juga menentukan keberhasilan kultur
jaringan dalah jenis dan konsentrasi ZPT yang digunakan Jenis dan
konsenyrasi ZPT yang digunakan tergantung pada tujuan dan tahap
pengkulturan. Pengakulturan untuk merangsang pembentukan akar biasanya
menggunakan ZPT Auksin. Jenis auksi yang sering digunakan adalah IBA
dan NAA. (Nugroho, 1997).
g. Buffer (chelating agent). Penambahan asam amino seringkali juga bersifat
sebagai buffer organik. Penambahan KH2PO4 sendiri tidak efektif sebagai
buffer. Banyak peneliti terdahulu seperti Tausson dan Kordan (George &
Sherringtone, 1984) menyarankan untuk menambahkan Fe SO4 dan Na-
EDTA dalam media untuk bertindak sebagai buffer.
h. Bahan Pemadat. Bahan ini digunakan untuk membuat media padat, yang
biasa digunakan adalah agar. Keuntungan dari pemakain agar adalah :
1) Agar membeku pada temperatur 45o C dan mencair pada temperature
100o C, sehingga dalam kisaran temperatur kultur, agar akan berada
dalam keadaan beku yang stabil.
2) Tidak dicerna oleh enzim yang dihasilkan oleh jaringan tanaman.
3) Tidak bereaksi dengan persenyawaan-persenyawaan penyusun media.
Dalam perbanyakan komersial dan percobaan-percobaan yang tidak
dimaksudkan untuk mempelajari metabolisme sel, penggunaan agar murni
bukan suatu keharusan mengingat harga agar murni sangat tinggi. Bahan-
bahan yang tidak diinginkan dari agar, dapat dihilangkan dengan cara
perendaman dalam aquadest selama 24 jam. Agar kemudian dibilas dengan
ethanol dan dikeringkan dalam oven pada 60o C selama 24 jam. Konsentrasi
agar yang diberikan berkisar antara 0.6-1.0 %. (Deberg, (1982 dalam
Gunawan 1988).
i. Faktor penting lain adalah pH yang harus diatur sedemikian rupa sehingga
tidak mengganggu fungsi membran sel dan pH dari sitoplasma. Pengaturan
pH selain memperhatikan kepentingan fisiologi sel, juga harus
mempertimbangkan faktor-faktor :
1) Kelarutan dari garam-garam penyusun media
2) Pengambilan (uptake) dari zat pengatur tumbuh dan garam-garam lain
3) Efisiensi pembekuan agar.
Sel-sel tanaman membutuhkan pH yang sedikit asam berkisar antara 5.5-
5.8 (Gamborg dan Shyluk, 1981). Tanaman Ericaceae seperti Rhododendron
pengaturan pH, biasa dilakukan dengan menggunakan NaOH (atau kadang-
kadang KOH) atau HCl pada waktu semua komponen sudah dicampur,
beberapa saat sebelum disterilkan dengan autoklaf. Sekalipun media sudah
ditetapkan, seringkali setelah sterilisasi pH-nya berubah. Pada umumnya
terdapat penurunan pH setelah distrerilkan dalam autoklaf. Untuk mencapai
pH sekitar 5.7-5.9, Nann dkk. (dalam George dan Sherrington, 1984)
membuat pH 7.0 dalam media yang belum disterilkan. Untuk menghindarkan
perubahan pH yang cukup besar. Murashige dan Skoog menyarankan agar
dilakukan pemanasan untuk melarutkan agar-agar dan memanaskan media
didalam autoklaf selama beberapa menit, baru diadakan penetapan media
disterilkan dalam autoklaf. Dalam wadah yang besar, media disterlkan dan
kemudian dititrasi dengan NaOH/HCl steril sampai pH yang diinginkan.
Setelah itu media dituang ke dalam wadah kultur steril yang telah
dipersiapkan di dalam laminar air flow cabinet.
j. Arang aktif, berfungsi untuk menyerap senyawa toxic yang dihasilkan oleh
eksplan sebagai anti oxidan juga sering digunakan untuk memacu
pertumbuhan akar.
Penambahan arang aktif. Arang aktif 0.8-1 g/l menghambat pembekuan
agar (Horner et al (1977 dalam George & Sherrington, 1984). Arang aktif
atau charcoal adalah arang yang sudah dipanaskan selama beberapa jam
dengan menggunakan uap atau udara panas (George & Sherrington, 1984).
Bahan ini mempunyai sifat adsorpsi yang sangat kuat. Arang aktif dapat
ditambahkan ke dalam media pada berbagai tahap perkembangan kultur.
Bahan ini dapat ditambahkan pada media inisiasi, media regenerasi, atau
media perakaran. Penambahan arang aktif dapat membantu pertumbuhan
perkembangan kultur, tergantung dari jenis kulturnya. Secara umum,
pengaruh arang aktif adalah sebagai berikut:
1) Mengadsorpsi persenyawaan-persenyawaan toxic yang terdapat dalam
media yang dapat menghambat pertumbuhan kultur, seperti
persenyawaan-persenyawaan fenolik dari jaringan yang terluka waktu
inisiasi, dan persenyawaan 5-hidroksimetil furfural yang diduga
terbentuk dari gula yang berada dalam larutan asam lemah dan
mengalami pemanasan dengan tekanan tinggi (Nitsch et al, 1968 dalam
Gunawan 1988).
2) Mengadsorpsi zat pengatur tumbuh sehingga mencegah pertumbuhan
kalus yang tidak diinginkan, seperti dalam androgenesis dan pucuk yang
ingin diakarkan, dan juga membantu embryogenesis kultur dalam media
regenerasi tanpa auksin, mungkin dengan bertindak sebagai sink yang
menarik auksin dari dalam sel sehingga embryogenesis dapat terjadi
(Drew, 1979 dalam George & Sherringtone, 1984).
3) Merangsang perakaran dengan mengurangi tingkat cahaya yang sampai
ke bagian eksplan yang terdapat dalam media.

BAB III
METODE
A. Latar Belakang
B. Tujuan
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Media tanam memberikan pengaruh yang besar terhadap keberhasilan kultur

jaringan karena di dalam media tersebut terdapat penambahan zat pengatur

tumbuh. Pada umumnya komposisi utama media tanam kultur jaringan, terdiri

dari hormon (zat pengatur tumbuh) dan sejumlah unsur yang biasanya terdapat di

dalam tanah yang dikelompokkan ke dalam unsur makro dan unsur mikro. Hasil

yang lebih baik akan dapat kita peroleh bila, kedalam media tersebut,

ditambahkan vitamin, asam amino, dan hormon, bahan pemadat media (agar),
glukosa dalam bentuk gula maupun sukrosa, air destilata (akuades), dan bahan

organik tambahan (Gunawan, 1988).

Media Murashige dan Skoog

Medium Dasar Murashige dan Skoog (MS) Digunakan untuk hampir semua

macam tanaman, terutama tanaman herbaceus. Media ini mempunyai konsentrasi

garam- garam mineral yang tinggi dan senyawa N dalam bentuk NO3- dan NH4+.

(Hendaryono,1994).

Proses pembuatan media Murashige dan Skoog diawali dengan menyiapkan

alat dan bahan. Alat yang digunakan meliputi erlenmeyer 1000 ml, timbangan

analitik, gelas ukur, dan hot plate dengan magnetic stirer. Bahan yang
dibutuhkan 10 ml larutan stok makronutrien, myo-inositol 100 mg, sukrose 30

g, iron stok 5 ml, mikronutrien stok 5 ml, vitamin stok 4 ml, larutan stok

hormon 2 ml, agar 7 g, akuades,dan pH stick. Pada saat pengukuran


menggunakan timbangan analitik, pada bagian bawah dilapisi dengan

alumunium foil, hal ini bertujuan agar dapat dibilas dengan akuades dan

meminimalisir masih adanya bahan yang tertinggal. Selain itu untuk bahan

cair diukur dengan gelas ukur yang keakuratan angkanya lebih tinggi

dibandingkan dengan angka yang tertera pada gelas erlenmeyer.

Diawali dengan menyiapkan erlenmeyer 1000 ml yang telah diisi dengan

500 ml akuades sembari dipanaskan di atas hot plate dengan magnetic stirer.
selanjutnya memasukan 10 ml larutan stok makronutrien, tidak perlu diaduk

secara manual karena telah menggunakan stirer. Kemudian menambahkan

satu persatu komposisi media Murashige dan Skoog yakni myo-inositol 100 mg,
sukrose 30 g, iron stok 5 ml, mikronutrien stok 5 ml, vitamin stok 4 ml, larutan

stok hormon 2 ml. Selanjutnya menambahkan akuades hingga mencapai

volume 800 ml. Kemudian dilakukan pengukuran pH sehingga mencapai pH 6-

7. Penyesuaian pH ini bertujuan untuk tidak mengganggu fungsi membran sel


dengan adanya perubahan pH. Setelah pH telah sesuai maka menambahkan 7 g

agar-agar bubuk. Dan kemudian tambahkan akuades hingga volumenya menjadi

1000 ml. Kemudian panaskan larutan media di atas kompor sambil diaduk-aduk

supaya tidak menggumpal. Tunggu hingga mendidih dan agar larut. Kemudian

tuangkan ke dalam botol kultur secukupnya. Kemudian ditutup dengan

menggunakan plastik dan karet serta beri label MS. Kemudian disterilisasi dengan

autoclave selama 15 menit. Setelah selesai disterilisasi tata diatas rak.

Medium Agar Kosong

Proses pembuatan medium agar kosong diawali dengan menyiapkan alat dan

bahan. Alat yang digunakan meliputi erlenmeyer 1000 ml, timbangan analitik,

gelas ukur, dan hot plate dengan magnetic stirer. Bahan yang dibutuhkan agar

bubuk sebanyak 4,5 g, dan akuades. Pada saat pengukuran menggunakan


timbangan analitik, pada bagian bawah dilapisi dengan alumunium foil, hal ini

bertujuan agar dapat dibilas dengan akuades dan meminimalisir masih

adanya bahan yang tertinggal. Selain itu untuk bahan cair diukur dengan

gelas ukur yang keakuratan angkanya lebih tinggi dibandingkan dengan

angka yang tertera pada gelas erlenmeyer.

Langkah selanjutnya adalah menyiapkan erlenmeyer 1000 ml yang telah

diisi dengan 500 ml akuades dan ditambahkan 4,5 g agar bubuk selanjutnya

dipanaskan di atas hot plate dengan magnetic stirer sehingga tidak perlu
diaduk. Ditunggu hingga mendidih dan agar larut namun sebelumnya jangan

lupa tutup erlenmeyer dengan kertas aluminium foil. Kemudian tuangkan ke

dalam botol kultur secukupnya. Kemudian ditutup dengan menggunakan plastik

dan karet serta beri label Ag0. Kemudian disterilisasi dengan autoclave selama 15

menit. Setelah selesai disterilisasi tata diatas rak.


BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA
Drew, R., M. Smith, J. Moisander & J. James, 1991. Plant tissue culture general
principles and commercial applications. Queensland Department of Primary
Industries. Brisbane. 31 p.

George, E.F. & P.D. Sherrington. 1984 Plant propagation by tissue culture. Handbook
and directory of commercial laboratories. Exegetics Ltd., Basingstoke,
England. 546 p.

Gunawan, L.W., 1988. Teknik kultur jaringan tumbuhan. Laboratorium Kultur


Jaringan Tumbuhan, Pusat Antar Universitas (PAU), Institut Pertanian Bogor.
Bogor. 304 h.

Hendaryono dan Ir Ari Wijayani, 2007. Teknik Kultur Jaringan. Kanisius, Yogyakarta.

Marlin, dkk. 2012. Penuntun Praktikum Kultur Jaringan. Fakultas Pertanian


Universitas Bengkulu, Bengkulu.

Nugroho, A dan H. Sugianto. 1997. Pedoman Pelaksanaan Tehnik Kultur Jaringan.


Penebar Swadaya, Jakarta.

Suryo. 2004. Genetika. Gadjah Mada University Press. Jakarta

Yuwono T. 2008. Bioteknologi Pertanian. Universitas Gajah Mada Press. Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai