Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Analisis Sumber Daya dan Lingkungan (PL-214)
dosen pengampu Benny Moestofa Ir, M,Sc.
Disusun oleh:
(Kelompok 5)
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat,
karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang Sumber
Daya Alam dan Pengelolaannya dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya. Dan
juga kami berterima kasih pada Bapak Benny Moetofa Ir, M,Sc. selaku Dosen mata kuliah
Analisis Sumber Daya dan Alam ITENAS yang telah memberikan tugas ini kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan
serta pengetahuan kita mengenai sumber daya laut dan pesisir. Kami juga menyadari
sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna.
Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang
telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa
saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang
membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang
kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun dari Anda demi
perbaikan makalah ini di waktu yang akan datang.
Penyusun
Daftar isi
Daftar Tabel
Daftar Gambar
1 BAB I
PENDAHULUAN
Potensi wilayah pesisir dan laut Indonesia dipandang dari segi pembangunan adalah
sebagai berikut ; pertama, sumberdaya yang dapat diperbaharui seperti perikanan (tangkap,
budidaya, dan pasca panen), hutan mangrove, terumbu karang, industri bioteknologi kelautan
dan pulau-pulau kecil. Kedua, sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui seperti minyak
bumi dan gas, bahan tambang dan mineral lainnya serta harta karun. Ketiga, Energi kelautan
seperti; pasang surut, gelombang, angin, OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion).
Keempat, jasa-jasa lingkungan seperti pariwisata, perhubungan, dan kepelabuhanan serta
penampung (penetralisir) limbah (Hanafiahdkk, 2010).
Oleh karena itu dari uraian di atas maka penulis merasa perlu untuk melakukan
penelitian mengenai permasalahan yang terjadi di beberapa perairan pesisir Indonesia yang
saat ini kawasan pesisir di Indonesia kian kritis kondisinya.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah di atas, maka pokok permasalahan
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
2. Sasaran
1) Teridentifikasi kondisi umum beberapa daerah pesisir di Indonesia
2) Teridentifikasi isu isu kritis dan lingkup pengelolaan sumber daya pesisir di
beberapa daerah pesisir Indonesia
Sumber : www.mgi.esdm.go.id
Gambar 1.1Peta Indonesia
Lingkup wilayah kajian dari makalah ini adalah Indonesia bagian barat yaitu Sumatera
Utara dan Indonesia bagian tengah yaitu Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi Tengah.
Provinsi Sumatera Utara terletak pada 1 - 4Lintang Utara dan 98 - 100 Bujur Timur,
yang dapat dibagi menjadi dua pesisir yaitu pesisir barat dan pesisir timur. Pesisir timur
merupakan wilayah di dalam provinsi yang paling pesat perkembangannya karena
persyaratan infrastruktur yang relatif lebih lengakp daripada wilayah lainnya. Wilayah pesisir
timur juga merupakan wilayah yang relatif padat konsentrasi penduduknya dibandingkan
wilayah lainnya. Kemudian untuk pesisir barat merupakan wilayah yang mencakup smepit,
dengan komposisi penduduk yang terdiri dari masyarakat Batak, Minangkabau dan Aceh.
Provinsi Nusa Tengggara Timur berada pada bentang kepulauan yang terletak di antara
80-120 Lintang Selatan, dan 118-125 Bujur Timur.
Provinsi Sulawesi Tengah terletak di bagian Tengah Pulau Sulawesi, secara geografis
terletak di antara 0222 Lintang Utara - 0348 Lintang Selatan dan 11922 - 12422 Bujur
Timur dengan luas wilayah daratan 68.033 km2 dan luas wilayah laut 189.480 km2.
2 BAB II
ISU-ISU KRITIS DAN LINGKUP PENGELOLAAN SUMBER DAYA
LAUT DAN PESISIR
2.1.1 Isu Kritis Pengelolaan Sumber Daya Laut dan Pesisir di Provinsi
Sumatera Utara
Berdasarkan hasil identifikasi isu pengelolaan wilayah pesisir dan hasil konsultasi
publik yang telah dilaksanakan di tingkat Kabupaten/Kota maupun tingkat Provinsi, maka
diperoleh 11 (sebelas) isu yang menjadi prioritas di kawasan pesisir timur Sumatera Utara
dan 10 (sepuluh) isu prioritas untuk kawasan pesisir barat Sumatera Utara.
2. Kota Medan
1) Kerusakan Mangrove yang Cukup Parah
2) Alih Fungsi Hutan Mangrove menjadi Kawasan Industri dan
3) Intrusi air Laut ke Daerah Pemukiman Penduduk
4) Pencemaran Wilayah Pesisir dan Laut oleh Limbah Industri dan Rumah Tangga
5) Konflik Antara Nelayan Tradisional dengan Nelayan Trawl
6) Keamanan yang Cukup Rawan bagi Kapal-kapal Penangkap Ikan dan Usaha
Pertambakan
7) Rendahnya Kualitas Sumberdaya Manusia
8) Kurangya Fungsi Kelembagaan dalam Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut
9) Penurunan Produktivitas Perikanan Tangkap dan Perikanan Budidaya
10) Belum Ada Tata Ruang Kawasan Pesisir
11) Berdirinya Tangkahan Liar Milik Masyarakat
4. Kabupaten Asahan
1) Kerusakan Hutan Mangrove
2) Kerusakan Terumbu Karang dan Padang Lamun
3) Pencemaran Wilayah Pesisir oleh Limbah Industri dan Limbah Rumah Tangga
4) Ancaman Intrusi Air Laut ke Daerah Pertanian dan Pemukiman
5) Rendahnya Kualitas Sumberdaya Manusia
6) Rendahnya Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Pesisir
7) Rendahnya Ketaatan dan Penegakan Hukum
8) Belum Adanya Penataan Ruang Wilayah Pesisir
9) Belum Optimalnya Pengelolaan Perikanan Tangkap dan Budidaya
10) Belum Optimalnya Pengembangan Potensi dan Objek Wisata Bahari
2. Kota Sibolga
1) Kerusakan Hutan Mangrove
2) Belum Optimalnya Pengelolaan Budidaya Laut
3) Pencemaran oleh Limbah Industri dan Rumah Tangga
4) Pencurian Ikan oleh Kapal Nelayan Asing
5) Rendahnya Kualitas Sumberdaya Manusia
6) Berkembangnya Tangkahan Milik Masyarakat di Luar Wilayah Pelabuhan
Perikanan Sibolga
Saat ini saja, kerusakan terumbu karang yang merupakan sumber kehidupan bioata
laut terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia. Pemboman ikan bukan saja mematikan ikan
tetapi berdampak pada kerusakan seluruh biota laut.
Terdapat 97 titik di perairan Teluk Maumere dan sekitarnya namun sebagian besar
terumbu karang sudah rusak atau mati dan sisanya hanya 25 persen. Ini data yang
disampaikan Coremap, sebuah program bantuan asing yang memfokuskan perhatiannya pada
bidang pengelolaan terumbu karang.
Akibat dari terumbu karang yang sudah rusak itu, katanya, jumlah ikan yang hidup di
laut berkurang. Dampak lanjutannya adalah penghasilan nelayan menurun dan sumber nutrisi
untuk manusia pun ikut berkurang.
Terumbu karang di Teluk Maumere memiliki keindahan dan aneka warna sehingga
dijadikan sebagai salah satu taman laut di Indonesia. Namun banyak di antaranya rusak
karena kegiatan pengemboman ikan dan gempa bumi yang terjadi pada 1992.
Eksploitasi hasil laut secara sacara seperti mengambil karang laut juga merupakan
bentuk pengrusakan biota laut. Karang merupakan rumah ikan sekaligus sumber makanan
bagi ikan, sementara karang membutuhkan waktu sangat lamah untuk tumbuh dan
berkembang.
B. Isu Sosial
Berkaitan dengan sosial, budaya, dan politik maka hal ini sangat berkaitan dengan
masyarakat Provinsi Nusa tenggara timur yaitu masyarakat pada Provinsi tersebut masih
lebih mementingkan keuntungan pribadi tanpa mempertimbangkan dampak yang diakibatkan
dari setiap tindakan. Terdapat istilah anak buah dan Klien para anak buah cenderung berasal
dari para nelayan sedangkan klien adalah investor atau pengusaha. Para anak buah melakukan
permintaan investor dengan pemberian jaminan uang, jabatan dan penghidupan subsistensi
dasar, berupa pemberian pekerjaan tetap, penyediaan saprodi, jasa pemasaran, dan bantuan
teknis sebagai imbalan atau bayaran. Hal tersebut menyebab banyak nelayan yang tergiur dan
bersedia melakukan segala cara agar keinginan mereka tercapai tanpa memperdulikan
dampak yang ditimbulkan.
C. Isu Ekonomi
Dari sisi ekonomi, ekosistem ini merupakan sumber mata pencaharian bagi nelayan,
penghasil kapur dan bahan bangunan, sehingga hal tersebut dapat memberikan kesejahteraan
dan dan dapat meningkatkan taraf hidup bagi masyarakat Provinsi NTT.
Terumbu karang merupakan tempat tinggal beberapa mahluk laut dan tempat mereka
mencari makanan. Terumbu karang yang ada di perairan Indonesia saat ini terbentuk sejak
450 tahun silam dan pertumbuhannya sangat lamban, karang yang bentuknya bulat
tumbuhnya sangat lambat dan dengan jumlah penduduk lebih dari 212 juta jiwa, 60 %
penduduk Indonesia tinggal di daerah pesisir, maka terumbu karang dengan luas areal yang
mencapai 60.000 km2 lebih, merupakan tumpuan sumber penghidupan utama bagi
masyarakat NTT. Tetapi, dengan keadaan seperti saat ini. Masyarakat (nelayan dan buruh
nelayan) yang mata pencariannya bertumpu pada ekosistem terumbu karang, dalam 5 tahun
terakhir ini, hasil tangkapan mereka menjadi turun drastis karena cuaca yang selalu tidak
menentu dan juga karena pengaruh ekonomi.
Sehingga untuk menutupi kebutuhan hidupnya, masyarakat (nelayan yang rata rata
tidak mempunyai pengetahuan yang memadai tentang kehidupan bawah laut) lebih suka
memilih jalan pintas untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Seperti melakukan over fishing
dan pemakaian alat tangkap yang tidak ramah dengan lingkungan, seperti jaring trawl, mini
trawl, obat bius, dan bom ikan. Karena dengan cara seperti itu, mereka bisa mendapatkan
hasil tangkapan yang maksimal tanpa perlu melakukan usaha yang lebih.
Dan hal inilah yang membuat pencemaran lingkungan, khususnya lingkungan laut
(ekositem terumbu karang) yang berakibat kepada rusaknya ekosistem ini. Selain itu terumbu
karang juga sering dieksploitasi oleh manusia secara besar besaran hal tersebut
mengakibatkan pendapatan nelayan di Provinsi NTT menurun drastis dan juga berdampak
pada penurunan pendapatan Provinsi tersebut
D. Isu Agraria
Perkembangan perikanan didukung potensi panjang garis pantai 5.700 Km dan luas
laut mencapai 15.141.773,10 Ha. Potensi yang mendukung sector perikanan adalah Hutan
Mangrove seluas 51.854,83 Ha (11 Spesies), terumbu karang sebanyak 160 jenis dari 17
famili, 42.685 rumah tangga perikanan, 808 Desa/Kelurahan pantai, jumlah 1.105,438 jiwa
penduduk pantai, 194,684 orang nelayan ( 9,9 % dari jumlah Penduduk Desa Pantai) (BPS,
NTT Dalam Angka Tahun 2012).
Sumber daya laut sangat potensial untuk perikanan tangkap dan budidaya dengan arah
pengembangan masing-masing yaitu: (i) Kawasan peruntukkan perikana tangkap, perikana
budidaya dan pengolahan ikan tesebar diseluruh Kabupaten/Kota, (ii) pengembangan
kawasan minapolitan untuk perikanan tangkap dan perikanan budidaya di Kabupaten Suba
Timur, Sikka, Lembata, Rote Ndao, Alor, Kota Kupang, dan (iii) pengembangan komuditas
garam rakyat di Kabupaten Nagekeo, Ende, Kupang Tengah Utara, Kupang, lembata, dan
Alor.
Potensi Perikanan tangkap, terdiri dari: Potensi Lestari (MSY) 388,7 Ton/Tahun; jumlah
ikan ekonomis: (1) Ikan pelagis (tuna, cakalang, tenggiri, laying, selar, kembung); (2) Ikan
demersal (kerapu, ekor kuning, kakap, bambangan, dll); (3) komuditi lainnya: (lobster, cumi-
cumi, kerang darah, dll).
Potensi Perikanan Budidaya, terdiri dari budidaya laut seluas 5.870 Ha (rumput laut,
mutiara, kerapu) dengan potensi produksi mencapai 51.500 Ton/Tahun; budidaya air payau
seluas 35,455 Ha (udang dan bandeng) dengan potensi produksi mencapai 36.000 Ton/Tahun;
budidaya air tawar yang meliputi kolam air tawar seluas 8,375 Ha dengan potensi produksi
mencapai 1,297 Ton/Tahundan mina padi seluas 85 Ha degan potensi produksi mencapai 85
Ton/Tahun.
Potensi Budidaya Rumput laut, kabupaten yang budidaya rumput lautnya telah
berkembang yaitu: Kabupaten Kupang, Sabu Raijua, Rote Ndao, Alor, Lembata, Flores
Timur, Sikka, Sumba Timur dan Kabupaten Manggarai Barat. Komunitas rumput laut
unggulan yang dibudidaya adalah Echeuma CoTonii, Eucheuma Sp, dan alga merah (red
algae). Luas lahan potensial untuk budidaya rumput laut di Provinsi Nusa Tenggara Timur
sebesar 250.000 Ton Kering/Tahun.
Potensi Sumber Daya Garam sangat potensial. Upaya peningkatan produksi garam
nasional yang ditargetkan sampai tahun 2014 untuk mencapai swasembada garam di
Indonesia pada umumnya dan Provinsi Nusa Tenggara Timur pada khususnya mencapai 1,2
juta Ton, maka telah dicanangkan pelaksanaan Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat
(PUGAR). Dngan program ini, akan diberdayakana 119 Kelompok Usaha Garam Rakyat
(KUGAR) dengan jumlah anggota 939 petambak garam. Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara
Timur, melalui pelaksanaan PUGAR menargetkan peningkatan produktivitas lahan garam
dari 60 Ton/Ha.
Potensi budidaya mutiara tersebar di beberapa kabupaten yaitu kabupaten Kupang:
Tanjung Ledo, Pulau Kambing, Tanjung Kabate, Talasa dan Tablolong; Kabupaten Rote
Ndao: Kecamatan Rote Barat Daya; Kabupaten Alor: Desa Moru Kec. Alor Barat Daya:
Kabupaten Lembata: Teluk Wai Enga dan Lewo Lein; Kabupaten Flores Timur: Teluk Konga,
Teluk Lebateta, Selat Solor, Perairan Nayu Baya, Baniona; Kabupaten Sikka: Labuan Ndeteh,
Desa Nagepanda dan Kabupaten Manggarai Barat: Tanjung Boleng dan Golo Mori.
Kebijakan dan komitmen terhadap Provinsi kepulauan melalui Bada Kerja Sama
(BKS) provinsi kepulauan telah menjadikan Draft UU Derah Kepulauan masukdalam agenda
Banleg DPR RI Tahun 2013. Secara substantive, regulasi tersebut akan mendasari pengalihan
kewenangan pengaturan, pembinaan dan pengawasan terhadap Taman Nasional Laut Sawu
sebagai kawasan konservasi dari pemerintah kepada Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara
Timur. Hal ini akan menjadi acuan perubahan manajemen dan intervensi pengolahan sumber
daya kelautan dan perikanan yang signifikan pada kawasan laut sekitar yang potensial bagi
peningkatan kesejahteraan petani-nelayan serta masayarakat pesisir. Perkebangan produksi
perikanan dan kelautan serta PDRB Sebagai Sektor perikanan dan kelautan tahun 2012-2013.
2.1.3 Isu Kritis Pengelolaan Hutan Mangrove di Provinsi Sulawesi Tengah
1. Penyusutan Areal Hutan Mangrove (Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 2007 dan
2012)
Penggunaan lahan merupakan campur tangan manusia baik secara permanen atau
periodik terhadap lahan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan, baik kebutuhan
kebendaan, spiritual maupun gabungan keduanya (Malingreau,.J.P. 1977, dalam Aziz
Budianta (2008)). Berdasarkan hasil Analisis perubahan penggunaan lahan dapat diketahui
dibeberapa kawasan yang mengalami perubahan, kawasan ini terdiri dari kawasan hutan
rakyat, perkebunan kelapa, persawahan, pemukiman, lahan tidur, tambak dan hutan mangrove
. Teknik Scoring dan Overlay yang digunakan dalam penelitian ini, sehubungan dengan
kerusakan kawasan ekosistem hutan mangrove sistem pemetaan penggunaan lahan yang ada
di Desa Dongko Kecamatan Dampal Selatan Tahun 2007-2012.
Sama halnya dengan konversi hutan mangrove menjadi lahan pemukiman, konversi hutan
mangrove menjadi fasilitas umum juga dikarenakan oleh faktor jumlah penduduk yang
mempengaruhi kebutuhan prasarana dan sarana penunjang. Pembangunan fasilitas umum
sangat terkait dengan upaya pelengkap sarana kelayakan pemukiman penduduk contohnya
masjid.
Lahan
Lahan Pemukiman Tambak/Empang Konversi
Konversi Lahan Fasilitas Umum
aya Pengelolaan dan Pendidikan Masyarakat terkait Konservasi dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
2.2 Lingkup Pengelolaan Sumber Daya Laut dan Pesisir
Sumber daya di wilayah pesisir terdiri dari sumber daya alam yang dapat pulih dan
tidak dapat pulih, sumber daya yang dapat pulih antara lain, meliputi sumber daya perikanan
(planton, benthos, ikan, moluska, krustasea, mamalia laut), rumput laut (seaweed), padang
lamun, hutan mangrove dan terumbu karang. Sedangkan sumberdaya yang tidak dapat pulih
antara lain, mencakup: minyak dan gas, bijih besi, pasir, timah, bauksit dan mineral serta
bahan tambang lainnya.
Dalam hal tersebut terkait pemanfaatan sumberdaya yang ada di pesisir serta berbagai
aktivitas-aktivitas yang berlangsung diwilayah pesisir maka perlu adanya pengelolaan secara
terpadu. Perencanaan secara terpadu dimaksudkan untuk mengkoordinasikan dan
mengarahkan berbagai aktivitas dari dua atau lebih sektor dalam perencanaan pembangunan
dalam kaitannya dengan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan. Perencanaan terpadu
dimaksudkan sebagai suatu upaya secara terpogram untuk mencapai tujuan yang dapat
mengharmoniskan dan mengoptimalkan antara kepentingan untuk memelihara lingkungan,
keterlibatan masyarakat dan pembangunan ekonomi.
Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu adalah suatu pendekatan pengelolaan
wilayah pesisir yang melibatkan dua atau lebih ekosistem, sumber daya, dan kegiatan
pemanfaatan (pembangunan) secara terpadu (integrated) guna mencapai pembangunan
wilayah pesisir secara berlanjutan. Dalam konteks ini, keterpaduan (integration) mengadung
tiga dimensi : sektoral, bidang ilmu, dan keterkaitan ekologis.
Untuk mendorong pembangunan yang berkelanjutan perlu dilakukan penataan kawasan
sesuai dengan kondisi sumberdaya alam, pola pemanfaatan dan sesuai dengan daya dukung
lingkungan (carrying capacity). Upaya penataan ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari perencanaan tata ruang untuk keseluruhan wilayah. Pengelolaan lingkungan wilayah
pesisir, laut dan pulau-pulau kecil harus dirancang secara rasional dan bertanggungjawab
sesuai dengan kemampuan daya dukungnya dengan mengutamakan sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat serta memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan
kawasan pesisir bagi pembangunan yang berkelanjutan.
Pendekatan ini adalah cara-cara atau teknologi yang digunakan untuk mengelola
dampak penting lingkungan hidup sebagai berikut :
Dalam rangka penanggulangan limbah bahan berbahaya dan beracun, akan ditempuh
cara :Membatasi atau mengilosai limbah, Melakukan minimalisasi limbah dengan
mengurangi jumlah/volume limbah (reduce), menggunakan kembali limbah (reuse)
atau mendaur ulang (recyle), menetralisasi limbah dengan menambahkan zat kimia
tertentu sehingga tidak membayakan manusia dan makhluk hidup lainnya.
Dalam rangka mencegah, mengurangi atau memperbaiki kerusakan sumber daya
alam, akan ditempuh cara, misalnya :Membangun terasering atau penanaman tanaman
penutup tanah untuk mencegah erosi.
Dalam rangka meningkatkan dampak positif berupa peningkatan nilai tambah dari
dampak positif yang telah ada, misalnya melalui peningkatan dan daya guna dari
dampak positif tersebut.
5. Keterlibatan pihak yang berkepentingan dalam PSDA dalam spirit demokrasi dan
pendekatan koordinasi
Berdasarkan pendekatan Green Economic di Sumatera Utara, ditengah maraknya
kerusakan hutan mangrove dan terumbu karang, pemerintah seharusnya mampu membentuk
lembaga untuk mengawasi (audit) pelaksanaan pengelolaan lingkungan di kawasan pesisir,
menerapkan sistem pengelolaan sumber daya alam Sumatera Utara secara adil, lestari, dan
berbasis kemasyarakatan yang mendukung keberlangsungan hidup seluruh rakyat Sumatera
Utara dan Pihak perusahaan harus melibatkan tokoh-tokoh masyarakat dan kalangan
akademis dalam proses dan keputusan mengenai AMDAL, membentuk dan mengoptimalkan
divisi lingkungan hidup dalam setiap perusahaan sesuai dengan peraturan yang ada,
menyelesaikan permasalahan-permasalahan penambangan secara liar terhadap pihak-pihak
terkait dengan tuntas dan adil, selain itu pihak perusahaan harus konsisten terhadap aturan
pemerintah serta melaksanakan kesepakatan dengan masyarakat lokal secara jujur.
Adapun antisipasi terhadap akses perkembangan nilai ekonomi daerah pesisir dapat
dilakukan dengan cara:
a. Menyelenggarakan Pelatihan dan Pengembangan Keterampilan
IV. Isu Degradasi Habitat Wilayah Pesisir (Mangrove, Terumbu Karang dan Pantai
Berpasir)
1) Strategi D-1:
Mengembangkan pola pemanfaatan hutan mangrove berwawasan lingkungan
Mengembangkan program pengelolaan tambak rakyat berwawasan lingkungan
Melakukan pelatihan pengelolaan mangrove dan wilayah pesisir
Membuat pedoman rehabilitasi mangrove di pantai timur dan pantai barat
Sumatera Utara
Mensosialisasikan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan pengelolaan dan
pelestarian hutan mangrove
2) Strategi D-2:
Mengembangkan daerah perlindungan laut (marine sanctuary berbasis
masyarakat)
Menetapkan pembatasan penangkapan ikan karang
Mengembangkan pengelolaan rumpon oleh masyarakat (nelayan)
3) Strategi D-3:
Mengembangkan program penanggulangan erosi pantai secara terpadu
Sosialisasi dan standarisasi konstruksi bangunan pengamanan pantai
Membuat Peraturan Daerah (Perda) penggalian pasir pantai untuk bangunan
secara terpadu
V. Isu Pencemaran Wilayah Pesisir dan Laut oleh Limbah Industri dan Limbah Rumah
Tangga
1) Strategi E-1:
Mengkaji ulang parameter untuk menentukan kualitas air agar sesuai dengan
kasus yang berkembang di Sumatera Utara
Mengawasi peredaran bahan-bahan yang dapat mencemari perairan
Membangun komitmen dan kesadaran para pihak dalam pengendalian
pencemaran air
Meningkatkan kemampuan staf teknis dan masyarakat dalam pencegahan dan
penanggulangan pencemaran
2) Straegi E-2:
Mengembangkan bimbingan masyarakat tentang resiko kesehatan karena
pencemaran air tanah
Perbaikan sistem drainase dan sanitasi lingkungan di areal pemukiman
3) Strategi E-3:
Mengadakan program bimbingan masyarakat mengenai penanganan sampah
Mengembangkan program penanganan sampah untuk desa-desa pantai
Meningkatkan pengelolaan sampah di areal pemukiman pesisir
Mengadakan program bersih pantai dan laut
b. Pembuatan Tipologi
c. Analisis Tipologi.
Saat ini desa pesisir berkembang secara alamiah tanpa sebuah desain yang sistematik. Ini
terjadi karena belum adanya instrumen untuk memetakan desa pesisir, sehingga tipologi desa
pesisir juga belum pernah dirumuskan berbasis pada berbagai atribut yang komprehensif. Oleh
karena itu, sangatlah penting untuk memulai mengidentifikasi atribut-atribut multi-dimensi:
ekonomi, politik, ekologi, sosial, dan budaya sebagai indikator. Dengan atribut-atribut tersebut
kemudian dapat dibuat indeks pembangunan desa pesisir, yang selanjutnya menjadi dasar bagi
penyusunan tipologi desa pesisir. Tipologi tersebut akan memudahkan jalan dalam rangka
merumuskan strategi transformasi, sehingga strategi tersebut bisa efektif dilaksnakan.
Lingkungan Strategis
2. Strategi transformasi
Upaya mewujudkan visi desa pesisir 2030 di atas memerlukan seperangkat pendekatan
dan strategi transformasi. Strategi transformasi dapat dibagi menjadi tiga macam, yakni strategi
makro, strategi, meso dan strategi mikro.
Pendekatan
Visi desa pesisir 2030 hendak dicapai dengan menggunakan sejumlah prinsip sebagai berikut :
3. Strategi Makro
Strategi makro adalah strategi yang disusun oleh pusat, baik berupa undang-undang maupun
peraturan-peraturan di bawahnya. Strategi makro yang penting meliputi: kebijakan kelautan,
kebijakan infrastruktur, kebijakan pengelolaan sumberdaya alam, kebijakan lingkungan hidup,
kebijakan perbankan, kebijakan perikanan, kebijakan pendidikan, kebijakan pemerintahan desa,
kebijakan sosial dan kesehatan, dan perdagangan.
Kebijakan tersebut sudah semestinya hanya berisi norma dan standar yang menjadi payung
bagi regulasi operasional di level daerah. Artinya, kebijakan tersebut memberi ruang bagi daerah
untuk melakukan elaborasi kebijakan sehingga lebih efektif untuk diterapkan di tingkat daerah
dan desa. Arah dari seluruh kebijakan nasional tersebut pada prinsipnya memuat dukungan dan
perlindungan terhadap desa pesisir dalam mencapai kemandirian dan karakter keberlanjutan.
Juga, kebijakan tersebut memuat aspek pemerataan pembangunan. Seperti dalam hal
infrastruktur, sudah saatnya arah kebijakan infrastruktur dapat difokuskan pada pengembangan
infrastruktur desa pesisir sebagai landasan bagi pengembangan ekonomi masyarakat pesisir.
Tanpa pemerataan infrastruktur, justru akan menyebabkan ketimpangan ekonomi yang makin
tajam.
4. Strategi Meso
Strategi meso adalah strategi yang disusun oleh daerah (provinsi dan kabupaten/kota),
meliputi kebijakan-kebijakan yang secara operasioanal dapat mengadopsi serta mendanai
pengembangan desa pesisir mandiri berupa peraturan daerah (perda) maupun peraturan
turunannya.
Di era otonomi daerah ini, strategi meso perlu dijabarkan ke dalam sejumlah perda dan
peraturan turunannya yang relevan dengan karakteristik daerah dan tidak bertentangan dengan
kebijakan di atasnya. Beberapa kebijakan yang penting untuk diperkuat pada tingkat daerah
untuk memperkuat desa adalah kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir, kebijakan tata ruang,
kebijakan perikanan, kebijakan pengembangan keuangan mikro, dan kebijakan tat pemerintahan
desa. Arah dari kebijakan pada level meso adalah disamping pemerataan pengembangan
infrastruktur, dukungan dan perlindungan terhadap kemandirian desa, juga devolusi sebagian
kewenangan kepada masyarakat atau pemerintahan desa. Dalam era otonomi daerah, semakin
besar kesempatan dan kemungkinan bagi daerah untuk menyerahkan sebagian kewenangan
tersebut, khususnya dalam pengelolaan sumberdaya pesisir.
5. Strategi Mikro
Strategi mikro adalah strategi operasional pembangunan desa pesisir yang dirumuskan oleh
masyarakat sendiri yang bisa difasilitasi unsur masyarakat lainnya (LSM, atau perguruan tinggi)
berupa langkah aksi untuk berbagai aspek pembangunan, yang prosesnya tetap mengacu pada
prinsip-prinsip pembangunan desa pesisir 2030.
Strategi operasional pembangunan desa pesisir melalui sejumlah proses. Pertama, adalah
proses identifikasi potensi lokal, yaitu identifikasi kekuatan modal manusia (human capital),
modal alam (natural capital), modal finansial (financial capital), dan modal sosial (social
capital). Setelah memperhatikan sejumlah isu kritis yang ada di desa pesisir, maka tahap kedua,
penting untuk melakukan analisis kebutuhan masyarakat sebagai dasar bagi tahap berikutnya,
yakni perencanaan desa. Ketiga, perencanaan desa dilakukan secara partisipatif untuk
merumuskan sejumlah program pembangunan sosial, ekonomi, budaya, dan pengelolaan
sumberdaya alam. Perencanaan desa berisi pernyataan visi dan misi, daftar prioritas kebutuhan,
dan jenis program beserta tujuan, sasaran, indikator kinerja, syarat pokok dan syarat perlu,
waktu, serta mekanisme pengendalian. Perencanaan desa tersebut merupakan sebuah proses yang
menghasilkan rencana strategis (renstra) dan rencana aksi. Keempat, selanjutnya disusun
penataan ruang desa secara partisipatif sesuai dengan arah dari renstra tersebut. Penataan ruang
tersebut tetap mengacu pada prinsip-prinsip kelayakan sosial, ekologis, dan ekonomis. Kelima,
pengembangan kapasitas organisasi sosial dan organisasi pemerintahan desa. Organisasi sosial
diperlukan sebagai alat untuk pencapaian tujuan tertentu sesuai dengan misi organisasi tersebut.
Sebagai contoh, masyarakat pesisir perlu membentuk organisasi pengelola sumberdaya pesisir
sebagai salah satu bentuk implementasi praktek pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat.
Adanya kapasitas masyarakat untuk mengelola sumberdaya pesisir inilah salah satu
kekhasan desa pesisir dan menjadi faktor pembeda dari desa lain pada umumnya. Sementara itu
pengembangan kapasitas organisasi pemerintahan desa diperlukan untuk perbaikan efisiensi
kerja, perbaikan pelayanan, dan perluasan jaringan. Struktur desa pun mesti disesuaikan dengan
karakteristik sumberdaya pesisir, sehingga berbagai urusan yang terkait dengan pemanfaatan dan
pengelolaan sumberdaya dapat ditangani desa.
pengguna dari sumberdaya alam. Selanjutnya Pomeroy dan Williams (1994) menyatakan bahwa
penerapan co-management akan berbeda-beda dan tergantung pada kondisi spesifik dari suatu
wilayah, maka co-management hendaknya tidak dipandang sebagai strategi tunggal untuk
menyelesaikan seluruh problem sumberdaya ekosistem terumbu karang, tetapi dipandang sebagai
alternatif pengelolaan yang sesuai situasi dan lokasi tertentu.
Pengelolaan sumberdaya ekosistem terumbu karang berbasis masyarakat dalam kajian ini dapat
diartikan sebagai suatu strategi untuk mencapai pembangunan yang berpusat pada masyarakat
dan dilakukan secara terpadu dengan memperhatikan dua aspek kebijakan yaitu; aspek ekonomi
dan aspek ekologi, yang mana dalam pelaksanaannya terjadi pembagian tanggung jawab dan
wewenang antara pemerintah disemua level dalam lingkup pemerintahan maupun sektoral
dengan pengguna sumberdaya alam (masyarakat).
Pemerintah dan masyarakat sama-sama diberdayakan, sehingga tidak ada ketimpangan dimana
hanya masyarakat saja yang diharapkan aktif, namun pihak pemerintah juga harus proaktif dalam
menunjang program pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang
ini. Secara lengkap, uraian tentang setiap langkah dalam pengelolaan sumberdaya terumbu
karang berbasis masyarakat disajikan sebagai berikut :
1. Komponen input
Dalam studi awal secara partisipatif, seyogyanya memasukkan segenap unsure kebijakan dalam
hal pengelolaan sumberdaya ditingkat nasional dan lokal, diantaranya kebijakan Negara yang
dituangkan dalam GBHN yang dijabarkan lebih lanjut kedalam konsep nasional tentang
pengelolaan sumberdaya terumbu karang pada tingkat provinsi dan kebijakan-kebijakan lokal
lainnya, serta dalam bentuk strategi nasional dalam perencanaan CRRM (Coral Reef Resources
Management). Harapannya adalah bahwa dengan segenap informasi yang berkenaan dengan
ekosistem terumbu karang ditingkat lokal sampai ditingkat nasional, maka keluaran dari hasil
studi ini mampu memberikan gambaran yang cukup akomodatif secara menyeluruh mengenai
situasi dan kondisi pengelolaan dan pemanfaatan potensi ekosistem terumbu karang yang ada.
Komponen sumberdaya alam dan sumberdaya manusia merupakan salah satuinput penting dalam
penerapan konsep pengelolaan terumbu karang berbasis masyarakat.Untuk mencapai tujuan
pemahaman yang komprehensif terhadap potensi SDA dan SDM tersebut maka kegiatan studi
awal sangat penting untuk dilakukan. Dalam hal ini, masyarakat tidak hanya berperan sebagai
objek studi, namun juga berperan sebagai pelaku/subyek dari studi, sehingga hasil dari studi awal
tersebut mampu merepleksikan kebutuhan dan keinginan masyarakat lokal, serta dapat
memberikan gambaran yang cukup akomodatif secara menyeluruh tentang kondisi dan bentuk
pelaksanaan program pengelolaan terumbu karang berbasis masyarakat.
Kegiatan peningkatan kepedulian dan pengetahuan bagi masyarakat sangat tergantung dari
kondisi dan struktur masyarakat yang ada. Beberapa kegiatan awal dapat dilakukan dalam rangka
sosialisasi dan mencari bentuk bentuk yang tepat bagi peningkatan kepedulian dan
pengetahuan.
Keberhasilan dari pengelolaan terumbu karang berbasis masyarakat juga tergantung pada
penguatan kelembagaan yang dapat dilakukan dengan memperkuat kelembagaan yang sudah ada
atau dengan membentuk suatu lembaga baru, memperkuat peraturan dan perundangan yang
sudah ada, atau menghapus peraturan perundangundangan yang sudah tidak cocok dan membuat
yang baru yang dianggap perlu. Oleh karena itu, perlu adanya kajian yang menganalisis
kekuatan, kelemahan, peluang pengembangan/pengurangan dari kelembagaan dan kebijakan
serta peraturan perundangundangan yang ada dalam rangka menunjang kegiatan pengelolaan
terumbu karang berbasis masyarakat.
Rencana pengelolaan terumbu karang berbasis masyarakat yang telah dibuat, baik yang langsung
dibuat oleh komunitas masyarakat maupun hasil penyusunan oleh pemerintah dan telah diterima
dalam proses pensosialisasian, kemudian diproses dalam penentuan program pembangunan.
Rencana pengelolaan ini sebelumnya harus mendapatkan persetujuan dari LMD, masyarakat, dan
kepala desa.
7. Implementasi Rencana
Tahap implementasi merupakan tahap pokok dari system pengelolaan terumbu karang berbasis
masyarakat. Pada tahap ini berbagai komponen SDM seperti motivator, tenaga pendamping
lapangan dan komponen terkait sudah dipersiapkan. Lembaga adat atau lembaga sejenis lainnya
dapat menjadi system bagi pelaksanaan rencana pengelolaan sumberdaya terumbu karang
dilokasi tersebut. Dalam kegiatan implementasi tersebut, kegiatan-kegiatan yang perlu dilakukan
adalah (a) integrasi ke dalam masyarakat, (b) pendidikan dan pelatihan masyarakat, (c)
memfasilitasi arah kebijakan, dan (d) penegakan hukum dan peraturan.
8. Monitoring
Tahap monitoring (pengawasan) dilakukan mulai awal proses implementasi rencana pengelolaan.
Pada tahap ini, monitoring dilakukan untuk menjawab segenap pertanyaan tentang efektivitas
pengelolaan, atau masalah lain yang terjadi yang tidak sesuai dengan harapan yang ada pada
rencana pengelolaan. Monitoring ini sebaiknya dilakukan secara terpadu dengan melibatkan
masyarakat local dan stakeholder lainnya.
9. Evaluasi
Evaluasi dilakukan terhadap segenap masukan dan hasil pengamatan yang dilakukan selama
proses monitoring berlangsung. Evaluasi dilakukan secara terpadu dengan melibatkan
masyarakat dan stakeholder lainnya. Melalui proses evaluasi, maka dapat diketahui kelemahan
dan kelebihan dari system pengelolaan guna perbaikan system dimasa depan.
Jadi dapat disimpulkan bahwa pengelolaan yang berbasis masyarakat adalah suatu system
pengelolaan sumberdaya alam dimana masyarakat lokal terlibat secara aktif dalam proses
pengelolaan sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya. Pengelolaan disini meliputi
berbagai dimensi seperti perencanaan, pelaksanaan, serta pemanfaatan hasilhasilnya.
3.2 Strategi Pengelolaan, Pendekatan, dan Bentuk Strategi Terumbu Karang di Nusa
Tenggara Timur
3.2.2.1 Pendekatan
Strategi pengelolaan pembangunan kelautan dan perikanan disusun berdasarkan fokus
rejim pengelolaan, termasuk dalamhal ini aspek desentralisasi pengelolaan. Rejim pengelolaan
sumber daya kelautan dan perikanan dapat digolongkan menjadi tiga tipe, yaitu: rejim
pengelolaan berbasis pemerintah (state property regime), berbasis swasta (private property
regime) dan masyarakat (communal property right).
2. Strategi 2.
Mengurangi laju degradasi terumbu karang. Strategi 2 dijabarkan dalam 6 (enam)
program sebagai berikut: 1). pengembangan teknik-teknik pengelolaan spesifik yang sesuai
dengan kondisi lokal; 2). penyusunan kriteria dan sistem penilaian yang sesuai untuk mengkaji
kondisi terumbu karang dalam penyusunan dokumen AMDAL bagi proyek-proyek pembangunan
yang langsung atau tidak langsung mempengaruhi ekosistem terumbu karang; 3). peningkatan
ketaatan sukarela (voluntary compliance) dalam pemanfaatan terumbu karang melalui
penyusunan dan penyebarluasan tata cara yang patut; 4). pengembangan program-program
konservasi terumbu karang yang diperlukan dengan kebutuhan ekonomi masyarakat pesisir; 5).
peningkatan efektivitas penegakan hukum terhadap berbagai kegiatan yang mengakibatkan
degradasi ekosistem terumbu karang; 6). pengawasan dan pembatasan perdagangan sumberdaya
terumbu karang yang bernilai komersial dan biota lainnya yang dilindungi.
3. Strategi 3.
Mengelola terumbu karang berdasarkan karakteristik ekosistem, potensi, tata ruang
wilayah, pemanfaatan, status hukum dan kearifan masyarakat pesisir. Strategi 3 dijabarkan dalam
5 (lima) program sebagai berikut: 1). pengembangan sistem informasi dan pemetaan mengenai
keberadaan, pemanfaatan, dan pengelolaan ekosistem terumbu karang; 2). pengembangan
penelitian dan pengkajian ekosistem terumbu karang yang berhubungan dengan rehabilitasi,
pemulihan dan pemanfaatan berkelanjutan melalui peran aktif lembaga penelitian dan perguruan
tinggi; 3). pengklasifikasian dan pengelompokkan seluruh gugusan terumbu karang ke dalam
beberapa jenis katagori pengelolaan; 4). pembuatan program percontohan untuk setiap jenis
katagori pengelolaan; 5). perlindungan dan pelestarian gugusan terumbu karang yang memiliki
nilai tinggi dari sudut pandang regional, nasional maupun internasional.
4. Strategi 4.
Merumuskan dan mengkoordinasikan program-program instansi Pemerintah, Pemerintah
Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, pihak swasta, dan masyarakat yang diperlukan dalam
pengelolaan ekosistem terumbu karang berbasis masyarakat. Strategi 4 dijabarkan dalam 3 (tiga)
program sebagai berikut: 1). pengelolaan dan pemanfaatan terumbu karang secara terpadu yang
melibatkan
Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, pihak swasta, perguruan
tinggi, lembaga non pemerintah, dan masyarakat; 2). penyediaan bantuan teknis dan keuangan
dalam rangka peningkatan kemampuan masyarakat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah
Kabupaten/Kota untuk menyusun rencana pengelolaan ekosistem terumbu karang; 3). penyiapan
perangkat pemantauan, kontrol dan pengamatan lapangan (Monitoring, Controlling, &
Survailance) serta mekanisme evaluasi terhadap pengelolaan ekosistem terumbu karang dengan
melibatkan seluruh lapisan masyarakat.
5. Strategi 5.
Menciptakan dan memperkuat komitmen, kapasitas dan kapabilitas pihak-pihak
pelaksana pengelola ekosistem terumbu karang. Strategi 5 dijabarkan dalam 4 (empat) program
sebagai berikut: 1). peningkatan kuantitas dan kualitas sumberdaya manusia di berbagai institusi
melalui perekrutan, pelatihan, serta pendidikan formal dan informal; 2). penguatan kelembagaan
di daerah dalam rangka pengelolaan ekosistem terumbu karang; 3). peningkatan kapasitas dan
kapabilitas pemerintah daerah dalam mengelola ekosistem terumbu karang; 4). pengaktualisasian
tradisi musyawarah yang berorientasi pada penguatan komitmen masyarakat dalam mengelola
ekosistem terumbu karang.
6. Strategi 6.
Mengembangkan, menjaga serta meningkatkan dukungan masyarakat luas dalam upaya-
upaya pengelolaan ekosistem terumbu karang secara nasional dengan meningkatkan kesadaran
seluruh lapisan masyarakat mengenai arti penting nilai ekonomis dan ekologis dari ekosistem
terumbu karang. Strategi 6 dijabarkan dalam 4 (empat) program sebagai berikut: 1).
penyebarluasan informasi mengenai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
pengelolaan ekosistem terumbu karang; 2). peningkatan partisipasi masyarakat luas dalam
kegiatan yang terkait dengan upaya pengelolaan ekosistem terumbu karang; 3). promosi dan
penyebarluasan program pengelolaan terumbu karang kepada masyarakat luas; 4).
penghimpunan dukungan politik dalam mempromosikan nilai penting pengelolaan terumbu
karang berkelanjutan bagi pembangunan ekonomi.
7. Strategi 7.
Menyempurnakan berbagai peraturan perundang-undangan serta mendefinisikan kembali
kriteria keberhasilan pembangunan suatu wilayah agar lebih relevan dengan upaya pelestarian
lingkungan ekosistem terumbu karang. Strategi 7 dijabarkan dalam 2 (dua) program sebagai
berikut: 1). penyempurnaan berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
pengelolaan ekosistem terumbu karang; 2). penyempurnaan dan pendefinisian kembali kriteria
keberhasilan pembangunan wilayah yang mencakup beberapa indikator keberhasilan antara lain :
efisiensi ekonomi, pemerataan hasil pembangunan, serta terpeliharanya fungsi lingkungan dan
kelestarian sumberdaya.
8. Strategi 8.
Meningkatkan dan memperluas kemitraan antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi,
Pemerintah Kabupaten/Kota, swasta, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat untuk
mengembangkan kegiatan ekonomi yang ramah lingkungan dalam rangka pemanfaatan
sumberdaya terumbu karang secara berkelanjutan. Strategi dijabarkan dalam 2 (dua) program
sebagai berikut: 1). pengupayaan bantuan teknis yang ramah lingkungan dan keuangan yang
tidak mengikat dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, dan swasta
kepada kelompok masyarakat yang melakukan kegiatan ekonomi di ekosistem terumbu karang
dan sekitarnya; 2). peningkatan pelayanan Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah
Kabupaten/Kota, dan swasta bagi penyediaan akses masyarakat akan ilmu pengetahuan dan
teknologi, permodalan, pasar, pengelolaan, dan informasi, yang sesuai dengan kegiatan ekonomi
yang dilakukan di ekosistem terumbu karang dan sekitarnya.
9. Strategi 9.
Meningkatkan dan mempertegas komitmen Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah
Kabupaten/Kota, dan masyarakat serta mencari dukungan lembaga dalam dan luar negeri dalam
penyediaan dana untuk mengelola ekosistem terumbu karang. Strategi 9 dijabarkan dalam 3
(tiga) program sebagai berikut: 1). penyediaan anggaran biaya pengelolaan ekosistem terumbu
karang dalam APBN dan APBD serta dana-dana lain yang tidak mengikat; 2). pengupayaan
sumber dana dari luar negeri yang sifatnya tidak mengikat; 3). penghimpunan dan pemanfaatan
dana masyarakat untuk pengelolaan ekosistem terumbu karang.
3.3 Strategi Pengelolaan, Pendekatan, dan Bentuk Strategi Hutan Mangrove di Sulawesi
Tenggara
Pemanfaatan sumber daya alam artinya adalah menggunakan atau mengambil manfaat
dari sumber daya alam yang ada untuk kepentingan manusia. Menurut Wardiyatmoko ;
Pemanfaatan sumber daya alam tidak boleh merusak ekosistem secara efisien dan memikirkan
kelanjutan sumber daya alam itu (Wardiyatmoko, 2004: 121).
Rencana aksi (action plan) dijabarkan dari kegiatan-kegiatan yang tertuang dalam
rencana pengelolaan, rencana pemintakata, dan rencana strategis. Dari rencana strategis setiap
strategi yang dipilih memerlukan satu atau beberapa kegiatan untuk mencapai tujuan dan
sasaran.
Dokumen rencana aksi yang memuat kegiatan ekonomi biasanya dibiayai melalui
investasi swasta atau investasi masyarakat. Sedangkan kegiatan yang bersifat prasarana umum
seperti pembangunan jalan, dermaga, papan pengumuman, dan tempat sampah biasanya dibiayai
dari anggaran pemerintah. Dalam pembangunan prasarana umum disusun rencana tapak (site
plan) untuk selanjutnya diimplementasikan pada tahun berikutnya, serta biaya pelaksanaan yang
dianggarkan pada DUP/DUPDA.
Eksternalitas positif adalah tindakan seseorang yang memberikan manfaat bagi orang
lain, tetapi manfaat tersebut tidak dialokasikan di dalam pasar. Jika kegiatan dari beberapa orang
menghasilkan manfaat bagi orang lain dan orang yang menerima manfaat tersebut tidak
membayar atau memberikan harga atas manfaat tersebut maka nilai sebenarnya dari kegiatan
tersebut tidak tercermin dalam kegiatan pasar.
2. Ekternalitas Negatif
Eksternalitas negatif adalah biaya yang dikenakan pada orang lain di luar sistem pasar
sebagai produk dari kegiatan produktif.
Adanya eksternalitas negatif mengakibatkan sumber daya yang dilakukan pasar tidak
efisien, di sinilah diperlukan peranan dari pemerintah. Harapannya masalah-masalah yang di
timbulkan dengan adanya eksternalitas dapat teratasi. Beberapa hal yang dapat dilakukan oleh
pemerintah adalah regulasi, penetapan pajak pigouvian dan pemberian subsidi.
a. Regulasi
Pajak pigouvian merupakan salah satu solusi yang dapat dilakukan untuk
mengatasi eksternalitas. Konsumen atau perusahaan yang menyebabkan eksternalitas
harus membayar pajak samadengan dampak marjinal dari eksternalitas yang dibuat.
Dengan itu membuatkonsumen atau perusahaan memperhitungkan berapa banyak
manfaat dan dampak dari jumlah barang yang diproduksi atau dikonsumsi
perusahaan ataupun konsumen..
c. Subsidi
Ketika manfaat sosial melebihi manfaat pribadi maka subsidi harus diberikan
kepada konsumen atau produsen. Subsidi mengarah pada penurunan dalam harga
komoditi. Pemerintah dapat mensubsidi produsen untuk mengurangi dampak
eksternalitas. Keuntungan produsen didapat dari subsidi pemerintah dan keuntungan
masyarakat dalam hal pengurangan kerusakan dari dampak eksternalitas yang
ditimbulkan perusahaan.
Kelemahan dari subsidi adalah perusahaan-perusahaan condong untuk
melakukan eksternalitas karena dengan melakukan eksternalitas mereka akan
mendapat subsidi dari pemerintah.
d. Internalisasi
Untuk mengontrol eksternalitas pertama kali dibahas oleh David dan Whinston.
David dan Whinston menganjurkan internalisasi untuk mengatasi eksternalitas
sehingga biaya privat sama dengan biaya sosialnya. Inti dari internalisasi adalah
misalnya jika ada perusahaan A menyebabkan eksternalitas negatif hanya kepada
perusahaan B maka perusahaan A dan perusahaan B bersama-sama menghitung
dampak dari eksternalitas. Dengan ini, efisiensi tidak akan muncul.
Melakukan internalisasi merupakan hal yang sulit. Ambil saja contoh suatu
industri suatu perusahaan menyebabkan eksternalitas bagi industri perusahaan lain.
Dalam situasi ini internalisasi menyarankan perusahaan menjadi monopoli tunggal.
Jika hal ini terjadimaka akan menyebabkan kesejahteraan menjadi berkurang atau
mungkin hilang. Internalisasi biasanya secara tidak alngsung membangun agen
ekonomi yang lebih besar dan konsekuensi bertambahnya kekuatan pasar. Singkatnya
internalisasi akan menghilangkan konsekuensi dari eksternalitas dengan cara
memastikan bahwa biaya pribadi dengan biaya sosial disamakan. Masalah
internalisasi bukanlah solusi yang praktis ketika konstribusi agen ekonomi secara
terpisah ke dalam eksternalitas total dan memiliki kelemahan yang mengarah
kekuatan pasar meningkat.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Manfaat yang dapat diperoleh dari kegiatan
penambangan pasir yaitu meningkatkan pendapatan kelompok masyarakat penambang, memberi
kontribusi bagi penerimaan pajak bahan galian Golongan C dan membantu kelancaran
pembangunan infrastruktur yang ada di Kabupaten Merauke.
Dampak negatif dari aktivitas penambangan pasir pantai yaitu mengakibatkan kerusakan
bagi hutan mangrove yang terdapat disepanjang pesisir pantai, mengakibatkan terjadinya abrasi
pantai, menurunnya jumlah hasil tangkapan dan pendapatan para nelayan, mengakibatkan
tergenangnya pemukiman masyarakat yang tinggal disepanjang pesisir pantai oleh air laut dan
mengakibatkan kerusakan pada jalan dan jembatan. Eksternalitas negatif yang dihasilkan dari
kegiatan penambangan pasir pantai jauh lebih besar dengan potensi kerugian bisa mencapai
Rp.128.109.000.000,- jika dibandingkan dengan eksternalitas positif hanya berpotensi
menghasilkan Rp. 25.904.201.428,-. Kesimpulan aktivitas penambangan pasir pantai
mengakibatkan kerusakan pada hutan mangrove di sepanjang wilayah pesisir Pantai Timur dan
Barat Sumatera Utara. Masyarakat memiliki persepsi negatif terkait dengan aktivitas
penambangan pasir pantai, masyarakat telah mengetahui bahwa dengan melakukan
penambangan pasir pantai akan mengakibatkan kerusakan pada ekosistem mangrove, namun
karena tuntutan ekonomi maka masyarakat tetap melakukan aktivitas penambangan pasir pantai.
Potensi Laut di Provinsi NTT dapat dikatakan masih sangat tinggi karena sektor perikanan
tangkap dan budidaya perikanan sangat besar. Potensi yang besar ini menjadi dorongan untuk
membuat dunia perikanan Indonesia semakin maju karena kalau soal sumberdaya Indonesia
tidak perlu dipertanyaakan lagi potensinya yang sangat besar itu.
Sekarang pemerintah sedang menggalakkan minapolitan pada semua daerah yang berpotensi
perikanannya. Dengan adanya dukungan ini akan mempercepat dan mempermudah
meningkatnya perikanan di setiap daerah di Indonesia.
Ketahanan pangan dunia sekrang sedang terancam, ini menjadi kesempatan Indonesia untuk
meningkatkan perikanan demi ketahanan pangan Indonesia dan Ekspor untuk ketahanan pangan
dunia.
Semakin tingginya konsumsi ikan/gemar makan ikan di Indonesia dan dunia tentu akan
meningkatkan tuntutan produksi perikanan untuk lebih besar sehingga perikanan dapat lebih
maju.
Produksi perikanan yang tinggi tidak akan tercapai bila teknologi produksinya masih tradisional.
Dengan teknologi perikanan yang semakin tinggi dan ramah lingkungan maka produktifitas
perikanan pun akan semakin tinggi.
B. Eksternalitas Negatif
Menurunnya ekosistem.
Dengan menurunnya kualitas ekosistem makan sudah tentu akan menurunkan produksi
perikanan. Oleh sebab itu ekosistem perairan Indoensia harus dijaga dan dilestarikan.
Iklim dan cuaca yang buruk dapat mempersulit perikanan terutama perikanan budidaya. Karena
ikan budidaya sangat rentan terhadap perubahna iklim dan cuaca sehingga perlu betul-betul
dijaga dan diperhatikan.
Lemahnya kerangka hukum dalam hal pengaturan dan perangkat hukum penegaknya.
Karena lemahnya hukum terutama hukum perariran dan kelautan, akan semakin memperlemah
perikanan Indoensia. Karena kurangnya perlindungan dan pengawasan terhadap perikanan
terutama bagian ilegal fishing.
TPI tidak lagi dijadikan tempat transaksi oleh pemodal besar sehingga pihak dari perikanan tidak
memperoleh untuk yang besar karena sudah harga sudah dimainkan oleh pihak ketiga di luar
TPI.
Adanya perbedaan kepentingan yang dapat menurus ke konflik kepentingan antar alat,
sektor dan regional.
Setiap bagian perikanan yang memiliki kepentingan yang berbeda-beda, hanya mendahulukan
kepentingannya sendiri dari kepentingan bersama. Sehingga sektor perikanan sudah tidak
menjadi prioritas melainkan orang yang terdapat di dalamnya.
C. Upaya Internalisasi
Upaya internalisasi berdasarkan Prinsip eko-efisiensi adalah bahwa bahan dan energi
yang tidak termanfaatkan dalam suatu sistem proses produksi akan terbuang menjadi limbah
(padat,cair, dan gas) dan menyebabkan peningkatkannya social cost untuk proses lanjutannya,
dengan meningkatkan efisiensi semakin banyak bahan dan energi yang termanfaatkan dalam
proses produksi sehingga semakin sedikit yang terbuang. Ditinjau dari aspek ekonomi,
peningkatan efisiensi akan mengurangi bahan baku sebagai faktor produksi dan energi yang
dibutuhkan, sehingga biaya produksi turun dan berpotensi untuk meningkatkan profit. Sedangkan
dari aspek lingkungan hidup berarti makin sedikit bahan baku dan energi yang terbuang
percuma, sehingga semakin sedikit limbah yang dihasilkan maka dampak terhadap lingkungan
hidup dapat ditekan. Hal itu dapat diterapkan dalam pemanfaatan Hutan, Lahan Pertanian,
Tambang, Air, Industri, dan Pemenuhan Sumber Energi
Konversi Hutan Mangrove Menjadi Pertambakan Dampak Positif yang dihasilkan dari
konversi hutan mangrove menjadi pertambakan adalah dampak ekonomi yang dirasakan petani
tambak dan sumbangan devisa yang besar dari ekspor udang. Masyarakat di kawasan
tersebut,diketahui bahwa kegiatan budidaya tambak merupakan pekerjaan utama masyarakat
dalam mencukupi kebutuhan hidup, karena masyarakat petambak umumnya merupakan
masyarakat yang migrasi dari pesisir wilayah lain yang bermata pencarian sebagai petani tambak
di sana, karena tambak mereka di sana sudah tidak menghasilkan maka berbondong-bondong
mereka membuka tambak. Di samping pada saat itu harga udang sangat tinggi akibat nilai tukar
Eksternalisasi Negatif
Jika dimasukkan biaya eksternalitas lingkungan, maka tambak udang harusnya memperhitugkan
pula biaya pemulihan lingkungan termasuk biaya pemulihan habitat dan hutan mangrove yang
telah dikonversi. Dengan demikian, maka nilai ekonomi tambak udang dalam jangka panjang
menjadi perlu dipertanyakan.
1. Penanaman pencerahan dan motivasi kepada masyarakat buat menjaga, melestarikan, dan
memanfaatkan lingkungan hutan mangrove dengan bertanggungjawab.
Valuasi ekonomi merupakan suatu satu cara yang digunakan untuk memberikan nilai
kuantitatif terhadap barang dan jasa yang dihasilkan sumber daya alam dan lingkungan terlepas
baik dari nilai pasar (market value) atau non pasar (non market value ). Tujuan dari studi valuasi
adalah untuk menentukan besarnya Total Economic Value (TEV) pemanfaatan sumberdaya alam
dan lingkungan.
1. Impact Analysis adalah kerusakan yang diakibatkan oleh suatu kegiatan pada sistem
pesisir khususnya berupa dampak lingkungan, misalnya penilaian kerusakan
lingkungan pesisir karena tumpahan minyak.
2. Parsial Valuation adalah suatu penilaian alternative alokasi sumberdaya atau proyek
yang menggunakan sistem pesisir/sumberdaya dengan tujuan mendapatkan pilihan
yang terbaik pada pemanfaatannya misalnya pemilihan alternative antara pemanfaatan
sistem / sumberdaya pesisir untuk usaha perikanan karang atau pariwisata terumbu
karag. Dalam parsial valuation digunakan cost-benefitanalysis untuk memilih alternatif
terbaik dalam penggunaan sumberdaya pesisir. Hal ini bertujuan untuk
memaksimumkan kesejahteraan sosial dengan cara mengalokasikan sumberdaya
seefisien mungkin.
3. Total Valuation adalah penilaian ekonomi secara keseluruhan dari sistem pesisir.
Pendekatan ini dilakukan dalam menentukan nilai ekonomi sosial daric agar alam
dalam akuntansi sumberdaya rasional.
Nilai ekonomi total (total economic value = TEV) dari sumberdaya sebagai asset merupakan
jumlah dari nilai pakai (use value=UV) dan nilai bukan pemakaian (non use value=NUV)
(Pearce and Morran, 1994 dan Barton, 1994). Nilai pakai adalah suatu nilai yang timbul dari
pemanfaatan aktualterhadap sumberdaya yang terdapat dalam ekosistem.
Nilai pakai terbagi menjadi nilai pakai langsung (direct use value=DUV), nilai pakai tidak
langsung (indirect use value=IUV) dan nilai pilihan (option value=OV). Nilai pakai langsung
merupakan nilai penggunaan aktual seperti penggunaan perikanan dan kayu dari ekosistem hutan
mangrove. Nilai pakai tidak langsung merupakan manfaat yang diturunkan dari fungsi ekosistem
seperti fungsi hutan mangrove dalam perlindungan lahan pesisir dari erosi dan dalam penyediaan
pakan bagi perikanan lepas pantai.
Nilai pilihan adalah nilai yang menunjukkan keinginan individu untuk membayar bagi
konservasi sumberdaya pesisir dan laut guna pemakaian masa mendatang seperti pengembangan
bahan farmasi dan kultivar pertanian baru. Dengan kata lain, nilai pilihan dapat diartikan sebegai
premi asuransi dimana keinginan masyarakat untuk membayar guna menjamin pemanfaatan
masa mendatang dari sumberdaya pesisir dan laut (UNEP, 1993).
Nilai bukan pemakaian terdiri dari nilai waris (bequest value=BV) dan nilai eksistensi (existence
value=EV). Nilai waris mengukur manfaat individual dari pengetahuan bahwa orang lain akan
memperoleh manfaat dari sumberdaya pesisir dan laut di masa mendatang. Nilai eksistensi
menggambarkan keinginan masyarakat untuk membayar konservasi sumberdaya pesisir dan laut
itu sendiri tanpa mempedulikan nilai pakainya.Contoh nilai eksistensi sumberdaya pesisir dan
laut adalah kepedulian individu terhadap perlindungan koral biru atau ikan napoleon meskipun ia
tidak melihat dan tak akan pernah melihatnya (Randall and Stoll, 1983).Dengan demikian nilai
ekonomi total sumberdaya pesisir dan laut dapat dituliskan sebagai berikut: TEV = UV + NUV =
(DUV + IUV + OV) + (BV + EV).
Manfaat langsung dari ekosistem hutan mangrove yang dapat terukur nilainya adalah
pemanfaatan kayu bakau untuk bahan bangunan rumah, ranting kayu, ikan, nener, kepiting
bakau, tambak udang, dan Bandeng. Metode yang digunakan dalam penksiran manfaat langsung
adalah dengan pendekatan langsung berdasarkan nilai pasar. Pendekatan ini menghitung jenis
jumlah produk langsung yang dapat dinikmati oleh masyarakat dari hutan mangrove dikalikan
dengan harga pasar yang berlaku dari setiap unit produk.
Sebagian besar masyarakat tinggal di pesisir pantai, maka pengukuran manfaat tidak
langsung dari hutan mangrove Desa Toli-Toli yaitu penahan abrasi air laut dan penyedia pakan.
Pendekatan manfaat penahan abrasi dilakukan dengan pembangunan pemecah gelombang (break
water) apabila ekosistem hutan mangsrove itu tidak ada. Manfaat tidak langsung dari ekosistem
hutan mangrove sebagai penyedia pakan organic bagi udang didekati dengan metode regresi
luasan hutan mangrove dan produksi udang.
Pendekatan yang digunakan dalam menghitung nilai manfaat keberadaan hutan mangrove
Desa Toli-Toli adalah dengan menggunakan Contingent Value Method (CVM). Penduduk desa
mengetahui bahwa fungsi hutan mangrove sangat mendukung penyediaan kebutuhan, namun
dalam hal ini pelestariannya sangat didukung oleh kondisi sosial ekonomi penduduk setempat
sehingga untuk menilai fungsi ekologis untuk menjaga kelestarian dari sumberdaya hutan
mangrove tersebut sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan yang dimiliki masyarakat di Desa
Toli-Toli.
Metoda Valuasi
Pada dasarnya valuasi ekonomi sumberdaya kawasan konservasi terumbu karang meliputi 3
tahap utama, yaitu : (1) identifikasi manfaat dan fungsi keterkaitan antar komponen sumberdaya
pesisir dan laut, (2) kuantifikasi seluruh manfaat dan fungsi tersebut ke dalam nilai uang, dan (3)
penilaian alternatif alokasi pemanfaatan lahan pesisir.
1) Identifikasi Manfaat
Manfaat yang dapat diperoleh dari kawasan konservasi terumbu karang antara lain:
2) Kuantifikasi Manfaat
Berikut ini adalah beberapa teknik kuantifikasi manfaat yang dapat digunakan pada kawasan
terumbu karang:
2. Hal ini dapat menimbulkan dampak berupa menurunnya kesehatan penduduk dan
kualitas kerja.
1. Adalah hasil keuntungan yang dapat diperoleh dari alternative investasi yang
diabaikan.
2. Metoda ini dapat dipakai untuk menghitung nilai ekonomi suatu proyek pemanfaatan
lahan pesisi yang tidak dapat diukur dengan menggungkan nilai pasar
1. Adalah biaya yang diperlukan untuk mencegah terjadinya dampak lingkungan yang
merugikan.
2. Contoh limbah organic yang terbuang dari industri pengalengan ikan atau industri
cold storage dapat menyebabkan penurunan kualitas air tempat pembuangan limbah
tersebut. Biaya pengolahan air limbah (waste water treatment cost), misalkan Rp 1
milyar, agar tidak mencemari lingkungan atau tidak melampaui baku mutu, dapat
dianggap sebagai nilai kerugian yang diakibarkan oleh pembuangan limbah organik
tersebut
1. Teori dasar adalah adanya keterkaitan antara permintaan atau produksi komoditi yang
dapat dipasarkan (Marketable commodity) dengan yang tidak dapat dipasarkan (non-
market able commodity)
2. Contoh: (1) hasil tangkapan ikan dalam suatu area tertentu merupakan fungsi dari
kualitas perairan, (2) Nilai keindahan alam dan udara bersih suatu pantai dapat dinilai
melalui harga rumah tinggal yang berlokasi sesuai dengan criteria yang
dimaksud.Dengan kata lain, harga rumah di suatu lokasi merupakan fungsi dari
kualitas udara dan keindahan alamnya.
3. Langkah pelaksanaannya:
1. Identifikasi kualitas lingkungan, issu penting ketersediaan data sekunder.
2. Tentukan cara pengukuran kualitas l;ingkungan (bising dengan db, udara dengan
1. Teori dasar menyatakan: (1) pada pasar bersaing sempurna permintaan tenata
kerja setara dengan nilai produk marjinal, (2) pemasokan tenaga kerja berbeda
dari satu dengan tempat lain karena perbedaan kondisi dan kualitas lingkungan
kerja, (3) pekerja dapat memilih tempat pekerjaannya dengan leluasa tanpa
adanya tekanan dari pihak manapun.
2. Contoh, seorang pekerja pabrik pengalengan ikan yang berlokasi di suatu daerah
tercemar (udara, air dll.) bersedia dibayar Rp 30.000/hari. Seorang pekerja lainnya
bekerja di pabrik pengalengan ikan yang berlokasi di suatu tempat yang tidak
tercemar bersedia hanya dibayar Rp 15.000/hari.Perbedaan sebesar Rp 15.000
merupakan nilai kualitas lingkungan tersebut.
1. Dapat digunakanb untuk menilai jasa lingkungan dan SDA yang memiliki korelasi
erat dengan komoditas lain yang dapat dipasarkan.
2. Misal, nilai ranting mangrove sebagai kayu bakar dapat diduga dengan harga
minyak tanah.
a. Adalah salah satu metoda valuasi melalui survey langsung mengenai penilaian responden
secara individual dengan cara menanyakan kesediaan untuk membayar (willingness to
pay) terhadap suatu komoditi lingkungan atau terhadap suaru sumber daya yang non
marketable. N ndikatakan contingent, karena pada kondisi tersebut responden seolah-olah
dihadapkan pada pasar yang sesungguhnya dimana sedang terjadi transaksi.
b. Metoda ini selain dapat digunakan untuk mengkuantifikasi nilai pilihan, nilai eksistensi
dan nilai pewarisan juga dapat digunakan untuk menilai penurunan kualitas.
c. Ada 4 macam tipe pertanyaan, yaitu (1) Direct Question Method disebut juga pertanyaan
terbuka, (2) Bidding Game, (3) Payment Card, (4) Take it or leave it.
d. Ada lima macam (sumber) bias yang perlu diwaspadai, yaitu (1) strategic bias,
(2) starting point bias, (3) hyphotetical bias, (4) sampling bias. (5) commodity
specification bias.
e. Prosedur Pelaksanaan Survei CVM terdiri dari 10 tahap, yaitu:
1. Identifikasi issu atau dampak lingkungan yang akan dinilai
2. Identifikasi populasi yang terkena dampak atau yang memanfaatkan sumberdaya
Berikut ini contoh penerapan teknik kuantifikasi manfaat pada kawasan terumbu karang:
pendidikan
8. Genetic and drugs: Surrogate market dengan kemungkinan penemuan baru (probality
of discoveries)
5.1.8 Pendekatan, Penilaian, dan Harga Pasar di Provinsi Nusa Tenggara Timur
Pengembangan Masyarakat Pesisir
Konsep PBB (1960) menyatakan pengembangan masyarakat adalah proses yang memfasilitasi
usaha yang dilakukan masyarakat sendiri dipadukan dengan kewenangan pemerintahnya untuk
meningkatkan kondisi ekonomi, sosial dan budaya masyarakat. Sementara Poston (1962)
membawa konsep perspektif internasional dan nasional yang luas menyangkut aktivitas populasi
yang besar untuk meningkatkan kesejahteraan. Seperti halnya pada konsepsi sebelumnya,
Brokensha dan Hidge (1968) menggaris bawahi adanya pergerakan yang terarah dan bersifat
partisipatif dengan inisiatif oleh masyarakat. Secara lebih tajam dan jelas tercermin dalam
konsep Cristenson dan Robinson (1980), bahwa dalam proses pengembangan masyarakat terjadi
kerjasama masyarakat dalam bingkai pembagian keputusan untuk membangun inisiatif bersama.
Pada fase berikutnya, keterlibatan masyarakat juga tetap disinggung (Twelvetrees, 1991).
Sementara untuk kasus di Indonesia, van Beers dan Colley (1972) dalam kepentingan
membangun persepsi tentang proses pengembangan masyarakat di Pulau Jawa, menekankan
adanya terminologi membantu diri sendiri (assisted self help). Dalam kerangka yang lebih
globaldan lebih kini Ife (2002) mengajukan pengertian bahwa pengembangan masyarakat adalah
suatu proses membangun atau membangun kembali struktur masyarakat dengan cara baru yang
lebih memungkinkan untuk mengubungkan, mengorganisasikan kehidupan sosial dan memenuhi
kebutuhan manusia.
Telaah konsepsi juga menunjukan secara historis terjadi perubahan keterlibatan kelembagaan
serta cakupan. Namun demikian, konsepsi-konsepsi tersebut menunjukan konsistensi pelibatan
proses dalam pengembangan masyarakat seperti kerterlibatan masyarakat (partisipasi),
kerjasama, proses/ kegiatan terencana serta aspek intervensi (sosial, ekonomi dan budaya) dan
tujuannya meningkatkan taraf hidup. Sehingga dalam konsepsi pengembangan masyarakat
dimanapun, terminologi tersebut harus menjadi bagian yang elementer. Seperti telah disebutkan
diawal, maka konsep pengembangan masyarakat pesisir juga harus merefleksikan konsep-konsep
besar tersebut. Secara umum, pengembangan masyarakat pesisir adalah proses partisipatif yang
terencana untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat pesisir.
Secara praktis, pihak yang dapat dan mampu untuk mengembangkan masyarakat pesisir terdiri
dari banyak pihak, baik pemerintah, lembaga masyarakat, perguruan tinggi atau perusahaan
(swasta). Oleh karena itu, dalam kaitan dengan pengetrian pengembangan masyarakat perlu
ditambahkan unsur pelaku yang jelas. Untuk mengakomodasikan kepentingan ini, maka
pengertian pengembangan masyarakat pesisir dapat dinyatakan sebagai :
Berdasar pada pengertian ini, maka terdapat unsur-unsur pokok yang perlu dielaborasi lebih
lanjut. Unsur-unsur tersebut meliputi unsur partisipatif, terencana dan meningkatkan kualitas
hidup. Partisipatif dalam konsep ini mempersyaratkan bahwa sasaran program terlibat baik
dalam proses perencanaan sampai dengan evaluasi. Namun demikian, evaluasi yang melibatkan
masyarakat, dilakukan pada program dan komponen program yang telah direncanakan dan
disepakati oleh masyarakat.
Meski, secara de jure sumberdaya di wilayah pesisir tergolong controlled access, pada
kenyataannya secara de facto sebagian sumberdaya yang berada di wilayah pesisir bersifat
terbuka atau dapat dimanfaatkan oleh siapapun (open access resources), sehingga
pemanfaatannya seringkali menimbulkan konflik. Peningkatan jumlah pemanfaat sumberdaya
(user) dan semakin terbatasnya sumberdaya dapat menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat
pesisir sebagai pengguna sumberdaya tersebut. Pengaturan kuantitas pemanfaatan sumberdaya
agar dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan seringkali tidak berhasil akibat sulitnya mengatur
pengguna sumberdaya yang bersifat open access. Berdasarkan uraian tersebut, program
pengembangan masyarakat harus didukung oleh pembentukan kelembagaan yang mampu
mengatur pemanfaatan sumberdaya. Kelembagaan yang dimaksud tidak harus kelembagaan
baru, tetapi dapat menggali dan menghidupkan kembali kelembagaan lokal (local wisdom) yang
pernah ada dalam mengatur pemanfaatan sumberdaya pesisir.
Sumberdaya pesisir, terutama sumberdaya hayati perairan, merupakan sumberdaya yang dinamis
dalam ruang dan waktu. Ini berarti ketersediaan sumberdaya hayati pesisir bersifat musiman
karena proses rekruitmen dan migrasi. Proses rekruitmen pada berbagai jenis sumberdaya hayati
pesisir yang berbeda waktu menyebabkan masyarakat pesisir harus menyediakan teknik
pemanfaatan sumberdaya yang berbeda antar waktu. Migrasi sumberdaya hayati pesisir
menyebabkan keterbatasan ketersediaan sumberdaya pada tempat dan kurun waktu tertentu serta
keterbatasan jangkauan pengelolaan sumberdaya. Sifat sumberdaya pesisir sebagaimana yang
telah diuraikan tersebut mengakibatkan resiko yang relatif tinggi harus dihadapi masyarakat
pesisir dalam pemenuhan kebutuhannya.
Struktur masyarakat pesisir seringkali terkait dengan penguasaan modal sehingga hampir seluruh
kegiatan masyarakat pesisir dikendalikan oleh pemilik modal, baik secara langsung maupun
tidak langsung. Pola hubungan masyarakat pesisir seperti ini terlihat dalam bentuk
hubungan patron klienyang umumnya mengikat sangat kuat sehingga intervensi program
pemberdayaan masyarakat harus menyentuh kedua lapisan masyarakat pesisir tersebut. Selain
sebagai penguasa modal, lapisan masyarakat atas (patron) juga berperan sebagai penanggung
resiko (risk taker) dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir. Kegagalan usaha pemanfaatan
sumberdaya hayati pesisir ditanggung oleh pemilik modal, walaupun kemudian dihitung dalam
bagi hasil secara tidak langsung pada usaha berikutnya.
Sifat sumberdaya pesisir dan pola hubungan masyarakat pesisir sebagaimana diuraikan di atas
telah membentuk kebiasaan cash and carrydalam masyarakat pesisir. Usaha pemanfaatan
sumberdaya yang dilakukan harus menghasilkan uang sedapat mungkin pada saat yang
bersamaan atau dalam tempo secepat mungkin. Tidaklah mengherankan bila di beberapa daerah
pesisir terdapat kegagalan dalam program pengalihan mata pencaharian berbasis budidaya karena
mengharuskan waktu tunggu yang cukup lama. Namun demikian, kegiatan pengolahan
sumberdaya primer seperti pengolahan ikan menjadi ikan kering dan pengolahan kelapa menjadi
kopra, mampu menghasilkan uang dalam waktu relatif cepat sehingga menjadi harapan alternatif
mata pencaharian bagi masyarakat pesisir.
Ife (2002) mengembangkan prinsip-prinsip dasar pengembangan masyarakat secara umum yang
meliputi domain yang sangat luas, dimana prinsip-prinsip tersebut asar dapat dikelompokan
menjadi prinsip ekologis, keadilan sosial, unsur lokal, memperhatikan proses dan sesuai dengan
prinsip nasional dan global.
Berdasarkan kerangka pemikiran kriteria umum diatas serta adanya rujukan prinsip dasar yang
dikembangkan oleh Ife (2002), maka pengembangan masyarakat pesisir dilakukan dengan
mengacu pada prinsip-prinsip sebagai berikut :
1. Partisipatif; menjamin agar masyarakat pesisir mempunyai peran serta baik pada
tahap perencanaan, pengorganisasian, maupun pengawasan/ pengendalian dalam
pelaksanaan program.
2. Berkelanjutan : menjamin kelangsungan aktivitas dari pengembangan masyarakat
dengan mempertimbangkan nilai lokal dan daya dukung sosial, sumberdaya dan
lingkungan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat secara gradual.
3. Kontinuitas: program pengembangan masyarakat pesisir bersifatterencana dan terus
menerus serta saling terkait antar periode waktu pelaksanaan (multi years).
4. Akuntabilitas; pengembangan masyarakat pesisir dilakukan secara terbuka dan dapat
dipertanggung jawabkan baik secara substansi keilmuan maupun dan mekanisme
administrasi.
5. Keterpaduan dan kemitraan; mensinergikan program pengembangan masyarakat
dengan program-program yang dikembangkan pemerintah maupun lembaga
masyarakat lainnya yang sejalan dengan misi pengembangan masyarakat pesisir.
6. Holistik : meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat pesisir (ekologis, sosial,
Langkah awal dari tahap ini adalah mengidentifikasi segenap manfaat dan fungsi dari
ekosistem di daerah penelitian meliputi:
a. Manfaat langsung, misalnya penangkapan ikan, pertanian, kayu se.bagai bahan bakar baik
secara komersial maupun non-komersial
b. Manfaat tidak langsung, misalnya fungsi venahan abrasi dari ekosistem hutan mangrove,
manfaat daerah pemijahan dari ekosistem.
d. Manfaat keberadaan, yaitu nilai ekonomis keberadaan (fisik) dari ekosistem hutan
mangrove.
2. Kuantifikasi segenap manfaat dari fungsi ekosistem
Setelah segenap manfaat dan fungsi ekosistem berhasil diteiti, maka selanjutnya adalah
mengkuantifikasi manfaat dan fungsi tersebut ke dalam nilai rupiah. Beberapa tekik
kuantifikasi yang idunakan dalam venelitian ini adalah:
a. Nilai pasar, pendekatan ini digunakan untuk komoditas-komoditas yang langsung dapat
diperdagangkan dari ekosistem hutan mangrove.
b. Harga tidak langsung, pendekatan ini digunakan apabila mekanisme pasar gagal
memberikan nilai pada komoditas ekosistem hutan mengrove.
Setelah penilaian ekonomi hutan mangrove dilakukan, maka perlunya menganalisis suatu
proyek dari segi ekonomi yaitu dengan menggunakan metode Analisis Biaya Manfaat.
Pada analisis finansial harga yang dipakai adalah harga pasar. Harga ini sudah
memperhitungkan pajak dan subsidi.
6 BAB VI
SISTEM KELEMBAGAAN DAN IDENTIFIKASI VARIABEL-
VARIABEL KONFLIK
Menurut Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Nomor 10 Tahun 2005 Tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Laut Provinsi Sulawesi Tenggara, Sistem Kelembagaan sebagai
berikut:
Dewan Pengelola Pesisir dan Laut Provinsi berkedudukan sebagai lembaga ad-hocyang
bertanggung jawab kepada Gubernur.
Dewan Pengelola Pesisir dan Laut Provinsi dibentuk dengan Keputusan Gubernur.
a. Unsur Pemerintah;
b. Perguruan Tinggi;
a. Ketua;
b. Wakil Ketua;
d. Anggota-anggota.
Untuk kelancaran tugas-tugas Dewan Pengelola Pesisir dan Laut Provinsi dapat
dibentukSekretariat Dewan Pengelola.
Evaluasi dilakukan terhadap segenap masukan dan hasil pengamatan yang dilakukan
selama proses monitoring berlangsung. Evaluasi dilakukan secara terpadu dengan melibatkan
masyarakat dan stakeholder lainnya. Melalui proses evaluasi, maka dapat diketahui kelemahan
dan kelebihan dari system pengelolaan guna perbaikan system dimasa depan.
Jadi dapat disimpulkan bahwa pengelolaan yang berbasis masyarakat adalah suatu system
pengelolaan sumberdaya alam dimana masyarakat lokal terlibat secara aktif dalam proses
pengelolaan sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya. Pengelolaan disini meliputi
berbagai dimensi seperti perencanaan, pelaksanaan, serta pemanfaatan hasil-hasilnya.
Contoh kegiatan pengelolaan terumbu karang yang berbasis masyarakat :
9.1. Kesimpulan
9.2. Saran-Saran
DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Nomor 10 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir Dan Laut Provinsi Sulawesi Tenggara
http://www.seruu.com/indonesiana/flora-a-fauna/artikel/kerusakan-terumbu-karang-di-ntt-
semakin-memprihatinkan
http://www.antaranews.com/berita/268728/kondisi-terumbu-karang-ntt-memprihatinkan
http://id.wikipedia.org/wiki/Terumbu_karang#Terumbu_atau_Reef
http://atanitokyo.blogspot.com/2009/01/pembahasan-restorasi-terumbu-karang-di.html. 10
September 2009
https://arielaut.wordpress.com/2011/03/03/pengelolaan-ekosistem-terumbu-karang/
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Peta Lokasi Studi Kasus
Sumber: Nasional.republika.co.id
Sumber: Nasional.republika.co.id
Sumber: www.griyawisata.com
Antaranews.com