KEHIDUPAN REMAJA
Abstrak
Pernikahan dini (early mariage) merupakan suatu pernikahan yang dilakukan
oleh seseorang yang memiliki umur yang relatif muda. Umur yang relatif muda yang
dimaksud tersebut adalah usia pubertas yaitu usia antara 10-19 tahun. Banyaknya
kejadian pernikahan pada usia muda yaitu usia dibawah 19 tahun akan menimbulkan
masalah pada kehidupan remaja terutama yang berkaitan dengan sistem reproduksi
pada remaja yang sangat memerlukan perhatian khusus. Tujuan dari penulisan artikel
ini adalah untuk mengenalkan pada masyarakat luas mengenai dampak pernikahan
usia dini terhadap kehidupan remaja. Pembahasan yang dituliskan meliputi penjelasan
faktor pernikahan usia dini, dampak pernikahan usia dini, sekaligus upaya yang harus
dilakukan untuk mencegah terlaksananya pernikahan usia dini. Kesimpulannya, yaitu
perlu adanya kesadaran terhadap dampak dari adanya pernikahan dibwah umur ini,
karena dengan begitu kita dapat mengurangi dampak yang lebih lagi untuk generasi
yang akan datang.
A. Pendahuluan
Perkawinan di bawah umur adalah pernikahan antara laki-laki dan perempuan
yang sama-sama belum mencapai umur 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi
perempuan. Laki-laki yang berusia di atas 19 tahun dengan perempuan yang berusia
di bawah 16 tahun dan pernikahan yang dilakukan oleh laki-laki di bawah usia 19
tahun dan perempuan berusia lebih dari dari 16 tahun. Bagi masyarakat yang belum
cukup umur untuk menikah disyaratkan untuk mengajukan dispensasi kawin di
Pengadilan Agama setempat.1
Hal yang sama juga dikatakan oleh Irne W. Desiyanti dalam artikel penelitiannya
mengenai faktor-faktor yang berhubungan terhadap pernikahan dini pada pasangan
usia subur di kecamatan mapanget kota manado bahwa Pernikahan dini (early
marriage) merupakan suatu pernikahan yang dilakukan oleh seseorang yang memiliki
umur yang relatif muda. Umur yang relatif muda yang dimaksud tersebut adalah usia
pubertas yaitu usia antara 10-19 tahun.2
Oleh Nurmilah Sari yang dikutip Novita Kusumaningrum juga mengatakan
bahwa perkawinan dibawah umur adalah perkawinan yang dilakukan oleh pasangan
yang belum atau tidak memenuhi persyaratan umur yang telah ditentukan peraturan
perundang-undangan. Pernikahan dibawah umur juga disebut dispensasi nikah, yaitu
pernikahan yang terjadi pada pasangan atau salah satu calon yang ingin menikah pada
usia dibawah standar usia menikah yang sudah ditetapkan oleh aturan hukum
perkawinan.3
Dalam Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan adalah ikatan lahir
batin antara seorang pria dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhana Yang Maha Esa. Sedangkan dalam Undang-
Undang No 1 tahun 1947 tentang perkawinan Pasal 7 ayat 1 dikatakan bahwa
perkawinan diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun
dan pihak wanita sudah mencapai umur16 (enam belas tahun).4
Dalam UU No. 1 tahun 1974, pasal 7 ayat (1) menyatakan bahwa perkawinan hanya
diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 dan pihak wanita sudah mencapai
umur 16 tahun, usulan perubahan pada pasal 7 tahun 1974 ayat (1) perkawinan dapat dan
dilakukan jika pihak laki-laki dan perempuan berusia minimal 19 tahun, ayat (2) untuk
melangsungkan pernikahan masing-masing calon mempelai yang belum mencapai umur
21 tahun, harus mendapat izin kedua orangtua, sesuai dengan kesepakatan pihak Badan
Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yang telah melakukan
kerjasama dengan MOU yang menyatakan bahwa Usia Perkawinan Pertama diijinkan
apabila pihak pria mencapai umur 25 tahun dan wanita mencapai umur 20 tahun .
Namun dalam kenyataannya masih banyak kita jumpai perkawinan pada usia muda
atau di bawah umur, padahal perkawianan yang sukses membutuhkan kedewasaan
tanggung jawab secara fisik maupun mental, untuk bisa mewujudkan harapan yang ideal
dalam kehidupan berumah tangga. Peranan orang tua sangat besar artinya bagi psikologis
anak-anaknya. Mengingat keluarga adalah tempat pertama bagi tumbuh perkembangan
anak sejak lahir hingga dewasa, maka pola asuh anak dalam perlu disebarluaskan pada
setiap keluarga.5
D. Solusi (Rekomendasi)
Prinsip dasar untuk seluruh rekomendasi ini adalah anak perempuan harus
diikutsertakan pada semua tahap dalam upaya untuk menghapus perkawinan usia
anak, termasuk perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi intervensi. Partisipasi mereka
dalam memperoleh hak-hak dan perlindungan sangat penting bagi pemberdayaan
serta pengembangan respon yang efektif dan tepat terhadap praktik tersebut
sebagaimana telah ditunjukkan oleh sejumlah kajian global.9
Subdirektorat Statistik Rumah Tangga dalam bukunya Kemajuan Yang Tertunda:
Analisis Data Perkawinan Usia Anak Indonesia mengutarakan mengenai solusi untuk
mengurangi prevalensi perkawinan dibwah umur yaitu pertama dengan cara
mendidik pekerja sosial, pejabat hukum, tokoh masyarakat, tokoh agama, orang tua,
dan anak-anak perempuan tentang dampak dari perkawinan dan kehamilan usia dini
serta mendukung hubungan saling menghormati antara anak laki-laki dan anak
perempuan. Kedua, adalah dengan meningkatkan informarsi dan pendidikan tentang
hak asasi manusia, kesetaraan gender, dan hak-hak kesehatan seksual dan reproduksi
di antara remaja laki-laki dan remaja perempuan. Serta bekerja bersama penegak
hukum dan pemuka agama untuk menindak pihak-pihak yang masih menikahkan
anak-anak perempuan dibawah umur.
E. Kesimpulan
Anak-anak perempuan yang menikah muda menghadapi akibat buruk dari sisi
sosial dan ekonomi. Laporan ini menunjukkan adanya hubungan yang kompleks
antara perkawinan usia anak dengan pendidikan dan kemiskinan di Indonesia.
Perkawinan usia anak sangat terkait dengan kemiskinan, tetapi prevalensi perkawinan
usia anak yang tinggi terdapat pada provinsi dengan tingkat kemiskinan yang relatif
rendah. Kemiskinan seringkali dijadikan alasan dibalik perkawinan usia anak.
Nyatanya, perempuan yang melakukan perkawinan usia anak sebagian besar tetap
hidup dalam kemiskinan. Dampak buruk ini juga akan dialami oleh anak-anak
mereka dan dapat berlanjut pada generasi yang akan datang. Oleh karena itu, perlu
adanya kesadaran terhadap dampak dari adanya pernikahan dibwah umur ini, karena
dengan begitu kita dapat mengurangi dampak yang lebih lagi untuk generasi yang
akan datang.
Catatan Akhir:
1
Marmiati Mawardi, Problematika Perkawinan Dibawah Umur (Jurnal Analisa
Volume 19 Nomor 02, Juli - Desember 2012).
2
Irne W. Desiyanti, Faktor-Faktor yang Berhubungan Terhadap Pernikahan Dini
Pada Pasangan Usia Subur di Kecamatan Mapanget Kota Manado (Artikel
Penelitian Volume 5 Nomor 03, 2015).
3
Novita Kusumaningrum dalam Nurmilah Sari, 2011, Skripsi Hukum, Dispensasi
Nikah Dibawah Umur (Studi Kasus di Pengadilan Agama Tangerang Tahun 2009-
2010).
4
www.hukumonline.com, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan.
5
Siti Yuli Astuty, Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Perkawinan Usia Muda
Dikalangan Remaja Di Desa Tembung Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli
Serdang.
6
Hesti Agustian, Gambaran Kehidupan Pasangan Yang Menikah Diusia Muda di
Kabupaten Shamasraya (Jurnal Sprektum PLS Volume 1 Nomor 1, April 2013).
7
Nurhidayatuloh dan Leni Marlina, Perkawinan Dibawah Umur Perspektif HAM
(Jurnal Al-Mawarid Volume XI Nomor 2,September-Januari 2011).
8
Subdirektorar Statistik Rumah Tangga, Kemajuan Yang Tertunda: Analisis Data
Perkawinan Usia Anak Indonesia (Jakarta:Badan Pusat Statistik, 2015), hlm. 35.
9
Lee-Rife, Malhotra and Glinski. (2012). What works to prevent child marriage:
a review of the evidence.Studies in Family Planning, 43(4): pp. 287-303.
Daftar Pustaka
Subdirektorat Statistik Rumah Tangga. 2015. Kemajuan Yang Tertunda: Analisis
Data Perkawinan Usia Anak Indonesia. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Undang-Undang Hukum Perkawinan di Indonesia Nomor 1. 1947.