PENDAHULUAN
menarik untuk di kaji dan ada juga beberapa penelitian tentang ini yang sudah
mengkaji dan di pelajari khususnya bagi para linguis Indonesia. Comrie (1983)
adalah untuk menjawab pertanyaan: seperti apa bahasa x itu? Menurutnya, ada
dua asumsi pokok linguistik tipologi, yakni (a) semua bahasa dapat dibandingkan
berdasarkan strukturnya; dan (b) ada perbedaan di antara bahasa-bahasa yang ada.
memperlakukan agen (A) dari klausa transitif sama dengan argumen satu-satunya
(S) dari klausa intransitif, dan berbeda dari argumen pasien (P) klausa transitif.
Bahasa inggris misalnya, termasuk bahasa akusatif. Perhatikan contoh berikut ini.
dan tataurutan kata. Argumen S dalam klausa intransitif dan A dalam klausa
1
2
transitif muncul dengan kasus nominatif, sedangkan P untuk klausa transitif diberi
tipologi sintaksis yang terdapat dalam beberapa bahasa khusunya pada bahasa
daerah yaitu bahasa Aceh (BA) dengan asumsi dasar bahwa dalam BA ini,
pivot bahasa tersebut yang ditentukan dengan adanya pelesapan aliansi gramatikal
sehingga subyek (S) dapat berujuk-silang (koreferensial) dengan agen (A) atau
pasien (P). Artinya apabila S sama dengan A, maka P adalah di luar. Alasan yang
menarik lainnya mengapa kajian tipologi seperti ini dilakukan adalah bahwa
sistem dan perilaku koreferensial bahasa Aceh (BA) dapat ditentukan oleh aliansi
Dari contoh (3) dan (4) terlihat bahwa P dan S diperlakukan sama secara
pasif).
Klitik apa yang melekat pada verba tergantung dari macam argumen. Misalnya,
3
jika argumen adalah gopnyanbeliau atau kata-kata lain yang dapat dipertukarkan
pronominal gopnyan adalah geu- sebagai proklitik dan geuh sebagai enklitik.
Demikian pula, jikaargumen adalah kamoe kami , reduksi menjadi meu- sebagai
berargumen agen (jak pergi ) mengharuskan adanya proklitik. Akan tetapi, contoh
bahwa pelesapan proklitik ternyata tidak ada masalah. Di pihak lain, dalam (8),
argumen adalah pasien karena klat kelat bermakna sifat, tetapi pemakaian enklitik
ini telah menjadi pembicaraan yang hangat di antara para peneliti. Hal itu terjadi
karena pasif dalambahasa Aceh (BA) tidak menggunakan bentuk verba tambahan,
tidak memilikikasus, serta tidak memiliki diatesis morfologis pada predikat. Ciri
4
utamapasif menurut para peneliti seperti Lawler (1975, 1977, 1988) danAsyik
( 1987) adalah karena agen diberi penanda formal le oleh ,tetapi penanda formal
ini dikatakan oleh Durie (1985, 1986, 1987, 1988)bukan menjadi penanda pasif,
bahasa akusatif, bahasa ergatif, bahasa aktif, dan yang lainnya merupakan sebutan
pudarnya Bahasa Aceh, baik dikalangan remaja maupun dalam masyarakat. Hal
ini terbukti pada saat penulis melakukan penelitian dan ditemukan bahwa
masyrakat Aceh khususnya pada masyarakat Aceh Selatan mereka jarang sekali
penting dalam analisis linguistik (lihat Van Valin, Jr. Dan Lapolla, 1999:2-3).
bahasa) atau bahasa-bahasa yang berbeda satu sama lain (tipologi bahasa) (lihat
diperlukan landasan teoritis dan konsep efektif. Berkenaan dengan itu, ancangan
cermat.
Di pihak lain, penelitian ini ingin menunjukkan bahwa fenomena tipologi
aliansi gramatikal juga dapat bekerja dalam bahasa ini. Untuk maksud tersebut,
ada tiga fenomena BA yang akan diuji, yaitu menganalisis peran semantis,
Ketiga fenomena ini belum ada yang mengamati, tetapi hasil yang akan
Van Valin dan Lapolla (1999:255-60,278) yang telah menguji empat fenomena
dan objek) bekerja dengan baik dalam bahasa ini untuk menerangkan fenomena
sintaksis bahasa tersebut dengan demikian juga Djunaidi (2003) meneliti bahasa
menyatakan bahwa tidak ada relasi gramatikal teretentu dalam Bahasa Aceh tidak
memang tidak ada motivasi bagi BA untuk menetapkan suatu relasi gramatikal
tertentu. Ketiga konstruksi ini hanya dapat diterangkan secara semantis melalui
di. Kedua fenomena ini menunjukkan bukti-bukti bahwa ada suatu relasi
gramatikal tertentu dalam bahasa Aceh karena terdapat suatu netralisasi semantis
di dalam kedua alat itu, yang dapat dirumuskan dalam suatu relasi gramatikal
subjek. Namun penelitian yang diperlihatkan di sini juga berbeda dari penjelasan
Abdul Djunaidi.
Kajian tipologis terhadap BA, sebagai salah satu bahasa daerah penting
dan bernilai ilmiah untuk dilakukan. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa
6
sampai saat ini terdapat banyak pendapat tentang pengelompokan secara tipologis
masih perlu penelaah lanjutan yang lebih tajam dan sungguh-sungguh (lihat
Jufrizal,2004).
Penganalisian terhadap BA dilakukan dengan meneliti kalimat BA sebagai
bahasa Aceh justru memiliki pula netralisasi sehingga, dengan demikian, relasi-
relasi gramatikal dalam ancangan tipologi juga dapat bekerja dalam bahasa ini.
Penulis juga ingin menguji dan menganalisis tes kepivotan dalam karya ini untuk
menentukan dan mengetahui apakah semua tipe-tipe aliansi klausa terdapat dalam
yang dihubungkan antara klausa atau kalimat dalam BA. Dengan demikian, di
dalam ranah linguistik. Di samping itu, penelitian ini diharapkan dapat membantu
pemakaian BA dapat ditingkatkan. Selain itu, dengan adanya penelitian ini akan
daerah, dan ketika saat berkomunikasi dengan mereka, terjadilah tata bahasa yang
(a) Mengetahui apakah semua tipe-tipe aliansi klausa terdapat dalam BA.
Manfaat penelitian ini digolongkan atas dua bagian, yaitu manfaat secara
khususnya dalam bidang sintaksis dan tipologi linguistik. Penelitian ini juga dapat
menjadi rujukan bagi para peneliti linguistik di Indonesia yang tertarik untuk
menindak lanjuti kajian tipologi ini yang dikaitkan ke dalam bahasa daerah.
Secara praktis penelitian ini dapat berguna bagi penutur masyarakat Aceh
khususnya bagi para generasi muda yang akan datang agar mereka dapat
pembanding bagi para peneliti yang tertarik meneliti kajian tipologi ini dalam
bahasa daerah. Kajian ini juga dapat bermanfaat untuk memperkaya pengetahuan
tentang tipologi dan dapat membuka peluang penelitian lanjutan bagi para linguis
Indonesia.