Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Post trauma stress disorder (PTSD) atau gangguan stres pasca trauma

adalah suatu gangguan kecemasan yang timbul setelah mengalami atau

menyaksikan suatu ancaman kehidupan atau peristiwa-peristiwa trauma seperti

perang militer, serangan dengan kekerasan atau suatu kecelakaan yang serius

peristiwa trauma ini menyebabkan reaksi ketakutan.1


PTSD merupakan gangguan yang bersifta kompleks karena gejala-gejala

yang nampak menunjukkan kemiripan dengan gejala depresi, kecemasan dan

gejala gangguan psikologis lain, namun tidak semua gangguan psikologis yang

sama tersebut termasuk dalam kriteria PTSD, sehingga untuk memahami

komplesitas gejala PTSD perlu mengindentifikasi perbedaan antara stres,

traumatik stres, Post traumatik stress, atau PTSD.2


Stres merupakan pola somatik respon dalam menghadapi beban

lingkungan. Bentuk paling ekstrem dari stres merupakan akibat dari kerjadian

traumatik, yang disebut traumatik stress. Stres pasca trauma atau post traumatic

stress (PTS) merupakan stres yang berlangsung mengikuti kejadian traumatis. Bila

PTS terakumulasi sampai menghasilkan kumpulan gejala (simptom) seperti

tercantum dalam DSM IV, maka disebut sebagai PTSD.2


Prevalensi PTSD diperkirakan sekitar 8 persen populasi umum walaupun

tambahan 5 hingga 15 persen dapat mengalami bentuk subklinis gangguan ini. Di

antara kelompok risiko tinggi yang anggotanya mengalami peristiwa traumatik,

angka prevalensi seumur hidupnya berkisar 5 hingga 75 persen. Sekitar 30 persen

veteran Vietnam mengalami PTSD dan tambahan 25 persen mengalami bentuk

1
subklinis gangguan tersebut.prevalensi seumur hidup pada perempuan berkisar

sekitar 10 hingga 12 persen dan 5 hingga 6 persen pada laki-laki. Walaupun PTSD

dapat timbul pada usia berapapun, ganguan ini paling prevalen pada dewasa muda

karena mereka cenderung lebih terpanjan dengan situasi penginduksi.3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Gangguan Stres Paca Trauma

Gangguan stres pasca trauma (post traumatic stress disorder) adalah suatu

sindrom yang timbul setelah seseorang melihat, terlibat di dalam, atau mendengar

stressor traumatik yang ekstrem. Seseorang bereaksi terhadap pengalaman

tersebut dengan rasa takut dan tidak berdaya, secara menetap menghidupkan

kembali peristiwa tersebut, dan mencoba menghindari mengingat hal itu.3


Peristiwa traumatis yang memicu terjadinya gangguan stres pasca trauma

berbeda dengan pemicu gangguan stres biasa. Peristiwa gangguan stres pasca

trauma biasanya bersifat luar biasa, tiba-tiba dan sangat menekan. Pemicu stres

2
dikategorikan sebagai traumatic stressor, sedangkan pemicu stres atau kecemasan

biasa disebut ordinary stressor atau adjusment stressor.4

2.2. Etiologi Gangguan Stres Pasca Trauma

Beberapa etiologi dari gangguan stres pasca trauma sebagai berikut.3


1. Stresor
Stresor menyebabkan stres akut atau PTSD cukup hebat untuk

memperngaruhi hampir setiap orang. Stresor dapat timbul dari pengalaman

perang, penyiksaan, bencana alam, penyerangan, perkosaan, dan

kecelakaan serius (contohnya di dalam mobil dan gedung terbakar).

Meskipun demikian, tidak setiap orang mengalami gangguan ini setelah

peristiwa traumatik. Stresornya sendiri tidak cukup menimbulkan

gangguan ini. Klinisi harus mempertimbangkan faktor psikososial dan

biologis yang sebelumnya ada dan peristiwa yang terjadi sebelum dan

setelah trauma. Contohnya, seorang anggota suatu kelompok yang

bertahan hidup pada bencana kadang-kadang dapat menangani trauma

karena anggota yang lainnya juga mengalami pengalaman yang sama. Arti

subjektif suatu stresor pada seseorang juga penting. Contohnya, orang

yang selamat dari bencana dapat mengalami rasa bersalah (survivor guilt)

yang dapat menjadi predisposisi atau memperberat PTSD.3


2. Faktro Psikodinamik
Model psikoanalitik gangguan ini menghipotesiskan bahwa trauma

mengaktifkan kembali konflik psikologis yang sebelumnya tenang, tetapi

tidak terselesaikan. Penghidupan kembali trauma masa kanak-kanak

menimbulkan regresi dan penggunaan mekanisme defens represi,

penyangkalan, reaction information, dan undoing. Pemecahan kesadaran

3
terjadi pada pasien yang melaporkan riwayat trauma seksual mas akanak-

kanak. Konflik yang sebelumnya telah ada secara simbolis dibangkitkan

kembali oleh peristiwa traumatik yang baru. Ego menghidupkan kembali

dan dengan demikian mencoba menguasai dan mengurangi ansietas. Orang

yang menderita aleksitemia, yaitu ketidakmampuan mengidentifikasi atau

memverbalisasikan keadaan perasaan, tidak mampu enenangkan dirinya

ketika berada dalam stres.3


3. Faktor Perilaku-Kognitif
Model kognitif PTSD membuat postulat bahwa orang yang

mengalaminya tidak mampu memroses atau merasionalisasikan trauma

yang mencetuskan gangguan ini. Mereka terus mengalami stres dan

berupaya menghindari mengalami hal itu dengan teknik penghindaran.

Konsisten dengan kemampuan parsial mereka menghadapi peristiwa

tersebut secara kognitif, orang tersebut mengalami periode bergantian

antara memahami dan memblok peristiwa. Upaya otak untuk memroses

sejumlah informasi yang banyak yang dicetuskan trauma dianggap

menimbulkan periode bergantian antara memahami dan memblok

peristiwa.3
Model perilaku PTSD menekankan adanya dua fase di dalam

perkembangannya. Pertama, trauma (stimulus yang tidak dipelajari), yang

menimbulkan respons takut, dipasangkan melalui pembelajaran klasik,

dengan stimulus yang dipelajari (pengingat fisik atau mental terhadap

trauma, seperti penglihatan, bau atau suara). Kedua, melalui pembelajaran

instrumental, stimulus yang dipelajari mencetuskan respons takut yang

bebas dari stimulus asal yang tidak dipelajari, dan orang mengembangkan

4
pola penghindaran terhadap stimulus yang dipelajari maupun stimulus

yang tidak dipelajari.3


4. Faktor Biologis3
a. Sistem Noradrenergik
b. Sistem opioid
c. Faktor Pelepas Kortikotropin dan Aksis Hipotalamus-Hipofisis-

Adrenal.

2.3 Faktor Risiko

Faktor resiko yang menyebabkan seseorang rentan terkena PTSD sebegai

berikut.5,6,7,8,9
1. Jenis kelamin peremppuan, 2 hingga 4 kali lipat dibandingkan pada laki-

laki meskipun laki-laki lebih cenderung mengalami kejadian traunatik.


2. Gangguan jiwa sebelumnya beresiko 2 kali lipat dibandingkan mereka

yang tidak mengalami gangguan jiwa.


3. Mengalami trauma intens atau trauma jangka lama.
4. Memiliki trauma di awal kehidupan. Trauma masa kanak, seperti

kekerasan fisik maupun seksual.


5. Memiliki masalah kesehatan mental lainnya, seperti kecemasan atau

depresi.
6. Tidak memiliki sitem pendukung yang baik dari keluarga dan teman.
7. Memiliki kerabat dekat dengan masalah kesehatan mental, termasuk

PTSD.
8. Terpapar oleh kejadian-kejadian dalam kehidupan yang luar biasa

sebelumnya baik tunggal maupun ganda dan dirasakan secara subjektif

oleh suatu kondisi atau peristiwa yang menimbulkan penderitaan bagi

dirinya.

2.4 Gejala

Pasien dengan PTSD saja tidak menunjukkan gejala-gejala khas PTSD

secara kontinu dan dalam kurun waktu yang tentu. Gejala dapat timbul sewaktu-

5
waktu bergantung pada stimuli yang diterima pasien. Gejala PTSD, meskipun

tidak spesifik, meliputi indikasi yang khas. Terdapat tiga tipe gejala, flight, fight,

dan freezze. Ansietas dan penghindaran merupakan gejala flight. Meningkatnya

amarah dan perilaku kekerasan merupakan gejala fight, sedangkan disosiasi dan

alterasi diri merupakan karakteristik freeze. Tiga tipe gejala yang terjadi pada

PTSD adalah.1,2,3
1. Pengulangan pengalaman trauma, ditunjukkan dengan:
Selalu teringat akan peristiwa yang menyedihkan yang telah

dialami.
Flashback (merasa seolah-olah peristiwa yang menyedihkan

terulang kembali).
Nightmares (mimpi buruk tentang kejadian-kejadian yang

membuatnya sedih).
reaksi emosional dan fisik yang berlebihan karena dipicu oleh

kenangan akan peristiwa yang menyedihkan.


2. Penghindaran dan emosional yang dangkal, ditunjukkan dengan:
Menghindari aktifitas, tempat, berpikir, merasakan, atau

percakapan yang berhubungan dengan trauma.


Kehilangan minat terhadap semua hal.
Perasaan terasing dari orang lain.
Emosi yang dangkal.
3. Sensitifitas yang meningkat, ditunjukkan dengan:
Susah tidur.
Mudah marah/tidak dapat mengendalikan marah.
Susah berkonsentrasi.
Kewaspadaan yang berlebih.
Respon yang berlebihan terhadap sesuatu.
Ganggaun stres pascatraumatik ternyata mengakibatkan sejumlah gangguan fisik,

kognitif, emosi, perilaku, dan sosial.2,3


1. Gejala gangguan fisik:9 (4)
Pusing
Gangguan pencernaan
Sesak napas

6
Tidak bisa tidur
Kehilangan selera makan
Impotensi
2. Gangguan kognitif:9
Gangguan pikiran seperti disorientasi
Mengingkari kenyataan
Linglung, melamun berkepanjangan, lupa
Terus menerus dibayangi ingatan yang tak diinginkan
Tidak fokus dan tidak konsentrasi
Tidak mampu menganalisa dan merencanakan hal-hal yang

sederhana
Tidak mampu mengambil keputusan
3. Gangguan emosi:9
Halusinasi dan depresi (suatu keadaan yang menekan, berbahaya,

dan memerlukan perawatan aktif yang dini)


Mimpi buruk
Marah
Merasa bersalah, malu, kesedihan yang berlarut-larut
Kecemasan dan ketakutan
4. Gangguan perilaku:9
Menurunnya aktifitas fisik, seperti gerakan tubuh yang minimal.

Contoh, duduk berjam-jam dan perilaku repetitif (berulang-ulang).


5. Gangguan sosial:9
Memisahkan diri dari lingkungan
Menyepi
Agresif, prasangka
Konflik dengan lingkungan, merasa ditolak atau sebaliknya sangat

dominan.

Pedoman diagnostik menurut PPDGJ III :

Gangguan ini tidak boleh secara umum didiagnosis kecuali ada bukti

bahwa timbulnya dalam waktu 6 bulan dari suatu peristiwa traumatik yang luar

biasa berat. Kemungkinan diagnosis masih dapat ditegakkan apabila tertundanya

waktu antara terjadinya peristiwa dan onset melebihi waktu lebih dari 6 bulan,

7
asalkan manifestasi klinisnya khas dan disertai bukti adanya trauma yang selalu

ada dalam ingatan, bayangan atau mimpi mengenai peristiwa tersebut secara

berulang-ulang, seringkali terjadi penarikan diri secara emosional, pengumpulan

perasaandan penghindaran terhadap stimulus yang mungkin mengingatkan

kembali akan traumanya, gangguan otonomik, gangguan suasana perasaan stes

pascatraumatik (Tabel DSM IV) diagnostik dan statistical mannual of mental

disorder ed 4: orang yang telah terpapar dengan suatu kejadian traumatik dimana

terdapat kedua dari berikut ini, orang mengalami, menyaksikan, atau dihadapkan

dengan sesuatu kejadian yang berupa ancaman kematian atau kematian yang

sesungguhnya atau cedera yang serius atau ancaman kepada integritas fisik diri

sendiri atau orang lain, respon berupa rasa takut yang kuat, rasa tidak berdaya atau

horor.9

Berdasarkan DSM IV, ada beberapa jenis kejadian yang potensial mungkin

akan meningkatkan gangguan stres pascatrauma, yaitu:10\

1. Kekerasan personal (kekerasan seksual, penyerangan fisik dan

perampokan).
2. Penculikan.
3. Penyandraan.
4. Serangan militer
5. Serangan teroris
6. Penyiksaan
7. Ditahan dalam penjara sebagai tahanan politik atau tahanan perang
8. Bencana alam baik yang alamiah maupun yang dibuat oleh manusia
9. Kecelakaan mobil yang berat
10. Didiagnosis mengalami penyakit berat yang mengancam kehidupan

8
2.5 Diagnosis Banding

Gejala stres pasca traumatik sulit dibedakan dengan gejala gangguan panik

dan gangguan cemas menyeluruh. Hal ini dikarenakan ketiganya berhubungan

dengan kecemasan dan aktivasi gejala autonomik. Pada gangguan stres pasca

traumatik relasi waktu antara kejadian traumatik dan gejala dan selalu teringat

akan trauma yang terjadi.3,11

2.6 Prognosis

Kira-kira 30% pasien pulih dengan smepurna, 40% terus menderita gejala

ringan, 20% terus menderita gejala sedang dan 10 % tidak berubah atau

memburuk. Umumnya orang yang sangat muda atau sangat tua lebih mengalami

kesulitan.
Prognosis yang baik dapat dicapai bila kondisi gangguan stres pasca

traumatik muncul dalam waktu singkat, fungsi premorbid yang baik, dukungan

sosial yang baik dan tidak ada kondisi penyalahgunaan zat. Tingkat pemulihan

tertinggi pada 12 bulan setelah gejala, 33-50% menjadi chronic psychiatric

disorder.3

2.7 Penatalakksanaan

2.7.1 Farmakoterapi
Selective serotonin Reuptake inhibitor (SSRI), seperti sertralin (zoloft) dan

proeksetin (Paxil) dipertimbangkan sebagai terapi pertama untuk PTSD karena

efektivitas, tolerabilitas, dan tingkat keamanannya. SSRI mengurangi gejala

semua kelompok gejala PTSD dan efektif dalam memperbaiki gejala PTSD yang

khas, tidak hanya gejala yang serupa dengan depresi atau gangguan ansietas lain.3

9
Efektifitas imipramin (Tofranil) dan amitriptilin (Elavil), dua obat trisiklik, untuk

terapi PTSD didukung oleh sejumlah percobaan klinis yang terkontrol baik.

Walaupun beberapa percobaan kedua obat tersebut memberikan temuan negatif,

sebagian besar percobaan ini memberikan kecacatan serius termasuk durasi yang

terlalu singkat. Dosis imipramin dan amitriptilin harus sama dengan dosis yang

digunakan untuk mengobati gangguan depresif, dan lama minium suatu

percobaan yang adekuat adalah 8 minggu.3


Obat lain yang dapat berguna dalam terapi PTSD adalah monoamine

oxidase inhibitors (MAOI), contohnya fenelzin, trazodon dan valproat

(Depakene). Reversible monoamine inhibitors (RIMA) contohnya brofamin.3

2.7.2 Psikoterapi
Psikoterapi psikodinamik dapat berguna dalam terapi pada banyak pasien

PTSD. Di sejumlah kasus, rekonstruksi peristiwa traumatik dengan abreaksi dan

kataris terkait dapat bersifat teraupetik, tetapi psikoterapi harus diindividualisasi,

karena mengalami kembali trauma dapat terlalu berat untuk sejumlah pasien.

Intervensi psikoteraupetik PTSD mencakup terapi perilaku, terapi kognitif, dan

hipnosis. Banyak klinisi menyarankan psikoterapi terbatas waktu untuk korban

trauma.
Terapi seperti ini biasanya memerlukan pendekatan kognitif dan juga

memberikan dukungan serta keamanan. Sifat psikoterapi jangka pendek

meminimalkan risiko ketergantungan dan menjadi kronis, tetapi masalah

kecurigaan, paranoid, dan kepercayaan sering memberi pengaruh buruk terhadap

kepatuhan. Terapis harus menghadapi penyangkalan pasien mengenai peristiwa

traumatik, menyarankan mereka bersantai, dan menjauhkan mereka dari sumber

10
stres. Pasien disarankan tidur, menggunakan obat jika perlu. Dukungan dari orang

di sekitar lingkungan mereka (misalnya teman dan kerabat) harus diberikan.

Pasien harus diminta mengingat kembali dan melakukan abreaksi perasaan

emosional yang berkaitan dengan peristiwa traumatik dan merencanakan

pemulihan stres mendatang. Sbreaksi-mengalami emosi yang berkaitan dengan

suatu peristiwa dapat membantu bagi sejumlah pasien. Wawancara dengan

amobarbital (Amytal) telah digunakan untuk memudahkan proses ini.3


Psikoterapi setelah peristiwa traumatik harus mengikuti model intervensi

krisis dengan dukungan edukasi, dan pembentukan mekanisme koping serta

penerimaan peristiwa. Ketika timbul PTSD, dua pendekatan psikoterapeutik

utama dapat diambil. Pendekatan pertama dalah pajanan terhadap peristiwa

traumatik melalui teknik membayangkan atau pajanan in vivo. Pajanan ini dapat

intens seperti pada terapi implosif, atau bertahap seperti pada desensitisasi

sistematik. Pendekatan kedua adalah mengajari pasien metode penatalaksanaan

stres, termasuk teknik relaksasi dan pendekatan kognitif untuk menghadapi stres

sejumlahdata pendahuluan menunjukkan bahwa walaupun teknik penatalaksanaan

stres efektif lebih cepat daripada teknik pemajanan, hasil teknik pemajanan lebih

bertahan lama.3
Teknik psikoteraupetik lainnya yang relatif baru dan kontroversial adalah

eye movement desensitization and reprocessing (EMDR), di sini pasien berfokus

pada gerakan lateral jari klinisi sambil mempertahankan bayangan mental tentang

pengalaman trauma. Keyakinan umum adalah bahwa gejala dapat dipulihkan jika

pasien mengingat peristiwa traumatik sambil berada dalam keadaan relaksasi

dalam. Penggagas terapi ini mengatakan terapi ini sama efektif dan mungkin lebih

11
efekif daripada terapi PTSD lain dan lebih disukai klinisi maupun pasien yang

telah mencobanya.3

BAB III

KESIMPULAN

Gangguan stres pasca trauma (post traumatic stress disorder) adalah suatu

sindrom yang timbul setelah seseorang melihat, terlibat di dalam, atau mendengar

stressor traumatik yang ekstrem. Pemicu stres dikategorikan sebagai traumatic

stressor, sedangkan pemicu stres atau kecemasan biasa disebut ordinary stressor

atau adjusment stressor.

Gejala PTSD, meskipun tidak spesifik, meliputi indikasi yang khas.

Terdapat tiga tipe gejala, flight, fight, dan freezze. Ansietas dan penghindaran

merupakan gejala flight. Meningkatnya amarah dan perilaku kekerasan merupakan

gejala fight, sedangkan disosiasi dan alterasi diri merupakan karakteristik freeze.

12
Gangguan ini tidak boleh secara umum didiagnosis kecuali ada bukti

bahwa timbulnya dalam waktu 6 bulan dari suatu peristiwa traumatik yang luar

biasa berat. Kemungkinan diagnosis masih dapat ditegakkan apabila tertundanya

waktu antara terjadinya peristiwa dan onset melebihi waktu lebih dari 6 bulan.

SSRI mengurangi gejala semua kelompok gejala PTSD dan efektif dalam

memperbaiki gejala PTSD yang khas, tidak hanya gejala yang serupa dengan

depresi atau gangguan ansietas lain. Intervensi psikoteraupetik PTSD mencakup

terapi perilaku, terapi kognitif, dan hipnosis. Banyak klinisi menyarankan

psikoterapi terbatas waktu untuk korban trauma. Terapi seperti ini biasanya

memerlukan pendekatan kognitif dan juga memberikan dukungan serta keamanan

.DAFTAR ISI

KATA PENGANTARi
DAFTAR ISI..ii
BAB I.......................................................................................................................1

PENDAHULUAN...................................................................................................1

1.1. Latar Belakang..........................................................................................1

BAB II.....................................................................................................................3

TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................................3

2.1. Definisi Gangguan Stres Paca Trauma..........................................................3

2.2. Etiologi Gangguan Stres Pasca Trauma........................................................3

2.3 Faktor Risiko..................................................................................................6

2.4 Gejala..............................................................................................................6

13
2.5 Diagnosis Banding........................................................................................11

2.6 Prognosis......................................................................................................11

2.7 Penatalakksanaan..........................................................................................11

2.7.2 Psikoterapi.............................................................................................12

BAB III..................................................................................................................15

KESIMPULAN.....................................................................................................15

ii

14

Anda mungkin juga menyukai