Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

I. Latar Belakang
Human Immunodeficiency Virus (HIV) menyebabkan kerusakan progresif dari sistem
kekebalan tubuh, yang menyebabkan "defisiensi imun." Sistem kekebalan tubuh dianggap
menurun ketika tidak bisa lagi melakukan perannya memerangi infeksi dan penyakit.
Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) adalah istilah untuk tahap paling lanjut dari
infeksi HIV. Hal ini didefinisikan jika penderita mengalami lebih dari 20 infeksi oportunistik
atau kanker terkait HIV. HIV dapat ditularkan melalui hubungan seksual tanpa kondom
(vagina atau dubur), dan oral seks dengan orang yang terinfeksi; transfusi darah yang
terkontaminasi; dan berbagi jarum terkontaminasi, jarum suntik atau alat tajam lainnya. Hal
ini juga dapat ditularkan antara ibu dan bayinya selama kehamilan, melahirkan dan menyusui.
(WHO. 2015)
Menurut perkiraan World Health Organization (WHO) dan United Nations
Programme on HIV and AIDS (UNAIDS), 36.900.000 orang hidup dengan HIV secara global
pada akhir 2014. Pada tahun yang sama, sekitar 2 juta orang menjadi yang baru terinfeksi,
dan 1,2 juta meninggal karena penyebab terkait HIV. (WHO. 2015) . Sedangkan menurut
United Nations Development Programme (UNDP) dalam Sustainable Development Goals
(SDGs), AIDS adalah penyebab utama kematian remaja di Sub Sahara Afrika. (UNDP, 2016)
Di seluruh dunia pada tahun 2013 ada 35 juta orang hidup dengan HIV yang meliputi 16 juta
perempuan dan 3,2 juta anak berusia <15 tahun. Jumlah infeksi baru HIV pada tahun 2013
sebesar 2,1 juta yang terdiri dari 1,9 juta dewasa dan 240.000 anak berusia <15 tahun. Jumlah
kematian akibat AIDS sebanyak 1,5 juta jiwa yang terdiri dari 1,3 juta dewasa dan 190.000
anak berusia <15 tahun. (Kemenkes RI. 2014. Infodatin AIDS)
Badan PBB untuk masalah anak, UNICEF menyebutkan sekitar 71.000 remaja
berusia antara 10-19 tahun meninggal dunia karena virus HIV pada tahun 2005. Jumlah itu
meningkat 50% menjadi 110.000 jiwa pada tahun 2012 (UNICEF, 2012). Data Ditjen
Pengendalian Penyakit dan Pengendalian Lingkungan Departemen Kesehatan (PP & PL
Depkes) selama sepuluh tahun terakhir, jumlah penderita AIDS terus meningkat. Secara
kumulatif sampai dengan Desember 2013 penderita HIV sebanyak 127.416 orang dan
penderita AIDS sebanyak 52.348 orang, serta kematian karena HIV/AIDS sebanyak 9.585
orang. (Ditjen PP PL Kemenkes RI, 14 Februari 2014).

1
Berdasarkan laporan provinsi, jumlah (kumulatif) kasus infeksi HIV yang dilaporkan
sejak 1987 sampai September 2014 yang terbanyak adalah Provinsi DKI Jakarta (32.782
kasus). Sepuluh besar kasus HIV terbanyak ada di Provinsi DKI Jakarta, Jawa Timur, Papua,
Jawa Barat, Bali, Sumatera Utara, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, Kepulauan Riau dan
Sulawesi Selatan. Sedangkan kasus AIDS yang dilaporkan sejak 1987 sampai September
2014 terbanyak di Provinsi Papua diikuti Jawa Timur, DKI Jakarta, Bali, Jawa Barat, Jawa
Tengah, Papua Barat, Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat, dan Sumatera Utara. (Kemenkes
RI. 2014. Infodatin AIDS)
Pengendalian HIV/AIDS merupakan salah satu dari 5 (lima) agenda sasaran
pembangunan millennium (MDGs) tujuan keenam. Pada tahun 2010, salah satu sasaran
pengendalian HIV/AIDS yang masih belum tercapai adalah peningkatan pengetahuan anak
sekolah dan remaja tentang HIV/AIDS. Hasil Riset Kesehatan Dasar yang dilaksanakan oleh
Kementerian Kesehatan tahun 2010 menunjukkan masih rendahnya pengetahuan
komprehensif tentang HIV/AIDS pada penduduk usia 15-24 tahun, yaitu sebesar 11,4%.
Sedangkan sasaran tahun 2010 adalah sebesar 65%. Kemudian hasil Surveilans Terpadu
Biologis dan Perilaku (STBP) tahun 2011 menunjukkan bahwa pengetahuan komprehensif
tentang HIV-AIDS pada seluruh kelompok sasaran mengalami penurunan. Secara umum,
pengetahuan komprehensif di kalangan remaja cukup rendah (22%). Pengetahuan
komprehensif tentang HIV/AIDS di provinsi DKI Jakarta juga terjadi penurunan. Pada STBP
tahun 2007 mencapai 26% sedangkan pada STBP 2011 turun menjadi 20%. (Kemenkes,
2011) Sementara hasil Survei Demografi dan Kependudukan secara umum, hanya 11 persen
wanita umur 15-49 tahun dan 12 persen pria kawin umur 15-54 tahun mengetahui tentang
AIDS yang komprehensif.(SDKI, 2012)
Remaja sering kali kekurangan informasi dasar mengenai kesehatan reproduksi dan
tidak menyadari apa pentingnya kesehatan reproduksi bagi dirinya, apalagi remaja yang
hidupnya di jalanan yang hidupnya tidak teratur.(Dwijayanti, 2011) Jumlah anak Indonesia
khususnya anak jalanan terus meningkat.(Kemensos, 2016) Fakta tersebut menunjukkan
bahwa isu anak jalanan di Indonesia membutuhkan perhatian lebih, baik dari sisi pencegahan
maupun penanganan.
Anak jalanan merupakan salah satu kelompok remaja yang rentan terhadap perilaku
berisiko penularan HIV-AIDS (Hutami, 2014). Hasil Survei dan Pemetaan Sosial Anak
jalanan yang dilakukan oleh Unika Atmajaya Jakarta di 12 Kota Besar di Indonesia pada
tahun 1999, menyebutkan jumlahnya 39.861 anak. (Kemensos,__). Namun hingga tahun
2011, hanya sejumlah 4800 anak jalanan dari 8 provinsi yang berada di bawah naungan

2
LKSA (Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak) (Kemensos, 2011). Data Depkes RI pada tahun
2010, menyatakan dari 144.889 anak yang hidup di jalanan, 8.581 anak telah terinfeksi HIV
(Amirrudin & Yanti, 2014).
Salah satu pembinaan anak jalanan dilakukan di rumah singgah. Rumah Singgah
didefinisikan sebagai suatu wahana yang dipersiapkan sebagai perantara antara anak jalanan
dengan pihak-pihak yang akan membantu mereka. Rumah singgah merupakan proses
informal yang memberikan suasana resosialisasi anak jalanan terhadap sistem nilai dan
norma yang berlaku di masyarakat. Rumah Singgah merupakan tahap awal bagi seorang anak
untuk memperoleh pelayanan selanjutnya, oleh karenanya penting menciptakan Rumah
Singgah sebagai tempat yang aman, nyaman menarik dan menyenangkan bagi anak jalanan.
Pengembangan model untuk mengatasi anak jalanan merupakan tugas sebagaimana diemban
oleh UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dalam menciptakan suatu tata
kehidupan dan penghidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangan
dengan wajar baik secara mental, jasmani, rohani, maupun sosial. (Depsos RI, 1999)
Data Biro Pusat Statistik tahun 2012 menyebutkan bahwa penyebaran penduduk
miskin tahun 2011 terbesar di Kota Jakarta Utara sebanyak 84,70 ribu jiwa.(Bappenas, 2013)
Menurut Dinas Sosial Provinsi DKI Jakarta (tahun tidak disebutkan) Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial (PMKS) di Kota Administrasi Jakarta Utara berjumlah 1083 jiwa, 87
diantaranya anak jalanan dengan 5 rumah singgah. Jumlah PMKS terbanyak berada di
Kecamatan Tanjung Priok sejumlah 461 jiwa. (Dinsos DKI Jakarta, )
Berdasarkan data diatas penulis tertarik untuk meneliti hubungan antara pengetahuan
komprehensif HIV/AIDS dan sikap terhadap perilaku pencegahan HIV/AIDS dengan
perilaku pencegahan HIV/AIDS anak jalanan di rumah singgah Jakarta Utara. Hasil
penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi ilmiah yang berguna bagi peneliti-peneliti
selanjutnya tentang pengetahuan komprehensif HIV/AIDS dan hubungannya dengan
perilaku pencegahan HIV/AIDS anak jalanan. Selain itu sebagai referensi dalam melakukan
intervensi yang lebih baik dan lebih tepat sasaran dari berbagai program yang ada saat ini,
baik dari sektor pemerintah maupun swasta.

2. Rumusan Masalah
Salah satu masalah dalam pengendalian HIV/AIDS di Indonesia adalah masih
rendahnya pengetahuan komprehensif remaja tentang HIV/AIDS. Beberapa hasil penelitian
terakhir menyebutkan bahwa perilaku berisiko HIV/AIDS berhubungan dengan pengetahuan
HIV/AIDS pada remaja. Berdasarkan data di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian

3
ini adalah bagaimanakah hubungan antara pengetahuan komprehensif HIV/AIDS dan sikap
terhadap perilaku pencegahan HIV/AIDS dengan perilaku pencegahan HIV/AIDS anak
jalanan di rumah singgah Jakarta Utara.

3. Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana tingkat pengetahuan komprehensif HIV/AIDS anak jalanan di rumah
singgah Jakarta Utara?
2. Bagaimana sikap terhadap perilaku pencegahan HIV/AIDS anak jalanan di rumah
singgah Jakarta Utara?
3. Bagaimana perilaku pencegahan HIV/AIDS anak jalanan di rumah singgah Jakarta
Utara?
4. Apakah ada hubungan antara pengetahuan komprehensif HIV/AIDS dan sikap
terhadap perilaku pencegahan HIV/AIDS dengan perilaku pencegahan HIV/AIDS
anak jalanan di rumah singgah Jakarta Utara?
5. Faktor apakah yang paling dominan berhubungan dengan perilaku pencegahan
HIV/AIDS anak jalanan di rumah singgah Jakarta Utara?

4. Tujuan Penelitian
4.1. Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan
komprehensif HIV/AIDS, dan sikap terhadap perilaku pencegahan HIV/AIDS dengan
perilaku pencegahan HIV/AIDS anak jalanan di rumah singgah Jakarta Utara.

4.2. Tujuan Khusus


1. Mengetahui tingkat pengetahuan komprehensif HIV/AIDS anak jalanan di rumah
singgah Jakarta Utara.
2. Mengetahui sikap terhadap perilaku pencegahan HIV/AIDS anak jalanan di
rumah singgah Jakarta Utara.
3. Mengetahui hubungan antara pengetahuan komprehensif HIV/AIDS, dan sikap
terhadap perilaku pencegahan HIV/AIDS dengan perilaku pencegahan HIV/AIDS
anak jalanan di rumah singgah Jakarta Utara.
4. Mengetahui faktor yang paling dominan berhubungan dengan perilaku
pencegahan HIV/AIDS anak jalanan di rumah singgah Jakarta Utara.

5. Manfaat Penelitian
5.1. Bagi Peneliti
Sebagai sarana pembelajaran dalam melakukan penelitian ilmiah dan menambah

4
wawasan tentang hubungan pengetahuan komprehensif HIV/AIDS dan sikap terhadap
perilaku pencegahan HIV/AIDS dengan perilaku pencegahan HIV/AIDS anak jalanan
di rumah singgah Jakarta Utara.
5.2. Bagi Peneliti lain
Sebagai referensi bagi peneliti-peneliti selanjutnya tentang hubungan pengetahuan
komprehensif HIV/AIDS dan sikap terhadap perilaku pencegahan HIV/AIDS dengan
perilaku pencegahan HIV/AIDS anak jalanan di rumah singgah Jakarta Utara.
5.3. Bagi Instansi terkait
Sebagai informasi ilmiah yang berguna dalam melakukan intervensi yang lebih
baik dan lebih tepat sasaran dari berbagai program yang ada saat ini terkait
pengetahuan komprehensif HIV/AIDS, sikap terhadap perilaku pencegahan
HIV/AIDS dan perilaku pencegahan HIV/AIDS anak jalanan di rumah singgah
Jakarta Utara, baik dari sektor pemerintah maupun swasta.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

5
1. PENGETAHUAN
1.1. Pengertian Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera yaitu
penglihatan, penginderaan, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan
diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2003).
1.2. Tingkatan Pengetahuan
Tingkatan pengetahuan dalam domain kognitif menurut Notoatmodjo (2003)
meliputi :
a. Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat
kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau
rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu tahu ini merupakan tingkatan yang
paling rendah.
b. Memahami (comprehension)
Memahami merupakan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara
benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut
secara besar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat
menjelaskan.
c. Aplikasi (aplication)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah
dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). Aplikasi disini dapat
diartikan sebagai sebagai aplikasi atau penggunaan metode dalam situasi nyata.
d. Analisis (analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek
ke dalam omponen-komponen, tetapi masih di dalam satustruktur organisasi, dan
masih ada kaitannya satu sama lain.
e. Sintesis (syntesis)
Sintesis ini menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.
Dengan kata lain adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari
formulasi-formulasi yang ada.
f. Evaluasi (evaluation)

6
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk elakukan justifikasi atau
penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian penilaian itu didasarkan pada
suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang
telah ada.

1.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan


Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan menurut Notoatmodjo (2003)
adalah sebagai berikut:
a. Tingkat pendidikan
Pendidikan merupakan upaya untuk memberikan pengetahuan sehingga
terjadi perubahan perilaku positif yang meningkat.
b. Pengalaman
Sesuatu yang pernah dilakukan seseorang akan menambah pengetahuan
tentang suatu yang bersifat informal.
c. Informasi
Seseorang yang mendapatkan informasi lebih banyak akan menambah
pengetahuan menjadi lebih luas.
d. Budaya
Tingkah laku manusia atau kelompok manusia dalam memenuhi
kebutuhan yang meliputi sikap dan kepercayaan (Notoatmodjo, 2003).

2. SIKAP
Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap
suatu stimulus atau objek. Sedangkan menurut Newcomb, sikap merupakan kesiapan
atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu.
Sehingga berdasarkan pengertian diatas, sikap bersifat tertutup dan merupakan
predisposisi perilaku seseorang terhadap suatu stimulus. 13,16 Terdapat beberapa
tingkatan sikap yakni:13-17
1) Menerima.
Menerima diartikan bahwa seorang mau dan memperhatikan stimulus yang
diberikan.
2) Menanggapi.
Menanggapi diartikan apabila seseorang memberikan jawaban atau tanggapan
terhadap obyek yang dihadapkan.

7
3) Menghargai.
Menghargai diartikan seseorang memberikan nilai yang positif terhadap suatu
objek seperti mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah.
4) Bertanggung jawab.
Seseorang pada tingkatan ini harus berani mengambil resiko apabila ada orang
lain yang mencemooh ataupun resiko lainnya.

3. HIV /AIDS
3.1 Pengertian HIV-AIDS
HIV (Human Imunodeficiency Virus) adalah virus yang menyerang sistem
kekebalan tubuh manusia.Virus HIV yang masuk ke dalam tubuh akan berkembang
biak. Virus HIV akan masuk dalam sel darah putih dan merusaknya, sehingga sel
darah putih yang berfungsi sebagai pertahanan terhadap infeksi akan menurun
jumlahnya. Akibatnya sistem kekebalan tubuh mejadi lemah dan penderita mudah
terkena berbagai penyakit. AIDS (Aqcuired Imuno Deficiency Syndrome) adalah
kumpulan gejala penyakit yang timbul karena rendahnya daya tahan tubuh. Pada
awalnya penderita HIV positif sering tidak menampakkan gejala sampai bertahun-
tahun (510 tahun). Banyak faktor yang mempengaruhi panjang pendeknya masa
tanpa gejala ini, namun pada masa ini penderita dapat menularkan penyakitnya pada
orang lain (Mandal, 2006).

3.2 . Penyebab HIV- AIDS


AIDS disebabkan oleh Human Imunodeficiency Virus (HIV) yaitu sejenis
retrovirus (virus yang dapat menggandakan dirinya sendiri pada sel-sel yang
ditumpanginya) yang merusak sistem kekebalan tubuh manusia atau sel-sel darah
putih (limfosit) virusnya akan memecah diri lalu merusak sel darah putih lainnya.
Virus AIDS menyerang sel darah putih khusus yang dinamakan T-lymthocytes,
perlawanan tubuh dari serangan infeksi. Ketika terjadi kerusakan T-cell yang
signifikan, seseorang tidak dapat melawan sebagian besar kuman yang masuk ke
dalam tubuh. Akibatnya tubuh mulai ditulari infeksi yang luar biasa dan menetap
pada seseorang dan amat sulit diatasi meskipun dengan obat-obatan dan perawatan
medis yang terbaik. Orang yang terserang AIDS tidak memiliki sistem kekebalan
yang normal. Virus AIDS menyerang sel T di dalam darah, meyebabkan sistem
kekebalan tidak efektif dalam pertahanan melawan kuman-kuman yang menyerang.

8
(Adler, 1998).

3.3 Tanda dan Gejala HIV-AIDS


Setelah seseorang terinfeksi HIV, dalam waktu 2-3 bulan tubuhnya baru akan
menghasilkan antibodi. Masa ini disebut periode jendela, berdasarkan hasil tes darah
yang dilakukan barulah dapat mengetahui seseorang mengidap HIV positif (+) atau
HIV negatif (-). Disebut HIV (+) jika dalam darahnya terkandung HIV, disebut HIV
(-) jika dalam darahnya tidak terkandung HIV. Jika ternyata orang tersebut
mengandung HIV (+) gejala yang terlihat belum ada hanya merasakan sakit ringan
biasa seperti flu. Masa-masa ini disebut masa laten, dapat berlangsung selama 5-10
tahun. Baik pada masa periode jendela maupun pada masa laten, seseorang tersebut
sudah dapat menularkan HIV pada orang lain. Setelah melewati masa laten, orang
yang terinfeksi HIV mulai memperlihatkan gejala-gejala AIDS. (Brunner &
Suddarth, 2000)
Gejala klinis pada stadium AIDS menurut Nursalam (2007) dibagi antara lain :
1) Gejala utama atau mayor
a) Demam berkepanjangan lebih dari 3 bulan.
b) Diare kronis lebih dari 1 bulan berulang maupun terus-menerus.
c) Penurunan berat badan lebih dari 10 % dalam 3 bulan.
2) Gejala minor
a) Batuk kronis selama lebih dari 1 bulan.
b) Infeksi pada mulut dan tenggorokan disebabkan jamur candida albicans.
c) Pembengkakan kelenjar getah bening yang menetap di seluruh tubuh.
d) Munculnya herpes zooster berulang dan bercak-bercak gatal di seluruh tubuh.

3.4. Cara Penularan HIV-AIDS


Kasus AIDS pertama kali ditemukan di Amerika Serikat pada tahun 1981
kemudian Centers for Disease Prevention (CDC) antara 1 Juni 1981 sampai
September 1982 menemukan laporan sejumlah 593 kasus infeksi opurtunistik yang
timbul akibat HIV-AIDS yang membahayakan jiwa penderitanya. Penderita pada
umumnya berusia antara 15-60 tahun dan jumlah 243 penderita telah meninggal
dunia. Penularan HIV demikian cepat menyebar, sehingga sampai Mei 1985
diperkirakan 12.000 kasus (Harahap, 2000).
HIV hanya dapat ditularkan bila terdapat kontak langsung dengan cairan tubuh

9
atau darah. Dosis atau banyaknya jumlah virus memegang peranan penting. Makin
besar jumlah virusnya, makin besar kemungkinan infeksinya. Jumlah virus yang
banyak terdapat didalam darah, sperma, dan cairan vagina, sedangkan dalam air
ludah, air mata, urin, keringat dan Air Susu Ibu (ASI) hanya ditemukan sedikit
sekali, sehingga kecil kemungkinannya untuk dapat tertular apabila berkontak
dengan cairan-cairan tersebut (Budimulja.1999).
Berdasarkan data Departemen Kesehatan RI (2001), penularan HIV/AIDS
sebagian besar melalui hubungan seksual dengan pasangan yang berlainan jenis
atau heteroseksual (61,7%), disusul dengan Homoseksual-biseksual (20,3%),
Injecting Drug User/IDU (15,7%), perinatal (1,2%), dan tranfusi darah (0,7%).
(Aprilianingrum,2002).
Secara garis besar ada dua cara penularan HIV-AIDS, yaitu secara kontak
seksual dan nonseksual. Penularan secara kontak seksual dapat terjadi antara laki-
laki dengan perempuan (heteroseksual), antara laki-laki dan laki-laki
(homoseksual), dan antara perempuan dengan perempuan (hubungan lesbian). Cara
berhubungan seksual yang dilakukan dapt melalui beberapa cara, yaitu kelamin
dengan kelamin (genito-genital), kelamin dengan Anus (Ano-genital atau anal
seks), kelamin dengan mulut (Oro-genital atau orak seks) dan tangan dengan
kelamin (mano genital). Kemungkinan tertular HIV cukup berbeda-beda
tergantung jenis dan cara berhubungan, resiko terbesar untuk tertular HIV adalah
apabila melakukan hubungan seksual secara anal dan vaginal, hubungan seksual
secara anal sangat rentan untuk penularan HIV karena lapisan kulit sekitar dubur
cukup tipis, sehingga dapat mengakibatkan luka yang mengeluarkan darah dan
dapat terjadi kontak antar cairan tubuh (Widoyono, 2008)
Penularan secara non seksual dapat terjadi melalui transmisi parenteral dan
transmisi transplasental. Transmisi parenteral terjadi melalui penggunaan jarum
dan alat tusuk lainnya (alat tindik, tatto) yang telah terkontaminasi, terutama pada
penyalah guna atau pecandu narkotik yang menggunakan jarum suntik secara
bersama-sama. Penularan parenteral lainnya adalah melalui trasfusi darah atau
pemakai produk donor dengan HIV positif. Resiko terinfeksi HIV karena
mendonorkan darah sangat kecil terjadi selama jarum suntik yang digunakan steril
dan sekali pakai dan yang mendonorkan darah juga tidak terinfeksi dengan HIV.
Penularan secara tranplasental dapat terjadi malalui ibu hamil yang positif HIV
kepada bayi yang dikandungnya, penularan dapat terjadi selama kehamilan, saat

10
melahirkan atau selama menyusui setelah melahirkan. (Zulkifli, 1999).
Kegiatan atau perilaku yang dianggap mempunyai resiko yang rendah dan
seringkali tidak ada hubungannya dengan infeksi HIV antara lain adalah transmisi
okupasi, tenaga kesehatan mempunyai resiko kecil terhadap transmisi okupasi
(misalnya melalui jarum suntik) yaitu kurang dari 0,4% atai 1:200 . Tenaga
kesehatan dapat terinfeksi HIV dari kontak dengan darah atau cairan tubuh lainnya
yang mengandung HIV melalui luka akibat terkena jarum suntik bekas penderita
HIV-AIDS.(Centers for Disease Control, 1991 dikutip dari Zulkifli, 1999).
HIV tidak menular melalui peralatan makan, pakaian, handuk, saputangan,
toilet yang dipakai secara bersama-sama, berpelukan, berjabat tangan, hidup
serumah dengan penderita HIV-AIDS, gigitan nyamuk dan hubungan sosial yang
lain (Nursalam, 2007).

3.5. Cara Pencegahan HIV-AIDS


Menurut Mandal (2006) Sampai saat ini belum ada pengobatan yang dapat
menyembuhkan AIDS, belum ada vaksin yang dapat mencegah terjadinya AIDS,
dan belum ada metode yang terbukti dapat menghilangkan infeksi carier HIV.
Karena alasan ini segala usaha harus dilakukan untuk mencegah AIDS. Menurut
Zulkifli (1999), AIDS sudah pasti akan mendatangkan kematian, maka
pencegahannya merupakan upaya penanggulangan yang terutama harus dilakukan.
Upaya yang dapat dilakukan adalah pencegahan penularan melalui jalur non
seksual, jalur seksual dan pencegahan penularan dari ibu ke anak.
Pencegahan penularan melalui jalur non seksual terdiri dari dua cara yaitu
pertama, transfusi darah, cara ini dapat dicegah dengan mengadakan pemeriksaan
donor darah, sehingga hanya darah yang bebas HIV yang ditransfusikan. Kedua,
penularan AIDS melalui jarum suntik atau sejenisnya dapat dicegah dengan upaya
sterilisasi atau mengguanakan jarum suntik sekali pakai.
Pencegahan penularan melalui jalur seksual dapat dilakukan dengan
pendidikan atau penyuluhan yang intensif yang ditujukan untuk merubah cara
hidup dan perilaku seksual. Pada hakekatnya setiap individu secara individu secara
potensial adalah pelaku seks. Potensi ini mencapai puncaknya pada usia remaja
dan membutuhkan penyaluran sampai seseorang mencapai usia tua. Selain upaya
pendidikan/penyuluhan intensif, cara pencegahan dapat dilakukan dengan
monogami, menghindari hubungan seksual dengan wanita tuna susila (WTS), tidak

11
melakukan hubungan seksual dengan penderita AIDS dan Pergunakan kondom
terutama bagi kelompok perilaku resiko tinggi. Upaya pencegahan penularan HIV
dari ibu ke anak yang dapat dilakukan adalah menganjurkan kepada ibu yang
menderita AIDS atau HIV positif untuk tidak hamil.
Ketahanan masyarakat terhadap penularan HIV/AIDS dapat melalui empat
jenis perilaku yang dikenal dengan ABCD yang terdiri dari A berarti Abstinence,
yaitu menahan nafsu seksual atau tidak melakukan hubungan seksual sama sekali,
terutama yang belum menikah. B berarti Be Faithful, yaitu tidak berganti-ganti
pasangan dan saling setia kepada pasangannya. C berarti Condom, jika kedua cara
diatas sulit, harus meakukan hubungan seksual yang aman yaitu dengan
menggunakan alat pelindung atau kondom. D berarti Dont share srynge, yaitu
tidak memakai jarum suntik atau alat yang menembus kulit bergantian dengan
orang lain, terutama dikalangan IDU (Injecting Drug Use). (Aprilianingrum, 2002
Harahap 2000).

3.6. Tahapan perkembangan HIV-AIDS


Menurut BKKBN (2009) perjalanan HIV-AIDS dapat melalui beberapa
tahapan. Hal ini bervariasi antara satu orang dan orang lain, antara lain :
1) Fase 1
Umur infeksi 1-6 bulan sejak terinfeksi HIV, individu sudah terpapar
dan terinfeksi tetapi ciri-ciri terinfeksi belum terlihat meskipun dilakukan
tes darah. Pada fase ini antibodi individu terhadap HIV belum terbentuk. Bisa
saja individu terlihat atau mengalami gejala-gejala ringan seperti flu
(biasanya 2-3 hari sembuh sendiri).
2) Fase 2
Umur infeksi 2-10 tahun sejak terinfeksi HIV. Pada fase kedua ini
individu sudah positif HIV tetapi belum menampakkan gejala sakit. Namun
sudah dapat menularkan pada orang lain
3) Fase 3
Mulai muncul gejala-gejala awal penyakit tetapi belum disebut sebagai
gejala AIDS. Gejala-gejala AIDS antara lain : keringat yang berlebihan pada
malam hari, diare terus-menerus, pembengkakan kelenjar getah bening, flu
yang tidak sembuh-sembuh, nafsu makan berkurang, badan menjadi lemah
dan berat badan terus berkurang. Pada fase ketiga ini sistem kekebalan tubuh

12
mulai berkurang.
4) Fase 4
Sudah masuk pada fase AIDS. AIDS sudah dapat terdiagnosa setelah
kekebalan tubuh sangat berkurang dilihat dari jumlah sel T nya. Kemudian
timbul penyakit tertentu yang disebut dengan infeksi oportunistik, yaitu
TBC, infeksi paru-paru yang menyebabkan radang paru-paru dan kesulitan
bernafas, kanker, sariawan, kanker kulit, infeksi usus yang menyebabkan
diare parah berminggu-minggu dan infeksi otak yang menyebabkan
kekacauan mental dan sakit kepala.

4. PERILAKU

4.1. Pengertian Perilaku


Perilaku manusia merupakan hasil daripada segala macam pengalaman
serta interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk
pengetahuan, sikap dan tindakan. Dengan kata lain, perilaku merupakan
respon/reaksi seorang individu terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun
dari dalam dirinya. Respon ini dapat bersifat pasif (tanpa tindakan : berpikir,
berpendapat, bersikap) maupun aktif (melakukan tindakan). Sesuai dengan
batasan ini, perilaku kesehatan dapat di rumuskan sebagai bentuk pengalaman
dan interaksi individu dengan lingkungannya, khususnya yang menyangkut
pengetahuan dan sikap tentang kesehatan. Perilaku aktif dapat dilihat, sedangkan
perilaku pasif tidak tampak, seperti pengetahuan, persepsi, atau motivasi.
Beberapa ahli membedakan bentuk-bentuk perilaku ke dalam tiga domain yaitu
pengetahuan, sikap, dan tindakan atau sering kita dengar dengan istilah
knowledge, attitude, practice (Sarwono, 2004).

4.2. Cakupan Perilaku


Menurut Notoatmodjo (2003) perilaku kesehatan pada dasarnya adalah
suatu respon seseorang (organisme) terhadap stimulus yang berkaitan dengan
sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan serta lingkungan.
Adapun perilaku kesehatan mencakup :
a. Perilaku seseorang terhadap sakit dan penyakit. Perilaku ini sesuai dengan
tingkat-tingkat pencegahan penyakit, yaitu :

13
1) Perilaku sehubungan dengan peningkatan dan pemeliharaan kesehatan
(health promotion behavior), misalnya makan makanan yang bergizi, olah
raga dan sebagainya.
2) Perilaku pencegahan penyakit (health prevention behavior) adalah respon
untuk melakukan pencegah penyakit. Misalnya : tidak minum kopi, tidak
minum beralkohol, tidak makan berlemak, menghentikan kebiasaan
merokok dan sebagainya.
3) Perilaku sehubungan dengan pencarian bantuan pengobatan (health
seeking behavior), yaitu perilaku untuk melakukan atau mencari
pengobatan. Misalnya : usaha-usaha mengobati sendiri penyakitnya, atau
mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas kesehatan modern (puskesmas,
mantri, dokter praktek dan sebagainya), maupun ke fasilitas kesehatan
tradisional (dukun, sinshe, dan sebagainya).
4) Perilaku sehubungan dengan pemulihan kesehatan (health rehabilitation
behavior) yaitu perilaku yang berhubungan dengan usaha-usaha
pemulihan kesehatan setelah sembuh dari suatu penyakit. Misalnya
melakukan diet (rendah lemak, rendah garam), mematuhi anjuran-anjuran
dokter dalam rangka pemulihan kesehatannya.
b. Perilaku terhadap sistem pelayanan kesehatan adalah respon seseorang
terhadap sistem pelayanan kesehatan baik sistem pelayanan kesehatan
modern ataupun tradisional.
c. Perilaku terhadap makanan (nutrition behavior), yaitu respon seseorang
terhadap makanan sebagai kebutuhan vital bagi kehidupan.
d. Perilaku terhadap lingkungan kesehatan (environmental health behavior)
adalah respon seseorang terhadap lingkungan sebagai determinan kesehatan
manusia.

4.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku


Menurut teori Lawrence Green (1980) yang dikutip Notoatmodjo (2003),
menyatakan bahwa perilaku kesehatan dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu :
a. Faktor Predisposisi
Termasuk didalamnya adalah pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan
dan nilai-nilai.
1) Pengetahuan

14
Pengetahuan diperoleh dari pengalaman sendiri atau orang lain.
Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk
tindakan seseorang.
2) Sikap
Sikap mempengaruhi perilaku karena sikap merupakan kesiapan
berespon atau bertindak. Bila klien bersikap kurang baik sehubungan
dengan perilaku pencegahan HIV/AIDS, maka hal tersebut dapat
berpengaruh terhadap perilaku yang muncul, untuk itu sikap responden
terhadap perilaku pencegahan HIV/AIDS harus diperhatikan oleh petugas
kesehatan.
3) Kepercayaan
Kepercayaan sering atau diperoleh dari orang tua, kakek, nenek.
Seseorang menerima kepercayaan itu berdasarkan keyakinan dan tanpa
adanya pembuktian terlebih dahulu. Masyarakat yang mempercayai suatu
keyakinan tertentu, maka dalam menghadapi suatu perilaku kesehatan
akan berpengaruh terhadap status kesehatannya.
4) Keyakinan
Suatu hal yang dianggap benar dan dianut sebagai aturan yang
dilakukan oleh masyarakat.
5) Nilai-nilai
Pada masyarakat dimanapun selalu berlaku nilai-nilai yang menjadi
pegangan sikap orang dalam menyelenggarakan hidup bermasyarakat.

b. Faktor pendukung (Enabling


factors)
Faktor pendukung disini adalah ketersediaan sumber-sumber dan fasilitas yang
memadai. Sumber-sumber dan fasilitas tersebut sebagian harus digali dan
dikembangkan dari masyarakat itu sendiri. Faktor pendukung ada dua macam,
yaitu: fasilitas fisik dan fasilitas umum. Fasilitas fisik yaitu fasilitas-fasilitas
atau sarana kesehatan, misalnya puskesmas, obat-obatan, alat kontrasepsi,
jamban dan sebagainya. Sedangkan fasilitas umum yaitu media informasi,
misalnya TV, koran, majalah.

c. Faktor penguat

15
Meliputi sikap dan perilaku petugas kesehatan, tokoh masyarakat, teman
sebaya dan orang tua.

Perilaku erat hubungannya dengan kesehatan. Tingkat kesehatan, keselamatan,


serta kehidupan seseorang banyak ditentukan oleh faktor perilaku. Perilaku
mempunyai andil nomor dua setelah lingkungan terhadap status kesehatan.

4.4 Proses Pembentukan Perilaku


Perilaku manusia terbentuk karena adanya kebutuhan. Menurut
Abraham Harold Maslow, manusia memiliki lima kebutuhan dasar, yakni :
a. Kebutuhan fisiologis/biologis, yang merupakan kebutuhan pokok utama,
yaitu H2, H2O, cairan elektrolit, makanan dan seks. Apabila kebutuhan ini
tidak terpenuhi akan terjadi ketidakseimbangan fisiologis. Misalnya,
kekurangan O2 yang menimbulkan sesak nafas dan kekurangan H2O dan
elektrolit yang menyebabkan dehidrasi.
b. Kebutuhan rasa aman, misalnya :
a) Rasa aman terhindar dari pencurian, penodongan, perampokan dan
kejahatan lain.
b) Rasa aman terhindar dari konflik, tawuran, kerusuhan, peperangan dan
lain-lain.
c) Rasa aman terhindar dari sakit dan penyakit
d) Rasa aman memperoleh perlindungan hukum.
c. Kebutuhan mencintai dan dicintai, misalnya :
a) Mendambakan kasih sayang/cinta kasih orang lain baik dari orang tua,
saudara, teman, kekasih, dan lain-lain.
b) Ingin dicintai/mencintai orang lain.
c) Ingin diterima oleh kelompok tempat ia berada.
d. Kebutuhan harga diri, misalnya :
a) Ingin dihargai dan menghargai orang lain
b) Adanya respek atau perhatian dari orang lain
c) Toleransi atau saling menghargai dalam hidup berdampingan
e. Kebutuhan aktualisasi diri, misalnya :
a) Ingin dipuja atau disanjung oleh orang lain
b) Ingin sukses atau berhasil dalam mencapai cita-cita

16
c) Ingin menonjol dan lebih dari orang lain, baik dalam karier, usaha,
kekayaan, dan lain-lain.

5. KERANGKA KONSEP PENELITIAN

Faktor Predisposisi
- Pengetahuan
- Sikap
- Kepercayaan
- Tradisi
- Nilai-Nilai

Faktor Pendukung
- Tersedianya Perilaku terhadap
sarana Pencegahan
Prasarana HIV/AIDS
kesehatan

Faktor Penguat
- Peraturan
undang-undang
- Petugas
kesehatan

Tabel 2.1 Teori Lawrance Green ( Notoadmodjo, 2003)

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

1. DESAIN PENELITIAN

17
Penelitian ini merupakan jenis penelitian observasional analitik yang bersifat
kuantitatif dengan pendekatan cross-sectional. Variabel bebas maupun variabel tergantung
dinilai hanya satu kali saja dan diukur menurut keadaan atau status saat dilakukan observasi
(point time approach).

2. LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN


Penelitian ini dilaksanakan di 5 rumah singgah yang ada di Jakarta Utara pada bulan
Mei 2016.

3. SUBYEK PENELITIAN
3.1 Populasi Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah semua anak jalanan yang tercatat di 5 rumah
singgah tersebut yang memenuhi kriteria inklusi. Kriteria inklusi pada penelitian ini
adalah sebagai berikut :
a) Anak jalanan yang tercatat di rumah singgah Jakarta Utara
b) Anak jalanan yang berusia 15 24 tahun
c) Anak jalanan yang bersedia menjadi responden
3.2 Sampel Penelitian
Jumlah populasi anak jalanan (N) belum diketahui, maka jumlah sampel yang diteliti
dihitung menggunakan rumus sampel untuk design penelitian cross-sectional yaitu :

Keterangan :
n = jumlah sampel minimal yang diperlukan
= derajat kepercayaan (95%)
p = proporsi anak yang diberi ASI secara eksklusif (11,4% = 0,11)

18
q = 1-p (proporsi anak yang tidak diberi ASI secara eksklusif (1 - 0,11 = 0,89)
d = limit dari error atau presisi absolut
Jika ditetapkan d = 0,05 atau Z1- /2 = 1,96 maka:

(1,96)2 (0,114) (0,886)


n = --------------------------------
(0,05)2

n = 155,21

Jadi jumlah sampel yang diambil sebanyak 155 orang anak jalanan. Pemilihan sampel
dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik pengambilan sampel secara acak
(simple random sampling) dari data anak jalanan di 5 rumah singgah yang ada di
Jakarta Utara.

19
4. SKALA PENGUKURAN VARIABEL PENELITIAN

DEFINISI ALAT
NO VARIABEL KATEGORI KRITERIA SKALA
OPERASIONAL UKUR
Variabel Dependen
1 Perilaku Tindakan yang dilakukan Kuesioner Baik Jika responden Ordinal
pencegahan responden dalam upaya melakukan semua
HIV/AIDS pencegahan HIV/AIDS, tindakan pencegahan
meliputi : HIV/AIDS
a. Berhubungan seksual
Jika responden tidak
hanya dengan satu Kurang baik
melakukan semua
pasangan tetap yang
tindakan pencegahan
tidak berisiko
HIV/AIDS
b. Berhubungan seksual
dengan suami/istri saja
c. Tidak melakukan
hubungan seksual
sama sekali
d. Menggunakan kondom
saat berhubungan
seksual dengan
pasangan berisiko
d. Tidak menggunakan

20
jarum suntik bersama
e. Melakukan sunat /
sirkumsisi
Variabel Independen
1 Umur Umur responden yang Kuesioner <15 thn Remaja awal Ordinal
terhitung sejak lahir 15 -24 thn Remaja pertengahan
>24 thn Remaja lanjut
hingga ulang tahun
terakhir
2 Jenis kelamin Ciri anatomi yang Kuesioner Laki-laki Nominal
membedakan seseorang Perempuan
dengan yang lainnya

3 Tingkat Jenjang pendidikan Kuesioner Rendah Jika responden .tidak Ordinal


Pendidikan formal terakhir yang sekolah tamat
ditamatkan responden SD/MI/SMP/MTs.
Jika pendidikan
Menengah
terakhir responden
tamat SMA/SMU
Jika pendidkan
Tinggi terakhir responden
PT

21
4 Sikap terhadap Respon responden Kuesioner Positif Jika responden Nominal
perilaku terhadap upaya Negatif setuju terhadap
pencegahan pencegahan HIV/AIDS upaya pencegahan
HIV/AIDS HIV/AIDS
Jika responden tidak
setuju terhadap
upaya pencegahan
HIV/AIDS
5 Pengetahuan Apakah HIV/AIDS dapat Kuesioner Komprehensif Jika responden Nominal
komprehensif ditularkan melalui: mengetahui semua
tentang pertanyaan
HIV/AIDS (DIBACAKAN DAN Jika responden
Tidak
ISIKAN KODE mengetahui tidak
komprehensif
JAWABAN DENGAN semua pertanyaan
1=YA, 2=TIDAK ,
ATAU 8=TIDAK
TAHU)

a. Hubungan seksual
yang tidak aman
b. Penggunaan jarum
suntik bersama

22
c. Transfusi darah
d. Membeli sayuran segar
dari petani/penjual yang
terinfeksi HIV/AIDS
e. Makan sepiring dengan
orang yang terkena virus
HIV/AIDS
f. Penularan dari ibu ke
bayi saat persalinan
g. Melalui makanan yang
disiapkan oleh ODHA
(Penderita HIV/AIDS)
h.Penularan dari ibu ke
bayi saat menyusui
i. Penularan dari ibu ke
bayi selama hamil
j. Melalui gigitan nyamuk

23
5. UJI VALIDITAS DAN RELIABILITAS
5.1 Uji Validitas (kesahihan).
Uji validitas adalah suatu ukuran yang menunjukan tingkatan tingkatan kevalidan atau
kesahihan suatu instrumen. Suatu instrumen yang valid atau sahih mempunyai validitas
tinggi. Instrumen dikatakan valid apabila mampu mengukur apa yang di inginkan dan
apabila dapat mengungkapkan data dari variabel yang diteliti secara tepat (Arikunto, 2006).
Untuk mengetahui validitas suatu instrumen dilakukan dengan cara melakukan korelasi
antar skor masing-masing variabel dengan skor totalnya. Suatu variabel berkorelasi secara
signifikan dengan skor totalnya (Notoatmodjo, 2010). Dalam Notoatmodjo 2010 rumus
korelasi yang dapat digunakan adalah yang dikemukakan oleh Pearson. Yang dikenal
dengan rumus korelasi product moment sebagai berikut.
Rumus :

Keterangan :
rxy : Korelasi antara variabel x dan y
x : Skor pertanyaan / pernyataan
y : skor total
N : Jumlah sampel yang akan diteliti
Setelah itu diuji dengan uji t baru bisa dilihat penafsiran dari indeks
korelasinya ( Hidayat, 2007 )
Rumus sebagai berikut :

Keputusan uji :
Bila r hitung > dari t tabel maka dikatakan valid
Bila r hitung < dari t tabel maka dikatakan tidak valid.

5.2 Uji Reliabilitas

24
Reliabilitas adalah suatu instrument cukup dapat dipercaya untuk digunakan
sebagai alat pengumpulan data karena instrument tersebut sudah baik. Instrument
yang sudah dipercaya, yang reliable akan menghasilkan data yang dapat dipercaya
juga (Notoatmodjo, 2005). Uji reliabilitas kuesioner dilakukan dengan teknik alpha
menggunakan rumus :

Keterangan :
r11 : Reliabilitas instrument.
rb : Kolerasi product moment antara belahan.
Keputusan uji :
Instrument dikatakan reliabel jika nilai alpha lebih besar dari 0,6 atau mendekati 1.
Uji reliabilitas dengan Alpha Cronbach dikatakan reliabel jika hasil olah data
didapatkan nilai 0,6. Setelah dilakukan uji reliabilitas kepada 20 responden
didapatkan instrumen pengetahuan yang reliabel dengan nilai 0,837 dan instrumen
kecemasan 0,725.
Dari hasil tersebut, kuesioner yang digunakan untuk penelitian ini telah memenuhi syarat
validitas dan reliabilitas.

6. PENGUMPULAN DATA
Pengumpulan data dengan data primer dari kuesioner. Instrumen pada penelitian
ini menggunakan lembaran kuesioner yang digunakan pada Riskesdas 2010 terdiri dari
pertanyaan yang berkaitan dengan pengetahuan komprehensif HIV/AIDS dan perilaku
pencegahan HIV/AIDS. Sebelum kuesioner disebarkan kepada responden, peneliti
terlebih dahulu menjelaskan maksud dan tujuan dari penelitian, dan responden mengisi
lembar persetujuan menjadi responden terlebih dahulu.

7. PENGOLAHAN DATA
Data yang telah diperoleh dari proses pengumpulan data akan diubah kedalam
bentuk tabel-tabel, kemudian data diolah menggunakan program SPSS. Kemudian proses
pengolahan data menggunakan program komputer ini terdiri beberapa langkah, yaitu:

25
a. Coding, untuk mengkonversikan (menerjemahkan) data yang dikumpulkan selama
penelitian kedalam simbol yang cocok untuk keperluan analisis.
b. Editing, pada tahapan ini dilakukan penyuntingan data sebelum proses pemasukan
data. Kegiatan ini dilakukan agar dapat mengurangi terjadinya kesalahan dalam
pengumpulan kuesioner.
c. Verifikasi, memasukan data pemeriksaan secara visual terhadap data yang telah
dimasukan kedalam komputer.
d. Output computer, hasil yang telah dianalisis oleh komputer kemudian dicetak.

8. UJI STATISTIK
Analisis univariat dilakukan untuk melihat frekuensi distribusi karakteristik responden
dari variabel independen (pengetahuan komprehensif HIV/AIDS dan sikap) dan variabel
dependen (perilaku pencegahan HIV/AIDS). Analisis bivariat dilakukan untuk melihat ada
tidaknya hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen anak jalanan di
rumah singgah Jakarta Utara. Karena penelitian ini ingin mengetahui ada tidaknya asosiasi
antara 2 variabel, maka uji statistik yang digunakan adalah uji Chi-Square dengan derajat
kemaknaan 95%. Analisis multivariat dilakukan dengan cara uji regresi logistik sederhana,
hal ini digunakan untuk mengetahui faktor determinan mana yang paling berperan terhadap
perilaku pencegahan HIV/AIDS pada remaja.

26

Anda mungkin juga menyukai