1
BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI
BALAI BESAR TEKNOLOGI ENERGI
Kawasan PUSPIPTEK, Setu 15314
Tangerang Selatan BANTEN
Telp. +62-21-7560550
Faks. +62-21-7560904
PENYUSUN
Ir. Hari Yurismono MEng.Sc
Ir. Joko Santosa, M.Sc
Dr. Edi Hilmawan
Dr. Ir. Hariyanto
Euis Djubaedah, MT
Ir. Toorsilo Hartadi MSc.EE
Ir. Sudirman Palaloi MSc
Ir. Nur Rachman Iskandar
Ir. Yasmin
EDITOR
Ir. Toorsilo Hartadi MSc.EE
Dengan mengucap puji syukur ke hadirat Allah SWT, telah dapat disusun dan
diterbitkan Buku Perencanaan Efisiensi dan Elastisitas Energi 2013 yang
memuat roadmap teknologi serta peluang untuk melakukan upaya peningkatan
efisiensi energi dan peluang penghematan energi terutama pada sektor industri
besi dan baja di Indonesia hingga tahun 2030. Buku ini sebagai tindak lanjut dari
buku sebelumnya yang berjudul Perencanaan Efisiensi dan Elastisitas Energi
2012 mengenai peluang efisiensi energi dan penghemantan energi di Indonesia
dengan menitikberatkan pada sektor rumah tangga dan sektor industri
khususnya industri tekstil.
Pada tahun ini Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) kembali
melakukan suatu kajian perencanaan teknologi efisiensi energi yang lebih fokus
untuk industri besi dan baja. Tujuan kajian ini adalah untuk mengembangkan
suatu roadmap penerapan teknologi hemat energi pada sektor Industri besi dan
baja dengan memperhitungkan kondisi penggunaan energi saat ini, tingkat
penetrasi teknologi, tingkat kesiapan komersialisasi atau ketersediaan teknologi,
ketersediaan sumberdaya energi, biaya implementasi, serta kebijakan energi
yang ada.
Ucapan terima kasih serta penghargaan yang tinggi kepada Tim Penyusun dan
kepada semua pihak yang telah berpartisipasi memberikan data dan informasi
dalam pembuatan buku ini. Dengan segala keterbatasan, kami menyadari bahwa
buku ini masih belum sempurna. Kami mengharapkan sumbang saran yang dapat
memberikan masukan bagi perbaikan dan penyempurnaan pada penerbitan
buku selanjutnya.
Kepala
Buku ini memuat antara lain informasi mengenai kondisi saat ini dari penerapan
teknologi hemat energi yang dapat digunakan pada sektor industri baja.
Teknologi hemat energi yang baru yang terkait dengan sistem tersebut juga akan
dikaji secara lebih dalam. Kajian mencakup prinsip teknologi, potensi dan
dampak penghematan energi, status, keekonomian serta tingkat penetrasi baik
untuk kondisi saat ini maupun rencana penerapannya kedepan (roadmap) dari
teknologi hemat energi yang sudah maupun yang belum diterapkan. Hasil dari
kajian ini diharapkan bisa menjadi masukan bagi pembuat kebijakan mengenai
konservasi dan efisiensi energi khususnya tentang rencana aksi penerapan
teknologi hemat energi pada industri besi dan baja di Indonesia dalam jangka
panjang hingga tahun 2030.
Skenario Base Case hanya mempertimbangkan kondisi industri besi dan baja saat
ini tanpa melihat adanya kemungkinan perubahan kebijakan energi yang
mendasar pada sektor tersebut. Skenario Base Case ini merupakan dasar untuk
skenario Konservasi dalam melakukan analisis kebutuhan energi dan emisi CO2
yang terkait penggunaan energi terhadap penerapan beberapa teknologi hemat
energi di industri besi dan baja Indonesia. Skenario Konservasi merupakan
skenario dimana teknologi hemat energi yang sudah teridentifikasi dan
mempunyai peluang besar untuk diterapkan di industri besi dan baja Indonesia
Dari hasil kajian tersebut, diperoleh proyeksi penghematan energi dan hasil
potensi penghematan energi pada industri besi dan baja hingga tahun 2030 yang
bisa mencapai 31% atau sebesar 47,15 juta SBM. Peluang penghematan cukup
besar dibandingkan dengan jenis industri lainnya karena kondisi peralatan dan
mesin-mesin peleburan pada industri besi dan baja di Indonesia relatif sudah tua
baik dari sisi teknologinya maupun umur ekonomisnya. Total penghematan
energi non listrik (BBM, batubara dan gas bumi) di industri besi dan baja dari
tahun 2014 hingga 2030 adalah sebesar 151,4 juta SBM. Nilai ini setara dengan 2
(dua) bulan lifting minyak Indonesia yang berkisar 0,9 juta SBM per
hari.Sedangkan penghematan listrik selama periode dari tahun 2014 sampai
2030 adalah sebesar 198,4 ribu GWh. Nilai ini setara dengan 28 GW PLTU
Batubara dengan faktor kesiapan 80%.
KATA PENGANTAR................................................................................................. 4
RINGKASAN ........................................................................................................... 6
DAFTAR ISI............................................................................................................. 8
DAFTAR TABEL..................................................................................................... 11
DAFTAR GAMBAR................................................................................................ 11
BAB 1 PENDAHULUAN .................................................................................... 13
1.1 Latar Belakang................................................................................................... 13
1.2 Kondisi Makro Ekonomi .................................................................................... 16
1.3 Penyediaan dan Konsumsi Energi ..................................................................... 17
1.4 Intensitas dan Elastisitas Energi Proyeksi ......................................................... 18
1.5 Proyeksi Kebutuhan Energi ............................................................................... 20
BAB 2 OVERVIEW INDUSTRI BESI DAN BAJA................................................... 24
2.1 Produksi Besi dan baja ..................................................................................... 24
2.2 Konsumsi Produk Besi dan baja Nasional ......................................................... 27
2.3 Ekspor dan Impor Produk Besi dan baja Nasional ............................................ 29
2.4 Pohon industri Besi dan Baja Nasional ............................................................. 30
2.4.1 Industri Hulu.............................................................................................. 30
5.2 Potensi Penerapan Teknologi hemat energi di Industri Besi dan Baja ............. 63
5.2.1 Zero reformer ............................................................................................ 63
5.3 Model Simulasi Penggunaan Energi di Industri Baja tahun 2010 2030 ......... 74
5.4 Skenario Konservasi .......................................................................................... 77
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Perkembangan Nilai dan Pertumbuhan PDB Indonesia............................ 16
Gambar 1.2 Konsumsi Energi Primer Indonesia Menurut Jenis ................................... 17
Gambar 1.3 Pangsa Konsumsi Energi Final Menurut Sektor (Dengan Biomasa).......... 18
Gambar 1.4 Intensitas Energi di Indonesia ................................................................... 19
Gambar 1.5 Elastisitas Energi Indonesia....................................................................... 20
Gambar 1.6 Proyeksi Kebutuhan Energi Final Menurut Sektor.................................... 21
Gambar 2.1 Konsumsi, Produksi dan Impor Baja Nasional (Pefindo, 2011)................. 25
Gambar 2.2 Konsumsi Baja Nasional berdasarkan sektor ............................................ 28
Gambar 2.3 Proyeksi Konsumsi Baja Nasional (BKPM, 2011)....................................... 29
Gambar 2.4 Pohon Industri Baja Nasional (Kemenperin, 2010)................................... 33
Gambar 2.5 Peta Sebaran Pelaku Usaha Industri Besi dan Baja (BKPM, 2011)............ 35
Gambar 3.1 Produksi dan Cadangan Bijih Besi Dunia................................................... 38
Gambar 4.1 Distribusi pemakaian energi di industri baja (Kemenperin 2010). ........... 43
Gambar 4.2 Proses Produksi Besi dan Baja................................................................... 44
Gambar 4.3 Proses Sintering Bijih Besi ......................................................................... 45
Gambar 4.4 Lay out proses peleburan bijih besi di blast furnace ................................ 46
Gambar 4.5 Neraca Energi pada proses industri baja .................................................. 49
Gambar 5.1 Proses HYL III............................................................................................. 54
Gambar 5.2 Proses SL/RN Rotary Kiln DRI .................................................................... 55
Gambar 5.3 EAF dan Ladle Refining Furnace................................................................ 56
Gambar 5.4 Induction Furnace...................................................................................... 57
Gambar 5.5 Ladle Furnace dan Vacuum Degassing...................................................... 58
Gambar 5.6 Continuous Casting Billet .......................................................................... 59
Gambar 5.7 Hot Rolling Mill.......................................................................................... 62
Gambar 5.8 Cold Rolling dan Finishing ......................................................................... 63
Gambar 5.9 Blok Diagram Proses DRI (a) HYL3 dan (b) Proses Zero Reformer............ 64
Gambar 5.10 Blok diagram Coal Based HYL Process................................................... 66
Intensitas energi yang masih tinggi merupakan salah satu permasalahan di sektor
energi nasional yang dihadapi oleh pemerintah dewasa ini. Untuk itu pemerintah
telah mencanangkan target pengurangan intensitas energi sebesar 1% per tahun.
Namun pada praktiknya strategi penurunan intensitas energi belum dilakukan
secara sistematis dan terarah. Khususnya terkait dengan teknologi yang harus
dikembangkan dan diterapkan agar tercapai target penurunan intensitas energi
tersebut.
Penerapan teknologi efisiensi energi di Indonesia hingga saat ini masih belum
seperti yang diharapkan. Meskipun demikian beberapa jenis usaha komersial dan
industri telah melakukan usaha-usaha penghematan energi dan revitalisasi.
Secara nasional hasilnya masih belum cukup untuk meredam laju konsumsi
energi yang cukup tinggi. Dalam buku Outlook Energi Indonesia 2012 disebutkan
bahwa total konsumsi energi final Indonesia pada tahun2010 adalah sebesar
1.012 juta SBM dengan laju pertumbuhan antar tahun 2000 2010 sebesar
3,09% per tahun. Serta konsumsi bahan bakar di industri pada tahun 2010
mencapai 355,76 juta SBM atau 37% dari total konsumsi energi final.
Berdasarkan data tahun 2010 diatas, dengan skenario dasar laju pertumbuhan
PDB rata-rata 7,7% per tahun, maka diperkirakan kebutuhan energi pada tahun
2015 akan mencapai1270 juta SBM dan pada tahun 2030 akan terjadi
peningkatan hingga 4,3 kali lipat kebutuhan energi tahun 2010 atau sekitar 2901
juta SBM. Adapun pangsa konsumsi energi sektor industri juga terus meningkat
dari 37% pada tahun 2010 diperkirakan akan meningkat menjadi 41% pada tahun
2015 dan 43% di tahun 2030.
Meskipun konsumsi energi primer per kapita masih rendah, intensitas energi
primer Indonesia tergolong masih cukup tinggi apabila dibandingkan dengan
Berpijak pada permasalahan tersebut dan sebagai tindak lanjut dari buku
sebelumnya yang berjudul Perencanaan Efisiensi dan Elastisitas Energi 2012,
maka pada tahun ini Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) kembali
melakukan suatu kajian perencanaan teknologi efisiensi energi yang lebih fokus
untuk industri baja.Kajian ini bertujuan untuk mengembangkan suatu roadmap
penerapan teknologi hemat energi pada sektor Industri besi dan baja dengan
memperhitungkan kondisi penggunaan energi saat ini, tingkat penetrasi
teknologi, tingkat kesiapan komersialisasi atau ketersediaan teknologi,
ketersediaan sumberdaya energi, biaya implementasi, serta kebijakan energi
yang ada. Dengan mengembangkan roadmap teknologi efisiensi energi, yang
juga merupakan suatu rencana aksi penerapan teknologi hemat energi, potensi
peluang penghematan energi pada industri khususnya besi dan baja dalam
jangka panjang hingga tahun 2030 bisa diprediksi. Hasil dari simulasi tersebut
kemudian dibandingkan dengan target-target jangka panjang yang sudah
ditetapkan olehpemerintah seperti misalnya penurunan intensitas energi 1% per
tahun hingga tahun 2025 atau penurunan elastisitas energi kurang dari 1 hingga
tahun 2030.
Konsumsi energi primer Indonesia dari tahun ke tahun semakin meningkat, dari
940,04 juta SBM pada tahun 2000 menjadi 1440,22 juta SBM pada 2010 (dengan
biomasa), atau meningkat rata-rata 5,6% per tahun (lihatGambar 1.2).
Konsumsi energi final Indonesia lainnya juga terus mengalami kenaikan seiring
dengan semakin meningkatnya kegiatan ekonomi di semua sektor baik industri,
transportasi, rumah tangga dan komersial. Dengan kenaikan rata-rata per tahun
3,3% (4,5% tanpa biomasa), konsumsi energi final Indonesia pada tahun 2010
mencapai 1.081,4 juta SBM. Bahan bakar minyak masih mendominasi konsumsi
energi final Indonesia hingga tahun 2010 dengan pangsa 33,6% (45,8%, tanpa
biomasa), diikuti oleh biomasa 26,7%, batubara 12,6, gas bumi 10,7%, listrik
8,4%, dan sisanya disumbang oleh LPG, produk BBM lainnya, dan briket.
Hingga saat ini, konsumsi energi primer per kapita di Indonesia sebenarnya
masih tergolong rendah bila dibandingkan dengan negara-negara lainnya
khususnya negara maju dan negara-negara ASEAN seperti Singapura, Malaysia
Intensitas energi (primer) merupakan salah satu indikator untuk melihat apakah
pemanfaatan energi di suatu negara sudah cukup produktif atau belum (boros).
Dari Gambar 1.4terlihat bahwa intensitas energi Indonesia menunjukkan adanya
peningkatan dan penurunan nilai intensitas dari tahun 2000 hingga 2004 dan
kemudian terus terjadi penurunan dan kembali naik pada tahun 2010. Hal
tersebut mengindikasikan pemanfaatan energi di Indonesia belum produktif.
Sumber: diolah dari Handbook Statistik Energi & Ekonomi Indonesia 2011.
Salah satu yang termasuk kedalam program akselerasi industri nasional adalah
pengembangan industri logam dasar yaitu industri besi dan baja, dimana industri
ini menjadi pilar penting dalam rangka mewujudkan visi pembangunan industri
nasional yaitu menjadi negara industri maju pada tahun 2020 dan negara industri
tangguh pada tahun 2025. Pengembangan industri logam dasar ini dapat
memberikan rangsangan positif bagi pertumbuhan sektor-sektor industri lainnya,
karena baja merupakan bahan dasar yang penting dalam pengembangan industri
dan infrastruktur bahkan sebagai peralatan penunjang dalam kehidupan sehari-
hari.
Persoalan yang dihadapi industri baja saat ini adalah masih lemah dan belum
terintegrasinya struktur industri baja di indoneisa seperti misalnya masih
tingginya impor bahan baku sehingga belum bisa memenuhi kebutuhan industri
hilir dan sulitnya pasokan gas yang disertai dengan kenaikan harga energi yang
terus meningkat.Padahal, jika di sektor hulu tumbuh, maka industri hilir baja
nasional akan tumbuh dengan sendirinya seiring dengan potensi meningkatnya
pasar baja.
Asosiasi Baja Dunia (World Steel Association) mencatat bahwa produksi baja
kasar (crude steel) dunia pada tahun 2012 naik sekitar 1,3 % dibanding tahun
2011 seperti terlihat dalam Tabel 2.1dibawah ini:
Sepanjang tahun 2005 2010, produksi baja indonesia mencapai antar 3,5 5,23
juta ton per tahun dan saat ini Indonesia menempati urutan ke 36 ranking dunia
sebagai negara produsen baja. Namun demikian sampai saat ini pasar baja
8.6
9
7.79
8 7.48
6.9
7
5.65
6
5
4
3
2
1
0
2007 2008 2009 2010 2011
Konsumsi (Juta Ton) 6.9 7.79 5.65 7.48 8.6
Produksi (Ton) 4.48 5.29 3.71 5.23 6.01
Impor (Ton) 2.42 2.5 1.94 2.25 2.59
Gambar 2.1 Konsumsi, Produksi dan Impor Baja Nasional (Pefindo, 2011)
Pada Tahun 2011, konsumsi baja dalam negeri diperkirakan mencapai 7,48 juta
ton, sementara kemampuan produksi bajanasional hanya 6,01 juta ton dengan
demikian untuk memenuhi kebutuhan tersebut maka perlu mengimpor baja dari
luar negeri sebanyak 2,59 juta ton.Data lain menyebutkan bahwa pada tahun
2012, permintaan baja nasional mencapai 9 10 juta ton, sementara kapasitas
produksi nasional hanya 6,3 juta ton, kekurangannya ini juga dipenuhi dengan
cara mengimpor baja, termasuk baja dari china.
Produsen baja terbesar di indonesia saat ini adalah PT Krakatau Steel Tbk,
dengan kapasitas produksi sebanyak 3 jutaton, ditambah lagi dengan rencana
pengoperasian PT. Krakatau Posco pada tahun 2014 yang memiliki kapasitas
produksi sebanyak 3 juta ton, serta kontribusi dari beberapa perusahaan swasta
lainnya. Maka pada tahun 2014 kebutuhan baja domestik dimungkinkan dapat
Bahan baku berupa baja mentah sangat diperlukan untuk membuat produk
akhir, kebutuhan baja mentah ini dapat dipenuhi oleh industri dalam negeri
sebanyak 70%, Sisanya 30% masih tetap diimpordari luar negeri. Pada tahun
2009, kebutuhan baja mentah dalam negeri adalah 5,5 juta ton,sedangkan
produksi baja mentah hanya 3,5 juta ton. Untuk kebutuhan baja mentah
tersebutharus mengimpor 2,5 juta ton baja mentah untuk memenuhi kebutuhan
konsumsi baja dalamnegeri dan untuk kebutuhan produk baja setengah jadi dan
produk jadi untuk diekspor kembali.
Sementara disisi lain Produksi bijih besidi dalam negerisebagai bahan baku yang
diperlukan oleh industri hulu masih sangat rendah. BKPM menyebutkan bahwa
pada tahun 2008 dari total produksi baja mentah sebesar 3,915 juta tonbaja
metah, produksi bijih besi dalam negeri hanya mampu memenuhi 100 ribu ton
pertahun.Begitu juga dengan bahan baku dari besi bekas, Indonesia masih
mengimpor dari luar negerisehingga harganya sangat dipengaruhi oleh pasar.
Tabel 2.3Perbandingan konsumsi Baja per kapita Indonesia dengan negara lain
Negara Kg/Kapita/Tahun
Indonesia 37,3
Malaysia 315,8
Thailand 211,0
Vietnam 139,8
Singapura 570,1
Jepang 500,9
Korea 1077,2
China 427,4
India 54,9
Amerika Serikat 267,3
Sumber: World Steel Association, 2011
Pada tahun 2020, konsumsi baja nasional diperkirakan lebih dari 17,5 juta ton.
Proyeksi tersebutdilakukan berdasarkan asumsi tingkat pertumbuhan ekonomi
rata-rata 5,8 persen per tahun danpertumbuhan kebutuhan baja rata-rata
pertahun sebesar 8,2%. Dengan jumlah total konsumsibaja nasional pada tahun
2010 sebesar 7,48 juta ton, dan pertumbuhan rata-rata konsumsi bajapertahun
sebesar 8,2%, maka dapat diproyeksikan kebutuhan baja pada tahun 2015 adalah
11,8juta ton dan 17,5 juta ton pada tahun 2020. Proyeksi itu juga dengan
mempertimbangkan productdomestic bruto (PDB) Indonesia naik menjadi
US$11.232 pada tahun 2020.
Pada umumnya pasar dalam negeri lebih banyak mengkonsumsi baja kasar, hot
rolles coils (HRC), plates, besi beton profil ringan, dan wired rod.Produk-produk
tersebut banyak digunakan untuk kebutuhan industri properti dan konstruksi.
Berdasarkan data World Steel Associationtahun 2009, produk yang diimpor oleh
Indonesia dari negara lain adalah ingot dan produk baja setengah jadi; produk
batangansebesar 765 ribu ton, produk lempengansebesar 2,28 juta tondan
produk pipasebesar 569 ribu ton.
Berdasarkan aliran proses dan hubungan antara bahan baku dan produk, maka
Kementerian Perindustrian menyusun strukturindustri baja yang dibagi kedalam
beberapa kelompok seperti ditunjukkan pada Tabel 2.4dan dijelaskan sebagai
berikut:
a. Pertambangan
Ketersediaan industri tambang bijih besi, pasir besi, ferro nikel, batu bara baik
untuk bahan energi maupun untuk bahan baku kokas, gas alam, mineral
penunjang seperti batu kapur dan solomit merupakan industri yang diperlukan
dalam menentukan daya saing industri baja suatu negara sebagai industri
pemasok dalam supply chain industri baja.
Penyedia iron making dan scrap juga merupakan kelompok yang sangat strategis
dalam menentukan daya saing industri baja suatu Negara.Scrap merupakan
material besi bekas. Secara umumterdapat dua jalur utama dalam industri
pembuatan besi dan baja.
1) Jalur pertama adalah melalui teknologi blast furnace. Jalur ini mendominasi
70% dari produksidunia. Melalui proses ini bijih besi direduksi dengan kokas
batu bara dalam sebuah tanur tiupyang tinggi. Produk dari proses ini adalah
besi cair yang kemudian dapat diproses lebih lanjutdalam tahap steel making
atau dapat dicetak yang dikenal sebagai pig iron.
2) Jalur kedua, yang merupakan alternatif industri pembuatan besi adalah jalur
pembuatan besispons. Melalui jalur ini bijih besi dalam bentuk bulk atau
pellet direduksi dengan gas pereduksi(yang berasal dari gas alam atau batu
bara). Produk dari proses ini dapat berupa besi spons atauhot briquette iron
(HBI). HBI menjadi bahan baku proses steel making selanjutnya. Jalur
inimenguasai sekitar 25% dari produksi besi dunia.
Disamping dua jalur utama di atas terdapat pula beberapa teknologi penyedia
bahan bakuindustri baja yang jumlahnya relatif kecil seperti teknologi direct
smelting, rotary kiln, dan openheart.
Kelompok ini sering dijadikan ukuran produksi industri baja di suatu negara.
Melalui prosesyang tahap akhirnya mengubah baja cair menjadi baja padat ini
dihasilkan bloom dan billetsebagai bahan baku industri baja pengolahan long
product, slab sebagai bahan baku industri pengolahan flat product dan ingot
sebagai bahan baku industri pembentukan baja lainnya.
Kelompok ini adalah tahap proses baja kasar menjadi baja produk semi finished.
Billet danbloom merupakan bahan baku untuk pembuatan produk semi finished
wire rod dan green pipe.Selanjutnya wire rod akan menjadi bahan baku berbagai
industri pengolahan long finishedproduct seperti paku, baut, mur, kawat las, PC
wire. Sedangkan green pipe akan menjadi bahanbaku industri seamless pipe
(OCTG dan Line Pipe) bagi industri migas.Sementara semi finished product di jalur
flat product adalah hot rolled coll (HRC), hot rolledplate (HRP) dan cold roll coll
(CRC). HRC merupakan bahan baku terbesar dari industripengolahan flat product
seperti konstruksi, pipa las spiral dan otomotif. Sementara CRCdigunakan sebagai
bahan baku industri peralatan rumah tangga, otomotif, dan pelapisan seng.Pelat
baja merupakan semi finished product yang digunakan sebagai bahan baku
industri pipalas longitudinal, profil dan perkapalan.
Produk akhir dari industri baja adalah industri pembuatan baja finished flat
product dan bajafinished long product. Jika dilihat rantai nilainya (Gambar 1.2)
menunjukkan bahwa bajamerupakan material yang diaplikasikan untuk seluruh
bentuk kebutuhan manusia. Sehingga dinegara maju, baja merupakan komponen
vital dalam perkembangan industri dan sektor yanglainnya. Untuk mengukur
tingkat kesejahteraan di sebuah negara juga dapat diukur dari tingkatkonsumsi
baja per kapita. Umumnya negara yang telah pada tataran negara maju dan
modernmemiliki tingkat konsumsi baja per kapita yang tinggi.
Kelompok ini merupakan konsumen paling bervariasi dari industri baja. Berbagai
industripemakai diantaranya industri pembuatan baja batangan, profil, baja
konstruksi, kawat, paku, danmur/baut. Berikut merupakan kebutuhan bahan
baku (HRC dan CRC) yang berpotensi untukdijadikan komoditas unggulan:
- Rerolling memproduksi CRC untuk kebutuhan komoditas body and structure
Otomotif,Home Office Appliances, Pipe and Tube.
- General construction: profil berat dan HRC
- Otomotif: HRC dan CRC
- Home and Office Appliances
Berdasarkan pengelompokan diatas, maka Kemenperin membuat peta pohon
Industri Baja Nasional yang terdiri dari 41 jenis produksi perusahaan besi dan
baja seperti terlihat dalam gambar berikut ini:
Perusahaan industri baja dalam negeri saat ini tersebar di beberapa provinsi di
indonesia, yaitu di Banten, Jakarta, JawaBarat dan Surabaya,Sumatera Utara,
Sumatera Barat dan Kalimantan Selatan.
Untuk masa mendatang (future), dengan melihat potensi kebutuhan baja untuk
luar Jawa sangatbesar maka dimungkinkan pendirian Industri sejenis di luar Jawa
sangat potensial. Industripendukung untuk menyediakan baja jenis ini seperti:
- PT. Krakatau Steel
- PT Gunung Garuda Group
- PT Raja Besi
- PT Gunawan Dian Jaya
- PT Baja Marga
- PT Rajin Steel
Tabel 3.1Proyeksi Penggunaan Baja Dunia 2011 2012 (dalam juta metrik ton)
Penggunaan Tingkat
Wilayah Pertumbuhan (%)
2010 2011(P) 2012 2010 2011 2012
(P) (P) (P)
Pada tahun 2010, produksi baja dunia mengalami peningkatan sebesar 15 % dari
tahun sebelumnya yaitu mencapai 1.283 juta metrik ton, dan pada tahun 2011
produksi baja dunia diperkirakan mencapai 1.359 juta metrik ton.
Dalam proses pembuatan baja, diperlukan bahan baku Iron ore dan coking coal.
Pada tahun 2009, tercatat ada 4 negara yang memproduksi hampir 80% dari
total 1,7 milyar ton bijih besi yang diproduksi, diantaranya adalah Australia,
China, Brazil danIndia. Keempat negara ini memiliki cadangan bijih besi yang
terbesar di dunia.
BKPM telah menginventarisir bahwa Industri besar penghasil baja tersebut pada
umumnya melakukankegiatan produksi yang terintegrasi dari hulu ke hilir
dimulai dari proses iron makingyang menghasilkan pig iron, pengolahan menjadi
baja setengah jadi (slab, billet dan bloom), prosesrolling hingga menghasilkan
baja berbentuk flat product, long product dan produk-produk bajakhusus. Kecuali
Bao Steel yang lebih memfokuskan pada pembuatan baja-baja khusus
No Perusahaan Produk
Sementara itu FINMET Austria mengembangkan Direct Reduced Iron (DRI) dan
Hot Briquetted Iron (HBI) dimana teknologi memakai iron ore dengan ukuran
dibawah 12 mm(Sintered ore atau sized ore).
Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, pola konsumsi energi di sektor industri
telah mengalami peningkatan yang cukup signifikan, hal ini terjadi karena
transformasi struktural yang cepat dari sektor pertanian ke sektorindustri. Selain
itu pemborosan energi juga terjadi yang disebabkan oleh penggunaan mesin-
mesin tua yang relatif boros energi. Penggunaan mesin-mesin tua ini sebagai
akibat dari tingginya tingkatketergantungan industri terhadap mesin-mesin
produksi impor sehingga membuatpelaku industri tidak mampu memperbarui
mesin-mesinproduksinya. Masalah-masalah keenergian yang dihadapi oleh
industri saat ini adalah sulitnya untuk mendapatkan energi yang murah, efisien
atau ramahlingkungan.
Industri besi dan baja merupakan salah satu industri pendukung sektor
konstruksiyang padat energi dimana industri ini masuk dalam kategori industri
pengguna energi di atas 6000 TOE (setara ton minyak). Industri baja
menggunakan energi untuk proses peleburan scrap,heat treatment dan metal
forming serta proses finishing. persentase pemakaian energi terbesar adalah
untukproses peleburan sebesar 61,5%, reheating 24,2%, metal forming
(rolling)14,1%, dan untuk office 0,2%. Distribusi pemakaian energi seperti yang
telah dijelaskan diatas dapat dilihat pada grafik berikut ini:
Uraian proses produksi besi dan baja, mulai dari bijih besi sampai menjadibaja
profil atau baja pelat secara ringkas dapat dilihat pada gambar berikut :
Pada tahapan ini, bijih besi (Iron Ore) dan kokas (Coke) dipersiapkan untuk
dijadikan pelet yang siap dilebur.Proses aglomerasi ini juga dikenal dengan
proses pelletizing dimana konsentrat bijih besi atau mineral lainnya yang
berukuran halus dibentuk menjadi partikel yang berukuran antara 8 mm sampai
dengan 25 mm. Peletisasi dibuat dengan tujuan agar partikel yang berukuran
tertentu dapat memudahkan pada proses handling serta dapat diperoleh partikel
yang memiliki sifat- sifat metalurgis yang dibutuhkan. Proses pelletizing terdiri
dari 2 tahapan yaitu mixing konsentrat dan campuran binder kemudian disc
Peleburan bijih besi dengan teknologi blast furnace dilakukan dengan cara
mencampur pelet (pig iron) dengan kokas (coke) dan material karbon lainnya
sebagai reagent kimia kemudian diproses dalam reaktor tanur tinggi sehingga
menjadi cairan logam. Produk yang dihasilkan pada proses ini adalah besi kasar
cair (belum ada penambahan alloy). Selanjutnya besi cair ini dimasukkan
kedalam Basic Oxygen Furnace (BOF) yang disertai dengan penambahan material
alloy. Gambar berikut ini menunjukkan layout proses peleburan di blast furnace.
Setelah baja cair diproduksi di BOF atau EAF dan ditaping ke ladle, sesudah
dilakukan pemurnian (refining) maka besi cair masuk ke proses continuous
casting dimana pada tahap ini besi cair dipadatkan menjadi bentuk setengah jadi:
bloom, billet atau lembaran slab.
Rolling dan finishing adalah proses mengubah bentuk setengah jadi menjadi
produk baja jadi, yang akan digunakan oleh end use secara langsung atau untuk
membuat produk lanjut lainnya. Sedangkan proses finishing dapat memberikan
karakteristik produk yang penting yang meliputi: bentuk akhir, permukaan akhir,
kekuatan, kekerasan dan fleksibilitas, dan ketahanan korosi. Penelitian terkait
teknologi finishing yang saat ini berfokus pada peningkatan kualitas produk,
mengurangi biaya produksi dan mengurangi polusi.
Pada tahapan proses ini biasanya menggunakan bahan baku bilet, bloom atau
slab.Proses rolling dan forming dapat mencakup rolling panas, rolling dingin,
forming atau forging. Dalam rolling panas baja strip, misalnya, lempeng baja
dipanaskan sampai lebih dari 1.000 oC kemudian melewati beberapa set roller.
Tekanan tinggi akan mengurangi ketebalan pelat baja sambil meningkatkan lebar
dan panjangnya. Setelah rolling panas, baja mungkin perlu dilakukan rolling
dingin pada suhu ambien untuk mengurangi ketebalan, meningkatkan kekuatan
(melalui pengerjaan dingin), dan memperbaiki permukaan. Dalam membentuk
batang, tabung, balok dan H beam dapat diproduksi dengan melewatkan baja
panas melalui rol berbentuk khusus untuk menghasilkan bentuk akhir yang
diinginkan. Dalam penempaan, baja cor dipukul dengan palu atau dye-pressed.
4.1.6 Finishing
Finishing baja dilakukan untuk memenuhi spesifikasi fisik dan visual. Proses
kerjanya meliputi heat treatment, quenching, pickling dan coating. Heat
treatment bertujuan untuk dapat memberikan berbagai kualitas atas baja
dengan mengubah struktur kristalnya. Perlakuan panas ini sering dilakukan
Dari data historis tahun 2011 pada beberapa industri yang berhasil dikumpulkan
oleh Kementerian ESDM, diperoleh informasi bahwa saat ini intensitas energi
industri baja di Indonesia sebesar 900kWh per Ton. Artinya, untuk menghasilkan
1 (satu) Ton baja diIndonesia membutuhkan energi sebesar 900 kWh. Jika
dibandingkan dengan India dan Jepang, maka angkaintensitas ini lebih tinggi
(lihat tabel). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penggunaan energi
untuk pembuatanbaja di Indonesia belum seefisien kedua negara tersebut.
Perbedaan angka intensitas ini disebabkan oleh penggunaan teknologi yang
berbeda dimana pada proses produksinya Indonesia menggunakan sponge iron,
India menggunakan blast furnace dan Jepang menggunakan scrap.
Indonesia pernah melakukan audit energi di industri baja yang diprakarsai oleh
Kementerian Perindustrian di informasi bahwa kosumsi energi spesifik untuk
proses peleburan bijih besi di EAF rata-rata sebesar 902 kWh/ton. Jika angka ini
dibandingkan dengan data world best practise yang diterbitkan oleh Barkeley,
2008, untuk proses yang sama yaitu sebesar 637,3 kWh/ton, maka tergolong
boros dalam konsumsi energinya.
Tabel 4.2berikut ini adalah menunjukkan hasil best practice intensitas energi
untuk industri baja di dunia:
Proses primer: blast furnace (BF) dan basic oxygen furnace (BOF) yang
menggunakan biji besi (sinter atau pelet) sebagai bahan baku. Proses ini
sedang diimplementasikan di Indonesia khususnya di Krakatau Steel.
Proses sekunder: electric arc furnace (EAF) yang menggunakan besi bekas
(scrap), sponge, pig iron atau direct reduced iron (DRI) sebagai bahan
baku alternatif. Selain EAF, teknologi Induction Furnace juga masih
banyak digunakan di Indonesia.
Proses produksi baja di Indonesia secara umum dimulai dari pabrik besi spons.
Pabrik ini mengolah bijih besi pellet menjadi besi dengan menggunakan air dan
gas alam.
Besi yang dihasilkan kemudian diproses lebih lanjut pada Electric Arc Furnace
(EAF) di pabrik slab baja dan pabrik billet baja. Di dalam EAF besi dicampur
dengan scrap, hot bricket iron dan material tambahan lainnya untuk
menghasilkan dua jenis baja yang disebut baja slab dan baja billet.
Sementara itu, baja billet mengalami proses pengerolan di Pabrik Batang Kawat
untuk menghasilkan batang kawat baja yang banyak digunakan untuk aplikasi
senar piano, mur dan baut, kawat baja, pegas, dan lain-lain.
Berikut ini adalah beberapa teknologi yang sudah ada dan sedang dikembangkan
di Indonesia:
Pabrik besi spons (Direct Reduced Plant) menerapkan teknologi berbasis gas alam
dengan proses reduksi langsung menggunakan teknologi Hyl dari Meksiko. Pabrik
ini menghasilkan besi spons (Fe) dari bahan mentahnya berupa pellet bijih besi
(Fe2O3 and Fe3O4), dengan menggunakan gas alam (CH4) dan air (H2O).
DR Plant memiliki 2 (dua) buah unit produksi dan menghasilkan 2,3 juta ton besi
spons per tahun. Unit produksi yang pertama yaitu Hyl Unit I mulai beroperasi
tahun 1979. Unit ini beroperasi dengan menggunakan 4 modul batch process
dimana setiap modulnya mempunyai 2 (dua) buah reaktor. Unit ini memiliki
kapasitas produksi sebesar 1.000.000 ton besi spons per tahun.
Unit produksi yang kedua yaitu Hyl Unit III memulai operasinya pada tahun 1994
dengan menggunakan 2-shafts continuous process. Unit ini memiliki kapasitas
produksi sebesar 1.300.000 ton besi spons per tahun. Gambar V.1 menunjukkan
Intensitas energi untuk proses pembuatan besi spons pada teknologi direct
reduced iron adalah berkisar 11,7 GJ/ton besi spons.
Sumber: nova-gas.blogspot.com
Besi spons yang dihasilkan oleh pabrik ini memiliki keunggulan dibanding sumber
lain terutama disebabkan karena rendahnya kandungan residual. Sementara itu
tingginya kandungan karbon menyebabkan proses di dalam Electric Arc Furnace
(EAF) menjadi lebih efisien dan proses pembuatan baja menjadi lebih akurat.
Lebih lanjut hal tersebut menjamin konsistensi kualitas produk baja yang
dihasilkan.
Konsumsi energi untuk proses pembuatan besi spons pada teknologi direct
reduced ironini adalah berkisar 800 kg batubara/ton besi spons
Electric Arc Furnace menghasilkan baja cair dari bahan baku berupa besi spons
(sponge iron), iron scrap dan kapur (lime) untuk mengontrol kandungan fosfor
dan sulfur.Dalam tanur listrik (EAF) campuran tersebut dilebur melalui busur
listrik antara katoda dan satu (untuk DC) atau tiga (untuk AC) anoda. Anoda
dapat ditempatkan tepat di atas tanur atau menjadi terendam di dalamnya.
Elektroda terbuat dari karbon dan terkonsumsi selama operasi. Dalam proses
EAF, kombinasi DRI dan pig iron diproses untuk menghasilkan baja dengan
kandungan karbon antara 0,02 persen sampai 2 persen berat. EAF memerlukan
energi sebesar 2,5 GJ/ton baja.
Sumber: www.hindawi.com
Selain Electric Arc Furnace, masih banyak industribesi dan baja di Indonesia yang
menggunakan Induction Furnace khususnya yang kapasitas produksinya kecil.
Induction furnace adalah tungku listrik dimana panas diterapkan dengan
pemanasan induksi logam. Keuntungan dari tungku induksi adalah proses
Setelah baja cair diproduksi di EAF kemudian ditaping ke ladle untuk dilakukan
pemurnian (refining). Aktivitas utama di dalam ladle furnace adalah:
Besi cair masuk ke proses continuous casting dimana pada tahap ini besi cair
dipadatkan menjadi bentuk setengah jadi: bloom, billet atau lembaran slab.Baja
slab diperoleh dari proses pencetakan kontinyu tersebut dimana perlindungan
dengan menggunakan gas argon diperlukan antara ladle dan tundish. Ukuran
slab yang dihasilkan mempunyai ketebalan 200mm, lebar 800 2.080mm dan
panjang maksimum 12.000mm.
Instalasi Slab Baja (Slab Steel Plant) yang dimiliki Krakaktau Steel memiliki
kapasitas produksi sebesar 1.800.000 ton per tahun yang terbagi menjadi dua
unit pabrik:
Sedangkan untuk billet Baja (Billet Steel Plant), kapasitas produksi yang dimiliki
Krakatau Steel sebesar 675.000 ton per tahun.
Rolling dan finishing adalah proses mengubah bentuk setengah jadi menjadi
produk baja jadi, yang akan digunakan oleh end user secara langsung atau untuk
membuat produk lanjut lainnya. Sedangkan proses finishing dapat memberikan
karakteristik produk yang penting yang meliputi: bentuk akhir, permukaan akhir,
kekuatan, kekerasan dan fleksibilitas, dan ketahanan korosi. Penelitian terkait
teknologi finishing yang saat ini berfokus pada peningkatan kualitas produk,
mengurangi biaya produksi dan mengurangi polusi.
Rolling dan forming baja setengah jadi (slab, billet atau mekar) adalah
membentuk mekanik baja untuk mencapai bentuk dan sifat mekanik yang
diinginkan.
Proses rolling dan forming dapat mencakup rolling panas, rolling dingin, forming
atau forging. Dalam rolling panas baja strip, misalnya, lempeng baja dipanaskan
sampai lebih dari 1.000 oC kemudian melewati beberapa set roller. Tekanan
tinggi akan mengurangi ketebalan pelat baja sambil meningkatkan lebar dan
panjangnya. Setelah rolling panas, baja mungkin perlu dilakukan rolling dingin
pada suhu ambien untuk mengurangi ketebalan, meningkatkan kekuatan
(melalui pengerjaan dingin), dan memperbaiki permukaan. Dalam membentuk
batang, tabung, balok dan H beam dapat diproduksi dengan melewatkan baja
panas melalui rol berbentuk khusus untuk menghasilkan bentuk akhir yang
diinginkan. Dalam penempaan, baja cor dipukul dengan palu atau dye-pressed.
Pabrik Baja Lembaran Panas (Hot Strip Mill) yang ada di Krakatau Steel
mempunyai kapasitas produksi sebesar 2.000.000 ton per tahun.Energi yang
dikonsumsi pada fasilitas ini umumnya berkisar 1,8 GJ/ton. Konfigurasi fasilitas
produksi pada pabrik ini terdiri dari:
Reheating Furnace
Sizing Press
Pabrik Baja Lembaran Dingin terdiri dari unit-unit produksi (Line) sebagai berikut:
Pabrik Baja Lembaran Dingin (Cold Rolling Mill) di Krakatau Steel memiliki
kapasitas produksi sebesar 650.000 ton per tahun. Intensitas energi instalasi ini
umumnya berkisar 0,4 GJ/ton.
Selain hot rolling dan cold rolling, Krakatau Steel mempunyai fasilitas pabrik baja
batang kawat (Wire Rod Mill). Saat ini fasilitas produksi yang dimiliki oleh pabrik
Batang Kawat adalah:
Reheating Furnace
Pre-roughing Mill
Roughing Mill
Finishing Mill
Cooling Zone
Down Coiler
Sumber: www.ssab.com
5.1.7.2 Finishing
Finishing baja dilakukan untuk memenuhi spesifikasi fisik dan visual. Proses
kerjanya meliputi heat treatment, quenching, pickling dan coating. Heat
treatment bertujuan untuk dapat memberikan berbagai kualitas atas baja
dengan mengubah struktur kristalnya. Perlakuan panas ini sering dilakukan
setelah proses rolling dengan tujuan untuk mengurangi ketegangan pada
material akibat proses pengerolan. Quenching bertujuan meningkatkan
kekerasan baja dan biasanya sering dikombinasikan dengan tempering untuk
mengurangi kerapuhan. Pickling merupakan chemical treatment, di mana baja
gulungan dibersihkan dalam penangas asam untuk menghilangkan kotoran, noda
atau kerak sebelum dilapis (coating). Dalam coating, gulungan baja lembaran
dingin dilapisi anti korosi dan untuk menghasilkan permukaan dekoratif.
Konsumsi energi untuk finishing berkisar 1,1 GJ/ton.
5.2 Potensi Penerapan Teknologi hemat energi di Industri Besi dan Baja
Beberapa teknologi hemat energi yang layak diterapkan di Industri Besi dan Baja
antara lain:
Bahan baku besi yang digunakan di proses peleburan baja adalah besi spons yang
diperoleh salah satunya melalui proses reduksi pelet-pelet biji besi (Fe2O3)
menjadi Direct Reduction Iron (DRI). Selama ini teknologi yang digunakan untuk
proses reduksi biji besi tersebut berbasis gas alam dengan menggunakan proses
HYL, di mana proses reduksi dilakukan di dalam tungku HYL Furnace yang berupa
moving bed shaft reaktor yang beroperasi pada tekanan yang relatif tinggi di
atas12 bar. Di dalam tungku tersebut besi oksida (Fe2O3) direduksimenggunakan
gas H2 yang dialirkan secara counter flow.Gas H2sendiri dihasilkan dari proses
steam reforming gas alam (CH4) di dalam reaktor reformer. Di sini energi yang
dibutuhkan sangat besar, karena proses steam reformer adalah proses
Gambar 5.9 Blok Diagram Proses DRI (a) HYL3 dan (b) Proses Zero Reformer
Teknologi ini menggunakan Reaktor HYL berikut sistem pendukung dan prinsip-
prinsip operasi yang sama seperti proses HYL berbasis gas,akan tetapi biji besi
diumpankan dari atas dan direduksi menggunakan gas H2 dan CO hasil gasifikasi
batu bara. Gas reduktor yang diproduksi dalam gasifier batubara sarat debu dan
mengandung CO2, H2O dan zat-zat pengotor lainnya. Gas tersebut kemudian
dibersihkan dan didinginkan dalam serangkaian cyclone untuk memisahkan H2O,
CO2 dan Sulfur. Dengantidak menggunakan gas alam untuk karburisasi dari DRI,
produk besi cair memiliki kandungan karbon yang lebih rendah sekitar 0,4%.
Reaktor HYL dirancang untuk bekerja dengan gas reduktor dengan kandungan H2
tinggi, sedangkan gas dari gasifier mengandung sejumlah besar CO,
sehinggadiperlukan reaktor tambahan(shift reactor) untuk mengubah CO
menjadi H2 dengan reaksi CO + H2O ---> CO2 + H2. Reaktor inidipasang sebelum
sistem CO2removal. Suhu dan tekanan gas ini kemudian diatur sebelum injeksi ke
dalam reaktor.
Mirip dengan proses HYL berbasis gas, tungku gas atas didinginkan dan
dibersihkan dan CO2 yang akan dihapus dan kemudian didaur ulang ke dalam
mengurangi sirkuit gas.
Energi, Biaya, Lingkungan dan keuntungan lain:
Tidak perlu untuk batubara kokas dan coke
Tidak perlu untuk gas alam
Penggunaan batubara kualitas rendah
Teknologi Blast Furnace (Tanur Baja), sebenarnya bukan teknologi baru. Berbeda
dengan rute peleburan baja berbasis Gas Alam sebagaimana digunakan di
Krakatau Steel selama ini, teknologi ini menggunakan bahan bakar batubara
dalam bentuk kokas di mana di dalam tungku blast furnace, kokas tersebut
sekaligus digunakan sebagai reduktor untuk bijih besi menjadi besi cair yang
untuk selanjutnya diolah di Balance Oxygen Furnace (BOF) untuk dimurnikan
menjadi baja cair yang siap untuk dicetak melalui Continous Casting Machine
(CCM).
(sumber: Wikipedia)
Gas-gas produk samping keluaran dari Blast Furnace atau yang disebut dengan
Blast Furnace Gas (BFG) rata-rata masih memiliki nilai kalor sekitar 750kkal/NM3.
Penggunaan Direct Reduction Iron (DRI) dan/atau Hot Bricquetting Iron (HBI)
sebagai bahan baku untuk proses peleburan baja di Electric Arc Furnace (EAF)
beberapa tahun terakhir meningkat secara substansial, dengan produksi global
sekarang lebih dari 65 juta ton per tahun. Produksi DRI dunia,mayoritas diproses
menggunakan unit reduksi berbasis gas alam, dan hanya sebagian kecil
diproduksi menggunakan proses berbasis batu bara.Dalam beberapa tahun
terakhir sebagian besar unit produksi DRI yang digunakan untuk proses
sendiri,dimodifikasi menjadi pengisian Hot DRI/HBI ke EAF pada suhu di kisaran
600C. Dengan demikian dapat menghemat proses pemanasan pada proses
selanjutnya di EAF. DRI yang panas dapat diumpankan langsung ke EAF dengan
menggunakan salah satu dari 4 metode, yaitu: (1) transportasi Pneumatic, (2)
transportasi dengan conveyor elektro-mekanik, (3) memanfaatkan gravitasi dari
posisi reaktor dan (4) tansportasi dalam botol terisolasi.
Pengisian DRI panas pada suhu sampai 600C dapat mengurangi konsumsi energi
untuk peleburan baja sekitar 150 kWh/t baja mentah (>0,5 GJ/ton). Keuntungan
lain yang didapat melalui proses ini, di antaranya: peningkatan produktivitas,
peningkatan terak berbusa dan peningkatan kadar karbon dalam umpan
Scrap preheating adalah teknologi yang dapat mengurangi konsumsi daya EAF
melalui pemanfaatan panas buang dari tungku untuk memanaskan scrap yang
diumpan. Panas yang keluar dari EAF bersama gas buang akan diserap scrap
preheater untuk memanaskan scrap sehingga efisiensi energi akan meningkat.
Diagram sederhana dari proses Scrap Preheating dapat dilihat pada gambar
berikut. Dengan memanfaatkan teknologi ini dapat diheemat penggunaan
energi sekitar 0.016 to 0.2 GJ/t-steel. Keuntungan penggunaan scrap preheater
selain meningkatkan efisiensi energi antara lain adalah jumlah debu yang keluar
dari EAF berkurang
Sistem preheating yang lama memiliki berbagai masalah, misalnya, emisi, biaya
penanganan yang tinggi, dan heat recovery yang relatif rendah. Sistem modern
telah mengurangi masalah ini dan menjadikan proses sangat efisien. Berbagai
sistem telah dikembangkan dan digunakan di berbagai tempat di AS dan Eropa,
yaitu, Consteel tunnel-type preheater, Fuchs Finger Shaft, dan Fuchs Shaft Twin.
Teknologi ini mula-mula dikembangkan di Jepang dan saat ini sudah terpasang
pada lebih dari 540 tungku di dunia.
Penghematan energi yang dapat dicapai berkisar antara 0,18-0,21 GJ/t-baja,
dengan biaya retrofit mencapai 90 rb USD/tiga pasang burner untuk kapasitas
tungku 110 t/h. Selain itu keuntungan lain yang didapat dengan menggunakan
teknologi ini adalah pengurangan NOx hingga 50%, peningkatan kualitas
distribusi temperatur tungku sehingga meningkatkan produktifitas tungku dan
juga penurunan kandungan scale/kerak pada produk.
5.3 Model Simulasi Penggunaan Energi di Industri Baja tahun 2010 2030
Penyusunan model menggunakan piranti lunak LEAP. Dalam model LEAP, aliran
energi industri besi dan baja Indonesia saat ini dan dimasa mendatang yang
merupakan implementasi dari kebijakan nasional energi di sektorindustri yang
berjalan maupun yang sudah direncanakan digambarkan dalam suatu Sistem
Energi Referensi atau Reference Energi System (RES)
Secara umum penggunaan energi di industri besi dan baja di Indonesia bisa
dibagi menjadi tiga bagian,
Terlihat bahwa sebagian besar energi yang dikonsumsi digunakan untuk proses
heating atau termal yang dalam hal ini adalah proses pembuatan atau peleburan
besi dan baja (lihatGambar 5.16)
Besaran aktivitas energi yang digunakan pada model ini adalah nilai output dari
industri besi dan baja. Proyeksi nilai output industri besi dan baja hingga tahun
2030 ditampilkan pada Gambar .
Tahun Teknologi
Total penghematan energi non listrik (BBM, batubara dan gas bumi) di industri
besi dan baja dari tahun 2014 hingga 2030 adalah sebesar 151,4 juta SBM. Nilai
ini setara dengan 2 bulan lifting minyak Indonesia yang berkisar 0,9 juta SBM per
hari.
Sedangkan penghematan listrik selama periode yang sama adalah sebesar 198,4
ribu GWh. Nilai ini setara dengan 28 GW PLTU Batubara dengan factor kesiapan
80%.
Industri besi dan baja merupakan industri yang sangat strategis bagi Indonesia
yang sedang membangun. Kebutuhan besi dan baja Indonesia diperkirakan
melonjak terus seiring dengan semakin gencarnya pembangunan terutama di
sektor konstruksi maupun industri manufaktur lainnya.
Dari hasil kajian diperoleh bahwa penghematan energi yang bisa diperoleh dari
sektor industri besi dan baja dengan menerapkan teknologi hemat
energisepertiblast furnace, basic oxygen furnace, Zero reformer, COG dan BFG
Utilisation, Hot Metal Charging, Oxy fuel burner, Neuro Furnace Control, EAF
Waste Boiler, Scrap preheating, Slab hot charging, Billet hot charging, regeneratif
burner, RF Waste heat utilisationakan diperoleh penghematan energi pada tahun
2030 sebesar 31% atau setara dengan 47,5 juta Setara Barel Minyak (SBM).
Penghematan total dari tahun 2014 hingga 2030 yang bisa diperoleh adalah
sebesar 1.595 juta SBM.
Penggunaan batubara di industri besi dan baja akan semakin tinggi dengan
diterapkannya teknologi blast furnace dan basic oxygen furnace. Namun
penggunaan batubara juga akan berdampak pada lingkungan. Disisi lain
penggunaan gas bumi semakin berkurang akibat semakin mahalnya harga gas
bumi. Meskipun demikian, dengan semakin tingginya efisiensi pemanfaatan
energi di industri besi dan baja, maka emisi gas rumah kaca yang diakibatkan
pembakaran energi fosil akan mengalami penururunan. Potensi reduksi emisi
CO2 sebagai akibat dari penerapan teknologi hemat energi di industri besi dan
baja adalah sebesar 13 juta ton CO2 pada tahun 2030, atau sekitar 24% lebih
rendah dari emisi CO2 pada skenario base case.