Anda di halaman 1dari 23

PRESENTASI KASUS

PPOK

Pembimbing :
dr. Indah R, Sp.P

Disusun oleh :
Mochamad Riski Kurniardi G4A016015

SMF ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARDJO
JURUSAN KEDOKTERAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO

1
2017LEMBAR PENGESAHAN

Telah dipresentasikan dan disetujui presentasi kasus kecil dengan judul :

PPOK

Pada tanggal, Maret 2017

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti


program profesi Dokter di Bagian Ilmu Penyakit Dalam
RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo Purwokerto

Disusun oleh :
Mochamad Riski Kurniardi G4A016015

Mengetahui,

Pembimbing

dr. Indah R, Sp.P

I. LAPORAN KASUS
A. Identitas Penderita

2
Nama : Tn. M
Umur : 70 Tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Bajing Kulon RT 02/06 Kroya, Cilacap
Agama : Islam
Status : Menikah
Pekerjaan :-
Tanggal masuk : 16 Maret 2017
Tanggal periksa : 22 Maret 2017
No.CM : 00919220

B. Anamnesis

1. Keluhan utama
Sesak nafas
2. Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang dengan keluhan sesak nafas sejak satu bulan sebelum
masuk rumah sakit. Sesak nafas dirasakan semakin lama semakin memberat
seiring berjalannya waktu. Sesak yang dirasakan seperti sensasi tertekan
benda berat di bagian dada tengah. Rasa sesak dirasakan semakin memberat
ketika pasien beraktivitas sehari-hari. Pada awalnya pasien tidak pernah
mengeluhkan sesak yang sangat ketika berjalan dari rumah ke tempat
tetangga saat menghadiri pengajian rutin tiap malam Jumat, namun
semakin bertambahnya hari rasa sesak dirasakan semakin mengganggu
hingga akhirnya pasien jarang sekali beranjak dari tempat tidurnya karena
merasakan sesak. Pasien mengatakan rasa sesak dirasakan berkurang apabila
pasien beristirahat dengan duduk-duduk dan tidur-tiduran.
Selain rasa sesak yang dirasakan pasien, pasien juga mengatakan adanya
keluhan batuk berdahak yang mendampingi rasa sesak tersebut. Keluhan
batuk berdahak ini dirasakan sudah muncul sejak 3 bulan sebelum masuk
rumah sakit. Pasien mengatakan dahak yang keluar berwarna putih
kekuningan tanpa disertai bercak merah atau darah, kental, dan keluar hanya
sedikit-sedikit. Pasien mengatakan awalnya batuk dirasakan berupa batuk
kering dan sudah muncul sejak 2 tahun yang lalu, serta dirasakan hilang
timbul. Pasien mengatakan batuk tersebut tidak terlalu mengganggu
aktivitas sehari-hari, sehingga pasien tidak minum obat ataupun mencari

3
pertolongan tenaga medis. Keluhan batuk ini dirasakan semakin memberat
seusai pasien merokok. Keluhan keringat di malam hari disangkal oleh
pasien. Keluhan berat badan turun disangkal oleh pasien.

3. Riwayat penyakit dahulu


a. Riwayat penyakit yang sama : disangkal
b. Riwayat darah tinggi : disangkal
c. Riwayat alergi dan asma : disangkal
d. Riwayat sakit jantung dan ginjal : disangkal
e. Riwayat sakit kuning/liver : disangkal
f. Riwayat sakit tenggorokan/ kulit : disangkal
g. Riwayat konsumsi obat-obatan lama : disangkal
h. Riwayat penyakit gondok : disangkal
i. Riwayat jatuh : disangkal
4. Riwayat penyakit keluarga
a. Riwayat penyakit yang sama : disangkal
b. Riwayat darah tinggi dan penyakit gula : disangkal
c. Riwayat alergi dan asma : disangkal
d. Riwayat sakit jantung dan ginjal : disangkal
e. Riwayat sakit kuning/liver : disangkal
f. Riwayat sakit tenggorokan/ kulit : disangkal
j. Riwayat penyakit gondok : disangkal
5. Riwayat sosial dan exposure
a. Community
Pasien memiliki hubungan yang erat dengan tetangga rumah, pasien
selalu mengikuti acara dan kegiatan-kegiatan pengajian di lingkungan
rumahnya. Pasien mengatakan para tetangga sedang tidak ada yang
mengalami keluhan batuk berkepanjangan.
b. Home
Pasien tinggal bersama 4 anggota keluarganya, yaitu istri, anaknya dan
menantunya. Pasien sudah tidak bekerja, namun dulu bekerja sebagai
petani. Pasien tinggal di lingkungan pinggiran perkotaan, yang memiliki

4
higienitas rumah dan lingkungannya cukup. Higienitas rumah sangat
terjaga, mengingat rumah sering dibersihkan oleh anak dan menantu
pasien.
c. Occupational
Pasien sudah tidak bekerja lagi, semenjak tahun 2005.
d. Personal habit
Pasien memiliki kebiasaan merokok sejak kurang lebih 20-25 tahun
yang lalu, setiap harinya pasien menghabiskan sekitar 2 bungkus rokok
kretek dan terkadang bisa lebih dari 2 bungkus rokok apabila ada banyak
tamu yang berkunjung ke rumahnya. Pasien jarang berolahraga. Di
rumah, pasien jarang memakai alas kaki.
e. Drugs and Diet
Pasien saat ini tidak sedang mengkonsumsi obat-obatan secara rutin.
Menu makan pasien terdiri dari nasi dan lauk-pauk sederhana. Pasien
jarang mengonsumsi sayur dan buah.
f. Biaya pengobatan
Pasien berasal dari keluarga dengan sosial ekonomi sedang. Sumber
pembiayaan kesehatan berasal dari jaminan kesehatan BPJS NON PBI.

C. Pemeriksaan Fisik

1. Keadaan umum : Sedang


2. Kesadaran : Compos mentis
3. Vital sign tanggal 22 Maret 2017
a. Tekanan darah : 100/70 mmHg
b. Nadi : 76 /menit reguler, isi cukup
c. Pernapasan : 28 /menit
d. Suhu : 36.2 C
4. Tinggi badan : 160 cm
5. Berat badan : 54 kg
6. Status gizi (IMT) : 0 (Overweight)
7. Status generalis
a. Pemeriksaan kepala

5
1) Bentuk kepala
Mesocephal, simetris, venektasi temporalis (-)
2) Rambut
Warna rambut hitam dan mulai beruban, tidak rontok dan terdistribusi
merata.
3) Mata
Simetris, edema palpebra (-/-) konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik
(-/-), mata kering (-), refleks cahaya (+/+) normal, pupil isokor
diameter 3 mm/3mm.
4) Telinga
Discharge (-)
5) Hidung
Discharge (+/+ bening), deformitas (-) dan napas cuping hidung (-)
6) Mulut
Bibir kering (-), bibir pucat (-), bibir sianosis (-), lidah sianosis (-),
lidah kotor (-)
b. Pemeriksaan leher
Deviasi trakea (-), pembesaran kelenjar tiroid (-), Palpasi : JVP 5+ 2
cmH2O
c. Pemeriksaan thorax
Paru
Inspeksi : Dinding dada tampak simetris dan tidak tampak
ketinggalan gerak antara hemithorax kanan dan kiri.
Kelainan bentuk dada (-), retraksi intercostalis (-).
Palpasi : Apex vokal fremitus sinistra = dextra
Basal vokal fremitus sinistra = dextra
Perkusi : Perkusi seluruh lapang paru sonor
Batas paru-hepar SIC V LMCD, Peranjakan paru 3 cm
Auskultasi : Suara dasar vesikuler +/+, RBH-/-, RBK -/- Wheezing -/-
Cor
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
P.parasternal (-) p.epigastrium (-).

6
Palpasi : Ictus cordis teraba di SIC V 2 jari medial LMCS, kuat
angkat (-)
Perkusi : Batas atas kanan : SIC II LPSD
Batas atas kiri : SIC II LPSS
Batas bawah kanan : SIC V LPSD
Batas bawah kiri : SIC V 2 jari medial LMCS
Auskultasi : M1>M2 P1>P2 T1>T2 A1>A2
reguler, Gallop (-), Murmur (-)
d. Pemeriksaan abdomen
Inspeksi : datar
Auskultasi : bising usus (+) terdengar setiap 3-5 detik (normal)
Perkusi : timpani, pekak sisi (-), pekak alih (-), nyeri ketok
costo vertebrae (-/-)
Palpasi : supel, undulasi (-), nyeri tekan (+) regio suprapubik
Hepar : teraba 2 jari BACD, tepi tajam, permukaan rata
Lien : tidak teraba
e. Pemeriksaan ekstremitas
Pemeriksaan Ekstremitas Ekstremitas inferior
superior
Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Edema - - - -
(pitting)
Sianosis - - - -
Kuku kuning - - - -
(ikterik)
Akral dingin - - - -
Reflek
fisiologis + + + +
Bicep/tricep + + + +
Patela
Reflek
patologis - - - -
Reflek
babinsky
Sensoris Menuru Menuru Menurun Menurun
n n

7
D. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Laboratorium 16/03/2017


Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Darah Lengkap
Hemoglobin 13,3 g/dL 12 - 16 gr/dl
Leukosit 4550 U/L 4.800 10.800/L
Hematokrit 39 % (L) 37 - 47%
Eritrosit 4,8 x106/Ul 4.2 5.4 juta/L
Trombosit 183.000 /uL 150.000 -400.000/L
MCV 81,6 fL 80 96 fL
MCH 27,8 pg 27 32 pg
MCHC 10,8 gr/dL (L) 33 37 gr/dL
Hitung Jenis
Basofil 0,0 % 01%
Eosinofil 0,0 % (L) 13%
Batang 0,4 % (L) 26%
Segmen 92,5 % (H) 50 70 %
Limfosit 5,3 % (L) 20 40 %
Monosit 1,8 % 2 -8 %
Kimia Klinik
SGOT 51 U/L (H) 15-37 U/L
SGPT 56 U/L 16-69 U/L
GDS 118 mg/dL <= 200 mg/dl
Ureum 32,3 mg/dL 14,98 38,52 mg/dL
Kreatinin 0,68 mg/dL 0,70 1,30 mg/Dl
Natrium 137 mmol/L 134 - 146
Kalium 3,8 mmol/L 3,4 - 4,5
Klorida 100 mmol/L 96 108
Kalsium 8,0 mh/dL (L) 8,5 10,1

Pemeriksaan Laboratorium 17/03/2017

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan


MIKROBIOLOGI
Pemeriksaan ZN 1X
BTA II NEGATIF
LEUKOSIT POSITIF
EPITEL POSITIF

PEMERIKSAAN LABATORIUM 18/03/2017

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan


MIKROBIOLOGI

8
Pemeriksaan ZN 1X
BTA II NEGATIF
LEUKOSIT POSITIF
EPITEL POSITIF

PEMERIKSAAN LABATORIUM 20/03/2017

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan


MIKROBIOLOGI
Pemeriksaan ZN 1X
BTA II NEGATIF
LEUKOSIT POSITIF
EPITEL POSITIF

E. Diagnosis Kerja
PPOK

F. Penatalaksanaan
1. Diagnosis
Faal paru (Spirometri : VEP1, VEP1 prediksi, VEP1/KVP)
Lab Darah Rutin (Darah Lengkap, Hitung Jenis, Kimia Klinik)
Radiologi (Foto Thoraks PA dan lateral)
2. Farmakologi:
Cefixime 2 x 100
Ranitidine 2 x 1 ampul
Terasma syr 3 x 1 cth
Sucralfat syr 3 x 1
Spirifa 1 x 1
Berotec 1 bila sesak
3. Non farmakologi
Edukasi mengenai berhenti merokok, penggunaan obat-obatan, penggunaan
oksigen, mengenal dan mengatasi efeksamping obat atau terapi oksigen,
mendeteksi dan menghindari pemicu eksaserbasi, dan perubahan pola hidup.

9
II. PEMBAHASAN
A. PPOK
1. Definisi
Global initiative for chronic Obstructive Lung Disease (GOLD)
mendefinisikan PPOK sebagi penyakit yang dapat diobati dan dicegah
dengan beberapa efek ekstra pulmonal yang memberi kontribusi keparahan
penyakit. Komponen paru ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak
reversibel sempurna. Hambatan aliran udara basanya progresif dan ada
hubungan dengan respons inflamasi paru terhadap berbagai partikel noksa
dan gas (Global initiative for chronic Obstructive Lung Disease, 2009)

2. Faktor Resiko
Beberapa faktor resiko terjadinya PPOK adalah (Global initiative for
chronic Obstructive Lung Disease, 2009):
a. Gen
b. Paparan asap rokok, occupational dust, polusi udara indoor, polusi udara
outdoor
c. Lung growth and development
d. Stress oksidatif
e. Gender
f. Usia
g. Infeksi respirasi
h. Pernah sakit tuberkulosa
i. Status sisial ekonomi
j. Nutrisi

3. Epidemiologi
Data prevalensi, morbiditas, dan mortalitas berbeda tiap negara namun
secara umum terkait langsung dengan prevalensi merokok dan pada

10
beberapa negara dengan polusi udara akibat pembakaran kayu dan bahan-
bahan biomasa lain. Prevalensi PPOK cenderung meningkat. Menurut the
Latin American Project for the investigation of Obstructive Lung Disease
(PLATINO) prevalensi PPOK stadium I dan ang lebih parah pada umur > 60
tahun antara 18,4 % - 32,1 %. Di 12 negara Asia Pasifik prevalensi PPOK
stadium sedang-berat pada umur > 30 tahun 6,3%. Penyakit paru obstruktif
kronik merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas kronis ke 4 di
Amerika Serikat. Global initiatice for chronic Obstructive Lung Disease
(GOLD) memperikirakan PPOK sebagai penyebab kematian ke 6 pada
tahun 1990 dan akan meningkat menjadi penyeab ke 3 pada tahun 2020 di
seluruh dunia (Global initiative for chronic Obstructive Lung Disease,
2009).

4. Patomekanisme
Merokok merupakan faktor resiko utama PPOK walaupun partikel
noxious inhalasi lain dan berbagai gas juga memberikan kontribusi.
Merokok akan menyebabkan inflamasi paru. Karena sebab ang belum
diketahui sampai sekarang beberapa perokok menunjukkan peningkatan
respons inglamasi normal, protektif dari paparan inhalasi ang akhirnya
menyebabkan kerusakan jaringan, gangguan mekanisme pertahanan ang
membatasi destruksi jaringan paru dan memutus mekanisme perbaikin, ini
membawa perubahan berupa lesi patologi ang khas PPOK. Di samping
inflamasi ada proses lain yang juga penting pada patgenesis PPOK adalah
ketidakseimbangan protease dan antiprotease, serta stress oksidatif (Celli
BRW and MacNee, 2004).
Secara umum telah diterima bahwa merokok merupakan faktor resiko
terpenting PPOK namun hanya 10-20% perokok mengalami gangguan
fungsi paru bera uang terkait PPOK. Hal ini menunjukan ada faktor lain
yang ikut berperan. Faktor genetik dipastikan berperan pada perkembangan
PPOK terlibat dalam ketidak seimbangan protease, metabolise material toksi
tembakau, kliren mukosilier dan proses inflamasi (Standford et al, 2009 ;
Tzortaki et al, 2006).

11
5. Gambaran Klinis
a. Riwayat penyakit
Batuk, dahak dan sesak nafas merupakan keluhan yang sering dilaporkan
penderita PPOK. Batuk biasanyya timbul sebelum atau bersamaan
dengan sesak nafas. dahak umumnya tidak banyak hanya beberapa
sendok teh/hari dan bersifat mukoid namun bisa berubah menjadi purulen
pada keadaan infeksi (Shapiro et al, 2008).
Sesak nafas terutama waktu mengerahkan tenaga, bila penyakit progresif
bergerak sedikit saja akan merasa sesak. Sesak pada PPOK terjadi akibat
hiperinflasi dinamik yang bertambah berat dengan peningkatan jumlah
napas (respiration rate), sebagai konsekuensinyya untuk menghindari
sesak. Banyak pasien menghindari pengerahan tenaga dan menjadi
terpaku di tempat tidur/duduk (sedentary) (Shapiro et al, 2008).
b. Pemeriksaan fisik
Tidak banyak abnormalitas yang dijumpai pada pemeriksaan fisik.
Wheezing tidak selalu ditemukan dan tidak berkorelasi dengan keparahan
obstruksi. Yang selalu dijumpai pada PPOK simptomatik adalah waktu
ekspirasi memanjang yang paling baik didengar di depan laring saart
maneuver forced expiratory. Ekspirasi yang > 4 detik mmerupaka suatu
indikasi yang bermakna dari obstruksi. Jika penyakit bertambah berat,
kelainan fisik bertambah jelas dan akan tampak barrel chest, purse-
lipped breathing, dan badan yang akan bertambah kurus (Shapiro et al,
2008).

6. Penegakan diagnosis
Pemeriksaan fisik dan foto thoraks bukan metode yang sensitif untuk
mendiagnosis PPOK. Pemeriksaan fisik dari hiperinflasi paru seperti
diafragma letak rendah, suara napas menurun dan hipersonor pada perkusi
sangat spesifik untuk PPOK tetapi biasa hanya pada penakit stadium
lanjur. High-resolution computed tomography (HRCT) merupakan teknik
yang canggih untuk deteksi awal emfisema tetapi peranan HRCT pada
deteksi awal dan monitoring PPOK saat ini belum baku (Wise, 2008).
Spirometri merupakan pemeriksaan yang sederhana, tidak mahal, non
invasif dapat digunakan untuk mendiagnosis, menentukan keparahan
penyakit dan monitoring progresi PPOK. Rasio FEV 1/FVC menunjukan

12
laju pengosongan paru dapat digunakan untuk menunjukan ada kelainan
ventilasi obstruksi (Rodriguez, 2000 ; Wise, 2008). Spirometri merupakan
gold standar diagnosis PPOK (Global initiative for chronic Obstructive
Lung Disease, 2009).
a. Foto thoraks
PPOK merupakan diagnosis fungsional sehingga foto thoraks hanya
dapat memberikan arah diagnosis PPOK. Trias overinflasi, oligemia,
dan bula merupakan pola arterial defisiensi yang paling berhubungan
dengan emfisema dan peningkatan pulmonary marking yang
menyerupai dirty chest dijumpai pada bronkhitis kronis. Tanda
overinflasi terbaik adalah diafragma mendatar dengan permukaan
superior konkaf, tanda lain peningkatan lebar ruang retrosternal,
namun tanda ini cenderung kurang sensitif (Shapiro et al, 2008).
b. CT Scan
Computed Tomography Scan dapat memberikan gambara parenkim
paru lebih baik dari foto thoraks. High resolution yang dipakai dengan
lebar irirsan 1,0-2,0 mm dapat memberi gambaran langsung are
emfisematus (Shapiro et al, 2008).

Asma dan PPOK adalah penyakit obstruksi saluran napas yang sering
ditemukan di Indonesia, karena itu diagnosis yang tepat harus ditegakkan
karena terapi dan prognosisnya berbeda.

Gejala Asma PPOK SOPT


Timbul pada usia muda ++ - +
Sakit mendadak ++ - -
Riwayat merokok +/- +++ -
Riwayat atopi ++ + -
Sesak dan mengi berulang +++ + +
Batuk kronik berdahak + ++ +
Hipereaktiviti bronkus +++ + +/-
Reversibiliti obstruksi ++ - -
Variabiliti harian ++ + -
Eosinofil sputum + - -
Neutrofil sputum - + -
Makrofag sputum + - -

7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi (PDPI, 2003):
a. Edukasi

13
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang
pada PPOK stabil. Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada
asma. Karena PPOK adalah penyakit kronik yang ireversibel dan
progresif, inti dari edukasi adalah menyesuaikan keterbatasan aktiviti dan
mencegah kecepatan perburukan fungsi paru. Edukasi PPOK diberikan
sejak ditentukan diagnosis dan berlanjut secara berulang pada setiap
kunjungan, baik bagi penderita sendiri maupun bagi keluarganya.
Edukasi dapat diberikan di poliklinik, ruang rawat, bahkan di unit gawat
darurat ataupun di ICU dan di rumah. Secara intensif edukasi diberikan
di klinik rehabilitasi atau klinik konseling, karena memerlukan waktu
yang khusus dan memerlukan alat peraga. Edukasi yang tepat diharapkan
dapat mengurangi kecemasan pasien PPOK, memberikan semangat hidup
walaupun dengan keterbatasan aktiviti. Penyesuaian aktiviti dan pola
hidup merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kualiti hidup
pasien PPOK (PDPI, 2003).
Bahan dan cara pemberian edukasi harus disesuaikan dengan
derajat berat penyakit, tingkat pendidikan, lingkungan sosial, kultural dan
kondisi ekonomi penderita. Secara umum bahan edukasi yang harus
diberikan adalah (PDPI, 2003):
1) Pengetahuan dasar tentang PPOK
2) Obat-obatan, manfaat dan efek sampingnya
3) Cara pencegahan perburukan penyakit
4) Menghindari pencetus (berhenti merokok)
5) Penyesuaian aktivitas

Edukasi diberikan dengan bahasa yang sederhana dan mudah diterima,


langsung ke pokok permasalahan yang ditemukan pada waktu itu.
Pemberian edukasi sebaiknya diberikan berulang dengan bahan edukasi
yang tidak terlalu banyak pada setiap kali pertemuan. Edukasi merupakan
hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK stabil, karena
PPOK merupakan penyakit kronik progresif yang ireversibel. Pemberian
edukasi berdasar derajat penyakit (PDPI, 2003):

Ringan
- Penyebab dan pola penyakit PPOK yang ireversibel

14
- Mencegah penyakit menjadi berat dengan menghindari pencetus, antara lain
berhenti merokok
- Segera berobat bila timbul gejala
Sedang
- Menggunakan obat dengan tepat
- Mengenal dan mengatasi eksaserbasi dini
- Program latihan fisik dan pernapasan
Berat
- Informasi tentang komplikasi yang dapat terjadi
- Penyesuaian aktiviti dengan keterbatasan
- Penggunaan oksigen di rumah

b. Obat-obatan
1) Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis
bronkodilator dan disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat
penyakit ( lihat tabel 2 ). Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi,
nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang. Pada
derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat ( slow release )
atau obat berefek panjang ( long acting ).
2) Antiinflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi
intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan
metilprednisolon atau prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka
panjang diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif yaitu terdapat
perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat > 20% dan minimal
250 mg.
3) Antibiotika
Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan :
- Lini I : amoksisilin
makrolid
- Lini II : amoksisilin dan asam klavulanat
sefalosporin
kuinolon
makrolid baru

Perawatan di Rumah Sakit :


dapat dipilih
- Amoksilin dan klavulanat
- Sefalosporin generasi II & III injeksi
- Kuinolon per oral
ditambah dengan yang anti pseudomonas
- Aminoglikose per injeksi

15
- Kuinolon per injeksi
- Sefalosporin generasi IV per injeksi
4) Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup,
digunakan N - asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan
eksaserbasi yang sering, tidak dianjurkan sebagai pemberian yang
rutin.
5) Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan
mempercepat perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik
dengan sputum yang viscous. Mengurangi eksaserbasi pada PPOK
bronkitis kronik, tetapi tidak dianjurkan sebagai pemberian rutin.

c. Terapi oksigen
Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang
menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen
merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi
seluler dan mencegah kerusakan sel baik di otot maupun organ - organ
lainnya (PDPI, 2003).

Manfaat oksigen
- Mengurangi sesak
- Memperbaiki aktiviti
- Mengurangi hipertensi pulmonal
- Mengurangi vasokonstriksi
- Mengurangi hematokrit
- Memperbaiki fungsi neuropsikiatri
- Meningkatkan kualiti hidup

Indikasi
- Pao2 < 60mmHg atau Sat O2 < 90%
- Pao2 diantara 55 - 59 mmHg atau Sat O2 > 89% disertai Kor
Pulmonal, perubahan P pullmonal, Ht >55% dan tanda - tanda
gagal jantung kanan, sleep apnea, penyakit paru lain

Macam terapi oksigen :


- Pemberian oksigen jangka panjang
- Pemberian oksigen pada waktu aktiviti
- Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak
- Pemberian oksigen secara intensif pada waktu gagal napas

16
Terapi oksigen dapat dilaksanakan di rumah maupun di rumah
sakit. Terapi oksigen di rumah diberikan kepada penderita PPOK stabil
derajat berat dengan gagal napas kronik. Sedangkan di rumah sakit
oksigen diberikan pada PPOK eksaserbasi akut di unit gawat daruraat,
ruang rawat ataupun ICU. Pemberian oksigen untuk penderita PPOK
yang dirawat di rumah dibedakan (PDPI, 2003):
- Pemberian oksigen jangka panjang ( Long Term Oxygen Therapy =
LTOT )
- Pemberian oksigen pada waktu aktiviti
- Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak

Terapi oksigen jangka panjang yang diberikan di rumah pada


keadaan stabil terutama bila tidur atau sedang aktiviti, lama pemberian 15
jam setiap hari, pemberian oksigen dengan nasal kanul 1 - 2 L/mnt.
Terapi oksigen pada waktu tidur bertujuan mencegah hipoksemia yang
sering terjadi bila penderita tidur (PDPI, 2003).
Terapi oksigen pada waktu aktiviti bertujuan menghilangkan sesak
napas dan meningkatkan kemampuan aktiviti. Sebagai parameter
digunakan analisis gas darah atau pulse oksimetri. Pemberian oksigen
harus mencapai saturasi oksigen di atas 90% (PDPI, 2003).

Alat bantu pemberian oksigen


- Nasal kanul
- Sungkup venturi
- Sungkup rebreathing
- Sungkup nonrebreathing

Pemilihan alat bantu ini disesuaikan dengan tujuan terapi oksigen


dan kondisi analisis gas darah pada waktu tersebut (PDPI, 2003).

d. Ventilasi mekanik
Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan
gagal napas akut, gagal napas akut pada gagal napas kronik atau pada
pasien PPOK derajat berat dengan napas kronik. Ventilasi mekanik dapat
digunakan di rumah sakit di ruang ICU atau di rumah (PDPI, 2003).

Ventilasi mekanik dapat dilakukan dengan cara :


- ventilasi mekanik dengan intubasi
- ventilasi mekanik tanpa intubasi

17
a) Ventilasi mekanik tanpa intubasi
Ventilasi mekanik tanpa intubasi digunakan pada PPOK dengan
gagal napas kronik dan dapat digunakan selama di rumah. Bentuk
ventilasi mekanik tanpa intubasi adalah Nonivasive Intermitten Positif
Pressure (NIPPV) atau Negative Pessure Ventilation (NPV).

NIPPV dapat diberikan dengan tipe ventilasi :


- Volume control
- Pressure control
- Bilevel positive airway pressure (BiPAP)
- Continous positive airway pressure (CPAP)

NIPPV bila digunakan bersamaan dengan terapi oksigen terus


menerus (LTOT / Long Tern Oxygen Theraphy) akan memberikan
perbaikan yang signifikan pada :
- Analisis gas darah
- Kualiti dan kuantiti tidur
- Kualiti hidup
- Analisis gas darah

Indikasi penggunaan NIPPV


- Sesak napas sedang sampai berat dengan penggunaan muskulus
respirasi dan abdominal paradoksal
- Asidosis sedang sampai berat pH < 7,30 - 7, 35
- Frekuensi napas > 25 kali per menit

NPV tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan obstruksi


saluran napas atas, disamping harus menggunakan perlengkapan yang
tidak sederhana.

b) Ventilasi mekanik dengan intubasi


Pasien PPOK dipertimbangkan untuk menggunakan ventilasi
mekanik di rumah sakit bila ditemukan keadaan sebagai berikut :
- Gagal napas yang pertama kali
- Perburukan yang belum lama terjadi dengan penyebab yang jelas
dan dapat diperbaiki, misalnya pneumonia
- Aktiviti sebelumnya tidak terbatas

Indikasi penggunaan ventilasi mekanik invasif :


- Sesak napas berat dengan penggunaan muskulus respirasi
tambahan dan pergerakan abdominal paradoksal
- Frekuensi napas > 35 permenit
- Hipoksemia yang mengancam jiwa (Pao2 < 40 mmHg)

18
- Asidosis berat pH < 7,25 dan hiperkapni (Pao2 < 60 mmHg)
- Henti napas
- Samnolen, gangguan kesadaran
- Komplikasi kardiovaskuler (hipotensi, syok, gagal jantung)
- Komplikasi lain (gangguan metabolisme, sepsis, pneumonia,
emboli paru, barotrauma, efusi pleura masif)
- Telah gagal dalam penggunaan NIPPV

Ventilasi mekanik sebaiknya tidak diberikan pada pasien PPOK


dengan kondisi sebagai berikut :
- PPOK derajat berat yang telah mendapat terapi maksimal
sebelumnya
- Terdapat ko-morbid yang berat, misalnya edema paru, keganasan
- Aktiviti sebelumnya terbatas meskipun terapi sudah maksimal

Komplikasi penggunaan ventilasi mekanik


- VAP (ventilator acquired pneumonia)
- Barotrauma
- Kesukaran weaning

Kesukaran dalam proses weaning dapat diatasi dengan


- Keseimbangan antara kebutuhan respirasi dan kapasiti muskulus
respirasi
- Bronkodilator dan obat-obatan lain adekuat
- Nutrisi seimbang
- Dibantu dengan NIPPV

e. Nutrisi
Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena
bertambahnya kebutuhan energi akibat kerja muskulus respirasi yang
meningkat karena hipoksemia kronik dan hiperkapni menyebabkan
terjadi hipermetabolisme. Kondisi malnutrisi akan menambah mortaliti
PPOK karena berkolerasi dengan derajat penurunan fungsi paru dan
perubahan analisis gas darah (PDPI, 2003).

Malnutrisi dapat dievaluasi dengan :


- Penurunan berat badan
- Kadar albumin darah
- Antropometri
- Pengukuran kekuatan otot (MVV, tekanan diafragma, kekuatan otot
pipi)
- Hasil metabolisme (hiperkapni dan hipoksia)

19
Mengatasi malnutrisi dengan pemberian makanan yang agresis
tidak akan mengatasi masalah, karena gangguan ventilasi pada PPOK
tidak dapat mengeluarkan CO2 yang terjadi akibat metabolisme
karbohidrat. Diperlukan keseimbangan antara kalori yang masuk denagn
kalori yang dibutuhkan, bila perlu nutrisi dapat diberikan secara terus
menerus (nocturnal feedings) dengan pipa nasogaster (PDPI, 2003).
Komposisi nutrisi yang seimbang dapat berupa tinggi lemak rendah
karbohidrat. Kebutuhan protein seperti pada umumnya, protein dapat
meningkatkan ventilasi semenit oxigen comsumption dan respons
ventilasi terhadap hipoksia dan hiperkapni. Tetapi pada PPOK dengan
gagal napas kelebihan pemasukan protein dapat menyebabkan kelelahan
(PDPI, 2003).
Gangguan keseimbangan elektrolit sering terjadi pada PPOK
karena berkurangnya fungsi muskulus respirasi sebagai akibat sekunder
dari gangguan ventilasi. Gangguan elektrolit yang terjadi adalah :
- Hipofosfatemi
- Hiperkalemi
- Hipokalsemi
- Hipomagnesemi

Gangguan ini dapat mengurangi fungsi diafragma. Dianjurkan


pemberian nutrisi dengan komposisi seimbang, yakni porsi kecil dengan
waktu pemberian yang lebih sering (PDPI, 2003).

f. Rehabilitasi
Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi latihan
dan memperbaiki kualiti hidup penderita PPOK. Penderita yang
dimasukkan ke dalam program rehabilitasi adalah mereka yang telah
mendapatkan pengobatan optimal yang disertai (PDPI, 2003):
- Simptom pernapasan berat
- Beberapa kali masuk ruang gawat darurat
- Kualiti hidup yang menurun

Program dilaksanakan di dalam maupun diluar rumah sakit oleh


suatu tim multidisiplin yang terdiri dari dokter, ahli gizi, respiratori
terapis dan psikolog (PDPI, 2003).
Program rehabilitiasi terdiri dari 3 komponen yaitu : latihan fisis,
psikososial dan latihan pernapasan (PDPI, 2003).

20
III. KESIMPULAN
1. PPOK merupakan penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan
aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif nonreversible atau
reversible parsial.
2. PPOK terdiri dari bronchitis kronik dan emfisema atau gabungan
keduanya.
3. Penegakan diagnosis PPOK dapat ditegakkan berdasarkan gambaran
klinis (anamnesis, riwayat penyakit, faktor predisposisi, dan pemeriksaan
fisik), serta pemeriksaan penunjang (pemeriksaan rutin dan pemeriksaan
khusus).
4. Tujuan dari penatalaksanaan PPOK adalah pengurangan gejala yang
muncul, mencegah eksaserbasi berulang, memperbaiki dan mencegah
penurunan faal paru, serta meningkatkan kualitas hidup penderita.

21
Daftar Pustaka

Celli BR and MacNee W. Standards for the diagnosis and treatment of


patients with COPD. A summary of the ATS/ERS position paper. Eur Respi
J 2004:23:932-946.

Global initiative for chronic Obstructive Lung Disease. Global strategy for
the diagnosis, management and prevention of COPD. www.gold.copd.
Update 2009.

Shapiro SD, Gorgon LS and Rennard SI, 2008. Chronic bronchitis and
emphysema. In: mason RJ, Murray JF, Broaduds VC and Nadel JA (Eds).
Murrayand Nadels Textbook of Respiratory medicine. Philadelphia,
Elsevier-Saunders. 4rd edition. 1115-1165.

Standford AJ and Pare PD, 2009. Genetic Risk Factors for COPD. Clin
Chest Med 21: 633-643

Tzortaki EG and Siafakas NM, 2006. Genetic susceptibility to chronis


obstructive pulmonary disease. Eur Respir Mon 38: 84-99.

Wise RA, 2008. Chronic obstructive pulmonary disesase: Clinical course


and management. In : Fishman AP, Elias JA, Fishman JA et al (eds).
Fishmans pulmonary disease and disorder. New York, McGraw Hill
Medical 4rd. 729-746.

Rodriguez-Roisi R. Toward a consensus definition for COPD exacerbations.


Chest 2000; 17:398-401.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2013. Penyakit paru obstruktif kronik


Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia

22
23

Anda mungkin juga menyukai