Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kajian dan perbincangan tentang tipologi pada aliansi gramatikal sangat

menarik untuk di kaji dan ada juga beberapa penelitian tentang ini yang sudah

mengkaji dan di pelajari khususnya bagi para linguis Indonesia. Comrie (1983)

menyatakan bahwa tujuan linguistik tipologi adalah untuk mengelompokkan

bahasa berdasarkan sifat-perilaku struktural bahasa tersebut. Tujuan pokonya

adalah untuk menjawab pertanyaan: seperti apa bahasa x itu? Menurutnya, ada

dua asumsi pokok linguistik tipologi, yakni (a) semua bahasa dapat dibandingkan

berdasarkan strukturnya; dan (b) ada perbedaan di antara bahasa-bahasa yang ada.

Bahasa-bahasa dapat dikelompokkan menjadi beberapa kelompok, seperti bahasa

akusatif, bahasa ergatif, bahasa aktif, dan sebagainya.

Satu bahasa dikatakan bertipologi nominatif-akusatif, (biasa disebut

bahasa akusatif saja), apabila secara gramatikal (morfosintaksis) bahasa tersebut

memperlakukan agen (A) dari klausa transitif sama dengan argumen satu-satunya

(S) dari klausa intransitif, dan berbeda dari argumen pasien (P) klausa transitif.

Bahasa inggris misalnya, termasuk bahasa akusatif. Perhatikan contoh berikut ini.

(1) He (S) runs


(2) He (A) hits her (P)

Contoh diatas memperlihatkan bahwa A diperlakukan sama dengan

S.Perlakuan sama tersebut ditunjukkan dalam hal pemarkahan kasus,persesuaian,

dan tataurutan kata. Argumen S dalam klausa intransitif dan A dalam klausa

1
2

transitif muncul dengan kasus nominatif, sedangkan P untuk klausa transitif diberi

kasus akusatif (lihat Artawa, 2000:488)

Salah satu kajianbahasa secara mikro adalah kajian yang menyangkut

tipologi sintaksis yang terdapat dalam beberapa bahasa khusunya pada bahasa

daerah yaitu bahasa Aceh (BA) dengan asumsi dasar bahwa dalam BA ini,

penelitian diarahkan untuk melihat penggabungan dua klausa untuk menemukan

pivot bahasa tersebut yang ditentukan dengan adanya pelesapan aliansi gramatikal

sehingga subyek (S) dapat berujuk-silang (koreferensial) dengan agen (A) atau

pasien (P). Artinya apabila S sama dengan A, maka P adalah di luar. Alasan yang

menarik lainnya mengapa kajian tipologi seperti ini dilakukan adalah bahwa

sistem dan perilaku koreferensial bahasa Aceh (BA) dapat ditentukan oleh aliansi

gramatikal. Perhatikan contoh dalam bahasa Aceh berikut ini:

(3)Ani (S)geu-tik broh. (Aktif),


Ani AKT-buang sampah
Ani membuang sampah

(4) Broh (A)nyan geu-tik leh Ani (P). (Pasif),


Sampah itu AKT-buang oleh Ani
Sampah itu dibuang oleh Ani

(5) Broh nyan loen tik. (ergatif)


Sampah itu 1Tg buang
Sampah itu saya buang

Dari contoh (3) dan (4) terlihat bahwa P dan S diperlakukan sama secara

morfologis, yakni sama-sama tidak bermarkah, sedangkan setelah A dimarkahi

dengan afiks geu dan di akhiri dengan penambahan kata leholeh(pemarkah

pasif).

Dalam bahasa Aceh klitik merupakan bentuk reduksi dari pronominal.

Klitik apa yang melekat pada verba tergantung dari macam argumen. Misalnya,
3

jika argumen adalah gopnyanbeliau atau kata-kata lain yang dapat dipertukarkan

dengan gopnyan (seperti ureueng nyanorang itu, cutdakakak ), reduksi

pronominal gopnyan adalah geu- sebagai proklitik dan geuh sebagai enklitik.

Demikian pula, jikaargumen adalah kamoe kami , reduksi menjadi meu- sebagai

proklitik dan menjadi meuh sebagai enklitik. (lihat Djunaidi, 2000:161).

Perhatikan contoh berikut ini.

(6) Gopnyan geu-jak keunoe baroe.


Beliau pergi kemari kemarin

(7) * Gopnyan jak keunoe baroe.


Beliau pergi kemari kemarin

(8) Gopnyan hana teubiet sahoe uroe nyoe.


Beliau tidak keluar ke mana-mana hari ini
Beliau tidak pergi ke mana-mana hari ini.

(9) Boh meuria nyoe klat-jih.


Buah rumbia ini kelat- 3
Buah rumbia ini kelat.

(10)Boh meuria nyoe hana le klat-jih.


Buah rumbia ini tidak lagi kelat-3
Buah rumbia ini tidak lagi kelat.

Contoh (6) tidak gramatikal untuk menunjukkan bahwa predikat yang

berargumen agen (jak pergi ) mengharuskan adanya proklitik. Akan tetapi, contoh

(7), yang juga dengan predikat berargumen agen (teubietkeluar ), memperlihatkan

bahwa pelesapan proklitik ternyata tidak ada masalah. Di pihak lain, dalam (8),

argumen adalah pasien karena klat kelat bermakna sifat, tetapi pemakaian enklitik

malah tidak dibolehkan.


Djunaidi (2000:161) memaparkan ada atau tidak ada pasif dalam bahasa

ini telah menjadi pembicaraan yang hangat di antara para peneliti. Hal itu terjadi

karena pasif dalambahasa Aceh (BA) tidak menggunakan bentuk verba tambahan,

tidak memilikikasus, serta tidak memiliki diatesis morfologis pada predikat. Ciri
4

utamapasif menurut para peneliti seperti Lawler (1975, 1977, 1988) danAsyik

( 1987) adalah karena agen diberi penanda formal le oleh ,tetapi penanda formal

ini dikatakan oleh Durie (1985, 1986, 1987, 1988)bukan menjadi penanda pasif,

melainkan menjadi penanda ergatif.


Dengan menggunakan teori tipologi linguistik dan cara kerja yang bersifat

deskriptif alamiah, para ahli berupaya melakukan pengelompokan bahasa

bahasa (pentipologian) yang melahirkan tipologi bahasa. Dengan demikian, istilah

bahasa akusatif, bahasa ergatif, bahasa aktif, dan yang lainnya merupakan sebutan

tipologis untuk bahasa-bahasa yang kurang lebih (secara gramatikal) mempunyai

persamaan. (Lihat Dixon,1994).


Beberapa fenomena terjadi pada Bahasa Aceh (BA) saat ini adalah mulai

pudarnya Bahasa Aceh, baik dikalangan remaja maupun dalam masyarakat. Hal

ini terbukti pada saat penulis melakukan penelitian dan ditemukan bahwa

masyrakat Aceh khususnya pada masyarakat Aceh Selatan mereka jarang sekali

menggunakan bahasa daerah, dan ketika saat berkomunikasi dengan mereka,

terjadilah tata bahasa yang rumit untuk difahami.


Kekhasan dan kerumitan tatabahasa menjadi fenomena kebahasaan yang

penting dalam analisis linguistik (lihat Van Valin, Jr. Dan Lapolla, 1999:2-3).

Pendeskripsian fenomena bahasa tersebut dimiliki seluruh bahasa (kesemestaan

bahasa) atau bahasa-bahasa yang berbeda satu sama lain (tipologi bahasa) (lihat

Panggabean,2013). Untuk memperoleh hasil pendeskripsian bahasa secara cermat,

diperlukan landasan teoritis dan konsep efektif. Berkenaan dengan itu, ancangan

tipologi sintaksis dipergunakan untuk memperoleh pendeskripsian bahasa secara

cermat.
Di pihak lain, penelitian ini ingin menunjukkan bahwa fenomena tipologi

sintaksis dalam BA justru memiliki pula netralisasi sehingga, dengan demikian,


5

aliansi gramatikal juga dapat bekerja dalam bahasa ini. Untuk maksud tersebut,

ada tiga fenomena BA yang akan diuji, yaitu menganalisis peran semantis,

mengetahui tipe-tipe aliansi klausa dalam BA dan mendeskripsikan tipologi BA.

Ketiga fenomena ini belum ada yang mengamati, tetapi hasil yang akan

diperlihatkan di sini tentang tipologi sintaksis BA sedikit berbeda dari pendapat

Van Valin dan Lapolla (1999:255-60,278) yang telah menguji empat fenomena

gramatikal dalam BA dan mengetahui apakah relasi-relasi gramatikal ( subjek

dan objek) bekerja dengan baik dalam bahasa ini untuk menerangkan fenomena

sintaksis bahasa tersebut dengan demikian juga Djunaidi (2003) meneliti bahasa

Aceh dalam disertasi Fenomena Gramatikal Dalam Bahasa Aceh dan

menyimpulkan bahwa pandangan Van Valin dan Lapolla (1999:260) yang

menyatakan bahwa tidak ada relasi gramatikal teretentu dalam Bahasa Aceh tidak

dapat diterima seluruhnya. Untuk fenomena gramatikal berupa persesuaian verba,

konstruksi keumeung atau keuneuk hendak,ingin,mau, dan penaikan pemilik,

memang tidak ada motivasi bagi BA untuk menetapkan suatu relasi gramatikal

tertentu. Ketiga konstruksi ini hanya dapat diterangkan secara semantis melalui

peran-peran semantis. Akan tetapi, tidak demikian halnya untuk fenomena

gramatikal berupa penaikan atau penyandian matriks dan penambahan partikel

di. Kedua fenomena ini menunjukkan bukti-bukti bahwa ada suatu relasi

gramatikal tertentu dalam bahasa Aceh karena terdapat suatu netralisasi semantis

di dalam kedua alat itu, yang dapat dirumuskan dalam suatu relasi gramatikal

subjek. Namun penelitian yang diperlihatkan di sini juga berbeda dari penjelasan

Abdul Djunaidi.
Kajian tipologis terhadap BA, sebagai salah satu bahasa daerah penting

dan bernilai ilmiah untuk dilakukan. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa
6

sampai saat ini terdapat banyak pendapat tentang pengelompokan secara tipologis

bahasa-bahasa daerah Indonesia, bahkan tipologi sintaksis bahasa Indonesiapun

masih perlu penelaah lanjutan yang lebih tajam dan sungguh-sungguh (lihat

Jufrizal,2004).
Penganalisian terhadap BA dilakukan dengan meneliti kalimat BA sebagai

pembangun gramatikal bahasa tersebut. Menurut Alsina (1996:4-7) sebuah

predikat mengungkapkan hubungan antara pelibat-pelibat dalam sebuah kalimat.

Perilaku predikat (verba) sebuah kalimat menentukan struktur argumen dan

keberterimaan unsur lainnya. Struktur argumen yang membangun kalimat

dimarkahi oleh fitur-fitur gramatikal bahasa S,O,OL,OTL,OBL, agen dan pasien

yang dikenal dengan istilah relasi dan aliansi gramatikal.


Peneltian ini ingin menunujukkan bahwa fenomena gramatikal dalam

bahasa Aceh justru memiliki pula netralisasi sehingga, dengan demikian, relasi-

relasi gramatikal dalam ancangan tipologi juga dapat bekerja dalam bahasa ini.

Penulis juga ingin menguji dan menganalisis tes kepivotan dalam karya ini untuk

menentukan dan mengetahui apakah semua tipe-tipe aliansi klausa terdapat dalam

bahasa Aceh (BA).

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah penelitian, pokok dan pertanyaan

penelitian yang mendasari penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

(a) Bagaimanakah sistem pivot pada BA?

(b) Bagaimanakah peran semantis yang terdapat dalam BA?

(c) Bagaimanakah tipologi sintaksis bahasa yang terdapat dalam BA?


7

1.3 Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan

bagaimana peran semantis ,tipe-tipe aliansi klausa berdasarkan analisis dan

bagaimana tipologi bahasa yang terdapat dalam BA khususnya kajian tipologi.

Penelitian ini berusaha untuk mengungkapkan salah satu kajian tipologi

yang dihubungkan antara klausa atau kalimat dalam BA. Dengan demikian, di

harapkan dapat menambah dan melengkapi penelitian selanjutnya khususnya

dalam ranah linguistik. Di samping itu, penelitian ini diharapkan dapat membantu

usaha pemerintah dalam pembinaan dan pengembangan bahasa daerah terutama

BA, khususnya yang menyangkut linguistik murni sehingga penguasaan dan

pemakaian BA dapat ditingkatkan. Selain itu, dengan adanya penelitian ini akan

memberi sumbangan dalam bidang pengajaran BA.

1.3.1 Tujuan umum

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menemukan fakta bahwa

kurangnya masyarakat Aceh khususnya Aceh Selatan dalam menggunakan bahasa

daerah, dan ketika saat berkomunikasi dengan mereka, terjadilah tata bahasa yang

rumit untuk difahami.

1.3.2 Tujuan khusus

(a) Mengetahui apakah semua tipe-tipe aliansi klausa terdapat dalam BA.

(b) Menganalisis peran semantis BA.

(c) Mendeskripsikan tipologi sintaksis BA.

1.4 Manfaat Penelitian


8

Manfaat penelitian ini digolongkan atas dua bagian, yaitu manfaat secara

teoretis dan manfaat secara praktis.

Secara teoretis, penelitian ini dapat memperkaya pengetahuan linguistik

khususnya dalam bidang sintaksis dan tipologi linguistik. Penelitian ini juga dapat

menjadi rujukan bagi para peneliti linguistik di Indonesia yang tertarik untuk

menindak lanjuti kajian tipologi ini yang dikaitkan ke dalam bahasa daerah.

Secara praktis penelitian ini dapat berguna bagi penutur masyarakat Aceh

khususnya bagi para generasi muda yang akan datang agar mereka dapat

menggunakan dan berkomunikasi didalam BA secara baik dan benar. Hasil

penelitian ini juga berguna bagi pendokumentasian, sehingga dapat dijadikan

sumberlanguage planninguntuk mengetahui struktur dan tatabahasa BA di dalam

keperluan revitalisasi BA. Kajian ini khususnya dapat memberikan sumbangan

positif terhadap perkembangan BA dan juga dapat dimasukkan sebagai bahan

pembanding bagi para peneliti yang tertarik meneliti kajian tipologi ini dalam

bahasa daerah. Kajian ini juga dapat bermanfaat untuk memperkaya pengetahuan

tentang tipologi dan dapat membuka peluang penelitian lanjutan bagi para linguis

Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai