Anda di halaman 1dari 82

1.1.

1
BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI
BALAI BESAR TEKNOLOGI ENERGI
Kawasan PUSPIPTEK, Setu 15314
Tangerang Selatan BANTEN
Telp. +62-21-7560550
Faks. +62-21-7560904

Perencanaan Efisiensi dan Intensitas Energi 2013 - BPPT 2


PENANGGUNG JAWAB
Dr. Ir. Soni Solistia Wirawan, M.Eng

PENYUSUN
Ir. Hari Yurismono MEng.Sc
Ir. Joko Santosa, M.Sc
Dr. Edi Hilmawan
Dr. Ir. Hariyanto
Euis Djubaedah, MT
Ir. Toorsilo Hartadi MSc.EE
Ir. Sudirman Palaloi MSc
Ir. Nur Rachman Iskandar
Ir. Yasmin

EDITOR
Ir. Toorsilo Hartadi MSc.EE

Perencanaan Efisiensi dan Intensitas Energi 2013 - BPPT 3


KATA PENGANTAR

Dengan mengucap puji syukur ke hadirat Allah SWT, telah dapat disusun dan
diterbitkan Buku Perencanaan Efisiensi dan Elastisitas Energi 2013 yang
memuat roadmap teknologi serta peluang untuk melakukan upaya peningkatan
efisiensi energi dan peluang penghematan energi terutama pada sektor industri
besi dan baja di Indonesia hingga tahun 2030. Buku ini sebagai tindak lanjut dari
buku sebelumnya yang berjudul Perencanaan Efisiensi dan Elastisitas Energi
2012 mengenai peluang efisiensi energi dan penghemantan energi di Indonesia
dengan menitikberatkan pada sektor rumah tangga dan sektor industri
khususnya industri tekstil.

Pada tahun ini Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) kembali
melakukan suatu kajian perencanaan teknologi efisiensi energi yang lebih fokus
untuk industri besi dan baja. Tujuan kajian ini adalah untuk mengembangkan
suatu roadmap penerapan teknologi hemat energi pada sektor Industri besi dan
baja dengan memperhitungkan kondisi penggunaan energi saat ini, tingkat
penetrasi teknologi, tingkat kesiapan komersialisasi atau ketersediaan teknologi,
ketersediaan sumberdaya energi, biaya implementasi, serta kebijakan energi
yang ada.

Dengan mengembangkan suatu roadmap teknologi efisiensi energi, yang juga


merupakan suatu rencana aksi penerapan teknologi hemat energi, besaran
peluang penghematan energi pada industri khususnya besi dan baja dalam
jangka panjang hingga tahun 2030 bisa diketahui. Menggunakan model energi

Perencanaan Efisiensi dan Intensitas Energi 2013 - BPPT 4


yang dikembangkan oleh BPPT dan keluaran Outlook Energi Indonesia 2013
sebagai referensi untuk skenario BaU (Business as Usual), estimasi peluang
peningkatan efisiensi energi pada sektor industri baja bisa diproyeksikan hingga
tahun 2030.

Hasil dari simulasi tersebut kemudian dibandingkan dengan target-target jangka


panjang yang sudah ditetapkan oleh pemerintah seperti misalnya penurunan
elastisitas energi kurang dari 1 hingga tahun 2030 dan sebagainya. Hasil kajian ini
diwujudkan dalam suatu buku yang berjudul Perencanaan Efisiensi dan
Elastisitas Energi 2013.

Ucapan terima kasih serta penghargaan yang tinggi kepada Tim Penyusun dan
kepada semua pihak yang telah berpartisipasi memberikan data dan informasi
dalam pembuatan buku ini. Dengan segala keterbatasan, kami menyadari bahwa
buku ini masih belum sempurna. Kami mengharapkan sumbang saran yang dapat
memberikan masukan bagi perbaikan dan penyempurnaan pada penerbitan
buku selanjutnya.

Jakarta, 4 Desember 2013

Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi

Kepala

Dr. Ir. Marzan A. Iskandar

Perencanaan Efisiensi dan Intensitas Energi 2013 - BPPT 5


RINGKASAN

Buku ini memuat antara lain informasi mengenai kondisi saat ini dari penerapan
teknologi hemat energi yang dapat digunakan pada sektor industri baja.
Teknologi hemat energi yang baru yang terkait dengan sistem tersebut juga akan
dikaji secara lebih dalam. Kajian mencakup prinsip teknologi, potensi dan
dampak penghematan energi, status, keekonomian serta tingkat penetrasi baik
untuk kondisi saat ini maupun rencana penerapannya kedepan (roadmap) dari
teknologi hemat energi yang sudah maupun yang belum diterapkan. Hasil dari
kajian ini diharapkan bisa menjadi masukan bagi pembuat kebijakan mengenai
konservasi dan efisiensi energi khususnya tentang rencana aksi penerapan
teknologi hemat energi pada industri besi dan baja di Indonesia dalam jangka
panjang hingga tahun 2030.

Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) telah menyusun model


menggunakan piranti lunak LEAP. Dalam model LEAP, aliran energi industri besi
dan baja Indonesia digambarkan dalam suatu Sistem Energi Referensi atau
Reference Energi System (RES). Model disusun dengan berbagai skenario
instrumen pengendalian penggunaan energi, yang difokuskan pada penerapan
teknologi hemat energi di sektor industri besi dan baja. Untuk menggambarkan
besar potensi penghematan energi di industri besi dan baja, dua skenario dibuat,
skenario Base Case dan Konservasi.

Skenario Base Case hanya mempertimbangkan kondisi industri besi dan baja saat
ini tanpa melihat adanya kemungkinan perubahan kebijakan energi yang
mendasar pada sektor tersebut. Skenario Base Case ini merupakan dasar untuk
skenario Konservasi dalam melakukan analisis kebutuhan energi dan emisi CO2
yang terkait penggunaan energi terhadap penerapan beberapa teknologi hemat
energi di industri besi dan baja Indonesia. Skenario Konservasi merupakan
skenario dimana teknologi hemat energi yang sudah teridentifikasi dan
mempunyai peluang besar untuk diterapkan di industri besi dan baja Indonesia

Perencanaan Efisiensi dan Intensitas Energi 2013 - BPPT 6


dimasukkan pada model. Hasil dari simulasi tersebut kemudian dibandingkan
dengan target-target jangka panjang yang sudah ditetapkan oleh pemerintah
seperti misalnya penurunan intensitas energi 1% per tahun hingga tahun 2025
atau penurunan elastisitas energi kurang dari 1 hingga tahun 2030.

Dari hasil kajian tersebut, diperoleh proyeksi penghematan energi dan hasil
potensi penghematan energi pada industri besi dan baja hingga tahun 2030 yang
bisa mencapai 31% atau sebesar 47,15 juta SBM. Peluang penghematan cukup
besar dibandingkan dengan jenis industri lainnya karena kondisi peralatan dan
mesin-mesin peleburan pada industri besi dan baja di Indonesia relatif sudah tua
baik dari sisi teknologinya maupun umur ekonomisnya. Total penghematan
energi non listrik (BBM, batubara dan gas bumi) di industri besi dan baja dari
tahun 2014 hingga 2030 adalah sebesar 151,4 juta SBM. Nilai ini setara dengan 2
(dua) bulan lifting minyak Indonesia yang berkisar 0,9 juta SBM per
hari.Sedangkan penghematan listrik selama periode dari tahun 2014 sampai
2030 adalah sebesar 198,4 ribu GWh. Nilai ini setara dengan 28 GW PLTU
Batubara dengan faktor kesiapan 80%.

Berdasarkan hasil smulasi dengan Skenario Konservasi, maka diperoleh potensi


reduksi CO2 dari penerapan teknologi hemat energi di sektor industri besi dan
baja pada tahun 2030 bisa mencapai 13 juta ton CO2, atau setara dengan 24,2%
dari Skenario Base Case.

Perencanaan Efisiensi dan Intensitas Energi 2013 - BPPT 7


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................. 4
RINGKASAN ........................................................................................................... 6
DAFTAR ISI............................................................................................................. 8
DAFTAR TABEL..................................................................................................... 11
DAFTAR GAMBAR................................................................................................ 11
BAB 1 PENDAHULUAN .................................................................................... 13
1.1 Latar Belakang................................................................................................... 13
1.2 Kondisi Makro Ekonomi .................................................................................... 16
1.3 Penyediaan dan Konsumsi Energi ..................................................................... 17
1.4 Intensitas dan Elastisitas Energi Proyeksi ......................................................... 18
1.5 Proyeksi Kebutuhan Energi ............................................................................... 20
BAB 2 OVERVIEW INDUSTRI BESI DAN BAJA................................................... 24
2.1 Produksi Besi dan baja ..................................................................................... 24
2.2 Konsumsi Produk Besi dan baja Nasional ......................................................... 27
2.3 Ekspor dan Impor Produk Besi dan baja Nasional ............................................ 29
2.4 Pohon industri Besi dan Baja Nasional ............................................................. 30
2.4.1 Industri Hulu.............................................................................................. 30

2.4.2 Industri Antara .......................................................................................... 31

2.4.3 Industri Hillir.............................................................................................. 32

2.5 Pelaku Usaha Industri Besi dan Baja di Indonesia ............................................ 34


BAB 3 PERKEMBANGAN INDUSTRI DAN TEKNOLOGI BAJA DUNIA ................ 36
3.1 Permintaan Baja Dunia ..................................................................................... 36
3.2 Produksi Baja Dunia .......................................................................................... 37
3.3 Pelaku Usaha Industri Baja di Dunia ................................................................. 38
3.4 Teknologi Proses Produksi yang Berkembang di dunia .................................... 41
BAB 4 POLA PENGGUNAAN ENERGI DAN TINGKAT EFFISIENSI ENERGI DI
INDUSTRI BAJA ..................................................................................... 43
4.1 Proses Produksi Besi dan Baja........................................................................... 44
4.1.1 Proses Agglomerasi sintering .................................................................... 44

Perencanaan Efisiensi dan Intensitas Energi 2013 - BPPT 8


4.1.2 Proses Peleburan ...................................................................................... 45

4.1.3 Proses Ladle Refining and Casting ........................................................... 46

4.1.4 Rolling dan Finishing ................................................................................. 47

4.1.5 Pembentukan Baja (Forming) ................................................................... 47

4.1.6 Finishing .................................................................................................... 47

4.2 Neraca Energi.................................................................................................... 48


4.3 Intensitas Energi................................................................................................ 50
BAB 5 PELUANG PENINGKATAN EFFISIENSI ENERGI DAN ROADMAP
TEKNOLOGI DI INDUSTRI BESI DAN BAJA............................................. 52
5.1 Status Teknologi Industri Baja di indonesia ...................................................... 52
5.1.1 HYL Direct Reduced Plant.......................................................................... 53

5.1.2 SL/RN Direct Reduced Plant ...................................................................... 55

5.1.3 Electric Arc Furnace................................................................................... 56

5.1.4 Induction Furnace...................................................................................... 56

5.1.5 Ladle Refining Furnace .............................................................................. 57

5.1.6 Continuous Casting Machine .................................................................... 58

5.1.7 Rolling and Finishing ................................................................................. 60

5.2 Potensi Penerapan Teknologi hemat energi di Industri Besi dan Baja ............. 63
5.2.1 Zero reformer ............................................................................................ 63

5.2.2 Coal Based HYL Process............................................................................. 65

5.2.3 Blast Furnace (Tanur Baja) ........................................................................ 66

5.2.4 Blast Furnace Gas Recovery ...................................................................... 68

5.2.5 Hot DRI dan/atau HBI Charging untuk EAF ............................................... 69

5.2.6 Oxy-fuel Burners/Lancing.......................................................................... 70

5.2.7 Scrap Preheating ....................................................................................... 71

5.2.8 Regenerative Burner untuk Preheating Furnace....................................... 72

5.3 Model Simulasi Penggunaan Energi di Industri Baja tahun 2010 2030 ......... 74
5.4 Skenario Konservasi .......................................................................................... 77

Perencanaan Efisiensi dan Intensitas Energi 2013 - BPPT 9


5.5 Proyeksi Penghematan Energi .......................................................................... 78
BAB 6 POTENSI PENGHEMATAN ENERGI HINGGA TAHUN 2030.................... 81

Perencanaan Efisiensi dan Intensitas Energi 2013 - BPPT 10


DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Produksi Baja Dunia tahun 2011 - 2012........................................................ 24
Tabel 2.2Perbandingan Konsumsi Baja Mentah dan Produksi ......................................... 26
Tabel 2.3 Perbandingan konsumsi Baja per kapita Indonesia dengan negara lain........... 27
Tabel 2.4Pengelompokan Industri Baja Nasional ............................................................. 30
Tabel 3.1Proyeksi Penggunaan Baja Dunia 2011 2012 (dalam juta metrik ton)............ 36
Tabel 3.2 Produksi Baja Dunia........................................................................................... 37
Tabel 3.3 Negara Produsen Baja di Dunia......................................................................... 38
Tabel 3.4 perusahaan terbesar yang memproduksi baja di dunia.................................... 39
Tabel 3.5 Produk/ Komoditi 5 Industri Baja Dunia............................................................ 40
Tabel 4.1 Perbandingan Intensitas energi di beberapa negara ........................................ 50
Tabel 4.2World Best Practice Intensitas Energi di Industri Baja ....................................... 51
Tabel 5.1Roadmap teknologi penghematan energi di industri besi dan baja .................. 78

DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Perkembangan Nilai dan Pertumbuhan PDB Indonesia............................ 16
Gambar 1.2 Konsumsi Energi Primer Indonesia Menurut Jenis ................................... 17
Gambar 1.3 Pangsa Konsumsi Energi Final Menurut Sektor (Dengan Biomasa).......... 18
Gambar 1.4 Intensitas Energi di Indonesia ................................................................... 19
Gambar 1.5 Elastisitas Energi Indonesia....................................................................... 20
Gambar 1.6 Proyeksi Kebutuhan Energi Final Menurut Sektor.................................... 21
Gambar 2.1 Konsumsi, Produksi dan Impor Baja Nasional (Pefindo, 2011)................. 25
Gambar 2.2 Konsumsi Baja Nasional berdasarkan sektor ............................................ 28
Gambar 2.3 Proyeksi Konsumsi Baja Nasional (BKPM, 2011)....................................... 29
Gambar 2.4 Pohon Industri Baja Nasional (Kemenperin, 2010)................................... 33
Gambar 2.5 Peta Sebaran Pelaku Usaha Industri Besi dan Baja (BKPM, 2011)............ 35
Gambar 3.1 Produksi dan Cadangan Bijih Besi Dunia................................................... 38
Gambar 4.1 Distribusi pemakaian energi di industri baja (Kemenperin 2010). ........... 43
Gambar 4.2 Proses Produksi Besi dan Baja................................................................... 44
Gambar 4.3 Proses Sintering Bijih Besi ......................................................................... 45
Gambar 4.4 Lay out proses peleburan bijih besi di blast furnace ................................ 46
Gambar 4.5 Neraca Energi pada proses industri baja .................................................. 49
Gambar 5.1 Proses HYL III............................................................................................. 54
Gambar 5.2 Proses SL/RN Rotary Kiln DRI .................................................................... 55
Gambar 5.3 EAF dan Ladle Refining Furnace................................................................ 56
Gambar 5.4 Induction Furnace...................................................................................... 57
Gambar 5.5 Ladle Furnace dan Vacuum Degassing...................................................... 58
Gambar 5.6 Continuous Casting Billet .......................................................................... 59
Gambar 5.7 Hot Rolling Mill.......................................................................................... 62
Gambar 5.8 Cold Rolling dan Finishing ......................................................................... 63
Gambar 5.9 Blok Diagram Proses DRI (a) HYL3 dan (b) Proses Zero Reformer............ 64
Gambar 5.10 Blok diagram Coal Based HYL Process................................................... 66

Perencanaan Efisiensi dan Intensitas Energi 2013 - BPPT 11


Gambar 5.11 Teknologi Blast Furnace ........................................................................ 67
Gambar 5.12 Blok Diagram Hot Conveyor Transport dari Hot DRI/HBI...................... 70
Gambar 5.13 Teknologi Scrap Preheating .................................................................. 72
Gambar 5.14 Prinsip Kerja Regenerative Burner ........................................................ 73
Gambar 5.15 Contoh aplikasi Regenerative Burner di reheating furnace .................. 74
Gambar 5.16 Distribusi Pemanfaatan Energi Industri Besi dan Baja .......................... 76
Gambar 5.17 Proyeksi Output Industri Besi dan Baja................................................. 77
Gambar 5.18 Proyeksi Penghematan Energi Industri Besi dan baja........................... 79
Gambar 5.19 Proyeksi Reduksi Emisi CO2 Industri Besi dan baja ............................... 80

Perencanaan Efisiensi dan Intensitas Energi 2013 - BPPT 12


BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Intensitas energi yang masih tinggi merupakan salah satu permasalahan di sektor
energi nasional yang dihadapi oleh pemerintah dewasa ini. Untuk itu pemerintah
telah mencanangkan target pengurangan intensitas energi sebesar 1% per tahun.
Namun pada praktiknya strategi penurunan intensitas energi belum dilakukan
secara sistematis dan terarah. Khususnya terkait dengan teknologi yang harus
dikembangkan dan diterapkan agar tercapai target penurunan intensitas energi
tersebut.

Kegiatan konservasi energi sebenarnya telah dimulai sejak terjadinya krisis


ekonomi beberapa tahun yang lalu terutama pada sektor industri. Kegiatan
konservasi energi menjadi sebuah pilar manajemen energi nasional yang
dituangkan dalam kebijakan pemerintah melalui Peraturan Pemerintah No. 70
Tahun 2009 tentang Konservasi Energi yang mewajibkan setiap pengguna energi
diatas 6000 ToE (Ton Oil Equivalent) per tahun untuk menerapkan manajemen
energi.Kebijakan konservasi energi tersebut bertujuan untuk meningkatkan
penggunaan energi secara efisien dan rasional tanpa mengurangi kuantitas
energi serta kenyamanan yang memang benar-benar diperlukan. Upaya
konservasi energi dapat diterapkan pada seluruh tahap pemanfaatan, mulai dari
pemanfaatan sumber daya energi sampai pada pemanfaatan akhir, dengan
menggunakan teknologi yang efisien dan membudayakan pola hidup hemat
energi.Selain hal tersebut, pada tatanan global mengenai isu perubahan iklim
yang mendesak peningkatan peran negara-negara berkembang, termasuk
Indonesia dalam penurunan emisi gas rumah kaca telah mendorong arah
pembangunan nasional yang ramah lingkungan dan menghasilkan emisi gas
rumah kaca yang lebih rendah. Upaya penerapan teknologi hemat energi dinilai
sebagai upaya penurunan emisi gas rumah kaca yang tepat dan ekonomis serta
membawa dampak langsung pada pelaku energi.Namun belum adanya standar

Perencanaan Efisiensi dan Intensitas Energi 2013 - BPPT 13


teknologi hemat energi untuk bangunan dan industri yang menjadi target dari
Peraturan Pemerintah No 70 Tahun 2009 tersebut menjadi kendala terhadap
pelaksanaan regulasi tersebut. Penerapan teknologi hemat energi di bangunan
juga terkendala oleh kemampuan industri manufaktur dan industri jasa energi
(Energi Service Company) dalam menyediakan teknologi yang dimaksud serta
kesadaran pengguna energi terhadap pentingnya manajemen energi.

Penerapan teknologi efisiensi energi di Indonesia hingga saat ini masih belum
seperti yang diharapkan. Meskipun demikian beberapa jenis usaha komersial dan
industri telah melakukan usaha-usaha penghematan energi dan revitalisasi.
Secara nasional hasilnya masih belum cukup untuk meredam laju konsumsi
energi yang cukup tinggi. Dalam buku Outlook Energi Indonesia 2012 disebutkan
bahwa total konsumsi energi final Indonesia pada tahun2010 adalah sebesar
1.012 juta SBM dengan laju pertumbuhan antar tahun 2000 2010 sebesar
3,09% per tahun. Serta konsumsi bahan bakar di industri pada tahun 2010
mencapai 355,76 juta SBM atau 37% dari total konsumsi energi final.
Berdasarkan data tahun 2010 diatas, dengan skenario dasar laju pertumbuhan
PDB rata-rata 7,7% per tahun, maka diperkirakan kebutuhan energi pada tahun
2015 akan mencapai1270 juta SBM dan pada tahun 2030 akan terjadi
peningkatan hingga 4,3 kali lipat kebutuhan energi tahun 2010 atau sekitar 2901
juta SBM. Adapun pangsa konsumsi energi sektor industri juga terus meningkat
dari 37% pada tahun 2010 diperkirakan akan meningkat menjadi 41% pada tahun
2015 dan 43% di tahun 2030.

Berdasarkan angka-angka perkiraan diatas, maka kegiatan efisiensi dan


konservasi energi di sektor industri tidak dapat ditunda lagi. Penghematan energi
di sisi kebutuhan (penghematan pada sisi hilir) akan menjamin ketersediaan
suplai energi sekaligus menghindarkan Indonesia menjadi negara importir energi
di masa mendatang atau meningkatkan ketahanan energi nasional.

Meskipun konsumsi energi primer per kapita masih rendah, intensitas energi
primer Indonesia tergolong masih cukup tinggi apabila dibandingkan dengan

Perencanaan Efisiensi dan Intensitas Energi 2013 - BPPT 14


negara-negara maju. Pada tahun 2009, intensitas energi Indonesia berkisar 0,24
KTOE/USD Konstan 2005. Sedangkan Jepang, Jerman, Thailand, dan Malaysia
pada tahun yang sama berturut-turut adalah 0,12; 0,12; 0,23; dan 0,22
KTOE/USD Konstan 2005 (IEA, 2010). Tingkat intensitas energi, yang dihitung
dengan membagi volume penggunaan energi nasional (Ton Oil Equivalent)
dengan nilai Produk Domestik Bruto (dalam USD), merupakan salah satu indeks
makro yang menyatakan seberapa efisien pemanfaatan energi di suatu negara
untuk menghasilkan nilai tambah ekonominya. Artinya, pemanfaatan energi di
Indonesia tidak produktif atau masih boros.

Berpijak pada permasalahan tersebut dan sebagai tindak lanjut dari buku
sebelumnya yang berjudul Perencanaan Efisiensi dan Elastisitas Energi 2012,
maka pada tahun ini Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) kembali
melakukan suatu kajian perencanaan teknologi efisiensi energi yang lebih fokus
untuk industri baja.Kajian ini bertujuan untuk mengembangkan suatu roadmap
penerapan teknologi hemat energi pada sektor Industri besi dan baja dengan
memperhitungkan kondisi penggunaan energi saat ini, tingkat penetrasi
teknologi, tingkat kesiapan komersialisasi atau ketersediaan teknologi,
ketersediaan sumberdaya energi, biaya implementasi, serta kebijakan energi
yang ada. Dengan mengembangkan roadmap teknologi efisiensi energi, yang
juga merupakan suatu rencana aksi penerapan teknologi hemat energi, potensi
peluang penghematan energi pada industri khususnya besi dan baja dalam
jangka panjang hingga tahun 2030 bisa diprediksi. Hasil dari simulasi tersebut
kemudian dibandingkan dengan target-target jangka panjang yang sudah
ditetapkan olehpemerintah seperti misalnya penurunan intensitas energi 1% per
tahun hingga tahun 2025 atau penurunan elastisitas energi kurang dari 1 hingga
tahun 2030.

Hasil kajian ini diwujudkan dalam suatu buku yang berjudulPerencanaan


Efisiensi dan Elastisitas Energi 2013. Buku ini memuat antara lain informasi
mengenai kondisi saat ini dari penerapan teknologi hemat energiyang dapat

Perencanaan Efisiensi dan Intensitas Energi 2013 - BPPT 15


digunakan pada sektor industri baja. Teknologi hemat energi yang baru yang
terkait dengan sistem tersebut juga akan dikaji secara lebih dalam. Kajian
mencakup prinsip teknologi, potensi dan dampak penghematan energi, status,
keekonomian serta tingkat penetrasi baik untuk kondisi saat ini maupun rencana
penerapannya kedepan (roadmap) dari teknologi hemat energi yang sudah
maupun yang belum diterapkan. Hasil dari kajian ini diharapkan bisa menjadi
masukan bagi pembuat kebijakan mengenai konservasi dan efisiensi energi
khususnya tentang rencana aksi penerapan teknologi hemat energi pada
industribaja di Indonesia.

1.2 Kondisi Makro Ekonomi

Berdasarkan data BPS, pada tahun 2012 kondisi perekonomian indonesia


mengalami peningkatan jika dibandingkan dengantahun 2011, hal ini ditunjukkan
dengan peningkatan pertumbuhan PDB sekitar 6,23%. Besaran PDB Indonesia
tahun 2012 atas dasar harga konstan mencapai Rp. 2.618,1 triliun.Perkembangan
nilai PDB Indonesia dari tahun 2000 hingga 2010 dapat diilustrasikan oleh
Gambar 1.1 berikut ini:

Sumber: BPS, 2011


Gambar 1.1 Perkembangan Nilai dan Pertumbuhan PDB Indonesia
(Konstan 2000)

Perencanaan Efisiensi dan Intensitas Energi 2013 - BPPT 16


1.3 Penyediaan dan Konsumsi Energi

Konsumsi energi primer Indonesia dari tahun ke tahun semakin meningkat, dari
940,04 juta SBM pada tahun 2000 menjadi 1440,22 juta SBM pada 2010 (dengan
biomasa), atau meningkat rata-rata 5,6% per tahun (lihatGambar 1.2).

Sumber: Pusdatin ESDM, 2011


Gambar 1.2 Konsumsi Energi Primer Indonesia Menurut Jenis

Minyak masih mendominasi bauran energi primer Indonesia, meskipun telah


terjadi penurunan. Pangsa minyak pada tahun 2010 masih berkisar 34% dengan
biomasa atau 43,12% tanpa biomasa.

Konsumsi energi final Indonesia lainnya juga terus mengalami kenaikan seiring
dengan semakin meningkatnya kegiatan ekonomi di semua sektor baik industri,
transportasi, rumah tangga dan komersial. Dengan kenaikan rata-rata per tahun
3,3% (4,5% tanpa biomasa), konsumsi energi final Indonesia pada tahun 2010
mencapai 1.081,4 juta SBM. Bahan bakar minyak masih mendominasi konsumsi
energi final Indonesia hingga tahun 2010 dengan pangsa 33,6% (45,8%, tanpa
biomasa), diikuti oleh biomasa 26,7%, batubara 12,6, gas bumi 10,7%, listrik
8,4%, dan sisanya disumbang oleh LPG, produk BBM lainnya, dan briket.

Perencanaan Efisiensi dan Intensitas Energi 2013 - BPPT 17


Bila dilihat menurut sektor pengguna, telah terjadi pergeseran pangsa konsumsi
energi final pada beberapa sektor seperti sektor rumah tangga, industri dan
transportasi. Pangsa sektor rumah tangga yang pada tahun 2000 mencapai 38%,
turun menjadi 30% pada tahun 2010 (dengan biomasa). Sebaliknya sektor
industri dan transportasi naik menjadi 33% dan 23% pada tahun yang sama dari
32% dan 18% pada tahun 2000. Peningkatan konsumsi energi pada sektor
transportasi yang cukup signifikan disebabkan oleh kegiatan ekonomi yang
semakin meningkat khususnya industri manufaktur dan jasa yang berimbas pada
mobilitas barang, jasa dan individu. Sektor seperti komersial dan lainnya juga
mengalami peningkatan konsumsi meskipun dari segi pangsa relatif konstan.
Penggunaan energi bukan sebagai bahan bakar tetapi sebagai bahan baku seperti
pada industri pupuk dan petrokimia atau kilang minyak juga mengalami kenaikan
baik dari besar konsumsi maupun pangsa (lihatGambar 1.3).

Sumber: Pusdatin ESDM, 2011


Gambar 1.3 Pangsa Konsumsi Energi Final Menurut Sektor (Dengan Biomasa)

1.4 Intensitas dan Elastisitas Energi Proyeksi

Hingga saat ini, konsumsi energi primer per kapita di Indonesia sebenarnya
masih tergolong rendah bila dibandingkan dengan negara-negara lainnya
khususnya negara maju dan negara-negara ASEAN seperti Singapura, Malaysia

Perencanaan Efisiensi dan Intensitas Energi 2013 - BPPT 18


dan Thailand. Meskipun demikian, pertumbuhannya menunjukkan tren
meningkat, dari 3,25 SBM/kapita pada tahun 2000 menjadi 4,73 pada tahun 2010
(tanpa biomasa).

Intensitas energi (primer) merupakan salah satu indikator untuk melihat apakah
pemanfaatan energi di suatu negara sudah cukup produktif atau belum (boros).
Dari Gambar 1.4terlihat bahwa intensitas energi Indonesia menunjukkan adanya
peningkatan dan penurunan nilai intensitas dari tahun 2000 hingga 2004 dan
kemudian terus terjadi penurunan dan kembali naik pada tahun 2010. Hal
tersebut mengindikasikan pemanfaatan energi di Indonesia belum produktif.

Sumber: ESDM, 2011


Gambar 1.4 Intensitas Energi di Indonesia

Indikator lain untuk mengetahui peranan energi dalam pembangunan adalah


elastisitas energi yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat efisiensi dan
tahap industrialisasi suatu negara. Umumnya, semakin tinggi elastisitas energi
menunjukkan jumlah energi yang dibutuhkan untuk meningkatkan PDB semakin
besar, sebalikya, semakin rendah elastisitas energi menunjukkan jumlah energi
yang dibutuhkan untuk meningkatkan PDB semakin kecil. Dengan perkataan lain,
semakin besar elastisitas energi menunjukkan bahwa negara tersebut boros
dalam penggunaan energi, dan semakin kecil elastisitas energi berarti negara
tersebut semakin efisien memanfaatkan energinya. Elastisitas energi merupakan
rasio antara laju pertumbuhan konsumsi energi (final atau primer, tanpa

Perencanaan Efisiensi dan Intensitas Energi 2013 - BPPT 19


biomasa) dan laju pertumbuhan ekonomi (PDB). Seperti terlihat padaGambar
1.5, elastisitas energi primer Indonesia berfluktuasi dari kurang dari satu (kadang
minus) hingga lebih dari satu. Tentu saja, nilai lebih dari satu berarti laju
pertumbuhan energi lebih cepat daripada laju pertumbuhan PDB. Pada tahun
2009 dan 2010, nilai elastisitas energi Indonesia jauh diatas angka satu dengan
tren meningkat.

Sumber: diolah dari Handbook Statistik Energi & Ekonomi Indonesia 2011.

Gambar 1.5 Elastisitas Energi Indonesia

Dari indikator-indikator di atas, peluang untuk melakukan penghematan energi di


Indonesia masih cukup besar dan tanpa harus mengorbankan peningkatan
konsumsi energi yang wajar.

1.5 Proyeksi Kebutuhan Energi

Jika tanpa melakukan upaya penghematan energi dan penerapan kebijakan


energi yang terkait dengan konservasi dan efisiensi energi atau dengan kata lain
tetap menerapkan business as usual (BaU), kebutuhan energi Indonesia
diperkirakan akan meningkat terus dengan laju pertumbuhan 5% per tahun
hingga tahun 2030. Pada periode 2010-2030 permintan energi final secara
keseluruhan (termasuk biomasa rumah tangga) diperkirakan meningkat dari

Perencanaan Efisiensi dan Intensitas Energi 2013 - BPPT 20


1.080 juta SBM pada tahun 2010 menjadi 2.973 juta SBM pada tahun 2030 atau
tumbuh rata-rata 5,2% per tahun. Pada periode tersebut pertumbuhan
permintaan energi rata-rata tahunan menurut sektor adalah sebagai berikut:
industri 7,5%, transportasi 6,5%, rumah tangga 0,3%, komersial 8,1%, lainnya
4,6%, dan untuk penggunaan non-energi (feedstock, pupuk dan EOR Duri,
Chevron) 1,3%. Dengan pertumbuhan tersebut, pada 2030 pangsa permintaan
energi final akan didominasi oleh sektor industri (45,8%), diikuti oleh transportasi
(30,5%), rumah tangga (11,2%), komersial (5,2%), lainnya (2,2%), dan non-energi
(5,1%) (Gambar 1.6).

Sumber: BPPT, 2012

Gambar 1.6 Proyeksi Kebutuhan Energi Final Menurut Sektor

Dari gambar diatas, dengan adanya program akselerasi industri di Indonesia


seperti yang diamanahkan dalam Peraturan Presiden (PerPres) Nomor 28 Tahun
2008 tentang Kebijakan Industri Nasional akan berdampak pada peningkatan
kebutuhan energi yang akan mendatang. Berdasarkan data kementerian ESDM
tahun 2012, saat ini yang mendominasi konsumsi energi terbesar di Indonesia
adalah sektor industri yang mencapai 49,4% dari total konsumsi energi nasional.
Tercatat ada 7 jenis industri yang mengkonsumsi energi besar baik untuk
digunakan sebagai bahan bakar atau digunakan sebagai bahan baku. Ketujuh
industri tersebut adalah Industri baja, industri semen, industri pupuk, industri

Perencanaan Efisiensi dan Intensitas Energi 2013 - BPPT 21


keramik , industri pulp dan kertas, industri tekstil serta industri pengolahan
kelapa sawit. Jika dibandingkan dengan faktor input yang lain, biaya energi pada
tujuh (7) industri tersebut bahkan lebih besar dari biaya tenaga kerja, serta
menempati peringkat kedua setelah biaya bahan baku. Oleh karena itu, program
konservasi energi merupakan langkah yang lebih praktis dan menguntungkan bila
dilaksanakan disektor industri. Program konservasi ini juga dapat dijadikan
sebagai bagian dari implementasi pelaksanaan perpres 61 tahun 2011 tentang
Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca yang ditargetkan untuk
menurunkan emisi sebesar 1 juta TCO2e (26%) sampai dengan 5 juta TCO2e (41%)
pada tahun 2020.

Salah satu yang termasuk kedalam program akselerasi industri nasional adalah
pengembangan industri logam dasar yaitu industri besi dan baja, dimana industri
ini menjadi pilar penting dalam rangka mewujudkan visi pembangunan industri
nasional yaitu menjadi negara industri maju pada tahun 2020 dan negara industri
tangguh pada tahun 2025. Pengembangan industri logam dasar ini dapat
memberikan rangsangan positif bagi pertumbuhan sektor-sektor industri lainnya,
karena baja merupakan bahan dasar yang penting dalam pengembangan industri
dan infrastruktur bahkan sebagai peralatan penunjang dalam kehidupan sehari-
hari.

Persoalan yang dihadapi industri baja saat ini adalah masih lemah dan belum
terintegrasinya struktur industri baja di indoneisa seperti misalnya masih
tingginya impor bahan baku sehingga belum bisa memenuhi kebutuhan industri
hilir dan sulitnya pasokan gas yang disertai dengan kenaikan harga energi yang
terus meningkat.Padahal, jika di sektor hulu tumbuh, maka industri hilir baja
nasional akan tumbuh dengan sendirinya seiring dengan potensi meningkatnya
pasar baja.

Energi menjadi kebutuhan yang sangat mendasar dalam pembangunan industri,


oleh karena itu penyediaan energi untuk mencapai target pertumbuhan industri
menjadi sangat penting. Saat ini di indonesia sumber energi yang masih

Perencanaan Efisiensi dan Intensitas Energi 2013 - BPPT 22


banyakdigunakan adalah minyak bumi, batu bara, gas alam yang ketersediaanya
sudah semakin berkurang, sementara disisi lain pengembangan dan
pemanfaatan sumber energi baru dan terbarukan seperti biomassa, tenaga air,
tenaga surya dan tenaga angin masih dalam persentase yang kecil yaitu sekitar
5%. Dengan adanya program akselerasi industri nasional, maka pada tahun 2025
konsumsi energi untuk sektor industri diperkirakan akan meningkat hingga 55%
atau dengan kata lain pada tahun tersebut, sektor industri akan membutuhkan
gas alam sebanyak 1.553 juta mmbtu dan batubara sebanyak 53,71 juta ton.

Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah melalui PP Nomor 70 Tahun 2009


telah mengeluarkan perintah tentang konservasi energi yang mengharuskan
perusahaan pengguna energi yang mengkonsumsi lebih dari atau sama dengan
6000 TOE (Ton Oil Equivalent) per tahun wajib melakukan audit energi secara
berkala. Jika pada skenario akselerasi industri nasional tersebut sertai dengan
program effisiensi dan konservasi energi maka pada tahun 2025 kebutuhan
energi rata-rata akan menurun hingga 8,6 %, atau dengan kata lain kebutuhan
gas alam oleh sektor industri pada tahun tersebut diperkirakan sebanyak 1,491
juta mmbtu dan batubara sebanyak 33,89 juta ton.

Ketidakefisienan pemakaian energi sangat merugikan sektor industri karena


terkait dengan jumlah output yang dihasilkan serta keuntungan agregat industri.
Dampak yang lebih besar lagi adalah inefisiensi energi dalam skala massif dan
berkepanjangan dapat menyebabkan inefisiensi ekonomi melalui alokasi sumber
daya yang tidak optimal. Jika tidak segera ditangani, akan berdampak pada
sulitnya mencapai target pertumbuhan ekonomi rata-rata 7-9persen per tahun
sesuai dengan target Masterplan Percepatan danPerluasan Pembangunan
Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025.

Perencanaan Efisiensi dan Intensitas Energi 2013 - BPPT 23


BAB 2 OVERVIEWINDUSTRIBESI DAN BAJA

Sejalan dengan pertumbuhan ekonomi nasional yang mendorong pada


peningkatan konsumsi baja, maka negara indonesia berpotensi untuk menjadi
negara dengan produksi besi dan baja terbesar di kawasan regional, dimana saat
ini Indonesia menduduki peringkat kedua sebagai negara yang mengkonsumsi
besi dan baja terbesar di ASEAN. Permintaan terhadap besi dan baja ini akan
terus meningkat seiring dengan program konektivitas infrastruktur tahun 2025
yang meliputi pembangunan jalan, pelabuhan laut dan bandara, jalan kereta api
serta pembangkit energi yang akan disinkronkan dengan koridor ekonomi
nasional.

2.1 Produksi Besi dan baja

Asosiasi Baja Dunia (World Steel Association) mencatat bahwa produksi baja
kasar (crude steel) dunia pada tahun 2012 naik sekitar 1,3 % dibanding tahun
2011 seperti terlihat dalam Tabel 2.1dibawah ini:

Tabel 2.1 Produksi Baja Dunia tahun 2011 - 2012


Wilayah Tahun 2011 Tahun 2012
European Union 177.468 169.430
Other Europe 37.176 37.860
CIS 112.434 111.177
North America 118.916 121.863
South America 48.394 46.931
Africa/Middle East 34.288 34.447
Asia 955.208 982.711
Oceania 7.248 5.805
Total 1.491.132 1.510.224
Sumber: World Steel Association (2012)

Sepanjang tahun 2005 2010, produksi baja indonesia mencapai antar 3,5 5,23
juta ton per tahun dan saat ini Indonesia menempati urutan ke 36 ranking dunia
sebagai negara produsen baja. Namun demikian sampai saat ini pasar baja

Perencanaan Efisiensi dan Intensitas Energi 2013 - BPPT 24


domestik masih mengalami defisit pasokan dikarenakan terjadinya over demand
baik disisi hulu maupun disisi hilir. Adanya kekurangan pasokan ini membuka
peluang masuknya baja impor dari berbagai negara seperti terlihat dalam
gambar grafik berikut ini.

8.6
9
7.79
8 7.48
6.9
7
5.65
6
5
4
3
2
1
0
2007 2008 2009 2010 2011
Konsumsi (Juta Ton) 6.9 7.79 5.65 7.48 8.6
Produksi (Ton) 4.48 5.29 3.71 5.23 6.01
Impor (Ton) 2.42 2.5 1.94 2.25 2.59

Gambar 2.1 Konsumsi, Produksi dan Impor Baja Nasional (Pefindo, 2011)

Pada Tahun 2011, konsumsi baja dalam negeri diperkirakan mencapai 7,48 juta
ton, sementara kemampuan produksi bajanasional hanya 6,01 juta ton dengan
demikian untuk memenuhi kebutuhan tersebut maka perlu mengimpor baja dari
luar negeri sebanyak 2,59 juta ton.Data lain menyebutkan bahwa pada tahun
2012, permintaan baja nasional mencapai 9 10 juta ton, sementara kapasitas
produksi nasional hanya 6,3 juta ton, kekurangannya ini juga dipenuhi dengan
cara mengimpor baja, termasuk baja dari china.

Produsen baja terbesar di indonesia saat ini adalah PT Krakatau Steel Tbk,
dengan kapasitas produksi sebanyak 3 jutaton, ditambah lagi dengan rencana
pengoperasian PT. Krakatau Posco pada tahun 2014 yang memiliki kapasitas
produksi sebanyak 3 juta ton, serta kontribusi dari beberapa perusahaan swasta
lainnya. Maka pada tahun 2014 kebutuhan baja domestik dimungkinkan dapat

Perencanaan Efisiensi dan Intensitas Energi 2013 - BPPT 25


dipenuhi oleh perusahaan industri baja nasional.Namun demikian permintaan
baja setiap tahunnya terus bergerak naik.

Bahan baku berupa baja mentah sangat diperlukan untuk membuat produk
akhir, kebutuhan baja mentah ini dapat dipenuhi oleh industri dalam negeri
sebanyak 70%, Sisanya 30% masih tetap diimpordari luar negeri. Pada tahun
2009, kebutuhan baja mentah dalam negeri adalah 5,5 juta ton,sedangkan
produksi baja mentah hanya 3,5 juta ton. Untuk kebutuhan baja mentah
tersebutharus mengimpor 2,5 juta ton baja mentah untuk memenuhi kebutuhan
konsumsi baja dalamnegeri dan untuk kebutuhan produk baja setengah jadi dan
produk jadi untuk diekspor kembali.

Sementara disisi lain Produksi bijih besidi dalam negerisebagai bahan baku yang
diperlukan oleh industri hulu masih sangat rendah. BKPM menyebutkan bahwa
pada tahun 2008 dari total produksi baja mentah sebesar 3,915 juta tonbaja
metah, produksi bijih besi dalam negeri hanya mampu memenuhi 100 ribu ton
pertahun.Begitu juga dengan bahan baku dari besi bekas, Indonesia masih
mengimpor dari luar negerisehingga harganya sangat dipengaruhi oleh pasar.

Tabel 2.2Perbandingan Konsumsi Baja Mentah dan Produksi

Konsumsi Produksi Import Produksi Export Import Impor


Tahun Baja Baja Baja Bijih Bijih Bijih Besi
Mentah Mentah Mentah Besi Besi Besi Bekas

2005 5,47 3,67 3,73 0,02 0,71 1,55 1,20


2006 5,70 3,76 3,81 0,02 0,71 1,76 1,06
2007 6,19 4,16 4,16 0,02 0,71 1,74 1,26
2008 7,09 3,92 3,92 0,10 6,51 2,30 1,90
2009 5,50 3,50 3,5 - 0,05 1,49 1,48
2010 - 3,66 - - - - 1,64
Sumber: World Steel Association

Perencanaan Efisiensi dan Intensitas Energi 2013 - BPPT 26


2.2 Konsumsi Produk Besi dan baja Nasional

Jika dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara, tingkat konsumsi baja


per kapita per tahunnya , Indonesia masih ada pada kategori rendah. Pada tahun
2011, konsumsi baja per kapita per tahun negara Singapura mencapai 570,1
kg/kapita/tahun, jepang sebanyak 500,9 kg/kapita/tahun dan Korea 1077,2
Kg/kapita/tahun. Perbandingan konsumsi Baja per kapita Indonesia dengan
negara lainnya dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 2.3Perbandingan konsumsi Baja per kapita Indonesia dengan negara lain
Negara Kg/Kapita/Tahun
Indonesia 37,3
Malaysia 315,8
Thailand 211,0
Vietnam 139,8
Singapura 570,1
Jepang 500,9
Korea 1077,2
China 427,4
India 54,9
Amerika Serikat 267,3
Sumber: World Steel Association, 2011

Tingginya pertumbuhan sektor manufaktur dan konstruksi pada tahun 2012


mendorong kenaikan permintaan produk baja selama tahun 2012. Konsumsi baja
di indonesia pada tahun 2012 diperkirakan mencapai 11,7 juta ton dengan
tingkat pertumbuhan 7,3%. Konstribusi sektor konstruksi sebesar 80% terhadap
konsumsi baja nasional.Pembangunan jaringan pipa memiliki kontribusi sebesar
8%, sektor manufaktur, industri alat- alatmesin dan industri otomotif memiliki
kontribusi masing-masing sebesar 3%, 2% dan 1%,sedangkan 6% sisanya
merupakan kebutuhan industri lain.

Perencanaan Efisiensi dan Intensitas Energi 2013 - BPPT 27


Gambar 2.2 Konsumsi Baja Nasional berdasarkan sektor
(Bank UOB Buana,2011)

Pada tahun 2020, konsumsi baja nasional diperkirakan lebih dari 17,5 juta ton.
Proyeksi tersebutdilakukan berdasarkan asumsi tingkat pertumbuhan ekonomi
rata-rata 5,8 persen per tahun danpertumbuhan kebutuhan baja rata-rata
pertahun sebesar 8,2%. Dengan jumlah total konsumsibaja nasional pada tahun
2010 sebesar 7,48 juta ton, dan pertumbuhan rata-rata konsumsi bajapertahun
sebesar 8,2%, maka dapat diproyeksikan kebutuhan baja pada tahun 2015 adalah
11,8juta ton dan 17,5 juta ton pada tahun 2020. Proyeksi itu juga dengan
mempertimbangkan productdomestic bruto (PDB) Indonesia naik menjadi
US$11.232 pada tahun 2020.

Perencanaan Efisiensi dan Intensitas Energi 2013 - BPPT 28


Gambar 2.3 Proyeksi Konsumsi Baja Nasional (BKPM, 2011)

2.3 Ekspor dan Impor Produk Besi dan baja Nasional

Kondisi saat ini, hasil produksi domestik belum mampu melayani


seluruhkebutuhankonsumsi baja nasional.Jika dibandingkan dengan tahun 2009,
pada tahun 2010 telah terjadi peningkatan jumlah impor produk baja jadi dan
setengah jadi yaitu meningkat menjadi 7,05 juta ton dari jumlah tahun
sebelumnya sebanyak 5,71 juta ton. Walaupun permintaan dalam negeri untuk
semua jenis produk jadi dan produk setengah jadiini tinggi namun produsen
dalam negeri masih melakukan ekspor disebabkan tingginya harga baja dunia.

Pada umumnya pasar dalam negeri lebih banyak mengkonsumsi baja kasar, hot
rolles coils (HRC), plates, besi beton profil ringan, dan wired rod.Produk-produk
tersebut banyak digunakan untuk kebutuhan industri properti dan konstruksi.
Berdasarkan data World Steel Associationtahun 2009, produk yang diimpor oleh
Indonesia dari negara lain adalah ingot dan produk baja setengah jadi; produk
batangansebesar 765 ribu ton, produk lempengansebesar 2,28 juta tondan
produk pipasebesar 569 ribu ton.

Perencanaan Efisiensi dan Intensitas Energi 2013 - BPPT 29


Indonesia tidak pernah mengekspor crude steel, dikarenakan
permintaandomestik yang masih tinggi sehingga tidak ada sisa barang bahkan
hingga defisit.

2.4 Pohon industri Besi dan Baja Nasional

Berdasarkan aliran proses dan hubungan antara bahan baku dan produk, maka
Kementerian Perindustrian menyusun strukturindustri baja yang dibagi kedalam
beberapa kelompok seperti ditunjukkan pada Tabel 2.4dan dijelaskan sebagai
berikut:

Tabel 2.4Pengelompokan Industri Baja Nasional

Industri Hulu Industri Antara 1 Industri Antara 2


Pertambangan Penyediaan Bahan Baku Pembuatan Baja Kasar Pembuatan Baja Kasar
HRC/P/ CRC Pelat
Bijih Besi Fero Nikel Besi Spons Pig Iron Scrap Ingot Slab Billet Bloom Wire Rod
S P/S Baja
Industri Hilir
Pembuatan Finished Flat Product Pembuatan Finished Long Product
Bj Tin Galvani Profil Pipa Shearing Baja Besi Wire Besi Kawat Kawat Kawat Mur & PC
Profil Paku
LS Plate zing Las Baja /Slitting Batangan Kanal Mesh Beton Beton Baja Las Baut Wire

Sumber: Kemenperin, 2010

2.4.1 Industri Hulu

a. Pertambangan

Ketersediaan industri tambang bijih besi, pasir besi, ferro nikel, batu bara baik
untuk bahan energi maupun untuk bahan baku kokas, gas alam, mineral
penunjang seperti batu kapur dan solomit merupakan industri yang diperlukan
dalam menentukan daya saing industri baja suatu negara sebagai industri
pemasok dalam supply chain industri baja.

Perencanaan Efisiensi dan Intensitas Energi 2013 - BPPT 30


b. Penyedia Bahan Baku

Penyedia iron making dan scrap juga merupakan kelompok yang sangat strategis
dalam menentukan daya saing industri baja suatu Negara.Scrap merupakan
material besi bekas. Secara umumterdapat dua jalur utama dalam industri
pembuatan besi dan baja.

1) Jalur pertama adalah melalui teknologi blast furnace. Jalur ini mendominasi
70% dari produksidunia. Melalui proses ini bijih besi direduksi dengan kokas
batu bara dalam sebuah tanur tiupyang tinggi. Produk dari proses ini adalah
besi cair yang kemudian dapat diproses lebih lanjutdalam tahap steel making
atau dapat dicetak yang dikenal sebagai pig iron.

2) Jalur kedua, yang merupakan alternatif industri pembuatan besi adalah jalur
pembuatan besispons. Melalui jalur ini bijih besi dalam bentuk bulk atau
pellet direduksi dengan gas pereduksi(yang berasal dari gas alam atau batu
bara). Produk dari proses ini dapat berupa besi spons atauhot briquette iron
(HBI). HBI menjadi bahan baku proses steel making selanjutnya. Jalur
inimenguasai sekitar 25% dari produksi besi dunia.

Disamping dua jalur utama di atas terdapat pula beberapa teknologi penyedia
bahan bakuindustri baja yang jumlahnya relatif kecil seperti teknologi direct
smelting, rotary kiln, dan openheart.

2.4.2 Industri Antara


a. Kelompok Industri Antara 1 : Pembuatan Baja Kasar (Crude Steel)

Kelompok ini sering dijadikan ukuran produksi industri baja di suatu negara.
Melalui prosesyang tahap akhirnya mengubah baja cair menjadi baja padat ini
dihasilkan bloom dan billetsebagai bahan baku industri baja pengolahan long
product, slab sebagai bahan baku industri pengolahan flat product dan ingot
sebagai bahan baku industri pembentukan baja lainnya.

Perencanaan Efisiensi dan Intensitas Energi 2013 - BPPT 31


b. Kelompok Industri Antara 2 :Pembuatan Baja Semi Finished Product

Kelompok ini adalah tahap proses baja kasar menjadi baja produk semi finished.
Billet danbloom merupakan bahan baku untuk pembuatan produk semi finished
wire rod dan green pipe.Selanjutnya wire rod akan menjadi bahan baku berbagai
industri pengolahan long finishedproduct seperti paku, baut, mur, kawat las, PC
wire. Sedangkan green pipe akan menjadi bahanbaku industri seamless pipe
(OCTG dan Line Pipe) bagi industri migas.Sementara semi finished product di jalur
flat product adalah hot rolled coll (HRC), hot rolledplate (HRP) dan cold roll coll
(CRC). HRC merupakan bahan baku terbesar dari industripengolahan flat product
seperti konstruksi, pipa las spiral dan otomotif. Sementara CRCdigunakan sebagai
bahan baku industri peralatan rumah tangga, otomotif, dan pelapisan seng.Pelat
baja merupakan semi finished product yang digunakan sebagai bahan baku
industri pipalas longitudinal, profil dan perkapalan.

2.4.3 Industri Hillir

Produk akhir dari industri baja adalah industri pembuatan baja finished flat
product dan bajafinished long product. Jika dilihat rantai nilainya (Gambar 1.2)
menunjukkan bahwa bajamerupakan material yang diaplikasikan untuk seluruh
bentuk kebutuhan manusia. Sehingga dinegara maju, baja merupakan komponen
vital dalam perkembangan industri dan sektor yanglainnya. Untuk mengukur
tingkat kesejahteraan di sebuah negara juga dapat diukur dari tingkatkonsumsi
baja per kapita. Umumnya negara yang telah pada tataran negara maju dan
modernmemiliki tingkat konsumsi baja per kapita yang tinggi.

a. Pembuatan baja finished flat product

Kelompok ini merupakan konsumen terbesar baja dunia. Berbagai industri


pemakai diantaranyaindustri konstruksi, otomotif, pipa, profil dan pelapisan.
Sebagai media antara bahan baku HRCdan CRC dengan kebutuhan industri

Perencanaan Efisiensi dan Intensitas Energi 2013 - BPPT 32


pembuatan finished product, maka dimasukkan pula dalamkelompok ini industri
jasa pemotongan dan pembentukan baja lembaran (shearing/slitting lines).

b. Pembuatan baja finished long product

Kelompok ini merupakan konsumen paling bervariasi dari industri baja. Berbagai
industripemakai diantaranya industri pembuatan baja batangan, profil, baja
konstruksi, kawat, paku, danmur/baut. Berikut merupakan kebutuhan bahan
baku (HRC dan CRC) yang berpotensi untukdijadikan komoditas unggulan:
- Rerolling memproduksi CRC untuk kebutuhan komoditas body and structure
Otomotif,Home Office Appliances, Pipe and Tube.
- General construction: profil berat dan HRC
- Otomotif: HRC dan CRC
- Home and Office Appliances
Berdasarkan pengelompokan diatas, maka Kemenperin membuat peta pohon
Industri Baja Nasional yang terdiri dari 41 jenis produksi perusahaan besi dan
baja seperti terlihat dalam gambar berikut ini:

Gambar 2.4 Pohon Industri Baja Nasional (Kemenperin, 2010)

Perencanaan Efisiensi dan Intensitas Energi 2013 - BPPT 33


2.5 Pelaku Usaha Industri Besi dan Baja di Indonesia

Perusahaan industri baja dalam negeri saat ini tersebar di beberapa provinsi di
indonesia, yaitu di Banten, Jakarta, JawaBarat dan Surabaya,Sumatera Utara,
Sumatera Barat dan Kalimantan Selatan.

BKPM dalam kajiannya menuliskan bahwa penyebaran industri pendukung


berdasar wilayah dapat digambarkan sebagai berikut:
a. Penyediaan Pellet Bijih Besi sampai saat ini masih seluruhnya diimpor.
Kemungkinanindustripensuplai bijih besi potensinya diperkirakan akan
berada di daerah Sumatera Barat,Bangka Belitung, Kalimantan Selatan,
Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat dan JawaBarat.
b. Penyedia Baja Slab, Billet dan Bloom sebagian besar berada di wilayah Jawa
dan sebagiankecil di Sumatra Utara seperti:
- PT. Krakatau Steel
- PT Gunung Garuda Gorup
- PT Ispat Indo
- PT Jakarta Prima Kyoe Steel
c. Penyedia baja HRC, CRC dan baja batangan juga masih banyak berada di
wilayah Jawa.

Untuk masa mendatang (future), dengan melihat potensi kebutuhan baja untuk
luar Jawa sangatbesar maka dimungkinkan pendirian Industri sejenis di luar Jawa
sangat potensial. Industripendukung untuk menyediakan baja jenis ini seperti:
- PT. Krakatau Steel
- PT Gunung Garuda Group
- PT Raja Besi
- PT Gunawan Dian Jaya
- PT Baja Marga
- PT Rajin Steel

Perencanaan Efisiensi dan Intensitas Energi 2013 - BPPT 34


Gambar 2.5 Peta Sebaran Pelaku Usaha Industri Besi dan Baja (BKPM, 2011)

Perencanaan Efisiensi dan Intensitas Energi 2013 - BPPT 35


BAB 3 PERKEMBANGAN INDUSTRI DAN
TEKNOLOGI BAJA DUNIA

3.1 Permintaan Baja Dunia

World Steel Associationmenjelaskan dalam laporannya World Steel Short Range


Outlookfor 2011 and 2012 bahwa pada tahun 2011 dan 2012 industri baja dunia
akanmengalami peningkatan permintaan sebesar 5,9% menjadi 1.359 juta metrik
ton dimana tahun sebelumnya sebesar 1.197 juta metrik ton
(13,2%).Peningkatan permintaan baja ini diperkirakan akan tumbuh lebih lanjut
sebesar 6,0%untuk mencapai rekor baru 1.441 juta metrik tonpada 2012.
Permintaan ini diperkirakan lebih banyak berasal dari negara berkembang seperti
terlihat pada Tabel 3.1 berikut ini:

Tabel 3.1Proyeksi Penggunaan Baja Dunia 2011 2012 (dalam juta metrik ton)
Penggunaan Tingkat
Wilayah Pertumbuhan (%)
2010 2011(P) 2012 2010 2011 2012
(P) (P) (P)

Uni Eropa (27) 144,80 151,80 157,50 21,2 4,9 3,7


Eropa Lainnya 29,60 32,80 35,20 23,8 11 7,3
CIS 48,50 52,10 56,70 34,3 7,5 8,9
NAFTA 110,30 122,30 130 33 10,9 6,3
Amerika Selatan dan Tengah 45,80 48,80 52,8 36,4 6,60 8,3
Afrika 25,90 25,10 27,4 -3,6 -3,1 9,1
Timur Tengah 45,30 46,50 49,9 7,2 2,60 7,3
Asia dan Oseania 833,60 879,90 931,10 8,4 5,5 5,8
Dunia 1283,60 1359,20 1440,60 13,2 5,9 6
Negara Ekonomi Berkembang 373,10 392 406,8 24,7 5,1 3,8
Negara Kekuatan Ekonomi 910,50 967,20 1033,80 9,10 6,2 6,9
Baru
China 576 604,8 635 5,10 5 5
AS 82,92 90,15 96,7 13 10,9 6,3
BRIC 698,90 738,80 784,7 8 5,7 6,2

Perencanaan Efisiensi dan Intensitas Energi 2013 - BPPT 36


Penggunaan Tingkat
Wilayah Pertumbuhan (%)
2010 2011(P) 2012 2010 2011 2012
(P) (P) (P)
MENA 60,60 60,50 65,3 2,4 -0,1 7,9
Dunia (Kecuali China) 707,60 754,50 805,6 20,70 6,6 6,8
Sumber: World Steel Association, BKPM-2011

3.2 Produksi Baja Dunia

Pada tahun 2010, produksi baja dunia mengalami peningkatan sebesar 15 % dari
tahun sebelumnya yaitu mencapai 1.283 juta metrik ton, dan pada tahun 2011
produksi baja dunia diperkirakan mencapai 1.359 juta metrik ton.

Tabel 3.2 Produksi Baja Dunia


No Negara Jumlah Produksi Baja
(juta metrik ton)
1 ASIA 897,9
2 China 626,7
3 Jepang 109,6
4 Korea Selatan 58,5
5 Amerika Serikat 80,6
6 India 68,3
7 Rusia 66,9
8 Uni Eropa 172,9
9 Amerika Utara 111,8
Sumber: World Steel Association, 2011

Dalam proses pembuatan baja, diperlukan bahan baku Iron ore dan coking coal.
Pada tahun 2009, tercatat ada 4 negara yang memproduksi hampir 80% dari
total 1,7 milyar ton bijih besi yang diproduksi, diantaranya adalah Australia,
China, Brazil danIndia. Keempat negara ini memiliki cadangan bijih besi yang
terbesar di dunia.

Berikut merupakan Negara-negara yang memproduksi bijih besi terbesar di dunia


danmemiliki cadangan bijih besi terbesar di dunia.

Perencanaan Efisiensi dan Intensitas Energi 2013 - BPPT 37


Sumber: World Steel Association, 2011
Gambar 3.1 Produksi dan Cadangan Bijih Besi Dunia

3.3 Pelaku Usaha Industri Baja di Dunia


World Steel Associationmencatat bahwa saat ini ada 50 negara lebih yang
memproduksi baja, dan saat ini negara China merupakan negara yang
memproduksi baja terbanyak dengan urutan rangking pertama yang
memproduksi 44% dari total produksi baja dunia, selanjutnya diikuti oleh jepang
dengan produksi 8% dari produksi baja dunia dan USA dengan produksi 6% dari
produksi baja dunia. Tabel berikut adalah urutan rangking negara-negara yang
penghasil baja:

Tabel 3.3 Negara Produsen Baja di Dunia


No Negara Rangking Poduksi Negara Rangking Poduksi
1 China 1 626,7 Cechnia 26 5,2
2 Japan 2 109,6 Argentina 27 5,1
3 USA 3 80,5 Arab Saudi 28 5
4 India 4 68,3 Swedia 29 4,8
5 Rusia 5 66,9 Slovakia 30 4,6
6 Korea Selatan 6 58,4 Kazakstan 31 4,2
7 Jerman 7 43,8 Malaysia 32 4,1
8 Ukraina 8 33,4 Finlandia 33 4
9 Brazil 9 32,9 Rumania 34 3,7
10 Turki 10 29,1 Thailand 35 3,7
11 Italia 11 25,8 Indonesia 36 3,6
12 Taiwan 12 19,8 Vietnam 37 2,7
13 Meksiko 13 16,7 Luxemburg 38 2,5
14 Spanyol 14 16,3 Belarusia 39 2,5

Perencanaan Efisiensi dan Intensitas Energi 2013 - BPPT 38


No Negara Rangking Poduksi Negara Rangking Poduksi
15 Perancis 15 15,4 Venezuela 40 2,2
16 Kanada 16 13 Qatar 41 2
17 Iran 17 12 Hungaria 42 1,8
18 Inggris 18 9,7 Portugal 43 1,4
19 Polandia 19 8 Swiss 44 1,3
20 Belgia 20 8 Serbia 45 1,3
21 Afrika Selatan 21 7,6 Kolumbia 46 1,2
22 Australia 22 7,3 Cili 47 1
23 Austria 23 7,2 Peru 48 0,9
24 Mesir 24 6,7 Selandia Baru 49 0,9
25 Belanda 25 6,7 Lainnya 50 12,3
Sumber: World Steel Association, 2011

Dari negara-negara produsen baja dunia tersebut, tercatat ada 5 (lima)


perusahaan yang produksi bajanyaterbesar yaitu Arcelor Mittal, Nippon Steel, JFE
Steel Corp., Pohang Iron and Steel Company(POSCO) dan Bao Steel Co. Ltd.,
dengan urutan peringkat produksi pada tahun 2010 sebagai berikut:

Tabel 3.4 perusahaan terbesar yang memproduksi baja di dunia

No Perusahaan Jumlah Produksi


(juta ton)
1 Arcelor Mittal 98,2
2 Bao Steel Co.Ltd 37
3 POSCO 35,4
4 Nippon Steel 35
5 JFE Steel Corp 31,1
Sumber: World Steel Association, 2011

BKPM telah menginventarisir bahwa Industri besar penghasil baja tersebut pada
umumnya melakukankegiatan produksi yang terintegrasi dari hulu ke hilir
dimulai dari proses iron makingyang menghasilkan pig iron, pengolahan menjadi
baja setengah jadi (slab, billet dan bloom), prosesrolling hingga menghasilkan
baja berbentuk flat product, long product dan produk-produk bajakhusus. Kecuali
Bao Steel yang lebih memfokuskan pada pembuatan baja-baja khusus

Perencanaan Efisiensi dan Intensitas Energi 2013 - BPPT 39


sepertistainless steel dan specialty alloyed-steel, dapat dilihat dalam tabel
berikut.

Tabel 3.5 Produk/ Komoditi 5 Industri Baja Dunia

No Perusahaan Produk

1 Arcelor Mittal Terintegrasi mulai dari hulu hingga ke hilir


berupa flat products, longproducts, tubular
products, stainless, automotive, dan
construction.Sebagai contoh pabrik
ArcelorMittal di Gent memproduksi
berbagai jenisbaja yang digunakan untuk
aneka keperluan, mulai dari bodi mobil,
radiator,elemen konstruksi, furnitur,
perkakas rumah tangga, peralatan di jalur
keretaapi, hingga rambu lalu lintas
2 Bao Steel Co.Ltd Industri bajanya meliputi 3 kelompok besar
yaitu : carbon steel, stainlesssteel dan
specially-alloyed steel, dengan fokus pada
high-tech dan highvalue-added steels
termasuk automotive steel, shipbuilding
steel, appliancesteel, oil pipeline steel, drill
pipe, oil well tube, high pressure boiler
steel,cold rolled silicon steel,pressure vessel
steel, food and beverage packagingsteel,
metal product processing steel, stainless
steel, high alloy steel dan jugaliving steel.
3 POSCO Terintegrasi dari hulu ke hilir dengan produk
yang dihasilkan bervariasiantara lain Hot

Perencanaan Efisiensi dan Intensitas Energi 2013 - BPPT 40


No Perusahaan Produk

Rolled Steel, Steel Plate, Wire Rod, Cold


Rolled Steel,
Electrical Steel, Stainless Steel
4 Nippon Steel Terintegrasi dari hulu ke hilir mulai dari iron
making, steel making hingga kesteel product
berupa sections, flat product, tubulars,
specialty steel dansecondary steel termasuk
ke steel fabrication. Disamping itu
jugamempunyai proyek engineering and
construction, urban development,
newmaterials dan system solution.
5 JFE Steel Corp Terintegrasi dari hulu ke hilir dengan produk
yang dihasilkan bervariasiantara lain sheet,
plate, shapes, pipes, electrical sheet,
stainless steel.
Sumber: World Steel Association, 2011

3.4 Teknologi Proses Produksi yang Berkembang di dunia

Perkembangan teknologi pengolahan baja dari tahun ke tahun telah mengalami


peningkatan yang cukup pesat. Seperti teknologi EAF (electric arc furnace),
dimana dengan teknologi ini dapat meningkatkan kecepatan produksi hingga dua
kali lipat yang disertai dengan konsumsi listrik dan elektroda yang efisien.
Teknologi lainnya adalah teknologi direct smelting yang merupakan
perkembangan dari teknologi blast furnace.

Perusahaan POSCO korea telah mengembangkan teknologi Blast Furnace yang


dilengkapi dengan furnace top charging equipment, cast house, hot stove, gas

Perencanaan Efisiensi dan Intensitas Energi 2013 - BPPT 41


cleaningequipment, material transportation system, pulverized coal injection
system, serta materialbalance yang dapat mengukur kebutuhan bahan baku yang
diperlukan untuk proses peleburan,seperti untuk menghasilkan 1 ton pig iron
diperlukan bahan baku sintered ore 1.403 kg, sizedore (5-50 mm) 247 kg, coke
(ukuran 25-75 mm) 432 kg, coal 53 kg, dan bahan penunjanglainnya 20 kg.

Hylsamex dari Mexico telah mengembangkan teknologi direct reduction


processyaituteknologi proses peleburan baja dengan memakai electric arc
furnace sebagai dapurpeleburannya. Teknologi peleburan baja lainnya juga telah
dikembangkan oleh FerroStaal dimana perusahaan ini mengembangkan direct
reduction plant dengan Hyl process technology sebagaimana dibangun untuk
PT.Krakatau Steel.

Jepang juga mengembangkan teknologi peleburan baja dengan proses smelting


dan reducing nickel ore (2.5% Ni, 13.2% Fe) danchromium ore (30.9% Cr, 19.3%
Fe) atau dengan sebutan teknologi Direct Iron OreSmelting (DIOS). Dios
merupakan kombinasi dariteknologi proses SRF (Smelting Reduction Furnace)
dengan RHF (Rotary Hearth Furnace).

Teknologi lainnya yang sedang dikembangkan adalah SAF(Submerged Arc


Furnace), Smelting Reduction Furnacedimana teknologi-teknologi ini dianggap
akan lebih produktif, efisien dan ekonomis jikadibandingkan dengan proses
peleburan dapur listrik EAF (Electric Arc Furnace).

Sementara itu FINMET Austria mengembangkan Direct Reduced Iron (DRI) dan
Hot Briquetted Iron (HBI) dimana teknologi memakai iron ore dengan ukuran
dibawah 12 mm(Sintered ore atau sized ore).

Perencanaan Efisiensi dan Intensitas Energi 2013 - BPPT 42


BAB 4 POLA PENGGUNAAN ENERGI DAN TINGKAT
EFFISIENSI ENERGI DI INDUSTRI BAJA

Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, pola konsumsi energi di sektor industri
telah mengalami peningkatan yang cukup signifikan, hal ini terjadi karena
transformasi struktural yang cepat dari sektor pertanian ke sektorindustri. Selain
itu pemborosan energi juga terjadi yang disebabkan oleh penggunaan mesin-
mesin tua yang relatif boros energi. Penggunaan mesin-mesin tua ini sebagai
akibat dari tingginya tingkatketergantungan industri terhadap mesin-mesin
produksi impor sehingga membuatpelaku industri tidak mampu memperbarui
mesin-mesinproduksinya. Masalah-masalah keenergian yang dihadapi oleh
industri saat ini adalah sulitnya untuk mendapatkan energi yang murah, efisien
atau ramahlingkungan.

Industri besi dan baja merupakan salah satu industri pendukung sektor
konstruksiyang padat energi dimana industri ini masuk dalam kategori industri
pengguna energi di atas 6000 TOE (setara ton minyak). Industri baja
menggunakan energi untuk proses peleburan scrap,heat treatment dan metal
forming serta proses finishing. persentase pemakaian energi terbesar adalah
untukproses peleburan sebesar 61,5%, reheating 24,2%, metal forming
(rolling)14,1%, dan untuk office 0,2%. Distribusi pemakaian energi seperti yang
telah dijelaskan diatas dapat dilihat pada grafik berikut ini:

Gambar 4.1 Distribusi pemakaian energi di industri baja(Kemenperin 2010).

Perencanaan Efisiensi dan Intensitas Energi 2013 - BPPT 43


4.1 Proses Produksi Besi dan Baja

Uraian proses produksi besi dan baja, mulai dari bijih besi sampai menjadibaja
profil atau baja pelat secara ringkas dapat dilihat pada gambar berikut :

Gambar 4.2 Proses Produksi Besi dan Baja

4.1.1 Proses Agglomerasi sintering

Pada tahapan ini, bijih besi (Iron Ore) dan kokas (Coke) dipersiapkan untuk
dijadikan pelet yang siap dilebur.Proses aglomerasi ini juga dikenal dengan
proses pelletizing dimana konsentrat bijih besi atau mineral lainnya yang
berukuran halus dibentuk menjadi partikel yang berukuran antara 8 mm sampai
dengan 25 mm. Peletisasi dibuat dengan tujuan agar partikel yang berukuran
tertentu dapat memudahkan pada proses handling serta dapat diperoleh partikel
yang memiliki sifat- sifat metalurgis yang dibutuhkan. Proses pelletizing terdiri
dari 2 tahapan yaitu mixing konsentrat dan campuran binder kemudian disc

Perencanaan Efisiensi dan Intensitas Energi 2013 - BPPT 44


pelletizer untuk dibuat bola-bola dengan ukuran kecil seperti terilhat pada
Gambar 4.3

Gambar 4.3 Proses Sintering Bijih Besi

4.1.2 Proses Peleburan


Proses peleburan dapat dilakukan dengan 2 metode teknologi yaitu dengan blast
furnace atau Electric Arc Furnace.

a. Blast Furnace (Tanur Tinggi)

Peleburan bijih besi dengan teknologi blast furnace dilakukan dengan cara
mencampur pelet (pig iron) dengan kokas (coke) dan material karbon lainnya
sebagai reagent kimia kemudian diproses dalam reaktor tanur tinggi sehingga
menjadi cairan logam. Produk yang dihasilkan pada proses ini adalah besi kasar
cair (belum ada penambahan alloy). Selanjutnya besi cair ini dimasukkan
kedalam Basic Oxygen Furnace (BOF) yang disertai dengan penambahan material
alloy. Gambar berikut ini menunjukkan layout proses peleburan di blast furnace.

Perencanaan Efisiensi dan Intensitas Energi 2013 - BPPT 45


Gambar 4.4 Lay out proses peleburan bijih besi di blast furnace

b.Electric Arc Furnace (EAF)

Proses peleburan dengan menggunakan teknologi Electric Arc furnace biasanya


pelet terlebih dahulu direduksi melalui Direct Reduction Iron (DRI)Plant sehingga
menghasilkan besi spons (Fe). Panas yang diperoleh dalam arc furnace berasal
dari arus listrik AC yang dilewatkan melalui elektroda (carbon ataugraphite).
Produk yang dihasilkan dari EAF ini adalah slab.

4.1.3 Proses Ladle Refining and Casting

Setelah baja cair diproduksi di BOF atau EAF dan ditaping ke ladle, sesudah
dilakukan pemurnian (refining) maka besi cair masuk ke proses continuous
casting dimana pada tahap ini besi cair dipadatkan menjadi bentuk setengah jadi:
bloom, billet atau lembaran slab.

Perencanaan Efisiensi dan Intensitas Energi 2013 - BPPT 46


4.1.4 Rolling dan Finishing

Rolling dan finishing adalah proses mengubah bentuk setengah jadi menjadi
produk baja jadi, yang akan digunakan oleh end use secara langsung atau untuk
membuat produk lanjut lainnya. Sedangkan proses finishing dapat memberikan
karakteristik produk yang penting yang meliputi: bentuk akhir, permukaan akhir,
kekuatan, kekerasan dan fleksibilitas, dan ketahanan korosi. Penelitian terkait
teknologi finishing yang saat ini berfokus pada peningkatan kualitas produk,
mengurangi biaya produksi dan mengurangi polusi.

4.1.5 Pembentukan Baja (Forming)

Pada tahapan proses ini biasanya menggunakan bahan baku bilet, bloom atau
slab.Proses rolling dan forming dapat mencakup rolling panas, rolling dingin,
forming atau forging. Dalam rolling panas baja strip, misalnya, lempeng baja
dipanaskan sampai lebih dari 1.000 oC kemudian melewati beberapa set roller.
Tekanan tinggi akan mengurangi ketebalan pelat baja sambil meningkatkan lebar
dan panjangnya. Setelah rolling panas, baja mungkin perlu dilakukan rolling
dingin pada suhu ambien untuk mengurangi ketebalan, meningkatkan kekuatan
(melalui pengerjaan dingin), dan memperbaiki permukaan. Dalam membentuk
batang, tabung, balok dan H beam dapat diproduksi dengan melewatkan baja
panas melalui rol berbentuk khusus untuk menghasilkan bentuk akhir yang
diinginkan. Dalam penempaan, baja cor dipukul dengan palu atau dye-pressed.

4.1.6 Finishing

Finishing baja dilakukan untuk memenuhi spesifikasi fisik dan visual. Proses
kerjanya meliputi heat treatment, quenching, pickling dan coating. Heat
treatment bertujuan untuk dapat memberikan berbagai kualitas atas baja
dengan mengubah struktur kristalnya. Perlakuan panas ini sering dilakukan

Perencanaan Efisiensi dan Intensitas Energi 2013 - BPPT 47


setelah proses rolling dengan tujuan untuk mengurangi ketegangan pada
material akibat proses pengerolan. Quenching bertujuan meningkatkan
kekerasan baja dan biasanya sering dikombinasikan dengan tempering untuk
mengurangi kerapuhan. Pickling merupakan chemical treatment, di mana baja
gulungan dibersihkan dalam penangas asam untuk menghilangkan kotoran, noda
atau kerak sebelum dilapis (coating). Dalam coating, gulungan baja lembaran
dingin dilapisi anti korosi dan untuk menghasilkan permukaan dekoratif.

4.2 Neraca Energi


Energi di industri besi dan baja digunakan untuk proses peleburan scrap baja
dengan menggunakan tungku peleburan, perlakuan panas (heat treatment)
dengan menggunakan reheating furnace, pembentukan logam (metal forming)
sepertirolling, wire drawing, ekstrusi,forging, piercing dan finishing seperti
grinding dan permesinan. Gambar berikut ini menunjukan flow proses di industri
besi dan baja beserta jenis sumber energi yang dipakai.

Perencanaan Efisiensi dan Intensitas Energi 2013 - BPPT 48


Gambar 4.5 Neraca Energi pada proses industri baja

Perencanaan Efisiensi dan Intensitas Energi 2013 - BPPT 49


4.3 Intensitas Energi

Dari data historis tahun 2011 pada beberapa industri yang berhasil dikumpulkan
oleh Kementerian ESDM, diperoleh informasi bahwa saat ini intensitas energi
industri baja di Indonesia sebesar 900kWh per Ton. Artinya, untuk menghasilkan
1 (satu) Ton baja diIndonesia membutuhkan energi sebesar 900 kWh. Jika
dibandingkan dengan India dan Jepang, maka angkaintensitas ini lebih tinggi
(lihat tabel). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penggunaan energi
untuk pembuatanbaja di Indonesia belum seefisien kedua negara tersebut.
Perbedaan angka intensitas ini disebabkan oleh penggunaan teknologi yang
berbeda dimana pada proses produksinya Indonesia menggunakan sponge iron,
India menggunakan blast furnace dan Jepang menggunakan scrap.

Tabel 4.1 Perbandingan Intensitas energi di beberapa negara

Negara Intensitas Energi


(kWh/ton)
Jepang 350
India 600
Indonesia 900

Indonesia pernah melakukan audit energi di industri baja yang diprakarsai oleh
Kementerian Perindustrian di informasi bahwa kosumsi energi spesifik untuk
proses peleburan bijih besi di EAF rata-rata sebesar 902 kWh/ton. Jika angka ini
dibandingkan dengan data world best practise yang diterbitkan oleh Barkeley,
2008, untuk proses yang sama yaitu sebesar 637,3 kWh/ton, maka tergolong
boros dalam konsumsi energinya.

Tabel 4.2berikut ini adalah menunjukkan hasil best practice intensitas energi
untuk industri baja di dunia:

Perencanaan Efisiensi dan Intensitas Energi 2013 - BPPT 50


Tabel 4.2World Best Practice Intensitas Energi di Industri Baja

Blast furnace- Smelt reduction Direct reduced


Scrap-electric
Production basic oxygen - basic oxygen iron - electric arc
Process arc furnace
step furnace furnace furnace
2 2 2 2
Final Primary Final Primary Final Primary Final Primary
Material Sintering 1.9 2.2 1.9 2.2
preperation
Pelletizing 0.6 0.8 0.6 0.8
Coking 0.8 1.1
Iron making Blast
12.2 12.4
furnace
Smelt
17.3 17.9
reduction
Direct
reduced 11.7 9.2
iron
Steelmaking Basic
oxygen -0.4 -0.3 -0.4 -0.3
furnace
Electric arc
2.5 5.9 2.4 5.5
furnace
Refining 0.1 0.4 0.1 0.4
Casting & Continuous
0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1
rolling casting
3
Hot rolling 1.8 2.4 1.8 2.4 1.8 2.4 1.8 2.4
Sub-total 16.5 18.2 19.5 21.2 18.6 20.6 4.3 8.0
Cold rolling Cold rolling 0.4 0.9 0.4 0.9
& finishing
Finishing 1.1 1.4 1.1 1.4
Total 18.0 20.6 21.0 23.6 18.6 20.6 4.3 8.0
Alternative:
Casting & 0.2 0.5 0.2 0.5 0.2 0.5 0.2 0.5
rolling
Alternative total: 14.8 16.3 17.8 19.2 16.9 18.6 2.6 6.0
(dalam satuan GJ/metric ton baja)

Perencanaan Efisiensi dan Intensitas Energi 2013 - BPPT 51


BAB 5 PELUANG PENINGKATAN EFFISIENSI
ENERGI DAN ROADMAP TEKNOLOGI DI INDUSTRI
BESI DAN BAJA

5.1 Status Teknologi Industri Baja di indonesia


Industri besi dan baja Indonesia menghasilkan berbagai jenis produk seperti baja
slab, baja billet, baja lembaran seperti coil, strip, dan plat, batang kawat, besi
beton dan masih banyak lagi. Secara umum hanya terdapat dua metode dalam
memproduksi baja kasar:

Proses primer: blast furnace (BF) dan basic oxygen furnace (BOF) yang
menggunakan biji besi (sinter atau pelet) sebagai bahan baku. Proses ini
sedang diimplementasikan di Indonesia khususnya di Krakatau Steel.

Proses sekunder: electric arc furnace (EAF) yang menggunakan besi bekas
(scrap), sponge, pig iron atau direct reduced iron (DRI) sebagai bahan
baku alternatif. Selain EAF, teknologi Induction Furnace juga masih
banyak digunakan di Indonesia.

Proses produksi baja di Indonesia secara umum dimulai dari pabrik besi spons.
Pabrik ini mengolah bijih besi pellet menjadi besi dengan menggunakan air dan
gas alam.

Besi yang dihasilkan kemudian diproses lebih lanjut pada Electric Arc Furnace
(EAF) di pabrik slab baja dan pabrik billet baja. Di dalam EAF besi dicampur
dengan scrap, hot bricket iron dan material tambahan lainnya untuk
menghasilkan dua jenis baja yang disebut baja slab dan baja billet.

Baja slab selanjutnya menjalani proses pemanasan ulang dan pengerolan di


pabrik baja lembaran panas menjadi produk akhir yang dikenal dengan nama
baja lembaran panas. Produk ini banyak digunakan untuk aplikasi konstruksi
kapal, pipa, bangunan, konstruksi umum, dan lain-lain. Baja lembaran panas

Perencanaan Efisiensi dan Intensitas Energi 2013 - BPPT 52


dapat diolah lebih lanjut melalui proses pengerolan ulang dan proses kimiawi di
pabrik baja lembaran dingin menjadi produk akhir yang disebut baja lembaran
dingin. Produk ini umumnya digunakan untuk aplikasi bagian dalam dan luar
kendaraan bermotor, kaleng, peralatan rumah tangga, dan sebagainya.

Sementara itu, baja billet mengalami proses pengerolan di Pabrik Batang Kawat
untuk menghasilkan batang kawat baja yang banyak digunakan untuk aplikasi
senar piano, mur dan baut, kawat baja, pegas, dan lain-lain.

Berikut ini adalah beberapa teknologi yang sudah ada dan sedang dikembangkan
di Indonesia:

5.1.1 HYL Direct Reduced Plant

PT. Krakatau Steel sebagai satu-satunya pabrik baja terintegrasi di Indonesia


sejak tahun 1989 memproduksi besi spon (pig iron) sebagai bahan baku
pembuatan baja kasar (crude steel). Teknologi yang digunakan bersifat
konvensional yaitu yang menggunakan bahan baku besi pelet dan bahan reduksi
gas alam. Kapasitas produksi besi spon saat ini adalah 2,3 juta ton/tahun.

Pabrik besi spons (Direct Reduced Plant) menerapkan teknologi berbasis gas alam
dengan proses reduksi langsung menggunakan teknologi Hyl dari Meksiko. Pabrik
ini menghasilkan besi spons (Fe) dari bahan mentahnya berupa pellet bijih besi
(Fe2O3 and Fe3O4), dengan menggunakan gas alam (CH4) dan air (H2O).

DR Plant memiliki 2 (dua) buah unit produksi dan menghasilkan 2,3 juta ton besi
spons per tahun. Unit produksi yang pertama yaitu Hyl Unit I mulai beroperasi
tahun 1979. Unit ini beroperasi dengan menggunakan 4 modul batch process
dimana setiap modulnya mempunyai 2 (dua) buah reaktor. Unit ini memiliki
kapasitas produksi sebesar 1.000.000 ton besi spons per tahun.

Unit produksi yang kedua yaitu Hyl Unit III memulai operasinya pada tahun 1994
dengan menggunakan 2-shafts continuous process. Unit ini memiliki kapasitas
produksi sebesar 1.300.000 ton besi spons per tahun. Gambar V.1 menunjukkan

Perencanaan Efisiensi dan Intensitas Energi 2013 - BPPT 53


proses pebuatan besi dari teknologi HYL Unit III dimana hasil produknya berupa
besi spons diumpan ke EAF untuk dilebur.

Intensitas energi untuk proses pembuatan besi spons pada teknologi direct
reduced iron adalah berkisar 11,7 GJ/ton besi spons.

Sumber: nova-gas.blogspot.com

Gambar 5.1 Proses HYL III

Besi spons yang dihasilkan oleh pabrik ini memiliki keunggulan dibanding sumber
lain terutama disebabkan karena rendahnya kandungan residual. Sementara itu
tingginya kandungan karbon menyebabkan proses di dalam Electric Arc Furnace
(EAF) menjadi lebih efisien dan proses pembuatan baja menjadi lebih akurat.
Lebih lanjut hal tersebut menjamin konsistensi kualitas produk baja yang
dihasilkan.

Perencanaan Efisiensi dan Intensitas Energi 2013 - BPPT 54


5.1.2 SL/RN Direct Reduced Plant

PT Krakatau Steel dan PT Aneka Tambang bekerjasama mendirikan pabrik


pengolahan bijih besi menjadi besi spons di Batulicin, Kalimantan Selatan yang
berkapasitas 315.000 ton besi spons dengan menggunakan teknologi SL/RN
direct reduction. Teknologi proses reduksi ini berbasis rotary kiln. Umpan bijih
besi dipanaskan awal hingga 1800 oF dengan aliran gas yang berlawanan yang
mengandung batubara, char daur ulang dan flux seandainya ada unsur sulfur
pada batubara. Zona pemanasan awal harus 40 50% dari panjang total kiln.
Proses reduksi dimulai ketika suhu mencapai 1650 oF. Padatan dikeluarkan dari
pendingin rotary dengan suhu 200 oF. Material yang telah dingin dipisahkan oleh
separator screen dan magnetic.

Konsumsi energi untuk proses pembuatan besi spons pada teknologi direct
reduced ironini adalah berkisar 800 kg batubara/ton besi spons

Gambar 5.2 Proses SL/RN Rotary Kiln DRI

Perencanaan Efisiensi dan Intensitas Energi 2013 - BPPT 55


5.1.3 Electric Arc Furnace

Electric Arc Furnace menghasilkan baja cair dari bahan baku berupa besi spons
(sponge iron), iron scrap dan kapur (lime) untuk mengontrol kandungan fosfor
dan sulfur.Dalam tanur listrik (EAF) campuran tersebut dilebur melalui busur
listrik antara katoda dan satu (untuk DC) atau tiga (untuk AC) anoda. Anoda
dapat ditempatkan tepat di atas tanur atau menjadi terendam di dalamnya.
Elektroda terbuat dari karbon dan terkonsumsi selama operasi. Dalam proses
EAF, kombinasi DRI dan pig iron diproses untuk menghasilkan baja dengan
kandungan karbon antara 0,02 persen sampai 2 persen berat. EAF memerlukan
energi sebesar 2,5 GJ/ton baja.

Sumber: www.hindawi.com

Gambar 5.3 EAF dan Ladle Refining Furnace

5.1.4 Induction Furnace

Selain Electric Arc Furnace, masih banyak industribesi dan baja di Indonesia yang
menggunakan Induction Furnace khususnya yang kapasitas produksinya kecil.
Induction furnace adalah tungku listrik dimana panas diterapkan dengan
pemanasan induksi logam. Keuntungan dari tungku induksi adalah proses

Perencanaan Efisiensi dan Intensitas Energi 2013 - BPPT 56


peleburan hemat energi, bersih dan mudah dikendalikan dibandingkan dengan
cara peleburan logam yang lain. Karena tidak ada busur atau pembakaran
digunakan, suhu material tidak lebih tinggi dari yang dibutuhkan untuk
mencairkan besi. Ini dapat mencegah hilangnya elemen paduan berharga. Salah
satu kelemahan utama dari tungku induksi dalam pengecoran adalah kurangnya
kapasitas penyulingan, bahan muatan harus bersih dari produk oksidasi dan
beberapa komposisi dan elemen paduan yang dikenal mungkin hilang akibat
oksidasi (dan harus kembali ditambahkan ke lelehan). Konsumsi energi spesifik
dari induction furnace berkisar 625 650 kWh/Mt

Gambar 5.4 Induction Furnace

5.1.5 Ladle Refining Furnace

Setelah baja cair diproduksi di EAF kemudian ditaping ke ladle untuk dilakukan
pemurnian (refining). Aktivitas utama di dalam ladle furnace adalah:

menurunkan kandungan oksigen dalam baja dengan menggunakan


aluminium;
homogenisasi temperatur dan komposisi kimia dengan bubbling Argon;
dan

Perencanaan Efisiensi dan Intensitas Energi 2013 - BPPT 57


menambahkan alloy untuk mendapatkan spesifikasi yang diinginkan.

Gambar 5.5 Ladle Furnace dan Vacuum Degassing

RH-degasser diperlukan untuk memenuhi permintaan produk baja high-grade


dari konsumen.

5.1.6 Continuous Casting Machine

Besi cair masuk ke proses continuous casting dimana pada tahap ini besi cair
dipadatkan menjadi bentuk setengah jadi: bloom, billet atau lembaran slab.Baja
slab diperoleh dari proses pencetakan kontinyu tersebut dimana perlindungan
dengan menggunakan gas argon diperlukan antara ladle dan tundish. Ukuran
slab yang dihasilkan mempunyai ketebalan 200mm, lebar 800 2.080mm dan
panjang maksimum 12.000mm.

Baja billet diperoleh dari proses pencetakan kontinyu (continuous casting)


dimana perlindungan dengan menggunakan gas argon diperlukan antara ladle
dan tundish. Ukuran billet yang dihasilkan adalah 110x110mm 120x120mm;

Perencanaan Efisiensi dan Intensitas Energi 2013 - BPPT 58


130x130mm dan panjang maksimum mencapai 12.000 mm. Konsumsi energi
untuk proses continuous casting adalah berkisar 0,1 GJ/ton.

Gambar 5.6 Continuous Casting Billet

Instalasi Slab Baja (Slab Steel Plant) yang dimiliki Krakaktau Steel memiliki
kapasitas produksi sebesar 1.800.000 ton per tahun yang terbagi menjadi dua
unit pabrik:

SSP I : 1.000.000 ton


SSP II : 800.000 ton

Sedangkan untuk billet Baja (Billet Steel Plant), kapasitas produksi yang dimiliki
Krakatau Steel sebesar 675.000 ton per tahun.

Perencanaan Efisiensi dan Intensitas Energi 2013 - BPPT 59


5.1.7 Rolling and Finishing

Rolling dan finishing adalah proses mengubah bentuk setengah jadi menjadi
produk baja jadi, yang akan digunakan oleh end user secara langsung atau untuk
membuat produk lanjut lainnya. Sedangkan proses finishing dapat memberikan
karakteristik produk yang penting yang meliputi: bentuk akhir, permukaan akhir,
kekuatan, kekerasan dan fleksibilitas, dan ketahanan korosi. Penelitian terkait
teknologi finishing yang saat ini berfokus pada peningkatan kualitas produk,
mengurangi biaya produksi dan mengurangi polusi.

5.1.7.1 Rolling and Forming

Rolling dan forming baja setengah jadi (slab, billet atau mekar) adalah
membentuk mekanik baja untuk mencapai bentuk dan sifat mekanik yang
diinginkan.

Proses rolling dan forming dapat mencakup rolling panas, rolling dingin, forming
atau forging. Dalam rolling panas baja strip, misalnya, lempeng baja dipanaskan
sampai lebih dari 1.000 oC kemudian melewati beberapa set roller. Tekanan
tinggi akan mengurangi ketebalan pelat baja sambil meningkatkan lebar dan
panjangnya. Setelah rolling panas, baja mungkin perlu dilakukan rolling dingin
pada suhu ambien untuk mengurangi ketebalan, meningkatkan kekuatan
(melalui pengerjaan dingin), dan memperbaiki permukaan. Dalam membentuk
batang, tabung, balok dan H beam dapat diproduksi dengan melewatkan baja
panas melalui rol berbentuk khusus untuk menghasilkan bentuk akhir yang
diinginkan. Dalam penempaan, baja cor dipukul dengan palu atau dye-pressed.

Pabrik Baja Lembaran Panas (Hot Strip Mill) yang ada di Krakatau Steel
mempunyai kapasitas produksi sebesar 2.000.000 ton per tahun.Energi yang
dikonsumsi pada fasilitas ini umumnya berkisar 1,8 GJ/ton. Konfigurasi fasilitas
produksi pada pabrik ini terdiri dari:

Reheating Furnace
Sizing Press

Perencanaan Efisiensi dan Intensitas Energi 2013 - BPPT 60


Roughing Mill
Finishing Mill
Laminar Cooling
Down Coiler
Shearing Line
Hot Skin Pass Mill

Pabrik Baja Lembaran Dingin terdiri dari unit-unit produksi (Line) sebagai berikut:

Continuous Pickling Line


Tandem Cold Mill
Electrolytic Cleaning Line
Batch Annealing Furnace
Continuous Annealing Line
Temper Mill
Finishing Line

Pabrik Baja Lembaran Dingin (Cold Rolling Mill) di Krakatau Steel memiliki
kapasitas produksi sebesar 650.000 ton per tahun. Intensitas energi instalasi ini
umumnya berkisar 0,4 GJ/ton.

Selain hot rolling dan cold rolling, Krakatau Steel mempunyai fasilitas pabrik baja
batang kawat (Wire Rod Mill). Saat ini fasilitas produksi yang dimiliki oleh pabrik
Batang Kawat adalah:

Reheating Furnace
Pre-roughing Mill
Roughing Mill
Finishing Mill
Cooling Zone
Down Coiler

Perencanaan Efisiensi dan Intensitas Energi 2013 - BPPT 61


Pabrik Batang Kawat (Wire Rod Mill) memiliki kapasitas produksi sebesar 450.000
ton per tahun.

Sumber: www.ssab.com

Gambar 5.7 Hot Rolling Mill

5.1.7.2 Finishing

Finishing baja dilakukan untuk memenuhi spesifikasi fisik dan visual. Proses
kerjanya meliputi heat treatment, quenching, pickling dan coating. Heat
treatment bertujuan untuk dapat memberikan berbagai kualitas atas baja
dengan mengubah struktur kristalnya. Perlakuan panas ini sering dilakukan
setelah proses rolling dengan tujuan untuk mengurangi ketegangan pada
material akibat proses pengerolan. Quenching bertujuan meningkatkan
kekerasan baja dan biasanya sering dikombinasikan dengan tempering untuk
mengurangi kerapuhan. Pickling merupakan chemical treatment, di mana baja
gulungan dibersihkan dalam penangas asam untuk menghilangkan kotoran, noda
atau kerak sebelum dilapis (coating). Dalam coating, gulungan baja lembaran
dingin dilapisi anti korosi dan untuk menghasilkan permukaan dekoratif.
Konsumsi energi untuk finishing berkisar 1,1 GJ/ton.

Perencanaan Efisiensi dan Intensitas Energi 2013 - BPPT 62


Sumber: www.ssab.com

Gambar 5.8 Cold Rolling dan Finishing

5.2 Potensi Penerapan Teknologi hemat energi di Industri Besi dan Baja

Beberapa teknologi hemat energi yang layak diterapkan di Industri Besi dan Baja
antara lain:

5.2.1 Zero reformer

Bahan baku besi yang digunakan di proses peleburan baja adalah besi spons yang
diperoleh salah satunya melalui proses reduksi pelet-pelet biji besi (Fe2O3)
menjadi Direct Reduction Iron (DRI). Selama ini teknologi yang digunakan untuk
proses reduksi biji besi tersebut berbasis gas alam dengan menggunakan proses
HYL, di mana proses reduksi dilakukan di dalam tungku HYL Furnace yang berupa
moving bed shaft reaktor yang beroperasi pada tekanan yang relatif tinggi di
atas12 bar. Di dalam tungku tersebut besi oksida (Fe2O3) direduksimenggunakan
gas H2 yang dialirkan secara counter flow.Gas H2sendiri dihasilkan dari proses
steam reforming gas alam (CH4) di dalam reaktor reformer. Di sini energi yang
dibutuhkan sangat besar, karena proses steam reformer adalah proses

Perencanaan Efisiensi dan Intensitas Energi 2013 - BPPT 63


endotherm yang membutuhkan pemanasan dari hasil pembakaran gas alam,
selain itu setelah proses reformer dilakukan quenching untuk membersihkan
kotoran dan impurities yang dihasilkan setelah proses. Sehingga secara
keseluruhan kebutuhan gas alam mencapai 3,3 Gkal/ton-DRI

(a) Proses HYL 3

(b) Proses Zero Reformer

Gambar 5.9 Blok Diagram Proses DRI (a) HYL3 dan (b) Proses Zero Reformer

Perencanaan Efisiensi dan Intensitas Energi 2013 - BPPT 64


Teknologi zero reformer menghilangkan proses steam reformer dan memasukkan
langsung natural gas yang sudah melewati proses humidifikasi (penambahan
H2O) ke dalam Gas Heater sebelum masuk ke dalam reaktor HYL (Gambar 5.1).
Dengan demikian tidak diperlukan proses quenching, karena produk proses
reform yang panas dapat langsung diumpan ke dalam reaktor HYL untuk
mereduksi biji besi dan menghasilkan DRI. Dengan proses demikian, konsumsi
gas alam dapat ditekan hingga menjadi 2,45 Gkal/ton-DRI.

5.2.2 Coal Based HYL Process

Teknologi ini menggunakan Reaktor HYL berikut sistem pendukung dan prinsip-
prinsip operasi yang sama seperti proses HYL berbasis gas,akan tetapi biji besi
diumpankan dari atas dan direduksi menggunakan gas H2 dan CO hasil gasifikasi
batu bara. Gas reduktor yang diproduksi dalam gasifier batubara sarat debu dan
mengandung CO2, H2O dan zat-zat pengotor lainnya. Gas tersebut kemudian
dibersihkan dan didinginkan dalam serangkaian cyclone untuk memisahkan H2O,
CO2 dan Sulfur. Dengantidak menggunakan gas alam untuk karburisasi dari DRI,
produk besi cair memiliki kandungan karbon yang lebih rendah sekitar 0,4%.
Reaktor HYL dirancang untuk bekerja dengan gas reduktor dengan kandungan H2
tinggi, sedangkan gas dari gasifier mengandung sejumlah besar CO,
sehinggadiperlukan reaktor tambahan(shift reactor) untuk mengubah CO
menjadi H2 dengan reaksi CO + H2O ---> CO2 + H2. Reaktor inidipasang sebelum
sistem CO2removal. Suhu dan tekanan gas ini kemudian diatur sebelum injeksi ke
dalam reaktor.
Mirip dengan proses HYL berbasis gas, tungku gas atas didinginkan dan
dibersihkan dan CO2 yang akan dihapus dan kemudian didaur ulang ke dalam
mengurangi sirkuit gas.
Energi, Biaya, Lingkungan dan keuntungan lain:
Tidak perlu untuk batubara kokas dan coke
Tidak perlu untuk gas alam
Penggunaan batubara kualitas rendah

Perencanaan Efisiensi dan Intensitas Energi 2013 - BPPT 65


Produksi panas DRI yang dapat dibebankan pada EAF dengan
penghematan energi yang signifikan
Manfaat lingkungan dibandingkan dengan Ledakan Furnace rute

Gambar 5.10 Blok diagram Coal Based HYL Process

5.2.3 Blast Furnace (Tanur Baja)

Teknologi Blast Furnace (Tanur Baja), sebenarnya bukan teknologi baru. Berbeda
dengan rute peleburan baja berbasis Gas Alam sebagaimana digunakan di
Krakatau Steel selama ini, teknologi ini menggunakan bahan bakar batubara
dalam bentuk kokas di mana di dalam tungku blast furnace, kokas tersebut
sekaligus digunakan sebagai reduktor untuk bijih besi menjadi besi cair yang
untuk selanjutnya diolah di Balance Oxygen Furnace (BOF) untuk dimurnikan
menjadi baja cair yang siap untuk dicetak melalui Continous Casting Machine
(CCM).

Perencanaan Efisiensi dan Intensitas Energi 2013 - BPPT 66


1: Iron ore + Calcareous sinter 10: Mixers
2: coke 11: Tap for pig iron
3: conveyor belt 12: Dust cyclon for removing dust from
4: feeding opening, with a valve that exhaust gasses before burning them in 13
prevents direct contact with the internal 13: air heater
parts of the furnace 14: Smoke outlet (can be redirected to
5: Layer of coke carbon capture & storage (CCS) tank)
6: Layers of sinter, iron oxide pellets, ore, 15: feed air for Cowper air heaters
7: Hot air (around 1200C) 16: Powdered coal
8: Slag 17: cokes oven
9: Liquid pig iron 18: cokes bin
19: pipes for blast furnace gas

(sumber: Wikipedia)

Gambar 5.11 Teknologi Blast Furnace

Secara keseluruhan proses didalam tanur baja adalah adalah untuk


mengkonversi oksida besi menjadi besi cair yang disebut "logam panas" (hot
metal). Blast furnace memiliki ukuran yang sangat besar, terbuat dari plat baja
yang dilapisi dengan bata tahan api, di mana bijih besi, kokas dan batu kapur
diumpan dari atas tungku, dan dipanaskan melalui udara panas yang ditiupkan
melalui bagian bawah tanur. Bahan baku tanur tersebut membutuhkan 6 sampai
8 jam untuk turun ke bagian bawah tungku sembari melewati serangkaian reaksi
di dalamnya, sampai akhirnya mereka menjadi produk akhir berupa terak (slag)
cair dan besi cair. Produk-produk cair tersebut dikeluarkan dari bawah tungku

Perencanaan Efisiensi dan Intensitas Energi 2013 - BPPT 67


secara periodik. Panas udara yang ditiup ke bagian bawah tungku naik ke atas
dalam 6 sampai 8 detik setelah melalui berbagai reaksi kimia. Begitu tanur
dinyalakan, tungku ini akan terus beroperasi hingga 4-10 tahun dengan waktu
berhenti yang sangat singkat untuk melakukan pemeliharaan rutin.
Tanur-tanur baja modern dilengkapi dengan berbagai modifikasi untuk
meningkatkan efisiensi proses dan menghemat penggunaan energinya. Di
antaranya dengan menggunakan expert system untuk sistem kendalinya,
memanfaatkan pulverized coal untuk pengganti kokas, pemanfaatan top gas
recovery turbin dan sebagainya.
Proses peleburan menggunakan tanur baja memiliki banyak kelebihan
dibandingkan dengan teknologi berbasis gas alam, khususnya untuk pabrik baja
terintegrasi dengan skala besar. Dilihat dari konsumsi energinya, untuk proses
produksi baja terintegrasi mulai dari material preparation, iron making dan steel
making, proses menggunakan blast furnace dan basic oxygen furnace
mengkonsumsi energi sekitar 16,5 GJ/ton-steel (LBNL, 2010). Angka tersebut
lebih hemat energi dibandingkan dengan proses menggunakan Direct Reduction
dan ElectricArc Furnace yang mengkonsumsi energisekitar 18,6 GJ/ton-steel.
Beberapa kelebihan lain menggunakan hot metal produk dari blast furnace
diantaranya adalah sebagai berikut (Ketut, 2013):
a. Menurunkan konsumsi listrik sebesar 170 kWh/t-baja cair
b. Menurunkan konsumsi elektroda sebesar 1.3 kg/t-baja cair
c. Meningkatkan produksi slab sebesar 475 rb ton per tahun
d. Memanfaatkan bahan baku lokal seperti biji besi dan batubara yang
memberikan jaminan ketersediaan dan harga yang lebih baik
e. Meningkatkan fleksibilitas pemakaian energi dan bahan baku yang akan
mengurangi ketergantungan terhadap gas alam dan pelet biji besi untuk
kualitas DR.

5.2.4 Blast Furnace Gas Recovery

Gas-gas produk samping keluaran dari Blast Furnace atau yang disebut dengan
Blast Furnace Gas (BFG) rata-rata masih memiliki nilai kalor sekitar 750kkal/NM3.

Perencanaan Efisiensi dan Intensitas Energi 2013 - BPPT 68


Gas-gas tersebut dapat dimanfaatkan untuk proses pembakaran di dalam pabrik
untuk mengurangi penggunaan bahan bakar utama, misalnya sebagai bahan
bakar pembangkit listrik. Biasanya gas hasil daur ulang dari Blast Furnace ini
dicampur dengan gas-gas hasil daur ulang proses lainnya, seperti Coke Oven Gas
(COG), Basic Oxygen Furnace Gas, untuk ditingkatkan nilaik kalornya sebelum
digunakan untuk proses pembakaran. Sebagai ilustrasi, pemanfaatan BFG dan
COG sebagai bahan bakar untuk pembangkit listrik di pabrik KS saja dapat
menurunkan emisi CO2 sampai dengan 132 ribu t-CO2/thn.

5.2.5 Hot DRI dan/atau HBI Charging untuk EAF

Penggunaan Direct Reduction Iron (DRI) dan/atau Hot Bricquetting Iron (HBI)
sebagai bahan baku untuk proses peleburan baja di Electric Arc Furnace (EAF)
beberapa tahun terakhir meningkat secara substansial, dengan produksi global
sekarang lebih dari 65 juta ton per tahun. Produksi DRI dunia,mayoritas diproses
menggunakan unit reduksi berbasis gas alam, dan hanya sebagian kecil
diproduksi menggunakan proses berbasis batu bara.Dalam beberapa tahun
terakhir sebagian besar unit produksi DRI yang digunakan untuk proses
sendiri,dimodifikasi menjadi pengisian Hot DRI/HBI ke EAF pada suhu di kisaran
600C. Dengan demikian dapat menghemat proses pemanasan pada proses
selanjutnya di EAF. DRI yang panas dapat diumpankan langsung ke EAF dengan
menggunakan salah satu dari 4 metode, yaitu: (1) transportasi Pneumatic, (2)
transportasi dengan conveyor elektro-mekanik, (3) memanfaatkan gravitasi dari
posisi reaktor dan (4) tansportasi dalam botol terisolasi.
Pengisian DRI panas pada suhu sampai 600C dapat mengurangi konsumsi energi
untuk peleburan baja sekitar 150 kWh/t baja mentah (>0,5 GJ/ton). Keuntungan
lain yang didapat melalui proses ini, di antaranya: peningkatan produktivitas,
peningkatan terak berbusa dan peningkatan kadar karbon dalam umpan

Perencanaan Efisiensi dan Intensitas Energi 2013 - BPPT 69


Gambar 5.12 Blok Diagram Hot Conveyor Transport dari Hot DRI/HBI

5.2.6 Oxy-fuel Burners/Lancing

Oxy-fuel Burner/lancing dapat diinstal dalam EAFs untuk mengurangi konsumsi


listrik dengan menggantikan listrik dengan oksigen dan bahan bakar hidrokarbon.
Teknologi ini dapat mengurangi konsumsi energi karena:
Mengurangi beban panas, yang menyimpan 2-3 kwh/ton/menit holding time
Peningkatan perpindahan panas selama periode pemurnian
meningkatkan efisiensi penggunaan oksigen dan karbon saat disuntikkan
Sekalipun demikian diperlukan perawatan yang benar-benar teliti untuk
menggunakan oxy-fuel burner secara benar. Jika tidak hati-hati, total konsumsi
energi dan gas rumah kaca sebaliknya justru akan meningkat.
Keuntungan yang diperoleh dari teknologi ini adalah:

Perencanaan Efisiensi dan Intensitas Energi 2013 - BPPT 70


Penghematan listrik sebesar 0,14 GJ/ton baja mentah, dengan penghematan
yang bervariasi antara 2,5-4,4 kWh/Nm3-injeksi-oksigen, dimana rata-rata
konsumsi oksigen sebesar 18 Nm3/ton
Injeksi gas alam sebesar 10 scf/kWh (0.3m3/kWh) dengan tingkat injeksi
umum 18 Nm3/ton menghasilkan penghematan 20-40 kWh/t-baja cair.
Biaya investasi (Capital Cost)untuk melakukan retrofit sekitar $4,80 per ton
baja mentah untuk EAF dengan kapasitas produk 110 ton.
Peningkatan distribusi panas menyebabkan berkurangnya waktu tap-to-tap
sekitar 6%, yang menghasilkan penghematan biaya tahunan sebesar
$4.0/ton.
Pengurangan kandungan nitrogen dalam baja, yang mengarah ke
peningkatan kualitas produk

5.2.7 Scrap Preheating

Scrap preheating adalah teknologi yang dapat mengurangi konsumsi daya EAF
melalui pemanfaatan panas buang dari tungku untuk memanaskan scrap yang
diumpan. Panas yang keluar dari EAF bersama gas buang akan diserap scrap
preheater untuk memanaskan scrap sehingga efisiensi energi akan meningkat.
Diagram sederhana dari proses Scrap Preheating dapat dilihat pada gambar
berikut. Dengan memanfaatkan teknologi ini dapat diheemat penggunaan
energi sekitar 0.016 to 0.2 GJ/t-steel. Keuntungan penggunaan scrap preheater
selain meningkatkan efisiensi energi antara lain adalah jumlah debu yang keluar
dari EAF berkurang

Perencanaan Efisiensi dan Intensitas Energi 2013 - BPPT 71


Gambar 5.13 Teknologi Scrap Preheating

Sistem preheating yang lama memiliki berbagai masalah, misalnya, emisi, biaya
penanganan yang tinggi, dan heat recovery yang relatif rendah. Sistem modern
telah mengurangi masalah ini dan menjadikan proses sangat efisien. Berbagai
sistem telah dikembangkan dan digunakan di berbagai tempat di AS dan Eropa,
yaitu, Consteel tunnel-type preheater, Fuchs Finger Shaft, dan Fuchs Shaft Twin.

5.2.8 Regenerative Burner untuk Preheating Furnace

RBCS atau Regenerative Burners Combustion System adalah teknlogi pembakar


(burner) yang mampu mendaur ulang panas dari udara pembakaran untuk
memanaskan udara pembakaran hingga mendekati temperatur proses/tungku.
Teknologi ini merupakan pengembangan dari teknologi pemanfaatan panas
buang yang mengintegrasikan antara penukar kalor regenerasi dengan burner,
sehingga panas buang dari tungku dapat dimanfaatkan secara lebih efektif.

Perencanaan Efisiensi dan Intensitas Energi 2013 - BPPT 72


Gambar 5.14 Prinsip Kerja Regenerative Burner

Setidaknya ada dua kelebihan dari teknologi ini dibandingkan teknologi


pembakaran konvensional, yaitu efektifitas daur ulang panas yang tinggi karena
udara panas dari gas buang langsung dilewatkan kepada media penukar kalor
yang berupa keramik dengan luas permukaan yang besar, sehingga udara
pembakaran dapat dipanaskan sampai temperatur yang relatif tinggi. Selain itu,
karena sistem pembakarnya terintegrasi dengan penukar kalor regenerasi maka
udara pembakaran yang tinggi dapat langsung digunakan untuk proses
pembakaran pada burner, tanpa melalui saluran terpisah. Di sisi lain, karena
panas buang lagsung dilewatkan melalui media penukar kalor, maka suhu di
dalam tungku dapat dijaga pada temperatur tinggi yang pada akhirnya dapat
menurunkan penggunaan bahan bakar untuk proses pembakaran di dalam
tungku.

Perencanaan Efisiensi dan Intensitas Energi 2013 - BPPT 73


Gambar 5.15 Contoh aplikasi Regenerative Burner di reheating furnace

Teknologi ini mula-mula dikembangkan di Jepang dan saat ini sudah terpasang
pada lebih dari 540 tungku di dunia.
Penghematan energi yang dapat dicapai berkisar antara 0,18-0,21 GJ/t-baja,
dengan biaya retrofit mencapai 90 rb USD/tiga pasang burner untuk kapasitas
tungku 110 t/h. Selain itu keuntungan lain yang didapat dengan menggunakan
teknologi ini adalah pengurangan NOx hingga 50%, peningkatan kualitas
distribusi temperatur tungku sehingga meningkatkan produktifitas tungku dan
juga penurunan kandungan scale/kerak pada produk.

5.3 Model Simulasi Penggunaan Energi di Industri Baja tahun 2010 2030

Model disusun dengan berbagai skenario instrumen pengendalian penggunaan


energi, yang difokuskan pada penerapan teknologi hemat energi di sektorindustri
besi dan baja. Untuk menggambarkan besar potensi penghematan energi di
industri besi dan baja, dua skenario dibuat, skenario Base Case dan Konservasi.
Penjelasan umum dari kedua skenario adalah sebagai berikut:

Skenario Base Case hanya mempertimbangkan kondisi industri besi dan


baja saat ini tanpa melihat adanya kemungkinan perubahan kebijakan

Perencanaan Efisiensi dan Intensitas Energi 2013 - BPPT 74


energi yang mendasar pada sektor tersebut. Skenario ini merupakan
dasar untuk skenario Konservasi dalam melakukan analisis kebutuhan
energi dan emisi CO2 yang terkait penggunaan energi terhadap
penerapan beberapa teknologi hemat energi di industribesi dan baja
Indonesia.

Skenario Konservasi merupakan skenario dimana teknologi hemat energi


yang sudah teridentifikasi dan mempunyai peluang besar untuk
diterapkan di industribesi dan baja Indonesia dimasukkan pada model.
Semua asumsi makroekonomi pada skenario ini tidak berbeda dengan
skenario Base Case. Yang membedakan hanya adanya pemanfaatan
teknologi hemat energi yang memberikan intensitas energi lebih rendah.
Selain itu, tingkat penetrasi dari teknologi hemat energi tersebut
diasumsikan cukup konservatif, hanya sekitar 50% dari seluruh
industribesi dan baja di Indonesia.

Penyusunan model menggunakan piranti lunak LEAP. Dalam model LEAP, aliran
energi industri besi dan baja Indonesia saat ini dan dimasa mendatang yang
merupakan implementasi dari kebijakan nasional energi di sektorindustri yang
berjalan maupun yang sudah direncanakan digambarkan dalam suatu Sistem
Energi Referensi atau Reference Energi System (RES)

Secara umum penggunaan energi di industri besi dan baja di Indonesia bisa
dibagi menjadi tiga bagian,

Heating process, sebesar 91,8%


Cooling process, sebesar 0,6%
Motor penggerak, sebesar 7,6%

Terlihat bahwa sebagian besar energi yang dikonsumsi digunakan untuk proses
heating atau termal yang dalam hal ini adalah proses pembuatan atau peleburan
besi dan baja (lihatGambar 5.16)

Perencanaan Efisiensi dan Intensitas Energi 2013 - BPPT 75


Gambar 5.16 Distribusi Pemanfaatan Energi Industri Besi dan Baja

Dengan menggunakan data total output dan konsumsi energi di sektorindustri


besi dan baja tahun 2010, diperoleh intensitas energi untuk masing-masing
proses heating, cooling dan motor penggerak pada sektorindustri besi dan baja
sebagai berikut,

Heating process, sebesar 4,07 ribu SBM per milyar rupiah


Cooling process, sebesar 2,95 ribu KWh per milyar rupiah
Motor penggerak, sebesar 89,26 ribu KWh per milyar rupiah

Besaran aktivitas energi yang digunakan pada model ini adalah nilai output dari
industri besi dan baja. Proyeksi nilai output industri besi dan baja hingga tahun
2030 ditampilkan pada Gambar .

Perencanaan Efisiensi dan Intensitas Energi 2013 - BPPT 76


Gambar 5.17 Proyeksi Output Industri Besi dan Baja

5.4 Skenario Konservasi

Di dalam skenario Konservasi, beberapa teknologi hemat energi yang


mempunyai peluang untuk diterapkan di industri besi dan baja Indonesia dicoba
untuk diidentifikasi. Dari hasil kajian dan penelaahan data-data seperti besar
potensi penghematan, biaya implementasi, tingkat komersialisasi, technology
readiness level dan potensi reduksi CO2, diperoleh beberapa teknologi yang
mempunyai potensi besar untuk diimplementasikan di Indonesia baik dalam
jangka pendek maupun jangka panjang. Teknologi tersebut adalah

Teknologi Pembuatan Besi


o Zero reformer
o COG & BFG Utilisation
Teknologi Pembuatan Baja
o Hot Metal Charging
o OXY Fuel burner
o Neuro Furnace Control

Perencanaan Efisiensi dan Intensitas Energi 2013 - BPPT 77


o EAF Waste Boiler
o Scrap preheating
Teknologi Pengerolan (Rolling)
o Slab hot charging
o Billet hot charging
o regeneratif burner
o RF Waste heat utilisation

Berdasarkan biaya implementasi, tingkat komersialisasi dan technology readiness


level bisa dibuat roadmap penetrasi dari teknologi tersebut dari jangka pendek
hingga panjang.

Tabel 5.1Roadmap teknologi penghematan energi di industribesi dan baja

Tahun Teknologi

2014 2030 Scrap preheating, Slab hot charging,


Billet hot charging, regeneratif burner,
RF Waste heat utilization.

2019 2030 EAF Waste Boiler, OXY Fuel burner,


Neuro Furnace Control

2024 2030 Zero reformer, COG & BFG Utilisation,


Hot Metal Charging

5.5 Proyeksi Penghematan Energi


Dari hasil kajian yang menerapkan roadmap tersebut, diperoleh hasil potensi
penghematan energi pada industri besi dan baja hingga tahun 2030 yang
diberikan oleh Gambar 5.18. Besar potensi penghematan energi di industri besi
dan bajapada tahun 2030 bisa mencapai 31% atau sebesar 47,15 juta SBM.
Mesin-mesin peleburanpada industri besi dan bajadi Indonesia relatif sudah tua

Perencanaan Efisiensi dan Intensitas Energi 2013 - BPPT 78


baik dari sisi teknologinya maupun umur ekonomisnya sehingga peluang
penghematannya relative cukup besar dibandingkan dengan jenis industri
lainnya.

Total penghematan energi non listrik (BBM, batubara dan gas bumi) di industri
besi dan baja dari tahun 2014 hingga 2030 adalah sebesar 151,4 juta SBM. Nilai
ini setara dengan 2 bulan lifting minyak Indonesia yang berkisar 0,9 juta SBM per
hari.

Sedangkan penghematan listrik selama periode yang sama adalah sebesar 198,4
ribu GWh. Nilai ini setara dengan 28 GW PLTU Batubara dengan factor kesiapan
80%.

Gambar 5.18 Proyeksi Penghematan Energi Industri Besi dan baja

Potensi reduksi CO2 dari penerapan teknologi hemat energi di sektorindustribesi


dan baja pada tahun 2030 bisa mencapai 13 juta ton CO 2, atau setara dengan
24,2% dari skenario Base Case.

Perencanaan Efisiensi dan Intensitas Energi 2013 - BPPT 79


Gambar 5.19 Proyeksi Reduksi Emisi CO2 Industri Besi dan baja

Perencanaan Efisiensi dan Intensitas Energi 2013 - BPPT 80


BAB 6 POTENSI PENGHEMATAN ENERGI HINGGA
TAHUN 2030

Industri besi dan baja merupakan industri yang sangat strategis bagi Indonesia
yang sedang membangun. Kebutuhan besi dan baja Indonesia diperkirakan
melonjak terus seiring dengan semakin gencarnya pembangunan terutama di
sektor konstruksi maupun industri manufaktur lainnya.

Dari hasil kajian diperoleh bahwa penghematan energi yang bisa diperoleh dari
sektor industri besi dan baja dengan menerapkan teknologi hemat
energisepertiblast furnace, basic oxygen furnace, Zero reformer, COG dan BFG
Utilisation, Hot Metal Charging, Oxy fuel burner, Neuro Furnace Control, EAF
Waste Boiler, Scrap preheating, Slab hot charging, Billet hot charging, regeneratif
burner, RF Waste heat utilisationakan diperoleh penghematan energi pada tahun
2030 sebesar 31% atau setara dengan 47,5 juta Setara Barel Minyak (SBM).
Penghematan total dari tahun 2014 hingga 2030 yang bisa diperoleh adalah
sebesar 1.595 juta SBM.

Penggunaan batubara di industri besi dan baja akan semakin tinggi dengan
diterapkannya teknologi blast furnace dan basic oxygen furnace. Namun
penggunaan batubara juga akan berdampak pada lingkungan. Disisi lain
penggunaan gas bumi semakin berkurang akibat semakin mahalnya harga gas
bumi. Meskipun demikian, dengan semakin tingginya efisiensi pemanfaatan
energi di industri besi dan baja, maka emisi gas rumah kaca yang diakibatkan
pembakaran energi fosil akan mengalami penururunan. Potensi reduksi emisi
CO2 sebagai akibat dari penerapan teknologi hemat energi di industri besi dan
baja adalah sebesar 13 juta ton CO2 pada tahun 2030, atau sekitar 24% lebih
rendah dari emisi CO2 pada skenario base case.

Perencanaan Efisiensi dan Intensitas Energi 2013 - BPPT 81


Perencanaan Efisiensi dan Intensitas Energi 2013 - BPPT 82

Anda mungkin juga menyukai