Anda di halaman 1dari 33

AUDIT MEDIS

SEORANG WANITA USIA 41 TAHUN DENGAN CEDERA KEPALA


RINGAN, PENURUNAN KESADARAN DIDUGAAKIBAT HERNIASI
TENTORIAL DAN DIFFUSE AXONAL INJURY

Oleh :
dr. Satria Wardana
Dokter Internship PKU Muhammadiyah Gombong

Pembimbing:
dr. Yulian Yudistira, Sp.B., FInaCS

DOKTER INTERNSHP INDONESIA


RS PKU MUHAMMADIYAH GOMBONG
KEBUMEN JAWA TENGAH
2016
STATUS PASIEN

A. ANAMNESIS
1. IDENTITAS PASIEN
Nama : Sdr Sutarjo
Umur : 24 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Karanggayam
Tanggal Masuk : 15 Maret 2017
No. RM : 328356

2. KELUHAN UTAMA
Sesak nafas

3. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG


Pasien datang ke IGD RS PKU Muhammadiyah Gombong dengan
keluhan sesak nafas sejak 1 jam SMRS. Pasien mengeluh nyeri dada kiri
sejak 1 minggu yang lalu, dirasakan hilang timbul. Nyeri dada dirasakan
seperti ditusuk. Batuk (-), demam (-).

4. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU


Riwayat sakit serupa : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat tekanan darah tinggi : disangkal
Riwayat diabetes melitus : disangkal

5. RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA


Riwayat sakit serupa : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat tekanan darah tinggi : disangkal
Riwayat diabetes militus : disangkal

1
6. RIWAYAT KEBIASAAN
Riwayat minum-minuman keras : disangkal
Riwayat merokok : (+) sejak 5 tahun yang lalu.

7. RIWAYAT SOSIAL EKONOMI


Pasien bekerja sebagai perumput. Pasien berobat dengan fasilitas BPJS.

B. PEMERIKSAAN FISIK
I. Primary Survey
a. Airway : Bebas
b. Breathing :
Inspeksi : Pergerakan dinding dada kiri lebih lambat dibandingkan kiri.
Pernafasan 32 x/menit.
Palpasi : Fremitus raba kanan = kiri
Perkusi : Sonor / Hipersonor
Auskultasi : SDV/SDV menurun, suara tambahan (-/-)
SpO2 : 99% dengan O2 ruangan
c. Circulation : Tekanan darah 120/90 mmHg, Nadi 97 x/menit
d. Disability : GCS E4V5M6, reflek cahaya (+/+),
pupil isokor (3mm/3 mm), lateralisasi (-)
e. Exposure : suhu 37,5C, jejas (-)
II. Secondary Survey
Keadaan umum : Compos Mentis, tampak sakit sedang, gizi kesan
cukup
Kulit : Warna sawo matang, luka (-)
Kepala : Mesocephal
Mata : Conjungtiva anemis (-/-) sclera ikterik (-/-) reflek
cahaya (+/+), pupil isokor (3mm/3mm)
Hidung : Nafas cuping hidung (-) secret (-) darah (-) septum
deviasi (-)
Telinga : Sekret (-/-) darah (-/-)

2
Mulut : Sianosis bibir (-) mukosa basah (-) faring
hiperemis (-)
Leher : Deviasi trachea (-) pembesaran KGB (-)
Thorax : Normochest, simetris, retraksi (-),
Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis teraba di SIC V 2 jari medial LMCS,
tidak kuat angkat
Perkusi : batas jantung tidak melebar
Auskultasi : bunyi jantung I-II intensitas normal, regular,bising (-)
Pulmo
Inspeksi : Pengembangan dinding dada kanan = kiri
Palpasi : Fremitus raba kanan = kiri
Perkusi : sonor / sonor
Auskultasi : SDV normal, suara tambahan (-/-)
Genitourinaria : BAK normal, BAK darah (-), BAK nanah (-),
nyeri BAK (-).
Ekstremitas
Akral dingin - - Edema - -

- - - -

Motorik
5 5
5 5

C. ASSESMENT I
Cedera Kepala Ringan

D. PLANNING I
Mondok Rumah Sakit : Bed rest tidak total
IVFD NS 20 tpm
Inj. Metokloperamid 10 mg
Inj. Ranitidin 50 mg
Inj. Piracetam 1 gram
Inj. Citicolin 250 mg

3
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
I. Hasil laboratorium (26 Januari 2016)
Hemoglobin : 12.4 g/dl (N)
Hematokrit : 36,0% (N)
Leukosit : 13.370/ul (+)
Eritrosit : 4,73x106/ul (N)
Trombosit : 311.000/ul (N)
HbsAg : negatif (N)
GDS : 132 mg/dl (N)
CT : 21 menit (N)
BT : 14 menit (N)
GDS : 127 gr/dL (N)
Basofil : 0.3 %
Eosinofil : 6,7 %
Netrofil : 32,9 %
Limfosit : 54,5 %
Monosit : 5,6 %

I. ASSESSMENT II
Cedera Kepala Ringan

J. PLANNING II
Mondok Rumah Sakit : Bed rest tidak total
IVFD NS 20 tpm
Inj. Metokloperamid 10 mg
Inj. Ranitidin 50 mg

K. PROGNOSIS
Ad Vitam : ad dubia
Ad Sanationam : ad bonam
Ad Functionam : ad bonam

4
L. CATATAN PERKEMBANGAN PASIEN DAN EVALUASI

Tanggal/ Catatan perkembangan Diagnosis Tindakan


Jam
27/1/16 S Pusing berputar - Cedera - Betahistin 3x1
Muntah 1x Kepala Ringan - Terapi Lanjut
O KU: tampak sakit sedang - Monitoring: keadaan
Kesadaran: CM; GCS umum, TTV, airway
E4V5M6 management, balance
TD: 120/70 cairan, dan awasi tanda-
HR: 72 x/menit reguler tanda peningkatan TIK
RR: 22 x/menit
Suhu: 36, 2o C
RC: +/+, isokor 3 mm/ 3 mm
28/1/16 S Pusing berputar - Cedera Terapi Lanjut
Jam Muntah 1x Kepala Ringan - Monitoring: keadaan
O KU: tampak sakit sedang
08.00 umum, TTV, airway
Kesadaran: CM; GCS
WIB management, balance
E4V5M6
cairan, dan awasi tanda-
TD: 110/70
tanda peningkatan TIK

5
HR: 72 x/menit reguler
RR: 29 x/menit
Suhu: 36, 2o C
RC: +/+, isokor 3 mm/ 3 mm
28/1/16 S Code Blue (Pasien dilaporkan - Cedera Dilakukan RJPO 2 siklus
Jam apneu oleh perawat Rahma) Kepala Ringan ( 5 x 30: 2)
O TD: -
13.40 Epineprin 2 amp
HR: - RR: -
WIB Terpasang ETT
RC: -/- 5 mm/5 mm
28/1/16 S Tidak sadar Cedera kepala - Edukasi DNR
Jam O GCS E1V1M2 ringan dengan - Edukasi kondisi pasien
15.35 TD: 50/30 penurunan buruk
WIB HR: 125 x/menit kesadaran - Inform Concent
RR: apnea diduga akibat tentang penurunan
Reflek cranialis (-) herniasi kesadaran diduga
RC: -/- tentorial dan herniasai tentorial dan
Pupil : 5 mm/ 5 mm diffuse axsonal diffuse axonal injury
injury
28/1/16 S Tidak sadar Cedera kepala Pasien dinyatakan IWR
Jam O TD: - ringan dengan jam 18.45
18.40 HR: - penurunan
WIB RR: - kesadaran
Reflek cranialis (-) diduga akibat
RC: -/- herniasi
Pupil : 5 mm/ 5 mm tentorial dan
Ekg flat diffuse axsonal
injury

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

CEDERA KEPALA

A. PENGERTIAN CEDERA KEPALA

Cedera kepala adalah suatu ruda paksa (trauma) yang menimpa struktur
kepala sehingga menimbulkan kelainan anatomi dan atau gangguan fungsional
otak (Sastrodiningrat, 2009). Menurut Brain Injury Association of America,
cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital
ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari
luar, yang mengubah kesadaran yang menimbulkan kerusakan kemampuan
kognitif dan fungsi fisik (Langlois, Rutland-Brown, Thomas, 2006).

B. TINGKAT KEPARAHAN CEDERA KEPALA DENGAN SKOR GLASGOW


COMA SCALE (GCS)

Glasgow coma scale adalah nilai (skor) yang diberikan pada pasien trauma
kapitis, gangguan kesadaran dinilai secara kwantitatif. Bagian-bagian yang
dinilai adalah:

1. Proses membuka mata (Eye Opening)

2. Reaksi gerak motorik ekstrimitas (Motor Response)

7
3. Reaksi bicara (Verbal Response)

Berdasarkan Skala Koma Glasgow, berat ringan trauma kapitis dibagi


menjadi:

1. Cedera kepala Ringan, Skor Skala Koma Glasgow 14-15

Dengan Skala Koma Glasgow 14-15, tidak ada kelainan dalam CT-
scan, tiada lesi operatif dalam 48 jam rawat inap di Rumah Sakit
(Torner,Choi, Barnes, 1999. Cedera kepala ringan adalah cedera kepala
dengan GCS: 15, tidak kehilangan kesadaran, mengeluh pusing dan nyeri
kepala, hematoma, laserasi dan abrasi (Mansjoer, 2000).

2. Cedera kepala Sedang, Skor Skala Koma Glasgow 9 13

Dengan Skala Koma Glasgow 9 - 13, lesi operatif dan abnormalitas


dalam CT-scan dalam 48 jam rawat inap di Rumah Sakit (Torner, Choi,
Barnes, 1999). Pasien mungkin bingung atau somnolen namun tetap
mampu untuk mengikuti perintah sederhana (SKG 9-13). Pada suatu
penelitian penderita cedera kepala sedang mencatat bahwa kadar asam
laktat rata-rata 3,15 mmol/L (Parenrengi, 2004).

3. Cedera kepala Berat, Skor Skala Koma Glasgow 3 8

Dengan Skala Koma Glasgow 3-8 dalam 48 jam rawat inap di Rumah
Sakit (Torner C, Choi S, Barnes Y, 1999). Hampir 100% cedera kepala
berat dan 66% cedera kepala sedang menyebabkan cacat yang permanen.
Pada cedera kepala berat terjadinya cedera otak primer seringkali disertai
cedera otak sekunder apabila proses patofisiologi yang menyertai tidak
segera dicegah dan dihentikan (Parenrengi, 2004). Penelitian pada

8
penderita cedera kepala secara klinis dan eksperimental menunjukkan
bahwa pada cedera kepala berat dapat disertai dengan peningkatan titer
asam laktat dalam jaringan otak dan cairan serebrospinalis (CSS) ini
mencerminkan kondisi asidosis otak (DeSalles etal., 1986). Penderita
cedera kepala berat, penelitian menunjukkan kadar rata-rata asam laktat
3,25 mmol/L (Parenrengi, 2004).

C. GEJALA KLINIS CEDERA KEPALA

Menurut Reissner (2009), gejala klinis cedera kepala adalah seperti


berikut:

Battle sign (ekhimosis dibelakang telinga di atas os mastoid).

Hemotipanum (perdarahan membran timpani).

Periorbital ecchymosis (mata warna hitam tanpa trauma langsung).

Rhinorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari hidung).

Otorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari telinga).

Berikut gejala klinis yang lebih spesifik untuk tingkatan cedera kepala:

1. Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang cedera kepala ringan;

Kesadaran yang menurun selama beberapa saat kemudian sembuh.

Sakit kepala yang menetap atau berkepanjangan.

9
Mual atau dan muntah.

Gangguan tidur dan nafsu makan yang menurun.

Perubahan keperibadian diri.

Letargik.

2. Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang cedera kepala berat;

Tanda peningkatan TIK

Perubahan ukuran pupil (anisokoria).

Triad Cushing (denyut jantung menurun, hipertensi, depresi


pernafasan).

Apabila meningkatnya tekanan intrakranial, terdapat pergerakan


atau posisi abnormal ekstrimitas.

D. PENYEBAB CEDERA KEPALA

Mekanisme yang timbul terjadi cedera kepala adalah seperti translasi


yang terdiri dari akselerasi dan deselerasi. Akselerasi apabila kepala bergerak
ke suatu arah atau tidak bergerak dengan tiba-tiba suatu gaya yang kuat searah
dengan gerakan kepala, maka kepala akan mendapat percepatan pada arah
tersebut. Deselerasi apabila kepala bergerak dengan cepat ke suatu arah
secara tiba-tiba dan dihentikan oleh suatu benda misalnya kepala menabrak
tembok maka kepala tiba-tiba terhenti gerakannya. Rotasi adalah apabila
tengkorak tiba-tiba mendapat gaya mendadak sehingga membentuk sudut

10
terhadap gerak kepala. Kecederaan di bagian muka dikatakan fraktur
maksilofasial (Sastrodiningrat, 2009).

Menurut Brain Injury Association of America, penyebab utama cedera


kepala adalah karena terjatuh sebanyak 28%, kecelakaan lalu lintas sebanyak
20%, karena disebabkan kecelakaan secara umum sebanyak 19% dan
kekerasan sebanyak 11% dan akibat ledakan di medan perang merupakan
penyebab utama cedera kepala (Langlois, Rutland-Brown,Thomas, 2006).

E. CT Scan pada Cedera kepala

CT-Scan isi kepala secara anatomis akan tampak dengan jelas


(Sastrodiningrat, 2009). Indikasi pemeriksaan CT-scan pada kasus cedera
kepala adalah seperti berikut:

a) Bila secara klinis didapatkan klasifikasi cedera kepala sedang dan berat.

b) Cedera kepala ringan yang disertai fraktur tengkorak.

c) Adanya kecurigaan dan tanda terjadinya fraktur basis kranii.

d) Adanya defisit neurologi, seperti kejang dan penurunan kesadaran.

e) Sakit kepala yang hebat.

f) Adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial atau herniasi


jaringan otak.

g) Kesulitan dalam mengeliminasi kemungkinan perdarahan intraserebral


(Irwan, 2009).

11
F. PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan awal penderita cedera kepala memiliki tujuan untuk


sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder serta memperbaiki
keadaan umum seoptimal mungkin (Fauzi, 2002). Penatalaksanaan cedera
kepala menempatkan standar yang disesuaikan dengan tingkat keparahan
cedera. Penatalaksanaan penderita cedera kepala meliputi:

a. Anamnesa penderita.

b. Mekanisme cedera kepala.

c. Waktu terjadinya cedera.

d. Adanya gangguan tingkat kesadaran setelah cedera.

e. Amnesia : retrogade, antegrade.

f. Sakit kepala : ringan, sedang, berat.

g. Pemeriksaan umum untuk menyingkirkan cedera sistemik.

h. Pemeriksaan neurulogis secara periodik.

i. Pemeriksaan CT scan kepala.

j. Penderita dilakukan rawat inap untuk observasi.

k. Bila kondisi penderita membaik (90%). Penderita dapat dipulangkan


dan kontrol di poliklinik.

l. Bila kondisi penderita memburuk (10%) segera lakukan pemeriksaan CT


scan ulang dan penatalaksanaan sesuai dengan protokol cedera kepala
berat.

12
Cedera kepala sedang walaupun masih bisa menuruti perintah sederhana
masih ada kemungkinan untuk jatuh ke kondisi cedera kepala berat..
Penatalaksanaan cedera kepala sedang adalah untuk mencegah terjadinya
cedera kepala sekunder oleh karena adanya massa intrakranial atau infeksi
intrakranial. Penderita yang setelah lewat 24 jam terjadinya cedera kepala,
meskipun keadaan stabil harus dilakukan perawatan untuk keperluan observasi
(Markam S,Atmadja, Budijanto A, 1999). Observasi bertujuan untuk
menemukan sedini mungkin penyulit atau kelainan lain yang tidak segera
memberi tanda atau gejala. (Hidajat, 2004).

1. PENGELOLAAN SECARA MEDIKAL


Penilaian dan Pengelolaan Inisial
Pengelolaan awal terutama tergantung keadaan klinis pasien serta
etiologi, ukuran serta lokasi perdarahan. Tak peduli apakah tindakan
konservatif atau bedah yang akan dilakukan, penilaian dan tindakan
medikal inisial terhadap pasien adalah sama.
Saat pasien datang, evaluasi, dan pengelolaan awal harus
dilakukan bersama tanpa penundaan yang tidak perlu. Pemeriksaan
neurologis inisial dapat dilakukan dalam 10 menit, harus menyeluruh.
Informasi ini untuk memastikan prognosis, juga untuk membuat rencana
tindakan selanjutnya. Pemeriksaan neurologis serial harus dilakukan.
Tindakan lainnya untuk mempertahankan jalan nafas, pernafasan, dan
sirkulasi. Dalam mempertahankan jalan nafas maka mempertimbangkan
prinsip pembebasan jalan nafas, dan imobilisasi leher jika dicurigai adanya
cedera cervikal. Hipoksia harus ditindak segera untuk mencegah cedera
serebral sekunder akibat iskemia.
Pengamatan ketat dan pengaturan tekanan darah penting baik pada
pasien hipertensi maupun yang tidak. Penting untuk tidak menurunkan
tekanan darah secara berlebihan pada pasien dengan lesi massa

13
intrakranial dan peninggian TIK, kerana secara bersamaan akan
menurunkan tekanan perfusi serebral. Pertahankan tekanan darah sistolik
sekitar 160 mmHg pada pasien yang sadar dan sekitar 180 mmHg pada
pasien koma, nilai ini tidak mutlak dan akan bervariasi tergantung masing-
masing pasien.
Pasien dengan hipertensi berat pertahankan tekanan darah sistoliknya
diatas 180 mmHg, namun dibawah 210 mmHg, untuk mencegah
meluasnya perdarahan oleh perdarahan ulang. Pengelolaan awal
hipertensinya, lebih disukai labetalol, suatu antagonis alfa-1, beta-1 dan
beta-2 kompetitif. Drip nitrogliserin mungkin perlu untuk kasus tertentu.
Gas darah asterial diperiksa untuk menilai oksigenasi dan status asam-
basa. Bila jalan nafas tidak dapat dijamin, atau diduga suatu suatu lesi
massa intrakranial pada pasien koma, dilakukan intervensi intubasi
endotrakheal. Cegah pemakaian agen anestetik yang akan meninggikan
TIK seperti oksida nitro. Agen anestetik aksi pendek lebih disukai. Bila
diduga ada peninggian TIK, dilakukan hiperventilasi untuk
mempertahankan PCO2 sekitar 25-30mmHg, dan setelah kateter Foley
terpasang, diberikan mannitol 1.5 g/kg IV. Tindakan ini juga dilakukan
pada pasien dengan perburukan neurologis progresif seperti perburukan
hemiparesis, anisokoria progresif, atau penurunan tingkat kesadaran.
Dilakukan pula elektrokardiografi, dan denyut nadi dipantau.
Darah diambil saat jalur intravena dipasang. Hitung darah lengkap,
hitung platelet, elektrolit, nitrogen urea darah, kreatinin serum, waktu
protrombin, waktu tromboplastin parsial, dan tes fungsi hati dinilai foto
polos dilakukan bila perlu. Setelah penilaian secara cepat dan stabilisasi
pasien, dilakukan CT scan kepala tanpa kontras.
Mengurangi Efek Massa
Pengurangan efek massa dapat dilakukan secara medikal
maupun bedah. Pasien dengan peninggian TIK dan/atau dengan area yang
lebih fokal dari efek massa, usaha nonbedah untuk mengurangi
efek massa penting untuk mencegah iskemia serebral sekunder dan

14
kompresi batang otak yang mengancam jiwa. Tindakan untuk mengurangi
peninggian TIK antaranya :
(1) Elevasi kepala higga 30o untuk mengurangi volume vena intrakranial
serta memperbaiki drainase vena;
(2) Mannitol intravena (mula-mula 1.5 g/kgBB bolus, lalu 0.5 g/kgBB
tiap 4-6 jam untuk mempertahankan osmolalitas serum 295-310
mOsm/L);
(3) Restriksi cairan ringan (67-75% dari pemeliharaan) dengan
penambahan bolus cairan koloid bila perlu;
(4) Ventrikulostomi dengan pemantauan TIK serta drainase CSS
untuk mempertahankan TIK kurang dari 20mmHg;
(5) Intubasi endotrakheal dan hiperventilasi, mempertahankan PCO2 25-
30 mmHg.

Penggunaan Neurotropik
1) Piracetam
- Indikasi : Kemunduran daya pikir, astenia, gangguan adaptasi,
gangguan reaksi psikomotor. Alkoholisme kronik dan adiksi.
Disfungsi serebral sehubungan dengan akibat pasca trauma.
- Dosis : Oral 1,2 gr sd 7,2 gr/hari. Pemeliharaan : 1,2 g/hr. Inj IM
atau IV 1 g 3x /hr.
- Pemberian obat : Sesudah makan
- Kontra indikasi : Kerusakan ginjal parah, hipersensitif.
- Efek samping : Keguguran, lekas marah, sukar tidur, gelisah,
gemetar, agitasi, lelah, gangguan GI, mengantuk.
- Mekanisme kerja : piracetam adalah suatu nootropic agent.
- Rencana edukasi : Piracetam seluruhnya dieliminasi melalui ginjal,
peringatan harus diberikan pada penderita gangguan fungsi ginjal,
oleh karena itu dianjurkan melakukan pengecekan fungsi ginjal.
Oleh karena efek piracetam pada agregasi platelet, peringatan harus
diberikan pada penderita dengan gangguan hemostatis atau
perdarahan hebat.
2) Citicoline
- Indikasi : Gangguan kesadaran yang menyertai kerusakan atau
cedera serebral, trauma serebral, operasi otak, dan infark serebral.

15
Mempercepat rehabilitasi tungkai atas dan bawah pada pasien
hemiplegia apopleksi.
- Dosis : Gangguan kesadaran karena cedera kepala atau operasi
otak 100-500 mg 1-2x/hr secara IV drip atau injeksi. Gangguan
kesadaran karena infark serebral 1000 mg 1x/hr secara injeksi IV.
Hemiplegia apopleksi 1000 mg 1x/hr secara oral atau injeksi IV.
- Pemberian obat : Berikan pada saat makan atau diantara waktu
makan.
- Efek samping : hipotensi, ruam, insomnia, sakit kepala, diplopia.
- Mekanisme Kerja : Citicoline meningkatkan kerja formatio
reticularis dari batang otak, terutama system pengaktifan formatio
reticularis ascendens yang berhubungan dengan kesadaran.
Citicoline mengaktifan system pyramidal dan memperbaiki
kelumpuhan system motoris. Citicoline menaikkan konsumsi
O2 dari otak dan memperbaiki metabolism otak.

2. PENANGANAN DENGAN CARA OPERASI


Untuk menentukan pasien mana yang harus dioperasi adalah suatu
masalah yang sulit. Segera yang ingin dicapai dari operasi adalah
kembalinya pergeseran garis tengah, kembalinya tekanan intrakanial ke
dalam batas normal, kontrol pendarahan dan mencegah pendarahan
ulang.
Indikasi operasi pada cedera kepala harus mempertimbangkan hal
dibawah ini :
Status neurologis
Status radiologis
Pengukuran tekanan intrakranial
Secara umum indikasi operasi pada hematoma intrakranial :
Massa hematoma kira-kira 40 cc
Massa dengan pergeseran garis tengah lebih dari 5 mm, EDH dan
SDH ketebalan lebih dari 5 mm dan pergeseran garis tengah dengan
GCS 8 atau kurang.

16
Konstusio serebri dengan diameter 2 cm dengan efek massa yang
jelas atau pergeseran garis tengah lebih dari 5 mm.
Pasien-pasien yang menurun kesadarannya dikemudian waktu
disertai berkembangnya tanda-tanda lokal dan peningkatan tekanan
intraknial lebih dari 25 mmHg.

Diffuse axonal injury(DAI)


A. Definisi Diffuse axonal injury(DAI)
Diffuse axonal injury (DAI) adalah istilah yang digunakan untuk
menerangkan koma bekepanjangan pasca trauma yang tidak berhubungan
dengan lesi massa atau iskemia. (Valadka AB, Narayan RK, 1996., Graham
DL, McIntosh TK, 1996).
DAI terjadi sebagai akibat dari trauma akut dimana kekuatan deselerasi-
akselerasi dan rotasi menekan, meregangkan dan memutuskan akson terutama
di substansia alba (Young GB, 1998., Moulton R, 1998). Holbourn pada
penelitiannya menghasilkan postulat bahwa adanya shear injury segera
menyebabkan pemisahan fisik akson dan segera menghilangkan fungsinya.
Hal yang sama juga kemudian dipostulatkan oleh Strich dan kawan-kawan.
(Moulton R, 1998).

B. Epidemiologi
Pada trauma kepala berat, DAI dilaporkan terjadi sekitar 50% dari cedera
otak primer (Prow HW, ColeJW, Yeakley J dkk, 1996). Sebanyak 50%
penderita yang langsung mengalami koma setelah trauma tanpa adanya
kontusi serebri diyakini menderita kerusakan pada substansia alba dan diffuse
axonal injury. Daerah yang biasanya mengalami kerusakan pada DAI adalah
substansia alba regio sentroaxial, bagian dalam pada regio supratentorial
terutama corpus callosum, area paraventrikular dan hipocampal, pedunculus
serebri, brachium conjungtivum, colliculus superior dan formasio retikularis
bagian dalam (Robbins dkk, 1999, Shah SM, Kelly KM, 1999).

17
C. Etiologi
Diffuse axonal injury disebabkan oleh akselerasi rotatorik sehingga
mengakibatkan putusnya akson maupun kerusakan integritas akson pada node
of ranvier yang selanjutnya terjadi perubahan arus aksoplasma. (Robbins,
1999). Karena akselerasi rotatorik dan perbedaan kepadatan fokal antara
substansia grisea dan substansia alba mengakibatkan putusnya akson.
Kebanyakan mekanisme cedera ini disebabkan oleh kecelakaan lalulintas,
yang menghasilkan acceleration lama yang komparatif. Penentuan beratnya
penyakit ini didasarkan arah, besar dan kecepatan gerakkan kepala sepanjang
cedera. (Prow HW, Cole JW, Yeakley J dkk, 1996).
Gennarelli et Al. melaporkan suatu korelasi tinggi antara akselerasi arah
kepala langsung terhadap durasi koma pada studi percobaan pada hewan.
Walaupun diffuse axonal injury kadang dapat terjadi ketika kepala telah
dipercepat (akselerasi) dalam arah sagittal atau miring adalah paling banyak
terlihat adalah koronal akselerasi dari kepala. Pada cedera ringan luka
terlokalisir pada white matter frontotemporal serebral, cedera lebih hebat pada
akselerasi rotasi di sebabkan penambahan lesi pada korpus kalosum dan upper
brain stem.

D. Mekanisme Cidera Otak


1. Secara Statis (Static Loading)
Cidera otak timbul secara lambat, lebih lambat dari 200 milisekon.
Tekanan pada kepala terjadi secara lambat namun terus menerus sehingga
timbul kerusakan berturut-turut mulai kulit, tengkorak dan jaringan otak.
Keadaan seperti ini sangat jarang terjadi.
2. Secara Dinamik (Dynamic Loading)
Cidera kepala timbul secara cepat, lebih cepat dari 200 milisekon,
berbentuk impulsif dan / atau impak.
a. Impulsif (Impulsif Loading)
Trauma tidak langsung membentur kepala, tetapi terjadi pada waktu
kepala mendadak bergerak atau gerakan kepala berhenti mendadak,

18
contohnya pukulan pada tengkuk atau punggung akan menimbulkan
gerakan fleksi dan ekstensi dari kepala yang bias menyebabkan cidera
otak.
b. Impak (Impact Loading)
Trauma yang langsung membentur kepala dapat menimbulkan 2
bentuk impak: contact injury dan inersia

E. Kalsifikasi
Pembagian DAI menurut Adams berdasarkan studi neuropathology
meliputi:
1. Grade 1
Terbatas secara histologik yaitu kerusakan akson sepanjang substansia alba
tanpa penekanan fokal pada corpus callosum maupun batang otak.
2. Grade 2
DAI pada grade ini terjadi distribusi luas dari kerusakan aksonal di tambah
abnormalitas fokal pada korpus kalosum.
3. Grade 3
Kerusakan difus akson disertai dengan lesi fokal pada cospus callosum dan
batang otak. (Reisner A. 2009).

F. Patofisiologi
Kerusakan terjadi setelah terjadi trauma di bagi 2 bedasarkan waktu, yaitu
(Graham DI, McIntosh TK, 1996) :
1. Kerusakan primer, yang terjadi sesaat setelah trauma seperti laserasi
kulit, fraktur tulang tengkorak, kontusio permukaan dan
laserasi, diffuse axonal injury, dan perdarahan intrakranial.
2. Kerusakan sekunder, yang terjadi sebagai akibat dari proses komplikasi
kerusakan primer dan mulai terjadi pada saat trauma tapi belum tampak
secara klinis untuk waktu tertentu, seperti iskemia, edema, infeksi,
peningggian tekanan intrakranial dan perubahan neurokimia yang
diakibatkannya.

19
Gennarelli dkk, menerangkan tahap-tahap proses terjadinya DAI yaitu
diawali dengan terlipatnya axolemma diikuti dengan terputusnya aliran
aksoplasmik, pembentukan edema lokal axon dan akhirnya terjadi pemisahan
axon menjadi bentuk true retraction ball. (Miller JD, Piper IR, Jones PA,
1995) Selanjutnya dapat terjadi degenerasi wallerian dan gliosis. (Mayer SA,
Rowland LP, 2000).
Kerusakan utama pada DAI adalah gangguan akson bermielin. Percepatan
menyebabkan luka geser, yang mengacu pada kerusakan yang ditimbulkan
oleh pergeseran jaringan dari jaringan lain. Ketika otak dipercepat, bagian
dengan perbedaan kepadatan dan jarak dari sumbu rotasi bergerak dengan
kecepatan berbeda. Peregangan akson terutama terjadi pada persimpangan
antara daerah padat yang berbeda, persimpangan antara subtansia alba dan
subtansia grisea.

Gambar 1. Mekanisme cedera


Diskoneksi akson ketika terjadi trauma otak (axotomy primer) adalah
suatu kejadian yang relatif jarang, dengan perkecualian robeknya jaringan
pada white matter pada cedera otak berat. Meskipun akson dapat secara
lambat dipulihkan kembali, terdapat suatu evolusi karakteristik fisik dan
perubahan fisiologi. Kerusakan mekanis pada kanal sodium dapat berakibat
infulks masif dari sodium yang menyebabkan pembengkakkan. Influks
sodium ini juga memacu pemasukan kalsium masif melalui voltage sensitive
chanel. Peningkatan kalsium intra selular berperan dalam aktivasi aktifitas

20
proteolitik. Ini adalah kerusakan sitoskletal akut dan lambat yang
mengakibatkan kegagalan transport dan akumulasi aksonal transport protein
dengan pembengkakkan akson.
Selanjutnya dari hari sampai bulan, patologi dari akson meliputi
disorganisasi progresif dari sitoskleton akson dan akumulasi progresif protein
menyebabkan diskoneksi dari akson (axotomy Secondry). Dengan penanda
patologi dari formasi bulbus, pada terminal akhir akson. Diskoneksi akson
pada white matter, merupakan kejadian akhir yang mana kehilangan permanen
induk neuron dalam kemampuan berkomunikasi dengan target lainnya pada
traktus akhir. Meskipun beberapa pasien DAI dapat mencapai kesembuhan
fungsional, sebenarnya perbaikan terbatas pada kekenyalan terlokalisasi,
dalam gray matter, dan potensi perbaikan dari kerusakan axon pada white
matter yang tidak terputus.
G. Gejala Klinis
Penderita trauma serebri yang mengalami koma lebih dari 6 jam tanpa
bukti penyebab koma yang dapat diidentifikasi baik dengan CT-scan atau MRI
dapat diasumsikan bahwa telah terjadi axonal shearing injury yang luas
atau diffuse axonal injury . (Mayer SA, Rowland LP, 2000). Penderita pasca
trauma yang mengalami DAI akan memperlihatkan gejala klinis yang
bervariasi tergantung beratnya injury. Gejalanya dapat berupa kebingungan
maupun hilang kesadaran dan dapat disertai ataupun tidak disertai gejala
fokal. (Van Dellen JR, Becker DP, 1998).
DAI ringan relatif jarang dan terbatas pada kelompok dengan koma yang
berakhir pada 6 hingga 24 jam, dan pasien mulai dapat mengikuti perintah
setelah 24 jam. DAI sedang dibatasi pada koma yang berakhir lebih dari 24
jam tanpa tanda-tanda batang otak yang menonjol. Ini bentuk DAI yang
paling sering dan merupakan 45% dari semua pasien dengan DAI. Pada DAI
yang berat dapat terjadi koma dalam yang berkepanjangan dapat disertai
gangguan fungsi otonom seperti hipertensi, hiperhidrosis,dan hiperpireksia.
Penderita biasanya memperlihatkan tanda dekortikasi maupun deserebrasi, dan
sering pula cacat berat (Valadka AB, Narayan RK, 1996) dan status vegetatif

21
bila mereka bertahan hidup. (Graham DL, McIntosh TK, 1996).Gejala-gejala
defisit neurologis tergantung pada lokasi lesi.

H. Diagnosis
Diffuse axonal injury (DAI) dapat didiagnosa menggunakan tanda klinis
(tingkat kesadaran dan deficit neurologi) dan gambaran radiologi, Zimmerman
melaporkan dalam studi pertamanya tentang diagnosa radiologi DAI meliputi;
small hemorrhagic lesions pada korpus kalosum, upper brain stem,
corticomedullary junction, area parasagital, dan ganglia basal. Brain computed
tomographic (CT) ditemukan kurang akurat dalam prediksi outcome pasien
dan tidak berhubungan baik dengan skor GCS dan status neurologi pasien.
DAI secara khas terdiri dari beberapa lesi fokal pada white matter dengan
ukuran 1-15 mm dengan ciri distribusinya.
MRI imaging gradien echo jauh lebih sensitive pada lesi para magnetic
seperti hemorrhage atau kalsifikasi dalam jangka waktu panjang. Maka, MRI
otak gradient echo diketahui sebagai metode yang sangat sensitive untuk
enetapkan hemoragi ukuran kecil pada white matter, korpus kalosum,
dan brain stem pada DAI.

I. Penatalaksanan
DAI saat ini tidak memiliki perawatan yang spesifik di luar apa yang
dilakukan untuk setiap jenis cedera kepala, termasuk menstabilkan pasien dan
berusaha untuk membatasi peningkatan tekanan intrakranial (ICP). Tindakan
segera akan diambil untuk mengurangi pembengkakan di dalam otak, yang
dapat menyebabkan kerusakan tambahan. Dalam kebanyakan kasus, suatu
program steroid atau obat lain yang dirancang untuk mengurangi peradangan
dan pembengkakan akan diberikan, dan pasien akan dipantau. Operasi bukan
pilihan bagi mereka yang telah menderita cedera aksonal difus.

J. Prognosis

22
Prognosa dari pasien dengan cedera kepala berat tergantung pada;
GCS, abnormal motor response, hypothalamic injury sign, durasi selama
kehilangan kesadaran, ukuran pupil hubungan hipotensi/hipoksia, umur, sex.

HERNIASI OTAK
A. PENGERTIAN
Herniasi otak merupakan kondisi pergeseran dari otak normal melalui atau
antar wilayah ke tempat lain karena efek massa.Biasanya ini komplikasi dari
efek massa baik dari tumor, trauma, atau infeksi. Otak dapat ditekan ke
struktur seperti falx serebri, tentorium serebelli, dan bahkan melalui lubang
yang disebut foramen magnum di dasar tengkorak (melalui sumsum tulang
belakang berhubungan dengan otak).
Ada dua kelompok utama herniasi: supratentorial dan infratentorial.
Herniasi Supratentorial adalah struktur biasanya terdapat di atas pakik
tentorial sedangkan infratentorial adalah struktur di bawahnya.
Supratentorial herniasi :
1. Uncal
2. Central (transtentorial)
3. Cingulate (subfalcine)
4. Transcalvarial
Infratentorial herniation Infratentorial herniasi :
1. Upward (upward cerebellar or upward transtentorial)
2. Tonsillar (downward cerebellar)

1. Herniasi Uncal
Pada herniasi uncal bagian terdalam dari lobus temporal, memberikan tekanan
pada batang otak, terutama otak tengah. Tentorium merupanakn jaringan dapat
dipisajkan dari korteks otak dalam proses yang disebut decortication.
Herniasi uncal dapat menekan saraf kranial ketiga, yang dapat mempengaruhi
parasimpatis kepada mata di sisi saraf yang terkena, menyebabkan pupil mata
melebar dan gagal dalam merespon terhadap cahaya sebagaimana mestinya.
Pelebaran pupil sering mendahului kompresi saraf kranial III (serat parasimpatis

23
adalah radial terletak di serat eferen somatik umum di CNIII), yang merupakan
penggerak mata ke posisi bawah dan keluar karena hilangnya persarafan untuk
semua pergerakan otot mata kecuali untuk rektus lateral dan oblik superior. Gejala
terjadi dalam urutan ini karena serat parasimpatis eksentrik mengelilingi serat
motor dari CNIII dan karenanya, yang pertama yang dikompresi adalah
parasimpatik.
Batang otak dapat terganggu menyebabkan mengulit postur, depresi pusat
pernapasan dan kematian. Kemungkinan lain yang dihasilkan dari distorsi batang
otak meliputi kelesuan, denyut jantung lambat, dan pelebaran pupil. Herniasi
uncal dapat berlanjut menjadi herniasi central.

2. Herniasi Sentral / Transtentorial


Pada herniasi sentral, diencephalon dan bagian lobus temporal dari kedua
belahan otak ditekan melalui lekukan di tentorium cerebelli. Herniasi
transtentorial dapat terjadi bergerak baik ke atas atau ke bawah di seluruh
tentorium, namun herniasi ke bawah jauh lebih umum. Herniasi dapat meregang
cabang arteri basilar (arteri pontine), menyebabkan arteri tersebut robek dan
berdarah, yang dikenal sebagai sebuah perdarahan Duret. Herniasi ke bawah
ditandai dengan masuk nya suprasellar dari lobus temporal ke hiatus tentorial
dengan kompresi yang terkait pada pedunkulus otak.

3. Herniasi Cingulata ( Subfalcine )


Dalam herniasi cingulata atau subfalcine, yang jenis yang paling umum,
bagian terdalam dari lobus frontalis turun kebawah dibagian falx serebri. Herniasi
cingulata disebabkan ketika salah satu belahan membengkak dan mendorong
gyrus cingulata ke falx serebri. Hal ini tidak memberikan banyak tekanan pada
batang otak dibandingkan herniasi jenis lain, tetapi dapat mengganggu pembuluh
darah di lobus frontal yang dekat dengan tempat cedera (arteri serebral anterior),
atau mungkin berlanjut menjadi herniasi pusat. Interferensi dengan aliran darah
dapat menyebabkan peningkatan TIK yang dapat menyebabkan bentuk-bentuk

24
yang lebih berbahaya dari herniasi. Gejala untuk herniasi cingulata tidak
didefinisikan dengan baik, biasanya muncul dengan sikap abnormal dan koma.

4. Herniasi Transcalvarial
Pada herniasi transcalvarial, otak bergerak melalui fraktur atau situs bedah
dalam tengkorak. Juga disebut "herniasi eksternal" dan herniasi jenis mungkin
terjadi selama kraniotomi.

5. Upward Herniation (herniasi ke atas)


Tekanan pada fossa posterior dapat menyebabkan otak kecil untuk naik
melalui pembukaan tentorial di atas, atau herniasi cerebellar. Otak tengah
didorong melalui tentorial. Hal ini juga mendorong otak tengah ke bawah.
6. Herniasi Tonsillar
Pada herniasi tonsillar, juga disebut herniasi cerebellar ke bawah, bergerak ke
bawah melalui foramen magnum menyebabkan kompresi batang otak yang lebih
rendah dan saraf tulang belakang. Peningkatan tekanan pada batang otak bisa
mengakibatkan disfungsi pusat yang bertanggung jawab untuk mengendalikan
fungsi pernafasan dan jantung.
Tonsillar herniasi dari otak kecil juga dikenal sebagai Malformasi Chiari
(CM), atau sebelumnya adalah Arnold Chiari Malformation (ACM). Setidaknya
ada tiga jenis malformasi Chiari yang diakui secara luas, dan mereka mewakili
proses penyakit yang sangat berbeda dengan gejala yang berbeda dan prognosis.
Kondisi ini dapat ditemukan pada pasien tanpa gejala sebagai temuan insidentil,
atau dapat menjadi begitu parah untuk membahayakan hidup. Definisi radiografi
saat ini diterima untuk suatu malformasi Chiari adalah cerebellar 5mm di bawah
tingkat foramen magnum. Beberapa dokter telah melaporkan bahwa beberapa
pasien tampaknya mengalami gejala yang konsisten dengan malformasi Chiari
tanpa bukti radiografi herniasi tonsillar.

25
Gambar 2. Ilustrasi Herniasi otak
B. ETIOLOGI
Beberapa penyebab yang sering menyebakan herniasi :
- Tumor primer atau metastasis
- Meningitis
- Hemoragia otak
- Hematoma subdural
- Abses otak
- Hidrosefalus akut
- Nekrosis otak yang diinduksi oleh radiasi

C. PATOFISIOLOGI
Edema otak barangkali merupakan sebab yang paling lazim dari peningkatan
tekanan intrakranial dan memiliki banyak penyebab antara lain peningkatan cairan
intrasel, hipoksia, ketidak seimbangan cairan dan elektrolit, iskemia serebral,
meningitis, dan tentu saja cedera.
Tekanan intrakranial pada umumnya bertambah secara berangsur-angsur.
Setelah cedera kepala, timbulnya edema memerlukan waktu 36 sampai 48 jam
untuk mencapai maksimum. Peningkatan tekanan intrakranial sampai 33 mmHg
mengurangi aliran darah otak secara bermakna. Iskemia yang timbul merangsang
pusat motor, dan tekanan darah sistemik meningkat, Rangsangan pada pusat
inhibisi jantung mengakibatkan bradikardia dan pernapasan menjadi lambat.
Mekanisme kompensasi ini, dikenal sebagai refleks Cushing, membantu
mempertahankan aliran darah otak. Akan tetapi, menurunnya pernapasan
mengakibatkan retensi CO2 dan mengakibatkan vasodilatasi otak dan jaringan
otak berpindah ke tempat yang tidak biasanya.

26
Trauma otak menyebabkan fragmentasi jaringan dan kontusio, merusak sawar
darah orak (SDO), disertai vasodilatasi dan eksudasi cairan sehingga timbul
edema. Edema menyebabkan peningkatan tekanan pada jaringan dan akhirnya
menngkatkan TIK, yang pada gilirannya akan menurunkan aliran darah otak
(ADO), iskemia, hipoksia, asidosis (penurunan pH dan penigkatan PCo2), dan
kerusakan SDO lebih lanjut. Siklus ini akan terus berlanjut sehingga terjadi
kematian sel dan edema bertambah secara progresif kecuali bila dilakukan
intervensi.

D. MANEFESTASI KLINIK
Karakteristik fisik dapat menunjukkan kerusakan otak parah. Misalnya seperti
penurunan kesadaran, dengan Glasgow Coma Skor dari tiga sampai lima, salah
satu atau kedua pupil dapat membesar dan mengecil tetapi gagal dalam merespon
terhadap cahaya. Muntah juga dapat terjadi karena kompresi dari muntah pusat di
medula oblongata.
Dapat juga dijumpain :
- Henti jantung (tanpa denyut nadi)
- Pernafasan Irregular
- Nadi Irregular
- Hilangnya semua refleks batang otak (berkedip-kedip, respon pupil terhadap
cahaya tidak ada)
- Respiratory arrest (no breathing)

E. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pemeriksaan neurologis menunjukkan perubahan kesadaran. Tergantung pada
beratnya herniasi itu, akan ada masalah dengan satu atau lebih reflex dan otak
yang berhubungan dengan fungsi saraf cranial. Pasien dengan herniasi otak
memiliki ritme jantung yang tidak teratur dan kesulitan bernafas secara konsisten.
Herniasi transtentorial, computed tomography (CT) scanning atau Magnetic
Resonance Imaging (MRI) berguna untuk evaluasi. MRI dapat memberikan
pandangan aksial, serta sagital dan koronal. Herniasi subfalcine/cingulate CT scan

27
atau MRI berguna untuk evaluasi, dengan MRI mampu memberikan aksial,
sagital, dan pandangan koronal.
Herniasi foramen magnum/herniasi tonsillar, MRI memberikan visualisasi
terbaik di pandangan sagital dan koronal. Namun, karena pasien dengan jenis
herniasi sering akut, CT scan aksial memungkinkan visualisasi dari kondisi ini.
herniasi sphenoid/herniasi Alar, MRI memberikan visualisasi terbaik pada gambar
parasagittal. Namun CT scan aksial atau MRI bisa menunjukkan perpindahan
anterior dari arteri serebral ipsilateral menengah, yang merupakan perpindahan
anterior dari arteri serebral ipsilateral menengah, yang merupakan tanda herniasi
sphenoid tidak langsung. Sedangkan herniasi ekstrakranial, CT scan atau MRI
berguna untuk evaluasi.

F. PENATALAKSANAAN
Pilihan penatalaksanaan bervariasi untuk herniasi otak. Sebagai aturan umum,
langkah pertama adalah untuk mengurangi tekanan intrakranial untuk mencegah
kerusakan lebih lanjut ke otak. Tergantung pada apa yang menyebabkan tekanan,
ini mungkin berusaha dengan obat, masuknya paralel untuk menguras kelebihan
cairan, atau tindakan bedah lainnya. Jika tekanan intrakranial bisa distabilkan,
langkah berikutnya adalah untuk menilai tingkat kerusakan, dan berbicara tentang
kemungkinan pilihan pengobatan. Dalam kasus di mana tekanan cepat diturunkan,
itu mungkin untuk menghindari kerusakan permanen.
Herniasi otak adalah darurat medis. Tujuan pengobatan adalah untuk
menyelamatkan nyawa pasien. Untuk membantu membalikkan atau mencegah
herniasi otak, tim medis akan memperlakukan meningkat pembengkakan dan
tekanan di dalam otak. Pengobatan mungkin diperlukan:
- Menempatkan drain ke otak untuk membantu mengeluarkan cairan
- Kortikosteroid, terutama jika ada tumor otak
- Pengobatan diuretik manitol atau lainnya, yang mengurangi tekanan di
dalam tengkorak
- Menempatkan intubasi endotrakeal dan meningkatkan tingkat pernapasan
untuk mengurangi tingkat karbon dioksida (CO2) dalam darah
- Menghilangkan darah jika pendarahan menyebabkan herniasi

28
G. PROGNOSIS
Herniasi otak dapat menyebabkan kecacatan atau kematian. Pasien
mungkin menjadi lumpuh. Kerusakan pada otak tengah, yang berfungsi
mengaktifkan jaringan reticular yang mengatur kesadaran akan menyebabkan
koma. Kerusakan pada pusat-pernafasan kardio di medula oblongata akan
menyebabkan pernapasan dan serangan jantung.

DAFTAR PUSTAKA

Batticaca, Fransisca B. 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan


Sistem Persarafan. Jakarta; Salemba Medika.

Beauchamp K., Mutlak H., Smith W R., Shohami E., and Stahel F P. 2008.
Pharmacology of Traumatic Brain Injury. Mol Med. 14:731-740

Brown R. 2008. Adam and Victor Principles of Neurology. Edisi 8.New York:
McGrawl Hill

Brunner & Suddarth. 2001. Keperawatan Medikal Bedah edisi 8. Jakkarta;


EGC.

Burst J. 2008. Current Diagnosis and Treatment in Neurology. New York:


McGrawHill

Coronado V G., Thomas K E., Div of Injury Response, Kegler S R. 2008. Div of
Violence Prevention, National Center for Injury Prevention and Control,
CDC 56(08); 167-170

Doenges, et al. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan . EGC: Jakarta.

Dorland. 2010. Illustrated Medical Dictionary. New York: Saunders

Fauci B. 2008. Harrisons Principles of Internal Medicine. Edisi 17. New York :
McGrawl Hill

Garg K. 2003. Chaurasias Human Anatomy, Volume 3; Head, Neck & Brain,
Fourth edition. CBS Publishers 34-38

29
Greaves I., Porter K M., Ryan J M. 2001. Head injury in trauma manual care.
Oxford University Press Inc., New York:99

Hallevi H., Albright K., Aronowski J., Barreto A., Martin-Schild et al., 2008.
Intraventricular hemorrhage: Anatomic relationships and clinical
implications Neurology. 70: 848-852

Irwana O., 2009. Cedera Kepala. Universitas Riau. Available from:


http://www.yayanakhyar.co.nr.

Jagger J., Levine J I., Jane J A., Rimel R W. 1984. Epidemiologic features of
head injury in a predominantly rural population. Journal of Trauma;24:40-
44

James C E., Corry R J., and Perry J F. 2000. Principles of Basic Surgical
Practice. A.I.T.B.S Publishers and Distributers

Japardi I. Cedera Kepala, Memahami Aspek-Aspek Penting Dalam Pengelolaan


Cedera Kepala. Bhuana Ilmu Popiler, Jakarta: 3-33

Karbakhsah M., Zandi N S., Rouzrokh M., Zarei M R. 2009. Injury


Epidiomology in Kermanshah:the National Trauma Project in Islamic
Republic of Iran. Eastern Mediterranean Health Journal 15 (1):57-63

Kelly D F. 1995. Alcohol and head injury: an issue revisited. J Neurotrauma


12:883890

Langlois J A., Rutland-Brown W., Thomas K E. 2006. Traumatic brain injury in


the United States: emergency department visits, hospitalizations, and
deaths. Atlanta (GA): Centers for Disease Control and Prevention, National
Center for Injury Prevention and Control.

Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem


Persarafan.Jakarta; Salemba Medika.

National Institute for Health and Clinical Excellence. 2007. Head Injury: triage,
assessment, investigation and early management of head injury in infants,
children and adults. National collabrating Center for Acute Care

Parenrengi M A. 2004. Peranan Senyawa Oksigen Reaktif pada Cedera Kepala


Berat dan Pengaruhnya pada Gangguan Fungsi Enzim Akonitase dan
Kondisi Asidosis Primer Otak. Official Journal of The Indonesian
Neurosurgery Society; 2(3): 157-166.

30
Price, Sylvia A. & Wilson, Lorraine M. 1995. Patofisiologi Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit. Jakaerta ; EGC.

Reisner A. 2009. Understanding Traumatic Brain Injuries. Medical Director of


Childrens Neuro Trauma Program. Available:
http://www.choa.org/Menus/Documents/OurServices/Traumaticbrainiinjur
y2009.pdf.

Rosenberg M L., Fenley M A. 1991. Violence in America: A Public Health


Approach. Oxford University Press. Sastrodoningrat A.G., 2007.
Pemahaman Indikator-Indikator Dini dalam Menentukan Prognosa Cedera
Kepala Berat. Universitas Sumatera Utara. Available:
http://www.usu.ac.id/id/files/pidato/ppgb/2007/ppgb_2007_abdul_gofar_s
strodiningrat.pdf.

Sahuquillo J. 2009. Curret Aspects of Pathophysiology and Cell Dysfunction


after Severe Head Injury. Medline

Satyanegara. 1998. Ilmu Bedah Saraf, Edisi ke-3. PT Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta :147

Schneider J J. 2007. Etiology of Traumatic Brain Injury:Impact on Psychological


Functioning. Louisiana State University. Available:
http://etd.lsu.edu/docs/available/etd-08212007-141121/

Sherwood L. 2006. Human Physiology from Cell to System. Edisi ke-5. Canada:
Thomson

Smith D H. 1996. Traumatic Brain Injury and excitatory amino acids. In


Narayan RK, Wilberger JE Povlishock JT. eds. Neurotrauma. New York:
McGraw-Hill:1445-1458

Wasserman J. 2008. Diffuse Axonal Injury Imaging. eMedicie

Werner C., Engelhard K. 2008. Pathophysiology of Traumatic Brain Injury.


British Journal of Anasthesia

Wible E F., and Laskowitz D T. 2010. Statins in Traumatic Brain Injury, The
Journal of the American Society for Experimental NeuroTherapeutics 7:62
73

31
32

Anda mungkin juga menyukai