Disusun Oleh:
Stevie 1610029041
Pembimbing:
Refleksi Kasus
ACUTE LYMPHOBLASTIC LEUKEMIA
Menyetujui,
2
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT, karena hanya
berkat limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
Tutorial dengan Acute Lymphoblastic Leukemia pada Seorang Anak. Dalam
kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan
yang sebesar-besarnya kepada berbagai pihak yang telah banyak membantu
penulis dalam pelaksanaan hingga terselesaikannya tutorial kasus ini, diantaranya:
3. dr. Sukartini, Sp. A selaku Ketua Program Studi Pendidikan Profesi Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarmanselaku Ketua Lab/SMF Ilmu
Kesehatan Anak FK Unmul serta.
4. dr. Diane M. Supit, Sp.A, selaku dosen Pembimbing Tutorial Klinik yang
dengan sabar memberikan arahan, motivasi, saran dan solusi yang sangat
berharga dalam penyusunan laporan kasus ini dan juga yang selalu bersedia
meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, saran, dan solusi selama
penulis menjalani co.assisten di lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak.
Akhir kata penulis menyadari bahwa penulisan ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari
para pembaca untuk perbaikan kepenulisan di masa mendatang. Terakhir, semoga
tutorial kasus yang sederhana ini dapat membawa berkah dan memberikan
manfaat bagi seluruh pihak serta turut berperan demi kemajuan ilmu pengetahuan.
3
Samarinda, 15 April 2015
Penulis
4
Tutorial Kasus
Sebagai salah satu syarat untukmengikuti ujian stase Ilmu Kesehatan Anak
M. ORTO WITRA WAHAB 1410029022
RISANTI MAULIDYA LUFTIANA 1410029034
Menyetujui,
5
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL...........................................................................................
KATA PENGANTAR..........................................................................................
LEMBAR PENGESAHAN................................................................................
DAFTAR ISI .....................................................................................................
1. PENDAHULUAN.........................................................................................
2. KASUS .....................................................................................................
3. TINJAUAN PUSTAKA................................................................................
16
3.1 Definisi..................................................................................................
16
3.2 Epidemiologi.........................................................................................
16
3.3 Etiologi..................................................................................................
16
3.4 Patofisiologi..........................................................................................
17
3.5 Klasifikasi.............................................................................................
18
3.6 Manifestasi Klinis.................................................................................
19
3.7 Diagnosis...............................................................................................
19
3.8 Penatalaksanaan....................................................................................
19
4. PEMBAHASAN...........................................................................................
37
5. PENUTUP.....................................................................................................
40
6
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................
41
7
BAB 1
PENDAHULUAN
1.2 Tujuan
Untuk mempelajari dan lebih memahami kasus Acute Lymphoblastic
Leukemia (ALL) yang didapatkan di preklinik dengan teori ALL yang telah
dipelajari.
8
BAB 2
KASUS
Identitas pasien
9
Anamnesis
Keluhan Utama :
Pasien akan menjalani kemoterapi pada tanggal 14 april 2015 dengan regimen
kemoterapi :
1. Mtx it 8 mg
+ Nacl 0,9% sd 3 ml 5-10 menit
2. Vincristin iv
+ NaCl 0,9% sd 10 cc bolus pelan
Pada usia 1,5 tahun pasien mengalami demam selama 1 minggu. Awalnya ibu
pasien memberikan obat demam, namun demam tidak turun. Pasien juga
mengeluhkan perut yang membesar, dan terasa nyeri ketika bergerak. Pada hari ke
7, pasien tidak dapat berjalan. Selain itu, di badan pasien juga muncul biru-biru
dan pasien tampak pucat. Pasien juga sempat beberapa kali mengalami
pendarahan gusi. Ibu pasien kemudian membawa pasien ke bidan desa, namun
bidan mengatakan tidak bisa mengobati dan merujuk pasien ke rumah sakit
daerah. Di rumah sakit daerah, pasien dilakukan pemeriksaan darah dan
menunjukkan kesan leukemia. Pasien kemudian dirujuk ke RSUD AWS. Di
RSUD AWS, pasien dilakukan BMP dan ditemukan hasil ALL-L3.
10
Riwayat Saudara-Saudaranya :
Duduk : 7 bulan
Merangkak : 9bulan
Berdiri : 10 bulan
Berjalan : 11 bulan
Buah : 7 bulan
11
Pemeliharaan Prenatal
Riwayat Kelahiran :
Lahir di : Rumah
Pemeliharaan postnatal :
Periksa di : Bidan
IMUNISASI
PEMERIKSAAN FISIK
12
Dilakukan pada tanggal 14April 2015
Kesadaran : Composmentis
Tanda Vital
Berat badan : 14 kg
Panjang Badan : 88 cm
Kepala
Rambut : Hitam
Leher
Thoraks
13
Batas jantung
Abdomen
Perkusi : Timpani
Ekstremitas : Akral hangat (+), oedem (-), capiALLry refill test < 2
detik, sianosis (-), pembesaran KGB aksiler (-/-),
pembesaran KGB inguinal (-/-)
14
Pemeriksaan Penunjang
D K E
a i l
Leuk r 1547 m e
GDS
SGO
13,5
SGP
MCV 79,3
Ureu
MCH 28,2 26,1
MCH Creat
35,5 8,5
inin
Hema
38,0
tokrit
Trom
376000
bosit
Penatalaksanaan
Prognosis : Dubia
15
Follow Up
16
ikt (-/-), Rh (-/-), Wh (-/-),
BU(+)N, NT(-), organomegali
(-) distensi (-)
17
BAB 3
ACUTE LYMPHOBLASTIC LEUKEMIA
PADA SEORANG ANAK
3.1 Definisi
Leukemia merupakan penyakit keganasan sel darah yang berasal dari sumsum
tulang, ditandai oleh proliferasi sel-sel darah putih, dengan manifestasi adanya
sel-sel abnormal dalam darah tepi (Permono & Ugrasena, 2012). Leukemia
Limfoblastik akut adalah penyakit keganasan yang berciri khas infiltrasi progresif
dari sel limfoid imatur dari sumsum tulang dan organ limfatik yang dikenal
sebagai limfoblas (Indonesian Childhood ALL, 2013).
3.2 Epidemiologi
Leukemia akut pada anak mencapai 35% dari semua kanker pada anak. Leukemia
terdiri dari dua tipe yaitu leukemia limfoblastik akut (ALL) 82% dan Leukemia
mieloblastik akut (LMA) 19%. Rasio laki-laki dan perempuan adalah 1 : 1,5 untuk
ALL. Puncak kejadian terjadi pada umur 2-5 tahun, spesifik untuk anak kulit putih
dengan ALL (Permono & Ugrasena, 2012). Di Indonesia saat ini terapat sekitar
80.000.000 anak dibawah usia 15 tahun. Diperkirakan ada sekitar 3000 kasus ALL
baru anak setiap tahunnya. Mosert dkk tahun 2006 di Yogyakarta melaporkan
bahwa dari semua penderita ALL, 35% menolak pengobatan, 23% mengalami
kematian yang berhubungan dengan pengobatan, 22% mengalami perburukan atau
kekambuhan dan 20% mengalami event free survival. Temuan ini kurang lebihnya
juga menggambarkan situasi di Indonesia secara umum (Indonesian Childhood
ALL, 2013).
3.3 Etiologi
Faktor Genetik
Insiden leukemia pada anak-anak penderita sindrom down adalah 20 kali lebih
banyak daripada normal. Kelainan pada kromosom 21 dapat menyebabkan
leukemia akut. Insiden leukemia akut juga meningkat pada penderita dengan
kelainan kongenital misalnya agranulositosis kongenital, orang yang memiliki
18
riwayat keluarga positif leukemia berisiko untuk menderita ALL kemungkinan
3,75 kali memiliki riwayat keluarga positif leukemia dibandingkan dengan orang
yang tidak menderita leukemia.
Virus
Beberapa virus tertentu sudah dibuktikan menyebabkan leukemia pada binatang.
Ada beberapa hasil penelitian yang mendukung teori virus sebagai salah satu
penyebab leukemia yaitu enzyme reserve transcriptase ditemukan dalam darah
penderita leukemia. Seperti diketahui enzim ini ditemukan di dalam virus
onkogenik seperti retrovirus tipe C yaitu jenis RNA yang menyebabkan leukemia
pada binatang.
Sinar Radioaktif
Sinar radioaktif merupakan faktor eksternal yang paling jelas dapat menyebabkan
leukemia. Angka kejadian ALL dan LMA jelas sekali meningkat setelah sinar
radioaktif digunakan. Sebelum proteksi terhadap sinar radioaktif rutin dilakukan,
ahli radiologi mempunyai risiko menderita leukemia 10 kali lebih besar
dibandingkan yang tidak bekerja di bagian tersebut.
Jenis Kelamin
Insiden rate untuk seluruh jenis leukemia lebih tinggi pada laki-laki dibanding
perempuan, diperkirakan lebih dari 57% kasus baru leukemia pada laki-laki yang
terkena ALL
3.4 Patofisiologi
Sel ganas ALL merupakan sel precursor lymphoid (limfoblast) yang mengalami
kelainan akibat translokasi kromosom (75%) maupun delesi kromosom. Salah
satu kelainan yang ditemukan yaitu translokasi t(9;22)(q34;q11) kromosom
philadelphia, translokasi t(12;21)(p13;q22), atau pun kelainan pada gen supresor
tumor akibat delesi pada p16(INK4A) dan p53. Sel limfoblast akan menempati
sumsum tulang dan menggantikan element normal sumsum tulang, sehingga
menyebabkan berkurangnya produksi sel darah yang normal. Anemia,
trombositopenia, dan neutropenia terjadi dengan berbagai derajat keparahan.
19
Limfoblast juga berproliferasi di hepar, lien, dan lymph node (Permono &
Ugrasena, 2012; Price & Lorraine, 2006).
3.5 Klasifikasi
Sebagian besar ALL mempunyai homogenitas pada fenotip permukaan sel blas
dari setiap pasien. Hal ini memberi dugaan bahwa populasi sel leukemia tersebut
berasal dari sel tunggal. Oleh karena itu homogenitas itu maka dibuat klasifikasi
ALL secara morfologik untuk lebih memudahkan pemakaiannya dalam klinik,
sebagai berikut (Permono & Ugrasena, 2012; Leukemia and Lymphoma Society,
2014).
L1 : terdiri dari sel-sel limfoblas kecil serupa, dengan kromatin homogen, anak
inti umumnya tidak tampak dan sitoplasma sempit
L2 : pada jenis ini sel limfoblas lebih besar tetapi ukurannya bervariasi, kromatin
lebih kasar dengan satu atau lebih anak inti
L3 : terdiri dari sel limfoblas besar, homogen besar, homogen dengan kromatin
bebercak, banyak ditemukan anak inti serta sitoplasma yang basofilik dan
bervakuolisasi.
20
Gambar. Gambaran Hapusan Darah dan BMP ALL L1, L2, L3 ( (V, Rizzari, Sala,
Chiesa, Citterio, & Biondi, 2005)
3.7 Diagnosis
Diagnosa ALL berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan laboratorium
berupa karakteristik, morfologi dan pemeriksaan sitokimia dari aspirasi sumsum
tulang. Pemeriksaan morfologi menggunakan klasifikasi FAB (French American
British). Persentase sel blas yang ditemukan pada sumsum tulang minimal 25%.
Jika mungkin dilakukan pemeriksaan immunophenotyping. Saat diagnosa tegak
lakukan komunikasi yang baik, informasi yang benar dan tepat tentang penyakit
yang diderita pasien kepada orang tua. Edukasi kepada orang tua juga dilakukan
agar paham terhadap kondisi keadaan sakit yang diderita oleh pasien. Dibutuhkan
waktu untuk pemahaman kepada orang tua agar mengijinkan anaknya untuk
memulai terapi(Indonesian Childhood ALL, 2013).
3.8 Penatalaksanaan
Penatalaksaan ALL yang dibahas dalam tinjauan pustaka ini mengacu pada
Protokol ALL yang diterbitkan oleh Indonesian Childhood ALL pada tahun 2013.
21
Penatalaksanaan ALL terbagi menjadi dua yaitu : persiapan sebelum mengawali
pemberian sitostatika kemudian dilanjutkan dengan pemberian sitostatika. Berikut
pembahasan lebih detail mengenai kedua tahapan tersebut(Indonesian Childhood
ALL, 2013).
22
Dianjurkan untuk memeriksa immature plateletfraction(IPF). Bila
adatrombositopenia disertai dengan tanda perdarahan mutlak
diberitransfusi konsentrat trombosit.Jika trombositopenia berkepanjangan,
dapat diberikan transfusi trombositbersamaan tindakan intratekal (IT), atau
segera setelah selesai melakukan IT.
Transfusi plasma segar beku menjadi pilihan bila ada perdarahan yang
disebabkan karena faktor koagulasi yang dibuktikan dengan pemanjangan
dari jalur intrinsik dan atau ekstrinsik dari pemeriksaan faal hemostasis.
- Nutrisi. Direkomendasikan untuk pemberian nutrisi yang adekuat sebelum
memulai kemoterapi terutama pada kasus malnutrisi, intake kalori harus
dipastikan, jangan ragu menggunakan NGT (nasogastric tube).
Pengendalian infeksi perlu diperhatikan yaitu diantaranya :
wajib mencuci tangan sebelum dan sesudah memeriksa pasien
periksa rutindan menjaga kebersihan mulut dan mandi sikat gigi
hindari terjadinya luka dan perdarahan gusi dengan jangan menggosok
gigi terlalu keras
tidak diperlukan profilaksis antibioticmaupun anti jamur (utamanya
derivat azol ; flukonazol,itrakonazol) maupun dekontaminasi usus. Jika
terdapat sepsis, pemberian sitostatika menunggu perbaikan keadaan umum
minimal 3x24 jam dengan pemberian antibiotika intravena, jika infeksi
ringan, pemberian sitostatika bersamaan dengan antibiotika.
oral hygiene : sikat gigi, kumur dengan antiseptik apapun. Kontrol ke
dokter gigi untuk perawatan gigi /kebersihan mulut/ bebas dari fokus
infeksi pada saat sakit dan tiap 6 bulan.
Bila perlu konsul sejawat ahli THT untuk mencari fokus infeksi. Parasit :
obat cacing (mebendazol 500 mg dosis tunggal atau 2x100 mg selama 3
hari; albendazol 200 mg dosis tunggal; pirantel pamoat 10-12,5 mg/kgBB)
dapat diberikan pada anak yang baru didiagnosis.
Pengobatan cotrimoxasolprofilaksis (dosis 4mg/kg trimethoprim dan
20mg/kg sulfamethoxazole) dosis 2 kali per hari selama 3 hari per minggu
23
merupakan rekomendasi kuat untuk mencegah infeksi dari
jerovecii,diberikan segera setelah selesai fase konsolidasi.
Pemeriksaan status gizi senantiasa dilakukan pada awal pengobatan,
setelah induksi, konsolidasi, reinduksi, dan rumatan sebelum blok steroid.
Pemeriksaan status nutrisi termasuk : anamnesa riwayat tumbuh kembang,
antropometri.
Pemeriksaan laboratorium berupa evaluasi hitung jenis, Na, K, Ca, P,
ureum, kreatinin, albumin SGOT, SGPT, bilirubin direk, bilirubin total,
asam urat, dan pH urin.
2. Pemberian Sitostatika
1. Induksi
Sitostatika yang digunakan pada pengobatan induksi terdiri dari prednisone
(PRED), vincristine (VCR), L-Asparaginase (L-Asp), Daunorubicin (DNR), dan
methotrexate ( MTX ) intratekal.
Prednisone(PRED) :
- digunakan pada Risiko Biasa (RB) dan Risiko Tinggi (RT).
- Pada RB, window period diberikan dosis 60 mg/m2 per oral dibagi dalam 3
dosis selama 1 minggu. Selanjutnya diberikan 40 mg/m2 selama 5 minggu
(total 6 minggu). Setelah 5 minggu dosis harus diturunkan setiap 3 hari
menjadi separuh dosis sebelumnya, dan berhenti pada hari ke 42.
- Pada RT dosis ditingkatkan secara bertahap.
Jika BMP tertunda hingga 7-10 hari setelah prednisone selesai, harus
diwaspadai terjadinya risiko rebound cell ( hematogones ).
24
Gambar Protokol Fase Induksi ALL Risiko Biasa (Indonesian Childhood ALL, 2013)
*bila BMP tidak remisi, induksi dilanjutkan sesuai denganminggu ke-5 protokol
RT.
Bila tidak dijumpai sel blast pada pemeriksaan liquor , terapi intratekal hanya
menggunakan MTX, Bila dijumpai sel blast pada pemeriksaan
liquor,menggunakan MTX tripledrug (MTX/deksametason/ara-C ), 2x seminggu
dilakukan sampai negatif 3x berturut-turut.
Apabila terjadi relaps CNS akan dikelola secara khusus. Dosis 30 mg/m2, bila
tidak ada dapat diganti Doxorubicin 20 mg/m.
25
Gambar Protokol Fase Induksi ALL Risiko Tinggi (Indonesian Childhood ALL,
2013)
Vinkristin (VCR)
dosis 1,5 mg/m2 (dosis mak 2mg) IV pada hari 7, 14, 21, 28, 35 dan 42 (dalam 10
ml NaCl 0,9% secara bolus IV pelan dalam 5 menit).
Daunorubisin (DNR)intravena
untuk risiko biasa diberikan 2 x selama induksi yaitu hari ke 21 dan ke 28
dengan dosis 30 mg/m2.
untuk pasien risiko tinggi dosis 30 mg/m2 , diberikan 4 kali pada hari ke-21,
28, 35,dan ke 42( DNR dilarutkan dalam NaCl 0,9 % 100 cc diberikan secara
drip IV dalam 1 jam ). Bila tidak tersedia adanya DNR, dapat diganti dengan
Daunorubicin dengan dosis 20 mg/m2.
26
- Dosis 7500 Unit/m2 subkutan maksimal 2 mL per lokasi suntikan. Sebaiknya
meggunakan paronal karena waktu paruh dan keefektivan (toksisitas) berbeda
dengan merk lain dari Asparaginase.
- Bisa diberikan secara iv dalam 100 ml cairan diberikan dalam 1-2 jam, atau i.m
dengan kompres es 15 menit sebelum injeksi, atau setelah L-Asp diaspirasi
dalam syringe, ditambahkan 0,5 1 ml lidocain dalam syringe yang sama (tidak
dikocok agar tidak tercampur), kemudian berikan im pelahan-lahan.
- Dalam kasus alergi L-Asp, harus diberikan L-Asp dari Erwinia dengan dosis
20000 IU/m2/dosis.
- Risiko hipersensitif/anafilkasis terhadap L-Asp umumnya tidak terjadi pada
pemberian awal / fase induksi, tapi lebih sering bila diberikan pada fase
reinduksi.
- Jika ada trombositopenia dalam pemberian im, maka berikan transfusi
trombosit terlebih dahulu.
27
Gambar Dosis MTX (Indonesian Childhood ALL, 2013)
28
selama 2-4 jam setelah penyuntikan dengan maksud agar obat menyebar
sampai ke ruang araknoid (arachnoid space).
6. Periksa glukosa urin minimal 1 kali seminggu.
7. Bila jumlah lekosit 100.000/mm3, ada organomegali dan atau hiperurikemia
: beri allopurinol 200 mg/m2/hari p.o. selama 3 7 hari.
Minggu pertama :
- Stabilisasi kondisi pasien. Masalah yang paling sering ditemukan adalah
infeksi, anemia, trombositopenia, dan neutropenia.
- Beri antibiotika dengan spekrum luas jika demam dan jumlah netrofil
rendah.
- Bila anemia,dibutuhkan tranfusi.Jika Hemoglobin < 4g% dengan ancaman
dekompensasi cordis , maka tranfusi diberikan pelan-pelan disertai
diuretik.
- Timbang berat badan secara secara berkala untuk mengetahui adanya
kelebihan cairan .
- Pengawasan yang ketat terhadap kemungkinan sindroma tumor lisis
Pemeriksaan urine lengkap, ukur produksi urin, danperiksa serum
elektrolit (Na,K, Ca, P)kreatinin serum, jika ada sindroma tumor lisis
terapkan managemensindroma tumor lisis .
- Netropenia yang terjadi saat induksi disebabkan karena leukemianya,
bukan karena steroid, vincristine, L-Asp, karena itu , steroid dan
vincristine dapat dilanjutkan.
- Amati tanda-tanda infeksi
- Jika suhu tubuh oral atau aksila> 38C, lakukan pemeriksaan fisik, cek
CRP, dan kultur darah, , urine, swab tenggorok dan lesi kulit ,termasuk lesi
anal dan sekitarnya dengan jumlah netrofil 500-1000dan tidak ada fokus
infeksi, pasien tidak pada kondisi sakit akut, tunggu beberapa jam
kemudian cek CRP dan kultur darah ulang. Jika tidak didapatkan fokus
infeksi tapi panas,segera berikan antibiotika spektrum luas.
- Pasien dengan jumlah netrofil < 500,lakukan pemeriksaan laboratorium
dan kultur dan berikan antibiotika iv dengan segera.
29
- Antibiotika spektrum luas harus mencakup gram positif dan gram
negative. Penggunaaan antibiotika berdasar pada hasil tes kepekaan
antibiotik (TKA) dan antibiotika yang tersedia dimasing masing rumah
sakit .
- Jika setelah 72 jam, masih panas, neutropenia < 500 dan anak tidak
membaik, dianjurkan pemberian anti jamur. Pada masa induksi, eradikasi
sel leukemia merupakan hal yang terpenting, sehingga sitostatika : PRED,
VCR, dan L-Asp diberikan dengan dosis penuh, mungkin DNR bisa
ditunda sementara.
2. Konsolidasi
Pada fase konsolidasi, pemberian metotreksat dosis tinggi (HD-
MTX)dengan leukovorin rescue memerlukan perhatian yang khusus.
HD-MTX
Sehari sebelum pemberian HD-MTX, pasien harus dalam kondisi klinis yang
baik(adekuat) dengan hasil pemeriksaan lab :
Lekosit 2000/mm3
Trombosit 75000/ mm3
Fungsi ginjal normal (ureum dan kreatinin tidak > 4 kali batas normal)
Peningkatan kimia enzim hati (S tidak lebih dari 10 kali dari batas atas
nilainormal.
Alkaline urine (pH >6.5 tapi < 8.0)
Tidak ada infeksi, diare, mucositis
Tidak ada gangguan kencing
- Seminggu sebelum pemberian HD MTX, diberikan bicnat oral.
- Saat pemberian HD-MTX
Berikan alkalinisasi urine dengan cara memberikan cairan hidrasi 2-3 L/m2/24
jam ditambah bicnat 40 meq/L selama 4 jam sehingga pH urine dibawah 8.
Pemberian HD-MTX- selama 24 jam, kemudian hidrasi dilanjutkan selama 24
jam, Leucovorin (injeksi/oral) diberikan 42 jam sejak dimulainyaHD-MTX,
diberikan selama 2 hari berturut-turut setiap 6 jam. Tanda-tanda toksisitas:
30
ulkus pada mulut (oral ulcer), toksisitas pada ginjal, toksisitas pada liver ( >5x
normal transaminase), atau infeksi, dan pemberian tambahan 3 dosis tiap 6 jam.
cotrimoksazol oral sementara dihentikan pada saat pemberian HD-MTX.
Jika muncul efek samping yang berat (uncontrolled side effect), seperti gagal
liver, gagal ginjal, atau gangguan neurologi, pemberian HD-MTX dan
semuanya ditunda.
Hindri pemberian cotrimoksazol, obat anti inflamasi non steroid (NSAID), dan
penisilin bersamaan dengan HD-MTX. Leucovorin diberikan 15 mg/m2 iv
pada 42,48, dan 54 jam setelah dimulainya HD-MTX.
Pemberian 6-MP dan MTX p.o seharusnya dengan dosis yang maksimal dapat
ditoleransi. Diberi 1 kali sehari (dosis tunggal) terutama dimalam hari saat
perut kosong (setidaknya 30 menit sebelum atau 60 menit setelah makan
malam) dan bukan dengan susu. Pemeriksaan fungsi hati selama pemeliharaan
sebaiknya dilakukan setiap 3 bulan.
Metotreksat (MTX) triple drug intrathecal.
- Diberikan 3 kali dalam fase induksi : hari ke 1, 14, dan 28
31
Gambar Protokol Fase Konsolidasi ALL Risiko Biasa (Indonesian Childhood ALL,
2013)
Gambar 2.9 Protokol Fase Konsolidasi ALL Risiko Tinggi (Indonesian Childhood
ALL, 2013)
3. Intensifikasi
Pemberian Citarabin secara IV bolus 3x seminggu berturut-turut.
Prednison (PRED)
32
- Diberikan sesudah makan dengan dosis 40 mg/m2 selama 4 minggu. Setelah 4
minggu (akhir minggu ke 16) dosis harus diturunkan setiap 3 hari menjadi
separuh dosis sebelumnya, dan berhenti pada akhir minggu ke 17.
Vincristine
- Dosis 1,5 mg/m2 (dosis mak 2mg) IV pada awal minggu 14,15,16,17 (dalam
10 ml cairan normal saline secara IV pelan dalam 5 menit).
33
Gambar Protokol Fase Intensifikasi ALL Risiko Tinggi (Indonesian
Childhood ALL, 2013)
4. Rumatan (Maintenance)
- Untuk risiko biasa (RB), fase rumatan dimulai pada minggu ke 13 dan berakhir
pada minggu 110, sementara yang risiko tinggi (RT) dimulai minggu ke 18,
dan akan berakhir pada minggu ke 118
- Agar mendapat outcome yang baik , pemberian dosis yang tepat pada fase
rumatan merupakan hal yang esensi. Bergantung pada kondisi sensitifitas anak
terhadap kemoterapi.
- Persyaratan untuk mengawali rumatan.
kondisi umum baik.
tidak ada infeksi.
Hematologi baik, Hb 10 g/dl, minimal hitung ANC 500,
trombosit>50.000/mm3 tidak ada perdarahan.
fungsi hati dan ginjal baik.
6 MP dan MTX
- Pemberian 6-MP dan MTX p.o seharusnya menggunakan dosis maksimal yang
dapat ditoleransi.
- Diberi 1 kali sehari (dosis tunggal) terutama dimalam hari saat perut kosong
(setidaknya 30 menit sebelum atau 60 menit setelah makan malam) dan bukan
dengan susu.
- Pemeriksaan fungsi hati selama pemeliharaan sebaiknya dilakukan setiap 3
bulan. Bila ada indikasi dapat dilakukan setiap saat.
- Disarankan pemberian MTX p.o malam hari. Hentikan pemberian obat ini bila
terjadi kenaikan SGOT/SGPT > 10 kali nilai normalPengobatan dengan MTX
ini juga harus dihentikan bila ada pneumonia.
- Pertahankan jumlah lekosit diantara 2000 - 4000/mm3 pada saat terakhir
pemberian 6-MP.
34
Deksametason
- Selama pemberian deksametason nilai lekosit akan meningkat, itu merupakan
reaksi yang normal. Catatan : bahwa hal tersebut dapat menjadi indikasi untuk
menurunkan ataupun menaikkan dosis.
Gambar 2.11 Protokol Fase Rumatan ALL (Indonesian Childhood ALL, 2013)
Catatan Penting :
- Ajusted dose diatas selalu sama pada kedua jenis obat .
- Pada pengobatan fase rumatan ini, leukopenia (lekosit < 2000/mm3 ) dapat
berkaitan dengan sensitivitas individu terhadap kemoterapi, infeksi, efek
samping cotrimoksazol, atau kondisi relaps hematologi.
- Pada leukopenia persisten , yang tidak disebabkan infeksi atau relaps,
pemberian obat sitostatika lebih diprioritaskan dibandingcotrimoksazol.
Hentikan pemberian cotrimoksazol, bila tidak ada peningkatan lekosit setelah 1
minggu pemberian 6 MP dan MTX.
3.9 Prognosis
35
Berdasarkan faktor prognostik maka pasien dapat digolongkan kedalam kelompok
risiko biasa dan risiko tinggi. Para ahli telah melakukan penelitian dan
membuktikan faktor prognostik itu ada hubungannya dengan in vitro drug
resistance. Faktor prognostik ALL adalah sebagai berikut(Permono & Ugrasena,
2012).
1. Jumlah leukosit awal yaitu pada saat diagnosa ditegakkan, mungkin merupakan
faktor prognosis yang bermakna tinggi. Ditemukan adanya hubungan linier
antara jumlah leukosit awal dan perjalanan pasien ALL pada anak, yaitu bahwa
pasien dengan jumlag leukosit >50.000 ul mempunyai prognosis yang buruk
2. Ditemukan pula adanya hubungan antara umur pasien saat diagnosis dan hasil
pengobatan. Pasien dengan umur dibawah 18 bulan atau diatas 10 tahun
mempunyai prognosis yang lebih buruk dibandingkan pasien yang berumur
diantara itu.
3. Fenotip imunologis dari limfoblas saat diagnosis juga mempunyai nilai
prognostik. Leukemia sel B (L3 pada klasifikasi FAB) dengan antibodi kappa
dan lambda pada permukaan blas diketahui mempunyai prognosis yang
buruk. Dengan adanya protokol spesifik untuk sel B, prognosisnya semakin
membaik. Sel-T leukemia juga mempunya prognosis yang jelek dan
diperlakukan sebagai risiko tinggi. Dengan terapi intensif, sel T leukemia
murni tanpa faktor prognostik buruk yang lain, mempunyai prognosis yang
sama dengan leukemia sel pre-B. ALL sel T diatasi dengan protokol risiki
tinggi.
4. Nilai prognostik jenis kelamin telah banyak dibahas. Dari berbagai penelitian
sebagian besar menyimpulkan bahwa anak perempuan mempunyai prognosis
yang lebih baik dari anak laki-laki. Hal ini dikatakan karena timbulnya relaps
testis dan kejadian leukemia sel-T yang tinggi, hiperleukositosis dan
organomegali serta massa mediastinum pada anak laki-laki. Penyebab pastinya
belum diketahui, tetapi diketahui pula adanya perbedaan metabolisme
merkaptopurin dan metotreksat.
5. Respons terhadap terapi dapat diiukur dari jumlah sel blas di darah tepi sesudah
1 minggu terapi prednisone dimulai. Adanya sisa sel blas pada sumsum tulang
pada induksi hari ke 7 atau 14 menunjukkan prognosis buruk.
36
6. Kelainan jumlah kromosom juga mempengaruhi prognosis. ALL hiperploid
(>50 kromosom) yang biasa ditemukan pada 25% kasus mempunyai prognosis
yang baik. ALL hipodiploid (3-5%) memiliki prognosis intermediate seperti
t(1;19)
37
BAB 4
PEMBAHASAN
TEORI KASUS
ANAMNESIS
Leukemia limfoblastik akut Usia 2 tahun 7 bulan
merupakan jenis leukemia yang Jenis kelamin laki-laki
paling sering didapatkan pada anak Tidak memiliki riwayat
usia 1-5 tahun. keluarga dengan penyakit
Insiden rate untuk seluruh jenis serupa
leukemia lebih tinggi pada laki-laki Tidak bisa berjalan
dibanding perempuan
Demam
Faktor Genetik.Riwayat keluarga
Pucat, biru-biru di badan
positif leukemia berisiko untuk
menderita ALL kemungkinan 3,75
kali memiliki riwayat keluarga
positif leukemia dibandingkan
dengan orang yang tidak menderita
leukemia.
Lebih dari sepertiga pasien muncul
dengan gejala pincang, nyeri tulang,
atralgia.
Sering demam dan mengalami
infeksi.
PEMERIKSAAN FISIK
38
- Anemia (mudah lelah, letargi, T:36,1 Nadi 117x/i kuat angkat
pusing, sesak, nyeri dada), RR 28 x/i, Anemis (-/-), ikterik (-/-),
- Sering demam dan mengalami sianosis (-), Rhonli (-/-), Wheezing
infeksi (-/-), BU(+)N, NT(-), organomegali
- Infeksi dan perdarahan. (-) distensi (-)
- Tampak biru-biru di beberapa
bagian tubuh, bintik-bintik merah,
mimisan, serta gusi berdarah.
- Nyeri tulang dan sendi bisa
dijumpai terutama pada sternum,
tibia dan femur
- Kelemahan tungkai kaki dan tangan
- Organomegali (splenomegali dan
hepatomegali)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
DIAGNOSIS
39
tampak pucat. Pasien juga sempat
beberapa kali mengalami
pendarahan gusi. Di rumah sakit
daerah, pasien dilakukan
pemeriksaan darah dan
menunjukkan kesan leukemia.
Pasien kemudian dirujuk ke RSUD
AWS. Di RSUD AWS, pasien
dilakukan BMP dan ditemukan hasil
ALL-L3.
PENATALAKSANAAN
40
BAB 5
PENUTUP
41
DAFTAR PUSTAKA
Hassan, R., & Alatas, H. (2007). Ilmu Kesehatan Anak (11 ed., Vol. 1). Jakarta:
FKUI.
V, D. C., Rizzari, C., Sala, A., Chiesa, R., Citterio, M., & Biondi, P. (2005). Acute
lymphoblastic Leukemia. Orphanet , 1-13.
42