Anda di halaman 1dari 2

Love-Hate Relationship dan Kepatuhan Wajib Pajak

Apakah Anda sering menonton FTV atau drama Korea? Biasanya cerita dimulai
dengan sepasang muda-mudi yang bertemu tidak sengaja dan saling membenci karena suatu
hal, namun diam-diam memendam rasa suka. Benci dan cinta silih berganti mendatangi
muda-mudi tokoh utama, memainkan emosi pemirsa yang sedih namun ketagihan, yang
senang dan pasti nambah lagi, untuk terus mengikuti kisah love-hate relationship tokoh utama
tersebut. Love-hate relationship menjadi formula yang cukup ampuh bagi para sineas untuk
menarik penonton mengikuti kelanjutan drama tersebut. Hubungan antara wajib pajak dan
otoritas pajak dalam kaitannya dengan kepatuhan wajib pajak juga dapat digambarkan seperti
love-hate relationship.
Slippery Slope Framework Kirchler et all (2008) mengungkapkan bahwa terdapat dua
macam kepatuhan wajib pajak, yaitu enforced compliance dan voluntary compliance.
Enforced compliance adalah kepatuhan wajib pajak yang dipengaruhi oleh paksaan yang
dilakukan oleh otoritas pajak melalui berbagai medium seperti pemeriksaan, denda, dan tarif
pajak. Sedangkan voluntary compliance adalah kepatuhan wajib pajak yang dipengaruhi oleh
unsur-unsur subjektif, seperti tingkat kepercayaan kepada pemerintah atau otoritas, norma
sosial, dan sebagainya. Jika voluntary compliance kita ibaratkan sebagai love, dan enforced
compliance sebagai hate, jenis kepatuhan manakah yang lebih baik untuk diterapkan?
Bagaimana jika menggabungkan keduanya?
Otoritas pajak dapat menggunakan kekuasaannya untuk memaksa (enforced) wajib
pajak agar dapat patuh terhadap ketentuan perpajakan yang berlaku, seperti melalui
pemeriksaan, penagihan, dan penuntutan. Otoritas pajak juga dapat meningkatkan kepatuhan
wajib pajak dengan menaikkan denda apabila wajib pajak terbukti tidak mematuhi ketentuan
perpajakan. Namun, apabila otoritas pajak memilih enforced compliance sebagai jalan satu-
satunya untuk meningkatkan kepatuhan, maka tidak menutup kemungkinan bahwa
kepercayaan wajib pajak akan menurun. Otoritas dianggap memiliki rasa curiga yang
berlebihan terhadap wajib pajak yang patuh, sementara masih banyak wajib pajak yang tidak
patuh belum terdeteksi oleh otoritas pajak. Hal tersebut dapat diibaratkan sebagai seorang
lelaki yang posesif, yang terus mengawasi kekasihnya kemanapun ia pergi. Bisa saja dalam
titik tertentu, sang kekasih akan melawan dan memilih untuk mengakhiri hubungan mereka.
Otoritas juga dapat menggunakan cara yang lebih lunak untuk meningkatkan
kepatuhan wajib pajak. Dalam hal ini, yang perlu dilakukan otoritas adalah meningkatkan trust
wajib pajak kepada pemerintah, seperti dengan memberikan pelayanan prima, kepastian
hukum, perencanaan dan pelaksanaan anggaran yang kredibel dan tata kelola pemerintahan
yang transparan serta anti korupsi. Hal-hal positif tersebut akan mendorong wajib pajak untuk
mematuhi ketentuan perpajakan dengan sukarela (voluntary) karena merasa pajak yang
mereka bayarkan telah dikelola dengan baik oleh pemerintah. Namun, kepatuhan sukarela
tersebut dapat menurun apabila pemerintah ternyata tidak menjalankan tata kelola
pemerintahan dengan baik, seperti korupsi anggaran. Selain itu, kerumitan perundang-
undangan perpajakan yang sulit dipahami oleh Wajib Pajak juga mampu menurunkan
kepatuhan sukarela wajib pajak. Hal ini dapat diibaratkan sebagai sepasang kekasih yang
saling mencintai dan mempercayai pasangannya, tiba-tiba satu diantara mereka
mengkhianati kepercayaan tersebut dengan melakukan perselingkuhan, atau diam-diam
menemui mantan yang ternyata masih menyimpan rasa.
Lalu, bagaimana jika enforced compliance dan voluntary compliance dijalankan secara
bersamaan dan proporsional? Kita bisa mengambil contoh compliance model yang dimiliki
oleh Australian Taxation Office. Model tersebut menjelaskan tingkatan tindakan yang harus
dilakukan oleh otoritas pajak secara proporsional sesuai dengan tingkat kepatuhan wajib
pajak. Apabila wajib pajak memiliki komitmen yang kuat untuk memenuhi kewajiban
perpajakannya, maka otoritas pajak cukup menindak wajib pajak tersebut dengan
memberikan edukasi yang baik, pelayanan prima dan kemudahan lain sebagai bentuk
apresiasi otoritas pajak terhadap wajib pajak (make compliance easy). Sebaliknya, apabila
wajib pajak memilih untuk tidak mematuhi ketentuan perpajakan maka yang dilakukan otoritas
perpajakan adalah penindakan hukum sepenuhnya (use full force of the law). Model
kepatuhan ini merupakan contoh love-hate relationship yang baik, dimana hal tersebut dapat
diibaratkan sebagai sepasang kekasih yang berkomitmen untuk saling percaya. Apabila
melanggar komitmen tersebut, maka pasangan tersebut harus menerima konsekuensi sesuai
dengan proporsinya

Gambar 1 Australian Tax Office Compliance Model

Enforced compliance dan voluntary compliance seyogyanya dijalankan beriringan dan


proporsional, tidak saling melemahkan namun saling menguatkan. Dengan mengetahui tax
behaviour dari wajib pajak dan cara penanganannya, maka Direktorat Jenderal Pajak sebagai
otoritas pajak di Indonesia diharapkan mampu memberikan pelayanan yang prima bagi wajib
pajak yang patuh dan melakukan penegakan hukum yang konsisten bagi wajib pajak yang
memilih untuk tidak patuh, sehingga love-hate relationship antara wajib pajak dan otoritas
pajak dapat berakhir bahagia, sepertinya halnya cerita di FTV atau drama Korea.

-o0o-

Anda mungkin juga menyukai