Anda di halaman 1dari 16

Penyakit Varisela dan Penatalaksanaannya

Ummu Hanani Athirah binti Mohd Kamaludin


102012507
D7
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Arjuna Utara No.6 Jakarta 11510
(021) 5694-2061
hanani.kamaludin@gmail.com

Skenario

Seorang anak berusia 7 tahun dengan keadaan timbul bintil-bintil berisi cairan di dada
dan punggung sehingga menyebar ke tungkai disertai demam, nyeri otot dan batuk pilek ringan
selama 3 hari yang lalu.

Anamnesis

Anamnesis terbagi kepada dua yaitu autoanamnesis dan alloanamnesis. Autoanamnesis


adalah proses wawancara antara dokter dan pasien itu sendiri sedangkan alloanamnesis adalah
wawancara antara dokter dengan bantuan pihak lain untuk menyampaikan maklumat tentang
pasien seperti yang berlaku dalam skenario ini dimana ibu pada anak ini yang menjalani
anamnesis ini. Pada anamnesis yang lengkap, ditanyakan nama, umur, jenis kelamin, keluhan
utama, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit sekarang, riwayat sosial, riwayat keluarga, dan
riwayat obat.

Keluhan utama dan riwayat penyakit sekarang

Ditanyakan mengenai keluhan utama pasien datang ke puskesmas dan ibu pasien
menyatakan bahwa anaknya timbul bintil-bintil berisi cairan pada tubuhnya. Maka, yang harus
ditanyakan berdasarkan keluhan ini adalah seperti berikut:

Menanyakan letaknya serta distribusi bintil-bintil cairan pada tubuh pasien


1
Menanyakan distribusi bintil-bintil tersebut berada pada satu sisi tubuh (unilateral) atau
pada kedua-dua sisi tubuhnya (bilateral)

Menanyakan sifat bintil-bintil cairan:

1. Menanyakan isi cairan bintil dan warnanya (jernih, putih, kuning atau merah)

2. Menanyakan dasar lesi (kemerahan atau tidak)

3. Menanyakan keadaan lesi yang sudah pecah (meninggalkan keroping atau tidak)

4. Menanyakan bintil menyebabkan rasa gatal atau nyeri pada pasien.

Ibu pasien menyatakan bintil-bintil cairan timbul pada punggung dan dadanya yang menyebar ke
tungkai sejak 1 hari lalu. Selain daripada ciri-ciri pada bintilnya, dokter harus menanyakan
perkembangan atau pemburukan sakit pada pasien serta apakah pasien pernah mengambil obat
sebelum ke puskesmas. Kemudian ditanyakan juga tentang keluhan penyerta sekiranya pasien
mengalami gejala-gejala klinis yang lain. Ibunya menyatakan bahwa anaknya juga menderita
demam 3 hari sebelumnya disertai nyeri otot dan batuk pilek ringan.

Riwayat penyakit dahulu

Ditanyakan apakah pernah mengalami gejala-gejala yang dinyatakan sebelum ini. Selain
itu, dokter mungkin boleh menanyakan mengenai penyakit lain yang mungkin pernah dialami
oleh pasien seperti alergi atau penyakit kulit lain.

Riwayat pribadi dan sosial

Ditanyakan mengenai keadaan lingkungan pasien tersebut misalnya pergaulannya dengan


teman-teman, keadaan hygienis lingkungan dan sebagainya. Ibu pasien menyatakan bahwa
teman sekelas anaknya mengalami keluhan yang sama sekitar 2 minggu yang lalu.

Riwayat keluarga dan pengobatan

Ditanyakan apakah ada anggota keluarga yang mengalami gejala yang sama sebelumnya.
Selain itu, dokter juga boleh menanyakan tentang sebarang pengobatan yang sedang diambil oleh
pasien atau vaksinasi yang pernah pasien dapatkan.

2
Pemeriksaan Fisik
Setelah di anamnesis, pasien harus menjalani pemeriksaan fisik untuk memudahkan diagnosa
terhadap penyakitnya.1 Pemeriksaan yang harus dilakukan adalah pemeriksaan tanda vital
disertai pemeriksaan lain yang berkaitan dengan keluhannya.
Pemeriksaan vital terdiri daripada beberapa kriteria seperti berikut:
1. Pengukuran suhu
Pemeriksaan ini dapat dilakukan pada beberapa bagian tubuh seperti mulut, ketiak dan
anus. Melalui pemeriksaan ini, kita dapat menentukan suhu inti tubuh seseorang yang
vital dalam memastikan kelangsungan fungsi tubuh.
2. Pengukuran tekanan darah
Bacaan tekanan yang perlu diambil adalah tekanan sistolik yaitu kontraksi maksimal
jantung dan tekanan diastolik yaitu tekanan istirahat.
3. Pemeriksaan denyut nadi
Pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan mengambil denyut arteri radialis pergelangan
tangan atau arteri brachialis pada lengan atas. Pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan
bantuan stetoskop.
4. Pengukuran kecepatan pernapasan
Pemeriksaan ini dilakukan dengan mengira kadar pernafasan pasien dalam keadaan
istirahat. Dalam keadaan normal, pernapasan seseorang itu berada 12-16 kali pernapasan
per menit.
5. Inspeksi pada kulit pasien
Pemeriksaan ini untuk melihat adanya vesikel, papilla atau crusta pada tubuh pasien
6. Inspeksi karakteristik bintil-bintil pada tubuh pasien
Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat sifat-sifat ruam yang timbul pada tubuh pasien.
Penyebaran dan lokasi ruam juga dapat membantu dalam menjalankan diagnosa penyakit.

Pemeriksaan Penunjang
Kebiasaannya pemeriksaan penunjang jarang dilakukan sekiranya sifat-sifat khas bintil
pada tubuh atau gejala-gejala khas sesuatu penyakit telah ditunjukkan karena pemeriksaan
penunjang ini membutuhkan uang dan masa untuk mendapatkan hasilnya. Namun begitu,
terdapat juga beberapa uji yang dapat mendukung keputusan diagnosa dokter terhadap pasien.2
Pemeriksaan serologik dapat menegakkan diagnosis dengan membandingkan titer
antibodi masa akut dengan masa penyembuhan. Isolasi VZV ini akan menghasilkan kenaikan
empat kali lipat perbandingan antara antibodi fase akut dengan fase penyembuhan. Pemeriksaan
ini juga membantu untuk memastikan individu yang rentan agar dapat diisolasi dan dilakukan
profilaksis agar penyakitnya tidak menular. Selain itu, kita juga dapat mendeteksi kehadiran

3
DNA VZV dalam tubuh dengan menjalankan PCR.3 Pemeriksaan Tzank smear turut dijalankan
untuk mendeteksi multinucleated giant cells yang hadir sekiranya seseorang itu menderita
varicella. Pemeriksaan ini dilakukan dengan mengambil korekan dari dasar lesi dan hasilnya
harus ditentukan sama ada pasien menderita cacar atau herpes zoster. Namun begitu, uji-uji yang
dinyatakan ini memiliki sensitifitas yang rendah dari hasil uji kajinya. 4
Pemeriksaan Fluorescent (FAMA) dan Pemeriksaan enzyme-linked immunosorbent assay
(ELISA) adalah uji pemeriksaan yang paling sensitif. FAMA dapat mendeteksi immunofloresens
antibodi terhadap antigen VZV.3

Diagnosis Banding

Dari skenario di atas, gejala utama timbul bintil-bintil cairan pada tubuh anak tersebut membawa
kepada beberapa jenis penyakit seperti berikut:

a) Rubeola


Rubeola atau dikenali umum sebagai campak dikarenakan oleh infeksi virus
Morbili (Paramyxoviridae). Rubeola dapat menyebabkan timbulnya ruam-ruam
pada tubuh pasien. Ruamnya berbentuk ruam makulopapular eritematous dan
ruamnya konfluens. Selain itu, terdapat gejala khas 3C yaitu cough,
conjunctivitis, dan coryza.1,3

b) Rubella


Rubella terjadi disebabkan oleh virus Rubella yang berasal dari family
Togaviridae. Pada kasus rubella juga terdapat gejala yang mirip dengan pasien
yaitu timbul ruam-ruam pada tubuh. Namun, penyakit rubella ini mempunyai ciri
khas tersendiri yang membedakannya dengan penyakit lain. Gejala khasnya
adalah ruam makulopapular yang disertai dengan limfadenopati di belakang
telinga dan belakang leher.1,3

c) Variola

4

Variola atau nama umumnya, smallpox mempunyai ciri dan gejala yang sangat
mirip dengan varisela sehingga amat sulit untuk membedakan keduanya. Variola
dapat terjadi karena infeksi virus Variola minor dan Variola major. Variola dan
varisela dapat dibedakan dengan melihat karakteristik dari ruam yang timbul pada
tubuh. Ruam pada varisela multiforme, yaitu mempunyai papul, vesikel, pustule
dan kusta pada daerah yang sama. Manakala pada variola ruam tidak multiforme.
Pada varisela, ruam yang timbul banyak di muka dan bagian tengah tubuh, sedikit
pada ekstremitas. Pada variola, ruam banyak terdapat pada muka dan ekstremitas,
sedikit di bagian tengah tubuh.1,3

Working Diagnosis

Varisela dapat didiagnosis setelah dilakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan tunjang.
Pemeriksaan darah rutin tidak membantu dan tidak diperlukan untuk menegakkan diagnosis.
Pemeriksaan dengan pulasan Tzanck terhadap kerokan dasar vesikel menunjukkan
multinucleated giant cell. Diagnosis pasti adalah dengan mengisolasi VZV pada kultur sel yang
diinokulasi dengan cairan vesikel, darah, cairan serebrospinal, atau jaringan yang terinfeksi,
walaupun hanya 30-60% positif. Pemeriksaan serologik juga dapat membantu menegakkan
diagnosis secara retrospektif dengan membandingkan titer antibodi fase akut dengan fase
penyembuhan.2 Varisela biasanya mudah didiagnosis berdasarkan erupsi kulit yang timbul,
terutama apabila ada riwayat terpajan varisela 2-3 minggu sebelumnya. 2 Dengan memahami
karakteristik vesikel yang timbul, diagnosis sudah dapat ditegakkan.

Etiologi

Varisela adalah sejenis penyakit yang disebabkan oleh Varicella Zoster Virus (VZV).
Virus ini tergolong dalam kelompok herpes virus tipe alfa. Alfa herpes virus dikenali sebagai
virus yang mampu menginfeksi saraf. Sifat VZV adalah berkapsul dengan diameter 150-200 nm
dan intinya yang berbentuk icosahedral terdiri dari protein dan DNA berantai ganda.1

VZV tidak mempunyai reservoir hewan dan virus ini menjalar dalam kultur jaringan
fibroblast paru embrio manusia sehingga menghasilkan multinucleated giant cell dan badan
inklusi eusinofilik jernih.4 VZV yang dapat ditemukan dalam cairan vesikel dan darah penderita
ini dapat menimbulkan penyakit varisela dan Herpes Zoster. Pada kontak pertama, virus ini akan
5
menyebabkan infeksi akut primer; varisela atau dikenali juga sebagai cacar. Penderita dapat
sembuh, atau virusnya menjadi laten maka penderita sembuh dari cacar namun, jika berlaku
reaktivasi virus, maka penderita akan mendapat Herpes Zoster.5 Pada orang dewasa yang pertama
kali terjangkit VZV dapat berkembang menjadi pneumonia viral yang serius.

Epidemiologi

Manusia adalah satu-satunya reservoir untuk VZV.3 Chickenpox sangat menular, dengan
tingkat serangan minimal 90% di antara individu yang rentan. Individual dari kedua jenis
kelamin dan semua ras boleh terinfeksi.1 Virus ini bisa menjadi epidemik di kalangan individu
yang rentan selama puncak musiman, yaitu selama akhir musim dingin dan awal musim semi di
zona beriklim sedang. Anak-anak antara usia 5 dan 9 yang paling sering terkena dan mencakupi
50% dari semua kasus. Sekitar 10% dari penduduk United State di atas usia 15 adalah rentan
terhadap infeksi. Vaksinasi VZV selama tahun kedua kehidupan secara dramatis mengubah
epidemiologi infeksi.1

Patofisiologi

Varisela dimulai dengan pemasukan virus ke mukosa yang dipindahkan dalam sekresi
saluran nafas atau dengan kontak langsung lesi kulit varisela atau herpes zoster. Pemasukan
disertai dengan masa inkubasi selama 10-21 hari.1-3 Multiplikasi virus di tempat tersebut akan
diikuti oleh penyebaran virus dalam jumlah sedikit melalui darah dan limfe. Hal ini dikenali
sebagai viremia primer yang bermaksud penyebaran virus ke seluruh tubuh. Virus yang tersebar
ini dapat dimusnahkan oleh sel sistem retikuloendotel, yang merupakan tempat utama replikasi
virus sepanjang masa inkubasi. Selama masa inkubasi virus akan dihambat sebagian oleh
mekanisme pertahanan tubuh dan respon imun yang timbul. Pada sebagian besar individu yang
terinfeksi, replikasi virus yang cepat dapat mengalahkan pertahanan tubuh yang belum

6
berkembang, sehingga 2 minggu setelah infeksi terjadi viremia sekunder dalam jumlah yang
lebih banyak. Viremia ini akan menyebabkan demam dan malese serta menyebarkan virus ke
seluruh tubuh, terutama ke kulit dan mukosa sehingga timbul lesi-lesi kulit atau vesikel yang
berair.2,3 Cairan dalam vesikel-vesikel yang timbul adalah eksudat yang mengandung cairan
keruh yang terdiri dari leukosit polimorfonuklear (PMN) dan sel-sel yang degenerasi serta
fibrin.1 Vesikel-vesikel ini dapat pecah dan melepaskan cairannya (yang mengandungi virus) atau
akan diabsorbsi kembali.1 Respon imun pasien yang kemudian berkembang akan menghentikan
viremia dan menghambat berlanjutnya lesi pada kulit dan organ lain. Kesemua respon di atas
merupakan infeksi primer.1

Setelah infeksi primer, dapat terjadi infeksi rekurens, tergantung kepada kekuatan sistem
imun individu tersebut. Penyebaran viseral virus menyertai kegagalan respon hospes untuk
menghentikan viremia, yang menyebabkan infeksi paru, hati, otak, dan organ lain. VZV menjadi
laten di sel akar ganglia dorsal pada semua individu yang mengalami infeksi primer.
Reaktivitasinya menyebabkan ruam vesikuler terlokalisasi yang biasanya melibatkan penyebaran
dermatom dari satu saraf sensoris, perubahan nekrotik ditimbulkan pada ganglia terkait, kadang-
kadang meluas kedalam kornu posterior.1,2 Histopatologi varisela dan lesi herpes zoster adalah
identik. VZV infeksius ada pada lesi herpes zoster, sebagaimana ia berada dalam lesi varisela,
tetapi tidak dilepaskan kedalam sekresi pernafasan. Supresi imunitas seluler pada VZV
berkorelasi dengan penambahan reaktivasi VZV sebagai herpes zoster.1,2

7
Gambar 2. Patogenesis Virus Varisela Zoster4

Sistem Imun Tubuh

Dalam sistem imun tubuh, terdapat dua jenis limfosit yang penting, yaitu sel-B dan sel-T.
Sel-B tumbuh dan matang dalam sumsum tulang manakala sel-T diproduksi dalam sumsum
tulang dan matang dalam kelenjar timus. Sel-B terlibat dalam sistem imunitas humoral yang
memproduksi antibodi dan sel-T terlibat dalam sistem imunitas seluler yang dapat langsung
menghancurkan antigen asing. Sel-T merancang, mengatur, dan mengkoordinasi respon imun
secara keseluruhan.6

Sel-T terdiri dari dua bentuk yaitu sel-T helper (CD4) dan sel-T cytotoxic (CD8). Fungsi
utama dari sel-T adalah membantu (helper/inducer) dan membunuh (cytotoxic/suppressor).
Aktivasi dari sel-T akan mensekresi interleukin-2 (IL-2) yang akan merangsang produksi
reseptor IL-2 dan proliferasi sel-T. Antigen asing yang masuk ke dalam tubuh difagosit oleh sel
makrofag, kemudian diproses dan terbentuk fragmen antigen yang akan berkombinasi dengan
protein MHC kelas II pada permukaan makrofag. Maka, terbentuklah antigen presenting cell
(APC). MHC kelas II dari APC ini akan dideteksi oleh T-Cell Reseptor (TCR) yang terdapat
pada permukaan sel-T helper yang tidak aktif. MHC kelas II dari APC akan bergabung dengan
TCR dari sel-T helper dan akan mengaktifkan sel-T helper ini. Sel-T helper yang aktif ini akan
8
mensekresi IL-2 dan mengaktifkan sel-T cytotoxic. Sel-T cytotoxic yang aktif ini akan
menyerang sel yang terinfeksi dengan cara melepaskan perforin dan menyebabkan lisis sel yang
teinfeksi tersebut lalu menghancurkan sel itu.6

Sel-B berperan dalam menghasilkan antibody yang bakal melindungi tubuh dari infeksi-
infeksi yang berulang. Seperti reaksi pengaktifan sel-T helper di atas, selain menghasilkan IL-2,
sel-T helper juga mensekresi IL4, IL-5, dan IL-6. Ketiga-tiga interleukin ini berperan penting
dalam jalur humoral. IL-4 berperan dalam proliferasi sel-B manakala IL-5 dan IL-6 berperan
dalan proses diferensiasi sel-B menjadi sel plasma yang seterusnya akan menghasilkan antibodi.
Jalur humoral ini terdiri dari dua yaitu jalur T-dependen dan jalur T-independen. Jalur T-
dependen memerlukan sel-T untuk pengaktifan sel-B dan menghasilkan antibodi namun jalur T-
independen tidak memerlukan sel-T. Jalur T-independen menggunakan antibodi IgM yang
terdapat pada permukaan sel-B sebagai reseptor terhadap antigen. Jalur T-dependen
menghasilkan sel memori tetapi jalur T-independen tidak menghasilkan sel memori.6

Antibodi atau imunoglobulin terbagi menjadi beberapa kelas (isotype) immunoglobulin,


yaitu IgG, IgM, IgA, IgE, dan IgD. IgA merupakan isotype terbesar dalam sekret mukosa, IgE
berjumlah sedikit dan ditemukan melekat pada permukaan jaringan sel mast, dan IgD ditemukan
melekat pada permukaan sel B namun tidak disekresikan. Tiap tipe memiliki perbedaan dalam
kemampuan mengatasi sel yang inflamasi dan memerankan peranan berbeda dalam proteksi
hospes serta lokasi penyakit.6
Pada infeksi varisella, IgG, IgM, IgA meningkat setelah 2-5 hari munculnya ruam dan
terus meningkat higga mencapai puncak pada minggu ke-2 dan ke-3. Selanjutnya kadar IgG,
IgM, dan IgA akan menurun. Namun kadar IgG tetap ada meskipun pada level yang lemah.
Namun apabila berikutnya terjangkit herpes zoster (infeksi kali kedua), kadar IgG akan
meningkat secara liar dan menjadi lebih hebat dari infeksi yang pertama. Sistem imun seluler
memiliki peran penting pada perlawanan dan proteksi terhadap infeksi. Apabila jalur seluler
tidak berfungsi, infeksi varisella dapat berakibat fatal.2

9
Gambar 3. Jalur Sistem Pertahanan Tubuh4
Gejala Klinis

Masa inkubasi terjadi pada 11-21 hari,tapi biasa nya penyakit mulai 14-16 hari sesudah
pemajanan. Perjalanan penyakitnya dibagi dalam dua stadium, stadium prodomal, 24 jam
sebelum kelainan kulit timbul, terdapat gejala panas, perasaan lemah (malaise), anoreksia.
Kadang-kadang terdapat kelainan scarlatinaform atau morbiliform.3 Stadium yang kedua
adalah stadium erupsi,dimulai dari munculnya makula-makula merah yang kemudian dengan
cepat berubah menjadi vesikel kecil dengan tepi yang eritema, berisi cairan jernih dan tidak
memperlihatkan cekungan di tengah( unumbilicated).4 Kemudian menjadi pustula dan
terakhir menjadi krusta. Isi vesikel menjadi keruh dalam 24 jam,biasanya vesikel menjadi
kering sebelum isinya menjadi keruh. Dalam 3-4 hari erupsi tersebar pada umumnya muncul
di kepala dan telinga kemudian menyebar secara sentrifugal ke wajah, leher, badan dan
ekstremitas. Erupsi ini menimbulkan perasaan gatal.1,3

Karena kemungkinan varisela terjadi pada masa anak-anak maka jarang terjadi pada
wanita hamil. Diperkirakan 17% dari anak yang dilahirkan wanita yang mendapat varisela
ketika hamil akan menderita kelainan kulit bawaan berupa bekas luka di kulit(cutaneus
scars), berat badan lahir rendah, hipoplasia tungkai, kelumpuhan dan atropi tungkai, kejang,

10
katarak atau kelainan mata lainnya dan menyebabkan angka kematian tinggi. Bila seorang
wanita hamil mendapat varisela dalam 21 hari sebelum melahirkan, maka 25% dari neonatus
yang dilahirkan akan memperlihatkan gejala varisela kongenital pada waktu dilahirkan
sampai beumur 5 hari. Sedangkan jika wanita hamil mendapatkan varisela dalam waktu 4-5
hari sebelum melahirkan, maka neonatusnya akan memperlihatkan gejala varisela kogenital
pada umur 5-10hari. Disini perjalanan penyakit varisela sangat berat dan menyebabkan
kematian 25-30%.1-3

Pengobatan

Varisela umumnya bersifat ringan dan self-limiting maka kebanyakan penderita tidak
memerlukan terapi khusus selain istirahat dan pemberian asupan cairan yang cukup. Pada infeksi
varisela ini, biasanya dimulai dengan gejala prodromal seperti demam, malaise dan nyeri kepala.
Maka, pengobatan bersifat simptomatik dapat membantu mengurangi keluhan yang diderita
pasien. Justru yang sering menjadi masalah adalah rasa gatal yang menyertai erupsi. Bila pasien
merasa gatal dan menggaruk pada lesi-lesi yang timbul di kulit, maka ini akan dapat
menyebabkan terjadinya jaringan parut pada bekas vesikel yang pecah dan memberikan kesan
kosmetik yang kurang baik.7

Secara umumnya, pasien yang mengalami varisela akan diisolasi untuk mencegah
penularan virus tersebut. Pasien juga akan menerima asupan bergizi tinggi dengan kalori dan
protein untuk mempercepat proses pemulihan dan membantu sistem imunitas tubuh. Bila pasien
diserang demam tinggi, pengambilan obat antipiretik dan kompres dengan air hangat akan
membantu untuk memulihkan suhu badan pasien.7 Kebersihan lingkungan dan tubuh pasien juga
harus dijaga agar infeksi pada kulit tidak terjadi misalnya denan pemberian antiseptic pada air
mandi. Selain itu, vesikel pada tubuh juga sebolehnya tidak dipecahkan dengan tidak menggaruk
vesikel, kuku tidak dibiarkan panjang serta apabila hendak mengeringkan badan, jangan digosok
sedangkan cukup tepal-tepalkan handuk pada kulit.8

Selain itu, terdapat juga pengobatan menggunakan obat antivirus. Antivirus efektif
apabila diberikan dalam 24 jam pertama setelah muncul lesi kulit karena dapat lebih cepat
menurunkan demam serta gejala kulit dan sistemik. Obat antivirus diberikan pada varisela yang
lebih berat dan atau yang mempunyai risiko lebih besar untuk terjadi komplikasi, misalnya kasus

11
pajanan sekunder, usia lebih dari 13 tahun, dan pasien dengan penyakit kulit kronik. Pada bayi
atau anak yang imunokompromais berat, antivirus intravena merupakan obat pilihan agar kadar
dalam plasma cukup tinggi untuk menghambat replikasi virus. Antivirus intravena dapat
menurunkan morbiditas dan mortalitas varisela pada pasien immunokompromais, terutama bila
diberikan 72 jam setelah munculnya lesi kulit. Pada pasien imunokompromais ringan dapat
diberikan secara oral.1,2

Golongan analog nukleosida adalah obat antivirus yang efektif untuk mengobati infeksi
VZV seperti asiklovir, famsiklovir, valasiklovir dan vidarabin. Asiklovir adalah suatu analog
guanosin yang secara selektif difosforilasi oleh timidin kinase VVZ sehungga terkonsentrasi
pada sel yang terinfeksi. Enzim-enzim seluler kemudian mengubah asiklovir monofosfat menjadi
trifosfat yang mengganggu sintesis DNA virus dengan menghambat DNA polymerase virus.
Asiklovir trifosfat bersaing dengan deoksiguanosin trifosfat sebagi substrat untuk DNA
polinerase virus dan asiklovir trifosfat ini yang akan terikat pada rantai DNA virus sehingga
menghambat pembentukan DNA virus. Pengikatan ini bersifat irreversible sehingga DNA virus
tidak dapat bereplikasi lagi.2,8 Efek samping asiklovir jarang terjadi dan biasanya ringan. Antara
efek sampingnya adalah mual, sakit kepala dan gagal ginjal.2,7,8

Pencegahan

Penularan VZV sukar untuk dicegah karena infeksi menular selama 24-48 jam sebelum ruam/lesi
muncul. Pengendalian infeksi, termasuk perawatan penderita terinfeksi dalam kamar isolasi
dengan sistem udara tersaring, sangat penting dirumah sakit yang mengobati anak dengan imun
yang terganggu. Petugas kesehatan yang rentan dan telah terpajan dengan varisela haruslah tidak
merawat penderita dengan resiko tinggi seperti bayi, anak-anak atau orang dewasa dengan status
imun terganggu selama masa inkubasi.7,8

Profilaksis Varicella-Zoster Immunoglobulin (VarZIG) dianjurkan untuk anak dengan kondisi


imun terganggu, wanita hamil, dan bayi baru lahir yang terpajan terhadap varisela ibu. VarZIG
didistribusikan oleh pelayanan darah palang merah Amerika: dosisnya 1 botol(vial) per 10 kg
secara intra muscular diberikan dalam 96 jam atau, jika mungkin dalam 48 jam sesudah
pemajanan. Orang dewasa harus diuji untuk antibodi IgG VZV sebelum pemberian VarZIG
karena banyak orang dewasa dengan tanpa riwayat klinis varisela sudah imun. Karena profilaksis

12
VarZIG tidak melenyapkan kemungkinan penyakit menjadi progesif, penderita harus dipantau
dan diobati dengan asiklovir jika diperlukan. Penderita dengan imun terganggu yang telah
mendapat imun globulin intravena dosis tinggi (100-400 mg/kg) untuk indikasi-indikasi lain
dalam 2-3 minggu sebelum pemajanan diharapkan dapat mempunyai antibodi serum terhadap
VZV. Kontak dekat antara penderita resiko tinggi rentan dan penderita dengan herpes zoster juga
merupakan indikasi untuk profilaksis VarZIG. Profilaksis antibodi pasif tidak mengurangi resiko
terkena herpes zoster bila diberikan setelah mulai gejala.7

Asiklovir tidak boleh diberikan sebagai profilaksis terhadap varisela. Profilaksis asiklovir untuk
herpes zoster tidak penting karena pemberian asiklovir yang tepat untuk pengobatan infeksi VZV
berulang sangat efektif mengurangi morbiditas dan mortalitas pada penderita dengan gangguan
imun. Pemberian lama asiklovir dosis rendah harus dihindari untuk meminimalkan munculnya
resistensi VZV terhadap asiklovir.6,7

Vaksin varisela hidup yang dilemahkan merupakan vaksin herpes virus manusia pertama. Vaksin
varisela hidup yang dilemahkan telah diberikan lebih dari 8500 anak dan orang dewasa sehat
pada trial klinis di AS. Kecepatan serokonveksi akibat vaksin lebih dari 95% dengan proteksi
sempurna terhadap penyakit pada 85-95% pemajanan. Menetapnya imunitas humoral dan seluler
telah didokumentasi pada 94-100% penerima vaksin yang dipantau selama 1-6 tahun. Vaksin
varisela OKA-Merck dapat diberikan pada anak dengan lukimia akut, yang dalam remisi, dengan
perhatian yang teliti terhadap status penyakit yang mendasarinya dan regimen terapi
imunosupresif. Reaktivasi VZV telah diuraikan pada beberapa penerima vaksin sehat, tetapi
insiden herpes zoster akibat vaksin virus pada anak dengan leukimia jauh lebih rendah daripada
reaktivasi VZV secara alamiah. Izin untuk vaksin Oka Merck telah dipersetujui pada tahun
1995 di AS.1

Komplikasi
Infeksi bakteri sekunder, biasanya akibat Staphylococcus aureus atau Streptococcus
pyogenes merupakan komplikasi varisela yang paling sering. Selulitis, limfadenitis, dan abses
subkutan juga terjadi. Varisela gangrenosa, biasanya akibat dari Streptococcus pyogenes, jarang
tetapi mungkin mengancam jiwa akibat infeksi sekunder.3 Pada pasien imunokompromais
13
penyebaran infeksi ke alat viseral sering terjadi, misalnya varisela diseminata (32-50%),
pneumonia varisela (20%), dan infeksi fatal (7-17%), terutama sebelum ditemukannya obat
antivirus. Bila tidak diobati dengan antivirus, pneumonia varisela merupakan penyebab kematian
tertinggi dan sering disertai hepatitis berat dan koagulopati intravascular diseminata.2 Neonatus
yang lahir dari ibu yang menderita varisela dalam 5 hari sebelum kalahiran sampai 2 hari pasca
kelahiran berisiko menderita varisela diseminata berat karena janin terpajan viremia sekunder in
utero sebelum imunitas ibu berkembang. Bila bayi lahir 5 hari setelah infeksi pada ibu,
risikonya sama dengan anak-anak. Bila infeksi maternal terjadi pada minggu ke 8-20 kehamilan
dapat terjadi embriopati varisela dengan risiko sebesar 0-9,2%. Infeksi kongenital tanpa
embriopati dapat terjadi bila terdapat infeksi maternal setelah 20 minggu kehamilan. 2 Komplikasi
lain yang dapat terjadi adalah sindrom Reye. Sindrom ini dapat menyebabkan kerusakan hepar
dan mungkin menyebabkan perubahan serius kepada sistem saraf. Komplikasi ini dapat terjadi
jika pasien mengambil obat aspirin untuk mengobati gejala yang timbul.5

Gamba 6. Komplikasi yang Terjadi pada Varisela5

Prognosis
Varisela merupakan penyakit jinak pada anak-anak, dan hampir semua akna pulih
sempurna. Namun, terdapat angka yang signifikan berhubungan dengan komplikasi serius seperti
varisela pnemonia. Parut di wajah dan tubuh juga mungkin terjadi. Pasien yang
imunokompromais beresiko untuk penyakit berat dan kematian. Tingkat mortalitas varicella
dapat mencapai hingga 30% untuk neonates. Setelah menghidap varicella, virus biasanya tetap
aktif atau laten dalam tubuh untuk seumur hidup. Sekitar 1 dari 10 orang dewasa akan memiliki
herpes zoster ketika virus mulai aktif kembali, misalnya ketika stress atau ketika sistem
pertahanan tubuh melemah.9
14
Penutup

Varisella adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh VZV (golongan herpes). Banyak
menyerang anak-anak usia dibawah 10 tahun. Infeksi ini memiliki gejala klinis yang khas, yaitu
adanya vesikel yang berkembang menjadi pustule dan menjadi krusta pada permukaan tubuh dan
multiforme. VZV jika terinfeksi kedua kali dapat menyebabkan herpes zoster, yang umumnya
timbul di usia 50 tahun keatas. Terdapat infeksi yang mirip dengan varisella, yaitu infeksi
variola, rubella, rubeola dan lain-lain. Untuk menegakkan diagnosis, terdapat beberapa
pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan, yaitu pemeriksaan laboratorium. Obat yang
digunakan pada pengobatan varisella adalah asiklovir, untuk menghambat replikasi DNA virus
varisella. Komplikasi yang sering terjadi umumnya pada pasien dengan imunokompromi atau
imunodefisiensi. Komplikasi lain dari varisella antara lain adalah pneumonia, serta infeksi
bakteri pada kulit (oleh golongan Steptococcus pyogenes dan Staphylococcus aureus).Prognosis
untuk infeksi varisella adalah tingkat kematian (mortality rate) umtuk neonates mencapi 30%
dan setiap 1 dalam 10 dewasa akan menderita herpes zoster ketika virus aktif kembali untuk kali
kedua. Pencegahan dapat dilakukan dengan imunisasi aktif melalui vaksinasi Oka-Merck,
imunisasi pasif melalui profilaksis VZIG, dan menjaga kebersihan serta menjaga kontak dengan
individu yang sedang menghidap varisela.

15
Daftar Pustaka

1. Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL. Harrisonss
principles of internal medicine. 16th Ed. USA : McGraw-Hill Companies; 2005. Pg. 1042-
5.
2. Boediarja SA, Sugito TL, Kurniati DD, Elandari. Infeksi kulit pada bayi dan anak.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2005. H. 17-30
3. Richard E, Kliegman RM, Behrman RE, Robert M, Arvin AM. Edisi bahasa Indonesia:
Wahab AS. Ilmu kesehatan anak nelson. Vol 2. Ed 15. Jakarta : ECG; 1999. H. 1097-
1110.
4. Brooks GF, Carroll KC, Butel JS, Morse SA. Medical microbiology. 24 th ed. USA;
McGraw-Hill Companies; 2004. Pg.510-33
5. Guilfoile P. Deadly diseases and epidemics: chicken pox. New York: Infobase Publishing;
2010. Pg 12-7
6. Darmono. Farmakologi dan toksikologi sistem kekebalan: pengaruh, penyebab dan
akibatnya pada kekebalan tubuh. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia; 2006. H. 13-20
7. Thorp CM. Pharmacology for the health care profession. USA: John Wiley & Sons Ltd;
2008. Pg. 161-4
8. Harvey RA, Champe PC. Lippincotts illustrated reviews pharmacology. 4 th ed. USA:
Lippincott Williams & Wilkins; 2009. Pg. 315-41
9. Ghosh A, Mitra M, Choudhury J. Treatment and prognosis in pediatrics. New Delhi:
Jaypee Brothers Medical Publishers; 2013. Pg 370

16

Anda mungkin juga menyukai