Anda di halaman 1dari 26

ILMU PENYAKIT KULIT & KELAMIN REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN 16 SEPTEMBER 2016


UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

REFERAT
PEMFIGUS VULGARIS

DISUSUN OLEH:
Rizna Ainun Budiman
111 2015 2229

SUPERVISOR PEMBIMBING:
dr. Soraya Syakib, Sp.KK

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2016

1
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL .........................................................................................


i
HALAMAN PENGESAHAN ..............................................................................
ii
DAFTAR ISI .........................................................................................................
iii

REFERAT
Pemfigus Vulgaris
I.Definisi Pemfigus Vulgaris.................................................................................
1
II.Epidemiologi Pemfigus Vulgaris ......................................................................
2
III.Etiologi Pemfigus Vulgaris...............................................................................
2
IV.Patomekanisme Pemfigus Vulgaris..................................................................
3
V.Gejala Klinis ......................................................................................................
5
Effloresensi.....................................................................................................
5
Histopatologi ..................................................................................................
7
Imunologi.. .....................................................................................................
8
Serologi..........................................................................................................
8
Pemeriksaan Darah, Urin dan Feses rutin......................................................
9
VI. Diferential Diagnosis.......................................................................................

2
9
VI. Penatalaksanaan .............................................................................................
11
Prognosis ...............................................................................................................
22
DAFTARPUSTAKA.............................................................................................
23

PEMFIGUS VULGARIS

I. DEFINISI
Pemfhigus berasal dari bahsa yunani yaitu dari kata pemphix yang

artinya gelembung atau bula. Pemfigus ialah kumpulan penyakit kulit

autoimun bula kronik,menyerang kulit dan membrana mukosa yang secara

histologik ditandai dengan ditemukannya antibodi IgG yang bersirkulasi dan

terikat pada permukaan sel keratinosit,yang menyebabkan timbulnya reaksi

pemisahan sel-sel epidermis diakibatkan karena tidak adanya kohesi antara

sel-sel epidermis, proses ini disebut akantolisis. Terdapat 4 bentuk pemfigus

ialah pemfigus vulgaris,pemfigus eritematous,pemfigus follaseus,pemfigus

vegetans.

Susunan tersebut sesuai dengan insidensnya.menurut letak celah

pemfigus dibagi menjadi dua.


a. Di suprabasal ialah pemfigus vulgaris dan variannya pemfigus vegetans

3
b. Di stratum granulosum ialah pemfigus follaseus dan variannya pemfigus

eritematous.1,2,3,4,5

II. EPIDEMIOLOGI
Pemfigus vulgaris (P.V.) merupakan bentuk yang tersering dijumpai (

80% semua kasus). Penyakit ini tersebar di seluruh dunia dan dapat mengenai

semua bangsa dan ras. Lebih umum pada orang-orang Yahudi dan orang-

orang dari keturunan Mediterania. Di Yerusalem kejadian diperkirakan 16 per

juta, sedangkan di Perancis dan Jerman itu adalah 1,3 per juta. Frekuensinya

pada kedua jenis kelamin sama. Umumnya mengenai usia 40-60 tahun , tetapi

dapat juga mengenai semua umur, termasuk anak. 1,4

III. ETIOLOGI
Pemfigus ialah penyakit autoimun, karena pada serum penderita

ditemukan autoantibodi, juga dapat disebabkan oleh obat (drug-

inducedpemphigus), misalnya D-penisilamin dan kaptopril.Pemfigus yang

diinduksi oleh obat dapat berbentuk pemfigusfoliaseus (termasuk

pemfiguseritematosus) atau pemfigus vulgaris.Pemfigus foliaseus lebih sering

timbul dibandingkan dengan pemfigus vulgaris. 1


Pada pemfigus tersebut, secara klinis dan histologik menyerupai

pemfigus yang sporadik, pemeriksaan imunofluoresensi langsung pada

kebanyakan kasus positif, sedangkan pemeriksaan imunofluoresensi tidak

4
langsung hanya kira-kira 70% yang positif. Pemfigus dapat menyertai

penyakit neoplas-ma, baik yang jinak maupun yang maligna, dan disebut

sebagai pemfigu sparaneoplastik. Pemfigus juga dapat ditemukan bersama-

sama dengan penyakit autoimun yang lain, misalnya lupus eritematosus

sistemik, pemfigoidbulosa, miastenia gravis, dan anemia pernisiosa. 1

Penyebab pasti pemphigus vulgaris tidak diketahui, dimana terjadinya

antibody IgG, beberapa faktor potensial yang relevan yaitu:

1. Faktor genetik: molekul major histocompability complex (MHC) kelas II

berhubungan dengan human leukocyte antigen DR4 dan human leukocyte

antigen DRw6
2. Pemphigus sering terdapat pada pasien dengan penyakit autoimun yang

lain, terutama pada myastenia gravis dan tymoma.


3. D-penicillamine dan captopril dilaporkan dapat menginduksi terjadinya
pemphigus (jarang).2,3,4,6

IV. PATOGENESIS
Semua bentuk pemfigus mempunyai sifat sangat khas, yakni:
1. Hilangnya kohesi sel-sel epidermis (akanto-lisis).
2. Adanya antibody IgG terhadap antigen deter-minan yang ada pada

permukaan keratinosit yang sedang berdiferensiasi.

Antibodi IgG mengikat pemphigus vulgaris antigen yaitu desmoglien 3

pada permukaan sel keratinosit, mengakibatkan terbentuk dan dilepaskannya

plasminongen activator sehingga merubah plasminongen menjadi plasmin .

Plasmin yang terbentuk menyebabkan kerusakan desmosom sehingga terjadi

5
penarikan tonofilamin dari sitoplasma keratinosit,akibatnya terjadi pemisahan

sel-sel keratinosit (tidak ada kohesi antar sel) proses ini disebut akantolisis.

Kemudian terbentuklah celah suprabasal dan akhirnya terbentuk bula yang

sebenranya.

Bula pada P.V. akibat terjadinya reaksi autoimun terhadap antigen P.V.

Antigen ini merupakan trans membrane glikoprotein dengan berat molekul

160 kD untuk pemfigusfoliaesus dan berat molekul 130 kD untuk pemfigu

svulgaris yang terdapat pada permukaan sel keratinosit.

Target antigen pada P.V. yang hanya dengan lesi oral ialah desmoglein

3, sedangkan yang dengan lesi oral dan kulit ialah desmoglein 1 dan 3.

Sedangkan pada pemfigus foliaseus target antigennya ialah desmoglein 1.

Desmoglein ialah salah satu komponen desmosom. Komponen yang

lain, misalnya desmo-plakin, plakoglobin, dan desmokolin. Fungsi des-

mosom ialah meningkatkan kekuatan mekanik epitel gepeng beriapis yang

terdapat pada kulit dan mukosa.1,2,4,7

V. GAMBARAN KLINIS
Keadaan umum penderita umumnya buruk
Membran mukosa
Lesi pada pemphigus vulgaris pertama kali berkembang pada

membrane mukosa terutama pada mulut, yang erdapat 50-70% pasien.

Bula yan utuh jarang ditemukan di mulut disebabkan bula mudah

pecah dan dapat timbul erosi.


Pada umumnya erosi terdapat pada buccal, ginggiva, palatum,

6
dengan bentuk yang tidak teratur, sakit dan lambat untuk menyembuh.

Erosi dapat daptmeluas ke laring yang menyebabkan sakit

tenggorokan dan pasien kesulitan untuk makan ataupun minum.

Permukaan mukosa lain yang terlibat yaitu konjungtiva,esophagus,

labia, vagina,serviks, penis, uretra, dan anus.

Gambar 1. Pemphigus vulgaris. Erosions in mouth. (Courtesy of Dr R.J.

Pye, Addenbrookes Hospital, Cambridge, UK.)

Kulit
Kelainan kulit dapat bersifat lokal maupun generalisata, terasa

panas, sakit tanpa disertai pruritus dan tempat predileksinya adalah

badan, umbilicus, kulit kepala, wajah,ketiak dan daerah tekanan serta

lipatan paha.
Timbul pertama kali berupa bula yang lembek (berdinding

kendur) berisi cairan jernih pada kulit normal dengan dasr eritematous.

Bula mudah pecah dan yang utuh jarang didapatkan disebabkan atap

bula yang terdiri dari sebagian kecil bagian atas epidermis. Kemudian

dapat timbul erosi yang nyeri, mudah berdarah dan cenderung meluas.

7
Kemudian erosi teresut akan ditutupi oleh krusta. Lesi yang

menyembuh meninggalkan daerah hiperpigmentasi tanpa jaringan

parut.

Gambar 2. Pemfigus vulgaris. Erosi luas akibat lepuh pada kulit

Pada bula yang aktif dapat ditemukan Nikolsky sign yang

mengambarkan tidak adanya kohesi antara sel-sel epidermis yaitu

dengan cara:
a. Menekan dan menggeser kulit diantara dua bula dengan

ujung jari, mengakibatkan kulit yang terlihat normal akan

terkelupas
b. Menekan diatas bula dengan ujung jari, akibatnya cairan

bula kan melebar dari tempat penekanan disebut bula

spread phenomenon.1,2,4,5,8

8
Gambar 3.

Bula flaksid pada pemfigus Vulgaris

HISTOPATOLOGI
Pada gambaran histopatologik didapatkan bula intraepldermal suprabasal dan

sel-sel epitel yang mengalami akantolisis pada dasar bula yang menyebabkan

percobaan Tzanck positif.Percobaan ini berguna untuk menentukan adanya

sel-sel akan tolitik, tetapi bukan diagnostik pasti untuk penyakit

pemfigus.Pada pemeriksaan dengan menggunakan mikroskop elektron dapat

diketahui bahwa permulaan perubahan patologik ialah perlunakan segmen

interselular.Juga dapat dilihat perusakan desmosomdan tonofilamen sebagai

peristiwa sekunder.1

IMUNOLOGI

Pada tes imunofloresensi langsung didapatkan antibody interselular

tipe IgG dan C3.



Pada tes imunofloresensi tidak langsung didapatkan antibody

pemfigus tipe IgG.9,10

Tes yang pertama lebih terpercaya daripada tes kedua, karena

9
telah menjadi positif pada permulaan penyakit, sering sebelum tes

kedua menjadi positif, dan tetap positif pada waktu yang lama

meskipun penyakitnya telah membaik. Antibodipemfigus ini rupanya

sangat spesi-fik untuk pemfigus. Kadar titemya umumnya sejajar

dengan beratnya penyakit dan akan menurun dan menghilang dengan

pengobatan kortikosteroid.1

SEROLOGIK

Kadar IgG didalam serum meningkat (titer IgG,autoantibodi terhadap

desmoglein 3 biasanya berkorelasi dengan aktifitas penyakit; oleh karenanya

respon klinis dapat dimonitor dengan titer antibodi).1

PEMERIKSAAN DARAH,URIN,FESES RUTIN

Pada pemberian kortikosteroid jangka panjang perlu diperiksa fungsi ginjal

dan fungsi hati,kadar gula darah puasa dan 2 jam setelah makan serta reduksi

urin,pada pemberian terapi anjuvan azathioprine perlu diperiksa kadar TPMT (

Thiopurine methyl-transferase ).5

VI. DIAGNOSIS BANDING 1,4

10
Pemfigoid bulosa
Pemfigoid bulosa berbeda dengan pemfigus vulgaris karena keadaan

umumnya baik, dinding bula tegang, letaknya di subepidermal, dan

terdapat IgG linear. Bula-bula ini sering timbul pada daerah andomen

bagian bawah, bagian paha depan atau paha atas, dan fleksor lengan

atas.

Gambar 4.Pemfigus bulosa

Dermatitis Herpetiformis
Dermatitis

herpetiformisdapat mengenai anak dan dewasa, keadaan umumnya

baik, keluhannya sangat gatal, ruampolimorf, dinding vesiket/bula

tegang dan berkelompok, dan mempunyai tempat predileksi.

Sebaliknya pemfigus terutama terdapat pada orang dewasa, keadaan

umumnya buruk, tidak gatal, bulaberdindingkendur, dan biasanya

generalisata, Pada gambaran histopatologik dermatitis herpetiformis,

letak vesikel/ bula di subepidermal, sedangkan pada pemfigus vulgaris

terletak di intraepidermal dan terdapat akantolisis. Pemeriksaan

imunofluoresensi pada pemfigus menunjukkan IgG yang terletak intra

epidermal, sedangkan pada dermatitis herpetiformis terdapat IgA

berbentuk granular intra-papilar.

11
Gambar 5. Dermatitis

Herpetiformis

VII. PENATALAKSANAAN 1,3,4,11,

Obat utama ialah kortikosteroid karena bersifat imunosupresif. Yang

sering digunakan ialah prednison dan deksametason. Dosis prednison

bervariasi bergantung pada berat ringannya penyakit, yakni 60 -150 mg sehari.

Ada pula yang menggunakan 3 mg/kgBB sehari bagi pemfigus yang berat.

Pada dosis yang tinggi sebaiknya diberikan deksametasoni.m. atau i.v. sesuai

dengan ekuivalennya karena lebih praktis. Keseimbangan cairan dan

gangguan etektrolit diperhatikan,

Jika belum ada perbaikan, yang berarti masih timbul lesi baru setelah

5-7 hari dengan dosis inisial, maka dosis dinaikkan 50%.Kalau telah ada

perbaikan dosis diturunkan secara bertahap.Biasanya setiap 5-7 hari kami

12
turunkan 10-20 mg ekuivalen prednison tergantung pada respons masing-

masing, jadi bersifat individual.Cara yang terbaik ialah memantau titer

antibody karena antibodi tersebut menunjukkan keaktivan penyakit. Jika

titernya stabil, penurunan dosis lambat. Dan bila titernya menurun, penurunan

dosis lebih cepat.

Jika pemberian prednison melebihi 40 mg sehari harus disertai

antibiotik untuk mencegah infeksi sekunder. Bila telah tercapai dosis

pemeliharaan, untuk mengurangi efek samping kortikosteroid, obat diberikan

sebagai dosis tunggal pada pagi hari jam 8. Alasannya pada waktu tersebut

kadar kortisol dalam darah paling tinggi. Sebaiknya obat diberikan selang

sehari, diharapkan pada waktu bebas obat tidak terjadi penekanan terhadap

kelenjar adrenal bagian korteks. Keburukannya pada hari bebas obat timbul

lesi baru.

Perdebatan yang sering ialah menyangkut apakah akan memulai

dengan rendah atau tinggi dosis kortikosteroid. Pedoman oleh EDF (Eropa

Dermatology Forum) dan Eropa Academy of Dermatology dan Kelamin

merekomendasikan dosis prednisolon awal pada 0,5 mg-1,5 mg/kgBB/hari

dan jika pengendalian penyakit tidak tercapai dalam waktu 2 minggu,

prednisolon dosis yang lebih tinggi (sampai 2 mg/kgBB) bisa diberikan. Dosis

optimal belum divalidasi. Sebuah uji coba terkontrol menunjukkan tidak ada

perbedaan yang signifikan mengenai durasi remisi dan tingkat kambuh pada 5

13
tahun pada pasien diacak untuk pengobatan dengan baik dosis rendah

prednisolon oral (1 mg/kgBB/hari) atau dosis tinggi prednisolon oral (2,0-2,5

mg/kgBB/hari). Setelah remisi diinduksi dan dipelihara dengan penyembuhan

mayoritas lesi, dosis dapat meruncing dengan 25%. Pengurangan dapat

dilakukan setiap dua minggu dengan penurunan lebih lambat ketika dosis di

bawah 20 mg / d tercapai.

Untuk mengurangi efek samping kortikosteroid dapat dikombinasikan

dengan ajuvan yang terkuat ialah sitostatik. Efek samping kortikosteroid yang

berat atrofi kelenjar adrenal bagian korteks, ulkuspeptikum, dan osteoporosis

yang dapat menye-babkan fraktur kolumnavertebre pars lumbalis.

Tentang penggunaan sitostatik sebagai ajuvan pada pengobatan

pemfigus terdapat dua pendapat:

1. Sejak mula diberikan bersama-sama dengan kortikosteroid sistemik.

Maksudnya agar dosis kortikosteroid tidak terlampau tinggi sehingga

efek sampingnya lebih sedikit.


2. Sitostatik diberikan, bila :
a. Kortikosteroid sistemik dosis tinggi kurang memberi respons.
b. Terdapat kontraindikasi, misalnya ulkuspeptikum, diabetes

melitus, katarak, dan osteoporosis,


c. Penurunan dosis pada saat telah terjadi perbaikan tidak seperti

yang diharapkan.

14
Sitostatik merupakan ajuvan vang terkuat karena bersifat imunosupresif.

Obat sitostatik untuk pemfigus ialah azatioprin, siklofosfamid, metrotreksat,

dan mikofenolatmofetil.

a. Azitropin

Obat yang lazim digunakan ialah azatioprin karena cukup bermanfaat dan

tidak begitu toksik seperti siklofosfamid, Dosisnya 50-150 mg sehari atau 1-3

mg per kgBB. Obat-obat sitostatik sebaiknya diberikan, jika dosis prednison

mencapai 60 mg sehari untuk mencegah sepsis dan bronkopneumonia.

Hendaknya diingat bahwa efek terapeutik azatioprin baru terjadi setelah 2-4

minggu.Jika telah tampak perbaikan dosis prednisone ditunjukkan lebih

dahulu, kemudian dosis azatioprin diturunkan secara bertahap. Efek

sampingnya di antaranya menekan sistem hematopoietik dan bersifat

hepatotoksik. Manfaat utama dari azathioprine adjuvant adalah efek steroid-

sparing nya. Azathioprine telah dilaporkan memerlukan lebih rendah dosis

kortikosteroid kumulatif untuk remisi, dengan beberapa peneliti melaporkan

superior steroid-sparing efek bila dibandingkan dengan MMF dan

siklofosfamid, sementara yang lain menyimpulkan bahwa siklofosfamid

unggul. efek samping dari pengobatan azathioprine ajuvan menurun jika

dibandingkan dengan monoterapi steroid tanpa kompromi dalam tingkat

remisi klinis.

15
b. Siklofosfamid

Siklofosfamid sebenamya merupakan obat yang paling poten.tetapi

karena efek sampingnya berat kurang dianjurkan. Dosisnya 50-100 mg

sehari.Efek terapeutik siklofosfamid masih sedikit setelah pemberian beberapa

jam, efek maksimum baru terjadi setelah 6 minggu.Efek samping yang utama

ialah toksisitas saluran kemih berupa sistitis hemoragik, dapat pula

menyebabkan sterilitas.

Produk metabolisms siklofosfamid yang bersifat sitotoksik di ekskresi

melalui urin, oleh karena itu penderita dianjurkan agar banyak minum.Gejala

toksik dini pada vesikaurinana ialah diuria, didapati pada 20% penderita yang

mendapat-obat tersebut dalam jangka waktu lama.

Jika mikroskopik terdapat hematuria hendaknya obat dihentikan

sementara atau diganti dengan obat sitotoksik yang lain. Obat yang dapat

mencegah terjadinya sistitishemoragik ialah mesna, biasanya dosisnya 20%

dosis siklofosfamid sehari, i.v., diberikan tiga kali sehari selang 4 jam, dosis I

diberikan bersama-sama dengan siklofosfamid.

c. Metotreksat

Metotreksat jarang digunakan karena kurang bermanfaat.Dosisnya 25 mg

per minggu i.m. atau per os. Mikrofenolatmofetil dikatakan lebih efektif

16
daripada azatioprin.sedangkan efek toksiknyalebih sedikit. Dosisnya 2 x 1 g

sehari.

d. Mycophenolate Mofetil

MMF adalah agen steroid-sparing aman. Hal ini dianggap sebagai lini

pertama adjuvant immunosuppressant sesuai dengan pedoman EDF (Europa

Dermatology Forum). Dosis optimal tergantung dengan dosis 2g /hari

dianjurkan untuk pasien rata-rata 75 kg berat badan. Peningkatan dosis

progresif dengan 500 mg / minggu sampai dosis akhir dari 2 g / d telah

diusulkan untuk menghindari efek samping gastrointestinal. 1 Khasiat

diperdebatkan. Dalam RCT baru-baru ini, MMF (2 atau 3 g/hari ) ditambah

CSS oral tidak ditemukan unggul bila dibandingkan dengan CSS lisan dan

plasebo pada pasien dengan PV ringan atau sedang. Titik akhir primer pasien

menanggapi pengobatan. 27 peneliti lain juga melaporkan tidak ada manfaat

klinis menggunakan MMF adjuvant untuk steroid pada pasien dengan PV.

MMF dalam kombinasi dengan prednisolon tampaknya memiliki peran

menguntungkan lebih menonjol pada pasien dengan kambuh dari PV.

e. Dapson

Dapson dianjurkan dalam dosis 100 mg / hari atau sampai dengan 1.5

mg / kg / hari sebagai agen steroid-sparing. 3 Sebuah RCT dilaporkan

keunggulan dapson atas plasebo sebagai agen steroid-sparing ketika titik akhir

primer adalah untuk lancip prednisolon untuk 7.5 mg / d. Namun, dapson

17
tidak menunjukkan manfaat apapun pada remisi penyakit. Sebelum memulai

terapi dengan dapson, aktivitas G6PD serum harus diuji.

f. Rituximab

Rituximab adalah anti-CD20 monoklonal antibodi manusiawi dengan

potensi untuk mengurangi desmoglein autoantibodi dan selektif menguras sel

B. 35 - 37 rituximab diindikasikan pada pasien yang tetap tergantung pada

lebih dari 10 mg prednisolon dikombinasikan dengan adjuvant imunosupresif

sesuai dengan EDF. Jadwal administrasi dalam literatur adalah baik 1.000 mg

IV setiap 2 minggu atau 375 mg / m 2 setiap minggu. 38 - 44 Dosis yang sama

dapat diberikan lagi dalam kasus relaps klinis. Sebuah meta-analisis dari

pengobatan dengan rituximab pada pemfigus parah menunjukkan remisi pada

sekitar 95% dari total pasien. 35 infus profilaksis setelah remisi lengkap

tampaknya tidak memberikan manfaat tambahan. 42 Insiden infeksi serius

adalah 3,9% menggunakan protokol mingguan tapi 15.21% dalam protokol

dua mingguan. 45 namun, kejadian infeksi yang fatal yang tak terduga seperti

PML tidak dapat diperkirakan karena kelangkaan penyakit tersebut. 3

bersamaan antibiotik jangka panjang dan profilaksis untuk virus herpes telah

terbukti secara drastis mengurangi tingkat infeksi. 42 rituximab tidak

menghilangkan kebutuhan untuk steroid atau agen imunosupresif, dan

sebagian besar pasien dalam penelitian yang diterbitkan lakukan

menggunakan terapi tersebut bersama dengan rituximab. 35 Sebelum memulai

18
pengobatan, dokter harus memiliki tujuan tertentu dan titik akhir. Mereka juga

harus menyadari potensi efek samping dan kurangnya informasi tentang efek

jangka panjang. Pasien harus dimonitor selama dan setelah terapi.

Ajuvanlain yang tidak begitu poten ialah yang bersifat anti-inflamasi

yakni emas, Diaminodifenilsulfon(D.D.S.), antimalaria, dan minosiklin.

Tentang emas tidak akan diuraikan karena preparatnyatidak ada di Indonesia.

Dosis D.D.S. 100-300 mg sehari, dicoba dahulu dengan dosis rendah.Tentang

efek sampingnya lihat "pengobatan dermatitis herpetiformis".Antimalaria

yang sering digunakan ialah klorokuin dengan dosis 2 x 200 mg sehari.Efek

sampingnya yang berat ialah retinopati yang dapat terjadi setelah dosis

kumulatif 100 g. Tentang pengobatan kombinasi nikotinamid dan tetrasiklin

lihat pengobatan pemfigoidbulosa.Minosiklin digunakan dengan dosis 2 x 50

mg sehari.

Akhir-akhir ini berdasarkan pertimbangan risk and benefit kami lebih

sering menggunakan D.D.S. sebagai ajuvan. Meskipun khasiatnya tidak

sekuat sitostatik, namun efek sampingnya jauh lebih sedikit dan hasilnya

cukup baik.Dosisnya100 mg atau 200 mg. Bila digunakan 100 mg tidak

periudipenksa G6PD sebelumnya, karena dosis itu dipakai sebagai pengobatan

lepra, umum-nya tanpa efek samping. Tetapi, bila dengan dosis 200 mg hams

dipenksa G6PD sebelumnya.

19
Pengobatan topikal sebenarnya tidak sepenting pengobatan sistemik.Pada

daerah yang erosif dapat diberikan silver sulfadiazine, yang berfungsi sebagai

antiseptik dan astringen.Pada lesipemfigus yang sedikit dapat diobati dengan

kortikosteroid secara intralesi (intradermal) dengan triamsinolonasetonid.1

Sebagai mana juga didalam buku Fitzpatrick's menjelaskan pengobatannya

seperti dibawah ini :

1. Medikamentosa

Glukokortiroid, 2-3 mg/KgBB prednison sampai penghentian pembentukan

lepuhan baru dan hilangnya tanda Nikolsky. Kemudian pengurangan dengan

cepat untuk sekitar setengah dosis awal sampai pasien hampir bersih, diikuti

dengan tappering dosis dengan sangat lambat untuk meminimalkan

keefektifitasan dari dosis.

Terapi imunosupresif yang bersamaan. Agen imunosupresif diberikan

bersamaan untuk mengurangi efek glukokortikoid.clorambucil 0,1-0,2 mg/kg

hari,cyclosporin 5,0-7,5 mg/kg hari,mycophenolate mofetil 2,0 gr hari.

20
Azathioprine, 2-3 mg/KgBB sampai pembersihan lengkap. Tapering dosis

hingga 1mg/KgBB. Pemberian dengan hanya azathioprinedilanjutkan bahkan

setelah penghentian pengobatan glukokortikoid dan mungkin harus

dilanjutkan selama berbulan-bulan.

Methotrexate, Baik secara oral (PO) atau IM dengan dosis 2535 mg/minggu.

Dosis penyesuaian dibuat seperti azathioprine.

Cyclophosphamide, 100-200 mg/sehari, dengan pengurangan dosis 50100

mg/sehari. Atau terapi cyclophosphamide "bolus" dengan 1000 mg IV

seminggu sekali atau setiap 2 minggu di tahap awal, sebagai perbaikan diikuti

oleh 50-100 mg/d PO.

Plasmapheresis, dalam hubungannya dengan glukokortikoid dan agen

imunosupresif pada pasien kurang terkontrol, pada tahap awal pengobatann

untuk mengurangi titer antibodi. Plasmaphresis dengan iklosporin atau

siklosposfamid dan fotoforesis ekstrakorporal terkadang juga telah diteliti

dapat berguna.

21
Gold therapy, untuk kasus-kasus ringan. Setelah pengujian awal dosis 10 mg

IM, 25 sampai 50 mg gold natrium thiomalate diberikan IM , interval per

minggu dengan dosis kumulatif maksimum 1 gr.

Dosis tinggi imunoglobulin intravena (HIVIg) (2 g/KgBB setiap 3-4 minggu)

telah dilaporkan memiliki efek sparing glukokortikoid.3,11

2. Non Medikamentosa

Penjelasan kepada pasien dan/atau keluaraga mengenai

penyakit,terapi,serta prognosis.memberi edukasi cara merawat

lepuh,menghindari pengunaan obat-obat tanpa sepengatahuan dokter.4

Tindak lanjut:

1. Pemantauan keadaan umum : bila dirawat dilakukan setiap hari,bila

berobat jalan 1 x seminggu atau bergantung kondisi pasien.

2. Pemantauan IgG dalam serum

3. Pemantauan efek samping terapi kortikosteroid atau sitostatik jangka

panjang.

22
4. Kerja sama dengan bagian penyakit dalam,alergi-imunulogi,dan

departemen lain yang terkait.4

Langkah langkah mengontrol terapi pada pemfigus Vulgaris:12

1. Mulai turunkan dosis steroid secepat mungkin setelah klinisnya membaik.


2. 25% pasien menurunkan prednisolon setiap 2 minggu. Ketika pasien

mencapai dosis <20 mg, turunkan perlahan-lahan. Penurunan 5 mg setiap

4 minggu cocok untuk sebagian besar pasien.


3. Jika kurang dari 3 lesi muncul kembali selama tapering off terapi CS oral,

tingkatkan dosis ke dosis efektif yang terakhir bagi pasien.


4. Jika pasien datang dengan kekambuhan (> 3 lesi), kembali tingkatkan

terapi CS oral, kembali ke dua langkah dosis sebelumnya sampai kontrol

dari lesi dicapai. Selanjutnya, mulai ulang tapering off steroid sistemik.

Jika Anda tidak dapat memperoleh pengendalian penyakit, kembali ke

dosis awal.
5. Jika CSS oral diberikan sebagai monoterapi, tambahkan

immunosuppressant.
6. jika CSS oral sudah dikombinasikan dengan imunosupresan,

pertimbangkan untuk mengganti lini pertama imunosupresan oleh yang

lain atau penggunaan imunosupresan lini kedua termasuk

immunoadsorption, IVIG, atau rituximab.


7. Pantau pasien untuk efek samping, dan ingat bahwa terapi imunosupresif

berkepanjangan meningkatkan risiko efek samping.


8. Jika Anda dapat memantau titer antibodi anti-DSg, ingat bahwa tingginya

anti-Dsg1 menandakan bahwa kemungkinan positif terjadinya

kekambuhan pada kulit, sedangkan persistensi anti-Dsg3 IgG tidak selalu

23
menunjukkan kekambuhan pada mukosa.
VIII. PROGNOSIS
Sebelum kortikosteroid digunakan, maka kematian terjadi pada 50% penderita

dalam tahun pertama.Sebab kematian ialah sepsis, kakeksia, dan

ketidakseimbangan elektrolit. Pengobatan dengan kortikosteroid membuat

prognosisnya lebih baik.1

DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda, adhi Prof.Dr.dr.Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Edisi Keenam.

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.2010;204-08.


2. Burton JL, Rook, Immunobullous Disease in: Textbook of Dermatology, vol

2, 8th edition, Blackwell Science, 2010: 1895-03.


3. Domonkos AN, Amold HN, Odom RD, Chronik Blistering Dermatoses in

Andrews Disease of the Skin,7th edition, Philadelphia, W.B. Saunderes

Company,2000: 574-79
4. Stanley JR. Pemfigus. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA,

Paller AS, Leffell DJ (eds). Fitzpatrick's dermatology in general medicine

(two vol. set). 7th ed. New York: McGraw-Hill; 2008: 459-74
5. Habif TP, ed. Clinical dermatology: a color guide to diagnosis and therapy.

4th edition. Mosby.2003;568


6. Anhalt GJ, Pemphigus Vulgaris and the Phempigus Disease Spektrum In

Cutaneus Medicine And Surgery, vol 2A, W.B. Saunders Company,1996: 651-

55
7. Moshella SL, Autoimun Bullous Disease in Textbook of Dermatology, vol 2,

2ndedition, New York, W.B.Saunders Company,1992 :656-63.

24
8. Kariosentono H, Epidermolisis Bulosa dalam HarahapM, Penyunting Ilmu

Penyakit Kulit dan Kelamin, Jakarta, Hipokrates, 2000 : 134-37.


9. Lever W.F, Pemphigus Vulgaris, Histopatologi of the skin, 6thedition.

Philadelphia, JB Lipincoth company, 1983 : 104-9.


10. Berglefeld F.W Maichel B, Intraepidermal Vesikular Bullous and Pustuler

Dermatoses, Farmer R. Evan, hood F.A editor in Patology of the Skin, United

State of America, Predice Hall International Inc, 1990 :128-31.


11. Perdoski.panduan pelayanan medis dokter spesialis kulit dan

kelamin.departemen ilmu kesehatan kulit dan kelamin.jakarta 2011.133-34.


12. Stamatis Gregoriou, Ourania Efthymiou, Christina Stefanaki, Dimitris

Rigopoulos. Journal of Management of pemphigus vulgaris: challenges and

solutions.2nd Department of Dermatology and Venereology, University of

Athens Medical School, Attikon Hospital, Athens, Greece. [online] 18

September 2016 [edit] October 2015 available from URL:

https://www.dovepress.com/management-of-pemphigus-vulgaris-challenges-

and-solutions-peer-reviewed-fulltext-article-CCID.

13. Clinical Study.Pemphigus Vulgaris and Infections: A Retrospective Study on

155 Patients. Received 29 March 2013; Revised 19 May 2013; Accepted 2

June 2013. Academic Editor: Jozlio Freire de Carvalho.

14. Alexander H. Enk, MD; Jrgen Knop, MD, PhD. Mycophenolate Is Effective

in the Treatment of Pemphigus Vulgaris . Arch Dermatol. 1999;135(1):54-56.

doi:10.1001/archderm.135.1.54.

25
26

Anda mungkin juga menyukai