Anda di halaman 1dari 26

MATA KULIAH

ETIKA KEBIDANAN DAN HUKUM KESEHATAN

Pengajar :

Gita Ayuningtyas

Materi :

1. Pengantar Ilmu Hukum


2. Aspek Legal dalam Pelayanan Kebidanan
3. Informed Consent dan Informed Choice

Program Studi D-IV Kebidanan

Universitas Muhammadiyah Tangerang

2016/2017
Dewasa ini dapat dilihat semua bidang kehidupan masyarakat sudah
terjamah aspek hukum. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya manusia
mempunyai hasrat untuk hidup teratur. Akan tetapi keteraturan bagi seseorang
belum tentu sama dengan keteraturan bagi orang lain, oleh karena itu diperlukan
kaidah-kaidah yang mengatur hubungan antar manusia melalui keserasian antara
ketertiban dan landasan hukum.

Norma atau kaidah yang mengatur aspek pribadi terdiri dari norma
kepercayaan dan norma kesusilaan. Norma kepercayaan bertujuan agar manusia
hidup beriman, sedang norma kesusilaan bertujuan agar manusia hidup berakhlak.
Norma yang mengatur antar pribadi terdiri dari norma kesopanan dan norma
hukum. Suatu norma hukum biasanya dirumuskan dalam bentuk perilaku yang
dilarang dengan mendapat sanksi apabila larangan tersebut dilanggar.

Norma hukum ada yang tertulis dan ada pula yang tidak tertulis. Hukum
tertulis biasanya disamakan dengan peraturan perundang-undangan. Secara
hirarkis peraturan perundang-undangan di Indonesia tersusun sebagai berikut :

1. Undang-Undang Dasar 1945

2. Ketetapan MPR

3. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.

4. Peraturan Pemerintah

5. Keputusan Presiden

6. Peraturan-peraturan pelaksana lainnya.

a. Peraturan Menteri

b. Instruksi Menteri

Legal berasal dari kata leggal dalam bahasa Belanda yang berarti sah
menurut undang-undang. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan
sesuai dengan undang-undang atau hukum.
Hukum merupakan salah satu tatanan yang ada dalam kehidupan
masyarakat dan merupakan perlengkapan masyarakat untuk menciptakan
ketertiban dan keteraturan, dua tatanan lainnya yani tatanan kebiasaan dan tatanan
kesusilaan. Dalam tatanan hukum, dicirikan oleh penciptaan norma-norma hukum
yang dibuat secara sengaja oleh suatu badan perlengkapan dalam masyarakat yang
khusus ditugasi untuk menjalankan penciptaan atau pembuatan hukum itu dan
menghasilkan substansi yang sah.

Hukum bertujuan menjaga ketertiban. Adapun unsur dari hukum terdiri


dari :

1. Peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan mayarakat.

2. Peraturan itu diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib.

3. Peraturan itu bersifat memaksa.

4. Sanksi terhadap pelanggaran peraturan tersebut adalah tegas.

Sedangkan hukum juga memiiki ciri seperti :

1. Adanya perintah dan/atau larangan.

2. Perintah dan/atau larangan itu harus patuh ditaati setiap orang.

Definisi Hukum

Pengertian hukum menurut para ahli hukum diantaranya adalah :

1. Definisi hukum dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997) :

Peraturan adat yang secara remi dianggap mengikat dan dikukuhkan oleh
penguasa, pemerintah, atau otoritas. Undang-undang, peraturan, dan
sebagainya untuk mengatur kehidupan masyarakat

Patokan (kaidah, ketentuan)


Keputusan (pertimbangan) yang ditentuan oleh hakim dalam pengadilan,
vonis

2. Plato

Hukum adalah sistem peraturan-peraturan yang teratur dan tersusun baik yang
mengikat masyarakat

3. Aristoteles

Hukum yaitu kumpulan peraturan yang tidak hanya mengikat masyarakat


tetapi juga hakim

4. Austin

Hukum adalah sebaga peraturan yang diadakan untuk memberi bimbingan


kepada makhluk berakal oleh makhluk berakal yang berkuasa atasnya

Jadi hukum adalah himpunan peraturan-peraturan yang dibuat oleh


penguasa negara atau pemerintah secara resmi melalui lembaga atau institusi
hukum untuk mengatur tingkah laku manusia dalam berasyarakat, bersifat
memaksa, dan memiliki sanksi yang harus dipenuhi oleh masyarakat.

Disiplin Hukum

Disiplin adalah suatu sistem ajaran mengenai kenyataan atau gejala-gejala


yang dihadapi. Secara umum disiplin dapat dibedakan antara disiplin analitis dan
disipin preskriptif

Disipllin analitis merupakan suatu sistem ajaran yang titik beratnya


menganalisis, memahami, serta menjelaskan gejala-gejala yang dihadapi.
Contohnya antara lain adalah sosiologi, psikologi, ekonomi, dan seterusnya.

Disiplin preskriptif adalah sistem ajaran yang menentukan apakah yang


seharusnya dilakukan di dalam menghadapi kenyataan tertentu.
Dari pengertian-pengertian tersebut diatas nampak dengan jelas bahwa
dalam disiplin preskriptif terkandung adanya nilai-nilai tertentu yang akan dikejar
dan bersifat normatif (memberi pedoman/patokan). Beberapa bidang studi yang
termasuk dalam kelompok disiplin preskriptif adalah hukum filsafat.

Disiplin hukum antara lain membahas mengenai :

1. Ilmu Hukum

a. Kaidah hukum (validasi sebuah hukum)

b. Kenyataan hukum (sejarah, antropologi, sosiologi, psikologi, perbandingan


hukum)

c. Pengertian hukum

2. Filsafat Hukum

Yaitu sistem ajaran yang pada hakikatnya menjadi kerangka utama dari segala
ilmu hukum dan hukum itu sendiri beserta segala unsur penerapan dan
pelaksanaannya.

3. Politik Hukum

Yaitu arah atau dasar kebijakan yang menjadi landasan pelaksanaan dan
penerapan hukum yang bersangkutan.

Macam-macam Hukum

1. Hukum menurut wujudnya

a. Hukum tertulis : hukum perdata, hukum pidana

b. Hukum tidak tertulis : hukum adat


2. Hukum menurut sifatnya

a. Hukum yang mengatur

b. Hukum yang memaksa

3. Hukum menurut sumbernya

a. Hukum undang-undang

b. Hukum kebiasaan adat

c. Hukum jurisprudensi (hukum yang terbentuk karena keputusan hakim)

d. Hukum traktat (hukum yang terbentuk karena adanya perjanjian antara


negara yang terlibat di dalamnya)

4. Hukum menurut isinya

a. Hukum privat (mengatur hubungan perorangan dengan orang lain)

b. Hukum negara

Hukum pidana (hukum yang mengatur hubungan antar warga


negaranya)

Hukum tata negara (hukum yang mengatur hubungan antar warga


negara dengan alat kelengkapan negara)

Hukum administrasi (hukum yang mengatur hubungan antara alat


kelengkapan negara dan pemerintah pusat serta daerah)

5. Menurut caranya

a. Hukum materiil (hukum yang mengatur kepentingan dan hubungan yang


berwujud perintah dan larangan, contohnya hukum pidana dan hukum
perdata)
b. Hukum formil (hukum yang mengatur cara mempertahankan dan
melaksanakan hukum materiil, contohnya hukum acara pidana dan hukum
acara perdata)

Pergaulan hidup atau hidup di masyarakat yang sudah maju seperti sekarang
ini tidak cukup hanya dengan adat kebiasaan yang turun-temurun seperti sebelum
lahirnya peradaban yang modern. Untuk itu, maka oleh kelompok masyarakat
yang hidup dalam suatu masyarakat atau negara diperlukan aturan-aturan secara
tertulis yang disebut hukum. Meskipun demikian, tidak semua perilaku
masyarakat atau hubungan antara satu dengan lainnya juga masih perlu diatur oleh
hukum yang tidak tertulis yang disebut : etika, adat istiadat, tradisi, kepercayaan,
dan sebagainya

Etika, hukum, dan moral merupakan pengawal bagi kemanusiaan.


Ketiganya mempunyai tugas dan kewenangan untuk memanusiakan manusia dan
memperadabkan manusia.

Istilah etika yang kita gunakan sehari-hari pada hakikatnya berkaitan dengan
falsafah moral, yaitu mengenai apa yang dianggap baik atau buruk di
masyarakat dalam kurun waktu tertentu, sesuai dengan perubahan/perkembangan
norma dan nilai. Dikatakan dalam kurun waktu tertentu karena moral bisa berubah
seiring waktu. Etika dan moral senantiasa berjalan beriringan, sehingga suatu
tindakan yang dinilai bermoral pasti etis dan sesuatu yag tidak bermoral pasti
dianggap tidak etis pula.

Etika dan hukum memiliki tujuan yang sama, yaitu mengatur tata tertib dan
tenteramnya pergaulan hidup di masyarakat. Pelanggaran etik tidak selalu
pelanggaran hukum. Tetapi sebaliknya, pelanggaran hukum hampir selalu
merupakan pelanggaran etik. Etika tanpa hukum hanya merupakan pajangan
belaka, bagaikan harimau tanpa taring, hanya bisa digunakan untuk memberi
teguran, nasehat bahwa suatu tindakan itu salah atau benar tanpa bisa berbuat
lebih jauh lagi. Sebaliknya, hukum tanpa etika ibarat rumah tangga tanpa pondasi
yang kuat.
Karena hukum ditujukan bagi masyarakat, maka bila hukum dibuat tanpa
dasar etika, artinya menganggap manusia seperti robot. Keduanya saling
membutuhkan, berkaitan, dan keberadaannya tidak bisa digantikan. Misalnya,
aborsi tanpa indikasi medis yang jelas, dianggap sebagai tindakan yang melanggar
etika. Etika tidak hanya bergerak sebatas memberi peringatan dan tuntunan,
sedangkan hukum (dengan dasar etika yang jelas) bisa memberi sanksi yang lebih
jelas dan tegas dalam bentuk tuntutan.

Salah satu perilaku profesional bidan dalam menerapkan standar


kompetensinya adalah berpegang teguh pada filosofi, etika profesi, dan aspek
legal. Dari pernyataan tersebut dapat dilihat bahwa hukum dan etika tidak dapat
dipisahkan.

Hukum Kesehatan

Hukum kesehatan adalah semua ketentuan hukum yang berhubungan


langsung dengan pemeliharaan atau pelayanan kesehatan dan penerapannya. Hal
ini berarti hukum kesehatan adalah aturan tertulis mengenai hubungan antara
pihak pemberi pelayanan kesehatan dengan masyarakat. Dengan sendirinya
hukum kesehatan itu mengatur hak dan kewajiban masing-masing penyelenggara
pelayanan dan penerima pelayanan (masyarakat).

Hukum kesehatan mencakup komponen-komponen atau kelompok-


kelompok profesi kesehatan yang saling berhubungan dengan yang lainnya,
yakni : Hukum Kedokteran, Hukum Kedokteran Gigi, Hukum Keperawatan,
Hukum Farmasi, Hukum Rumah Sakit, Hukum Kesehatan Masyarakat, Hukum
Kesehatan Lingkungan, dll.

Persamaan etika kesehatan dan hukum kesehatan :

1. Etika dan hukum kesehatan sama-sama merupakan alat untuk mengatur


tertibnya hidup bermasyarakat dalam bidang kesehatan.
2. Sebagai objeknya adalah sama yakni masyarakat baik yang sakit maupun
yang tidak sakit (sehat).

3. Masing-masing mengatur kedua belah pihak antara hak dan kewajiban, baik
pihak yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan maupun yang menerima
pelayanan kesehatan agar tidak saling merugikan.

4. Keduanya menggugah kesadaran untuk bersikap manusiawi, baik


peyelenggara maupun penerima pelayanan kesehatan.

5. Baik etika maupun hukum kesehatan merupakan hasil pemikiran dari para
pakar serta pengalaman para praktisi bidang kesehatan.

Sedangkan perbedaan antara etika kesehatan dan hukum kesehatan antara


lain :

1. Etika kesehatan hanya berlaku di lingkungan masing-masing profesi


kesehatan, sedangkan hukum kesehatan berlaku umum.

2. Etika kesehatan disusun berdasarkan kesepakatan anggota masing-masing


profesi, sedangkan hukum kesehatan disusun oleh badan pemerintahan, baik
legislatif (Undang-Undang, Perturan Daerah) maupun oleh eksekutif
(Peraturan Pemerintah, Kepres, Kepmen, dsb).

3. Etika kesehatan tidak semuanya tertulis, sedangkan hukum kesehatan


tercantum atau tertulis secara rinci dalam kitab undang-undang atau
lembaran negara lainya.

4. Sanksi terhadap pelanggaran etika kesehatan berupa tuntunan, biasanya dari


organisasi profesi, sedangkan sanksi pelanggaran hukum kesehatan adalah
tuntutan, yang berujung pada pidana atau hukuman lainnya.

5. Pelanggaran etika kesehatan diselesaikan oleh Majelis Kehormatan Etik


Profesi dari masing-masing organisasi profesi, sedangkan pelanggaran
hukum kesehatan diselesaikan lewat pengadilan.
6. Penyelesaian pelanggaran etik tidak selalui disertai bukti fisik, sedangkan
untuk pelanggaran hukum pembuktiannya memerlukan bukti fisik.

Bidan adalah salah satu komponen pemberi pelayanan kesehatan kepada


masyarakat mempunyai peranan yang sangat penting, karena terkait langsung
dengan pemberian pelayanan kesehatan dan mutu pelayanan kepada para ibu di
Indonesia. Bidan adalah salah satu tenaga kesehatan yang berperan dalam upaya
penurunan angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKI). Pelayanan
yang dilakukan oleh bidan meliputi pelayanan berkesinambungan dan paripurna.
Maknanya difokuskan pada aspek pencegahan, promosi dengan berlandaskan
kemitraaan dan pemberdayaan masyarakat bersama-sama dengan tenaga
kesehatan lainnya (Kepmenkes RI nomor 938/MENKES/SK/VIII/2007 tentang
Standar Asuhan Kebidanan).

Permenkes RI nomor HK.02.02/Menkes/1464/2010 tentang Ijin dan


Penyelenggaraan Praktik Bidan memberikan pengertian bidan adalah seorang
perempuan yang lulus dari pendidikan bidan yang telah teregistrasi sesuai
peraturan perundang-undangan. Artinya profesi bidan harus dilakukan oleh
perempuan, karena tugas bidan antara lain memberikan pelayanan kebidanan dan
pelayanan reproduksi perempua. Seorang bidan minimal harus merupakan lulusan
dari pendidikan bidan sebelum tahun 2000 atau DIII dan dalam menjalankan
praktik bidan harus memiliki SIPB.

Pekerjaan bidan adalah suatu profesi, sehingga dalam pelaksanaannya


disamping berdasarkan standar pelayanan yang ditetapkan oleh peraturan
perundang-undangan, juga harus tuduk kepada kode etik yang ditetapkan oleh
organisasi profesi. Sehingga seorang bidan sebagai salah satu tenaga kesehatan
tidak saja harus bertanggung jawab kepada masyarakat berdasarkan peraturan
perundang-undangan, tetapi juga harus bertanggung jawab kepada organisasi
profesi (kebidanan) atas dasar kode etik bidan.
Pengertian tanggung jawab menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah
keadaan wajib menanggung segala sesuatu (kalau terjadi apa-apa boleh dituntut,
dipersalahkan, diperkarakan). Dapat dikatakan bahwa tanggung jawab adalah
beban yang dipikul seseorang atas perbuatannya. Tanggung jawab berdasarkan
peraturan perundang-undangan sebagai tanggung jawab hukum dapat dibedakan
menjadi tiga aspek, yaitu aspek hukum perdata, hukum pidana, dan hukum
administrasi. Tanggung jawab perdata disebut juga tanggung gugat. Tanggung
gugat yaitu mempertanggungjawabkan segala pebuatan terhadap keberatan orang
lain atas perbuatannya tersebut.

Akuntabilitas bidan dalam praktik kebidanan merupakan suatu hal yang


penting dan dituntut dari suatu profesi, terutama profesi yang berhubungan
dengan keselamatan jiwa manusia. Akuntabilitas diperkuat dengan suatu landasan
hukum yang mengatur batas-batas wewenang profesi yang bersangkutan. Dengan
adanya legitimasi kewenangan bidan yang luas, bidan memiliki hak otonomi dan
mandiri untuk bertindak secara profesional yang dilandasi kemampuan berfikir
logis dan sistematis serta bertindak sesuai standar dan etika profesi.

Beberapa dasar dalam otonomi dan aspek legal/hukum yang mendasari dan
terkait dengan pelayanan kebidanan antara lain :

1. Undang-Undang Republik Indonesia No.36 Tahun 2009 tentang


Kesehatan.
2. Undang-Undang Republik Indonesia No. 29 Tahun 2004 Praktik
Kedokteran.
3. Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999 tentang
Otonomi Daerah.
4. Undang-Undang Republik Indonesia No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan.
5. Undang-Undang Republik Indonesia yang terkait dengan Aborsi,
Adopsi, Bayi Tabung, dan Transplantasi.
6. Undang-Undang Republik Indonesia No. 10 Tahun 1992 tentang
Pengembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera.
7. Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2003 tentang
Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan di Dalam Rumah Tangga.
8. Undang-Undang Republik Indonesia yang terkait dengan Hak
Reproduksi dan Keluarga Berencana.
9. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
585/MENKES/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik.
10. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
1277/MENKES/SK/XI/2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen
Kesehatan.
11. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
900/MENKES/SK/VII/2002 tentang Registrasi dan Praktek Bidan.
12. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
369/MENKES/SK/III/2007 tentang Standar Profesi Bidan.
13. Keputusan Menteri kesehatan Republik Indonesia No.
938/MENKES/SK/VIII/2007 tentang Standar Asuhan Kebidanan.
14. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
1464/MENKES/PER/X/2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik
Bidan.
15. Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan.
16. KUHPerdata
17. KUHP

Persetujuan Tindakan Medik/Kedokteran

Hubungan kontraktual timbul karena ada pertemuan kehendak antara


keduanya. Kehendak diantara keduanya tidak sama tetapi saling berhubungan.
Artinya seorang klien datang ke tempat praktik bidan untuk meminta pelayanan
pengobatan dari bidan, sedangkan bidan berkehendak memberikan pelayanan
pengobatan kepada klien. Dalam hubungan antara tenaga kesehatan dengan
penerima jasa kesehatan didasarkan pada dua ciri, yaitu adanya persetujuan
tentang pemberian pelayanan (konsensual) dan adanya kepercayaan (fiduciary)
antara pemberi pelayanan dan penerima pelayanan kesehatan.
Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata menyebutkan semua perjanjian yang
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya. Berdasarkan ketentuan ini, maka para pihak harus menaati
perjanjian sebagaimana layaknya menaati undang-undang. Ini berarti hak dan
kewajiban yang lahir dari perjanjian penyembuhan tersebut harus dapat
dipertahankan dan dilaksanakan oleh para pihak. Apabila salah satu pihak tidak
melakanakan kewajiban karena adanya unsur kesalahan, disebut dengan istilah
wanprestasi.

Malpraktik

Malpraktik adalah kegagalan seseorang untuk melaksanakan jasa


profesionalnya yaitu untuk melaksanakan tingkat keterampilan dan pengetahuan
yang secara umum diharapkan oleh pengguna profesi tersebut dengan akibat
timbulnya luka, kerugian, atau kerusakan pada penerima jasa atau mereka yang
menggantungkan diri pada pemberi jasa.

Oleh karena itu malpraktik dapat disebabkan oleh sikap/perilaku yang tak
acuh, lalai, atau kurang keterampilan/ketelitian dalam menjalankan kewajiban
profesional, melakukan perbuatan salah dengan sengaja, atau menjalankan praktik
yang tidak legal atau tidak etis. Malpraktek di bidang kesehatan dapat
mengakibatkan penderitaan bahkan kematian pada pasien/klien.

Dalam ranah hukum perdata, malpraktik meliputi perbuatan melakukan


wanprestasi, perbuatan melawan hukum, perbuatan melalaikan pekerjaan sebagai
penanggung jawab, dan perbuatan melakukan kelalaian yang menyebabkan
kerugian.
Sedangkan malpraktek dalam ranah hukum pidana meliputi perbuatan
memberikan keterangan palsu, perbuatan menipu klien, perbuatan melakukan
kealpaan sehingga menyebabkan luka-luka bahkan kematian, perbuatan
pelanggaran kesopanan, perbuatan melaukan abortus provocatus criminalis,
perbuatan membocorkan rahasia kedokteran, perbuatan membiarkan pasien, dan
perbuatan melakukan euthanasia aktif.

Selanjutnya dalam ranah hukum administrasi negara, malpraktik dapat


terjadi dalam hal misalnya bidan dalam melakukan praktik mandiri tanpa
memiliki SIPB.

Seorang bidan yang diduga melakukan malpraktik harus bertanggung jawab


akan akibat perbuatannya. Tanggung jawab disini maknanya adalah tanggung
jawab secara hukum.

Dalam Undang-Undang kesehatan Pasal 58 ayat (1) menyebutkan bahwa


setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seorang tenaga kesehatan
dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan
atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya. Berdasarkan
ketentuan tersebut maka seorang bidan sebagai salah satu tenaga kesehatan yang
telah melakukan kesalahan wajib bertanggung jawab terhadap pasien yang
menderita kerugian karena kesalahannya.

Tanggung jawab hukum adalah tanggung jawab yang diakui dan ditegakkan
oleh pengadilan diantara para pihak yang berperkara. Tanggung jawab di bidang
hukum perdata dari seorang tenaga kesehatan muncul dalam bentuk tanggung
gugat, bahwa bidan dapat digugat di muka pengadilan karena perbuatannya. Klien
dalam mengajukan gugatan dapat memilih salah satu dari dua macam dasar
gugatan. Gugatan dalam hukum perdata dapat dilakukan berdasarkan wanprestasi
atau berdasarkan perbuatan melawan hukum. Gugatan dapat muncul karena
kerugian yang diderita oleh pihak-pihak yang berkepentingan.

Di dalam hukum perikatan, yang dimaksud dengan wanprestasi adalah tidak


dipenuhinya suatu prestasi oleh salah satu pihak (debitur) yang disebabkan oleh
adanya unsur kesalahan. Kesalahan itu sendiri dapat berupa :

1. Kesengajaan, yaitu perbuatan yang menyebabkan tidak terpenuhinya


kewajiban itu memang dikehendaki /diketahui oleh debitur.

2. Kelalaian, yaitu orang yang melakukan perbuatan itu hanya mengetahui


adanya kemungkinan bahwa akibat yang meruhikan itu akan timbul.

Akibat adanya gugatan berdasarkan wanprestasi itu adalah timbulnya


kewajiban untuk memberikan ganti rugi sebagaimana diatur dalam Buku III KUH
Perdata.

Pasal 58 Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan


menentukan sebagai berikut :

1. Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang tenaga


kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian
dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya.

2. Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi
tenaga kesehatan yang melakukan tindakan penyelamatan nyawa atau
pencegahan kecacatan seseorang dalam keadaan darurat.

Informed concent

Informed consent adalah istilah yang telah diterjemahkan dan lebih sering
disebut dengan persetujuan tindakan medik. Secara harfiah, informed consent
terdiri dari dua kata, yaitu : informed dan consent. Informed berarti telah
mendapat informasi/penjelasan/keterangan. Consent berarti memberi persetujuan
atau mengizinkan. Dengan demikian informed consent itu merupakan suatu
persetujuan yang diberikan pasien/keluarga setelah mendapatkan informasi.
Informed consent merupakan suatu kesepakatan/persetujuan pasien atas upaya
medis yang akan dilakukan dokter terhadap dirinya setelah mendapat informasi
dari dokter mengenai upaya medis yang dapat dilakukan untuk menolong dirinya
disertai informasi mengenai segala resiko yang mungkin terjadi.
Di Indonesia, perkembangan informed consent secara yuridis formal
ditandai dengan munculnya pernyataan dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) melalui
SK PB-IDI No. 139/PB/A.4/88 Tahun 1988 tentang Informed Consent. Kemudian
dipertegas kembali dengan Permenkes No. 585 Tahun 1989 tentang Persetujuan
Tindakan Medik (Informed Consent). Kemudian diubah dengan Permenkes No.
290 Tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran.

Persetujuan dalam tindakan medik terdiri dari tiga bentuk, yaitu :


1. Persetujuan Tertulis
Bentuk persetujuan tertulis ini biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang
mengandung resiko besar, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 3 ayat (1)
Permenkes No. 209 Tahun 2008 dan butir 3 SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88
yaitu intinya setiap tindakan medis yang mengandung resiko cukup besar
mengharuskan adanya persetujuan tertulis, setelah sebelumnya pihak pasien
memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medis serta
resiko yang berkaitan dengannya.
Persetujuanpersetujuan tertulis itu dalam bentuk formulirformulir
persetujuan bedah, operasi dan lain-lain yang harus diisi (umumnya) dengan
tulisan tangan. Dan dari sudut hukum positif, formulir persetujuan ini sangat
penting sebagai bukti tertulis yang dapat dikemukan oleh para pihak kepada
hakim bila terjadi kasus malpraktek. Oleh karena itu, pengisian data pada
formulir itu haruslah tepat dan benar sehingga tidak akan menimbulkan
masalah dikemudian hari bagi para pihak.
2. Persetujuan Lisan.
Terhadap tindakan medik yang tidak invasif dan tidak mengandung resiko
besar maka persetujuan dari pasien dapat disampaikan secara lisan kepada
dokter. Segi praktis dan kelancaran pelayanan medis yang dilakukan oleh
dokter merupakan alasan dari penyampaian persetujuan itu secara tertulis.
Meski persetujuan lisan itu diperbolehkan untuk tindakan, dokter membiasakan
diri untuk menulis/mencatat persetujuan lisan pasien itu pada rekam
medis/rekam kesehatan, karena segala kegiatan yang dilakukan oleh dokter
harus dicatat dalam rekam medis termasuk persetujuan pasien secara lisan.
3. Persetujuan dengan Isyarat.
Dilakukan pasien dengan isyarat, misalnya pasien yang akan disuntik atau
diperiksa tekanan darahnya, langsung menyodorkan lengannya sebagai tanda
menyetujui tindakan yang akan dilakukan terhadap dirinya. Ataupun gerakan
menganggukkan kepala dapat diartikan sebagai ucapan setuju.
Pada umumnya, keharusan adanya informed consent secara tertulis yang
ditandatangani oleh pasien sebelum dilakukannya tindakan medik tertentu itu,
dilakukan di sarana kesehatan yaitu di Rumah Sakit atau Klinik, karena erat
kaitannya dengan pendokumentasiannya ke dalam catatan medik (medical
record). Hal ini disebabkan, Rumah Sakit atau Klinik tempat dilakukannya
tindakan medik tersebut, selain harus memenuhi standar pelayanan rumah sakit
juga harus memenuhi standar pelayanan medik sesuai dengan yang ditentukan
dalam Keputusan Menteri Kesehatan No. 436/MENKES/SK/VI/1993 tentang
Berlakunya Standar Pelayanan di Rumah Sakit. Dengan demikian, Rumah Sakit
turut bertanggung jawab apabila tidak dipenuhinya persyaratan informed consent.
Apabila tindakan medik yang dilakukan tanpa adanya informed consent, maka
dokter/tenaga medis yang bersangkutan dapat dikenakan sanksi administratif
berupa pencabutan Surat Izin Praktik, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 19
Permenkes No. 290 Tahun 2008. Berarti, keharusan adanya informed consent
secara tertulis dimaksudkan guna kelengkapan administrasi Rumah Sakit yang
bersangkutan.
Dengan demikian, penandatanganan informed consent secara tertulis yang
dilakukan oleh pasien sebenarnya dimaksudkan sebagai penegasan atau
pengukuhan dari persetujuan yang sudah diberikan setelah dokter memberikan
penjelasan mengenai tindakan medik yang akan dilakukannya.
Permenkes No. 290 Tahun 2008 Pasal 3 dan 4 menyatakan bahwa
penandatangan informed consent secara tertulis dilakukan oleh yang berhak
memberikan persetujuan yaitu baik pasien maupun keluarganya, setelah pasien
atau keluarganya mendapat informasi yang lengkap. Oleh karena itu, dengan
ditandatanganinya informed consent secara tertulis tersebut, maka dapat diartikan
bahwa pemberi tanda tangan bertanggung jawab dalam menyerahkan sebagian
tanggung jawab pasien atas dirinya sendiri kepada dokter yang bersangkutan,
beserta resiko yang mungkin akan dihadapinya. Untuk itu,tindakan medik yang
ditentukan oleh dokter harus dapat dipertanggung jawabkan sesuai dengan standar
profesinya.
Bagian yang terpenting dalam informed consent adalah mengenai informasi
atau penjelasan yang perlu disampaikan kepada pasien atau keluarga. Yaitu
informasi mengenai apa (what) yang harus disampaikan, tentulah segala sesuatu
yang berkaitan dengan penyakit pasien. Tindakan apa yang akan dilakukan
tentunya prosedur tindakan yang akan dijalani baik diagnostik maupun terapi dan
lain-lain sehingga pasien/keluarga dapat memahaminya. Ini mencakup bentuk,
tujuan, resiko, manfaat dari terapi yang akan dilaksanakan dan alternatif terapi.
Mengenai kapan (when) disampaikan, tergantung pada waktu yang tersedia
setelah dokter akan memutuskan akan melakukan tindakan invasif dimaksudkan.
Pasien/keluarganya harus diberi waktu yang cukup untuk menentukan
keputusannya. Siapa (who) yang menyampaikan, tergantung dari jenis tindakan
yang akan dilakukan. Dalam Permenkes dijelaskan dalam tindakan bedah dan
tindakan invasif lainnya harus diberikan oleh dokter yang akan melakukan
tindakan. Dalam keadaan tertentu dapat pula oleh dokter lain atas sepengetahuan
dan petunjuk dokter yang bertanggung jawab. Bila bukan tindakan bedah atau
invasif sifatnya, dapat disampaikan oleh dokter atau perawat. Mengenai informasi
yang mana (which) yang harus disampaikan, dalam Permenkes dijelaskan
haruslah yang selengkaplengkapnya, kecuali dokter menilai informasi tersebut
dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien atau pasienmenolak memberikan
informasi.
Bila perlu informasi dapat diberikan kepada keluarga. Dalam Permenkes
dinyatakan bahwa dokter harus menyampaikan informasi atau penjelasan kepada
pasien/keluarga diminta atau tidak diminta, jadi informasi harus disampaikan.
Informasi harus diberikan sebelum dilakukannya suatu tindakan operasi atau yang
bersifat invasif, baik yang berupa diagnostik maupun terapeutik.
Menurut Kerbala (1993), fungsi informasi dokter kepada pasien sebelum
pasien memberikan consent-nya, dapat dibedakan atas :
a. Fungsi Informasi bagi pasien.
Berfungsi sebagai perlindungan atas hak pasien untuk menentukan diri sendiri.
Dalam arti bahwa pasien berhak penuh untuk diterapkannya suatu tindakan
medis atau tidak.
b. Fungsi Informasi bagi dokter.
Dilihat dari pihak dokter maka informasi dalam proses informed consent pun
mempunyai fungsi yang tidak kecil. Ada 5 hal pentingnya fungsi informasi
bagi dokter :
1. Dapat membantu lancarnya tindakan kedokteran.
Dengan penyampaian informasi kepada pasien mengenai penyakit, terapi,
keuntungan, risiko, dan lain-lain. Dari tindakan medis yang akan dilakukan
maka terjalin hubungan yang baik antara dokter dan pasien. Sementara
pasien pun akan menentukan hal yang terbaik dengan landasan informasi
dokter tadi, sehingga tindakan-tindakan medis pun akan lancar dijalani oleh
kedua pihak karena keduanya telah memahami kegunaan semua tindakan
medis itu.
2. Dapat mengurangi timbulnya akibat sampingan dan komplikasi.
Dengan penyampaian informasi yang baik akan memberi dampak yang baik
dalam komunikasi dokter pasien terutama dalam menerapkan terapi. Misal
dokter sebelum menyuntik pasien dengan penisilin bertanya, apakah pasien
alergi terhadap penisilin? Bila pasien memang alergi maka akibat/risiko
yang besar jika terjadi anafilaktik shock dapat dihindari. Betapa risiko besar
itu akan menimpa pasien bila dokter tidak bertanya kepada pasien.
3. Dapat mempercepat proses pemulihan dan penyembuhan penyakit.
Sama halnya dengan kelancaran tindakan, maka sebagai akibat adanya
pengetahuan dan pemahaman yang cukup dari pasien terhadap tindakan
kedokteran yang akan dilakukan, maka proses pemulihan dan penyembuhan
penyakit akan lebih cepat. Keadaan yang demikian juga jelas akan
menguntungkan dokter, karena dapat mengurangi beban kerja.
4. Dapat meningkatkan mutu pelayanan.
Keberhasilan meningkatkan mutu pelayanan disini adalah sebagai akibat
dari lancarnya tindakan kedokteran, berkurangnya akibat sampingan dan
komplikasi serta cepatnya proses pemulihan dan penyembuhan penyakit.
5. Dapat melindungi dokter dari kemungkinan tuntutan hukum.
Perlindungan yang dimaksudkan disini adalah apabila disuatu pihak,
tindakan dokter yang dilakukan memang tidak menimbulkan masalah
apapun, dan dilain pihak, kalaupun kebetulan sampai menimbulkan
masalah, misalnya akibat sampingan dan atau komplikasi, sama sekali tidak
ada hubungannya dengan kelalaian dan ataupun kesalahan tindakan
(malpractic). Timbulnya masalah tersebut sematamata hanya karena
berlakunya prinsip ketidakpastian hasil dari setiap tindakan
kedokteran/medis. Dengan perkataan lain, semua tindakan kedokteran yang
dilakukan memang telah sesuai dengan standar pelayanan profesi (standar
profesi medis) yang telah ditetapkan.
Menurut Guwandi (2004), informasi yang harus diberikan sebelum dilakukan
tindakan operasi oleh dokter kepada pasien atau keluarga adalah yang berkenaan
dengan :
a. Tindakan operasi apa yang hendak dilakukan.
b. Manfaat dilakukan operasi tersebut.
c. Resiko yang terjadi pada operasi tersebut.
d. Alternatif lain apa yang ada (ini kalau memang ada dan juga kalau mungkin
dilakukan).
e. Apa akibatnya jika operasi tidak dilakukan.
Inti dari persetujuan adalah persetujuan harus didapat sesudah pasien
mendapat informasi yang adekuat. Berpedoman pada Permenkes No. 290 Tahun
2008 tentang persetujuan tindakan kedokteran maka yang menandatangani
perjanjian adalah pasien sendiri yang sudah dewasa (diatas 21 tahun atau sudah
menikah) dan dalam keadaan sehat mental. Dalam banyak perjanjian tindakan
medik yang ada selama ini, penandatanganan persetujuan ini sering tidak
dilakukan oleh pasien sendiri, tetapi lebih sering dilakukan oleh keluarga pasien.
Hal ini mungkin berkaitan dengan kesangsian terhadap kesiapan mental pasien
untuk menerima penjelasan tindakan operasi dan tindakan medis yang invasif tadi
serta keberanian untuk menandatangani surat tersebut, sehingga beban demikian
diambil alih oleh keluarga pasien. Tindakan medis yang diambil oleh dokter tanpa
persetujuan pasien terlebih dahulu, meski untuk kepentingan pasien tetap tidak
dapat dibenarkan secara etika kedokteran dan hukum, sebagaimana telah
ditegaskan oleh fatwa IDI tentang informed consent (dokter tidak berhak
melakukan tindakan medis yang bertentangan dengan kemauan pasien, walaupun
untuk kepentingan pasien itu sendiri).
Namun terhadap ketentuan tersebut terdapat pengecualian, yaitu dalam
keadaan gawat darurat dan terjadinya perluasan operasi yang tidak dapat diduga
sebelumnya serta dilakukan dalam rangka life saving. Dalam keadaan-keadaan
seperti ini dokter dapat melakukan tindakan medis tanpa mendapat persetujuan
terlebih dahulu.
CONTOH INFORMED CONSENT DALAM TINDAKAN PERSALINAN

Bidan Praktik Swasta .........................

Alamat ................................................

Telp .....................Fax .........................

Kode Pos ............................................

PERSETUJUAN TINDAKAN PERTOLONGAN

PERSALINAN

Nomor: ..............

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : ........................................................

Tempat/Tanggal Lahir : ........................................................

Alamat : ........................................................

Kartu Identitas : ........................................................

Pekerjaan : ........................................................

Selaku individu yang meminta bantuan pada fasilitas kesehatan ini,


bersama ini saya menyatakan kesediaanya untuk dilakukan tindakan dan prosedur
pertolongan persalinan pada diri saya.
Apabila dalam keadaan dimana saya tidak mampu untuk memperoleh
penjelasan dan memberi persetujuan maka saya menyerahkan mandat kepada
suami atau wali saya, yaitu:

Nama : ........................................................

Tempat/Tanggal Lahir : ........................................................

Alamat : ........................................................

Kartu Identitas : ........................................................

Pekerjaan : ........................................................

Demikian surat persetujuan ini saya buat tanpa paksaaan dari pihak
manapun dan agar dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.

........................, .......................

Yang memberi

Bidan, Persetujuan pasien

(...............................) (.............................................)
DAFTAR PUSTAKA

1. C. S. T. Kansil. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta;


Balai Pustaka. 1989.

2. Darji Darmodiharjo. Pokok Pokok Filsafat Hukum. Jakarta; PT Gramedia


Pustaka Utama. 1995.

3. Depatemen Pendidikan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Ed. 4. Pusat


Bahasa. Jakata; PT Gramedia Pustaka Utama. 2008.

4. Guwandi J. Persetujuan Tindakan Medik (Informed Consent). Jakarta;


Fakultas Kedokteran UI. 1995.

5. Guwandi J. Tindakan Medis dan Tanggung Jawab Produk Medis. Jakarta;


Fakultas kedokteran UI. 2004.

6. Husein Karbala. Segi Etis dan Yuridis Informed Consent. Jakarta; Pustaka
Sinar Harapan. 1993.

7. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.


2905/Menkes/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran.

8. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor


369/Menkes/SK/III/2007 tentang Standar Profesi Bidan

9. M. Tahlal, Hiswanil. Aspek Hukum dalam Pelayanan Kesehatan. Jurnal


Departemen Epidemiologi fakultas Kesehatan Masyarakat USU.

10. R Setiawan. Pokok-pokok Hukum Perikatan. Bandung; Rineka Cipta.1982.

11. RA Antari Inaka Turingsih. Tanggung Jawab Keperdataan Bidan dalam


Pelayanan Kesehatan. Mimbar Hukum Volume 24 Nomor 2 Juni 2002
halaman 187-375
12. Ronny Hanintijo dan Satjipto Rahardjo. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta;
Penerbit Karunika. 1985.

13. Soekidjo Notoatmodjo. Etika dan Hukum Kesehatan. Rineka Cipta. 2010.

14. Sofwan Dahlan. Hukum Kesehatan (Rambu-rambu bagi Profesi Dokter).


Semarang; Badan Penerbit Universitas Diponegoro.2005.

Anda mungkin juga menyukai