Anda di halaman 1dari 93

SUMBER DAYA LAUT DAN PESISIR

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Analisis Sumber Daya dan Lingkungan (PL-214)
dosen pengampu Benny Moestofa Ir, M,Sc.

Disusun oleh:
(Kelompok 5)

1 Alfat Alviandana 24-2014-129


2 Kamelia Hasanah 24-2014-130
3 Muhammad Luthfi 24-2014-131
4 Alia Satia Trisnawan 24-2014-132
5 Nadiane Ivana Hayati 24-2014-133
6 Christine Devina M. 24-2014-135
7 Rinanda Faisal Ramdan 24-2014-136
8 Wa Ode Lucia R. 24-2014-137
9 Resha Yulistiani 24-2014-140

PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA


FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN
INSTITUT TEKNOLOGI NASIONAL
BANDUNG
2016

KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat,
karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang Sumber
Daya Alam dan Pengelolaannya dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya. Dan
juga kami berterima kasih pada Bapak Benny Moetofa Ir, M,Sc. selaku Dosen mata kuliah
Analisis Sumber Daya dan Alam ITENAS yang telah memberikan tugas ini kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan
serta pengetahuan kita mengenai sumber daya laut dan pesisir. Kami juga menyadari
sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna.
Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang
telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa
saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang
membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang
kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun dari Anda demi
perbaikan makalah ini di waktu yang akan datang.

Bandung, April 2016

Penyusun

Daftar isi
Daftar Tabel
Daftar Gambar
1 BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sumberdaya alam adalah unsur lingkungan yang terdiri atas sumberdaya alam hayati,
sumberdaya alam non hayati dan sumberdaya buatan, merupakan salah satu aset
pembangunan Indonesia yang penting. Sebagai modal dasar pembangunan sumberdaya alam
harus dimanfaatkan sepenuh-penuhnya tetapi dengan cara-cara yang tidak merusak, bahkan
sebaliknya, cara-cara yang dipergunakan harus dipilih yang dapat memelihara dan
mengembangkan agar modal dasar tersebut makin besar manfaatnya untuk pembangunan
lebih lanjut di masa mendatang. Sumberdaya alam merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari suatu ekosistem, yaitu lingkungan tempat berlangsungnya hubungan timbal balik antara
makhluk hidup yang satu dengan yang lainnya.
Wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara darat dan alut, dengan batas ke arah
darat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air yang masih mendapat
pengaruh sifat sifat laut seperti angin laut, pasang surut, perembesan air laut (intrusi) yang
dicirikan oleh vegetasinya yang khas, sedangkan batas wilayah pesisir ke arah laut mencakup
bagian atau batas terluar dari daerah paparan benua (continental shelf), dimana cirri ciri
perairan ini masih dipengaruhi oleh prose salami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan
aliran air tawar, maupun proses yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti
penggundulan hutan dan pencemaran. (Nurul, 2003)
Berdasarkan batasan tersebut di atas, beberapa ekosistem wilayah pesisir yang khas
seperti estuaria, delta, laguna, terumbu karang (coral reef), padang lamun (seagrass), hutan
mangrove, hutan rawa, dan bukit pasir (sand dune) tercakup dalam wlayah ini. Luas suatu
wilayah pesisir sangat tergantung pada struktur geologi yang dicirikan oleh topografi dari
wilayah yang membentuk tipe tipe wilayah pesisir tersebut.
Wilayah pesisir yang berhubungan dengan tepi benua yang meluas (trailing edge)
mempunyai konfigurasi yang landai dan ke arah laut terdapat paparan benua yang luas. Bagi
wilayah pesisir yang berhubungan dengan tepi benua patahan atau tubrukan (collision edge),
dataran pesisirnya sempit, curam, dan berbukit bukit, sementara jangkauan paparan
benuanya ke arah laut juga sempit. (Nurul, 2003)
Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, karena
Indonesia merupakan negara kepulauan dengan garis pantai mencapai sepanjang 81.000 km.
Selain menempati wilayah yang sangat luas, kawasan pesisir yang terdiri dari berbagai
ekosistem pendukung seperti ekosistem hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun dan
lahan basah tersebut memiliki keanekaragaman hayati dan berbagai sumberdaya alam seperti
ikan, dan bahan-bahan tambang yang bernilai tinggi (DKP, 2002). Kemudahan akses terhadap
kawasan pesisir cenderung meningkatkan laju pemanfaatan wilayah pesisir di tahun-tahun
mendatang, baik dalam hal pemanfaatan sumber daya ekonomi maupun pemanfaatan ruang.
Selain itu, hal lain yang tidak boleh diabaikan adalah fakta yang menunjukkan bahwa tidak
kurang dari 60% penduduk Indonesia bermukim di kawasan pesisir (DKP, 2002).

Potensi wilayah pesisir dan laut Indonesia dipandang dari segi pembangunan adalah
sebagai berikut ; pertama, sumberdaya yang dapat diperbaharui seperti perikanan (tangkap,
budidaya, dan pasca panen), hutan mangrove, terumbu karang, industri bioteknologi kelautan
dan pulau-pulau kecil. Kedua, sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui seperti minyak
bumi dan gas, bahan tambang dan mineral lainnya serta harta karun. Ketiga, Energi kelautan
seperti; pasang surut, gelombang, angin, OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion).
Keempat, jasa-jasa lingkungan seperti pariwisata, perhubungan, dan kepelabuhanan serta
penampung (penetralisir) limbah (Hanafiahdkk, 2010).

Indonesia merupakan negara maritim dan berbentuk kepulauan, dengan demikian


maka luas daerah estuary dan intertidalnya cukup luas. Daerah intertidal merupakan wilayah
dan habitat yang cocok untuk vegetasi mangrove yang dapat berfungsi sebagai tempat
berlangsungnya siklus biologi (sebagai tempat pemijahanikan), fungsi ekologis (perlindungan
pantai terhadap abrasi dan intrusi air laut), maupun fungsi ekonomi (sumber nutrien bagi
perikanan, pengembangan budidaya mutiara dan penghasil kayu) (Arthana, 2000). Namun
banyak pemanfaatan sumber daya pesisir di beberaa perairan pesisir Indonesia yang
dimanfaatkan secara berlebihan sehingga menimbulkan banyak dampak negatif di kawasan
pesisir tersebut.

Oleh karena itu dari uraian di atas maka penulis merasa perlu untuk melakukan
penelitian mengenai permasalahan yang terjadi di beberapa perairan pesisir Indonesia yang
saat ini kawasan pesisir di Indonesia kian kritis kondisinya.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah di atas, maka pokok permasalahan
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1) Bagaimana kondisi umum beberapa daerah pesisir di Indonesia?


2) Apa isu isu kritis dan lingkup pengelolaan sumber daya pesisir di beberapa daerah
pesisir Indonesia?
3) Bagaimana strategi dan proses perencanaan serta pemanfaatan sumber daya pesisir
secara berkelanjutan?
4) Apa saja eksternalitas baik positif maupun negatif serta dampak teknik analisis
dampak lingkungan di beberapa daerah pesisir Indonesia?
5) Bagaimana valuasi ekonomi sumber daya pesisir di beberapa daerah pesisir
Indonesia?
6) Bagaimana sistem kelembagaan dan variabel variabel konflik di beberapa daerah
pesisir Indonesia?
7) Bagaimana monitoring pengelolaan serta evaluasi di beberapa daerah pesisir
Indonesia?
8) Bagaimana analisis pengelolaan sumber daya pesisir dan AMDAL di beberapa
daerah pesisir Indonesia?

1.3 Tujuan dan Sasaran


1. Tujuan

1) Mengidentifikasi kondisi umum beberapa daerah pesisir di Indonesia


2) Mengidentifikasi isu isu kritis dan lingkup pengelolaan sumber daya pesisir di
beberapa daerah pesisir Indonesia
3) Mengidentifikasi strategi dan proses perencanaan serta pemanfaatan sumber daya
pesisir secara berkelanjutan
4) Mengidentifikasi eksternalitas baik positif maupun negatif serta dampak teknik
analisis dampak lingkungan di beberapa daerah pesisir Indonesia
5) Mengidentifikasi valuasi ekonomi sumber daya pesisir di beberapa daerah pesisir
Indonesia
6) Mengidentifikasi sistem kelembagaan dan variabel variabel konflik di beberapa
daerah pesisir Indonesia
7) Mengidentifikasi monitoring pengelolaan serta evaluasi di beberapa daerah
pesisir Indonesia
8) Mengidentifikasi analisa pengelolaan sumber daya pesisir dan AMDAL di
beberapa daerah pesisir Indonesia

2. Sasaran
1) Teridentifikasi kondisi umum beberapa daerah pesisir di Indonesia

2) Teridentifikasi isu isu kritis dan lingkup pengelolaan sumber daya pesisir di
beberapa daerah pesisir Indonesia

3) Teridentifikasi strategi dan proses perencanaan serta pemanfaatan sumber daya


pesisir secara berkelanjutan

4) Teridentifikasi eksternalitas baik positif maupun negatif serta dampak teknik


analisis dampak lingkungan di beberapa daerah pesisir Indonesia

5) Teridentifikasi valuasi ekonomi sumber daya pesisir di beberapa daerah pesisir


Indonesia

6) Teridentifikasi sistem kelembagaan dan variabel variabel konflik di beberapa


daerah pesisir Indonesia

7) Teridentifikasi monitoring pengelolaan serta evaluasi di beberapa daerah pesisir


Indonesia

8) Teridentifikasi analisa pengelolaan sumber daya pesisir dan AMDAL di beberapa


daerah pesisir Indonesia

1.4 Keluaran (Output)


Berdasarkan penelitian yang dilakukan diharapkan dapat memberikan konstribusi
pendapat dan saran penulis setelah mengidentifikasi terhadap kondisi umum, isu isu kritis
dan lingkup pengelolaan, strategi dan proses perencanaan serta pemanfaatan, eksternalitas
baik positif maupun negatif serta dampak teknik analisis dampak lingkungan, valuasi
ekonomi, sistem kelembagaan dan variabel variabel konflik, monitoring pengelolaan serta
evaluasi analisa pengelolaan sumber daya pesisir dan AMDAL di beberapa daerah pesisir
Indonesia agar wilayah pesisir Indonesia lebih baik lagi dalam pengelolaan serta
pemanfaatannya.

1.5 Manfaat (Outcome)


Berdasarkan penelitian yang dilakukan diharapkan dapat memahami bagaimana
kondisi umum, isu isu kritis dan lingkup pengelolaan, strategi dan proses perencanaan serta
pemanfaatan, eksternalitas baik positif maupun negatif serta dampak teknik analisis dampak
lingkungan, valuasi ekonomi, sistem kelembagaan dan variabel variabel konflik,
monitoring pengelolaan serta evaluasi analisa pengelolaan sumber daya pesisir dan AMDAL
di beberapa daerah pesisir Indonesia.

1.6 Ruang Lingkup Wilayah

Sumber : www.mgi.esdm.go.id
Gambar 1.1Peta Indonesia

Lingkup wilayah kajian dari makalah ini adalah Indonesia bagian barat yaitu Sumatera
Utara dan Indonesia bagian tengah yaitu Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi Tengah.
Provinsi Sumatera Utara terletak pada 1 - 4Lintang Utara dan 98 - 100 Bujur Timur,
yang dapat dibagi menjadi dua pesisir yaitu pesisir barat dan pesisir timur. Pesisir timur
merupakan wilayah di dalam provinsi yang paling pesat perkembangannya karena
persyaratan infrastruktur yang relatif lebih lengakp daripada wilayah lainnya. Wilayah pesisir
timur juga merupakan wilayah yang relatif padat konsentrasi penduduknya dibandingkan
wilayah lainnya. Kemudian untuk pesisir barat merupakan wilayah yang mencakup smepit,
dengan komposisi penduduk yang terdiri dari masyarakat Batak, Minangkabau dan Aceh.
Provinsi Nusa Tengggara Timur berada pada bentang kepulauan yang terletak di antara
80-120 Lintang Selatan, dan 118-125 Bujur Timur.
Provinsi Sulawesi Tengah terletak di bagian Tengah Pulau Sulawesi, secara geografis
terletak di antara 0222 Lintang Utara - 0348 Lintang Selatan dan 11922 - 12422 Bujur
Timur dengan luas wilayah daratan 68.033 km2 dan luas wilayah laut 189.480 km2.
2 BAB II
ISU-ISU KRITIS DAN LINGKUP PENGELOLAAN SUMBER DAYA
LAUT DAN PESISIR

2.1 Isu-Isu Kritis Pengelolaan Sumber Daya Laut dan Pesisir


Isu pengelolaan sumber daya alam dapat diartikan sebagai permasalahan yang
mencakup permasalahan yang mencakup yang sifatnya negatif (buruk) dan permasalahan
yang sifatnya positif (baik) dari aspek lingkungan, sosial dan kelembagaan di wilayah pesisir
yang perlu ditangani oleh suatu upaya pengelolaan. Suatu isu dikatakan bersifat buruk jika isu
tersebut dibiarkan tidak ditangani akan memberikan dampak negatif terhadap kualitas
lingkungan atau kesejahteraan masyarakat. Sebaliknya, suatu isu dikatakan bersifat baik jika
isu tersebut ditangani akan memberikan dukungan terhadap terpeliharanya atau
meningkatnya kualitas lingkungan atau kesejahteraan masyarakat.

2.1.1 Isu Kritis Pengelolaan Sumber Daya Laut dan Pesisir di Provinsi
Sumatera Utara
Berdasarkan hasil identifikasi isu pengelolaan wilayah pesisir dan hasil konsultasi
publik yang telah dilaksanakan di tingkat Kabupaten/Kota maupun tingkat Provinsi, maka
diperoleh 11 (sebelas) isu yang menjadi prioritas di kawasan pesisir timur Sumatera Utara
dan 10 (sepuluh) isu prioritas untuk kawasan pesisir barat Sumatera Utara.

Isu Pengelolaan Pesisir Timur Sumatera Utara


1. Kabupaten Langkat :
1) Kerusakan Mangrove di Kawasan Pesisir
2) Penurunan Produksi Perikanan Tangkap
3) Penurunan Produksi Perikanan Budidaya
4) Adanya Gangguan dengan Beroperasinya Pukat Langge
5) Keamanan di Kawasan Pesisir dan Laut
6) Pencemaran Wilayah Pesisir dan Laut
7) Rendahnya Kualitas Sumberdaya Manusia
8) Kurangya Fungsi Kelembagaan dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir
9) Belum Ada Tata Ruang Wilayah Pesisir

2. Kota Medan
1) Kerusakan Mangrove yang Cukup Parah
2) Alih Fungsi Hutan Mangrove menjadi Kawasan Industri dan
3) Intrusi air Laut ke Daerah Pemukiman Penduduk
4) Pencemaran Wilayah Pesisir dan Laut oleh Limbah Industri dan Rumah Tangga
5) Konflik Antara Nelayan Tradisional dengan Nelayan Trawl
6) Keamanan yang Cukup Rawan bagi Kapal-kapal Penangkap Ikan dan Usaha
Pertambakan
7) Rendahnya Kualitas Sumberdaya Manusia
8) Kurangya Fungsi Kelembagaan dalam Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut
9) Penurunan Produktivitas Perikanan Tangkap dan Perikanan Budidaya
10) Belum Ada Tata Ruang Kawasan Pesisir
11) Berdirinya Tangkahan Liar Milik Masyarakat

3. Kabupaten Deli Serdang dan Serdang Bedagai


1) Rendahnya Kualitas Sumberdaya Manusia
2) Rendahnya Penataan dan Penegakan Hukum
3) Belum Adanya Penataan Ruang Wilayah Pesisir
4) Pencemaran Wilayah Pesisir
5) Kerusakan Hutan Mangrove
6) Potensi dan Objek Wisata Bahari Belum Dikembangkan Secara Optimal
7) Belum Optimalnya Pengelolaan Perikanan Tangkap dan Budidaya
8) Ancaman Intrusi Air Laut
9) Rendahnya Tingkat Kehidupan Masyarakat Pesisir/Nelayan

4. Kabupaten Asahan
1) Kerusakan Hutan Mangrove
2) Kerusakan Terumbu Karang dan Padang Lamun
3) Pencemaran Wilayah Pesisir oleh Limbah Industri dan Limbah Rumah Tangga
4) Ancaman Intrusi Air Laut ke Daerah Pertanian dan Pemukiman
5) Rendahnya Kualitas Sumberdaya Manusia
6) Rendahnya Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Pesisir
7) Rendahnya Ketaatan dan Penegakan Hukum
8) Belum Adanya Penataan Ruang Wilayah Pesisir
9) Belum Optimalnya Pengelolaan Perikanan Tangkap dan Budidaya
10) Belum Optimalnya Pengembangan Potensi dan Objek Wisata Bahari

5. Kota Tanjung Balai


1) Sedimentasi yang Cukup Tinggi di Dekat Muara Sungai
2) Pencemaran oleh Limbah Industri dan Limbah Rumah Tangga
3) Ancaman Intrusi Air Laut
4) Konflik Nelayan Tradisional dan Nelayan Trawl
5) Rendahnya Ketaatan dan Penegakan Hukum
6) Belum Adanya Penataan Ruang Wilayah Pesisir
7) Rendahnya Kualitas Sumberdaya Manusia
8) Terjadinya Penyimpangan dari Pemberian Ijin Kapal Perikanan

6. Kabupaten Labuhan Batu


1) Kerusakan Hutan Mangrove
2) Kelangkaan Jenis Ikan Terubuk yang Terancam Punah
3) Konflik antar Nelayan Tradisional dgn Nelayan Pukat Langge & Nelayan Trawl
4) Sedimentasi yang Sangat Tinggi
5) Penuruanan Hasil Tangkapan Nelayan Tradisional/Budidaya
6) Belum Optimalnya Pengelolaan Perikanan Budidaya dan Perikanan Tangkap
7) Rendahnya Kualitas Sumberdaya Manusia
8) Belum Adanya Penataan Ruang Wilayah Pesisir
9) Rendahnya Ketaatan dan Penegakan Hukum

Isu-isu Pengelolaan Pesisir Barat Sumatera Utara


1. Kabupaten Tapanuli Tengah
1) Kerusakan Mangrove
2) Kerusakan Terumbu Karang
3) Penangkapan Ikan-ikan Karang dengan Alat Tangkap yang Merusak (Illegal
Fishing)
4) Konflik Nelayan Tradisional dengan Nelayan Modern
5) Pencurian Ikan oleh Kapal Nelayan Asing
6) Rendahnya Penaatan dan Penegakan Hukum
7) Rendahnya Kualitas Sumberdaya Manusia
8) Berlum Berkembangnya Industri Penanganan/Pengolahan Hasil Perikanan
9) Belum Berkembangnya Usaha Perikanan Budidaya
10) Belum Berkembangnya Wisata Bahari/Pantai

2. Kota Sibolga
1) Kerusakan Hutan Mangrove
2) Belum Optimalnya Pengelolaan Budidaya Laut
3) Pencemaran oleh Limbah Industri dan Rumah Tangga
4) Pencurian Ikan oleh Kapal Nelayan Asing
5) Rendahnya Kualitas Sumberdaya Manusia
6) Berkembangnya Tangkahan Milik Masyarakat di Luar Wilayah Pelabuhan
Perikanan Sibolga

3. Kabupaten Tapanuli Selatan


1) Belum Berkembangnya Usaha Perikanan Tangkap
2) Kerusakan Hutan Mangrove
3) Belum Berkembangya Tempat Pendaratan Ikan yang Memadai
4) Belum Adanya Tata Ruang Pesisir dan Laut
5) Rendahnya Kualitas Sumberdaya Manusia
6) Terbatasnya Prasarana Umum dan Prasarana Perikanan

4. Kabupaten Mandailing Natal


1) Belum Berkembangnya Usaha Perikanan Tangkap dan Budidaya
2) Rendahnya Kualitas Sumberdaya Manusia
3) Belum Berkembangnya Tempat Pendaratan/Pelelangan Ikan
4) Belum Berkembangnya Industri Pasca Panen Hasil Perikanan
5) Rusaknya Hutan Bakau
6) Pencurian Ikan oleh Kapal Nelayan Asing
7) Ancaman Abrasi Pantai oleh Gelombang Samudera Hindia

5. Kabupaten Nias dan Nias Selatan


1) Kerusakan Terumbu Karang oleh Penggunaan Alat Tangkap yang Tidak Ramah
Lingkungan
2) Ikan-ikan Hias Terumbu Karang Terancam Punah karena Illegal Fishing
3) Rendahnya Kualitas Sumberdaya Manusia
4) Kerusakan Hutan Mangrove
5) Ancaman Abrasi Pantai dan Intrusi Air Laut
6) Belum Berkembangnya Usaha Perikanan Tangkap dan Perikanan Budidaya
7) Terbatasnya Prasarana Transportasi Darat, Laut dan Udara
8) Pencurian Ikan oleh Kapal Nelayan Asing
9) Investor Enggan Masuk ke Kabupaten Nias
10) Rendahnya Tingkat Pendapatan dan Kesejahteraan Masyarakat
11) Belum Berkembangnya Wisata Bahari/Pantai
12) Terbatasnya Prasarana Umum dan Prasarana Perikanan

Isu-Isu Prioritas Dari Setiap Kabupaten/Kota Pesisir Provinsi Sumatera Utara


Penentuan isu prioritas provinsi menggunakan metoda ranking frekuensi (sering
muncul) sebagai berikut:
1. Rendahnya Kualitas Sumberdaya Manusia
2. Belum Adanya Tata Ruang Wilayah Pesisir
3. Rendahnya Penaatan dan Penegakan Hukum
4. Degradasi Habitat Wilayah Pesisir (Mangrove, Terumbu Karang dan Pantai Berpasir)
5. Pencemaran Wilayah Pesisir dan Laut oleh Limbah Industri dan Limbah Rumah
Tangga
2.1.2 Isu Kritis Pengelolaan Terumbu Karang di Provinsi Nusa Tenggara
Timur
Kekayaan Terumbu Karang sangatlah besar karena terumbu karang merupakan bagian
vital bagi habitat laut, dengan potensi ini adalah ikan-ikan yang hidup di laut, potensi wisata
bahari, baik di permukaan maupun bawah laut, pembudidayaan mutiara dan rumput laut serta
olahraga memancing dan menyelam (diving). Kekayaan dasar laut NTT pun bisa menjadi
laboratorium alam untuk berbagai penelitian biota laut.Namun kekayaan bawa laut ini akan
hilang bisa tidak dilestarikan sejak kini. Aktivitas bom ikan yang masih berlangsung
berpotensi merusak kekayaan biota laut.

Saat ini saja, kerusakan terumbu karang yang merupakan sumber kehidupan bioata
laut terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia. Pemboman ikan bukan saja mematikan ikan
tetapi berdampak pada kerusakan seluruh biota laut.

Tahun 2006, Coral Reef Rehabilitation and Management Program (Coremap)-LIPI


telah melakukan pemetaan terumbu karang di seluruh Indonesia, dengan luasan terumbu
karang tercatat sekitar 75 ribu km persegi yang tersebar di sekitar 841 lokasi di seluruh
wilayah Indonesia. Coremap melaksanakan pemetaan di tiga wilayah Indonesia, yaitu
Indonesia Barat, Tengah dan Timur. Penelitian di wilayah Indonesia Tengah termasuk
perairan NTT yakni Kupang dan Maumere. Hasil penelitian tersebut menyebutkan, sekitar 75
persen terumbu karang di Teluk Maumere, Kabupaten Sikka mengalami kerusakan akibat
cara penangkapan ikan yang dilakukan nelayan menggunakan bom dan racun-racun lainnya.

Terdapat 97 titik di perairan Teluk Maumere dan sekitarnya namun sebagian besar
terumbu karang sudah rusak atau mati dan sisanya hanya 25 persen. Ini data yang
disampaikan Coremap, sebuah program bantuan asing yang memfokuskan perhatiannya pada
bidang pengelolaan terumbu karang.

Akibat dari terumbu karang yang sudah rusak itu, katanya, jumlah ikan yang hidup di
laut berkurang. Dampak lanjutannya adalah penghasilan nelayan menurun dan sumber nutrisi
untuk manusia pun ikut berkurang.

Terumbu karang di Teluk Maumere memiliki keindahan dan aneka warna sehingga
dijadikan sebagai salah satu taman laut di Indonesia. Namun banyak di antaranya rusak
karena kegiatan pengemboman ikan dan gempa bumi yang terjadi pada 1992.

Kerusakan terumbu karang di Teluk Kupang juga cukup memprihatinkan. Berbeda


dengan kasus Maumere, terumbu karang di Kupang rusak karena ekploitasi yang dilakukan
para pembuat kapur. Bahan baku pembuatan kapur tersebut membuat para penambang tidak
saja mengambil karang laut di tepi pantai, namun sudah masuk hingga ke dalam laut.

Eksploitasi hasil laut secara sacara seperti mengambil karang laut juga merupakan
bentuk pengrusakan biota laut. Karang merupakan rumah ikan sekaligus sumber makanan
bagi ikan, sementara karang membutuhkan waktu sangat lamah untuk tumbuh dan
berkembang.

A. Isu Kerusakan ekologis

Kerusakan ekologis dapat bersifat alamiah maupun antropogenik. Kerusakan ekologis


secara alamiah di desa pesisir dapat dilihat dari berbagai bencana alam, seperti tsunami, angin
topan, , dan gempa. Hal tersebut dapat disebabkan oleh :
Sedimentasi

Konstruksi di daratan dan sepanjang pantai, penambangan atau pertanian di


daerah aliran sungai ataupun penebangan hutan tropis menyebabkan tanah mengalami
erosi dan terbawa melalui aliran sungai ke laut dan terumbu karang. Kotoran-
kotoran, lumpur ataupun pasir-pasir ini dapat membuat air menjadi kotor dan tidak
jernih lagi sehingga karang tidak dapat bertahan hidup karena kurangnya cahaya.
Hutan mangrove dan padang lamun yang berfungsi sebagai penyaring juga menjadi
rusak dan menyebabkan sedimen dapat mencapai terumbu karang. Penebangan hutan
mangrove untuk keperluan kayu bakar dapat merubah area hutan mangrove tesebut
menjadi pantai terbuka. Dengan membuka tambak-tambak udang dapat merusak
tempat penyediaan udang alami.
Pemanasan Global

Terumbu karang juga terancam oleh pemanasan global. Pemutihaan terumbu


karang meningkat selama dua dekade terakhir, masa dimana bumi mengalami
beberapa kali suhu tepanas dalam sejarah. Ketika suhu laut meningkat sangat tinggi,
polip karang kehilangan algae simbiotik didalamnya, sehingga mengubah warna
mereka menjadi putih dan akhirnya mati. Pemanasan global juga mengakibat cuaca
ekstrim sukar diperkirakan, seperti badai tropis yang dapat mengakibatkan kerusakan
fisik ekosistem terumbu karang yang sangat besar. Meningkatnya permukaan laut juga
menjadi ancaman serius bagi terumbu karang dan pulau-pulau kecil maupun atol.
Sementara itu kerusakan ekologis secara antropogenik adalah kerusakan
ekologis yang diakibatkan oleh perbuatan manusia baik yang bersifat langsung
maupun tak langsung. Contoh kerusakan ekologis yang bersifat langsung antara lain
seperti :
(a) Penagkapan ikan dengan bahan peledak. Penggunaan bahan peledak untuk
penangkapan ikan oleh nelayan akan mengakibatkan penangkapan ikan secara
berlebihan, sehingga menyebabkan tangkapan ikan akan berkurang dimasa
berikutnya. Penggunaan Kalium Nitrat (sejenis pupuk) sebagai bahan peledak
akan mengakibatkan ledakan yang besar, sehingga membunuh ikan dan merusak
karang di sekitarnya.
(b) Aliran Drainase yang mengandung pupuk dan kotoran yang terbuang ke perairan
pantaiyang mendorong pertumbuhan algae yang akan menghambat pertumbuhan
polip karang, mengurangi asupan cahaya dan oksigen. Penangkapan secara
berlebihan membuat masalah ini bertambah buruk karena ikan-ikan yang
biasanya makan algae juga ikuk tertangkap.
(c) Penggunaan racun sianida terhadap karang Kapal-kapal penangkap ikan
seringkali menggunakan Sianida dan racun-racun lain untuk menangkap ikan-
ikan karang yang berharga. Metode ini acap digunakan untuk menangkap ikan-
ikan tropis untuk akuarium dan sekarang digunakan untuk menangkap ikan-ikan
sebagai konsumsi restoran-restoran yang memakai ikan hidup.
(d) Pengambilan dan Pengerukan Pengambilan karang untuk digunakan sebagai
bahan baku konstruksi atau dijual untuk cinderamata juga merusak terumbu
karang. Demikian pula pengerukan dan pengeboman karang untuk konstruksi di
daerah terumbu karang.

B. Isu Sosial

Berkaitan dengan sosial, budaya, dan politik maka hal ini sangat berkaitan dengan
masyarakat Provinsi Nusa tenggara timur yaitu masyarakat pada Provinsi tersebut masih
lebih mementingkan keuntungan pribadi tanpa mempertimbangkan dampak yang diakibatkan
dari setiap tindakan. Terdapat istilah anak buah dan Klien para anak buah cenderung berasal
dari para nelayan sedangkan klien adalah investor atau pengusaha. Para anak buah melakukan
permintaan investor dengan pemberian jaminan uang, jabatan dan penghidupan subsistensi
dasar, berupa pemberian pekerjaan tetap, penyediaan saprodi, jasa pemasaran, dan bantuan
teknis sebagai imbalan atau bayaran. Hal tersebut menyebab banyak nelayan yang tergiur dan
bersedia melakukan segala cara agar keinginan mereka tercapai tanpa memperdulikan
dampak yang ditimbulkan.

C. Isu Ekonomi
Dari sisi ekonomi, ekosistem ini merupakan sumber mata pencaharian bagi nelayan,
penghasil kapur dan bahan bangunan, sehingga hal tersebut dapat memberikan kesejahteraan
dan dan dapat meningkatkan taraf hidup bagi masyarakat Provinsi NTT.
Terumbu karang merupakan tempat tinggal beberapa mahluk laut dan tempat mereka
mencari makanan. Terumbu karang yang ada di perairan Indonesia saat ini terbentuk sejak
450 tahun silam dan pertumbuhannya sangat lamban, karang yang bentuknya bulat
tumbuhnya sangat lambat dan dengan jumlah penduduk lebih dari 212 juta jiwa, 60 %
penduduk Indonesia tinggal di daerah pesisir, maka terumbu karang dengan luas areal yang
mencapai 60.000 km2 lebih, merupakan tumpuan sumber penghidupan utama bagi
masyarakat NTT. Tetapi, dengan keadaan seperti saat ini. Masyarakat (nelayan dan buruh
nelayan) yang mata pencariannya bertumpu pada ekosistem terumbu karang, dalam 5 tahun
terakhir ini, hasil tangkapan mereka menjadi turun drastis karena cuaca yang selalu tidak
menentu dan juga karena pengaruh ekonomi.
Sehingga untuk menutupi kebutuhan hidupnya, masyarakat (nelayan yang rata rata
tidak mempunyai pengetahuan yang memadai tentang kehidupan bawah laut) lebih suka
memilih jalan pintas untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Seperti melakukan over fishing
dan pemakaian alat tangkap yang tidak ramah dengan lingkungan, seperti jaring trawl, mini
trawl, obat bius, dan bom ikan. Karena dengan cara seperti itu, mereka bisa mendapatkan
hasil tangkapan yang maksimal tanpa perlu melakukan usaha yang lebih.
Dan hal inilah yang membuat pencemaran lingkungan, khususnya lingkungan laut
(ekositem terumbu karang) yang berakibat kepada rusaknya ekosistem ini. Selain itu terumbu
karang juga sering dieksploitasi oleh manusia secara besar besaran hal tersebut
mengakibatkan pendapatan nelayan di Provinsi NTT menurun drastis dan juga berdampak
pada penurunan pendapatan Provinsi tersebut

D. Isu Agraria

Perkembangan perikanan didukung potensi panjang garis pantai 5.700 Km dan luas
laut mencapai 15.141.773,10 Ha. Potensi yang mendukung sector perikanan adalah Hutan
Mangrove seluas 51.854,83 Ha (11 Spesies), terumbu karang sebanyak 160 jenis dari 17
famili, 42.685 rumah tangga perikanan, 808 Desa/Kelurahan pantai, jumlah 1.105,438 jiwa
penduduk pantai, 194,684 orang nelayan ( 9,9 % dari jumlah Penduduk Desa Pantai) (BPS,
NTT Dalam Angka Tahun 2012).
Sumber daya laut sangat potensial untuk perikanan tangkap dan budidaya dengan arah
pengembangan masing-masing yaitu: (i) Kawasan peruntukkan perikana tangkap, perikana
budidaya dan pengolahan ikan tesebar diseluruh Kabupaten/Kota, (ii) pengembangan
kawasan minapolitan untuk perikanan tangkap dan perikanan budidaya di Kabupaten Suba
Timur, Sikka, Lembata, Rote Ndao, Alor, Kota Kupang, dan (iii) pengembangan komuditas
garam rakyat di Kabupaten Nagekeo, Ende, Kupang Tengah Utara, Kupang, lembata, dan
Alor.
Potensi Perikanan tangkap, terdiri dari: Potensi Lestari (MSY) 388,7 Ton/Tahun; jumlah
ikan ekonomis: (1) Ikan pelagis (tuna, cakalang, tenggiri, laying, selar, kembung); (2) Ikan
demersal (kerapu, ekor kuning, kakap, bambangan, dll); (3) komuditi lainnya: (lobster, cumi-
cumi, kerang darah, dll).
Potensi Perikanan Budidaya, terdiri dari budidaya laut seluas 5.870 Ha (rumput laut,
mutiara, kerapu) dengan potensi produksi mencapai 51.500 Ton/Tahun; budidaya air payau
seluas 35,455 Ha (udang dan bandeng) dengan potensi produksi mencapai 36.000 Ton/Tahun;
budidaya air tawar yang meliputi kolam air tawar seluas 8,375 Ha dengan potensi produksi
mencapai 1,297 Ton/Tahundan mina padi seluas 85 Ha degan potensi produksi mencapai 85
Ton/Tahun.
Potensi Budidaya Rumput laut, kabupaten yang budidaya rumput lautnya telah
berkembang yaitu: Kabupaten Kupang, Sabu Raijua, Rote Ndao, Alor, Lembata, Flores
Timur, Sikka, Sumba Timur dan Kabupaten Manggarai Barat. Komunitas rumput laut
unggulan yang dibudidaya adalah Echeuma CoTonii, Eucheuma Sp, dan alga merah (red
algae). Luas lahan potensial untuk budidaya rumput laut di Provinsi Nusa Tenggara Timur
sebesar 250.000 Ton Kering/Tahun.
Potensi Sumber Daya Garam sangat potensial. Upaya peningkatan produksi garam
nasional yang ditargetkan sampai tahun 2014 untuk mencapai swasembada garam di
Indonesia pada umumnya dan Provinsi Nusa Tenggara Timur pada khususnya mencapai 1,2
juta Ton, maka telah dicanangkan pelaksanaan Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat
(PUGAR). Dngan program ini, akan diberdayakana 119 Kelompok Usaha Garam Rakyat
(KUGAR) dengan jumlah anggota 939 petambak garam. Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara
Timur, melalui pelaksanaan PUGAR menargetkan peningkatan produktivitas lahan garam
dari 60 Ton/Ha.
Potensi budidaya mutiara tersebar di beberapa kabupaten yaitu kabupaten Kupang:
Tanjung Ledo, Pulau Kambing, Tanjung Kabate, Talasa dan Tablolong; Kabupaten Rote
Ndao: Kecamatan Rote Barat Daya; Kabupaten Alor: Desa Moru Kec. Alor Barat Daya:
Kabupaten Lembata: Teluk Wai Enga dan Lewo Lein; Kabupaten Flores Timur: Teluk Konga,
Teluk Lebateta, Selat Solor, Perairan Nayu Baya, Baniona; Kabupaten Sikka: Labuan Ndeteh,
Desa Nagepanda dan Kabupaten Manggarai Barat: Tanjung Boleng dan Golo Mori.
Kebijakan dan komitmen terhadap Provinsi kepulauan melalui Bada Kerja Sama
(BKS) provinsi kepulauan telah menjadikan Draft UU Derah Kepulauan masukdalam agenda
Banleg DPR RI Tahun 2013. Secara substantive, regulasi tersebut akan mendasari pengalihan
kewenangan pengaturan, pembinaan dan pengawasan terhadap Taman Nasional Laut Sawu
sebagai kawasan konservasi dari pemerintah kepada Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara
Timur. Hal ini akan menjadi acuan perubahan manajemen dan intervensi pengolahan sumber
daya kelautan dan perikanan yang signifikan pada kawasan laut sekitar yang potensial bagi
peningkatan kesejahteraan petani-nelayan serta masayarakat pesisir. Perkebangan produksi
perikanan dan kelautan serta PDRB Sebagai Sektor perikanan dan kelautan tahun 2012-2013.
2.1.3 Isu Kritis Pengelolaan Hutan Mangrove di Provinsi Sulawesi Tengah

2.1.3.1 Indikasi Kerusakan Ekosistem Hutan Mangrove di Desa Dongko Kecamatan


Dampal Selatan, Kabupaten Tolitoli
Seiring dengan laju pertumbuhan penduduk dan pembangunan di Desa Dongko maka
fungsi lingkungan pantai di daerah ini telah menurun atau rusak. Indikasi kerusakan
ekosistem hutan mangrove dan ancaman kepunahan spesies mangrove di wilayah pesisir
Desa Dongko semakin meningkat dari tahun ke tahun. Faktor penyebab kerusakan dan akar
masalahnya cukup kompleks yang bersumber dari manusia beserta perilakunya yang senang
memanfaatkan hutan mangrove baik berupa pemanfaatan hutan mangrove sebagai lahan
pertambakan, pemukiman maupun memanfaatkan langsung hutan mangrove sebagai kayu
bakar untuk memasak, serta dari alam hal ini diindikasikan oleh adanya proses erosi/abrasi
pantai, intrusi air Iaut, dan degradasi hasil perairan.

1. Penyusutan Areal Hutan Mangrove (Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 2007 dan
2012)

Penggunaan lahan merupakan campur tangan manusia baik secara permanen atau
periodik terhadap lahan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan, baik kebutuhan
kebendaan, spiritual maupun gabungan keduanya (Malingreau,.J.P. 1977, dalam Aziz
Budianta (2008)). Berdasarkan hasil Analisis perubahan penggunaan lahan dapat diketahui
dibeberapa kawasan yang mengalami perubahan, kawasan ini terdiri dari kawasan hutan
rakyat, perkebunan kelapa, persawahan, pemukiman, lahan tidur, tambak dan hutan mangrove
. Teknik Scoring dan Overlay yang digunakan dalam penelitian ini, sehubungan dengan
kerusakan kawasan ekosistem hutan mangrove sistem pemetaan penggunaan lahan yang ada
di Desa Dongko Kecamatan Dampal Selatan Tahun 2007-2012.

Berdasarkan hasil pemetaan perubahan penggunaan lahan di Desa Dongko


Kecamatan Dampal Selatan Kabupaten Tolitoli tahun 2007 2012, pada tahun 2007 luas
kawasan hutan mangrove 79,83 Ha, tahun 2008 luas kawasan mangrove 72,16 Ha atau
mengalami perubahan lahan sekitar 7,67 Ha, tahun 2009 luas kawasan mangrove 58,63 Ha
jadi luas perubahan lahan tahun 2008-2009 sekitar 13,53 Ha, tahun 2010 luas kawasan
mangrove 49,00 Ha jadi luas perubahan lahan 2009-2010 sekitar 9,63 Ha, tahun 2011 luas
kawasan mangrove 45,70 Ha jadi luas perubahan lahan 2010-2011 sekitar 3,30 Ha, tahun
2012 luas kawasan mangrove 39,62 Ha jadi luas perubahan lahan sekitar 6,08 Ha. Jadi luas
kerusakan kawasan ekosistem hutan mangrove di Desa Dongko selama 5 (lima) tahun
terakhir sekitar 40,21 Ha (50,36%), dan hasil penelitian Fadlan di Kelurahan Bagan Deli
Kecamatan Medan Belawan luas kerusankan ekosistem hutan mangrove 94 Ha (75,20%), dan
hasil penelitian Chatrina Muryani di pantai Pasuruan Jawa Timur luas kerusakan ekosistem
hutan mangrove selama 25 (dua puluh lima) tahun terakhir 652,35 Ha.

2. Jenis-Jenis Pengalihfungsian Lahan Hutan Mangrove

Lahan Pemukiman Konversi


Hutan mangrove menjadi lahan pemukiman di kawasan Desa Dongko lebih
dikarenakan oleh faktor penambahan jumlah penduduk sehingga meningkatkan kebutuhan
penduduk akan lahan semakin meningkat. Berdasarkan data penduduk Desa Dongko,
pertumbuhan penduduk Desa Dongko tiap tahunnya mengalami peningkatan serta banyak
perkawinan usia muda, sehingga memerlukan suatu kawasan untuk pemukiman baru untuk
melangsungkan kehidupannya. Sehingga menyebabkan pembukaan lahan baru untuk
membangun rumah di sekitar kawasan mangrove. serta memanfaatkan kayu hutan mangrove
untuk peralatan rumah dan bahan bakar kayu arang untuk memasak.

Lahan Tambak/Empang Konversi

Hutan mangrove menjadi tambak/empang di kawasan Desa Dongko pertama kali


terjadi pada tahun 1990 untuk mengembangkan budidaya pertambakan Ikan Bandeng dan
Udang, yang kemudian tidak terlalu berhasil karena masih dikerjakan secara tradisional yang
mengakibatkan banyak tanggul tambak yang jebol akibat air pasang. tahun 2008 alat berat
(escavator) mulai masuk sehingga mengakibatkan pembukaan lahan tambak terjadi secara
besar-besaran/intensif sampai dengan saat ini.

Lahan Fasilitas Umum

Sama halnya dengan konversi hutan mangrove menjadi lahan pemukiman, konversi hutan
mangrove menjadi fasilitas umum juga dikarenakan oleh faktor jumlah penduduk yang
mempengaruhi kebutuhan prasarana dan sarana penunjang. Pembangunan fasilitas umum
sangat terkait dengan upaya pelengkap sarana kelayakan pemukiman penduduk contohnya
masjid.

3. Aktivitas Penduduk yang Menyebabkan Kerusakan Hutan Mangrove

Berdasarkan pengamatan yang di lakukan di lapangan aktivitas penduduk yang


menyebabkan kerusakan hutan mangrove di Desa Dongko Kecamatan Dampal Selatan yaitu
berupa pengalihfungsian kawasan hutan mangrove menjadi area pemukiman dan
pertambakan. Dari kedua jenis konversi lahan yang paling banyak menyebabkan kerusakan
hutan mangrove adalah konversi lahan menjadi pertambakan yang luasnya sekitar 34 Ha
sedangkan konversi lahan pemukiman hanya sekitar 5 Ha. Selain dari pembukaan
pertambakan dan pemukiman yang di lakukan oleh penduduk. masih ada aktivitas lain yang
dilakukan penduduk yang menyebabkan kerusakan hutan mangrove seperti pemanfaatan
kayu bakau sebagai kayu bakar, peralatan rumah tangga, tiang rumah, atap rumah dan
peralatan untuk perahu nelayan.
Gambar 2.

Isu-Isu Kritis Pengelolaan Wilayah Pesisir

Indikasi Kerusakan Ekosistem Hutan Mangrove

Penyusutan Areal Hutan


Jenis-Jenis
Mangrove
Pengalihfungsian Lahan HutanPenduduk
Aktivitas Mangroveyang Menyebabkan Kerusa

Lahan
Lahan Pemukiman Tambak/Empang Konversi
Konversi Lahan Fasilitas Umum

aya Pengelolaan dan Pendidikan Masyarakat terkait Konservasi dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
2.2 Lingkup Pengelolaan Sumber Daya Laut dan Pesisir

1. Pengelolaan secara menyeluruh dan terpadu


Dalam suatu wilayah pesisir suatu atau lebih sistem lingkungan (ekosistem) dan sumber
daya pesisir. Ekosistem pesisir dapat bersifat alami atau pun buatan (man-made). Ekosistem
alami yang terdapat di wilayah pesisir antara lain adalah : terumbu karang, hutan mangroves,
padang lamun, pantai berpasir, formasi pes-caprea, formasi bringtonia, estuari, laguna dan
delta. Sedangkan ekosistem buatan antara lain berupa : tambak, sawah pasang surut, kawasan
parawisata, kawasan industri, kawasan agroindustri dan kawasan pemukiman.

Sumber daya di wilayah pesisir terdiri dari sumber daya alam yang dapat pulih dan
tidak dapat pulih, sumber daya yang dapat pulih antara lain, meliputi sumber daya perikanan
(planton, benthos, ikan, moluska, krustasea, mamalia laut), rumput laut (seaweed), padang
lamun, hutan mangrove dan terumbu karang. Sedangkan sumberdaya yang tidak dapat pulih
antara lain, mencakup: minyak dan gas, bijih besi, pasir, timah, bauksit dan mineral serta
bahan tambang lainnya.
Dalam hal tersebut terkait pemanfaatan sumberdaya yang ada di pesisir serta berbagai
aktivitas-aktivitas yang berlangsung diwilayah pesisir maka perlu adanya pengelolaan secara
terpadu. Perencanaan secara terpadu dimaksudkan untuk mengkoordinasikan dan
mengarahkan berbagai aktivitas dari dua atau lebih sektor dalam perencanaan pembangunan
dalam kaitannya dengan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan. Perencanaan terpadu
dimaksudkan sebagai suatu upaya secara terpogram untuk mencapai tujuan yang dapat
mengharmoniskan dan mengoptimalkan antara kepentingan untuk memelihara lingkungan,
keterlibatan masyarakat dan pembangunan ekonomi.
Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu adalah suatu pendekatan pengelolaan
wilayah pesisir yang melibatkan dua atau lebih ekosistem, sumber daya, dan kegiatan
pemanfaatan (pembangunan) secara terpadu (integrated) guna mencapai pembangunan
wilayah pesisir secara berlanjutan. Dalam konteks ini, keterpaduan (integration) mengadung
tiga dimensi : sektoral, bidang ilmu, dan keterkaitan ekologis.
Untuk mendorong pembangunan yang berkelanjutan perlu dilakukan penataan kawasan
sesuai dengan kondisi sumberdaya alam, pola pemanfaatan dan sesuai dengan daya dukung
lingkungan (carrying capacity). Upaya penataan ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari perencanaan tata ruang untuk keseluruhan wilayah. Pengelolaan lingkungan wilayah
pesisir, laut dan pulau-pulau kecil harus dirancang secara rasional dan bertanggungjawab
sesuai dengan kemampuan daya dukungnya dengan mengutamakan sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat serta memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan
kawasan pesisir bagi pembangunan yang berkelanjutan.

2. Keseimbangan antara penanganan secara fisik dengan non fisik

Pendekatan ini adalah cara-cara atau teknologi yang digunakan untuk mengelola
dampak penting lingkungan hidup sebagai berikut :
Dalam rangka penanggulangan limbah bahan berbahaya dan beracun, akan ditempuh
cara :Membatasi atau mengilosai limbah, Melakukan minimalisasi limbah dengan
mengurangi jumlah/volume limbah (reduce), menggunakan kembali limbah (reuse)
atau mendaur ulang (recyle), menetralisasi limbah dengan menambahkan zat kimia
tertentu sehingga tidak membayakan manusia dan makhluk hidup lainnya.
Dalam rangka mencegah, mengurangi atau memperbaiki kerusakan sumber daya
alam, akan ditempuh cara, misalnya :Membangun terasering atau penanaman tanaman
penutup tanah untuk mencegah erosi.
Dalam rangka meningkatkan dampak positif berupa peningkatan nilai tambah dari
dampak positif yang telah ada, misalnya melalui peningkatan dan daya guna dari
dampak positif tersebut.

3. Keseimbangan antara pendayagunaan dengan konservasi

Pembangunan berkelanjutan dibidang ekologi merupakan salah satu cara yang


digunakan oleh Negara didunia untuk mempertahankan keberlangsungan sumberdaya alam
bagi generasi berikutnya dimasa yang akan datang. Selain untuk keberlangsungan hidup
generasi mendatang, pembangunan ekologi secara berkelanjutan juga dibutuhkan untuk
keberlangsungan ekosistem yang ada dibumi.Pada hakekatnya pembangunan berkelanjutan
merupakan aktivitas memanfaatkan seluruh sumberdaya, guna meningkatkan kualitas hidup
dan kesejahteraan masyarakat manusia.Pelaksanaan pembangunan pada dasarnya juga
merupakan upaya memelihara keseimbangan antara lingkungan alami (sumberdaya alam
hayati dan non hayati) dan lingkungan binaan (sumberdaya manusia dan buatan), sehingga
sifat interaksi maupun interdependensi antar keduanya tetap dalam keserasian yang
seimbang.Dalam kaitan ini, eksplorasi maupun eksploitasi komponen-komponen sumberdaya
alam untuk pembangunan, harus seimbang dengan hasil/produk bahan alam dan pembuangan
limbah ke alam lingkungan.
Prinsip pemeliharaan keseimbangan lingkungan harus menjadi dasar dari setiap upaya
pembangunan atau perubahan untuk mencapai kesejahteraan manusia dan keberlanjutan
fungsi alam semesta.Konsep pembangunan berkelanjutan adalah suatu tujuan yang
operasional di seluruh dunia, baik di tingkat lokal, nasional, dan regional atau international.
Untuk mencapai kelanjutan dalam bidang ekologi ini, perlu dilakukan keseimbangan antara
ekonomi sosial budaya serta gaya hidup masyarakat, selain itu juga diperlukan pemahaman
juga pola pikir yang lebih matang mengenai mengolah, mengkonsumsi serta mengambil
keputusan yang akan mempengaruhi ekologi guna keberlangsungannya dimasa yang akan
datang. Dan untuk melihat bagaimana pelaksanaan dan pengembangan pembangunan
berkelanjutan di bidang ekologi ini penulis akan menghubungkannya dengan pembangunan
ekonomi. Sebagaimana yang banyak orang ketahui bahwa pengeksploitasian alam atau
ekologi tidak akan terlepas dari konsumsi manusia dan itu sangat erat sekali hubungannya
dengan ekonomi, baik itu mencakup produksi, distribusi atau tingkat konsumsi yang
dilakukan oleh manusia itu sendiri.

4. Perlindungan terhadap hak asasi manusia

Perlindungan hak-hak masyarakat di wilayah pesisir adalah suatu usaha yang


mengadakan kondisi dimana setiap masyarakat dapat melaksanakan hak dan kewajibannya.
Perlindungan hak-hak masyarakat di wilayah pesisir merupakan perwujudan adanya keadilan
dalam suatu masyarakat.
Dengan demikian maka perlindungan hak-hak masyarakat di wilayah pesisir harus
diusahakan dalam beberapa bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Kesadaran akan
semua kegiatan dibidang perlindungan hak-hak masyarakat di wilayah pesisir seharusnya
mulai diperhatikan dengan sungguh-sungguh, termasuk diantaranya perhatian kepada
ketentuan-ketentuan hukum yang dalam pelaksanaannya belum atau tidak punya perspektif
hak-hak masyarakat di wilayah pesisir.
Mencermati hal tersebut maka ada 2 (dua) konsep perumusan tentang perlindungan
hak-hak masyarakat di wilayah pesisir, yaitu: pertama segala upaya yang dilakukan secara
sadar oleh setiap orang maupun lembaga pemerintahan dan swata yang bertujuan
mengusahakan pengamanan, penguasaan dan pemenuhan kesejahteraan fisik, mental dan
sosial hak-hak dan masyarakat di wilayah pesisir yang sesuai denga kepentingan dan hak-
haknya. Kedua segala daya upaya bersama yang dilakukan dengan sadar oleh perorangan,
keluarga, masyarakat, badan-badan pemerintahan dan swasta untuk pengamanan, pengadaan
dan pemenuhan kesejahteraan rohaniah dan jasmaniah hak-hak masyarakat di wilayah pesisir,
sesuai dengan hak asasinya dan kepentingan agar dapat mengembangkan dirinya seoptimal
mungkin.

5. Keterlibatan pihak yang berkepentingan dalam PSDA dalam spirit demokrasi dan
pendekatan koordinasi
Berdasarkan pendekatan Green Economic di Sumatera Utara, ditengah maraknya
kerusakan hutan mangrove dan terumbu karang, pemerintah seharusnya mampu membentuk
lembaga untuk mengawasi (audit) pelaksanaan pengelolaan lingkungan di kawasan pesisir,
menerapkan sistem pengelolaan sumber daya alam Sumatera Utara secara adil, lestari, dan
berbasis kemasyarakatan yang mendukung keberlangsungan hidup seluruh rakyat Sumatera
Utara dan Pihak perusahaan harus melibatkan tokoh-tokoh masyarakat dan kalangan
akademis dalam proses dan keputusan mengenai AMDAL, membentuk dan mengoptimalkan
divisi lingkungan hidup dalam setiap perusahaan sesuai dengan peraturan yang ada,
menyelesaikan permasalahan-permasalahan penambangan secara liar terhadap pihak-pihak
terkait dengan tuntas dan adil, selain itu pihak perusahaan harus konsisten terhadap aturan
pemerintah serta melaksanakan kesepakatan dengan masyarakat lokal secara jujur.

6. Mengadopsi prinsip pembangunan berkelanjutan


Suatu kegiatan dikatakan keberlanjutan, apabila kegiatan pembangunan secara
ekonomis, ekologis dan sosial politik bersifat berkelanjutan. Berkelanjutan secara ekonomi
berarti bahwa suatu kegiatan pembangunan harus dapat membuahkan pertumbuhan ekonomi,
pemeliharaan capital (capital maintenance), dan penggunaan sumberdaya serta investasi
secara efisien. Berkelanjutan secara ekologis mengandung arti, bahwa kegiatan dimaksud
harus dapat mempertahankan integritas ekosistem, memelihara daya dukung lingkungan, dan
konservasi sumber daya alam termasuk keanekaragaman hayati (biodiversity), sehingga
diharapkan pemanfaatan sumberdaya dapat berkelanjutan. Sementara itu, berkelanjutan
secara sosial politik mensyaratkan bahwa suatu kegiatan pembangunan hendaknya dapat
menciptakan pemerataan hasil pembangunan, mobilitas sosial, kohesi sosial, partisipasi
masyarakat, pemberdayaanmasyarakat (dekratisasi), identitas sosial, dan pengembangan
kelembagaan (Wiyana, 2004).

7. Antisipasi terhadap akses perkembangan nilai ekonomi daerah pesisir

Adapun antisipasi terhadap akses perkembangan nilai ekonomi daerah pesisir dapat
dilakukan dengan cara:
a. Menyelenggarakan Pelatihan dan Pengembangan Keterampilan

Memprioritaskan masyarakat lokal sebagai karyawan/staff perusahaan


penambangan pasir di daerah pesisir merupakan suatu kebijakan yang adil.
Tetapi, akhirnya banyak masyarakat yang memilih mengundurkan diri dari
perusahaan, dengan alasan penghasilan yang diterima dari perusahaan tidak
sebanding dengan kerja keras yang dikeluarkan. Faktor sesungguhnya yaitu
tidak adanya dasarketerampilan yang dimiliki masyarakat. Hal ini menunjukkan
lemahnya keterampilam yang dimiliki masyarakat sehingga perlu pelatihan dan
pengembangan keterampilan sebagai penunjang kebutuhan masyarakat dalam
menggerakkan roda perekonomian serta mendukung pengembangan kinerja
perusahaan.
b. Menyelenggarakan Seminar Usaha dari Hasil Daerah Pesisir

Pentingnya kegiatan seminar guna memberikan pemahaman pada


masyarakat (para petani) sehingga membuka pola fikir masyarakat untuk
berpartisipasi terhadap nilai-nilai usaha yang diperoleh dari investasi hasil daerah
pesisir. Selain itu, memberikan pengertian cara berinvestasi hasil hasil daerah
pesisir, cara memelihara, hingga pemaparan nilai keuntungan yang akan
didapatkan. Narasumber dapat dari kalangan pemerintah, perusahaan, organisasi
seperti Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM), serta pelaku usaha lainnya. Kegiatan seminar diharapkan
mampu meningkatkan partisipasi nelayan dalam mengembangkan hasil daerah
pesisir sebagai komoditi unggulan.
c. Menyediakan Unit Pelayanan Kesehatan Perusahaan

Terkadang sulitnya masyarakat pelosok dalam memperoleh fasilitas


kesehatan terutama daerah yang sulit dijangkau. Perusahaan dapat menyediakan
Unit Pelayanan Kesehatan Perusahaan (UPKP) sebagai upaya untuk memberikan
pelayanan kesehatan kepada para karyawan perusahaan atau masyarakat
(nelayan) setempat. Hal ini sebagai bentuk kepedulian dan antisipasi perusahaan
jika terjadi kecelakaan kerja atau masalah kesehatan di lingkungan perusahaan
sehingga tindakan penanganan dapat segera dilakukan. Pelayanan tidak hanya
untuk internal perusahaan saja, melainkan harus terbuka untuk umum bagi yang
membutuhkan penanganan medis. Tak ada salahnya perusahaan menyediakan
fasilitas kesehatan karena kesehatan merupakan kebutuhan manusia. Dengan
demikian sinergi yang saling mendukung antara perusahaan dan masyarakat akan
terjalin erat.
d. Membangun Unit Siaga Bencana Alam

Perusahaan harus membangun unit yang bertugas khusus untuk menangani


bencana alam atau berbagai bencana yang dapat terjadi sewaktu-
waktu. Perusahaan dapat membangunUnit Siaga Bencana Alam (USBA), sebagai
antisipasi dan kesiapsiagaan perusahaan terhadap kemungkinan terjadinya
bencana alam baik di lingkungan perusahaan maupun di lingkungan
masyarakat. Ini merupakan bentuk rasa kepedulian perusahaan pada
masyarakatdalam menangani bencana yang dapat terjadi sewaktu-
waktu. Misalnya; banjir, bencana kekeringan, dan lain-lain. Dengan
demikian timbal balik kepedulian masyarakat akan terwujud demi pembangunan
bersama.
3 BAB III
STRATEGI, PROSES PERENCANAAN DAN PEMANFAATAN
SUMBER DAYA LAUT DAN PESISIR SECARA BERKELANJUTAN

3.1 Strategi Pengelolaan, Pendekatan, dan Bentuk Strategi Penambangan Pasir di


Sumatera Utara

3.1.1 Strategi Pengelolaan

3.1.1.1 Tujuan Pengelolaan

3.1.1.2 Bentuk Strategi Berdasarkan Isu


I. Isu Rendahnya Kualitas Sumberdaya Manusia
1) Strategi A-1:
Meningkatkan sarana dan prasarana pendidikan SD dan SLTP
Memenuhi tenaga guru di SD dan SLTP
Meningkatkan program pelatihan dan keterampilam masyarakat dalam
pengelolaan SDA wilayah pesisir
Mengusulkan, menyiapkan dan implementasi materi pelajaran tentang
pengelolaan wilayah pesisir dalam kurikulum muatan lokal SD & SLTP
2) Strategi A-2:
Meningkatkan sarana dan prasarana kesehatan
Memenuhi kebutuhan tenaga medis
Mengembangkan rencana perbaikan sistem sanitasi pemukiman dan lingkungan
dalam program penyuluhan kesehatan
3) Strategi A-3:
Mengembangkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan wilayah pesisir
Pemberdayaan LSM, Perguruan Tinggi/Sekolah/Lembaga Pemerintah untuk
meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan wilayah pesisir
Mengimplementasikan rencana pengelolaan wilayah pesisir terpadu

II. Isu Belum Adanya Tata Ruang Wilayah Pesisir


1) Strategi B-1:
Melibatkan masyarakat dan instansi terkait dalam proses penyusunan rencana tata
ruang pesisir
Sosialisasi rencana tata ruang pesisir pada masyarakat
2) Strategi B-2:
Revisi RTRW Kabupaten dan RTRW Provinsi dengan memasukkan RTRW pesisir
menjadi bagiannya
Memberdayakan tim penataan ruang pesisir provinsi (Provincial Task Force) dan
melibatkan LSM secara optimal dalam penyusunan tata ruang pesisir

III. IsuRendahnya Penaatan dan Penegakan Hukum


1) Strategi C-1:
Mengadakan pelatihan-pelatihan tentang hukum lingkungan, konservasi
sumberdaya alam hayati dan ekosistem serta undang- undang perikanan bagi
aparat penegak hukum
Penambahan jumlah personil, sarana dan prasarana penegak hukum
Mengadakan pelatihan dan simulasi proses peradilan bagi aparat hukum
2) Strategi C-2:
Mengintensifkan sosialisasi/konsultasi publik terhadap draft dan produk hukum
Meningkatkan pengadaan sarana dan prasarana pengawasan
Meningkatkan frekuensi operasi pengawasan di laut
Memasang rambu-rambu dan menetapkan jalur penangkapan ikan dan
penggunaan lainnya
Membentuk balai penyuluhan pesisir dan laut
Melibatkan masyarakat dalam proses membuat produk hukum
3) Strategi C-3:
Mengadakan pengkajian kelembagaan di wilayah pesisir
Membuat kesepakatan bersama tentang kewenangan pengelolaan wilayah pesisir
Mengembangkan operasi pengamanan laut dan pesisir secara terpadu

IV. Isu Degradasi Habitat Wilayah Pesisir (Mangrove, Terumbu Karang dan Pantai
Berpasir)
1) Strategi D-1:
Mengembangkan pola pemanfaatan hutan mangrove berwawasan lingkungan
Mengembangkan program pengelolaan tambak rakyat berwawasan lingkungan
Melakukan pelatihan pengelolaan mangrove dan wilayah pesisir
Membuat pedoman rehabilitasi mangrove di pantai timur dan pantai barat
Sumatera Utara
Mensosialisasikan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan pengelolaan dan
pelestarian hutan mangrove

2) Strategi D-2:
Mengembangkan daerah perlindungan laut (marine sanctuary berbasis
masyarakat)
Menetapkan pembatasan penangkapan ikan karang
Mengembangkan pengelolaan rumpon oleh masyarakat (nelayan)
3) Strategi D-3:
Mengembangkan program penanggulangan erosi pantai secara terpadu
Sosialisasi dan standarisasi konstruksi bangunan pengamanan pantai
Membuat Peraturan Daerah (Perda) penggalian pasir pantai untuk bangunan
secara terpadu

V. Isu Pencemaran Wilayah Pesisir dan Laut oleh Limbah Industri dan Limbah Rumah
Tangga
1) Strategi E-1:
Mengkaji ulang parameter untuk menentukan kualitas air agar sesuai dengan
kasus yang berkembang di Sumatera Utara
Mengawasi peredaran bahan-bahan yang dapat mencemari perairan
Membangun komitmen dan kesadaran para pihak dalam pengendalian
pencemaran air
Meningkatkan kemampuan staf teknis dan masyarakat dalam pencegahan dan
penanggulangan pencemaran
2) Straegi E-2:
Mengembangkan bimbingan masyarakat tentang resiko kesehatan karena
pencemaran air tanah
Perbaikan sistem drainase dan sanitasi lingkungan di areal pemukiman
3) Strategi E-3:
Mengadakan program bimbingan masyarakat mengenai penanganan sampah
Mengembangkan program penanganan sampah untuk desa-desa pantai
Meningkatkan pengelolaan sampah di areal pemukiman pesisir
Mengadakan program bersih pantai dan laut

3.1.2 Pendekatan dan Bentuk Strategi


1. Pemetaan Desa Pesisir
Pemetaan desa pesisir dapat dilakukan melalui tahapan sebagai berikut :
a. Penyusunan Indeks

b. Pembuatan Tipologi

c. Analisis Tipologi.

Saat ini desa pesisir berkembang secara alamiah tanpa sebuah desain yang sistematik. Ini
terjadi karena belum adanya instrumen untuk memetakan desa pesisir, sehingga tipologi desa
pesisir juga belum pernah dirumuskan berbasis pada berbagai atribut yang komprehensif. Oleh
karena itu, sangatlah penting untuk memulai mengidentifikasi atribut-atribut multi-dimensi:
ekonomi, politik, ekologi, sosial, dan budaya sebagai indikator. Dengan atribut-atribut tersebut
kemudian dapat dibuat indeks pembangunan desa pesisir, yang selanjutnya menjadi dasar bagi
penyusunan tipologi desa pesisir. Tipologi tersebut akan memudahkan jalan dalam rangka
merumuskan strategi transformasi, sehingga strategi tersebut bisa efektif dilaksnakan.

Strategi Transformasi Makro

Penyusunan Indikator sebagai dasar pemetaan


Desa Pesisir 2030
Analisis Tipologi
Strategi Transformasi Meso

Strategi Transformasi Mikro

Lingkungan Strategis

Gambar 1. Menuju Desa Pesisir 2030

2. Strategi transformasi
Upaya mewujudkan visi desa pesisir 2030 di atas memerlukan seperangkat pendekatan
dan strategi transformasi. Strategi transformasi dapat dibagi menjadi tiga macam, yakni strategi
makro, strategi, meso dan strategi mikro.

Pendekatan
Visi desa pesisir 2030 hendak dicapai dengan menggunakan sejumlah prinsip sebagai berikut :

1) Berpusat pada rakyat (people-centered): merupakan prinsip yang mengutamakan


rakyat sebagai sasaran maupun subyek pembangunan desa pesisir.
2) Berbasis pada budaya dan kearifan lokal : merupakan prinsip yang mendorong
pembangunan desa pesisir tetap bertumpu pada kekayaan budaya dan kearifan lokal untuk
menghadapi derasnya arus budaya global dan populer,
3) Fokus pada keberlanjutan (sustainability) : merupakan prinsip yang
mengutamakan hasil pembangunan yang dapat dinikmati secara terus menerus dan
memikirkan dampak dalam jangka panjang,
4) Holistik: merupakan prinsip yang menekankan perlunya menyentuh seluruh aspek
kehidupan yang terkait satu sama lain,
5) Kemitraan : merupakan prinsip yang mementingkan adanya kerjasama antar
pelaku yang terkait dengan pembangunan desa pesisir, baik masyarakat, pemerintah, dan
swasta,
6) Keterkaitan antara proses mikro dan makro: merupakan prinsip yang menekankan
keharmonisan antara proses yang berlangsung secara makro baik di tingkat nasional dengan
proses mikro di daerah maupun desa,
7) Dinamis : merupakan prinsip yang mementingkan kemampuan desa untuk
merespon perubahan-perubahan yang terjadi di luar, termasuk di dalamnya kemampuan
beradaptasi tanpa harus tercerabut dari akar budaya lokalnya,
8) Ramah lingkungan : merupakan prinsip yang menekankan pentingnya kelestarian
lingkungan pesisir dalam setiap kegiatan pembangunan desa.

3. Strategi Makro

Strategi makro adalah strategi yang disusun oleh pusat, baik berupa undang-undang maupun
peraturan-peraturan di bawahnya. Strategi makro yang penting meliputi: kebijakan kelautan,
kebijakan infrastruktur, kebijakan pengelolaan sumberdaya alam, kebijakan lingkungan hidup,
kebijakan perbankan, kebijakan perikanan, kebijakan pendidikan, kebijakan pemerintahan desa,
kebijakan sosial dan kesehatan, dan perdagangan.

Kebijakan tersebut sudah semestinya hanya berisi norma dan standar yang menjadi payung
bagi regulasi operasional di level daerah. Artinya, kebijakan tersebut memberi ruang bagi daerah
untuk melakukan elaborasi kebijakan sehingga lebih efektif untuk diterapkan di tingkat daerah
dan desa. Arah dari seluruh kebijakan nasional tersebut pada prinsipnya memuat dukungan dan
perlindungan terhadap desa pesisir dalam mencapai kemandirian dan karakter keberlanjutan.
Juga, kebijakan tersebut memuat aspek pemerataan pembangunan. Seperti dalam hal
infrastruktur, sudah saatnya arah kebijakan infrastruktur dapat difokuskan pada pengembangan
infrastruktur desa pesisir sebagai landasan bagi pengembangan ekonomi masyarakat pesisir.
Tanpa pemerataan infrastruktur, justru akan menyebabkan ketimpangan ekonomi yang makin
tajam.

4. Strategi Meso
Strategi meso adalah strategi yang disusun oleh daerah (provinsi dan kabupaten/kota),
meliputi kebijakan-kebijakan yang secara operasioanal dapat mengadopsi serta mendanai
pengembangan desa pesisir mandiri berupa peraturan daerah (perda) maupun peraturan
turunannya.

Di era otonomi daerah ini, strategi meso perlu dijabarkan ke dalam sejumlah perda dan
peraturan turunannya yang relevan dengan karakteristik daerah dan tidak bertentangan dengan
kebijakan di atasnya. Beberapa kebijakan yang penting untuk diperkuat pada tingkat daerah
untuk memperkuat desa adalah kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir, kebijakan tata ruang,
kebijakan perikanan, kebijakan pengembangan keuangan mikro, dan kebijakan tat pemerintahan
desa. Arah dari kebijakan pada level meso adalah disamping pemerataan pengembangan
infrastruktur, dukungan dan perlindungan terhadap kemandirian desa, juga devolusi sebagian
kewenangan kepada masyarakat atau pemerintahan desa. Dalam era otonomi daerah, semakin
besar kesempatan dan kemungkinan bagi daerah untuk menyerahkan sebagian kewenangan
tersebut, khususnya dalam pengelolaan sumberdaya pesisir.

5. Strategi Mikro

Strategi mikro adalah strategi operasional pembangunan desa pesisir yang dirumuskan oleh
masyarakat sendiri yang bisa difasilitasi unsur masyarakat lainnya (LSM, atau perguruan tinggi)
berupa langkah aksi untuk berbagai aspek pembangunan, yang prosesnya tetap mengacu pada
prinsip-prinsip pembangunan desa pesisir 2030.
Strategi operasional pembangunan desa pesisir melalui sejumlah proses. Pertama, adalah
proses identifikasi potensi lokal, yaitu identifikasi kekuatan modal manusia (human capital),
modal alam (natural capital), modal finansial (financial capital), dan modal sosial (social
capital). Setelah memperhatikan sejumlah isu kritis yang ada di desa pesisir, maka tahap kedua,
penting untuk melakukan analisis kebutuhan masyarakat sebagai dasar bagi tahap berikutnya,
yakni perencanaan desa. Ketiga, perencanaan desa dilakukan secara partisipatif untuk
merumuskan sejumlah program pembangunan sosial, ekonomi, budaya, dan pengelolaan
sumberdaya alam. Perencanaan desa berisi pernyataan visi dan misi, daftar prioritas kebutuhan,
dan jenis program beserta tujuan, sasaran, indikator kinerja, syarat pokok dan syarat perlu,
waktu, serta mekanisme pengendalian. Perencanaan desa tersebut merupakan sebuah proses yang
menghasilkan rencana strategis (renstra) dan rencana aksi. Keempat, selanjutnya disusun
penataan ruang desa secara partisipatif sesuai dengan arah dari renstra tersebut. Penataan ruang
tersebut tetap mengacu pada prinsip-prinsip kelayakan sosial, ekologis, dan ekonomis. Kelima,
pengembangan kapasitas organisasi sosial dan organisasi pemerintahan desa. Organisasi sosial
diperlukan sebagai alat untuk pencapaian tujuan tertentu sesuai dengan misi organisasi tersebut.
Sebagai contoh, masyarakat pesisir perlu membentuk organisasi pengelola sumberdaya pesisir
sebagai salah satu bentuk implementasi praktek pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat.

Adanya kapasitas masyarakat untuk mengelola sumberdaya pesisir inilah salah satu
kekhasan desa pesisir dan menjadi faktor pembeda dari desa lain pada umumnya. Sementara itu
pengembangan kapasitas organisasi pemerintahan desa diperlukan untuk perbaikan efisiensi
kerja, perbaikan pelayanan, dan perluasan jaringan. Struktur desa pun mesti disesuaikan dengan
karakteristik sumberdaya pesisir, sehingga berbagai urusan yang terkait dengan pemanfaatan dan
pengelolaan sumberdaya dapat ditangani desa.

3.1.3 Proses Perencanaan


Pemanfaatan Terumbu karang dapat dioptimalisasikan melalui Pengelolaan terumbu karang
berbasis-masyarakat adalah pengelolaan secara kolaboratif antara masyarakat, pemerintah
setempat, Lembaga Swadaya Masyarakat, dan pihak-pihak terkait yang ada dalam masyarakat
yang bekerja sama dalam mengelola kawasan terumbu karang yang sudah ditetapkan/disepakati
bersama.
Tujuan dari pengelolaan terumbu karang berbasis-masyarakat adalah untuk menjaga dan
melindungi kawasan ekosistem atau habitat terumbu karang supaya keanekaragaman hayati dari
kawasan ekosistem atau habitat tersebut dapat dijaga dan dipelihara kelestariannya dari kegiatan-
kegiatan pengambilan atau perusakan. Selain itu, lewat pengelolaan terumbu karang berbasis-
masyarakat maka produksi perikanan di sekitar lokasi terumbu karang yang dikelola/dilindungi
dapat terjamin dan dimanfaatkan oleh masyarakat di sekitarnya. Terumbu karang yang dilindungi
oleh masyarakat dapat juga dikembangkan sebagai lokasi pendidikan dan penelitian
keanekaragaman hayati ekosistem dan habi- tat bagi institusi pendidikan (SD, SMP, SMU,
Universitas, dll.) serta dikembangkan sebagai lokasi pariwisata ramah lingkungan (ekowisata)
yang dapat memberikan kesempatan usaha wisata berbasis-masyarakat.

Pengelolaan terumbu karang berbasis-masyarakat juga memberikan legitimasi dan pengakuan


terhadap hak dan kewajiban masyarakat dalam mengelola terumbu karang dan sumberdaya
pesisir dan laut yang ada di sekitar mereka. Supaya masyarakat dapat mengetahui secara
langsung bagaimana keadaan terumbu karang yang ada di daerahnya maka mereka perlu dilatih
untuk melakukan pemantauan sendiri. Setelah mereka mengetahui kondisi terumbu karang yang
ada maka diharapkan akan timbul kepedulian mereka yang lebih tinggi untuk menjaga
kelestariannya. Masyarakat dapat mengambil langkah-langkah apa saja yang perlu dilakukan
guna menjaga dan mengelola terumbu karang yang ada apabila mereka dibekali dengan suatu
pengetahuan. Masyarakat dapat melakukan pemantauan dan membangun data dasar tentang
kondisi terumbu karang yang ada di wilayahnya apabila mereka memiliki keterampilan untuk
melakukan pemantauan. Mereka dapat mengetahui dari waktu ke waktu apakah kondisi terumbu
karang mereka lebih baik atau lebih buruk. Masyarakat dapat mengetahui kondisi umum terumbu
karang yang ada baik persen tutupan karangnya maupun kelimpahan ikannya. Masyarakat juga
dapat melakukan pemantauan sendiri terhadap hal-hal apa saja yang dapat mengancam
kelestarian terumbu karang, baik yang terjadi secara alami seperti bintang laut berduri dan
pemutihan karang maupun akibat perbuatan manusia seperti penggunaan bom dan racun sianida
(potas).

Dengan demikian pengelolaan terumbu karang dengan menggunakan konsep comanagement


diharapkan mampu mencapai tatanan hubungan kerjasama (cooperation), komunikasi, sampai
pada hubungan kemitraan. Dalam konsep tersebut, masyarakat lokal merupakan salah satu kunci
dari pengelolaan sumberdaya alam, sehingga masyarakat lokal secara langsung menjadi embrio
dari penerapan konsep co-management tersebut. Bahkan secara tegas Gawel (1984) dalam White
(1994) menyatakan bahwa tidak ada pengelolaan sumberdaya alam yang berhasil tanpa
melibatkan masyarakat lokal sebagai

pengguna dari sumberdaya alam. Selanjutnya Pomeroy dan Williams (1994) menyatakan bahwa
penerapan co-management akan berbeda-beda dan tergantung pada kondisi spesifik dari suatu
wilayah, maka co-management hendaknya tidak dipandang sebagai strategi tunggal untuk
menyelesaikan seluruh problem sumberdaya ekosistem terumbu karang, tetapi dipandang sebagai
alternatif pengelolaan yang sesuai situasi dan lokasi tertentu.

Pengelolaan sumberdaya ekosistem terumbu karang berbasis masyarakat dalam kajian ini dapat
diartikan sebagai suatu strategi untuk mencapai pembangunan yang berpusat pada masyarakat
dan dilakukan secara terpadu dengan memperhatikan dua aspek kebijakan yaitu; aspek ekonomi
dan aspek ekologi, yang mana dalam pelaksanaannya terjadi pembagian tanggung jawab dan
wewenang antara pemerintah disemua level dalam lingkup pemerintahan maupun sektoral
dengan pengguna sumberdaya alam (masyarakat).

Pemerintah dan masyarakat sama-sama diberdayakan, sehingga tidak ada ketimpangan dimana
hanya masyarakat saja yang diharapkan aktif, namun pihak pemerintah juga harus proaktif dalam
menunjang program pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang
ini. Secara lengkap, uraian tentang setiap langkah dalam pengelolaan sumberdaya terumbu
karang berbasis masyarakat disajikan sebagai berikut :

1. Komponen input

Dalam studi awal secara partisipatif, seyogyanya memasukkan segenap unsure kebijakan dalam
hal pengelolaan sumberdaya ditingkat nasional dan lokal, diantaranya kebijakan Negara yang
dituangkan dalam GBHN yang dijabarkan lebih lanjut kedalam konsep nasional tentang
pengelolaan sumberdaya terumbu karang pada tingkat provinsi dan kebijakan-kebijakan lokal
lainnya, serta dalam bentuk strategi nasional dalam perencanaan CRRM (Coral Reef Resources
Management). Harapannya adalah bahwa dengan segenap informasi yang berkenaan dengan
ekosistem terumbu karang ditingkat lokal sampai ditingkat nasional, maka keluaran dari hasil
studi ini mampu memberikan gambaran yang cukup akomodatif secara menyeluruh mengenai
situasi dan kondisi pengelolaan dan pemanfaatan potensi ekosistem terumbu karang yang ada.

2. Studi Awal Secara Partisipatif

Komponen sumberdaya alam dan sumberdaya manusia merupakan salah satuinput penting dalam
penerapan konsep pengelolaan terumbu karang berbasis masyarakat.Untuk mencapai tujuan
pemahaman yang komprehensif terhadap potensi SDA dan SDM tersebut maka kegiatan studi
awal sangat penting untuk dilakukan. Dalam hal ini, masyarakat tidak hanya berperan sebagai
objek studi, namun juga berperan sebagai pelaku/subyek dari studi, sehingga hasil dari studi awal
tersebut mampu merepleksikan kebutuhan dan keinginan masyarakat lokal, serta dapat
memberikan gambaran yang cukup akomodatif secara menyeluruh tentang kondisi dan bentuk
pelaksanaan program pengelolaan terumbu karang berbasis masyarakat.

3. Peningkatan Kepedulian dan Pengetahuan Masyarakat

Kegiatan peningkatan kepedulian dan pengetahuan bagi masyarakat sangat tergantung dari
kondisi dan struktur masyarakat yang ada. Beberapa kegiatan awal dapat dilakukan dalam rangka
sosialisasi dan mencari bentuk bentuk yang tepat bagi peningkatan kepedulian dan
pengetahuan.

4. Penguatan Kelembagaan, Kebijakan, dan Peraturan

Keberhasilan dari pengelolaan terumbu karang berbasis masyarakat juga tergantung pada
penguatan kelembagaan yang dapat dilakukan dengan memperkuat kelembagaan yang sudah ada
atau dengan membentuk suatu lembaga baru, memperkuat peraturan dan perundangan yang
sudah ada, atau menghapus peraturan perundangundangan yang sudah tidak cocok dan membuat
yang baru yang dianggap perlu. Oleh karena itu, perlu adanya kajian yang menganalisis
kekuatan, kelemahan, peluang pengembangan/pengurangan dari kelembagaan dan kebijakan
serta peraturan perundangundangan yang ada dalam rangka menunjang kegiatan pengelolaan
terumbu karang berbasis masyarakat.

5. Penyusunan Rencana Pengelolaan Sumberdaya Terumbu Karang Berbasis


Masyarakat
Setelah adanya pembekalan bagi masyarakat dan juga penguatan kelembagaan kebijakan yang
mendukung, serta pengalaman dalam kegiatan studi awal, maka diharapkan masyarakat mampu
menyusun rencana pengelolaan sumberdaya terumbu karang berbasis masyarakat di daerahnya.
Apabila hal ini telah dapat dilakukan, maka dokumen yang dihasilkan dapat disalurkan melalui
lembaga terkait untuk mendapat dukungan dan legalitas dari pemerintah dan juga menjadi suatu
kesatuan agenda dalam rencana pengelolaan terumbu karang baik pada tingkat pemerintah
daerah maupun nasional. Dalam penyusunan rencana pengelolaan terumbu karang berbasis
masyarakat diharapkan mampu ; (1) meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya SDA
dalam menunjang kehidupan mereka, (2) meningkatkan kemampuan masyarakat untuk berperan
serta dalam setiap tahapan-tahapan pengelolaan secara terpadu, dan (3) meningkatkan
pendapatan (income) masyarakat dengan bentuk pemanfaatan yang lestari dan berkelanjutan
serta berwawasan lingkungan.

6. Masuk Kedalam Penentuan Program Pembangunan

Rencana pengelolaan terumbu karang berbasis masyarakat yang telah dibuat, baik yang langsung
dibuat oleh komunitas masyarakat maupun hasil penyusunan oleh pemerintah dan telah diterima
dalam proses pensosialisasian, kemudian diproses dalam penentuan program pembangunan.
Rencana pengelolaan ini sebelumnya harus mendapatkan persetujuan dari LMD, masyarakat, dan
kepala desa.

7. Implementasi Rencana

Tahap implementasi merupakan tahap pokok dari system pengelolaan terumbu karang berbasis
masyarakat. Pada tahap ini berbagai komponen SDM seperti motivator, tenaga pendamping
lapangan dan komponen terkait sudah dipersiapkan. Lembaga adat atau lembaga sejenis lainnya
dapat menjadi system bagi pelaksanaan rencana pengelolaan sumberdaya terumbu karang
dilokasi tersebut. Dalam kegiatan implementasi tersebut, kegiatan-kegiatan yang perlu dilakukan
adalah (a) integrasi ke dalam masyarakat, (b) pendidikan dan pelatihan masyarakat, (c)
memfasilitasi arah kebijakan, dan (d) penegakan hukum dan peraturan.

8. Monitoring
Tahap monitoring (pengawasan) dilakukan mulai awal proses implementasi rencana pengelolaan.
Pada tahap ini, monitoring dilakukan untuk menjawab segenap pertanyaan tentang efektivitas
pengelolaan, atau masalah lain yang terjadi yang tidak sesuai dengan harapan yang ada pada
rencana pengelolaan. Monitoring ini sebaiknya dilakukan secara terpadu dengan melibatkan
masyarakat local dan stakeholder lainnya.

9. Evaluasi

Evaluasi dilakukan terhadap segenap masukan dan hasil pengamatan yang dilakukan selama
proses monitoring berlangsung. Evaluasi dilakukan secara terpadu dengan melibatkan
masyarakat dan stakeholder lainnya. Melalui proses evaluasi, maka dapat diketahui kelemahan
dan kelebihan dari system pengelolaan guna perbaikan system dimasa depan.

Jadi dapat disimpulkan bahwa pengelolaan yang berbasis masyarakat adalah suatu system
pengelolaan sumberdaya alam dimana masyarakat lokal terlibat secara aktif dalam proses
pengelolaan sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya. Pengelolaan disini meliputi
berbagai dimensi seperti perencanaan, pelaksanaan, serta pemanfaatan hasilhasilnya.

3.2 Strategi Pengelolaan, Pendekatan, dan Bentuk Strategi Terumbu Karang di Nusa
Tenggara Timur

3.2.1 Strategi Pengelolaan

3.2.1.1 Tujuan Pengelolaan


Sumberdaya kelautan dan perikanan telah dimanfaatkan sebagai sumber pertumbuhan
ekonomi di NTT melalui kegiatan penangkapan ikan, dan budidaya perikanan,dan dilanjutkan
dengan kegiatan pengolahan hasil perikanan dan pemasaran. Kegiatan-kegiatan ini sudah
dilakukan sejak dulu dan sebagai sumber penghasilan bagi masyarakat pesisir di NTT.
Pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan terus berlangsung. Akibat dari pola
pemanfaatan yang tidak memperhatikan unsur kelestarian tentu akan membawa dampak
terhadap kerusakan sumberdaya dan lingkungan perairan, salah satunya adalah terumbu karang
yang merupakan habitat vital bagi hewan maupun tumbuhan laut.
Perlu adanya pengelolaan yang baik agar pemanfaatan sumber daya laut dapat
dilaksanakan secara berkelanjutan. Kebijakan pemerintah dalam mengatasi dan
meminimalisir dampak yang terjadi terhadap kerusakan sumberdaya kelautan dan
perikanan terus dilakukan melalui program-program seperti sosialisasi dan kampanye
kesadaran lingkungan, pelatihan-pelatihan, bantuan dana usaha serta melalui program
konservasi. Salah satu contoh dengan menetapkan Laut Sawu sebagai Kawawasn
Konservasi Perairan Nasional.

3.2.1.2 Tahapan Strategi


Penertiban penambangan karang
Pelarangan pembuangan sampah secara sembarangan
Meningkatkan pemahaman dan ketrampilan nelayan tentang metode penangkapan ikan
yang ramah lingkungan
Mengembangkan teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan
Modernisasi armada penangkapan agar nelayan bisa melaut dengan jangkauan yang
lebih luas sehingga mengurangi waktu melaut di kawasan perairan pantai
Pengembangan teknologi transplantasi dan terumbu karang buatan (artificial reef)
guna merehabilitasi karang keras yang sudah rusak.
Perlu melakukan konservasi pada kawasan terumbu karang
Membangun persepsi masyarakat tentang pentingnya konservasi agar tidak ada
pertentangan sehigga sasaran dan tujuan konservasi dapat diterima oleh seluruh
lapisan masyarakat
Membentuk pos-pos pengamanan laut melalui kerjsama pemerintah dan masyarakat,
Melakukan sosialisasi dan kampanye tentang kesadaran lingkungan bagi anak usia dini
sampai orang dewasa dalam menjaga kelestarian sumbedaya dan lingkungan perairan,
Mengaktifkan lembaga-lembaga adat khusus kearifan lokal yang terkait dengan
perlindungan ekosistem dan biota laut.
Penegakkan aturan bagi masyarakat yang merusak karang

3.2.2 Pendekatan dan Bentuk Strategi

3.2.2.1 Pendekatan
Strategi pengelolaan pembangunan kelautan dan perikanan disusun berdasarkan fokus
rejim pengelolaan, termasuk dalamhal ini aspek desentralisasi pengelolaan. Rejim pengelolaan
sumber daya kelautan dan perikanan dapat digolongkan menjadi tiga tipe, yaitu: rejim
pengelolaan berbasis pemerintah (state property regime), berbasis swasta (private property
regime) dan masyarakat (communal property right).

3.2.2.2 Bentuk Strategi


1. Strategi 1
Memberdayakan masyarakat pesisir yang secara langsung maupun tidak langsung
bergantung pada pengelolaan ekosistem terumbu karang. Strategi 1 dijabarkan dalam 5 (lima)
program sebagai berikut: 1). pengembangan mata pencaharian alternatif; 2). pengembangan
teknologi alternatif ramah lingkungan; 3). peningkatan kesadaran dan tanggung jawab
masyarakat pesisir dan aparat dalam pengelolaan sumberdaya terumbu karang dan ekosistemnya;
4). pengakuan hak dan pelimpahan tanggung jawab serta kepastian hukum pengelolaan
ekosistem terumbu karang kepada masyarakat pesisir; 5). peningkatan peran serta lembaga non
pemerintah dalam program pemberdayaan masyarakat pesisir.

2. Strategi 2.
Mengurangi laju degradasi terumbu karang. Strategi 2 dijabarkan dalam 6 (enam)
program sebagai berikut: 1). pengembangan teknik-teknik pengelolaan spesifik yang sesuai
dengan kondisi lokal; 2). penyusunan kriteria dan sistem penilaian yang sesuai untuk mengkaji
kondisi terumbu karang dalam penyusunan dokumen AMDAL bagi proyek-proyek pembangunan
yang langsung atau tidak langsung mempengaruhi ekosistem terumbu karang; 3). peningkatan
ketaatan sukarela (voluntary compliance) dalam pemanfaatan terumbu karang melalui
penyusunan dan penyebarluasan tata cara yang patut; 4). pengembangan program-program
konservasi terumbu karang yang diperlukan dengan kebutuhan ekonomi masyarakat pesisir; 5).
peningkatan efektivitas penegakan hukum terhadap berbagai kegiatan yang mengakibatkan
degradasi ekosistem terumbu karang; 6). pengawasan dan pembatasan perdagangan sumberdaya
terumbu karang yang bernilai komersial dan biota lainnya yang dilindungi.

3. Strategi 3.
Mengelola terumbu karang berdasarkan karakteristik ekosistem, potensi, tata ruang
wilayah, pemanfaatan, status hukum dan kearifan masyarakat pesisir. Strategi 3 dijabarkan dalam
5 (lima) program sebagai berikut: 1). pengembangan sistem informasi dan pemetaan mengenai
keberadaan, pemanfaatan, dan pengelolaan ekosistem terumbu karang; 2). pengembangan
penelitian dan pengkajian ekosistem terumbu karang yang berhubungan dengan rehabilitasi,
pemulihan dan pemanfaatan berkelanjutan melalui peran aktif lembaga penelitian dan perguruan
tinggi; 3). pengklasifikasian dan pengelompokkan seluruh gugusan terumbu karang ke dalam
beberapa jenis katagori pengelolaan; 4). pembuatan program percontohan untuk setiap jenis
katagori pengelolaan; 5). perlindungan dan pelestarian gugusan terumbu karang yang memiliki
nilai tinggi dari sudut pandang regional, nasional maupun internasional.

4. Strategi 4.
Merumuskan dan mengkoordinasikan program-program instansi Pemerintah, Pemerintah
Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, pihak swasta, dan masyarakat yang diperlukan dalam
pengelolaan ekosistem terumbu karang berbasis masyarakat. Strategi 4 dijabarkan dalam 3 (tiga)
program sebagai berikut: 1). pengelolaan dan pemanfaatan terumbu karang secara terpadu yang
melibatkan
Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, pihak swasta, perguruan
tinggi, lembaga non pemerintah, dan masyarakat; 2). penyediaan bantuan teknis dan keuangan
dalam rangka peningkatan kemampuan masyarakat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah
Kabupaten/Kota untuk menyusun rencana pengelolaan ekosistem terumbu karang; 3). penyiapan
perangkat pemantauan, kontrol dan pengamatan lapangan (Monitoring, Controlling, &
Survailance) serta mekanisme evaluasi terhadap pengelolaan ekosistem terumbu karang dengan
melibatkan seluruh lapisan masyarakat.

5. Strategi 5.
Menciptakan dan memperkuat komitmen, kapasitas dan kapabilitas pihak-pihak
pelaksana pengelola ekosistem terumbu karang. Strategi 5 dijabarkan dalam 4 (empat) program
sebagai berikut: 1). peningkatan kuantitas dan kualitas sumberdaya manusia di berbagai institusi
melalui perekrutan, pelatihan, serta pendidikan formal dan informal; 2). penguatan kelembagaan
di daerah dalam rangka pengelolaan ekosistem terumbu karang; 3). peningkatan kapasitas dan
kapabilitas pemerintah daerah dalam mengelola ekosistem terumbu karang; 4). pengaktualisasian
tradisi musyawarah yang berorientasi pada penguatan komitmen masyarakat dalam mengelola
ekosistem terumbu karang.
6. Strategi 6.
Mengembangkan, menjaga serta meningkatkan dukungan masyarakat luas dalam upaya-
upaya pengelolaan ekosistem terumbu karang secara nasional dengan meningkatkan kesadaran
seluruh lapisan masyarakat mengenai arti penting nilai ekonomis dan ekologis dari ekosistem
terumbu karang. Strategi 6 dijabarkan dalam 4 (empat) program sebagai berikut: 1).
penyebarluasan informasi mengenai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
pengelolaan ekosistem terumbu karang; 2). peningkatan partisipasi masyarakat luas dalam
kegiatan yang terkait dengan upaya pengelolaan ekosistem terumbu karang; 3). promosi dan
penyebarluasan program pengelolaan terumbu karang kepada masyarakat luas; 4).
penghimpunan dukungan politik dalam mempromosikan nilai penting pengelolaan terumbu
karang berkelanjutan bagi pembangunan ekonomi.

7. Strategi 7.
Menyempurnakan berbagai peraturan perundang-undangan serta mendefinisikan kembali
kriteria keberhasilan pembangunan suatu wilayah agar lebih relevan dengan upaya pelestarian
lingkungan ekosistem terumbu karang. Strategi 7 dijabarkan dalam 2 (dua) program sebagai
berikut: 1). penyempurnaan berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
pengelolaan ekosistem terumbu karang; 2). penyempurnaan dan pendefinisian kembali kriteria
keberhasilan pembangunan wilayah yang mencakup beberapa indikator keberhasilan antara lain :
efisiensi ekonomi, pemerataan hasil pembangunan, serta terpeliharanya fungsi lingkungan dan
kelestarian sumberdaya.

8. Strategi 8.
Meningkatkan dan memperluas kemitraan antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi,
Pemerintah Kabupaten/Kota, swasta, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat untuk
mengembangkan kegiatan ekonomi yang ramah lingkungan dalam rangka pemanfaatan
sumberdaya terumbu karang secara berkelanjutan. Strategi dijabarkan dalam 2 (dua) program
sebagai berikut: 1). pengupayaan bantuan teknis yang ramah lingkungan dan keuangan yang
tidak mengikat dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, dan swasta
kepada kelompok masyarakat yang melakukan kegiatan ekonomi di ekosistem terumbu karang
dan sekitarnya; 2). peningkatan pelayanan Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah
Kabupaten/Kota, dan swasta bagi penyediaan akses masyarakat akan ilmu pengetahuan dan
teknologi, permodalan, pasar, pengelolaan, dan informasi, yang sesuai dengan kegiatan ekonomi
yang dilakukan di ekosistem terumbu karang dan sekitarnya.

9. Strategi 9.
Meningkatkan dan mempertegas komitmen Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah
Kabupaten/Kota, dan masyarakat serta mencari dukungan lembaga dalam dan luar negeri dalam
penyediaan dana untuk mengelola ekosistem terumbu karang. Strategi 9 dijabarkan dalam 3
(tiga) program sebagai berikut: 1). penyediaan anggaran biaya pengelolaan ekosistem terumbu
karang dalam APBN dan APBD serta dana-dana lain yang tidak mengikat; 2). pengupayaan
sumber dana dari luar negeri yang sifatnya tidak mengikat; 3). penghimpunan dan pemanfaatan
dana masyarakat untuk pengelolaan ekosistem terumbu karang.

3.3 Strategi Pengelolaan, Pendekatan, dan Bentuk Strategi Hutan Mangrove di Sulawesi
Tenggara

3.3.1 Strategi Pengelolaan


Hasil penelitian menunjukkan bahwa kerusakan ekosistem hutan mangroveberpengaruh
terhadap aktivitas ekonomi penduduk yang ditunjukkan oleh mayoritas(sebanyak 172 orang
(81,49%)) menyatakan bahwa terdapat pengaruh terhadap aktivitasekonomi penduduk. Hal ini
diperparah lagi apabila terjadi musim hujan, mengakibatkanbanjir di pemukiman penduduk
sehingga aktivas ekonomi penduduk terganggu karenaterpaksa tidak pergi bekerja.
Berdasarkan metode matriks analisis SWOT, maka dihasilkan empat
kemungkinanalternatif strategi yang akan dihadapi dalam menanggulangi kerusakan ekosistem
hutanmangrove di Desa Dongko, yaitu: dengan memetakan komponen-komponen
Kekuatan(S), dan Kelemahan (W) kepada faktor Peluang (O), dan Tantangan (T)
sehinggahasil pemetaan tersebut adalah.
a. Strategi S-O
1. Pengembangan kawasan hutan mangrove di Desa Dongko sebagai hutan lindung,
yangberpedoman pada kebijakan pemerintah Kabupan Tolitoli terkait pengolahan
mangrove.(O 1,2-S 1,2,3).
2. Meningkatkan prasarana dan sarana guna menunjang pembangunan
penanggulangankerusakan kawasan ekosistem hutan mangrove (O 2-S 1,2).
b. Sterategi O 2-W 2
1. Meningkatkan kualitas sumberdaya manusia dan penguasaan IPTEK masyarakatyang
tinggal di kawasan hutan mangrove guna mewujudkan rencana dan
strategipembangunan daerah, khususnya Desa Dongko dengan berbagai pendidikan
danpelatihan. (O 2-W 2).
2. Mencari solusi terbaik untuk memecahkan masalah kerusakan ekosistem
hutanmangrove di Desa Dongko ke arah yang lebih baik lagi (O 2-W1,3).
c. Strategi S-T
1. Merumuskan kebijakan yang mengatur pengelolaan ekosistem hutan mangrove(S
1,2,3-T 1,3).
2. Merumuskan kebijakan yang mengatur pembangunan di sekitar kawasan
ekosistemhutan mangrove dengan tetap menjaga kelestarian daya dukung potensi SDA
dankelestarian lingkungan hidup (S 1-T 2,3).
d. Strategi T-W
1. Melakukan penanaman kembali terhadap ekosistem hutan mangrove yang rusak(T
1,2,3-W 1,2,3).

Pemanfaatan sumber daya alam artinya adalah menggunakan atau mengambil manfaat
dari sumber daya alam yang ada untuk kepentingan manusia. Menurut Wardiyatmoko ;
Pemanfaatan sumber daya alam tidak boleh merusak ekosistem secara efisien dan memikirkan
kelanjutan sumber daya alam itu (Wardiyatmoko, 2004: 121).

Rencana aksi (action plan) dijabarkan dari kegiatan-kegiatan yang tertuang dalam
rencana pengelolaan, rencana pemintakata, dan rencana strategis. Dari rencana strategis setiap
strategi yang dipilih memerlukan satu atau beberapa kegiatan untuk mencapai tujuan dan
sasaran.

3.3.2 Proses Perencanaan dan Pemanfaatan (Action Plan)


Strategi dalam merehabilitasi mangrove adalah dengan cara menanam kembali mangrove
atau mengeleminir faktor-faktor yang menyebabkan kerusakan mangrove dan membiarkannya
tumbuh secara alami. Dalam konteks menanam kembali maka dalam rencana aksinya disusun
berapa batang mangrove yang akan ditanam dalam satu tahun anggaran, teknologi yang
digunakan, serta input lainnya.

Dokumen rencana aksi yang memuat kegiatan ekonomi biasanya dibiayai melalui
investasi swasta atau investasi masyarakat. Sedangkan kegiatan yang bersifat prasarana umum
seperti pembangunan jalan, dermaga, papan pengumuman, dan tempat sampah biasanya dibiayai
dari anggaran pemerintah. Dalam pembangunan prasarana umum disusun rencana tapak (site
plan) untuk selanjutnya diimplementasikan pada tahun berikutnya, serta biaya pelaksanaan yang
dianggarkan pada DUP/DUPDA.

Untuk kegiatan yang dibiayai lembaga perbankan memerlukan proposal sebagai


persyaratan yang dibutuhkan dalam keputusan kelayakan usaha. Kriteria umum yang
dipersyaratkan bagi kelayakan suatu usaha adalah benefit cost ratio (B/C) lebih besar atau sama
dengan satu, dan net present value (NPV) lebih besar dari nol. Penilaian tersebut harus
mempertimbangkan biaya ekonomi lingkungan sebagai bagian dari biaya internal bukan
eksternal.
4 BAB IV
EKSTERNALITAS, INTERNALITAS DAN TEKNIK ANALISIS
DAMPAK LINGKUNGAN

4.1 Eksternalitas dan Upaya Internalisasi


1. Eksternalitas positif

Eksternalitas positif adalah tindakan seseorang yang memberikan manfaat bagi orang
lain, tetapi manfaat tersebut tidak dialokasikan di dalam pasar. Jika kegiatan dari beberapa orang
menghasilkan manfaat bagi orang lain dan orang yang menerima manfaat tersebut tidak
membayar atau memberikan harga atas manfaat tersebut maka nilai sebenarnya dari kegiatan
tersebut tidak tercermin dalam kegiatan pasar.
2. Ekternalitas Negatif

Eksternalitas negatif adalah biaya yang dikenakan pada orang lain di luar sistem pasar
sebagai produk dari kegiatan produktif.
Adanya eksternalitas negatif mengakibatkan sumber daya yang dilakukan pasar tidak
efisien, di sinilah diperlukan peranan dari pemerintah. Harapannya masalah-masalah yang di
timbulkan dengan adanya eksternalitas dapat teratasi. Beberapa hal yang dapat dilakukan oleh
pemerintah adalah regulasi, penetapan pajak pigouvian dan pemberian subsidi.
a. Regulasi

Regulasi adalah tindakan mengendalikan perilaku manusia atau masyarakat


dengan aturan atau pembatasan. Dengan regulasi pemerintah dapat melarang atau
mewajibkan perilaku atau tindakan, mana yang boleh dan mana yang tidak boleh
untuk dilakukan pihakpihak tertentu dalam rangka mengatasi eksternalitas. Dengan
adanya regulasi memaksa penghasil polusi untuk mengurangi polusi yang dihasilkan
industri karena polusi tersebut merupakan tanggung jawab pihak yang menghasilkan
polusi.
b. Pajak pigouvian

Pajak pigouvian merupakan salah satu solusi yang dapat dilakukan untuk
mengatasi eksternalitas. Konsumen atau perusahaan yang menyebabkan eksternalitas
harus membayar pajak samadengan dampak marjinal dari eksternalitas yang dibuat.
Dengan itu membuatkonsumen atau perusahaan memperhitungkan berapa banyak
manfaat dan dampak dari jumlah barang yang diproduksi atau dikonsumsi
perusahaan ataupun konsumen..
c. Subsidi

Ketika manfaat sosial melebihi manfaat pribadi maka subsidi harus diberikan
kepada konsumen atau produsen. Subsidi mengarah pada penurunan dalam harga
komoditi. Pemerintah dapat mensubsidi produsen untuk mengurangi dampak
eksternalitas. Keuntungan produsen didapat dari subsidi pemerintah dan keuntungan
masyarakat dalam hal pengurangan kerusakan dari dampak eksternalitas yang
ditimbulkan perusahaan.
Kelemahan dari subsidi adalah perusahaan-perusahaan condong untuk
melakukan eksternalitas karena dengan melakukan eksternalitas mereka akan
mendapat subsidi dari pemerintah.

d. Internalisasi

Untuk mengontrol eksternalitas pertama kali dibahas oleh David dan Whinston.
David dan Whinston menganjurkan internalisasi untuk mengatasi eksternalitas
sehingga biaya privat sama dengan biaya sosialnya. Inti dari internalisasi adalah
misalnya jika ada perusahaan A menyebabkan eksternalitas negatif hanya kepada
perusahaan B maka perusahaan A dan perusahaan B bersama-sama menghitung
dampak dari eksternalitas. Dengan ini, efisiensi tidak akan muncul.
Melakukan internalisasi merupakan hal yang sulit. Ambil saja contoh suatu
industri suatu perusahaan menyebabkan eksternalitas bagi industri perusahaan lain.
Dalam situasi ini internalisasi menyarankan perusahaan menjadi monopoli tunggal.
Jika hal ini terjadimaka akan menyebabkan kesejahteraan menjadi berkurang atau
mungkin hilang. Internalisasi biasanya secara tidak alngsung membangun agen
ekonomi yang lebih besar dan konsekuensi bertambahnya kekuatan pasar. Singkatnya
internalisasi akan menghilangkan konsekuensi dari eksternalitas dengan cara
memastikan bahwa biaya pribadi dengan biaya sosial disamakan. Masalah
internalisasi bukanlah solusi yang praktis ketika konstribusi agen ekonomi secara
terpisah ke dalam eksternalitas total dan memiliki kelemahan yang mengarah
kekuatan pasar meningkat.

4.1.1 Eksternalitas dan Upaya InternalisasiPenambanganPasir Pantai di Provinsi


Sumatera Utara
Aktivitas penambangan pasir pantai dapat menimbulkan eksternalitas negatif dan
eksternalitas positif. Sasaran ekternalitas positif lebih mengarah pada peningkatan ekonomi,
sedangkan sasaran ekternalitas positif meliputi aspek lingkungan, sosial dan ekonomi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Manfaat yang dapat diperoleh dari kegiatan
penambangan pasir yaitu meningkatkan pendapatan kelompok masyarakat penambang, memberi
kontribusi bagi penerimaan pajak bahan galian Golongan C dan membantu kelancaran
pembangunan infrastruktur yang ada di Kabupaten Merauke.

Dampak negatif dari aktivitas penambangan pasir pantai yaitu mengakibatkan kerusakan
bagi hutan mangrove yang terdapat disepanjang pesisir pantai, mengakibatkan terjadinya abrasi
pantai, menurunnya jumlah hasil tangkapan dan pendapatan para nelayan, mengakibatkan
tergenangnya pemukiman masyarakat yang tinggal disepanjang pesisir pantai oleh air laut dan
mengakibatkan kerusakan pada jalan dan jembatan. Eksternalitas negatif yang dihasilkan dari
kegiatan penambangan pasir pantai jauh lebih besar dengan potensi kerugian bisa mencapai
Rp.128.109.000.000,- jika dibandingkan dengan eksternalitas positif hanya berpotensi
menghasilkan Rp. 25.904.201.428,-. Kesimpulan aktivitas penambangan pasir pantai
mengakibatkan kerusakan pada hutan mangrove di sepanjang wilayah pesisir Pantai Timur dan
Barat Sumatera Utara. Masyarakat memiliki persepsi negatif terkait dengan aktivitas
penambangan pasir pantai, masyarakat telah mengetahui bahwa dengan melakukan
penambangan pasir pantai akan mengakibatkan kerusakan pada ekosistem mangrove, namun
karena tuntutan ekonomi maka masyarakat tetap melakukan aktivitas penambangan pasir pantai.

Aktivitas penambangan pasir berdampak pada menurunnya hasil tangkapan dan


pendapatan nelayan. Eksternalitas negatif yang dihasilkan dari kegiatan penambangan pasir
pantai jauh lebih besar dengan potensi kerugian bisa mencapai Rp.128.109.000.000,- jika
dibandingkan dengan eksternalitas positif hanya berpotensi menghasilkan Rp. 25.904.201.428,-.

Saran Pemerintah daerah kabupaten merauke agar menghentikan kegiatan penambangan


pasir pantai di sepanjang wilayah pesisir Kabupaten Merauke dan mengkaji kembali izin
penambangan pada daerah lain. Melakukan restorasi terhadap hutan mangrove yang telah
mengalami kerusakan, terutama di Kampung Bina Loka, Payum dan Ndalir.

Sesegera mungkin membangun tembok pemecah ombak yang permanen untuk


menghindari terjadinya abrasi. Pemerintah daerah Kabupaten Merauke diharapkan bisa
menciptakan mata pencaharian alternatif bagi masyarakat penambang agar masyarakat yang
berprofesi sebagai penambang pasir dapat melakukan pekerjaan yang lain. Melaksanakan
sosialisasi secara kontinyu kepada masyarakat agar kondisi wilayah pesisir tetap terjaga dan
terkelola dengan baik.

Berikut merupakan upaya internlisasi terhadap dampak yang ditimbulkan oleh


penambang pasir dapat ditempuh dengan beberapa pendekatan, untuk dilakukan tindakan
tindakan sebagai berikut :
Pendekatan teknologi, dengan orientasi teknologi pereventif yaitu pengembangan sarana
jalur/jalan khusus untuk pengangkutan pasir besi sehingga akan mengurangi keruwetan
masalah transportasi. Pejalna kaki akan terhindar dari ruang udara yang kotor.
Menggunakan masker debu agar meminimalkan risiko terpapar/terekspose oleh pasir.
Pendekatan lingkungan, yang ditunjukan bagi penataan lingkungan sehingga akan
terhindar dari kerugian yang ditimbulkan akibat kerusakan lingkungan. Upaya reklamasi
dan penghijauan kembali bekas penambangan pasir dapat mencegah perkembangbiakan
nyamuk malaria. Dikhawatirkan bekas lubang/kawah pasir dapat menjadi tempat
perindukan nyamuk. Penanaman bakau dan mangrove secara terpadu untuk mencegah
terjadinya abrasi pantai.
Pendektakan administrative yang mengikat semua pihak dalam kegiatan pengusahaan
penambangan pasir tersebut untuk memenuhi ketentuan ketentuan yang berlaku
Pendekatan edukatif, kepada masyarakat yang dilakukan serta dikembangkan untuk
membina danmemberikan penyuluhan.penerangan terus menerus memotivasi
perubahan perilaku dan membangkitkan kesadaran untuk ikut memelihara kelestarian
lingkungan.

4.1.2 Eksternalitas dan Upaya InternalisasiPengelolaan Terumbu Karangdi Provinsi


Nusa Tenggara Timur
A. Eksternalitas Positif

Potensi Laut di Provinsi NTT dapat dikatakan masih sangat tinggi karena sektor perikanan
tangkap dan budidaya perikanan sangat besar. Potensi yang besar ini menjadi dorongan untuk
membuat dunia perikanan Indonesia semakin maju karena kalau soal sumberdaya Indonesia
tidak perlu dipertanyaakan lagi potensinya yang sangat besar itu.

Kebijakan pemerintah yang mendukung

Sekarang pemerintah sedang menggalakkan minapolitan pada semua daerah yang berpotensi
perikanannya. Dengan adanya dukungan ini akan mempercepat dan mempermudah
meningkatnya perikanan di setiap daerah di Indonesia.

Pembangunan perikanan merupakan pendukung ketahanan pangan.

Ketahanan pangan dunia sekrang sedang terancam, ini menjadi kesempatan Indonesia untuk
meningkatkan perikanan demi ketahanan pangan Indonesia dan Ekspor untuk ketahanan pangan
dunia.

Meningkatkan konsumsi ikan

Semakin tingginya konsumsi ikan/gemar makan ikan di Indonesia dan dunia tentu akan
meningkatkan tuntutan produksi perikanan untuk lebih besar sehingga perikanan dapat lebih
maju.

Bertambah baiknya teknologi perikanan

Produksi perikanan yang tinggi tidak akan tercapai bila teknologi produksinya masih tradisional.
Dengan teknologi perikanan yang semakin tinggi dan ramah lingkungan maka produktifitas
perikanan pun akan semakin tinggi.
B. Eksternalitas Negatif

Menurunnya ekosistem.

Dengan menurunnya kualitas ekosistem makan sudah tentu akan menurunkan produksi
perikanan. Oleh sebab itu ekosistem perairan Indoensia harus dijaga dan dilestarikan.

Iklim dan cuaca yang buruk akibat pemanasan global.

Iklim dan cuaca yang buruk dapat mempersulit perikanan terutama perikanan budidaya. Karena
ikan budidaya sangat rentan terhadap perubahna iklim dan cuaca sehingga perlu betul-betul
dijaga dan diperhatikan.

Lemahnya kerangka hukum dalam hal pengaturan dan perangkat hukum penegaknya.

Karena lemahnya hukum terutama hukum perariran dan kelautan, akan semakin memperlemah
perikanan Indoensia. Karena kurangnya perlindungan dan pengawasan terhadap perikanan
terutama bagian ilegal fishing.

Masuknya pemodal besar yang melakukan transaksi di luar TPI

TPI tidak lagi dijadikan tempat transaksi oleh pemodal besar sehingga pihak dari perikanan tidak
memperoleh untuk yang besar karena sudah harga sudah dimainkan oleh pihak ketiga di luar
TPI.

Adanya perbedaan kepentingan yang dapat menurus ke konflik kepentingan antar alat,
sektor dan regional.

Setiap bagian perikanan yang memiliki kepentingan yang berbeda-beda, hanya mendahulukan
kepentingannya sendiri dari kepentingan bersama. Sehingga sektor perikanan sudah tidak
menjadi prioritas melainkan orang yang terdapat di dalamnya.

C. Upaya Internalisasi

Upaya internalisasi berdasarkan Prinsip eko-efisiensi adalah bahwa bahan dan energi
yang tidak termanfaatkan dalam suatu sistem proses produksi akan terbuang menjadi limbah
(padat,cair, dan gas) dan menyebabkan peningkatkannya social cost untuk proses lanjutannya,
dengan meningkatkan efisiensi semakin banyak bahan dan energi yang termanfaatkan dalam
proses produksi sehingga semakin sedikit yang terbuang. Ditinjau dari aspek ekonomi,
peningkatan efisiensi akan mengurangi bahan baku sebagai faktor produksi dan energi yang
dibutuhkan, sehingga biaya produksi turun dan berpotensi untuk meningkatkan profit. Sedangkan
dari aspek lingkungan hidup berarti makin sedikit bahan baku dan energi yang terbuang
percuma, sehingga semakin sedikit limbah yang dihasilkan maka dampak terhadap lingkungan
hidup dapat ditekan. Hal itu dapat diterapkan dalam pemanfaatan Hutan, Lahan Pertanian,
Tambang, Air, Industri, dan Pemenuhan Sumber Energi

4.1.3 Eksternalitas dan Upaya InternalisasiPengelolaan Hutan Mangrove di Provinsi


Sulawesi Tenggara
Eksternalitas Positif

Konversi Hutan Mangrove Menjadi Pertambakan Dampak Positif yang dihasilkan dari
konversi hutan mangrove menjadi pertambakan adalah dampak ekonomi yang dirasakan petani
tambak dan sumbangan devisa yang besar dari ekspor udang. Masyarakat di kawasan
tersebut,diketahui bahwa kegiatan budidaya tambak merupakan pekerjaan utama masyarakat
dalam mencukupi kebutuhan hidup, karena masyarakat petambak umumnya merupakan
masyarakat yang migrasi dari pesisir wilayah lain yang bermata pencarian sebagai petani tambak
di sana, karena tambak mereka di sana sudah tidak menghasilkan maka berbondong-bondong
mereka membuka tambak. Di samping pada saat itu harga udang sangat tinggi akibat nilai tukar

Eksternalisasi Negatif

Aktivitas tambak udang mungkin menguntungkan, namun dalam beberapa rotasi


berikutnya telah banyak bukti tambak udang intensif mengalami kehancuran yang kemudian
malah menimbulkan kerusakan dan kolapsnya lingkungan wilayah pesisir.Hilangnya hutan
mangrove, hilangnya tempat berpijah biota laut, ancaman abrasi pantai dan hilangnya garis
pantai telah banyak terbukti dari praktek intensifikasi tambak udang yang kemudian
ditinggalkan.Tambak-tambak udang yang ditinggalkan kemudian, menjadi rawan terhadap abrasi
dan memerlukan biaya besar untuk pemulihan ekosistemnya. Belum jika hal ini diperhitungkan
dengan kehilangan wilayah hidup dari masyarakat lokal yang berusaha secara turun-temurun
dengan memanfaatkan potensi-potensi tradisional dari hutan mangrove.

Jika dimasukkan biaya eksternalitas lingkungan, maka tambak udang harusnya memperhitugkan
pula biaya pemulihan lingkungan termasuk biaya pemulihan habitat dan hutan mangrove yang
telah dikonversi. Dengan demikian, maka nilai ekonomi tambak udang dalam jangka panjang
menjadi perlu dipertanyakan.

Upaya Internalisasi yang daat dilakukan antara lain :

1. Penanaman pencerahan dan motivasi kepada masyarakat buat menjaga, melestarikan, dan
memanfaatkan lingkungan hutan mangrove dengan bertanggungjawab.

2. Izin usaha pemanfaatan hutan mangrove diperketat.

3. Meningkatkan pengetahuan dan penerapan kearifan lokal soal konservasi. Masalah


perlindungan sendiri sudah ditetapkan oleh pemerintah dalam Keputusan Presiden
(Keppres) No. 32 Tahun 1990.

4. Memperbaiki ekosistem daerah pesisir secara terencana dan berbasis masyarakat.

4.2 Teknik Analisis Dampak

4.2.1 Teknik Analisis DampakPenambanganPasir Pantai di Provinsi Sumatera


Utara

4.2.2 Teknik Analisis DampakPengelolaan Terumbu Karangdi Provinsi Nusa


Tenggara Timur
Ancaman terhadap kelangsungan hidup terumbu karang, mengakibatkan kerusakan
lingkungan yang besar. Terumbu karang yang merupakan sentral dari ekosistem laut sangat
mempengaruhi kehidupan di laut. Komposisi oksigen di laut menjadi berkurang. Banyak biota
laut, baik hewan maupun tumbuhan akan ikut musnah jika terumbu karang menjadi rusak. Selain
itu, di daerah-daerah pesisir pantai akan mudah terjadi abrasi, mengakibatkan perubahan
lingkungan yang drastis dan membuat tidak adanya perlindungan terhadap daerah pantai.
Berbagai pencemaran yang terjadi bukan hanya merusak laut tapi juga mengancam kesehatan
manusia. Ikan yang ditangkap dengan menggunakan racun kemudian di konsumsi sangat
membahayakan manusia. Sungguh amat di sayangkan jika Indonesia yang notabene mempunyai
60% jenis terumbu karang di seluruh Dunia harus rusak karena keseimbangan ekosistem laut
yang diganggu tangan-tangan jahil maupun karena faktor alam sendiri.

4.2.3 Teknik Analisis DampakPengelolaanHutan Mangrove di Provinsi Sulawesi


Tenggara
5 BAB V
VALUASI EKONOMI SDA

Valuasi ekonomi merupakan suatu satu cara yang digunakan untuk memberikan nilai
kuantitatif terhadap barang dan jasa yang dihasilkan sumber daya alam dan lingkungan terlepas
baik dari nilai pasar (market value) atau non pasar (non market value ). Tujuan dari studi valuasi
adalah untuk menentukan besarnya Total Economic Value (TEV) pemanfaatan sumberdaya alam
dan lingkungan.

5.1 Nilai Manfaat Ekonomi


Menurut Fauzi (2000), secara umum nilai ekonomi didefinisikan sebagai penguluran
jumlah maksimum seseorang ingin mengorbankan barang dan jasa untuk memperoleh barang
dan jasa lainnya. Secara formal, konsep ini disebut sebagai keinginan membayar seseorang
terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan. Dengan
menggunakan pengukuran ini, nilai ekologis dari ekosistem bisa diterjemahkan ke dalam bahasa
ekonomi dengan mengukur nilai moneter dari barang dan jasa, yang dapat juga dikur dari sisi
lain yaitu seberapa besar masyarakat ahrus diberikan kompensasi untuk menerima pengorbanan
atas hilangnya barang dan jasa dari sumberdaya alam dan lingkungan.

Menurut Kusumastanto(1995) dalam Meilani (1998) terdapat 3 kategori dalam penilaian


ekonomi yang dapat digunakan dalam memecahkan masalah-masalah kebijakan wilayah pesisir
yaitu:

1. Impact Analysis adalah kerusakan yang diakibatkan oleh suatu kegiatan pada sistem
pesisir khususnya berupa dampak lingkungan, misalnya penilaian kerusakan
lingkungan pesisir karena tumpahan minyak.

2. Parsial Valuation adalah suatu penilaian alternative alokasi sumberdaya atau proyek
yang menggunakan sistem pesisir/sumberdaya dengan tujuan mendapatkan pilihan
yang terbaik pada pemanfaatannya misalnya pemilihan alternative antara pemanfaatan
sistem / sumberdaya pesisir untuk usaha perikanan karang atau pariwisata terumbu
karag. Dalam parsial valuation digunakan cost-benefitanalysis untuk memilih alternatif
terbaik dalam penggunaan sumberdaya pesisir. Hal ini bertujuan untuk
memaksimumkan kesejahteraan sosial dengan cara mengalokasikan sumberdaya
seefisien mungkin.

3. Total Valuation adalah penilaian ekonomi secara keseluruhan dari sistem pesisir.
Pendekatan ini dilakukan dalam menentukan nilai ekonomi sosial daric agar alam
dalam akuntansi sumberdaya rasional.

5.1.1 Nilai Manfaat Ekonomi di Provinsi Sumatera Utara

5.1.2 Nilai Manfaat Ekonomi di Provinsi Nusa Tenggara Timur


Indonesia memiliki sekitar 17.500 km2 ekosistem terumbu karang (Moosa,et al, 1987)
tersebar di seluruh wilayah perairan pesisir yang jernih, hangat, beroksigen serta bebas dari
padatan terlarut dan aliran air tawar yang berlebihan. Terumbu karang Indonesia sangat
beragam dan kaya. Seluruh tipe terumbu karang yang mencakup terumbu karang melingkar,
terumbu karang penghadang, atol dan bongkahan terumbu karang (fringing reefs, barrier reefs,
atoll, patch reefs) terdapat di perairan laut Indonesia. Terumbu karang merupakan ekosistem
yang kaya akan keanekaragaman hayati dan memiliki manfaat yang besar di sektor perikanan.
Berbagai jenis hewan dan tumbuhan yang hidup di ekosistem terumbu karang. Sekitar 350 jenis
karang batu, >2000 jenis ikan, 1500 jenis moluska, 10 jenis teripang ekonomis dan 555 jenis alga
yang hidup di ekosistem ini (Nontji 1993). Ekosistem ini merupakan sumber nutrisi untuk
kehidupan biota yang ada di laut. Banyak hewan yang mencari makan, berbiak, mengasuh dan
membesarkan anak-anak di tempat ini. Manfaat lain dari ekosistem terumbu karang adalah
sebagai penahan gelombang, sumber benih budidaya, serta memiliki potensi untuk
pengembangan wisata bahari. Potensi panen lestari (MSY) ikan karang di perairan laut Indonesia
diduga sebesar 80.082 ton/tahun (Ditjen Perikanan, 1991). Dengan luas areal terumbu karang
Indonesia sekitar 17.500 km2 berarti potensi lestari ikan karang di Indonesia 4,57 ton/tahun/km2.
Perikanan karang komersial dan subsisten memiliki kontribusi yang nyata terhadap ekonomi
Indonesia. Masyarakat pesisir, khususnya yang tinggal di pulau-pulau kecil (Nias, Siberut,
Kepulauan Seribu, Taka Bone Rare, Tukang Besi dan Padaido) telah memenfaatkan sumberdaya
ikan, rumput laut dan sumberdaya biologis lainnya untuk kehidupannya selama berabad-abad.
Selanjutnya di beberapa bagian Indonesia, terumbu karang secara tradisional telah
dipakai oleh masyarakat pesisir untuk mendukung kehidupannya dengan memanfaatkan berbagai
jenis ikan dan invertebrata lainnya (Burbridge and Maragos, 1985). Ditinjau dari aspek
ekonomi, terumbu karang memberikan sumbangan yang cukup besar untuk sektor perikanan.
Caesar (1996) menyatakan bahwa terumbu karang yang termasuk dalam kategori sangat baik
dapat menyumbangkan 18 ton ikan per km2 per tahun. Sedangkan yang termasuk dalam kategori
baik dan cukup adalah sebesar 13 ton/km2/tahun dan 8 ton/km2/tahun. Apabila dikalkulasikan
secara ekonomi, nilai terumbu karang yang ada di perairan Indonesia adalah sebesar 4,2 milyar
$US dari aspek perikanan, wisata dan perlindungan laut. Nilai ini belum termasuk nilai manfaat
terumbu karang sebagai pelindung pantai, bahan bangunan, sumber pangan serta obat-obatan
(Sjafrie, 2010)
Hasil penelitian mengenai nilai ekonomi terumbu karang dari berbagai aspek telah
dilakukan oleh beberapa orang. Ohman & Caesar (2000) telah menghitung nilai ekonomi
terumbu karang sebagai bahan tambang di Lombok dan Srilanka. Hasil yang diperoleh
menunjukkan bahwa nilai ekonomi terumbu karang di Lombok adalah sebesar 762$ US/km2,
sedangkan di Srilangka nilainya sebesar 6.610.000 $ US /km2. Sawyer pada tahun 1992 seperti
yang disitir dalam Suharsono (2007) telah menghitung nilai ekonomi terumbu karang dari hasil
perikanan di Takabonerate, Sulawesi Selatan dan memperoleh nilai ekonomi sebesar 777 $
US/km2. Nilai ekonomi terumbu karang di Great Barrier Reef dari hasil perikanan juga telah
dilakukan oleh Driml (1999), sedangkan dari hasil pariwisata oleh Muller et al (2000). Nilai
ekonomi terumbu karang dari hasil perikanan di Great Barrier Reef
adalah sebesar 143 juta $ US /tahun, sedangkan nilai ekonomi dari hasil pariwisata berkisar
antara 106-144 juta $ US/tahun. Sebaliknya Moore & Best pada tahun 2001 yang disitir dalam
Situmorang (2004) telah melakukan penghitungan mengenai kerugian yang disebabkan oleh
kerusakan terumbu karang dilihat dari fungsinya sebagai pelindung pantai. Hasil penelitian
mereka menyatakan bahwa setiap kerusakan 1 km2 terumbu karang akan mengakibatkan
kerugian antara 137.000 sampai 1.200.000 $ US.

Nilai Manfaat aktual


Ekosistem terumbu karang mempunyai nilai ekonomi yang didasarkan atas perhitungan manfaat
dan biaya pemanfaatan. Berdasarkan tipologi nilai ekonomi total ekosistem ini mempunyai nilai
manfaat langsung dan tidak langsung. (Seenprechawong 2001). Manfaat langsung yang dapat
dinilai dari keberadaan ekosistem terumbu karang adalah perikanan karang.
Berdasarkan hasil survey pemanfaatan ekosistem terumbu karang di Nusa Tenggara Timur hanya
memanfaatkan ikan karang. Ekstraksi terhadap terumbu karang langsung tidak terjadi seperti
pengambilan karang baik untuk bahan bangunan. Umumnya nelayan di NTT hanya mengambil
ikan konsumsi yang laku di pasar lokal.

Nilai Manfaat Sekarang


Present Value Benefit Generate Per Hektare Model-Income ApproachPresent Value Benefit
dilakukan dengan mendiscount aliran bersih dari manfaat terumbu karang yang diambil sebagai
indikator nilai sekarang (present value) kemudian membagi total present valuedari produksi
terumbu karang dengan luasan terumbu karang, maka dapat diperoleh nilai per hektar terumbu
karang

Nilai ekonomi total (total economic value = TEV) dari sumberdaya sebagai asset merupakan
jumlah dari nilai pakai (use value=UV) dan nilai bukan pemakaian (non use value=NUV)
(Pearce and Morran, 1994 dan Barton, 1994). Nilai pakai adalah suatu nilai yang timbul dari
pemanfaatan aktualterhadap sumberdaya yang terdapat dalam ekosistem.

Nilai pakai terbagi menjadi nilai pakai langsung (direct use value=DUV), nilai pakai tidak
langsung (indirect use value=IUV) dan nilai pilihan (option value=OV). Nilai pakai langsung
merupakan nilai penggunaan aktual seperti penggunaan perikanan dan kayu dari ekosistem hutan
mangrove. Nilai pakai tidak langsung merupakan manfaat yang diturunkan dari fungsi ekosistem
seperti fungsi hutan mangrove dalam perlindungan lahan pesisir dari erosi dan dalam penyediaan
pakan bagi perikanan lepas pantai.

Nilai pilihan adalah nilai yang menunjukkan keinginan individu untuk membayar bagi
konservasi sumberdaya pesisir dan laut guna pemakaian masa mendatang seperti pengembangan
bahan farmasi dan kultivar pertanian baru. Dengan kata lain, nilai pilihan dapat diartikan sebegai
premi asuransi dimana keinginan masyarakat untuk membayar guna menjamin pemanfaatan
masa mendatang dari sumberdaya pesisir dan laut (UNEP, 1993).
Nilai bukan pemakaian terdiri dari nilai waris (bequest value=BV) dan nilai eksistensi (existence
value=EV). Nilai waris mengukur manfaat individual dari pengetahuan bahwa orang lain akan
memperoleh manfaat dari sumberdaya pesisir dan laut di masa mendatang. Nilai eksistensi
menggambarkan keinginan masyarakat untuk membayar konservasi sumberdaya pesisir dan laut
itu sendiri tanpa mempedulikan nilai pakainya.Contoh nilai eksistensi sumberdaya pesisir dan
laut adalah kepedulian individu terhadap perlindungan koral biru atau ikan napoleon meskipun ia
tidak melihat dan tak akan pernah melihatnya (Randall and Stoll, 1983).Dengan demikian nilai
ekonomi total sumberdaya pesisir dan laut dapat dituliskan sebagai berikut: TEV = UV + NUV =
(DUV + IUV + OV) + (BV + EV).

5.1.3 Nilai Manfaat Ekonomi di Provinsi Sulawesi Tenggara


1. Nilai Manfaat Langsung (Direct Use Values)

Manfaat langsung dari ekosistem hutan mangrove yang dapat terukur nilainya adalah
pemanfaatan kayu bakau untuk bahan bangunan rumah, ranting kayu, ikan, nener, kepiting
bakau, tambak udang, dan Bandeng. Metode yang digunakan dalam penksiran manfaat langsung
adalah dengan pendekatan langsung berdasarkan nilai pasar. Pendekatan ini menghitung jenis
jumlah produk langsung yang dapat dinikmati oleh masyarakat dari hutan mangrove dikalikan
dengan harga pasar yang berlaku dari setiap unit produk.

2. Nilai Manfaat Tidak Langsung

Sebagian besar masyarakat tinggal di pesisir pantai, maka pengukuran manfaat tidak
langsung dari hutan mangrove Desa Toli-Toli yaitu penahan abrasi air laut dan penyedia pakan.
Pendekatan manfaat penahan abrasi dilakukan dengan pembangunan pemecah gelombang (break
water) apabila ekosistem hutan mangsrove itu tidak ada. Manfaat tidak langsung dari ekosistem
hutan mangrove sebagai penyedia pakan organic bagi udang didekati dengan metode regresi
luasan hutan mangrove dan produksi udang.

3. Nilai Manfaat Pilihan (Option Value)

Manfaat pilihan dari penelitian ini menggunakan nilai keanekaragaman hayati


(Biodiversity) dari ekosistem hutan mangrove.
4. Nilai Keberadaan (Existance Value)

Pendekatan yang digunakan dalam menghitung nilai manfaat keberadaan hutan mangrove
Desa Toli-Toli adalah dengan menggunakan Contingent Value Method (CVM). Penduduk desa
mengetahui bahwa fungsi hutan mangrove sangat mendukung penyediaan kebutuhan, namun
dalam hal ini pelestariannya sangat didukung oleh kondisi sosial ekonomi penduduk setempat
sehingga untuk menilai fungsi ekologis untuk menjaga kelestarian dari sumberdaya hutan
mangrove tersebut sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan yang dimiliki masyarakat di Desa
Toli-Toli.

5.2 Metode Valuasi Ekonomi

5.1.4 Metode Valuasi Ekonomi di Provinsi Sumatera Utara

5.1.5 Metode Valuasi Ekonomi di Provinsi Nusa Tenggara Timur

Metoda Valuasi

Pada dasarnya valuasi ekonomi sumberdaya kawasan konservasi terumbu karang meliputi 3
tahap utama, yaitu : (1) identifikasi manfaat dan fungsi keterkaitan antar komponen sumberdaya
pesisir dan laut, (2) kuantifikasi seluruh manfaat dan fungsi tersebut ke dalam nilai uang, dan (3)
penilaian alternatif alokasi pemanfaatan lahan pesisir.

1) Identifikasi Manfaat

Manfaat yang dapat diperoleh dari kawasan konservasi terumbu karang antara lain:

1. manfaat langsung berupa Perikanan tangkap, Marikultur, Perdagangan Akurium, Kapur,


Bahan Obat, Bahan Konstruksi, Genetic Material, Tourism, Penelitian, Pendidikan, dan
Estetika.
2. manfaat tidak langsung berupa Penyedia pakan untuk kura-kura dan burung laut, Physical
Protection untuk: Garis pantai, Navigasi dan Ekosistem lain,
3. manfaat pilihan berupa Species, habitat dan biodiversity,
4. manfaat eksistensi berupa Habitat terancam punah, species langka dan estetika,
5. manfaat waris berupa Species, habitat dan tradisi (Barton, 1994).

2) Kuantifikasi Manfaat

Berikut ini adalah beberapa teknik kuantifikasi manfaat yang dapat digunakan pada kawasan
terumbu karang:

(a) Perubahan Pendapatan (Change in Productivity)

Suatu proyek pembangunan atau pemanfaatan sumberdaya pesisir dapat mempengaruhi


produktivitas secara positif atau negative.Analisa ini didasarkan atas situasi dengan
proyek dan tanpa proyek.Misalkan, bila proyek pembukaan lahan mangrove
menyebabkan penurunan hasil tangkapan ikan 20% pertahun maka proyek ini
menimbulkan kerugian ekonomi setara dengan hilangnya hasil produksi sebesar 20% per
tahun.

(b) Kehilangan Pendapatan (Lost of Earning)

1. Proyek pemanfaatan lahan pesisir seringkali mengakibatkan kemunduran mutu


lingkungan dalam berbagai bentuk.

2. Hal ini dapat menimbulkan dampak berupa menurunnya kesehatan penduduk dan
kualitas kerja.

3. Bila dampak ini menyebabkan penduduk harus mengeluarkan biaya tambahan


pemeliharaan kesehatan Rp 50.000,00/kapita/tahun maka nilai jasa lingkungan adalah
Rp 50.000, 00/kapita/tahun. Contoh lain, bila dampak ini menyebabkan kematian
seorang laki-laki berumur 30 tahun yang berpeluang hidup sampai 60 tahun dengan
pendapatan Rp 20.000,00/hari, maka nilai jasa lingkungan peisisr adalah (Rp
20,000/Hari x 30 hari/bulan x 12 bulan/hari x 30 tahun) = Rp 226.000,00. Asumsi
dapat bekerja selama 30 tahun dengan penghasilan tidak berutah.
(c) Biaya Terluang (Opportunity cost)

1. Adalah hasil keuntungan yang dapat diperoleh dari alternative investasi yang
diabaikan.
2. Metoda ini dapat dipakai untuk menghitung nilai ekonomi suatu proyek pemanfaatan

lahan pesisi yang tidak dapat diukur dengan menggungkan nilai pasar

(d) Biaya Preventif (Preventive Expenditure)

1. Adalah biaya yang diperlukan untuk mencegah terjadinya dampak lingkungan yang
merugikan.
2. Contoh limbah organic yang terbuang dari industri pengalengan ikan atau industri

cold storage dapat menyebabkan penurunan kualitas air tempat pembuangan limbah
tersebut. Biaya pengolahan air limbah (waste water treatment cost), misalkan Rp 1
milyar, agar tidak mencemari lingkungan atau tidak melampaui baku mutu, dapat
dianggap sebagai nilai kerugian yang diakibarkan oleh pembuangan limbah organik
tersebut

(e) Biaya Properti (Hedonic Price Method)

1. Teori dasar adalah adanya keterkaitan antara permintaan atau produksi komoditi yang
dapat dipasarkan (Marketable commodity) dengan yang tidak dapat dipasarkan (non-
market able commodity)
2. Contoh: (1) hasil tangkapan ikan dalam suatu area tertentu merupakan fungsi dari

kualitas perairan, (2) Nilai keindahan alam dan udara bersih suatu pantai dapat dinilai
melalui harga rumah tinggal yang berlokasi sesuai dengan criteria yang
dimaksud.Dengan kata lain, harga rumah di suatu lokasi merupakan fungsi dari
kualitas udara dan keindahan alamnya.
3. Langkah pelaksanaannya:
1. Identifikasi kualitas lingkungan, issu penting ketersediaan data sekunder.
2. Tentukan cara pengukuran kualitas l;ingkungan (bising dengan db, udara dengan

kandungan partikulat, SO2, air dengan BOD, COD dll.)


3. Spesifikasi fungsi persamaan hedonic
4. Pengumpulan data
5. Pengolahan data
6. Interpretasi
7. Pembuatan Laporan

(f) Perbedaan Upah

1. Teori dasar menyatakan: (1) pada pasar bersaing sempurna permintaan tenata
kerja setara dengan nilai produk marjinal, (2) pemasokan tenaga kerja berbeda
dari satu dengan tempat lain karena perbedaan kondisi dan kualitas lingkungan
kerja, (3) pekerja dapat memilih tempat pekerjaannya dengan leluasa tanpa
adanya tekanan dari pihak manapun.
2. Contoh, seorang pekerja pabrik pengalengan ikan yang berlokasi di suatu daerah

tercemar (udara, air dll.) bersedia dibayar Rp 30.000/hari. Seorang pekerja lainnya
bekerja di pabrik pengalengan ikan yang berlokasi di suatu tempat yang tidak
tercemar bersedia hanya dibayar Rp 15.000/hari.Perbedaan sebesar Rp 15.000
merupakan nilai kualitas lingkungan tersebut.

(g) Biaya Perjalanan (Travel Cost Method)

1. Dapat digunakan untuk menilai daerah tujuan wisata alam


2. Dilakukan dengan cara survei biaya perjalanan dan atribut lainnya terhadap
responden pengunjung suatu obyek wisata
3. Biaya perjalanan total merupakan biaya perjalanan PP, makan dan penginapan.
4. Melalui survey ini kurva permintaan dan surplus konsumne dapat ditentukan.
5. Surplus konsumen merupakan nilai ekonomi lingkungan obyek wisata tersebut.

(h) Proksi Terhadap Harga Pasar

1. Dapat digunakanb untuk menilai jasa lingkungan dan SDA yang memiliki korelasi
erat dengan komoditas lain yang dapat dipasarkan.
2. Misal, nilai ranting mangrove sebagai kayu bakar dapat diduga dengan harga

minyak tanah.

(i) Biaya Pengganti

1. Dapat digunakan untuk menilai ekosistem yang telah rusak.


2. Nilai kerusakan suatu ekosistem terumbu karang ekuivalen dengan biaya
pembuatan terumbu karang buatan.
3. Nilai hutan mangrove sebagai tempat pemijahan benur ekuivalen dengan biaya
pembuatan tempat pemijahan.

(j) Metoda Kontingen (Contingen Valuation Method)

a. Adalah salah satu metoda valuasi melalui survey langsung mengenai penilaian responden
secara individual dengan cara menanyakan kesediaan untuk membayar (willingness to
pay) terhadap suatu komoditi lingkungan atau terhadap suaru sumber daya yang non
marketable. N ndikatakan contingent, karena pada kondisi tersebut responden seolah-olah
dihadapkan pada pasar yang sesungguhnya dimana sedang terjadi transaksi.
b. Metoda ini selain dapat digunakan untuk mengkuantifikasi nilai pilihan, nilai eksistensi
dan nilai pewarisan juga dapat digunakan untuk menilai penurunan kualitas.
c. Ada 4 macam tipe pertanyaan, yaitu (1) Direct Question Method disebut juga pertanyaan
terbuka, (2) Bidding Game, (3) Payment Card, (4) Take it or leave it.
d. Ada lima macam (sumber) bias yang perlu diwaspadai, yaitu (1) strategic bias,
(2) starting point bias, (3) hyphotetical bias, (4) sampling bias. (5) commodity
specification bias.
e. Prosedur Pelaksanaan Survei CVM terdiri dari 10 tahap, yaitu:
1. Identifikasi issu atau dampak lingkungan yang akan dinilai
2. Identifikasi populasi yang terkena dampak atau yang memanfaatkan sumberdaya

tersebut atau yang mengerti betul.


3. Tetapkan prosedur survey, kapan dan dimana
4. Tentukan cara sampling dan pemilihan sample.
5. Disain kuisioner meliputi jenis dan isi pertanyaan.
6. Melakukan pelatihan terhadap surveyor mengenai tata cara survey.
7. Lakukan uji pendahuluan kuisioner (pretes) untuk meminimalkan bias yang mungkin
terjadi
8. Pelaksanaan survey dan ekstraksi data
9. Pengolahan data
10. Penulisan laporan

Berikut ini contoh penerapan teknik kuantifikasi manfaat pada kawasan terumbu karang:

1. Pelindung pantai: Replacement cost untuk terumbu buatan atau pembuatan


breakwater pelindung pantai
2. Biodiversitas: Contingent valuation untuk mempertahankan habitat
3. Fishing ground: Change in Production atau Effect on productivity (EOP) terhadap

kegiatan perikanan tangkap.


4. Mariculture: Effect on productivity (EOP) terhadap kegiatan mariculture.
5. Tourism: Travel cost method (TCM) dari kegiatan wisata bahari.
6. Construction material dan sumber kapur: Surrogate goods (market proxy) dari
material konstruksi.
7. Research and education: Contingent valuation terhadap kepentingan penelitian dan

pendidikan
8. Genetic and drugs: Surrogate market dengan kemungkinan penemuan baru (probality
of discoveries)

3) Penilaian Alternatif Alokasi Pemanfaatan Lahan Pesisir

Penilaian alternatif alokasi pemanfaatan terumbu karang dengan menggunakan Cost-Benefit


Analysis (CBA), yang merupakan net present value dengan menghitung manfaat yang diperoleh
dari penggunaan terumbu karang, termasuk manfaat eksternalitas, dikurangi dengan biaya yang
dikeluarkan untuk memperoleh manfaat dari penggunaan terumbu karang, termasuk biaya
eksternalitas, dalam kurun waktu tertentu serta mempertimbangkan faktor diskonto (discount
rate).

5.1.6 Metode Valuasi Ekonomi di Provinsi Sulawesi Tenggara


Penilaian ekonomi dari seluruh manfaat suatu sumberdaya alam hutan mangrove
menggunakan pendekatan 3 tahap, yaitu:

1. Diidentifikasi manfaat dan fungsi-fungsi ekositem yang ada

2. Dikuantifikasi segenap manfaat dan fungsi ke dalam nilai uang

3. Dipilih dan dievaluasi kebijakan pemanfaatan sumberdaya


5.3 Pendekatan, Penilaian, dan Harga Pasar

5.1.7 Pendekatan, Penilaian, dan Harga Pasar di Provinsi Sumatera Utara

5.1.8 Pendekatan, Penilaian, dan Harga Pasar di Provinsi Nusa Tenggara Timur
Pengembangan Masyarakat Pesisir

Konsep pengembangan masyarakat pesisir merefleksikan karakteristik wilayah pesisir,


karakteristik masyarakat pesisir dan pengelolaan wilayah pesisir disatu pihak; dan konsep
pengembangan masyarakat secara umum. Jadi terjadi irisan (intersection) antara komponen-
komponen tersebut, sehingga secara spesifik dapat membedakan antara pengembangan
masyarakat petani atau masyarakat pedalaman lainnya.

Konsep pengembangan masyarakat (community development) merupakan konsepsi yang


dinamis, dimana pada awalnya masih sering dipertukarkan dengan istilah community work,
community organisation, community action, community practice maupun community change (Ife,
2002), dimana konsep pengembangan masyarakat juga dapat dipandang dari sisi proses
(Piterson, 1979), maupun pada sisi dinamika perubahan perubahan perencanaan (Wileden, 1970)
atau bahkan sebagai proses, metode, program atau gerakan (Sanders, 1958). Sejalan dengan
sejarahnya, maka pengembangan masyarakat juga mengalami evolusi pemahaman yang
dituangkan dalam konsepsi-konsepsinya, baik dalam hal proses maupun keterlibatan
kelembagaan.

Konsep PBB (1960) menyatakan pengembangan masyarakat adalah proses yang memfasilitasi
usaha yang dilakukan masyarakat sendiri dipadukan dengan kewenangan pemerintahnya untuk
meningkatkan kondisi ekonomi, sosial dan budaya masyarakat. Sementara Poston (1962)
membawa konsep perspektif internasional dan nasional yang luas menyangkut aktivitas populasi
yang besar untuk meningkatkan kesejahteraan. Seperti halnya pada konsepsi sebelumnya,
Brokensha dan Hidge (1968) menggaris bawahi adanya pergerakan yang terarah dan bersifat
partisipatif dengan inisiatif oleh masyarakat. Secara lebih tajam dan jelas tercermin dalam
konsep Cristenson dan Robinson (1980), bahwa dalam proses pengembangan masyarakat terjadi
kerjasama masyarakat dalam bingkai pembagian keputusan untuk membangun inisiatif bersama.
Pada fase berikutnya, keterlibatan masyarakat juga tetap disinggung (Twelvetrees, 1991).
Sementara untuk kasus di Indonesia, van Beers dan Colley (1972) dalam kepentingan
membangun persepsi tentang proses pengembangan masyarakat di Pulau Jawa, menekankan
adanya terminologi membantu diri sendiri (assisted self help). Dalam kerangka yang lebih
globaldan lebih kini Ife (2002) mengajukan pengertian bahwa pengembangan masyarakat adalah
suatu proses membangun atau membangun kembali struktur masyarakat dengan cara baru yang
lebih memungkinkan untuk mengubungkan, mengorganisasikan kehidupan sosial dan memenuhi
kebutuhan manusia.

Telaah konsepsi juga menunjukan secara historis terjadi perubahan keterlibatan kelembagaan
serta cakupan. Namun demikian, konsepsi-konsepsi tersebut menunjukan konsistensi pelibatan
proses dalam pengembangan masyarakat seperti kerterlibatan masyarakat (partisipasi),
kerjasama, proses/ kegiatan terencana serta aspek intervensi (sosial, ekonomi dan budaya) dan
tujuannya meningkatkan taraf hidup. Sehingga dalam konsepsi pengembangan masyarakat
dimanapun, terminologi tersebut harus menjadi bagian yang elementer. Seperti telah disebutkan
diawal, maka konsep pengembangan masyarakat pesisir juga harus merefleksikan konsep-konsep
besar tersebut. Secara umum, pengembangan masyarakat pesisir adalah proses partisipatif yang
terencana untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat pesisir.

Secara praktis, pihak yang dapat dan mampu untuk mengembangkan masyarakat pesisir terdiri
dari banyak pihak, baik pemerintah, lembaga masyarakat, perguruan tinggi atau perusahaan
(swasta). Oleh karena itu, dalam kaitan dengan pengetrian pengembangan masyarakat perlu
ditambahkan unsur pelaku yang jelas. Untuk mengakomodasikan kepentingan ini, maka
pengertian pengembangan masyarakat pesisir dapat dinyatakan sebagai :

upaya meningkatkan kualitas hidup masyarakat pesisir secarapartisipatif yang terencana

Berdasar pada pengertian ini, maka terdapat unsur-unsur pokok yang perlu dielaborasi lebih
lanjut. Unsur-unsur tersebut meliputi unsur partisipatif, terencana dan meningkatkan kualitas
hidup. Partisipatif dalam konsep ini mempersyaratkan bahwa sasaran program terlibat baik
dalam proses perencanaan sampai dengan evaluasi. Namun demikian, evaluasi yang melibatkan
masyarakat, dilakukan pada program dan komponen program yang telah direncanakan dan
disepakati oleh masyarakat.

Sementara itu, terencana, menunjukkan bahwa program pengembangan masyarakat adalah


kegiatan yang telah terencana sebelumnya, sehingga dapat menjamin keberlanjutan hasil
program. Sedangkan pengertian meningkatkan kualitas hidup masyarakat merupakan konsepsi
yang luas, yang idealnya mencakup pada seluruh aspek kehidupan masyarakat. Oleh karenanya
secara umum, pengembangan masyarakat pesisir mencakup kegiatan phisik dan non phisik,
dimana intervensi program pada masyarakat dapat dikelompokan menjadi infrastruktur (fisik dan
non fisik), pelayanan dan pengembangan kapasitas.

Prinsip-prinsip Pengembangan Masyarakat Pesisir

Secara teoritis, pendekatan program pengembangan masyarakat dikelompokan dalam dua


kelompok besar (Twelvetrees, 1991 dalam Suharto, 2005) yaitu profesional (tradisional, netral,
teknikal) dan radikal (transformasional). Kedua pendekatan tersebut mempunyai perspektif dan
tujuan yang berbeda. Pada pendekatan profesional perspektifnya adalah merawat,
mengorganisasikan dan membangun masyarakat dengan tujuan meningkatkan kesadaran dan
inisiatif masyarakat, serta memperbaiki pelayanan sosial pada kelas sosial yang ada. Sementara
pada pendekatan radikal lebih ditekankan pada aksi masyarakat, baik berdasar kelas, jender atau
ras untuk meningkatkan kesadaran, memecahkan masalah ketertindasan dan membangun strategi
dan kerjasama melakukan perubahan sosial. dan kelompok.

Secara konseptual, model pengembangan masyarakat juga dapat dikelompokan menjadi


pengembangan masyarakat lokal, perencanaan sosial dan aksi sosial (Rothman,
1968 dalam Suharto, 1997), dimana masing-masing model mempunyai indikator dan tujuan yang
berbeda pada setiap parameternya. Namun pada prakteknya, ketiga model tersebut saling
berinteraksi satu sama lain di lapangan.

Meski, secara de jure sumberdaya di wilayah pesisir tergolong controlled access, pada
kenyataannya secara de facto sebagian sumberdaya yang berada di wilayah pesisir bersifat
terbuka atau dapat dimanfaatkan oleh siapapun (open access resources), sehingga
pemanfaatannya seringkali menimbulkan konflik. Peningkatan jumlah pemanfaat sumberdaya
(user) dan semakin terbatasnya sumberdaya dapat menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat
pesisir sebagai pengguna sumberdaya tersebut. Pengaturan kuantitas pemanfaatan sumberdaya
agar dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan seringkali tidak berhasil akibat sulitnya mengatur
pengguna sumberdaya yang bersifat open access. Berdasarkan uraian tersebut, program
pengembangan masyarakat harus didukung oleh pembentukan kelembagaan yang mampu
mengatur pemanfaatan sumberdaya. Kelembagaan yang dimaksud tidak harus kelembagaan
baru, tetapi dapat menggali dan menghidupkan kembali kelembagaan lokal (local wisdom) yang
pernah ada dalam mengatur pemanfaatan sumberdaya pesisir.

Sumberdaya pesisir, terutama sumberdaya hayati perairan, merupakan sumberdaya yang dinamis
dalam ruang dan waktu. Ini berarti ketersediaan sumberdaya hayati pesisir bersifat musiman
karena proses rekruitmen dan migrasi. Proses rekruitmen pada berbagai jenis sumberdaya hayati
pesisir yang berbeda waktu menyebabkan masyarakat pesisir harus menyediakan teknik
pemanfaatan sumberdaya yang berbeda antar waktu. Migrasi sumberdaya hayati pesisir
menyebabkan keterbatasan ketersediaan sumberdaya pada tempat dan kurun waktu tertentu serta
keterbatasan jangkauan pengelolaan sumberdaya. Sifat sumberdaya pesisir sebagaimana yang
telah diuraikan tersebut mengakibatkan resiko yang relatif tinggi harus dihadapi masyarakat
pesisir dalam pemenuhan kebutuhannya.

Struktur masyarakat pesisir seringkali terkait dengan penguasaan modal sehingga hampir seluruh
kegiatan masyarakat pesisir dikendalikan oleh pemilik modal, baik secara langsung maupun
tidak langsung. Pola hubungan masyarakat pesisir seperti ini terlihat dalam bentuk
hubungan patron klienyang umumnya mengikat sangat kuat sehingga intervensi program
pemberdayaan masyarakat harus menyentuh kedua lapisan masyarakat pesisir tersebut. Selain
sebagai penguasa modal, lapisan masyarakat atas (patron) juga berperan sebagai penanggung
resiko (risk taker) dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir. Kegagalan usaha pemanfaatan
sumberdaya hayati pesisir ditanggung oleh pemilik modal, walaupun kemudian dihitung dalam
bagi hasil secara tidak langsung pada usaha berikutnya.

Sifat sumberdaya pesisir dan pola hubungan masyarakat pesisir sebagaimana diuraikan di atas
telah membentuk kebiasaan cash and carrydalam masyarakat pesisir. Usaha pemanfaatan
sumberdaya yang dilakukan harus menghasilkan uang sedapat mungkin pada saat yang
bersamaan atau dalam tempo secepat mungkin. Tidaklah mengherankan bila di beberapa daerah
pesisir terdapat kegagalan dalam program pengalihan mata pencaharian berbasis budidaya karena
mengharuskan waktu tunggu yang cukup lama. Namun demikian, kegiatan pengolahan
sumberdaya primer seperti pengolahan ikan menjadi ikan kering dan pengolahan kelapa menjadi
kopra, mampu menghasilkan uang dalam waktu relatif cepat sehingga menjadi harapan alternatif
mata pencaharian bagi masyarakat pesisir.

Ife (2002) mengembangkan prinsip-prinsip dasar pengembangan masyarakat secara umum yang
meliputi domain yang sangat luas, dimana prinsip-prinsip tersebut asar dapat dikelompokan
menjadi prinsip ekologis, keadilan sosial, unsur lokal, memperhatikan proses dan sesuai dengan
prinsip nasional dan global.

Secara mendasar, pengembangan masyarakat pesisir harus memenuhi kriteria-kriteria umum


yang menyentuh aspek :

1. Filosofis : menyentuh prinsip-prinsip dasar pengembangan masyarakat (ekololgis,


keadilan sosial, memasukan unsur lokal, memperhatikan proses sesuai dengan prinsip
lokal (nasional) dan global).
2. Yuiridis : sesuai dengan regulasi yang ada
3. Sosiologis : dapat diterima oleh masyarakat dan tidak menimbulkan gejolak.

Berdasarkan kerangka pemikiran kriteria umum diatas serta adanya rujukan prinsip dasar yang
dikembangkan oleh Ife (2002), maka pengembangan masyarakat pesisir dilakukan dengan
mengacu pada prinsip-prinsip sebagai berikut :

1. Partisipatif; menjamin agar masyarakat pesisir mempunyai peran serta baik pada
tahap perencanaan, pengorganisasian, maupun pengawasan/ pengendalian dalam
pelaksanaan program.
2. Berkelanjutan : menjamin kelangsungan aktivitas dari pengembangan masyarakat

dengan mempertimbangkan nilai lokal dan daya dukung sosial, sumberdaya dan
lingkungan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat secara gradual.
3. Kontinuitas: program pengembangan masyarakat pesisir bersifatterencana dan terus
menerus serta saling terkait antar periode waktu pelaksanaan (multi years).
4. Akuntabilitas; pengembangan masyarakat pesisir dilakukan secara terbuka dan dapat
dipertanggung jawabkan baik secara substansi keilmuan maupun dan mekanisme
administrasi.
5. Keterpaduan dan kemitraan; mensinergikan program pengembangan masyarakat
dengan program-program yang dikembangkan pemerintah maupun lembaga
masyarakat lainnya yang sejalan dengan misi pengembangan masyarakat pesisir.
6. Holistik : meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat pesisir (ekologis, sosial,

ekonomi dan budaya).


7. Pemberdayaan : adalah mendukung masyarakat pesisir untuk mendapatkan

sumberdaya, kesempatan, ekspresi, pengetahuan dan keterampilan untuk


meningkatkan kapasitasnya agar mampu menentukan masa depannya dan dapat
berpengaruh pada kehidupan masyarakatnya.
8. Kepastian hukum; program pengembangan masyarakat pesisir tidak bertentangan

dengan hukum yang berlaku.

5.1.9 Pendekatan, Penilaian, dan Harga Pasar di Provinsi Sulawesi Tenggara


Dari ketiga metode penelitian, uraian masing-masing dilakukan dengan pendekatan sebagai
berikut:

1. Identifikasi manfaat dan fungsi-fungsi ekosistem

Langkah awal dari tahap ini adalah mengidentifikasi segenap manfaat dan fungsi dari
ekosistem di daerah penelitian meliputi:

a. Manfaat langsung, misalnya penangkapan ikan, pertanian, kayu se.bagai bahan bakar baik
secara komersial maupun non-komersial

b. Manfaat tidak langsung, misalnya fungsi venahan abrasi dari ekosistem hutan mangrove,
manfaat daerah pemijahan dari ekosistem.

c. Manfaat pilihan, misalnya biodiversity (keanekaragaman hayati)

d. Manfaat keberadaan, yaitu nilai ekonomis keberadaan (fisik) dari ekosistem hutan
mangrove.
2. Kuantifikasi segenap manfaat dari fungsi ekosistem

Setelah segenap manfaat dan fungsi ekosistem berhasil diteiti, maka selanjutnya adalah
mengkuantifikasi manfaat dan fungsi tersebut ke dalam nilai rupiah. Beberapa tekik
kuantifikasi yang idunakan dalam venelitian ini adalah:

a. Nilai pasar, pendekatan ini digunakan untuk komoditas-komoditas yang langsung dapat
diperdagangkan dari ekosistem hutan mangrove.

b. Harga tidak langsung, pendekatan ini digunakan apabila mekanisme pasar gagal
memberikan nilai pada komoditas ekosistem hutan mengrove.

c. Contingent Value Method, pendekatan ini digunakan untuk mengkuantifikasi manfaat


keberadaan dari ekosistem hutan mangrove.

3. Evaluasi kebijakan pemanfaatan ekosistem

Setelah penilaian ekonomi hutan mangrove dilakukan, maka perlunya menganalisis suatu
proyek dari segi ekonomi yaitu dengan menggunakan metode Analisis Biaya Manfaat.

Pada analisis finansial harga yang dipakai adalah harga pasar. Harga ini sudah
memperhitungkan pajak dan subsidi.
6 BAB VI
SISTEM KELEMBAGAAN DAN IDENTIFIKASI VARIABEL-
VARIABEL KONFLIK

6.1 Sistem Kelembagaan


Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah yang telah disempurnakan
melalui UU No. 32 tahun 2004 merupakan salah satu kekuatan kelembagaan dalam usaha
pengembangan wilayah provinsi, dimana daerah memiliki kewenangan yang lebih besar dalam
mengurusi wilayahnya sendiri. Disamping itu dengan adanya komitmen instansi terkait
(Bappeda, Dinas Perikanan & Kelautan, Tanjung Balai Asahan yang berada di Kawasan Pantai
Timur Sumatera Utara 13 Kehutanan, Kimpraswil, Bapedalda, Pariwisata, Perindustrian,
Perguruan Tinggi) serta dukungan dari masyarakat pesisir dalam melaksanakan pengembangan
di wilayah pesisir, merupakan kekuatan yang dapat diandalkan, baik di tingkat provinsi maupun
di tingkat Kabupaten/Kota.
Sehubungan dengan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut di Provinsi Sumatera Utara
telah terdapat bentuk-bentuk hukum dan peraturan yang mendukung yaitu dalam bentuk
Undang-undang, Keputusan Presiden, Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri, Peraturan
Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Di wilayah pesisir juga terdapat kelembagaan yang mengelola sumberdaya pesisir dan
lautan (diluar lembaga pemerintahan) yaitu: Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Lembaga
Profesi (HNSI, MPN, Asosiasi Nelayan, Kelompok Nelayan, Kelompok Pembudidaya),
Koperasi, Tangkahan (TPI Swasta), dan sebagainya.
Beberapa kelemahan dalam kelembagaanpengelolaan sumberdaya pesisir dan laut antara
lain:
Pembangunan wilayah pesisir belum menjadi prioritas bagi lembaga pemerintahan dan
LSM sehingga pembangunan wilayah pesisir masih tertinggal dibanding wilayah lain
Kurangnya koordinasi dari instansi terkait dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut
(masih belum ada keterpaduan)
Masih lemahnya pemahaman tentang hukum Lingkungan, baik di tingkat aparatur
maupun masyarakat.
Pengusulan program pengelolaan pesisir masih ego-sektoral.
Koordinasi dan pengawasan dalam penerbitan kegiatan perikanan belum berjalan
dengan baik.
Mekanisme perencanaan belum dilaksanakan secara bottom-up.
Sistem pembinaan profesi masyarakat pesisir belum tepat.
Data yang ditampilkan oleh instansi terkait sehubungan dengan sumberdaya pesisir
belum akurat.

Menurut Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Nomor 10 Tahun 2005 Tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Laut Provinsi Sulawesi Tenggara, Sistem Kelembagaan sebagai
berikut:

1. Dewan Pengelola Pesisir dan Laut

Dewan Pengelola Pesisir dan Laut Provinsi berkedudukan sebagai lembaga ad-hocyang
bertanggung jawab kepada Gubernur.

Dan Pengelola Pesisir dan Laut bertugas memadukan, merekomendasikan,memfasilitasi


dan mengkoordinasikan pengelolaan wilayah pesisir dan laut;

Dewan Pengelola Pesisir dan Laut Provinsi dibentuk dengan Keputusan Gubernur.

2. Keanggotaan dan Susunan Organisasi

Anggota Dewan Pengelola Pesisir dan Laut terdiri atas :

a. Unsur Pemerintah;

b. Perguruan Tinggi;

c. Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama dan Tokoh Adat;

d. Organisasi non Pemerintah;

e. Himpunan Nelayan dan pemangku kepentingan lainnya;


Susunan oraganisasi Dewan Pengelola Pesisir dan Laut Provinsi terdiri dari :

a. Ketua;

b. Wakil Ketua;

c. Sekretaris merangkap anggota;

d. Anggota-anggota.

Untuk kelancaran tugas-tugas Dewan Pengelola Pesisir dan Laut Provinsi dapat
dibentukSekretariat Dewan Pengelola.

6.2 Identifikasi Variabel-Variabel Konflik


Kegiatan pembangunan wilayah pesisir dapat mempengaruhi ekologi wilayah pesisir serta
fungsi dan proses dari pesisir dan laut serta sumberdayanya. Pembangunan industri di wilayah
pesisir dapat menurunkan produktivitas lahan basah dengan menambahkan pencemar seperti
logam berat, serta mengubah pola sirkulasi air dan suhu. Kegiatan akuakultur seringkali
mengalih-fungsikan mangrove menjadi tambak, menyebabkan terganggunya fungsi dan proses
yang ada di sistem mangrove, seperti fungsi daerah penyangga bagi badai pesisir dan abrasi,
serta sebagai nursery bagi banyak hidupan yang laut yang ekonomis.
Konflik yang sering terjadi di wilayah pesisir dan berkaitan dengan sumberdayanya dapat
diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu:
Konflik di antara pengguna yang mengenai pemanfaatan daerah pesisir dan laut tertentu
Konflik di antara lembaga pemerintah yang melaksanakan program yang berkaitan
dengan pesisir dan laut

Konflik antar pengguna melingkup:


Kompetisi terhadap ruang dan sumberdaya pesisir dan laut
Dampak negatif dari suatu kegiatan pemanfaatan terhadap kegiatan yang lain
Dampak negatif terhadap ekosistem.
Konflik antar lembaga sering kali disebabkan oleh ketidak jelasan mandat hukum dan
misi yang berbeda, perbedaan kapasitas, perbedaan pendukung atau konstituensi, serta
kurangnya komunikasi dan informasi.
7 BAB VII
MONITORING DAN EVALUASI PENGELOLAAN SUMBER DAYA
LAUT DAN PESISIR

7.1. Monitoring Pengelolaan


Penelitian dan analisa ilmiah yang terus-menerus diperlukan untuk memonitor serta
mengawasi keberadaan dan kualitas sumberdaya pesisir dan laut, sebagaimana dicantumkan
dalam Principle 15 Deklarasi Rio: "Pada saat terjadi ancaman kerusakan yang serius atau tak
terpulihkan, kurangnya penelitian ilmiah tidak dapat menjadi alasan untuk menunda penerapan
ukuran dan standard dalam pencegahan kerusakan lingkungan".

7.2. Evaluasi Pengelolaan


Evaluasi perlu dilakukan terhadap data hasil pemantauan berjalannya pengembangan
kawasan. Disamping indikator yang dijadikan acuan untuk mengevaluasi, maka ukuran tingkat
keberhasilan dan kegagalan implementasi dapat juga didasarkan pada:
Berjalannya pola kebijakan yang diterapkan, kesesuaian dengan kebutuuhan pengelolaan
kawasan;
Teradopsinya renstra pengembangan kawasan oleh Kabupaten/Kota yang berada di
kawasan Pesisir Pantai Timur dan PantaiBarat Provinsi Sumatera Utara;
Peran serta masyarakat dalam pengelolaan kawasan semakin meningkat yang diikuti oleh
terjadinya peningkatan kesejahteraan;
Menekankan pendekatan rasional untuk penegakan hukum dalam kerangka peraturan
perundang-undangan yang ada;
Insentif yang besar untuk memacu keterlibatan dunia usaha dalam pengembangan
kawasan;
Meningkatkan kemampuan Kabupaten/Kota yang berada di kawasan Pesisir Pantai Timur
dan Pantai Barat Provinsi Sumatera Utara untuk mengambil keputusan yang berdasar
pada informasi yang benar, meningkatkan penerimaan dan melakukan aktivitas
pemantauan dan penegakan hukum;
Menanggapi kebutuhan masyarakat setempat dengan mempertimbangkan aspirasi
masyarakat dalam proses pengelolaan terpadu pengembangan kawasan sebagai kawasan
industri perikanan, industri wisata bahari dan industri non-perikanan terpadu;
Agar renstra yang telah ditetapkan dapat mengikuti berbagai perubahan kebijakan dn isu-
isu yang berkembang, serta kondisi sosial, politik dan ekonomi, maka perlu dilakukan
tinjauan secara berkala. Tinjauan secara berkala ini dapat dilakukan setiap tahun, lima
tahun dan secara periodik.

Evaluasi dilakukan terhadap segenap masukan dan hasil pengamatan yang dilakukan
selama proses monitoring berlangsung. Evaluasi dilakukan secara terpadu dengan melibatkan
masyarakat dan stakeholder lainnya. Melalui proses evaluasi, maka dapat diketahui kelemahan
dan kelebihan dari system pengelolaan guna perbaikan system dimasa depan.
Jadi dapat disimpulkan bahwa pengelolaan yang berbasis masyarakat adalah suatu system
pengelolaan sumberdaya alam dimana masyarakat lokal terlibat secara aktif dalam proses
pengelolaan sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya. Pengelolaan disini meliputi
berbagai dimensi seperti perencanaan, pelaksanaan, serta pemanfaatan hasil-hasilnya.
Contoh kegiatan pengelolaan terumbu karang yang berbasis masyarakat :

Program DPL-BM, DPL-BM merupakan program dengan kegiatan utama memberikan


wawasan kepada masyarakat dan menanamkan kepedulian untuk bersama-sama menjaga
ekosistem pesisir yang ada disekitarnya yang dijadikan DPL-BM. Dengan program DPL-
BM, masyarakat akan dirangsang untuk mengembangkan kearifan lokal, peningkatan rasa
memiliki terhadap ekosistem terumbu karang sehingga akan berkembangnya metode
penangkapan yang ramah lingkungan dan lestari. Selain itu, akan berkembang pula mata
pencaharian alternatif selain penangkapan seiring berkembangnya wawasan masyarakat
pesisir.
DPL-BM merupakan program konservasi laut yang berda/sarkan aspirasi masyarakat,
dilaksanakan oleh masyarakat dan untuk kesejahteraan masyarakat. Program ini melibatkan
masyarakat sekitar sebagai pengawas yang akan terus menjalankan program dalam menjaga
kelestarian ekosistem terumbu karang. Pakar terumbu karang asal Amerika Serikat (AS), Dr
Knowlton mengatakan bahwa salah satu cara melestarikan terumbu karang yang patut
dipertimbangkan ialah membuat sebanyak-banyaknya Daerah Perlindungan Laut (Marine
Protected Area) seperti Taman Nasional Laut, Cagar Alam Laut, dan Suaka Margasatwa
Laut. Sebab, terumbu karang merupakan biota yang dapat memperbaiki dirinya sendiri
setelah kerusakan, namun perlu didukung dengan strategi pemulihannya.
8 BAB VIII
ANALISIS PENGELOLAAN SUMBER DAYA LAUT DAN PESISIR
DAN AMDAL

8.1. Analisis Pengelolaan

8.1.1 Analisis Pengelolaan di Sumatera Utara

8.1.2 Analisis Pengelolaan Terumbu Karang di Nusa Tenggara Timur

8.1.3 Analisis Pengelolaan Hutan Mangrove di Sulawesi Tenggara

8.2. Analisis Teknik AMDAL


Kualitas dokumen AMDAL dapat dinilai dari:
a. Kesempurnaan dokumennya dengan memenuhi kriteria sebagai berikut:
1) Kelengkapan dan kesempurnaan, konsistensi daftar isi dan isi, halaman bab dan sub
babnya dengan Pedoman Penyusunan Dokumen AMDAL yang ditetapkan
Pemerintah yaitu Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan No. 9
Tahun 2000 yang telah diperbaharui dengan Peraturan Menteri Negara Lingkungan
Hidup No. 8 Tahun 2006.
2) Kelengkapan pemberian sumber atau asal dan tahun pada data yang diambil,
terutama untuk seluruh tabel yang ada dalam AMDAL. Di samping itu judul tabel
juga harus lengkap, jelas dan tidak terlalu panjang.
3) 3)Kelengkapan pada setiap peta termasuk keterangan yang diperlukan seperti skala,
simbol, legenda, keterangan pembuat peta dan judul peta.
4) 4)Kelengkapan daftar pustaka yang terdiri atas, catatan nama pengarang, tahun, judul
buku, penerbit dan kota di mana buku itu diterbitkan.
5) 5)Kelengkapan dan konsistensi laporan atau dokumen AMDAL dari halaman depan
hingga akhir yaitu spasi, awal kalimat pada alinea, jarak tepi, huruf pada judul dan
sub judul.
6) 6)Ketepatan dalam penggunaan Bahasa Indonesia yang benar. Penggunaan bahasa
asing dapat dilakukan hanya apabila terpaksa saja atau hanya untuk istilah-istilah
teknis. Sementara itu penggunaan nama-nama latin terhadap flora, fauna, mikrobia,
plankton dan benthos sejauh mungkin dilengkapi dengan nama daerah. Tata cara
menulis nama Latin harus benar sesuai
7) dengan tata nama (nomenklatur) yang benar.

b. Substansi Dokumen AMDAL memenuhi kriteria antara lain:


1) Penetapan Dampak Penting Hipotetik.
2) Mengacu kepada Pedoman atau Petunjuk Teknis yang tepat sesuai dengan jenis
usaha/kegiatan yang direncanakan seperti:
(a) Untuk jenis usaha/kegiatan di bidang Pertambangan dan Energi mengacu pada
Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor:
1457.K/28/MEM/2000 tanggal 3 Nopember 2000 tentang Pedoman Teknis
Pengelolaan Lingkungan di Bidang Pertambangan dan Energi.
(b) Untuk jenis usaha/kegiatan Pembangunan Pelabuhan mengacu pada Keputusan
Menteri Perhubungan Nomor: KM.75 tahun 1994 tanggal 4 Nopember 1994
tentang Pedoman Teknis Penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Kepelabuhanan, dll.
3) Ketepatan dalam memilih metoda AMDAL. Metoda AMDAL sangat banyak
jumlahnya, metoda yang ada terus dikembangkan dengan tujuan untuk mencapai
suatu strategi pengelolaan lingkungan yang berkesinambungan (Cherp, et al, 2004).
Apabila tidak memperhitungkan aspek biaya, tenaga dan waktu, maka metoda yang
paling sesuai untuk berbagai proyek dalam berbagai lingkungan adalah sebagai
berikut:
1. Ekosistem Hutan (alam): Metoda Leopold, Leopold Dimodifikasi, Battelle,
Overlay.
2. Tepi Sungai: Metoda Sorenson, Leopold Dimodifikasi.
3. Perkotaan: Metoda Fisher & Davies, Moore, Battelle.
4. Danau alam: Metoda Leopold, Leopold Dimodifikasi, Sorenson.
5. Waduk/Dam: Metoda Fisher & Davies, Moore, Sorenson, Battelle.
6. Pesisir (alam): Metoda Leopold, Leopold Dimodifikasi, Sorenson.
7. Daerah pedesaan: Metoda Moore, Battelle, Fisher & Davies.
8. Pantai: Fisher & Davies, Moore, Sorenson, Battelle, Overlay.
9. Persawahan: Fisher & Davies, Moore, Sorenson, Battelle
10. Perkebunan: Fisher & Davies, Overlay, Leopold, Leopold
4) Kesesuaian pengelolaan lingkungan hidup meliputi:
(a) upaya pencegahan dan penanggulangan dampak negatif dengan efisien dari segi dana
dan efektif dalam menurunkan zat-zat pencemaran dalam air dan udara.
(b) kesesuaian instansi pelaksana, penanggung jawab dan instansi terkait.
5) Kesesuaian pemantauan lingkungan hidup meliputi:
a. penentuan lokasi, waktu, periode pemantauan.
b. kesesuaian dalam memilih cara, peralatan dan analisis dalam pemantauan.
c. kesesuaian dalam menentukan instansi pelaksana, penanggung jawab dan instansi
yang terkait untuk memanfaatkan hasil pemantauan (Fandeli, 2007).
9 BAB XI
KESIMPULAN DAN SARAN

9.1. Kesimpulan

9.2. Saran-Saran
DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Nomor 10 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir Dan Laut Provinsi Sulawesi Tenggara

Hamdani, journal unair 2015


http://journal.unair.ac.id/filerPDF/Hamdani%20Harahap_Pengembangan%20Kapasitas
%20edited%20dessy%20mita%20_tyas_.pdf Diakses pada April 2015
Kebijakan pengelolaan kawasan pesisir dan laut
http://id-text.123doc.org/document/23974-kebijakan-pengelolaan-kawasan-pesisir-dan-laut.html
Dikses pada April 2015
http://dhini.student.umm.ac.id/2011/08/04/kerusakan-terumbu-karang-di-indonesia/

http://www.seruu.com/indonesiana/flora-a-fauna/artikel/kerusakan-terumbu-karang-di-ntt-
semakin-memprihatinkan

http://www.antaranews.com/berita/268728/kondisi-terumbu-karang-ntt-memprihatinkan

http://id.wikipedia.org/wiki/Terumbu_karang#Terumbu_atau_Reef

http://atanitokyo.blogspot.com/2009/01/pembahasan-restorasi-terumbu-karang-di.html. 10
September 2009

https://arielaut.wordpress.com/2011/03/03/pengelolaan-ekosistem-terumbu-karang/
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Peta Lokasi Studi Kasus

Foto-Foto Dokumentasi Lapangan

1. Penambangan pasir di provinsi Sumatera Utara

Sumber: Nasional.republika.co.id
Sumber: Nasional.republika.co.id

2. Terumbu Karang provinsi Nusa Tenggara Timur

Sumber: www.griyawisata.com

Antaranews.com

3. Hutan Mangrove di provinsi Sulawesi tenggara


Tugulangsa.com

Anda mungkin juga menyukai