Anda di halaman 1dari 3

5 Tantangan Ketahanan Pangan. ?

Memasuki 2011 ini, kelihatan nya ada hal yang menarik untuk dijadikan pencermatan kita
bersama : mengapa ketahanan pangan harus berujung di tingkat rumah tangga dan tidak di
tingkat individu ? Lantas, kenapa Pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu Jilid 2 menetapkan
Ketahanan Pangan dalam skala prioritas nomor 4 guna menjawab masalah-masalah mendasar
pembangunan pangan, dan kenapa pula yang nama nya Dewan Ketahanan Pangan (DKP) perlu
memiliki "kharisma" dalam format pembangunan yang sedang kita lakoni ? Selain itu, kenapa
pula Undang Undang No 7/1996 tentang Pangan dan Peraturan Pemerintah No 68/2002 tentang
Ketahanan Pangan menyatakan bahwa Ketahanan Pangan itu merupakan sebuah sistem yang
utuh, komprehensif dan holistik, mulai dari ketersediaan, distribusi/pasar dan konsumsi ?

Sedikit nya ada lima hal yang pantas kita jadikan landasan berpikir kita dalam mencari solusi
yang tengah kita hadapi saat ini. Pertama, suka atau pun tidak, persepsi masyarakat terhadap
Ketahanan Pangan, rupa nya masih belum sesuai dengan yang kita harapkan. Masyarakat belum
sepenuh nya menyadari akan penting nya Ketahanan Pangan dalam kehidupan keseharian nya.
"Networking thinking" diantara Pemerintahan, dunia usaha dan masyarakat belum terbangun
secara sistemik. Masing-masing pihak memiliki pandangan yang berlainan dan belum
menggumpal menjadi kesatuan berpikir. Apa yang dipikirkan oleh para perencana pembangunan
tentang ketahanan pangan, rupa nya belum "nyekrup" dengan apa-apa yang dipikirkan kalangan
dunia usaha mau pun masyarakat luas. Bahkan di kalangan Pemerintahan sendiri terkadang
muncul perdebatan yang cenderung bersifat kekanak-kanakan ("sindrom infantilis") diantara
sesama aparat Pemerintah atau pun kalangan Wakil Rakyat.

Apa yang dibewarakan Pemerintah belum tentu senafas dengan cara pandang para anggota
DPR/D. Akibat nya wajar jika di media massa sering kita baca "perbedaan" sikap terhadap
sebuah kebijakan yang digelindingkan. Kesamaan persepsi masih sulit diwujudkan. Yang satu ke
Timur, yang lain ke Barat, dinilai sebagai hal yang biasa. Begitu pula dengan "networking
finance" dan "networking institusion" nya. Penganggaran program yang dilakukan tetap terjebak
dalam pola ego sektor, sehingga sulit terwujud semangat sinergitas. Semangat merancang
anggaran berbasis pendekatan "tematik", tampak masih tampil sebagai sebuah cita-cita. Dalam
praktek nya tetap saja mengacu pada pola lama yang sifat nya "status quo". Perkuatan
kelembagaan yang terlibat di dalam pengembangan ketahanan pangan pun terlihat masih jauh
dari yang diidealkan, sebagai akibat dari lemah nya kapasitas kelembagaan dan SDM serta
kepemimpinan (leadeship). Semua menggumpal dan menjadi dilema yang tidak gampang untuk
diselesaikan.
Kedua, ada nya anomali iklim yang belum mampu dikendalikan secara cerdas. Sekalipun kita
sudah memiliki kelembagaan Dewan iklim, ketidak-jelasan cuaca dan musim yang dihadapi,
ditengarai akan mempengaruhi produksi pangan. Selain itu, dengan ada nya gagal panen
beberapa komoditi pangan, juga menyebabkan harga di pasaran melambung cukup tinggi. Harga
cabai yang mencapai Rp. 70.000,- per kilogram nya, memperlihatkan tentang dampak cuaca
ekstrim yang menyebabkan budi daya cabai mengalamai kegagalan panen. Di sisi lain, ternyata
asuransi pertanian belum terterapkan seperti yang diinginkan, sehingga jaminan resiko
usahatani pun menjadi sulit dimintakan pertanggungjawaban nya. Asuransi pertanian mesti nya
segera mendapat perhatian yang serius. Pemerintah penting untuk menjadikan asuransi pertanian
ini sebagai wujud nyata "keberpihakan" nya kepada para petani. Pengalaman meletus nya
Gunung Merapi yang memporak-porandakan kehidupan masyarakat, termasuk nasib petani,
sudah saat nya dijadikan cermin untuk berkaca, agar hal yang demikian tidak terulang kembali.
Jika hal ini terus berlanjut, maka ketahanan pangan pun akan terganggu.

Ketiga, karena resiko politik dari ditetapkan nya pangan, khusus nya beras sebagai komoditas
politIs dan strategis. Beras, memang merupakan bahan makanan utama masyatakat. Lebih dari
90 %, penduduk kita mengkonsumsi nasi sebagai makanan pokok nya. Dengan semakin
meningkat nya jumlah penduduk, tentu saja bakal membutuhkan tambahan bahan pangan. Lebih
parah lagi ternyata alih fungsi lahan pertanian produktif yang digunakan untuk inftastruktur,
kebutuhan industri dan kawasan perumahan/pemukiman, dalam lima tahun belakangan ini,
menunjukamn peningkatan yang cukup signifikan. Hadir nya UU No 41/2009 tentang
Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, diharapkan mampu memberi solusi atas
masalah yang sedang kita hadapi, khusus nya dari sisi regulasi.

Keempat, semakin meningkat nya permintaan masyarakat terhadap beras, menuntut kita untuk
semakin serius dalam pengelolaan pangan dari sisi konsumsi. Data terakhir masih menunjukan
bahwa konsumsi beras per kapita per tahun bangsa kita, masih tetap bertengger di angka 139,
padahal bangsa-bangsa lain sudah mampu menurunkan nya di bawah angka 100. Upaya
melakukan pengereman konsumsi beras, tidak boleh ditunda-tunda lagi. Penganekaragaman
menu makanan rakyat, perlu terus dIintensifkan. Terbit nya Peraturan Presiden No. 22/2009
tentang Percepatan Penganekaragaman Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal, dikandung
maksud agar semangat diversifikasi harus terus dilakukan. Kita harus mampu mengajak
masyarakat untuk mengurangi konsumsi terhadap beras dan mengganti nya dengan bahan
pangan lain, yang tak kalah rasa dan kandungan gizi nya dari beras. Kita harus tampil lebih
serius dalam mengembangkan teknologi pangan, khusus nya dalam menciptakan bahan pangan
non beras agar memiliki cita rasa, bentuk dan warna yang tidak terlalu beda dengan beras. "One
Day No Rice" adalah ikon yang harus dibuktikan secara lebih nyata dan tegas lagi di lapangan.
Sebab jika tidak, dimana kita tetap memegang prinsip "no day without rice", maka ketahanan
pangan pun tentu akan menjadi rapuh.
Kelima, terkait dengan masalah cadangan pangan (iron stock) Pemerintah yang dalam
beberapa bulan terakhir ini disebut-sebut cukup mengkhawatirkan. Cadangan Beras Pemerintah
(CBP) dinilai masih perlu untuk ditingkatkan. Apalagi setelah ada indikasi bahwa Pemerintah
seolah-olah tidak berdaya untuk "mengendalikan" harga gabah dan beras yang selama tahun
2010 rata-rata selalu berada pada tingkat harga di atas Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Lahir
nya kebijakan impor beras sebesar 1,05 juta ton (300 ribu ton + 300 ribu ton + 200 ribu ton + 250
ribu ton) dalam beberapa bulan ke belakang, semakin memperjelas bahwa kondisi ketahanan
pangan nasional sedikit terancam. Ada logika berpikir yang tidak nyambung : mengapa di
tengah-tengah pengumuman Pemerintah tentang surpplus beras, tiba-tiba Pemerintah membuka
lagi kran impor beras yang selama ini terkunci rapat ? Logika yang benar adalah jika kita impor
berarti defisit, dan kalau surplus berarti kita ekspor. Kebijakan Pemerintah melakukan impor
beras, memang dapat dipersepsikan lewat beragam versi. Di satu sisi ada yang bernada sinis,
seperti "kok negeri swasembada beras, melakukan impor" ? Tetapi ada juga yang beranggapan
bahwa "lebih baik kita kelebihan beras, ketimbang kurang".

Dihadapkan pada suasana yang demikian, tentu kita tetap sepakat bahwa kita tidak boleh
"setengah hati" dalam menangani problematika ketahanan pangan ini. Ketahanan pangan
bukanlah sebuah slogan yang setiap hari dipidatokan oleh para pejabat atau para wakil rakyat di
berbagai kesempatan. Namun yang lebih urgen lagi adalah sampai sejauh mana kita selaku warga
bangsa mampu mengimplementasikan nya dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu indikator
"keajegan" ketahanan pangan adalah sekira nya kita sudah mampu "merajut" aspek regulasi,
aspek teknologi, aspek kelembagaan, aspek nilai tambah ekonomi, aspek budaya lokal; lewat
sebuah kebijakan dan strategi yang utuh, komprehensif dan holistik.

Disinilah peran dan keberadaan Dewan Ketahanan Pangan menjadi sangat penting. Dewan
Ketahanan Pangan yang di masing-masing tingkatan di pimpin langsung oleh para "integrator
pembangunan", sudah sepatut nya mampu memberi kinerja yang maksimal dalam mewujudkan
kondisi ketahanan pangan yang kuat dan tangguh. Dewan Ketahanan Pangan harus berani tampil
dan menjadi "prime mover" pembangunan ketahanan pangan. Dewan Ketahanan Pangan
dirancang untuk tidak menjadi sebuah asasoris kelembagaan ad hok semata. Namun sesuai
dengan yang diamanatkan oleh Perpres 83/2006, disana jelas tersirat bahwa Dewan Ketahanan
Pangan dimintakan untuk mampu memberikan masukan tercerdas nya guna diejawantahkan
dalam kebijakan-kebijakan yang terterapkan di lapangan. Tanpa hal yang demikian sangatlah
sulit menggapai nya. Apalagi jika terkesan ada nya pihak-pihak tertentu yang ingin bermain-
main dengan ketahanan pangan itu sendiri. Untuk yang terakhir ini, kita berkewajiban untuk
terus melawan nya.

Anda mungkin juga menyukai