Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

Kulit adalah organ tubuh yang terletak paling luar dan membatasinya dari
lingkungan hidup manusia. Kulit merupakan organ yang esensial dan vital yang
sangat kompleks, elastis dan sensitif, bervariasi pada keadaan iklim, umur, seks,
ras, dan juga bergantung pada lokasi tubuh. Kulit manusia tidak bebas hama
(steril) sehingga berbagai penyakit kulit dapat timbul, salah satunya dermatitis.1

Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai respons


terhadap pengaruh faktor eksogen dan atau faktor endogen. Dermatitis terdiri atas
dermatitis kontak, dermatitis atopik, dermatitis numularis, neurodermatitis dan
lain-lain. Dermatitis kontak terbagi atas dua yaitu, dermatitis kontak iritan dan
dermatitis kontak alergi.

Dermatitis kontak alergi adalah dermatitis yang terjadi akibat kontak dengan
bahan alergen, penyakit ini terjadi karena adanya reaksi antara tubuh dengan
bahan alergen yang disebut dengan respon imun. Sistem imun terdiri atas respon
imun humoral dan respon imun seluler. Respon imun inilah yang menjadi dasar
mekanisme terjadinya dermatitis kontak alergi.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai respons
terhadap pengaruh faktor eksogen dan atau faktor endogen, menimbulkan
kelainan klinis berupa efloresensi polimorfik (eritema, edema, papul, vesikel,
skuama, likenifikasi) dan keluhan gatal. Sedangkan, dermatitis kontak adalah
dermatitis yang disebabkan oleh bahan/substansi yang menempel pada kulit.1
Dermatitis Kontak Alergi (DKA) merupakan dermatitis yang terjadi ketika
alergen masuk ke dalam tubuh atau kontak dengan kulit yang sebelumnya peka.
Hal tersebut mengacu pada hipersensitifitas tipe lambat yang disebut juga dengan
hipersensitifitas yang diperantarai sel (Cell-mediated hypersensitivity) atau
imunitas.2
B. ETIOLOGI
Penyebab dermatitis kontak alergi adalah bahan kimia sederhana dengan
berat molekul umumnya rendah (<5000 dalton), merupakan alergen yang belum
diproses, disebut hapten, bersifat lipofilik, sangat reaktif, dapat menembus stratum
korneum sehingga mencapai sel epidermis di bawahnya (sel hidup).1
C. EPIDEMIOLOGI
Bila dibandingkan dengan dermatitis kontak iritan, jumlah penderita
dermatitis kontak alergi lebih sedikit, karena hanya mengenai orang yang keadaan
kulitnya sangat peka (hipersensitif). Diprediksikan bahwa jumlah penderita
dermatitis kontak alergi makin bertambah seiring dengan bertambahnya jumlah
produk yang mengandung bahan kimia yang dipakai oleh masyarakat. Namun
informasi mengenai prevalensi dan insidens dermatitis kontak alergi di
masyarakat sangat sedikit, dahulu diperkirakan bahwa kejadian dermatitis kontak
alergi akibat kerja adalah 20% tetapi data yang diperoleh dari Amerika Serikat
menunjukkan bahwa dermatitis kontak akibat kerja karena alergi ternyata cukup
tinggi yaitu berkisar antara 50-60%. Sedangkan, dari satu penelitian ditemukan
bahwa frekuensi dermatitis kontak alergi bukan akibat kerja tiga kali lebih sering
daripada dermatitis kontak alergi karena kerja.1 Selain itu, dari sebuah penelitian
di Amerika Serikat didapatkan bahwa dermatitis kontak alergi mempengaruhi

2
sekitar 20% dari populasi dewasa dan terdapat lebih dari delapan juta kunjungan
rawat jalan ke dokter ahli kulit per tahunnya.3

Kejadian dermatitis kontak alergi berdasarkan umur yaitu dewasa usia 28-75
tahun, berdasarkan penelitian telah memperlihatkan peningkatan yang cukup
signifikan seiring dengan bertambahnya umur.4 Kelainan alergi kulit pada usia
lanjut dapat timbul akibat kontak dengan alergen tertentu. Dermatitis kontak
alergik (DKA) merupakan salah satu masalah kesehatan yang sering ditemui pada
usia lanjut. Walaupun individu usia lanjut mengalami fenomena
immunosenescence sehingga lebih sulit tersensitisasi pada kondisi eksperimental,
namun individu tersebut telah mendapatkan pajanan alergen selama bertahun-
tahun secara kumulatif. Keadaan sensitisasi akibat pajanan alergen potensial ini
dapat bertahan seumur hidup. Respons alergik yang adekuat pada pajanan
berikutnya dapat berkembang menjadi dermatitis kontak. Hal tersebut
menerangkan beberapa penelitian yang mendapatkan angka kejadian meningkat
pada populasi geriatri.10 Sedangkan, pada beberapa penelitian dilaporkan bahwa
kejadian dermatitis kontak alergi pada wanita didapatkan sebesar 21.8% dan
hanya 12% pada laki-laki, adapun dermatitis kontak alergi untuk bahan allergen
nikel didapatkan 17,1% wanita alergi terhadap nikel dan hanya 3% pada laki-laki.4
Data dari rekam medis Unit Rawat Jalan (URJ) Kesehatan Kulit dan
Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya didapatkan peningkatan jumlah pasien
DKA, dari 1,67% pada tahun 1999-2001 menjadi 5,6% pada tahun 20022005,
dan 7 pasienDK (0,4%) dilakukan uji tempel pada tahun 2002-2005, 6 pasien
diantaranya mempunyai hasil uji tempel positif dan 1 pasien hasil negatif.9
D. PATOFISIOLOGI
Mekanisme terjadinya Dermatitis Kontak Alergi diperankan oleh classic cell
mediated, reaksi hipersensitivitas tipe lambat (tipe IV). Reaksi imunologis ini
merupakan hasil dari paparan dan selanjutnya terjadi sensitisasi pada host yang
rentan secara genetik terhadap alergen, yang pada paparan ulang memicu reaksi
inflamasi yang kompleks. Gambaran klinis yang dihasilkan adalah eritema,
edema, dan papulovesikel, pada daerah yang mengalami kontak dengan alergen,
dan dengan pruritus sebagai gejala utama.4

3
Dengan reaksi seperti itu, seorang individu harus memiliki cukup kontak
dengan bahan kimia yang menimbulkan kepekaan, dan kemudian mengalami
kontak berulang dengan bahan tersebut. Dalam Dermatitis Kontak Alergi, dengan
jumlah alergen yang kecil mampu menimbulkan reaksi alergi. Reaksi ini terdiri
dari 2 tahap, yaitu4:
1. Fase Sensitisasi
Setelah hapten menembus kulit, hapten tersebut akan berikatan dengan
protein di epidermal untuk membentuk kompleks hapten-protein, yang
menghasilkan antigen lengkap. Selanjutnya, antigen presenting sel dari kulit (Sel
Langerhans dan / atau dermal sel dendritik), memakan kompleks hapten-protein
dan diperlihatkan pada permukaannya sebagai molekul HLA-DR. Kemudian
antigen presenting sel tersebut bermigrasi melalui sistem limfatik menuju ke
kelenjar getah bening terdekat di mana ia menyajikan kompleks HLA-DR-antigen
kepada naive antigen-specific T cells.4
Selanjutnya, sel-sel T naif tersebut dan berdiferensiasi menjadi memori
(juga disebut sebagai efektor sel T) yang mengalami ekspansi klonal dan pindah
keluar dari kelenjar getah bening dan masuk ke dalam sirkulasi. Sel T menyebar
melalui system limfatik efferent seluruh tubuh dan berinteraksi dengan sel
Langerhans dan antigen residual di kulit.4
Fase sensitisasi umumnya berlangsung 10-15 hari dan sering asimtomatik.
Paparan antigen selanjutnya (setelah yang pertama), menuju ke fase elisitasi.
Paparan selanjutnya dapat terjadi melalui beberapa rute, termasuk transepidermal,
subkutan, intravena, intramuskular, inhalasi, dan oral.4
2. Fase Elisitasi
Pada fase ini, baik APC dan keratinosit dapat menyajikan antigen dan
menyebabkan rekrutmen sel T hapten-spesifik. Sebagai tanggapan, Sel T
melepaskan sitokin termasuk IFN - dan TNF - , yang akan menambahkan sel
inflamasi lain pada saat yang bersamaan merangsang makrofag dan keratinosit
untuk melepaskan sitokin lebih banyak. Respon inflamasi terjadi dengan monosit
bermigrasi ke daerah yang terkena, menjadi makrofag, dan dengan demikian
menarik sel T lebih banyak.4

4
Pada keadaan proinflamasi lokal menghasilkan gambaran klinis yang klasik
dari peradangan spongiotik (kemerahan, edema, papul dan vesikul, dan hangat).
Pengetahuan terbaru tentang patofisiologi ACD telah menunjukkan peran penting
skin innate immunity dalam proses sensitisasi; meninjau kembali kepercayaan
bahwa sel-sel Langerhans adalah wajib bagi ACD; dan telah membahas alam,
modus , dan situs dari tindakan dari peraturan sel-sel T yang mengontrol
peradangan kulit. pemahaman baru ini dapat memfasilitasi pengembangan strategi
untuk toleransi induksi, serta identifikasi novel target untuk agen farmakologis
untuk pengobatan ACD.4
E. MANIFESTASI KLINIK
Erupsi dimulai pada individu sehari atau 48 jam setelah kontak dengan
alergen; eksposur berulang menyebabkan reaksi crescendo, yaitu, erupsi pada
kulit memburuk. Bagian erupsi terbatas ke bagian yang terpajan alergen. Dengan
phytoallergic (poison ivy), Situs paparan mungkin tidak jelas bagi pasien. Haptens
bisa terpapar pada muka atau penis tanpa langsung kontak.4

Gejala subjektif intenspruritus; dalam reaksi parah juga menyengat dan


terasa sakit. Gejala konstitusional sindrom "penyakit akut", termasuk demam,
tetapi hanya pada dermatitis kontak alergi yang parah (misalnya, poison ivy).
Munculnya lesi kulit dermatitis kontak alergi tergantung pada tingkat keparahan,
lokasi, dan durasi. 4

Penderita umumnya mengeluh gatal. Kelainan kulit bergantung pada


keparahan dermatitis dan lokalisasinya. Pada yang akut dimulai dengan bercak
eritematosa yang berbatas jelas kemudian diikuti edema, papulovesikel, vesikel
atau bula. Vesikel atau bula dapat pecah menimbulkan erosi dan eksudasi (basah).
Ermatitis kontak akut ditempat tertentu, misalnya kelopak mata, penis, skrotum,
eritema, dan edema lebih dominan daripada vesikel. Pada yang kronis terlihat
kering, berskuama, papul, likenifikasi, dan mungkin juga fisur, batasnya tidak
jelas. Kelainan ini sulit dibedakan dengan dermatitis kontak iritan kronis;
mungkin penyebabnya juga campuran. Dermatitis kontak alergi dapat meluas ke
tempat lain, misalnya dengan cara autosensitasi. Skalp, telapak tangan dan kaki
relatif resisten terhadap dermatitis kontak alergi. 1

5
Pasien dengan ACD biasanya hadir dengan dermatitis eczematous. Tangan
dan wajah yang wilayah lokal yang paling umum. Hampir selalu signifikan terkait
pruritus. Jika proses ini akut, ada vesikel dan bula. Jika proses ini kronis, ada
scaling dan likenifikasi. Biasanya, namun tidak selalu, proses ini terbatas pada sit

us paparan kulit. Sistemik dan fotosensitif


ACD kurang umum presentasi ditemui.8

A B
A
Gambar: A. Dermatitis kontak alergi (DKA). Sebuah plak eritematosadengan
vesikel berkembang selama 14 bulan pada anak diikuti dengan penerapan
salep neomycin. B.coretan Linear karena DKA ke poison ivy; perhatikan
pembentukan vesikel dan remah serosa.6

Gambar: Dermatitis kontak alergi (DKA) karna minyak kulit kacang mete. Ini
merupakan pajanan okupasi6

6
Gambar: Dermatitis kontak alergi (DKA). Akut karna krim.6

1. Akut
Eritema berbatas tegas dan edema yang dilapisi jarak yang erat,
vesikel non umbilikasi, dan atau papula, dalam reaksi parah tampak
bula, erosi konfluen memancarkan serum, dan permukaan yang keras.
Reaksi yang sama dapat terjadi setelah beberapa minggu di bagian
yang tidak terkena. 4

Gambar: Dermatitis kontak alergi


(DKA). Bulbos Akut karena poison
ivy. Distribusi ini terlihat pada pasien
yang memakai sarung tangan.6

7
Gambar: Dermatitis kontak alergi
2. Subakut
Eritema (DKA). Karan poison ivy. Selain
ringan menunjukkan
tampak plak berkerak juga tampak
kecil, sisik kering, kadang-
preorbital edema6
kadang dikaitkan dengan
kecil, merah, menunjuk atau
bulat dan papula perusahaan. 4
3. Kronis
Plak lichenifikasi (penebalan
epidermis dengan pendalaman kulit baris dalam pola paralel atau
rhomboidal), pembersihan kerak dengan satelit, kecil, keras, papula
datar atau bulat, ekskoriasi, eritema, dan pigmentasi. 4

Gambar: Dermatitis kontak alergi kronis. Dermatitis kontak alergi kronik pada
tangan karna glutarldehid6

Dermatitis kontak alergi bervariasi antara individu-individu, gejalanya


dalam beberapa 1-2minggu. Dermatitis kontak alergi terus memburuk selama
alergen terus bersentuhan dengan kulit. Evolusi dermatitis kontak alergi: 4

Eritema Akut papula vesikel erosi kerak scaling


(pembersihan/pelepasan kerak) 4

Dalam bentuk dermatitis kontak akut, papula hanya terjadi pada dermatitis
kontak alergi, tidak dalam dermatitis kontak iritan. 4

Papula kronisskalalichenifikasiekskoriasi. Peradangan kronis dengan


penebalan, fissuring (peretakan kerak), scaling, dan hasil pengerasan kulit. 4

8
Dermatitis kontak selalu terbatas ke bagian paparan alergen. Marginasi
dematitis kontak alergi awalnya jelas; namun, menyebar di pinggiran luar bagian
sebenarnya dari paparan. Jika sensitisasi kuat telah terjadi, menyebar ke bagian
lain tubuh dan generalisasi terjadi.4

Gambar: dermatitis kontak alergi akut pada bibir karena lipstik. Pasien
hipersensitifuntuk Eosin. Tampak eritema cerah, microvesiculation. Pada
pemeriksaan dekat komponen papular bisa dilihat. Pada tahap ini masih
marginasi tajam.4

Gambar: dermatitis kontak alergi pada tangan: papula konfluen, vesikel, erosi
dan lapisan kulit yang mengeras (kerak) pada dorsum tangan kiri di konstruksi
pekerja yang alergi terhadap kromat4

Gambar: dermatitis kontak alergi subakut karena nikel. campuran papular,


vesikular, dan lesi berkulit dan hilangnya marginasi yang jelas. Pasien adalah
seorang pembuat jam pensiunan yang menggunakan gesper logam pada
dorsum tangan kiri sementara memperbaiki jam tangan. Ia dikenal alergi
terhadap nikel.4

9
4. Daerah Predileksi

Lesi kulit timbul pada awalnya terbatas pada daerah kontak dengan alergen,
misalnya daun telinga (anting-anting), punggung kaki (sepatu), pergelangan
tangan (arloji atau gelang jam), kerah seperti (kalung), bibir (lipstik). Sering linier,
dengan pola buatan, sebuah "luar job. "kontak tanaman sering menyebabkan lesi
linear (misalnya, Rhus dermatitis). Awalnya terbatas ke situs kontak, kemudian
menyebar di luar. Distribusi Luas Terisolasi, terlokalisasi satu wilayah (misalnya,
dermatitis sepatu), atau umum (Mis, tanaman dermatitis). Pola acak atau pada
daerah yang terkena (seperti dalam udara dermatitis kontak alergi). Berbagi lokasi
terjadinya DKA:1

1. Tangan.

Kejadian dermatitis kontak baik iritan maupun alergik paling sering


ditangan, mungkin karena tangan merupakan organ tubuh yang paling
sering digunakan untuk melakukan pekerjaan sehari-hari. Penyakit kulit
akibat kerja, sepertiga atau lebih mengenai tangan. Tidak jarang ditemukan
riwayat atopi pada penderita. Pada pekerjaan yang basah (wet work),
misalnya memasak makanan, mencuci pakaian, pengatur rambut disalon,
angka kejadian dermatitis tangan lebih tinggi. Etiologi dermatitis tangan
sangat kompleks karena bnyak sekali faktor yang berperan disamping
atopi. Contoh bhan yang dapat menimbulkan dermatitis tangan, misalnya
deterjen, antiseptik, getah sayuran, semen, dan pestisida. 1

2. Lengan
Alergen umumnya sama dengan pada tangan, misalnya oleh jam tangan
(nikel), sarung tangan karet, debu semen, dan tanaman. Diketiak dapat
disebabkan oleh deodoran, antiperspiran, formaldehid yang ada dipakaian.1
3. Wajah
Dermatitis kontak pada wajah dapat disebabkan oleh bahan kosmetik,
spons (karet), obat topikal, alergen di udara (aero-alergen), nikel (tangkai
kacamata), semua alergen yang kontak dengan tangan dapat mengenai
muka, kelopak mata, dan leher pada waktu menyeka keringat. Bila di bibir

10
atau sekitarnya mungkin disebabkan oleh lipstik, psta gigi, getah buah-
buahan. Dermatitis dikelopak mata dapat disebabkan oleh cat kuku, cat
rambut, maskara, eye shadow, obat tetes mata, salep mata. 1
4. Telinga
Anting atau jepit telinga terbuat dari nikel, penyebab dermatitis kontak
pada telinga. Penyebab lain, mislanya obat topikal, tangkai kaca mata; cat
rambut, hearing-aids, gagang telepon. 1
5. Leher
Penyebab kalung dari nikel, cat kuku (yang berasal dari ujung jari),
parfum, alergen di udara, zat warna pakaian. 1
6. Badan
Dermatitis kontak di badan dapat disebabkan oleh tekstil, zat warna,
kancing logam, karet (elastis, busa), plastik, deterjen, bahan pelembut atau
pewangi pakaian. 1
7. Genitalia
Penyebabnya dapat antiseptik, obat topikal, nilon, kondom, pembalut
wanita, alergen yang berada di tangan, parfum, kontrasepsi, deterjen. Bila
mengenai daerah anal, mungkin disebabkan oleh obat antihemoroid. 1
8. Paha dan tungkai bawah
Dermatitis ditempat ini dapat disebabkan oleh tekstil, dompet, kunci
(nikel), kaos kaki nilon, obat topikal, smeen, sepatu/sandal. Pada kai dapat
disebabkan oleh detrjen, bahan pembersih lantai. 1
9. Dermatitis kontak sistemik
Terjadi pada individu yang telah tersensitasi secara topikal oleh suatu
alergen, selanjutnya terpajan secara sistemik, kemudian timbul reaksi
terbatas pada tempat tersebut. Walaupun jarang terjadi, reaksi dapat
meluas bahkan sampai eritroderma. Penyebabnya, mislanya nikel,
formaldehid, balsam peru. 1
F. DIFFERENTIAL DIAGNOSIS
Dermatitis kontak iritan

Dermatitis atopic

11
Dermatitis nummular

Dermatitis seboroik

Asteatotic eczema

Stasis dermatitis

12
Pompholyx and/or dyshidrotic eczema Psoriasis

Mycosis fungoides (patch/plaque stage cutaneous T-cell lymphoma)

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
UJI TEMPEL (PATCH TEST)
Tempat melakukan uji tempel biasanya di punggung. Untuk melakukan uji
tempel diperlukan antigen, biasanya antigen standar, misalnya Allergen
Patch Test Kit dan T.R.U.E Test. Adakalanya tes dilakukan dengan antigen
bukan standar, dapat berupa bahan kimia murni, atau lebih sering bahan
campuran yang berasal dari rumah, atau lingkungan kerja.1
Bahan yang dipakai secara rutin, misalnya kosmetik, pelembab, bila
dipakai untuk uji tempel dapat langsung digunakan. Sebagai bahan
pengencer dapat digunakan vaselin atau minyak mineral. Apabila benda
padat misalnya pakaian, sepatu, sarung tangan, yang dicurigai menjadi
penyebab alergi, maka uji tempel dilakukan dengan potongan kecil bahan
tersebut. Hasil positif dengan alergen bukan standar, perlu dilakukan
dengan kontrol (5 sampai 10 orang) untuk menyingkirkan kemungkinan
iritan.1
Dalam pelaksanaan uji tempel harus diperhatikan bahwa dermatitis yang
terjadi harus sudah tenang (sembuh), tes dilakukan sekurang-kurangnya

13
satu minggu setelah penggunaan kortikosteroid sistemik dihentikan,
pemberian kortikosteroid topikal di punggung dihentikan sekurang-
kurangnya satu minggu sebelum tees dilakukan. Luka bakar sinar matahari
yang terjadi 1-2 minggu sebelum tes dilakukan dapat memberi hasil
negatif palsu. Uji tempel dibuka setelah 48 jam (hari ke-2) kemudian
dibaca, lalu pembacaan kedua dilakukan pada hari ke-3 sampai ke-7.1
Setelah 48 jam, uji tempel dilepas. Pembacaan pertama dilakukan 15-30
menit setelah dilepas, agar efek tekanan menghilang atau minimal.
Hasilnya dicatat seperti berikut:1
+1 = reaksi lemah (non-vesikuler): eritema, infiltrat, papul
+2 = reaksi kuat: edema atau vesikel (++)
+3 = reaksi sangat kuat (ekstrim): bula atau ulkus (+++)
= meragukan: hanya makula eritematous
IR = iritasi: seperti terbakar, pustul, atau purpura
- = reaksi negatif (-)
NT = tidak dites (NT=Not Tested)

A B C D

E
F

G
A Reaksi +. B reaksi ++. C reaksi ++ - +++. D Reaksi +++.E papula eritematosa
di tepi penempelan ruang Finn (efek rim). Reaksi F Pustular di bagian tes patch
nikel (panah menunjuk ke pustula). G Tiga reaksi uji tempel yang berbeda: +/-
H. PENGOBATAN
untuk quaternium-15, + untuk formaldehida, dan ++ untuk nikel. A, E, F, G6
Penghentian pemaparan

14
Karena identifikasi alergen dapat dicapai melalui patch-tes yang tepat, ada
potensi yang baik untuk remisi berkelanjutan. Oleh karena itu, identifikasi dan
penghapusan agen yang memicu (terkadang multiple) harus selalu menjadi tujuan
dalam pengobatan diagnosisand dari ACD.5

Terapi topikal

Topikal glukokortikoid salep/gel (kelas I-III) efektif untuk lesi awal


nonbullousl. Vesikel yang lebih besar mungkin dikeringkan, tetapi puncak tidak
seharusnya dihapus. Pakaian basah dengan kain direndam dalam larutan Burow
diganti setiap 2-3 jam. Semenjak pengobatan dengan glukokortikoid biasanya
jangka pendek di ACD, biasanya tidak ada bahaya dari efek samping
glukokortikoid. Pengecualian terhadap udara ACD, yang mungkin memerlukan
pengobatan sistemik. Topikal dari calcineurin inhibitor pimecrolimus dan
tacrolimus efektif dalam ACD tetapi untuk tingkat yang lebih rendah dari
glukokortikoid.4

Terapi sistemik

Glukokortikoid diindikasikan jika berat (yaitu, jika pasien tidak dapat


melakukan fungsi sehari-hari biasa, tidak bisa tidur). Prednison dimulai dengan
dosis 70 mg (dewasa), kemudian ditapering dengan 5-10 mg/hari selama periode
1 sampai 2 minggu. Di udara ACD dimana penghindaran alergen secara utuh
mungkin mustahil, sehingga imunosupresi dengan siklosporin oral diperlukan.4

I. Prognosis

Sulit untuk menilai prognosis sebenarnya dari DKA karena tidak ada alat
standar untuk evaluasi tersebut. Gangguan kerja, kemampuan untuk kembali
bekerja, dan peningkatan dermatitis dengan waktu antara ukuran hasil yang telah
dipelajari pada pasien dengan DKA. Desain penelitian terbaru telah ditujukan
untuk menangkap ukuran hasil yang semakin penting dari kualitas kesehatan yang
berhubungan dengan hidup (kualitas hidup). Ketika alat penilaian kualitas hidup
yang berbeda telah diterapkan untuk populasi pasien dengan DKA telah
menunjukkan bahwa DKA berdampak negatif terhadap kualitas hidup secara

15
signifikan. Holness dan colleagues menemukan bahwa nyeri, gatal, rasa malu,
gangguan kerja, dan kesulitan tidur adalah efek yang paling signifikan dalam
kualitas hidup penduduk mereka yang melakukan patch-tes.4

Kadyk dkk menemukan dampak terbesar pada emosi, diikuti oleh gejala,
fungsi, dan dampak kerja. Demikian pula, Woo dan colleagues melaporkan
bahwa pasien dengan diagnosis akhir dari ACD memiliki kualitas hidup dasar
rata-rata sama dengan pasien yang mengalami kerontokan rambut dan psoriasis.
Zug dkk menemukan bahwa pasien yang dirujuk untuk patch-test yang
dipengaruhi oleh rasa frustrasi, dilaporkan merasa kesal, dan memiliki kepedulian
yang besar tentang kegigihan masalah kulit mereka. Khususnya faktor yang sangat
prediktif dari dampak negatif pada kualitas hidup adalah keterlibatan tangan ACD.
Demikian pula, tingkat penyakit dan durasi gejala sebelum diagnosis keduanya
berkorelasi dengan prognosis buruk dan penyakit yang bandel. Di sisi lain,
peningkatan pengetahuan pasien telah dikaitkan dengan peningkatan prognosis
dalam beberapa studi. Banyak dari informasi ini diperkirakan dari data mengenai
dermatitis kontak akibat kerja.4

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Sularsito SA, Djuanda S. Dermatitis. In: Djuanda A, editor. Ilmu Penyakit


Kulit dan Kelamin. 6th ed. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2013.
P.3,7,129,133.
2. James WD, Elston DM, Berger TG. Disease Resulting from Fungi and Yeasts.
Andrews' Diseases of The Skin Clinical Dermatology. 7th ed. USA: Elsevier
Inc.; 2011. p.91.
3. Weintraub GS et al. Review of Allergic Contact Dermatitis: Scratching the
Surface. World Journal of Dermatology. 2015. p.96.
4. Castanedo-Tardan MP, Zug KA. Allergic Contact Dermatitis. In: Goldsmith
LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K, editors.
Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine. 8th ed. New York: McGraw
Hill Medical; p.152-153
5. Hay, R.J, B.M Adriaans. Bacterial Infections in Tony Burns, Stephen
Breathnach, Neil Cox, Christopher Griffiths. 2010. Rooks Textbooks of
Dermatology 8th Edition. UK : Wiley-Blackwell. P. 30.17
6. Bolognia, Jean L Joseph L Jerisso, Ronald P Rapini. Dermatology 2nd
edition. United State America : Elsevier; 2008. p. 1082.
7. Hamzah Mochtar. 2010. Erupsi Obat Alergik Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. P.154-156
8. Jenny L. Nelson, Md; Christen M. Mowad, Md.. Allergic Contact Dermatitis.
Patch Testing Beyond the TRUE Test. Department of Dermatology, Geisinger
Medical Center, Danville, Pennsylvania; 2010
9. Noviandini A, Rosita C. 2014. Profil Uji Tempel pada Pasien Dermatitis
Kontak. Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/Rumah Sakit Umum
Daerah Dr. Soetomo Surabaya.
10. Sulistyaningrum SK,dkk. 2011.Dermatitis Kontak Iritan Dan Alergik Pada
Geriatri. Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK Universitas
Indonesia/RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo.

17

Anda mungkin juga menyukai