Anda di halaman 1dari 11

Pengobatan dan Prognosis penggunaan IVIG pada Guillain-Barr Syndrome

Pieter A. van Doorn & Krista Kuitwaard &


Christa Walgaard & Rinske van Koningsveld &
Liselotte Ruts & Bart C. Jacobs
Published online: 16 April 2010
The Author(s) 2010. This article is published with open access at Springerlink.com

Abstrak
Latar Belakang:Sindrom Guillain-Barr (GBS) adalah akut immune-mediated
polineuropati yang sering menyebabkan kelemahan yang parah. Intravena
imunoglobulin (IVIG) terbukti sebagai pengobatan yang efektif untuk GBS (kelas
1 evidance). Namun, sekitar 25% pasien tetap perlu ventilasi buatan dan 20%
masih tidak dapat berjalan tanpa bantuan setelah 6 bulan. faktor klinis yang
penting terkait dengan hasil yang buruk adalah usia, riwayat diare sebelumnya dan
tingkat keparahan kecacatan dalam perjalanan awal penyakit. Faktor-faktor klinis
dikombinasikan dalam skala skor prognostik klinis yaitu Erasmus GBS Outcome
Scale (EGOS).
Bahan dan Metode: pasien GBS yang tidak mampu berjalan tanpa bantuan saat
diobati dengan dosis IVIg standar tunggal (0,4 g / kg berat badan selama 5 hari).
Sebuah penelitian retrospektif baru-baru ini pada 174 pasien GBS terdaftar di
salah satu randomized controlled clinical trials menunjukkan bahwa pasien
dengan peningkatan minor IgG serum setelah pemberian dosis tunggal standar
IVIg pulih secara signifikan lebih lambat.
Selain itu, lebih sedikit pasien yang mencapai kemampuan untuk berjalan tanpa
bantuan di enam bulan setelah pengobatan dikarenakan faktor-faktor prognosis
yang diketahui (analisis multivariat; P <0.022).
Diskusi: Belum diketahui mengapa pada beberapa pasien GBS hanya memiliki
peningkatan minor setelah pengobatan IVIg standar. Dengan menggunakan
EGOS sangat mungkin pasien-pasien ini memiliki potensi untuk memperoleh
manfaat perbaikan klinis setelah pemberian IVIG kedua.
Kesimpulan Sebuah dosis standar IVIG tidak cukup efektif pada banyak pasien
GBS. Apakah pasien akan mendapatkan manfaat perbaikan secara klinis dengan
pemberian dosis IVIg kedua perlu penyelidikan lebih lanjut.

Kata kunci:GuillainBarr syndrome . IVIG . treatment . prognosis


Latar Belakang

Guillain-Barr syndrome (GBS) merupakan penyebab tesering kelumpuhan


neuromuskuler yang dapat terjadi pada semua umur. Insiden GBS dilaporkan 1,2-
2,3 per 100.000 per tahun.1,2 GBS adalah gangguan yang terjadi post infeksi.
Infeksi sebelumnya yang paling sering diidentifikasi adalah Campylobacter jejuni.
Dan yang lainnya adalah cytomegalovirus, virus Epstein-Barr, Mycoplasma
pneumoniae, dan influenzae Haemophilus.1,3 Banyak laporan telah
mendokumentasikan terjadinya GBS tak lama setelah vaksinasi, operasi, atau
peristiwa stres, tetapi kausalitas dan patofisiologi masih diperdebatkan.2

Gambaran Klinis Utama dari GBS

Gambaran Klinis Utama dari GBS adalah kelemahan bilateral dan relatif simetris
yang cepat dan progresif dari anggota badan dengan atau tanpa keterlibatan otot
pernafasan atau saraf kranial yang mempersyarafinya atau gangguan sensorik. 4
Pasien mengalami penurunan atau kehilangan refleks tendon. Pemeriksaan cairan
serebrospinal biasanya menunjukkan peningkatan protein dengan jumlah sel darah
putih normal. Nyeri dapat terjadi dan menyebabkan keluhan parah, sering dimulai
sebelum timbulnya kelemahan oleh karena itu dapat menyebabkan kesulitan
diagnostik. Kriteria diagnostik untuk GBS ditunjukkan dalam Tabel 1.

Elektromiografi (EMG) dapat membantu dalam menegakan diagnosis pada kasus


yang sulit dievaluasi secara klinis seperti pada pasien dengan rasa nyeri yang
hebat. EMG sangat berguna untuk membagi GBS menjadi subkelompok seperti
acute motor axonal neuropathy (AMAN) dan acute inflammatory demyelinating
polyneuropathy (AIDP).
Tabel 1 Diagnosis dari Guillain Barre Syndrome Manifestasi Wajib dalam diagnosis
Kelemahan progresif pada kedua lengan dan kaki
Areklexia (atau penurunan dari reflek tendon)
Manifestasi yang kuat mendukung diagnosis
Gejala yang progresif lebih dari beberapa hari sampai
4 minggu
Gejala relatif simetris
Gejala sensorik ringan
Keterlibatan nervus cranialis, terutama kelemahan
pada bilateral otot wajah.
Disfungsi autonomik
Nyeri (sering hadir)
Konsentrasi protein yang tinggi pada cerebrospinal
fluid (CSF)
Fitur elektrodoagnosis yang khas
Fitur yang meningkatkan keraguan tentang
diagnosis
disfungsi paru berat dengan kelemahan anggota gerak
yang terbatas di onset
tanda-tanda sensorik berat dengan kelemahan terbatas
pada onset
disfungsi kandung kemih atau saluran cerna saat
onset
Demam saat onset
tingkat sensorik tajam
perkembangan lambat dengan kelemahan terbatas
tanpa keterlibatan pernapasan
(Pertimbangkan subakut peradangan polineuropati
demielinasi atau CIDP)
Kelemahan yang asimtris
kandung kemih persisten atau disfungsi usus
Peningkatan jumlah sel mononuklear di CSF (> 50
106 / L)
sel polimorfonuklear di CSF
Keterlibatan sistem saraf pusat

Diadaptasi dari [4]

Manifestasi Klinis GBS


Kelemahan cepat dan progresif adalah gejala klinis inti dari GBS. Menurut
definisi, kelemahan maksimal tercapai dalam waktu 4 minggu, tetapi kebanyakan
pasien mengalami kelemahan dalam waktu 2 sampai 3 minggu. Setelah itu, pasien
memasuki fase plateau yang berkisar dari beberapa hari sampai beberapa minggu
atau bulan (Gbr. 1). Fase ini diikuti fase penyembuhan berjalan dengan lambat
dan bervariasi.
Di Eropa, sekitar sepertiga dari pasien GBS tetap bisa berjalan ( "mild patients").2
Sekitar 25% dari pasien GBS tidak mampu berjalan ( "severe patients") dan butuh
ventilasi buatan. Hal ini karena telah terjadi kelemahan otot-otot pernafasan.
Meskipun pengobatan standar dengan imunoglobulin intravena (IVIG) atau
pengobatan pertukaran plasma (PE), sekitar 20% pasien tetap tidak bisa berjalan
setelah 6 bulan. Selain itu, banyak pasien tetap dinyatakan cacat atau sangat
lemah. Bahkan 3 sampai 6 tahun setelah onset, GBS tetap memiliki dampak yang
besar pada kehidupan sosial dalam kemampuan untuk melakukan aktivitas sehari-
hari.
Oleh karena itu, GBS merupakan penyakit berat yang membutuhkan pengobatan
yang lebih baik.

Variasi dalam perjalanan penyakit pada GBS. Yang ditunjukan pada kurva adalah perjalan penyakit
pada pasien mild GBS dan severe GBS. Pengaruh IVIG di GBS yang diteliti dalam RCT adalah
pada pasien tidak dapat berjalan tanpa bantuan di titik nadir (severe patient), bukan pada pasien
dengan gejala yang ringan (mild GBS) (bisa berjalan tanpa bantuan di titik nadir). Apakah pada
pasein GBS dengan gejala klinis yang ringan dapat mengambil manfaat dari IVIG belum
diketahui. pasien GBS yang awalnya pasien GBS yang awalnya mengalami sedikit pemulihan atau
stabil setelah IVIG dan kemudian memburuk lagi memiliki "treatment-related fluctuation" (GBS-
TRF): suatu kondisi yang dapat merespon dosis IVIG tambahan. Beberapa pasien GBS memiliki
perjalanan dan fase pemulihan yang lambat. Prognosis pasien GBS dapat ditentukan dengan
menggunakan Erasmus GBS Skala Outcome. Apakah dosis IVIG kedua adalah efektif pada pasien
dengan prognosis yang buruk belum diketahui.

Immunobiology

Ada bukti yang menyakinkan bahwa pada beberapa pasien GBS disebabkan oleh
gangguan sistem imun yang menyimpang yang diinduksi oleh infeksi yang
merusak saraf perifer. Empat faktor kunci yang diidentifikasi yang mengontrol
proses ini adalah. 1,2,5

1. Antibodies Anti-ganglioside
Pada 50% dari serum pasien, didapatkan antibodi dari berbagai gangliosida hadir
dalam saraf perifer manusia, termasuk GM1, GD1a, GalNAc-GD1a, dan GQ1b.
antibodi lain mungkin dapat beikatan pada kompleks gangliosida yang berbeda
pada setiap individu. Menariknya, sebagian besar antibodi ini berhubungan
dengan subkelompok klinis dari GBS.

2. Molecular mimicry dan cross-reactivity

C. jejuni yang terisolat dari pasien GBS menunjukan adanya lipooligosaccharides


(LOS) yang menyerupai karbohidrat dari gangliosida. Jenis gangliosida yang
menyerupai C. jejuni tampaknya menentukan spesifisitas anti-ganglioside antibodi
dan hubungannya dengan variasi GBS. Antibodi pada pasien ini biasanya berupa
cross-reaktif; mereka menganggap LOS dari C.jejuni sama seperti gangliosida
atau kompleks ganglioside dari saraf tepi manusia. GBS setelah infeksi
Campylobacter pada kasus yang berhubungan dengan antibodi-anti-GM1 / GD1a /
GQ1b dianggap sebagai contoh nyata penyakit yang berhubungan dengan
molekuler mimikri.

3. Complement activation

Studi postmortem menunjukkan bahwa terjadi aktivasi komplemen lokal terjadi


pada lokasi kerusakan saraf.

Studi GBS pada tikus menunjukkan bahwa terdapat beberapa antibodi anti-
ganglioside yang toksik bagi saraf perifer yang dapat menyebabkan blokade dari
transmisi saraf dan kelumpuhan otot.

Selain itu, terdapat destruksi dari ujung-ujung saraf dan sel-sel Schwann
perisynaptic.6 Antibodi terhadap GM1 mempengaruhi kanal natrium pada nodus
ranvier dari saraf tepi kelinci.7
Semua efek ini tampaknya bergantung pada aktivasi komplemen dan
pembentukan dari membran komplek. Efek neurotoksik antibodi ini dapat
dihambat oleh IVIG dan inhibitor komplement yaitu eculizumab.8
4. Host factors
Kurang dari 1: 1.000 pasien dengan infeksi C. jejuni akan berkembang menjadi
GBS. faktor host dapat mempengaruhi kerentanan untuk berkembang menjadi
GBS atau luasnya kerusakan saraf dan hasil pemulihannya. Single nucleotide
polymorphisms (SNP) menunjukkan tidak ada hubungan yang pasti kerentanan
seseorang untuk berkembang menjadi GBS.
Bukti menunjukkan, bagaimanapun SNP ini penting sebagai faktor pencetus
penyakit. Hubungannya telah dibuktikan antara keparahan penyakit atau outcame
dan SNP pada gen yang mengkode mannose-binding lectin, FcRIII, MMP9, and
TNF-.2 Namun masih diperlukan studi konfirmasi yang lebih luas.

Treatment

Randomized controlled trials (RCT) telah menunjukkan bahwa PE dan IVIG


efektif pada pasien GBS.9,10 Kebanyakan RCT telah menggunakan skala
kecacatan GBS untuk mengetahui pengaruh terapi. Skala kecacatan GBS terdiri
dari 7 point skala, mulai dari tanpa gejala (F = 0), kemampuan untuk berjalan 10
m tanpa bantuan (F = 2), hanya terbaring ditempat tidur (F = 4), mati (F = 6). RCT
pertama pada penggunaan IVIG di GBS diterbitkan pada tahun 1992 dan
menunjukkan bahwa penggunaan IVIG sama efektifnya dengan PE. 11 IVIG
diterapkan dalam rejimen 2 g / kg berat badan, biasanya 0,4 g / kg berat badan per
hari selama lima hari berturut-turut. IVIG telah menggantikan PE sebagai terapi
pilihan di banyak center, terutama karena kenyamanan dan ketersediaannya yang
lebih besar.9

Kombinasi PE yang diikuti oleh IVIG tidak memberikan hasil yang signifikan
12
lebih baik dari pada penggunaan PE atau IVIG saja. Pemberian steroid oral dan,
intravena methylprednisolone 500 mg / hari selama lima hari berturut-turut cukup
mengejutkan bahwa hasilnya tidak cukup bermanfaat dalam GBS.13
Kombinasi IVIG dan methylprednisolone intravena tidak signifikan lebih efektif
dari pada penggunaan IVIG saja.14
Percobaan ini menunjukkan bahwa ada efek imunoterapi terhadap pengobatan
GBS, namun dibutuhkan studi baru dengan rejimen yang berbeda atau terapi lain
yang bertujuan meningkatkan prognosis dan hasil pengobatan GBS.

Prognosis dari GBS


Perjalanan klinis GBS pada setiap individu sangat bervariasi dan sulit diprediksi.
usia lanjut umumnya dilaporkan menjadi faktor prognostik negatif. Penelitian
sebelumnya menunjukkan perbedaan dalam tingkat keparahan dari GBS dapat
ditentukan pada fase awal penyakit ini. blok konduksi saraf peroneal dan usia di
atas 40 tahun ternyata menjadi faktor predisposisi dari kecacatan pada 6 bulan
pengobatan. Kami telah mengembangkan sistem penilaian sederhana untuk
memprediksi kemungkinan seseorang dapat berjalan secara independen setelah 6
bulan. Erasmus GBS Skala Outcome (EGOS) dapat dengan mudah dihitung
setelah 2 minggu pertama setelah onset penyakit menggunakan usia, adanya
riwayat diare sebelumnya, dan skor kecacatan dari GBS. Berdasarkan EGOS,
prediksi untuk pulih dan berjalan secara independen setelah 6 bulan berkisar dari
1% menjadi 83%. Akurasi skala dikonfirmasi dalam sebuah independent cohort
pasien GBS. EGOS dapat digunakan untuk menginformasikan pasien tentang
prognosis mereka. Selain itu EGOS juga dapat digunakan dalam percobaan
pengobatan yang baru dengan target yang lebih spesifik yaitu pasien GBS dengan
prognosis yang buruk. Sedikit modifikasi dari EGOS dapat memperkirakan
prognosis hanya dalam 1 minggu setelah masuk rumah sakit dan sekarang sedang
dirancang.

Standar dosis IVIG tidak sesuai pada beberapa pasien GBS.

Ada bukti terperinci bahwa dosis standar IVIG (2 g/ kg berat badan) tidak sesuai
atau tidak cukup efektif pada beberapa pasien GBS karena proporsi pasien GBS
terus memburuk setelah pemberian dosis standar IVIG. Sekitar 8% sampai 16%
dari pasien GBS yang diobati dengan IVIG dosis standar memburuk lagi setelah
perbaikan awal. Pasien-pasien ini memiliki perubahan Fluktuasi terkait
pengobatan (tratment-releated fluctuation) di mana kekuatan otot biasanya
membaik lagi setelah dosis berulang IVIG. Selain itu, hasil noncontrolled study
dalam kelompok kecil pasien menunjukkan bahwa dosis berulang dari IVIG
mungkin efektif dalam kasus yang berat dan pasien GBS yang tidak responsif.
Hasil studi farmakokinetik baru-baru ini menunjukkan bahwa ada peningkatan
minimal dari level serum IgG setelah diberikan IVIG dosis standar yang
berhubungan dengan hasil yang buruk.
Farmakokinetik IVIG dan Hasil

Dalam sebuah penelitian terbaru oleh Kuitwaard et al., Serum kadar IgG dari 174
pasien GBS diambil dan dijadikan sampel pada saat pretreatment dan pada 2
minggu, 4 minggu, 3 bulan, dan 6 bulan setelah pengobatan.19 Variasi dalam
tingkat IgG serum paling menonjol terdapat dalam sampel pada 2 minggu setelah
terapi dan tingkat yang lebih rendah ditunjukan serum pasien 4 minggu setelah
pengobatan IVIG. Tingkat IgG pada minggu 2 menunjukkan korelasi yang lemah
dengan tingkat dasar IgG. Untuk menyelidiki farmakokinetik IVIG, perubahan
IgG dihitung dengan mengurangkan tingkat dasar dari tingkat pada minggu 2
(IgG). Ada variabilitas besar di IgG 2 minggu setelah pengobatan IVIG.
Ternyata pasien dengan IgG yang rendah (kuartil bawah) memiliki waktu yang
lama secara signifikan untuk mencapai GBS skor cacat 2 (dapat berjalan secara
independen; log-rank P <0,001). Menggunakan regresi logistik multivariat
(multivariate logistic regression), menunjukkan bahwa kadar IgG dasar atau
tingkat IgG pada minggu ke 2 tidak signifikan jika dikaitkan dengan hasil.
Namun, peningkatan IgG pada minggu ke 2 setelah pemberian standar IVIG
(IgG) diperoleh (P = 0,027) jika dikaitkan dengan hasil. Ternyata pasien dengan
IgG <3,99 g / L empat kali lebih kecil kemungkinannya (OR 0,25) dan pasien
dengan IgG dari 3,99-7,30 g / L tiga kali lebih kecil kemungkinannya (OR 0,26,
9) berjalan tanpa bantuan setelah 6 bulan dari pasien dengan IgG> 10,92 g / L.
Ini adalah studi pertama yang menunjukkan bahwa peningkatan tinggi di tingkat
IgG setelah pengobatan IVIG untuk GBS dikaitkan dengan prognosis yang lebih
baik.

Diskusi

IVIG adalah pengobatan yang terbukti efektif untuk GBS. Tidak pada semua
pasien terjadi pemulihan yang cukup setelah dosis standar IVIG. Beberapa faktor
klinis berhubungan dengan hasil yang didapatkan. Penting untuk diketahui,
peningkatan yang rendah dari kadar serum IgG setelah pemberian dosis IVIG
standar, secara signifikan dikaitkan dengan pemulihan yang lebih lambat dan
prognosis yang lebih buruk. Alasan mengapa ada perbedaan besar antar individu
dalam peningkatan IgG setelah pengobatan IVIG belum diketahui. Tingkat
keparahan penyakit pada saat pengobatan IVIG tampaknya mempengaruhi
peningkatan tingkat serum IgG. Kenaikan terendah di IgG ditemukan pada pasien
dengan kecacatan dan kelemahan yang lebih luas, seperti yang didefinisikan oleh
skor kecacatan GBS dan Medical Research Council (MRC) sum skor. Hal ini
mungkin karena kerusakan saraf yang diperantarai sistem imun (immune-
mediated nerve Damage) lebih ektensif ke jaringan yang meradang yang
menyebabkan peningkatan ekstravasasi IgG ke dalam jaringan yang mengalami
inflamasi atau tingkat katabolik yang tinggi. Isu-isu ini harus dilakukan
pengkajian lebih lanjut.

IVIG adalah pengobatan mahal yang dapat menyebabkan efek samping


(umumnya ringan) dan saat ini kurang diindikasikan karena terbukti beberapa
pada pasien GBS sedikit atau tidak memberikan pengaruh. Dosis IVIG kedua
tampaknya berpotensi untuk diindikasikan pada pasien dengan prognosis yang
buruk. Faktor-faktor yang terkait dengan hasil setelah 6 bulan adalah usia pasien,
riwayat diare sebelumnya, dan skor kecacatan GBS atau MRC sum skor 1 sampai
2 minggu setelah masuk rumah sakit; Selain itu, faktor yang dimasukan juga
adalah besarnya di peningkatan kadar IgG 2 minggu setelah dimulainya
pengobatan IVIG.17,19,20 Dengan menggunakan faktor-faktor klinis tersebut sangat
mungkin untuk memilih kelompok pasien GBS dengan prognosis yang buruk di
awal perjalanan penyakit. Sebuah uji coba internasional yang dilakukan oleh
Inflammatory Neuropathy Consortium mempelajari pengaruh dosis IVIG kedua
pada pasien dengan prognosis yang buruk berdasarkan EGOS diharapkan segera
dapat diteliti.
References
1. Hughes RA, Cornblath DR. GuillainBarr syndrome. Lancet. 2005;366:1653
66.
2. van Doorn PA, Ruts L, Jacobs BC. Clinical features, pathogenesis, and
treatment of GuillainBarr syndrome. Lancet Neurol. 2008;7:93950.

3. Jacobs BC, Rothbarth PH, van der Mech FG, Herbrink P, Schmitz PI,
deKlerkMA, et al. The spectrum of antecedent infections in GuillainBarr
syndrome: a case-control study. Neurology. 1998;51:11105.
4. Asbury AK, Cornblath DR. Assessment of current diagnostic criteria for
GuillainBarr syndrome. Ann Neurol. 1990;27:S214.
5. Willison HJ. The immunobiology of GuillainBarr syndromes. JPeripher Nerv
Syst. 2005;10:94112.
6. Halstead SK, O'Hanlon GM, Humphreys PD, Morrison DB, Morgan BP, Todd
AJ, et al. Anti-disialoside antibodies kill perisynaptic Schwann cells and damage
motor nerve terminals via membrane attack complex in a murine model of
neuropathy. Brain. 2004;127:210923.
7. Susuki K, Rasband MN, Tohyama K, Koibuchi K, Okamoto S, Funakoshi K, et
al. Anti-GM1 antibodies cause complementmediated disruption of sodium channel
clusters in peripheral motor nerve fibers. J Neurosci. 2007;27:395667.
8. Halstead SK, Zitman FM, Humphreys PD, Greenshields K, Verschuuren JJ,
Jacobs BC, et al. Eculizumab prevents antiganglioside antibody-mediated
neuropathy in a murine model. Brain. 2008;131:1197208.
9. Hughes RA, Raphael JC, Swan AV, van Doorn PA. Intravenous
immunoglobulin for GuillainBarr syndrome. Cochrane Database Syst Rev.
CD002063, 2006.
10. Raphael JC, Chevret S, Hughes RA, Annane D. Plasma exchange for
GuillainBarr syndrome. Cochrane Database Syst Rev. CD001798, 2002.
11. van der Mech FG, Schmitz PI. A randomized trial comparing intravenous
immune globulin and plasma exchange in Guillain Barr syndrome. Dutch
GuillainBarr Study Group. N Engl J Med. 1992;326:11239.
12. Plasma Exchange/Sandoglobulin GuillainBarr Syndrome Trial Group.
Randomised trial of plasma exchange, intravenous immunoglobulin, and
combined treatments in GuillainBarr syndrome. Lancet. 1997;349:22530.
13. Hughes RA, Swan AV, Raphael JC, Annane D, van Koningsveld R, van Doorn
PA. Immunotherapy for GuillainBarr syndrome: a systematic review. Brain.
2007;130:224557.
14. van Koningsveld R, Schmitz PI, Mech FG, Visser LH, Meulstee J, van Doorn
PA. Effect of methylprednisolone when added to standard treatment with
intravenous immunoglobulin for GuillainBarr syndrome: randomised trial.
Lancet. 2004;363:1926.
15. van Koningsveld R, Schmitz PI, Ang CW, Groen J, Osterhaus AD, van der
Mech FG, et al. Infections and course of disease in mild forms of GuillainBarr
syndrome. Neurology. 2002;58: 6104.
16. Durand MC, Porcher R, Orlikowski D, Aboab J, Devaux C, Clair B, et al.
Clinical and electrophysiological predictors of respiratory failure in Guillain
Barr syndrome: a prospective study. Lancet Neurol. 2006;5:10218.
17. van Koningsveld R, Steyerberg EW, Hughes RA, Swan AV, van Doorn PA,
Jacobs BC. A clinical prognostic scoring system for GuillainBarr syndrome.
Lancet Neurol. 2007;6:58994.
18. Farcas P, Avnun L, Frisher S, Herishanu YO, Wirguin I. Efficacy of repeated
intravenous immunoglobulin in severe unresponsive GuillainBarr syndrome.
Lancet. 1997;350:1747.
19. Kuitwaard K, de Gelder J, Tio-Gillen AP, Hop WC, van Gelder T, van
Toorenenbergen AW, et al. Pharmacokinetics of intravenous immunoglobulin and
outcome in GuillainBarr syndrome. Ann Neurol. 2009;66:597603.
20. Cornblath DR, Hughes RA. Treatment for GuillainBarr syndrome. Ann
Neurol. 2009;66:56970.

Anda mungkin juga menyukai