Anda di halaman 1dari 4

Implikasi teori Vygotsky banyak diterapkan di dalam pendidikan.

Konsep sociocultural ini lebih


menekankan pada pembelajaran aktiv, artinya antara guru dan murid saling berkolaborasi untuk
mencari solusi dalam tugas sekolahnya.

Peran guru dalam kelas adalah memberi panduan sesuai dengan instruksi dalam aktivitas
pembelajaran, dengan adanya petunjuk atau instruksi akan berguna untuk mengajar anak sesuai
dengan kemampuannya.

Setelah itu guru memonitor kemajuan pelajar, dan kemudian secara berangsur-angsur
menyerahkan lebih banyak aktivitas kepada murid. Peran guru pada saat itu hanya menyusun
latihan-latihan cooperative/ collaborative learning, dimana siswa saling berkerjasama, dengan
instruksi yang mereka terima dari teman sebaya yang lebih mahir dari mereka akhirnya akan
ditemukan solusi selain itu juga dengan bermain peran sebagai guru. (Palinscar, Brown, &
Campione, 1993).

Pendekatan pembelajaran Sociocultural menjadi suatu strategi pendidikan yang efektif


dilakukan. Dalam penelitianya Lisa Freund (1990), Ia melakukan simulasi dimana anak 3 sampai
5 tahun membantu sebuah boneka untuk memutuskan perabot mana (seperti, dipan, tempat tidur,
bathtub, dan kompor) yang harus ditempatkan pada setiap ruang dari enam ruang dalam sebuah
rumah boneka. Pertama-tama, anak-anak diuji untuk menentukan apa yang telah mereka ketahui
tentang penempatan mebel yang sesuai. Kemudian masing-masing anak bekerja pada tugas
serupa, sendiri maupun dengan ibunya. Untuk menilai apa yang telah mereka mempelajari, anak-
anak mengerjakan tugas akhir, yang agak kompleks, yaitu sorting mebel. Hasilnya jelas. Anak-
anak yang telah mensortir mebel dengan bantuan dari ibu mereka menunjukkan peningkatan
dramatis dalam kemampuan penyortiran, sedangkan mereka yang melakukannya sendiri
menunjukkan sedikit peningkatan, walaupun mereka telah menerima beberapa koreksi dari
experimenter (Diaz, Neal, & Vachio, 1991; Rogoff, 1998).

Kemajuan serupa dalam ketrampilan problem-solving adalah ketika anak-anak berkolaborasi


dengan teman sebayanya daripada bekerja sendiri (Azmitia, 1992; Fleming & Alexander, 2001),
dan anak yang memperoleh hasil paling banyak dari kolaborasi ini adalah mereka yang pada
awalnya kurang berkompeten dibanding teman mereka (Manion & Alexander, 1997; Tudge,
1992). David Johnson dan Roger Johnson (1987) menyelenggarakan sebuah meta-analysis dari
378 penelitian yang membandingkan prestasi orang yang bekerja sendiri dengan orang yang
bekerja secara kooperatif dan menemukan bahwa cooperative learning menghasilkan prestasi
yang superior dalam lebih dari setengah penelitian tersebut; sebaliknya, bekerja sendiri yang
menghasilkan peningkatan prestasi kurang dari 10% dalam penelitian tersebut.

Beberapa pertimbangan mengapa cooperative learning efektif:

1. Motivasi akan meningkat ketika anak-anak bekerja sama dalam menyelesaikan


permasalahan (Johnson & Johnson, 1989).
2. Anak dapat menjelaskan gagasan mereka satu sama lain, meyakinkan, dan memecahkan
konflik. Semua itu dibutuhkan untuk menguji gagasan mereka sendiri dan bisa
mengartikulasikannya sampai orang lain dapat memahaminya.
3. Anak akan menggunakan pendekatan metakognitif selama cooperative learning
berlangsung (Johnson & Johnson, 1989).

Kolaborasi dengan teman sebaya bukanlah obat mujarab dalam menyelesaikan setiap
permasalahan, karena prestasi tidak dapat ditingkatkan dengan cooperative learning (Pine &
Messer, 1998). Orang tua umumnya dapat menjadi kolaborator yang lebih efektif (Ellis &
Rogoff, 1986; Gauvain, 2001).

Contoh lain, misalnya saat teman sebaya bekerja sama pada masalah rumit yang melibatkan
perencanaan dan penggunaan strategi, mereka cenderung tidak berbicara sebanyak yang
dilakukan orang dewasa, pasif, tidak dinamis ,kaku yang memperhatikan koordinasi tindakan
mereka (misalnya, siapa giliran berikutnya, siapa yang akan memutuskan sesuatu), dan kadang-
kadang interaksi dipengaruhi oleh hubungan dominasi yang dapat bertentangan dengan peluang
belajar (Gauvain, 2001; Radziszewska& Rogoff, 1988). Jadi, walaupun cooperative learning
dengan teman sebaya seringkali mempunyai keuntungan daripada pembelajaran tugas serupa
sendirian, namun hal ini bukanlah menjadi solusi, karena anak tidak menghasilkan sebanyak
ketika bekerjasama dengan orang dewasa dalam proses pembelajaran.

Prestasi atas tugas cooperative learning juga bervariasi sebagaimana fungsi kompetensi tenaga
ahli dalam pasangan tersebut. Ketika teman sebaya yang lebih kompeten kurang percaya atau
tidak memodifikasi perilakunya secara wajar untuk dapat menyesuaikan dengan teman sebaya
yang less-skilled (yaitu yang mengerjakan pekerjaan lemah saat scaffolding), prestasi biasanya
tidak lebih baik daripada ketika aktif/ bekerja sendiri (Tudge, 1992).

Seperti teori sociocultural yang lain, efektivitas cooperative learning akan berbeda sesuai kultur.
Anak-anak Amerika, terbiasa dengan kelas yang kompetitif dan melakukan pekerjaanmu sendiri,
tampak akan mempunyai banyak kesulitan yang disesuaikan dengan shared-decision yang
ditemukan dalam cooperative learning (Rogoff, 1998), walaupun mereka mendapatkan yang
lebih baik dalam pengambilan keputusan yang cooperative melalui praktek (Socha & Socha,
1994). Seperti struktur sekolah yang berubah untuk mendukung kolaborasi teman sebaya, dengan
peran guru yang menjadikan peserta aktif dalam pengalaman blajar anak-anak daripada
sederhananya para pemimpin, manfaat cooperative learning yang secara bersamaan meningkat
(Rogoff, 1998).

Yang menarik dalam cooperative learning adalah bahwa kadang-kadang anak-anak mengingat
perilaku orang lain sebagai perilaku mereka, suatu kesalahan monitoring kemampuan untuk
menentukan pengetahuan, memori, atau kepercayaan seseorang yang sebenarnya. Contohnya,
Mary Ann Foley dan Hillary Ratner yang meneliti anak-anak yang menyusun collage bersama
orang dewasa, anak-anak dan orang dewasa tersebut bergiliran meletakkan bagian-bagian collage
(Foley & Ratner, 1998a; Foley, Ratner, & Passalacqua, 1993). Setelah melengkapi collage, tanpa
diduga anak-anak ditanya siapa yang telah meletakkan masing-masing bagian collage tersebut,
mereka atau orang dewasa. Foley dan Ratner tertarik dengan error atribusi apakah anak-anak
akan mengakui bagian yang telah diletakkan orang dewasa sebagai miliknya (I did it error),
atau sebaliknya (You did it error, ketika anak mengakui bagian yang diletakkannya sebagai
milik orang dewasa)? Anak usia empat tahun melakukan I did it errors, yaitu mengakui bagian
yang telah diletakkan orang dewasa sebagai miliknya. Anak-anak cenderung untuk melakukan
re-code tindakan orang dewasa sebagai tindakan mereka. Menurut Foley dan Ratner,
penyimpangan ini mungkin mendorong kearah pembelajaran yang lebih baik tentang tindakan
orang lain, sebagian disebabkan oleh mis-atribusi tindakan orang lain kepada dirinya yang bisa
menyebabkan anak-anak untuk menghubungkan tindakan tersebut kepada sumber umum (diri
mereka) dan menghasilkan suatu memori yang lebih terintegrasi dan mudah dipanggil kembali.
Ratner, Foley, dan Gimpert (2002) melaporkan bahwa anak usia lima tahun yang melakukan
tugas kolaboratif bersama orang dewasa (menempatkan mebel dalam rumah boneka) membuat
banyak I did errors; bagaimanapun, nantinya anak-anak menunjukkan memori yang lebih besar
saat menempatkan mebel pada setiap ruang dibanding anak-anak yang tidak berkolaborasi dalam
suatu kelompok. Kolaborasi mendorong pada pembelajaran yang lebih besar; tetapi tidak dengan
cara yang mungkin telah diharapkan. Melainkan, anak-anak yang belum dewasa sistem
kognitifnya mengakibatkan jumlah kesalahan source-monitoring yang tinggi, yang benar-benar
menghasilkan pembelajaran yang lebih baik (Bjorklund, 1997a).

Piaget vs Vygotsky: Teori Perkembangan Kognitif

Perkembangan kognitif digambarkan sebagai perkembangan kemampuan berpikir dan memberi


alasan (University of Chicago Comer Childrens Hospital, 2006). Piaget dan Vygotsky
merupakan kontributor penting dalam psikologi perkembangan kognitif. Mereka sangat
memperhatikan bagaimana cara anak-anak belajar dan secara mental tumbuh dan memainkan
peran dalam proses belajar serta kemampuan mereka.

Piaget dan Vygotsky dikenal sebagai constructivist. Constructivism adalah suatu pendekatan
dalam mengajar dan belajar berdasarkan pendapat bahwa pengamatan menjadi hasil dari mental
construction. Dengan kata lain, para siswa belajar dengan saling mengkaitkan informasi baru
dengan apa yang telah mereka ketahui. Constructivist percaya bahwa belajar dipengaruhi konteks
dimana suatu gagasan dipikirkan sebaik kepercayaan dan sikap siswa (Hawaii Department of
Education E-School, 1996). Persamaan lain Piaget dan Vygotsky adalah mereka percaya bahwa
batasan-batasan pertumbuhan kognitif dibentuk oleh pengaruh masyarakat. Sayangnya, inilah
akhir persamaan Piaget dan Vygotsky.

Pokok pokok teori Piaget dan Vygotsky sangat berbeda. Piaget percaya bahwa inteligensi
berasal dari aksi. Menurutnya melalui interaksi dengan lingkungan mereka dan bahwa belajar
berlangsung setelah perkembangan. Sebagai alternatif, Vygotsky merasa bahwa belajar terjadi
sebelum perkembangan terjadi dan bahwa anak-anak belajar karena sejarah dan simbolisme
(Slavin, 2003, hal.30, 43). Vygotsky juga percaya bahwa nilai pada anak-anak masuk dari
lingkungan mereka dan lainnya. Piaget tidak menempatkan pentingnya masukan dari yang lain
tersebut. Teori Piaget dan Vygotsky dalam perkembangan kognitif juga mempunyai pendapat
yang berbeda.

Teori perkembangan kognitif Piaget terdiri dari empat tahap. Yang pertama dikenal dengan tahap
sensorimotor (usia 0-2 tahun). Yang kedua adalah tahap pre-operasional (usia 2-7 tahun). Tahap
yang ketiga adalah pengembangan teori (usia 7-11 tahun). Tahap yang terakhir dalam teori Piaget
adalah tahap operasional formal. Dan hanya sekitar 35% dari manusia yang pernah mencapai
pikiran operasional formal ( Huitt& Hummel, 2003).
Menurut Vygotsky bahwa tidak ada tahap yang bisa diatur. Teori Vygotsky yang pertama dikenal
dengan private speech, yaitu berbicara dengan dirinya sendiri. Yang membantu anak-anak untuk
berpikir melalui suatu isu dan adanya suatu solusi atau kesimpulan. Yang kedua adalah zone of
proximal development (ZPD), yaitu tingkat perkembangan di atas tingkat kemampuan seseorang
(Slavin, 2003, hal.44). Scaffolding melibatkan bantuan dan dorongan dalam wujud nasihat dan
sugesti dari para guru, orang tua, dan teman sebaya untuk membantu seorang anak dalam
menguasai suatu konsep baru. Scaffolding adalah tahapan terakhir dari teori perkembangan
kognitif Vygotsky. (Slavin, 2003, hal.44). Biasanya para guru dan sistem sekolah tengah
menerapkan teori perkembangan teori Piaget dan Vygotsky dalam suatu waktu.

Contoh yang baik dari teori pembelajaran Piagentian bisa dilihat dalam kelas preschool. Selama
usia preschool, Piaget berpendapat bahwa anak-anak berada dalam tahap pre-operasional dan
mereka cenderung menjadi egosentris.

Suatu aplikasi kelas yang memungkinkan dari teori kognitif Vygotsky bisa digunakan oleh kelas
satu. Para siswa kelas satu seringkali mempunyai tingkat pengetahuan yang bermacam-macam.
Beberapa anak mungkin telah mengetahui bagaimana cara membaca sedangkan beberapa anak
yang lain masih berusaha untuk menguasai konsep ini. Cara yang baik untuk membantu anak-
anak yang belum membaca sebaik yang lainnya mungkin dengan memberi mereka bantuan
memeriksa kata ketika mereka mendapatkannya saat membaca suatu cerita.

Kesimpulannya, cognitive development mempunyai peran kunci dalam metode belajar dan
berpikir anak-anak. Piaget dan Vygotsky menawarkan beberapa pengertian mendalam yang tidak
masuk akal dalam cara belajar anak-anak yang memungkinkan dan dengan menggunakan teori
ini adalah mungkin untuk menciptakan suatu lingkungan belajar yang lebih kondisif untuk setiap
anak.

Anda mungkin juga menyukai