Anda di halaman 1dari 34

KASUS BESAR

SINDROMA NEFROTIK PADA ANAK

Disusun oleh :
Ummu Hanani Athirah binti Mohd Kamaludin
112015453

Dokter Pembimbing :
Dr Elfrieda Simatupang, SpA

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
RSUD KOJA
PERIODE: 20 Februari 2017-29 April 2017
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
Jl. Arjuna Utara No.6 Kebun Jeruk Jakarta Barat
KEPANITERAAN KLINIK
STATUS ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
Hari / Tanggal Ujian / Presentasi Kasus :
SMF ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOJA JAKARTA

Nama : Ummu Hanani Athirah bt Mohd Kamaludin Tanda


tangan
NIM : 112015453

Dr Pembimbing : Dr Elfrieda Simatupang, Sp A

1. IDENTITAS PASIEN
Nama lengkap : An. M Jenis kelamin : Perempuan
Tempat/TanggaI lahir : Jakarta, 4 May 2011 Umur: 5 tahun 9 bulan 13 hari
Bangsa: Indonesia Agama : Islam
Pendidikan : TK Alamat : Jl Budi Mulia No 18, Pademanagan

Hubungan dengan orang tua: Anak kandung No RM : 00.32.84.62

Ayah
Nama lengkap : Tn D Agama : Islam
TanggaI lahir (umur) : 32 tahun Pendidikan : SMA
Bangsa : Indonesia Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Jl Budi Mulia No 18, Pademanagan
Ibu
Nama lengkap : Ny A Agama : Islam
TanggaI lahir (umur) : 27 tahun Pendidikan : SMP
Bangsa: Indonesia Pekerjaan : IRT

1
Alamat : Jl Budi Mulia No 18, Pademanagan
2.ANAMNESIS
Diambil dari : Autoanamnesis dengan nenek dan bapa pasien
Tanggal : 25/02/2017 Jam : 1330 WIB

Keluhan utama : OS datang ke IGD RSUD Koja dengan keluhan bengkak seluruh tubuh 5
hari SMRS

Keluhan tambahan : OS juga mengeluh sesak 2 hari SMRS dan mual muntah tiap kali makan.
OS juga mengeluh BAK berwarna keruh dan terasa nyeri saat BAK.

Riwayat Penyakit Sekarang


OS masuk ke RSUD Koja dengan keluhan seluruh tubuhnya membengkak sejak 5 hari
yang lalu secara mendadak dan sejak 2 hari yang lalu OS mulai berasa sesak. Orang tua pasien
menyatakan bengkaknya bermula dari kaki dan seterusnya berlanjut ke muka dan perutnya
membuncit. Pada saat di IGD, kedua kelopak mata dan wajah OS membengkak, tangan dan kaki
juga membengkak, perutnya membuncit dan kulit pada seluruh tubuh menjadi tegang. Pasien
juga mengeluh sesak yang timbul setelah bermain dengan tetangganya sehingga pernafasannya
menjadi cepat dan dangkal, berkeringat dan mukanya menjadi pucat.
Sebelum mulai bengkak, orang tua pasien menyatakan OS mengeluh sulit dan nyeri saat
BAK. Warna BAKnya juga menjadi lebih keruh dan frekuensi BAKnya juga berkurang. OS juga
mengalami demam yang naik turun selama 1 minggu beserta batuk tidak berdahak. Setelah
tubuhnya timbul bengkak, OS mengeluh berasa mual, perutnya terasa begah dan OS sering
muntah setelah makan maka nafsu makannya semakin berkurang. OS tidak pernah berobat
sebelumnya dan dalam keluarganya tidak ada yang mengalami gejala yang sama. OS tidak
pernah di diagnosa dengan kelainan pada jantung, paru atau ginjal dan tidak memiliki alergi.
Pada saat ini, OS sedang dirawat di bangsal dengan terapi puyer Captopril, Losartan
2x1mg dan Prednisone 3x3 tab. Saat ini, OS menyatakan sesaknya sudah berkurang namun
masih mual dan terasa begah.

2
Riwayat Kehamilan dan Kelahiran
1. Kehamilan
Perawatan antenatal : Kontrol teratur
Tempat perawatan : Puskesmas
Penyakit kehamilan : Tidak ada
2. Kelahiran
Tempat kelahiran : Rumah bersalin
Penolong persalinan : Bidan
Cara persalinan : Spontan
Masa gestasi : Cukup bulan
Keadaan bayi
o Berat badan lahir : 2800 gram
o Panjang badan lahir : 49 cm
o Lingkar kepala : Tidak diketahui
o Langsung menangis : Langsung menangis kuat
o Pucat/biru/kuning/kejang : Kulit langsung merah muda
o Nilai APGAR : Tidak diketahui
o Kelainan bawaan : Tidak ada
Kesan : Neonatus cukup bulan, sesuai masa kehamilan (NCB-SMK)
Riwayat Tumbuh Kembang :
Pertumbuhan gigi pertama: Ibu tidak ingat.
Psikomotor:
Tengkurap : Ibu tidak ingat
Duduk : Ibu tidak ingat
Berdiri : 10 bulan (N: 10 bulan)
Berbicara : 1 tahun 2 bulan (N: 11 bulan)
Os tidak mengalami gangguan perkembangan mental dan emosi.
Kesan: Tumbuh Kembang anak sesuai usia.

Riwayat imunisasi

Waktu Pemberian
Imunisasi Dasar Booster
Bulan Tahun

3
Imunisasi 0 1 2 3 4 5 6 9 12 24 3 5 6
Hepatitis B 1 2 3
Polio (OPV) 0 1 2 3 - -

BCG 1

DPT 1 2 3 - -

Campak 1 - -

Kesan: Imunisasi dasar pasien lengkap.


Riwayat Nutrisi
Susu : ASI sehingga usia 2 tahun dan susu formula dari usia 2 tahun hingga 4
tahun
Makanan padat : Mulai sejak usia 1 tahun
Makanan sekarang : Nasi dengan lauk seperti ayam, ikan, tahu dan tempe. Anak kurang
konsumsi sayur dan buah.
Riwayat Penyakit Dahulu
( - ) Sepsis ( - ) Kejang demam ( - ) ISK
( - ) Tuberkulosis ( - ) Pneumoni ( - ) Alergi lainnya
( - ) Asma ( - ) Alergi Rhinitis ( - ) Gastritis
( - ) Diare akut ( - ) Diare Kronis ( - ) Amoebiasis
( - ) Disentri ( - ) Kolera ( - ) Difteri
(- ) Tifus Abdominalis (- ) DHF (-) Polio
( -) Cacar air ( - ) Campak (- ) Penyakit Jantung Bawaan
( - ) Batuk rejan (- ) Tetanus ( - ) Kecelakaan
( - ) Demam Rematik Akut ( - ) Penyakit Jantung Rematik ( - ) Operasi

Riwayat Penyakit Keluarga

Penyakit Ya Tidak Hubungan


Alergi
Asma
Tuberkulosis
Hipertensi
Diabetes
Kejang Demam

4
Epilepsy

3. PEMERIKSAAN FISIK
Tanggal: 25/02/2017 Jam 1400

PEMERIKSAAN UMUM
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Frekuensi nadi : 110x/menit
Tekanan darah : 100/70 mmHg
Frekuensi nafas : 30x/menit
Suhu : 37.6C

Data Antropometri
Berat badan : 25 kg (orang tua tidak mengetahui BB anak sebelum bengkak)
Tinggi badan : 118 cm
Lingkar kepala : Tidak dilakukan
Lingkar lengan atas : 20 cm
Lingkar perut : 70 cm
BB/ U : 25/20 x 100% = 125%
TB/ U : 118/115 x 100% = 103%
BB/TB : 25/22 x 100% = 113 %
Kesan status gizi : Overweight (hitungan berdasarkan BB anak saat bengkak)

PEMERIKSAAN SISTEMIS
Kulit : Warna kulit sawo matang, tidak terlihat adanya lesi pada kulit, turgor kulit
meningkat, tidak ada ruam pada kulit. Ikterik (-) ptekiae (-), ekimosis (-),
purpura(-) skrofuloderma (-)
Kepala : Normocephali, rambut berwarna hitam, tidak terlihat adanya lesi, rambut tidak
mudah rontok.
Muka : Wajah membengkak
Mata : Conjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, pupil isokor, refleks cahaya langsung
dan tidak langsung (+),palpebra edema (+)
5
Telinga: Normotia, membran timpani intak, serumen sedikit
Hidung : Deviasi septum tidak ada, sekret (-), cavum nasi lapang, hipertrofi konka (-),
hiperemis pada mukosa hidung (-). Pernafasan cuping hidung (-)
Bibir : Tampak basah, sianosis (-), pecah-pecah (-)
Gigi geligi : Tidak ada kelainan
Lidah : Stomatitis (-), lidah kotor (-) tanda alergi (-)
Tonsil : T1-T1 tenang, hiperemis (-), uvula ditengah, dendritus (-), kripta (-)
Faring : Tidak hiperemis, mukosa tenang
Leher : Tidak ditemukan pembesaran KGB ataupun tiroid, trakea lurus di tengah, kaku
kuduk(-)
Paru :
Inspeksi : Bentuk , tidak ada lesi atau benjolan, gerakan dada simestris saat statis
dan dinamis, tidak ada retraksi sela iga.
Palpasi : Tidak teraba massa, sela iga tidak membesar atau menyempit, gerakan
dada simetris saat statis dan dinamis.
Perkusi : Sonor diseluruh lapang paru
Auskultasi : Suara nafas vesikuler, ronki -/-, wheezing -/-
Jantung :
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba di sela iga IV garis midclavikula sinistra
Perkusi : Tidak dilakukan
Auskultasi : Katup mitral dan trikuspid BJ I>II, murni reguler, tidak ada gallop, tidak
ada murmur.
Abdomen :
Inspeksi : Membuncit dengan lingkar perut 70 cm , tidak terlihat lesi atau massa
Auskultasi : Bising usus (+), normoperistaltik
Palpasi : Supel, teraba asites, undulasi (+)
Palpasi organ :
Hati : Tidak teraba
Limpa : Tidak teraba
Ginjal : Tidak teraba

Perkusi : Hipertimpani, shifting dullness (+)


Genitalia Eksterna : tidak dilakukan
Ekstremitas :
Inspeksi : Deformitas (-), akrosianosis (-), bintik merah pada kulit tangan dan kaki
Palpasi : Pitting oedema (+/+), akral hangat, CRT < 2 detik
Anggota gerak :
Tonus : normotonus
Kekuatan: +5 +5 Edema: + +
6
+5 +5 + +

Pemeriksaan neurologis:
Kesadaran: Compos Mentis, tingkat kesadaran: GCS 15
Delirium: tidak ada
Saraf kranialis I-XII dalam batas normal
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium tanggal 17/02/2017, pukul 21:41 WIB
HEMATOLOGI
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
Hb 13.2 11.5-14.5 g/ dL
Leukosit 8.67 4.00- 12.0 / L
Hematokrit 38.7 33-43 %
Trombosit 489.000 182.000-369.000 /L

KIMIA KLINIK
Elektrolit
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
Natrium 135 135-147 mEq/L
Kalium 3.50 3.5-5.0 mEq/L
Klorida 105 96-108 mEq/L
Ureum 44.8 16.6-48.5 mg/dl
Kreatinin 0.53 0.29-0.47 mg/dl

Pemeriksaan laboratorium tanggal 18/02/2017, pukul 12:39 WIB


KIMIA KLINIK
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
Albumin 1.35 3.8-5.4 g/dl
Kolesterol total 398 Desirable <200 mg/dl
Borderline 200-
240
High >240

URINALISIS

7
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Makroskopis
Warna Kuning pucat Kuning muda
Kekeruhan Agak keruh Jernih
Ph 6.0 4.6 8.0
Berat Jenis 1.025 1.005 1.030
Glukosa - -
Protein 3+ (-) negatif
Bilirubin - -
Urobilinogen - -
Nitrit (+) positif (-) negatif
Keton - -
Darah samar 1+ (-) negatif
Mikroskopis
Leukosit 3-6 <10 /lpb
Eritrosit 4-7 <3 / lpb
Sel epitel +1 (-) negatif
Silinder Silinder butir +1 (-) negatif
Kristal - -
Bakteri +1 (-) negatif
Jamur - -

RESUME
Seorang anak perempuan, usia 5 tahun dengan BB 25 kg datang dengan keluhan utama
bengkak seluruh tubuh sejak 5 hari SMRS. Bengkaknya bermula dari kaki kemudian menyebar
ke tangan, muka dan perutnya menjadi buncit. OS juga mengeluh sesak sejak 2 hari SMRS
terutama setelah beraktivitas. OS juga mengeluh mual dan terasa begah serta sering muntah tiap
kali setelah makan sehingga nafsu makannya berkurang. Sebelum tubuhnya membengkak, OS
mengalami nyeri saat BAK, warnanya menjadi keruh dan volumenya berkurang. OS juga
mengalami demam yang naik turun sejak 1 minggu yang lalu beserta batuk pilek. Pada saat ini,
OS menyatakna sesaknya sudah berkurang, masih terasa mual dan begah serta BAKnya masih
berwarna keruh. OS juga sedang dalam terapi puyer captopril, losartan dan prednisone.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan TD: 100/70 mmHg, frekuensi nadi: 110x/menit,
frekuensi nafas: 30x/menit dan suhu: 37,6 C. OS mengalami bengkak pada wajah, kedua kelopak
mata, tangan dan kaki dengan pitting oedema. Perutnya juga membuncit dengan lingkar perut
berukuran 70 cm. Pada pemeriksaan abdomen ditemukan asites, undulasi (+) dan shifting
dullness (+). OS telah dipasang katater urin untuk pemantauan diuresisnya dan urin yang
terkumpul berwarna keruh.

8
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan dari pemeriksaan darah rutin trombosit yang
meningkat (489 000), albumin yang rendah (1,35), hiperkolesterol (398) dan proteinuria (3+).

DIAGNOSIS KERJA
Sindroma Nefrotik tipe Kelainan Minimal
Dasar diagnosis :
Dikatakan sindroma nefrotik karena pasien menunjukkan gejala-gejala khas buat diagnosa
sindroma ini yaitu adanya proteinuria >50mg/kgBB/24jam atau dipstick 2+, hypoalbuminemia
<2,5 g/dl, hyperlipidemia >200mg/dl dan edema. Pada pasien ini, ditemukan bengkak pada
seluruh tubuh, proteinuria 3+, hypoalbuminemia 1,35 g/dl dan hyperlipidemia 398 mg/dl. Pasien
juga mengalami asites, sesak dan pitting oedema yaitu manifestasi klinis yang dapat timbul pada
pasien menderita sindroma nefrotik. Gejala bengkaknya juga sesuai dengan sifat bengkak pada
sindroma ini yaitu dari bawah ke atas dan pada pasien ini, bengkaknya bermula dari tungkai
bawah yang kemudian berlanjut ke tangan dan wajahnya. Pada sindroma nefrotik, saat penyakit
berjalan secara progresif, dapat timbul asites, efusi pleura dan edem pulmonal. Pada pasien ini,
perutnya sudah mengalami asites dengan tes undulasi (+) dan tes shifting dullness (+). Pada
keadaan ini, anak biasanya sering mengalami mual, perut terasa penuh, muntah dan kadang-
kadang sesak.

DIAGNOSIS BANDING
Glomerulonefritis Akut
Diagnosa banding yang sesuai dengan gejala-gejala pasien adalah glomerulonefritis akut karena
kelainan ini juga menimbulkan manifestasi bengkak terutama pada periorbital. Pasien juga bisa
mengalami takipneu atau dispneu dikarenakan pada glomerulonefritis akut yang perjalanan
penyakitnya berlangsung cepat, dapat menimbulkan kongesti paru dengan efusi pleura.
Glomerulonefritis akut juga dapat menimbulkan proteinuria dan hematuria gross. Kelainan ini
biasanya timbul akibat infeksi yang kebiasaannya ditandai dengan adanya batuk, demam,
faringitis atau infeksi kulit.

9
ANJURAN PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah lengkap
CRP

TATALAKSANA

Prednison 3x3 tab (4 mg)


Captopril puyer
Losartan 2x1mg
Furosemid 2x20 mg
Ceftriaxone 1x750 mg
Ranitidine 2x25 mg
Inhalasi dengan ventolin1 cc + NaCl 2 cc 2x/hari
IVFD KaEN 1B 6 tpm
Transfusi albumin 100 ml

Observasi tanda-tanda vital terutama tekanan darah untuk memastikan anak tidak mengalami
hipotensi atau hipovolemi
Memantau intake cairan dan target diuresis 1-1,5 cc/kgBB/jam untuk menurunkan bengkak
Memantau berat badan anak
Memberikan edukasi pada orang tua yaitu intake cairan masuk ke tubuh anak harus di kurangkan
agar bengkak dapat berkurang dengan lebih cepat dan tidak menimbulkan komplikasi lain.

PROGNOSIS

Ad vitam : bonam
Ad fungsionam : bonam
Ad sanationam : bonam

10
FOLLOW-UP PASIEN

Tanggal 27/02/2017

S : bengkak masih belum berkurang, sulit untuk makan dan minum, belum BAB 4 hari
O : TD: 130/90 HR: 128x RR: 40x Suhu: 37,5 BB: 25kg
Bengkak pada wajah
Asites (+)
Pitting oedema pada kaki dan tangan
Urin keruh, diuresis : 2
Lab : Albumin : 1,40 g/dl
A : SN
P : Microlax, periksa diuresis tiap 12 jam, transfusi albumin 100 ml, periksa albumin, ureum dan
creatinin

Tanggal 28/02/2017

S : bengkak masih belum berkurang, panas pada malam hari dan sesak
O : TD: 120/90 HR: 115x RR: 55x Suhu: 38
Bengkak pada wajah
Asites (+)
Bengkak pada kaki dan tangan berkurang
Urin keruh, diuresis : 1,7
Lab : Ureum : 54,2 mg/dl Kreatinin : 0,9 mg/dl Albumin : 1,80 g/dl
A : SN
P : Losartan 1x25 mg, periksa TTV tiap 8 jam, periksa diuresis tiap 12 jam

Tanggal 01/03/2017

S : BAB cair tadi malam lebih 5 kali, ampas (+), nyeri perut (+), batuk (+)
O : TD: 120/90 HR: 112x RR: 50x Suhu: 37
Bengkak pada wajah berkurang
Pulmo : SNV (+/+)
Asites berkurang, nyeri tekan abdomen (-)
Bengkak pada ekstremitas (-/-)
Turgor kulit <2 detik, mata cekung (-), mukosa bibir kering (+)

11
Urin keruh, diuresis : 2
A : SN
P : Microlax dihentikan

Tanggal 02/03/2017

S : Batuk (+), dahak (-), anak tidak mahu makan


O : TD: 110/90 HR: 110x RR: 40x Suhu; 36,5 BB: 23,5 kg
Bengkak pada wajah berkurang
Pulmo : SNV (+/+)
Asites berkurang
Urin tidak keruh, diuresis : 1,5
A : SN, ISPA
P : Vectrin 3x1 cth, periksa protein total, albumin, globulin, creatinine dan ureum

Tanggal 03/03/2017

S : Batuk berdahak
O : TD :120/80 HR: 120x RR: 35x Suhu: 36,2
Bengkak hanya pada palpebra
Pulmo : SNV (+/+)
Asites berkurang
Urin tidak keruh, diuresis : 1,5
Lab : Protein total : 3,74
Albumin : 1,97 g/dl Globulin : 2,34 g/dl
Ureum : 63,5 mg/dl Creatinin : 0,87 mg/dl

A : SN, AKI, ISPA


P : Transfusi albumin 100 ml, periksa ulang albumin post transfusi

Tanggal 04/03/2017

S : Batuk berdahak, kurang nafsu makan


O : TD : 130/90 HR: 120x RR: 35x Suhu: 37,3
Bengkak pada palpebra
Asites berkurang
Urin tidak keruh, diuresis : 1,38
Lab : Albumin : 2,23 g/dl
A : SN, AKI
P : Terapi lanjut, transfusi albumin dan periksa ulang albumin

Tanggal 06/03/2017

S : Bengkak sudah berkurang, nafsu makan berkurang, batuk berkurang


O : TD :120/80 HR: 120x RR: 30x Suhu: 37,5 BB: 23 kg
Bengkak di palpebra

12
Asites (-)
Urin tidak keruh, diuresis : 1,5
Lab : albumin : 2,60 g/dl
A : SN, AKI
P : Terapi lanjut, Diit nasi biasa, transfusi albumin dan periksa ureum, creatinine dan albumin

Tanggal 07/03/2017
S : Muntah 2 kali, cairan hijau bening, BAB cair 2 kali, ampas (+)
O : TD : 130/100 HR: 112x RR: 30x Suhu: 38
Bengkak palpebra (-/-)
Urin tidak keruh, diuresis : 1,7
Lab : Ureum : 56,2 mg/dl Creatinin : 0,83 mg/dl Albumin : 3,20 g/dl
A : SN, AKI
P : Nymico 3x1, Zinc 1x1, transfusi albumin

Tanggal 08/03/2017

S : Batuk (+), BAB cair 4 kali, ampas (+), lendir (-), muntah (-)
O : TD : 120/90 HR: 110x RR: 32x Suhu : 36,7
Bengkak (-)
Turgor kulit <2 detik, mata tidak cekung, mukosa bibir sedikit kering
Urin tidak keruh, diuresis : 1,5
A : SN
P : Aff katater, periksa urin lengkap, albumin, ureum dan creatinine, diit nasi biasa

Tanggal 09/03/2017

S : Batuk (+)
O : TD : 120/80 HR: 110x RR: 30x Suhu: 36,5
Lab : Ureum : 47,3 mg/dl Creatinin : 0.53 mg/dl Albumin : 3,52 g/dl
A : SN
P : Terapi lanjut

Tanggal 10/03/2017

S : Batuk (+)
O: TD : 120/70 HR: 110x RR: 30x Suhu: 36,6 BB: 23 kg
A : SN
P : Boleh pulang

13
TINJAUAN PUSTAKA
SINDROMA NEFROTIK PADA ANAK

PENDAHULUAN

Sindroma yang berarti sekumpulan gejala jelas menunjukkan bahawa sindroma nefrotik adalah
kumpulan gejala yang timbul dan mengindikasikan adanya gangguan atau kerusakkan pada
glomerulus yaitu bagian dalam ginjal yang berperan dalam filtrasi darah. Sindroma nefrotik (SN)
adalah penyakit kornis yang semakin banyak terjadi dalam kalangan anak kecil yang timbul
akibat berlakunya kerusakan pada dinding kapiler glomerulus sehingga meningkatkan
permeabilitas proses filtrasi. Hal ini menyebabkan timbulnya empat gejala besar buat sindroma
ini yaitu proteinuria, hypoalbuminemia, hyperlipidemia dan edema.1,2
Sindroma nefrotik sering dijumpai pada masa kanak-kanak dengan insiden antara 2-4 kasus dari
setiap 100.000 anak dibawah usia 16 tahun setiap tahunnya. Sindroma nefrotik dapat dibagi
kepada 3 tipe yaitu tipe primer, sekunder dan kongenital. Kelainan histopatologik yang terbanyak
dijumpai pada sindroma nefrotik pada anak adalah tipe kelainan minimal. Sindroma nefrotik
dapat menyerang semua umur, tetapi terutama menyerang anak-anak yang berusia 2-6 tahun,
anak laki-laki lebih banyak menderita dibandingkan anak perempuan dengan rasio 3:2. Lebih
dari 90% kasus sindroma nefrotik adalah idiopatik, sedangkan sisanya adaah sindroma nefrotik
sekunder yang disebabkan oleh beragam penyakit, antara lain nefritis Henoch-Schonlein, Lupus
Eritematosus Sistemik, amyloidosis dan sebagainya.1
Sindroma nefrotik juga dapat diklasifikasikan kepada beberapa kategori dan tiap kategori itu
memiliki algoritme terapi yang berbeda-beda. Dengan terapi yang tepat, penderita sindroma
nefrotik dapat memiliki fungsi ginjal yang hampir sama dengan manusia normal dan terlepas

14
daripada gejala klinis sindroma ini. Namun, tanpa deteksi dini dan terapi yang tepat, pelbagai
komplikasi dapat timbul dan hal ini adalah berbahaya terutama buat penderita usia muda.1,2

DEFINISI
Sindroma nefrotik adalah penyakit kornis yang semakin banyak terjadi dalam kalangan anak
kecil yang timbul akibat berlakunya kerusakan pada dinding kapiler glomerulus sehingga
meningkatkan permeabilitas proses filtrasi. Hal ini menyebabkan timbulnya empat gejala besar
buat sindroma ini yaitu proteinuria, hypoalbuminemia, hyperlipidemia dan edema.
Terdapat beberapa terminologi lain buat sindroma nefrotik seperti :1
Remisi : proteinuria <4 mg/m2LPB/jam atau dipstick negatif selama 3 hari berturut-
turut dalam 1 minggu
Relaps : peningkatan proteinuria <40 mg/m2LPB/jam 2 atau dipstick > 2+ selama 3
hingga 5 hari berturut-turut dalam 1 minggu, dimana sebelumnya pernah terjadi
remisi
Relaps jarang : relaps <2 kali per 6 bulan pertama setelah respon awal atau <4 kali
per tahun pengamatan
Relaps sering : relaps >2 kali per 6 bulan pertama setelah respon awal atau > 4 kali
pertahun pengamatan
Sensitif steroid : remisi tercapai dalam 4 minggu atau kurang setelah pengobatan
steroid dosis penuh
Dependen steroid : relaps terjadi pada saat dosis steroid diturunkan, atau dalam waktu
14 hari setelah pengobatan steroid dihentikan, dan hal ini terjadi 2 kali berturut-turut
Resisten steroid : tidak terjadi remisi setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis
penuh
Responden lambat : remisi terjadi setelah 4 minggu terapi prednisone 60 mg/m 2/hari
tanpa tambahan terapi lain

EPIDEMIOLOGI

15
Kasus sindroma nefrotik yang paling banyak adalah idiopatik dengan insiden 2-7 kasus per
10000 anak-anak dan prevalensi 16 kasus per 100000. Ras dan etnik dikatakan juga berpengaruh
dalam tipe kelainan sindroma nefrotik misalnya di temukan kasus sindroma nefrotik itu paling
tinggi terjadi pada anak-anak dari Asia Tenggara dan Hispanik serta orang berkulit gelap lebih
sering menderita SN yang tidak berespon dengan steroid. Frekuensi onset terjadinya SN juga
dipengaruhi dengan tipe SN seperti 70% pasien SN tipe kelainan minimal terdiri dari anak balita
dan 20-30% anak di atas usia 10 tahun memiliki SN tipe glomerulosklerosis fokal-segmental.1,2

ETIOLOGI
Sindroma nefrotik tidak memiliki penyebab yang jelas dan kebanyakkan kasus dikategorikan
sebagai idiopatik terutama buat sindroma nefrotik primer. Sindroma nefrotik tipe primer ini dapat
dibagikan kepada tiga kategori yaitu SN tipe kelainan minimal, SN tipe glomerulosclerosis
fokal-segmental dan SN tipe membranoproliferatif glomerulonefritis.
SN tipe kelainan minimal
Tipe kelainan minimal adalah kelainan idiopatik yang paling sering ditemukan dengan setinggi
77-85% kasus ditemukan. Sesuai dengan namanya, kelainan ini sangat sukar dikenal pasti
melainkan dengan menggunakan mikroskop electron untuk membuktikan terjadinya perubahan
pada dinding glomerulus sehingga menyebabkan kebocoran protein pada urin. Walaupun tipe
kelainan minimal dikatakan penyebab idiopatik, sebagian kasus turut dikaitkan dengan kelainan
limfoma Hodgkin yang kebiasaannya timbul pada usia dewasa.2,4

Gambar 1: Gambaran histopatologis SN tipe kelainan minimal


SN tipe glomerulosclerosis fokal-segmental
Pada SN tipe glomerulosclerosis fokal-segmental, kelainan ini lebih sering terjadi pada orang
dewasa dan hanya setinggi 10-15% kasus yang ditemui pada anak. Pada pemeriksaan biopsy

16
ginjal dengan menggunakan mikroskop, dapat ditemui terjadinya sclerosis pada beberapa
glomerulus yang secara progresif dapat menjadi atrofi tubular. Kelainan ini juga dikaitkan
dengan HIV dan penyakit sickle sel.2

Gambar 2: Gambaran histopatologi SN tipe glomerulosclerosis fokal-segmental


SN tipe membranoproliferatif
Tipe kelainan ini timbul akibat terjadinya reaksi dan proses penumpukan antibodi pada
glomerulus sehingga membran basalis glomerulur menebal dan sebagian reaksi antibodi ini dapat
membentuk spike and dome akibat penumpukan membran pada struktur subepitelial-kompleks
imun.2

Gambar 3: Gambaran histopatologi SN tipe membranoproliferatif


Pada sindroma nefrotik sekunder, kebiasaannya gangguan ini timbul setelah adanya infeksi atau
penyakit lain yang menyebabkan terjadinya perubahan pada fungsi ginjal sehingga timbulnya
gejala-gejala sindroma nefrotik. Penyakit yang dapat menyebabkan terjadinya syndrome nefrotik
adalah seperti penyakit infeksi sistemik misalnya hepatitis B dan C, malaria, sifilis dan HIV. Di
samping itu, penyakit limfoma, leukemia dan gangguan autoimun seperti sindroma lupus
eritematosus juga di temukan menimbulkan komplikasi gangguan sindroma nefrotik. Ganggua
endokrin seperti diabetes mellitus dan riwayat penggunaan obat yang lama seperti non-steroidal
anti-inflammatory drugs, heroin dan lithium juga dapat menyebabkan gangguan pada ginjal.2,4

17
Selain itu, sindroma nefrotik juga dapat timbul secara kongenital namun jarang sekali ditemukan.
Pada tipe kongenital, gejala-gejala sindroma nefrotik dapat timbul seawal usia 3 bulan. Pada
studi di Finland dan Amerika Serikat, ditemukan kasus sindroma nefrotik kongenital yang paling
sering terjadi adalah tipe Finnish. Mutasi gen NPHS1 dan NPHS2 yang menyebabkan gangguan
pada pembentukan protein nephrin dan podocin yang terlibat dalam struktur glomerulus sehingga
terjadinya proteinuria massif pada usia awal kehidupan. Terapi buat sindroma nefrotik kongenital
biasanya bersifat supportif sehingga anak mencapai usia yang sesuai untuk menjalani operasi
transplantasi ginjal.5,6

PATOFISIOLOGI
Pada anatomi normal ginjal, glomerulus berperan dalam filtrasi darah dan terdiri dari 3 lapis dari
lapisan kapiler sehingga lapisan ruang membran Browman. Tiga lapisan itu adalah:
Lapisan endothelium
Membran basalis glomerular
Bermuatan cas negatif yang dapat menghambat keluarnya molekul anion seperti albumin
Epitel visceral glomerular atau podocyte
Podocyte bertindak sebagai sawar yang berperan dalam proses filtrasi darah dari kapiler
yang hanya dapat dilewati oleh molekul-molekul berukuran kecil.
Menurut studi, sindroma nefrotik terjadi apabila adanya gangguan pada struktur jejas pada
glomerulus terutama pada podocyte dan diafragma slit sehingga menyebabkan adanya
peningkatan permeabilitas pada lapisan podocyte glomerular yang mengakibatkan kebocoran
protein sehingga terjadinya proteinuria dan hypoalbuminemia.2,5

18
Gambar4.A:Gambar skematik dinding glomerulus terdiri dari podocyte (P) dan diafragma slit (S)
Gambar 4.B: Dinding glomerulus normal

Gambar 4.C: Struktur podocyte dan diafragma slit yang rusak


Pada tipe kelainan minimal, adanya kemungkinan terjadi disfungsi sel T yang mengakibatkan
perubahan pada sitokin dan hilangnya glycoprotein bermuatan negatif pada dinding sel
glomerular serta mengakibatkan terganggunya kerja faktor inhibisi yang kebiasaannya
menghambat proteinuria. Saat terjadinya hypoalbuminemia, tekanan onkotik dalam serum
menurun sehingga terjadinya transudasi cairan dari intravaskular ke rongga interstitial sehingga
terjadinya udem. Pergeseran cairan ini mengakibatkan terjadinya penurunan volume cairan
intravaskular dan perfusi ginjal juga menurun sehingga mengaktivasi sistem renin-angiotensin-
aldosteron yang menstimulasi peningkatan reabsorpsi natrium pada bagian tubular. Penurunan
cairan intravaskular ini juga akan melepaskan hormon antidiuretic yang meningkatkan reabsorpsi
pada ductus.5
Pada pasien dengan sindroma nefrotik, kadar lipid dalam serum seperti kolesterol dan trigliserida
meningkat disebabkan kekurangan lipoprotein. Hal ini diakibatkan oleh penurunan kadar protein
dalam serum sehingga produksi enzim 7a-hidroxylase oleh hepar terhambat dan katabolisme
lipid juga turut ikut terhambat sedangkan terjadinya peningkatan koenzim b-hydroxy-b-
methylglutaryl yang terlibat dalam sintesis lipoprotein terutama low-density lipoprotein (LDL).4,6

19
Gambar 5: Patofisiologi sindroma nefrotik2

20
GAMBARAN KLINIS

Pasien sindroma nefrotik biasanya datang dengan keluhan edema palpebra atau pretibial. Bila
sindroma ini berjalan kronis, pasien turut mengalami asites, efusi pleura dan edema skrotum.
Kadang-kala, terdapat juga gejala oliguria dan gejala infeksi, nafsu makan yang berkurang dan
diare. Gejala yang harus diperhatikan adalah keluhan nyeri perut karena dicurigai terjadinya
peritonitis. Infeksi saluran napas atas atau eksantema virus akan memperberat episode awal atau
relaps selanjutnya. Anamnesis riwayat penyakit keluarga akan ditemui 1-3% pasien memiliki
saudara yang juga menderita sindroma nefrotik. Pada pemeriksaan fisik harus disertai
pemeriksaan berat badan, tinggi badan, lingkar perut dan tekanan darah. Berat badan kering akan
membantu dalam memantau penurunan bengkak jika timbul relaps berikutnya. Pemeriksaan lain
yang harus dilakukan adalah pemeriksaan denyut jantung dan capillary refill time untuk
mengevaluasi status volume intravaskular. Pada pelaporan International Study of Kidney
Diseases in Children, pada sindroma nefrotik ditemukan 22% disertai hematuria mikroskopik,
15-20% dengan hipertensi dan 32% dengan peningkatan ureum dan kreatinin dalam darah yang
bersifat sementara.1,3

KRITERIA DIAGNOSIS

Sindroma nefrotik ditegakkan berdasarkan 4 gejala klinik yang khas, yaitu:1-4


1. Proteinuria massif
Terdapat protein >40 mg/m2lpb/jam atau >50mg/kgBB/24jam dalam urin, atau rasio
albumin/kreatinin pada urin sewaktu >2mg/mg, atau dipstick > 2+. Proteinuria pada
sindroma nefrotik kelainan minimal selektif, yang terbentuk terutama oleh albumin.

2. Hipoalbuminemia
Albumin serum <2,5 g/dl. Nilai normal albumin dalam serum pada anak dengan gizi baik
adalah sekitar 3,6-4,4 g/dl. Pada sindroma nefrotik, retensi cairan dan sembab baru akan
terlihat apabila kadar albumin plasma turun dibawah 2,5-3,0 g/dl, bahkan sering juga
ditemukan kadar albumin yang lebih rendah dari kadar tersebut.

21
3. Edema
Bengkak biasanya bermula dari ekstremitas bawah dilanjutkan mengenai alat genetalia
sehingga keseluruh tubuh dan muka yang juga dikenali dengan edem anasarca.

4. Hiperlipidemia
Pasien sindroma nefrotik mengalami hiperkolesterolemia yaitu kadar kolestrol serum
>200mg/dl
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain:1,5
1. Urinalisis dan bila perlu biakan urin
2. Protein urin kuantitatif, dapat berupa urin 24 jam atau rasio protein/kreatinin pada urin
pertama pagi hari
3. Pemeriksaan darah
Darah tepi lengkap (Hemoglobin, leukosit, hitung jenis, trombosit, hematokrit, LED)
Kadar albumin dan kolesterol plasma
Kadar ureum, kreatinin,serta klirens kreatinin dengan cara klasik atau dengan rumus
Schwarzt
Kadar komplemen C3; bila dicurigai lupus eritematosus sistemik pemeriksaan
ditambah dengan komplemen C4, ANA (anti nuclear antibody), dan anti ds-DNA

4. Biopsi ginjal
Indikasi untuk biopsy ginjal
o Pada presentasi awal :
Awitan SN pada usia <1 tahun atau > 16 tahun
Terdapat hematuria nyata, hematuria mikroskopik persisten atau kadar
komplemen C3 serum yang rendah
Hipertensi menetap
Penurunan fungsi ginjal yang bukan disebabkan oleh hypovolemia
Tersangka SN sekunder
o Setelah pengobatan inisial
SN resisten steroid
Sebelum memulai terapi siklosporin

22
DIAGNOSIS BANDING
Glomerulonefritis Akut
Kelainan ini terjadi karena adanya proses inflamasi pada glomerulus yang ditandai dengan
proliferasi sel-sel glomerulus akibat proses imunologik. Penyebab tersering buat nefritis akut
pada anak di negara berkembang adalah infeksi dari Streptococcus B-hemolitikus grup A maka,
kebiasaan glomerulonefritis akut ini juga dikenali sebagai glomerulonefritis akut pasca
streptokokus (GNAPS). Infeksi ini menyebabkan reaksi antigen-antibodi sehingga terjadinya
proses inflamasi yang menyebabkan gangguan pada jejas glomerulus. Maka, gangguan pada
ginjal ini mengakibatkan adanya kebocoran protein dan hematuria. Onset glomerulonefritis akut
biasanya berlangsung secara tiba-tiba yang terjadi 7-14 hari pasca anak menderita faringitis atau
infeksi saluran nafas atas, atau 3-6 minggu setelah infeksi kulit. Gejala yang dialami adalah
berupa sindroma nefritik akut yaitu hematuria gross, bengkak pada periorbital, proteinuria dan
oliguria. Gejala overload cairan berupa oedema setinggi 85% dalam tiap kasus dan kadang-
kadang didapatkan gejala edem paru atau gagal jantung kongestif. Penurunan fungsi ginjal
biasanya terjadi ringan sampai sedang dengan meningkatnya kadar kreatinin. Takipneu dan
dispneu juga dapat terjadi akibat kongesti paru dengan efusi pleura serta takikardia atau irama
gallop dapat terjadi akibat dari gagal jantung kongestif.
Terapi untuk GNA adalah antibiotik serta simtomatik. Antibiotik yang sering digunakan adalah
penisilin atau eritromisin selama 10 hari serta hanya diberikan apabila diyakini adanya infeksi
bakteri yang masih aktif.5-7

23
TATALAKSANA MEDIS DAN NON-MEDIS
Anak dengan manifestasi klinis SN pertama kali, sebaiknya dirawat di rumah sakit dengan tujuan
untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi pengaturan diit, penanggulangan edema, memulai
pengobatan steroid, dan edukasi orangtua.
Sebelum pengobatan steroid dimulai, dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan berikut:
Pengukuran berat badan dan tinggi badan.
Pengukuran tekanan darah.
Pemeriksaan fisis untuk mencari tanda atau gejala penyakit sistemik, seperti lupus
eritematosus sistemik, purpura Henoch-Schonlein.
Mencari fokus infeksi di gigi-geligi, telinga, ataupun kecacingan. Setiap infeksi perlu
dieradikasi lebih dahulu sebelum terapi steroid dimulai.
Melakukan uji Mantoux. Bila hasilnya positif diberikan profilaksis. INH selama 6 bulan
bersama steroid, dan bila ditemukan tuberkulosis diberikan obat antituberkulosis (OAT).
Perawatan di rumah sakit pada SN relaps hanya dilakukan bila terdapat edema anasarka yang
berat atau disertai komplikasi muntah, infeksi berat, gagal ginjal, atau syok. Tirah baring tidak
perlu dipaksakan dan aktivitas fisik disesuaikan dengan kemampuan pasien. Bila edema tidak
berat, anak boleh sekolah.8,9

Diitetik
Pemberian diit tinggi protein dianggap merupakan kontraindikasi karena akan menambah beban
glomerulus untuk mengeluarkan sisa metabolisme protein (hiperfiltrasi) dan menyebabkan
sklerosis glomerulus. Bila diberi diit rendah protein akan terjadi malnutrisi energi protein (MEP)
dan menyebabkan hambatan pertumbuhan anak. Jadi cukup diberikan diit protein normal sesuai
dengan RDA (recommended daily allowances) yaitu 1,5-2 g/kgbb/hari. Diit rendah garam (1-2
g/hari) hanya diperlukan selama anak menderita edema.

Diuretik
Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat. Biasanya diberikan loop diuretic seperti
furosemid 1-3 mg/kgbb/hari, bila perlu dikombinasikan dengan spironolakton (antagonis
aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-4 mg/kgbb/hari. Sebelum pemberian diuretik, perlu
disingkirkan kemungkinan hipovolemia. Pada pemakaian diuretik lebih dari 1-2 minggu perlu

24
dilakukan pemantauan elektrolit kalium dan natrium darah. Bila pemberian diuretik tidak
berhasil (edema refrakter), biasanya terjadi karena hipovolemia atau hipoalbuminemia berat ( 1
g/dL), dapat diberikan infus albumin 20-25% dengan dosis 1 g/kgbb selama 2-4 jam untuk
menarik cairan dari jaringan interstisial dan diakhiri dengan pemberian furosemid intravena 1-2
mg/kgbb. Bila asites sedemikian berat sehingga mengganggu pernapasan dapat dilakukan pungsi
asites berulang.
Imunisasi
Pasien SN yang sedang mendapat pengobatan kortikosteroid >2 mg/kgbb/ hari atau total >20
mg/hari, selama lebih dari 14 hari, merupakan pasien imunokompromais.11 Pasien SN dalam
keadaan ini dan dalam 6 minggu setelah obat dihentikan hanya boleh diberikan vaksin virus
mati, seperti IPV (inactivated polio vaccine). Setelah penghentian prednison selama 6 minggu
dapat diberikan vaksin virus hidup, seperti polio oral, campak, MMR, varisela. Semua anak
dengan SN sangat dianjurkan untuk mendapat imunisasi terhadap infeksi pneumokokus dan
varisela.12

Kortikosteroid8
Pada SN idiopatik, kortikosteroid merupakan pengobatan awal, kecuali bila ada kontraindikasi.
Jenis steroid yang diberikan adalah prednison atau prednisolon.
A. Terapi Inisial
Terapi inisial pada anak dengan sindrom nefrotik idiopatik tanpa kontraindikasi steroid sesuai
dengan anjuran ISKDC adalah diberikan prednison 60 mg/m2 LPB/hari atau 2 mg/kgbb/hari
(maksimal 80 mg/hari) dalam dosis terbagi, untuk menginduksi remisi. Dosis prednison dihitung
sesuai dengan berat badan ideal (berat badan terhadap tinggi badan). Prednison dosis penuh (full
dose) inisial diberikan selama 4 minggu. Bila terjadi remisi dalam 4 minggu pertama, dilanjutkan
dengan 4 minggu kedua dengan dosis 40 mg/m2 LPB (2/3 dosis awal) atau 1,5 mg/kgbb/hari,
secara alternating (selang sehari), 1 x sehari setelah makan pagi. Bila setelah 4 minggu
pengobatan steroid dosis penuh, tidak terjadi remisi, pasien dinyatakan sebagai resisten steroid.
B. Pengobatan SN Relaps
Skema pengobatan relaps dapat dilihat pada Gambar 3, yaitu diberikan prednison dosis penuh
sampai remisi (maksimal 4 minggu) dilanjutkan dengan dosis alternating selama 4 minggu. Pada
pasien SN remisi yang mengalami proteinuria kembali ++ tetapi tanpa edema, sebelum
pemberian prednison, dicari lebih dahulu pemicunya, biasanya infeksi saluran nafas atas. Bila

25
terdapat infeksi diberikan antibiotik 5-7 hari, dan bila kemudian proteinuria menghilang tidak
perlu diberikan pengobatan relaps. Bila sejak awal ditemukan proteinuria ++ disertai edema,
maka diagnosis relaps dapat ditegakkan, dan prednison mulai diberikan.
C. Pengobatan SN Relaps Sering atau Dependen Steroid8,9
Terdapat 4 pilihan untuk kategori ini yaitu:
1. Pemberian steroid jangka panjang
Pada anak yang telah dinyatakan relaps sering atau dependen steroid, setelah remisi
dengan prednison dosis penuh, diteruskan dengan steroid dosis 1,5 mg/kgbb secara
alternating. Dosis ini kemudian diturunkan perlahan/bertahap 0,2 mg/kgbb setiap 2
minggu. Penurunan dosis tersebut dilakukan sampai dosis terkecil yang tidak
menimbulkan relaps yaitu antara 0,1 0,5 mg/kgbb alternating.
Bila relaps terjadi pada dosis prednison antara 0,1 0,5 mg/kgbb alternating, maka relaps
tersebut diterapi dengan prednison 1 mg/kgbb dalam dosis terbagi, diberikan setiap hari
sampai terjadi remisi. Setelah remisi maka prednison diturunkan menjadi 0,8 mg/kgbb di-
berikan secara alternating, kemudian diturunkan 0,2 mg/kgbb setiap 2 minggu, sampai
satu tahap (0,2 mg/kgbb) di atas dosis prednison pada saat terjadi relaps yang sebelumnya
atau relaps yang terakhir.
Bila relaps terjadi pada dosis prednison rumat > 0,5 mg/kgbb alternating, tetapi < 1,0
mg/kgbb alternating tanpa efek samping yang berat, dapat dicoba dikombinasikan
dengan levamisol selang sehari 2,5 mg/kgbb selama 4-12 bulan, atau langsung diberikan
siklofosfamid (CPA).
Bila terjadi keadaan keadaan di bawah ini:

Relaps pada dosis rumat > 1 mg/kgbb alternating atau


Dosis rumat < 1 mg/kgbb tetapi disertai:
a. Efek samping steroid yang berat
b. Pernah relaps dengan gejala berat antara lain hipovolemia,trombosis, dan sepsis
diberikan siklofosfamid (CPA) dengan dosis 2-3 mg/kgbb/hari selama 8-12
minggu.
2. Pemberian levamisole
Levamisol terbukti efektif sebagai steroid sparing agent.13 Levamisol diberikan dengan
dosis 2,5 mg/kgbb dosis tunggal, selang sehari, selama 4-12 bulan. Efek samping

26
levamisol adalah mual, muntah, hepatotoksik, vasculitic rash, dan neutropenia yang
reversibel.
3. Pengobatan dengan sitostatik
Obat sitostatika yang paling sering digunakan pada pengobatan SN anak adalah
siklofosfamid (CPA) atau klorambusil.

Siklofosfamid dapat diberikan peroral dengan dosis 2-3 mg/kgbb/hari dalam dosis
tunggal, maupun secara intravena atau puls. CPA puls diberikan dengan dosis 500 750
mg/m2 LPB, yang dilarutkan dalam 250 ml larutan NaCL 0,9%, diberikan selama 2 jam.
CPA puls diberikan sebanyak 7 dosis, dengan interval 1 bulan (total durasi pemberian
CPA puls adalah 6 bulan). Efek samping CPA adalah mual, muntah, depresi sumsum
tulang, alopesia, sistitis hemoragik, azospermia, dan dalam jangka panjang dapat
menyebabkan keganasan. Oleh karena itu perlu pemantauan pemeriksaan darah tepi yaitu
kadar hemoglobin, leukosit, trombosit, setiap 1-2 x seminggu. Bila jumlah leukosit
<3000/uL, hemoglobin <8 g/dL, hitung trombosit <100.000/uL, obat dihentikan
sementara dan diteruskan kembali setelah leukosit >5.000/uL, hemoglobin >8 g/dL,
trombosit >100.000/uL.

Efek toksisitas CPA pada gonad dan keganasan terjadi bila dosis total kumulatif mencapai
200-300 mg/kgbb. Pemberian CPA oral selama 3 bulan mempunyai dosis total 180
mg/kgbb, dan dosis ini aman bagi anak.
Klorambusil diberikan dengan dosis 0,2 0,3 mg/kg bb/hari selama 8 minggu.
Pengobatan klorambusil pada SNSS sangat terbatas karena efek toksik berupa kejang dan
infeksi.
4. Pengobatan dengan siklosporin atau mikofenolat mofetil ( pilihan terakhir )
Pada SN idiopatik yang tidak responsif dengan pengobatan steroid atau sitostatik
dianjurkan untuk pemberian siklosporin dengan dosis 4-5 mg/kgbb/hari (100-150 mg/m2
LPB).15 Dosis tersebut dapat mempertahankan kadar siklosporin darah berkisar antara
150-250 ng/mL. Pada SN relaps sering atau dependen steroid, CyA dapat menimbulkan
dan mempertahankan remisi, sehingga pemberian steroid dapat dikurangi atau dihentikan,
tetapi bila CyA dihentikan, biasanya akan relaps kembali (dependen siklosporin). Efek
samping dan pemantauan pemberian CyA dapat dilihat pada bagian penjelasan SN
resisten steroid.
27
Pada SNSS yang tidak memberikan respons dengan levamisol atau sitostatik dapat
diberikan MMF. MMF diberikan dengan dosis 800 1200 mg/m2 LPB atau 25-30
mg/kgbb bersamaan dengan penurunan dosis steroid selama 12 - 24 bulan. Efek samping
MMF adalah nyeri abdomen, diare, leukopenia.
D. Pengobatan SN dengan Kontraindikasi Steroid8,9
Bila didapatkan gejala atau tanda yang merupakan kontraindikasi steroid, seperti tekanan darah
tinggi, peningkatan ureum dan atau kreatinin, infeksi berat, maka dapat diberikan sitostatik CPA
oral maupun CPA puls. Siklofosfamid dapat diberikan per oral dengan dosis 2-3 mg/kg bb/hari
dosis tunggal, maupun secara intravena (CPA puls). CPA oral diberikan selama 8 minggu. CPA
puls diberikan dengan dosis 500 750 mg/m2 LPB, yang dilarutkan dalam 250 ml larutan NaCL
0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA puls diberikan sebanyak 7 dosis, dengan interval 1 bulan
(total durasi pemberian CPA puls adalah 6 bulan).
E. Pengobatan SN Resisten Steroid
Pengobatan SN resisten steroid (SNRS) sampai sekarang belum memuaskan. Pada pasien SNRS
sebelum dimulai pengobatan sebaiknya dilakukan biopsi ginjal untuk melihat gambaran patologi
anatomi, karena gambaran patologi anatomi mempengaruhi prognosis.

1. Siklofosfamid (CPA)

Pemberian CPA oral pada SN resisten steroid dilaporkan dapat menimbulkan remisi. Pada SN
resisten steroid yang mengalami remisi dengan pemberian CPA, bila terjadi relaps dapat dicoba
pemberian prednison lagi karena SN yang resisten steroid dapat menjadi sensitif kembali.
Namun bila pada pemberian steroid dosis penuh tidak terjadi remisi (terjadi resisten steroid) atau
menjadi dependen steroid kembali, dapat diberikan siklosporin.
2. Siklosporin (CyA)

Pada SN resisten steroid, CyA dilaporkan dapat menimbulkan remisi total sebanyak 20% pada 60
pasien dan remisi parsial pada 13%. Efek samping CyA adalah hipertensi, hiperkalemia,
hipertrikosis, hipertrofi gingiva, dan juga bersifat nefrotoksik yaitu menimbulkan lesi
tubulointerstisial. Oleh karena itu pada pemakaian CyA perlu pemantauan terhadap:

Kadar CyA dalam darah: dipertahankan antara 150-250 nanogram/mL


Kadar kreatinin darah berkala
Biopsi ginjal setiap 2 tahun

28
3. Metilprednisolon puls

Pengobatan SNRS dengan metil prednisolon puls selama 82 minggu + prednison oral dan
siklofosfamid atau klorambusil 8-12 minggu. Metilprednisolon dosis 30 mg/kgbb (maksimum
1000 mg) dilarutkan dalam 50-100 mL glukosa 5%, diberikan dalam 2-4 jam.
4. Obat imunosupresif lain
Obat imunosupresif lain yang dilaporkan telah digunakan pada SNRS adalah vinkristin,
tacrolimus dan mikofenolat mofetil. Karena laporan dalam literatur yang masih sporadik dan
tidak dilakukan dengan studi kontrol, maka obat ini belum direkomendasi di Indonesia.

Pemberian Obat Non-Supresif8,9


Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI) dan angiotensin receptor blocker (ARB) telah
banyak digunakan untuk mengurangi proteinuria. Cara kerja kedua obat ini dalam menurunkan
ekskresi protein di urin melalui penurunan tekanan hidrostatik dan mengubah permeabilitas
glomerulus. ACEI juga mempunyai efek renoprotektor melalui penurunan sintesis transforming
growth factor (TGF)-1 dan plasminogen activator inhibitor (PAI)-1, keduanya merupakan
sitokin penting yang berperan dalam terjadinya glomerulosklerosis. Pada SNSS relaps, kadar
TGF-1 urin sama tinggi dengan kadarnya pada SNRS, berarti anak dengan SNSS relaps sering
maupun dependen steroid mempunyai risiko untuk terjadi glomerulosklerosis yang sama dengan
SNRS. Dalam kepustakaan dilaporkan bahwa pemberian kombinasi ACEI dan ARB memberikan
hasil penurunan proteinuria lebih banyak.
Pada anak dengan SNSS relaps sering, dependen steroid dan SNRS dianjurkan untuk diberikan
ACEI saja atau dikombinasikan dengan ARB, bersamaan dengan steroid atau imunosupresan
lain. Jenis obat ini yang bisa digunakan adalah:
Golongan ACEI: kaptopril 0.3 mg/kgbb diberikan 3 x sehari, enalapril 0.5
mg/kgbb/hari dibagi 2 dosis, lisinopril 0,1 mg/kgbb dosis tunggal
Golongan ARB: losartan 0,75 mg/kgbb dosis tunggal

29
Algoritme tatalaksana sindroma nefrotik :8

30
KOMPLIKASI

Penyakit infeksi6,10
Komplikasi yang sering ditemukan pada anak dengan sindroma nefrotik adalah mereka rentan
terhadap penyakit infeksi. Pada sindroma ini, diketahui terjadinya kebocoran protein dan salah
satunya terdiri dari immunoglobulin. Kehilangan antibodi ini menyebabkan tubuh anak rentan
terhadap infeksi bakteri dengan kapsul seperti Streptococcus pneumoniae, Haemophilus
influenza dan Streptococcus grup B yang dapat mengakibatkan peritonitis, selulitis dan
pneumonia yang berlanjutan ke arah keadaan sepsis. Oleh sebab itu, anak dengan diagnosa
sindroma nefrotik disarankan untuk mengambil suntikan vaksinasi selengkapnya dengan
tambahan vaksinasi terhadap pneumococcus untuk mempertahankan antibodi tubuh anak.

Thrombosis6,10
Sumbatan vena lebih sering terjadi pada pasien dengan sindroma nefrotik yang kebiasaannya
menyerang vena dalam ginjal, sinus sagitalis dan arteri pulmonary. Terdapat pelbagai faktor yang
membawa kepada terbentuknya thrombosis dalam vena. Antaranya, terjadinya kehilangan
regulator terhadap faktor-faktor pembekuan darah (anti-trombin III) melalui urin dan
peningkatan faktor pro-koagulasi seperti fibrinogen, faktor V dan faktor VIII sehingga mudahnya
terbentuk thrombus dalam pembuluh darah.

Kolesterol tinggi dalam darah10


Pada saat terjadinya proteinuria dan hipoalbumnemia, hepar akan terinduksi untuk menghasilkan
albumin dan produksinya kebiasaannya bersamaan dengan produksi kolesterol.

Acute kidney injury (AKI)10


Biasanya terjadi akibat keadaan hipovolemik yang bersifat reversible dan dapat diperbaiki
dengan terapi cairan. Hal ini dapat disebabkan oleh penggunaan obat diuretik atau keadaan sepsis
yang menurunkan aliran darah dalam ginjal.

31
PROGNOSIS

Prognosis buat sindroma nefrotik kebiasaannya baik dengan terapi yang tepat terutama buat tipe
SN kelainan minimal. Namun, sindroma nefrotik juga sering mengalami relaps dan remisi serta
sebagian pasien mengalami resisten terhadap pengobatan steroid. Berdasarkan studi, pada pasien
yang resisten steroid, pengobatan alternatifnya masih menunjukkan keberhasilan yang
inkonsisten berbanding terapi steroid.5,10

KESIMPULAN
Sindroma nefrotik pada anak bukanlah suatu diagnosa penyakit namun adalah suatu kumpulan
gejala yang mengindikasikan adanya kerusakan pada ginjal anak sehingga terjadinya kebocoran
protein yang akhirnya menyebabkan bengkak pada seluruh tubuh dan hyperlipidemia. Sindroma
ini dapat dibagikan kepada 3 tipe yaitu primer, sekunder dan kongenital yang tiap tipe ini
memiliki gejala khas tersendiri. Tipe yang paling sering ditemukan pada anak adalah SN tipe
kelainan minimal yang tergolong dalam tipe primer yang idiopatik. Empat kriteria diagnosa SN
adalah proteinuria, hypoalbuminemia, hyperlipidemia dan edema. Diagnosa ini dapat ditegakkan
melalui pemeriksaan fisik dan laboratorium urin lengkap. Tatalaksana yang disarankan untuk SN
adalah prednisone 2mg/kgBB/hari selain dari terapi diuretik dan diitetik. Namun, terdapat
beberapa kondisi SN yang tidak dipengaruhi oleh prednisone, maka terapinya harus diganti
dengan terapi lain. Dokter dan petugas kesehatan harus meneliti juga kemungkinan komplikasi
yang dapat timbul daripada kelainan SN yang kadangkala dapat menimbulkan prognosis buruk
buat fungsi ginjal. Melalui deteksi dini dan tatalaksana yang tuntas, prognosis buat SN
kebiasaannya baik.

DAFTAR PUSTAKA
1. Noer M S et al. Kompendium nefrologi anak. Badan penerbitan ikatan dokter anak
Indonesia. Jakarta; 2011: hal 57-72.
2. Kliegman R M et al. Nephrotic syndrome. Nelson textbook of pediatrics. 20 th ed.
Elsevier. Philadelphia; 2016: hal 2521-8
3. Wahadiyat I, Sastroasmoro S. Pemeriksaan klinis pada bayi dan anak. Edisi 3. Sagung
Seto. Jakarta; 2014 : hal 101-34
4. Fivush B, Jabs K. Childhood nephrotic syndrome. National kidney and urologic disease
information. Clearinghouse; 2014: hal 1-12

32
5. Bagga A, Mantan M. Nephrotic syndrome in children. Indian J Med. New Delhi; 2010:
hal 13-28
6. Andolino T, Reid-Adam J. Nephrotic syndrome. Peds In Review Pulication. Illinois;
2015: 36(3): hal 117-25
7. Eddy AA, Symons JM. Nephrotic syndrome in childhood. The Lancet. Washington;
2010:vol 362: hal 629-39
8. Trihono P P, Alatas H, Tambunan T, Pardede SO. Konsensus tatalaksana sindroma
nefrotik idiopatik pada anak. Edisi 2. Badan Penerbit Ikatan dokter anak Indonesia; 2012:
hal 16-36
9. Prabowo AY. Nephrotic syndrome in children. Medula. Lampung; 2014: 2(4): hal 1-7
10. Cadnapaphornchai MA et al. The nephrotic syndrome : pathogenesis and treatment of
edema formation dan secondary complications. Springer. Published August, 2013: hal 1-9

33

Anda mungkin juga menyukai