PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. URETERORENOSKOPI
2
Gambar. Ureterorenoscopy set
A. Indikasi URS :
1. Diagnosa
- Evaluasi filling defect atau obstruksi pada radiologi
- Evaluasi gross hematuri unilateral
- Evaluasi maligna sitologi unilateral
- Surveilance pada terapi konservatip tumor traktus urinous atas5
2.Tindakan
- Untuk batu-batu ureter atau dan ginjal (tertentu): diambil dengan forceps
atau dipecah (lithotripsi)
- Reseksi tumor
- Dilatasi striktura
3
- Ukuran batu 7 mm. Ukuran ini tidak mutlak karena batu yang kecil
kadang-kadang tidak bisa keluar spontan.
- Adanya infeksi.
Ada tiga kategori utama anestesi yaitu anestesi umum, anestesi regional
dan anestesi lokal. Masing-masing memiliki bentuk dan kegunaan. Seorang ahli
anestesi akan menentukan jenis anestesi yang menurutnya terbaik dengan
mempertimbangkan keuntungan dan kerugian dari masing-masing tindakannya
tersebut. 3
Anestesi regional adalah suatu tindakan anestesi yang menggunakan obat
analgetik lokal untuk menghambat hantaran saraf sensorik, sehingga impuls
nyeri dari suatu bagian tubuh diblokir untuk sementara. Fungsi motorik dapat
terpengaruh sebagian atau seluruhnya, sedang penderita tetap sadar. Anestesi
regional semakin berkembang dan meluas pemakaiannya, mengingat berbagai
keuntungan yang ditawarkan, diantaranya relatif lebih murah, pengaruh sistemik
yang minimal, menghasilkan analgesi yang adekuat dan kemampuan mencegah
respon stress secara lebih sempurna. Anestesi regional memiliki berbagai macam
teknik penggunaan salah satu teknik yang dapat diandalkan adalah melalui
tulang belakang atau anestesi spina. Anestesi spinal adalah pemberian obat
antestetik lokal ke dalam ruang subarakhnoid. Anestesi spinal diindikasikan
terutama untuk bedah ekstremitas inferior, bedah panggul, tindakan sekitar
rektum dan perineum, bedah obstetri dan ginekologi, bedah urologi, bedah
abdomen bawah dan operasi ortopedi ekstremitas inferior.2
4
A. Persiapan Pra Anastesi
Kunjungan pra anestesi pada pasien yang akan menjalani operasi dan
pembedahan baik elektif dan darurat mutlak harus dilakukan untuk keberhasilan
tindakan tersebut. Adapun tujuan pra anestesi adalah:
1. Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal.
2. Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai
dengan fisik dan kehendak pasien.
3. Menentukan status fisik dengan klasifikasi ASA (American Society
Anesthesiology)(Muhardi, 1989):
a. ASA I : Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa
kelainan faali, biokimiawi, dan psikiatris. Angka mortalitas 2%.
b. ASA II : Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan
sedang sebagai akibat kelainan bedah atau proses patofisiologis. Angka
mortalitas 16%.
c. ASA III : Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas
harian terbatas. Angka mortalitas 38%.
d. ASA IV : Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam
jiwa, tidak selalu sembuh dengan operasi. Misal : insufisiensi fungsi
organ, angina menetap. Angka mortalitas 68%.
e. ASA V : Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan operasi
hampir tak ada harapan. Tidak diharapkan hidup dalam 24 jam tanpa
operasi / dengan operasi. Angka mortalitas 98%.
Untuk operasi cito, ASA ditambah huruf E (Emergency) tanda darurat.1
B. Premedikasi Anastesi
Premedikasi anestesi adalah pemberian obat sebelum anestesi. Adapun
tujuan dari premedikasi antara lain:
1. Memberikan rasa nyaman bagi pasien, misal : diazepam.
2. Menghilangkan rasa khawatir, misal : diazepam
3. Membuat amnesia, misal : diazepam, midazolam
5
4. Memberikan analgesia, misal pethidin
5. Mencegah muntah, misal : ondancentron, droperidol, metoklopropamid
6. Memperlancar induksi, misal : pethidin
7. Mengurangi jumlah obat-obat anesthesia, misal pethidin
8. Menekan reflek-reflek yang tidak diinginkan, misal : sulfas atropin.
9. Mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas, misal : sulfas atropin dan hiosin6
C. Anestesi Spinal
Analgesi spinal (anestesi lumbal, blok subarachnoid) dihasilkan bila kita
menyuntikkan obat analgetik lokal ke dalam ruang subarachnoid di daerah
antara vertebra L2-L3, L3-L4 atau L4-L5.2
Anestetik lokal ialah obat yang menghasilkan blokade konduksi atau blokade
saluran natrium pada dinding saraf secara sementara terhadap rangsangan
transmisi sepanjang saraf, jika digunakan pada saraf sentral atau perifer.
Anestetik lokal setelah keluar dari saraf diikuti oleh pulihnya konduksi saraf
secara spontan dan lengkap tanpa diikuti kerusakan struktur saraf. Obat-obat
anestesi lokal yang digunakan pada pembedahan harus memenuhi syarat-syarat
yaitu blokade sensorik dan motorik yang adekuat, mula kerja yang cepat, tidak
neurotoksik, dan pemulihan blokade motorik yang cepat pascaoperasi sehingga
mobilisasi lebih cepat dapat dilakukan dan risiko toksisitas sistemik yang
rendah.3
6
Gambar 2. Anestesi spinal
a. Indikasi anestesi spinal
Bupivacaine
8
dibandingkan dengan serabut saraf penghantar rasa proprioseptif yang
mempunyai selubung mielin dan ukuran serabut saraf lebih tebal.2
d. Komplikasi tindakan
o Hipotensi berat akibat blok simpatik terjadi dilatasi vena dan dapat
menurunkan curah balik ke jantung sehingga menyebabka
penurunan curah jantung dan tekanan darah.
o Bradikardi
o Hipoventilasi
o Trauma pembuluh darah
o Trauma saraf
o Mual dan muntah
o Blok spinal tinggi, atau spinal total1
o Nyeri punggung
o Retensio urin
o Meningitis1
D. Pemulihan
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan
anestesi yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room yaitu
ruangan untuk observasi pasien pasca operasi atau anestesi. Ruang pulih sadar
menjadi batu loncatan sebelum pasien dipindahkan ke bangsal atau masih
memerlukan perawatan intensif di ICU. Dengan demikian pasien pasca operasi
atau anestesi dapat terhindar dari komplikasi yang disebabkan karena operasi atau
pengaruh anestesinya.3
9
Untuk memindahkan pasien dari ruang pulih sadar ke ruang perawatan
perlu dilakukan skoring tentang keadaan pasien setelah anestesi dan pembedahan.
Untuk regional anestesi digunakan skor Bromage.3
Kriteria Skor
10
BAB III
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. S
Umur : 37 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pendidikan : Sarjana
Pekerjaan : Pegawai Negeri Swasta
Tanggal pemeriksaan : Sabtu, 12 November 2016
II. ANAMNESIS
A. Keluhan Utama :
Nyeri saat Buang Air Kecil
11
E. Anamnesis yang berkaitan dengan anestesi :
- Riwayat alergi obat dan makanan tidak ada
- Riwayat kencing manis tidak ada
- Riwayat hipertensi disangkal
- Riwayat penyakit jantung tidak ada
- Riwayat operasi sebelumnya ada, pada tangggal 8 november 2016,
dengan diagnosis Acute Kidney Injury
- Riwayat penyakit ginjal tidak ada
- Penderita tidak memakai gigi palsu, tidak ada gigi yang goyang
- Batuk pilek, nyeri dada tidak ada
14
Ureterolithiasis sinistra 13 distal, diameter 3 mm
VI. DIAGNOSIS
A. Diagnosis umum : Hidronefrosis D/S
VII.TINDAKAN OPERASI : Ureterorenoscopy
15
B. Intra operatif
160
140
120
100
Sistol (mmHg)
80
diastol (mmHg)
60 Nadi (x/m)
40
20
0
0' 5' 10'15'20'25'30'35'40'45'50'55'60'65'70'75'80'
Keterangan :
: Mulai anestesi
: Mulai operasi
: Operasi selesai
Terapi cairan :
BB : 62 kg
16
EBV : 70 cc/kg BB x 62 kg = 4.340 cc
Jumlah perdarahan : 500 cc
% perdarahan : 500/4.340 x 100% = 11,5 %
Kebutuhan cairan :
Maintenance : 2 cc x 62 kg = 124 cc/jam
Defisit puasa : 6 jam x 124 cc = 744 cc
Stress operasi (besar) : 8 x 62 kg = 496 cc/jam
Jenis anestesi : Besar
Resiko anestesi : Besar
Perdarahan : 500 cc (11,5%)
Kristaloid 500 cc x 3 = 1500 cc
Koloid 150 cc
C. Post operatif
Pemantauan di Recovery Room :
a. Tensi, nadi, pernapasan, aktivitas motorik.
b. Beri O2 3L/menit nasal canul.
c. Berikan antibiotik profilaksis, antiemetic, H2 reseptor bloker dan
analgetik
d. Bila BS 2 boleh pindah ruangan.
e. Bila mual (-), muntah (-), peristaltik usus (+), boleh makan dan minum
sedikit sedikit.
Perintah di ruangan :
a. Awasi tanda vital (tensi, nadi, pernapasan tiap jam)
b. Bila kesakitan beri analgetik.
c. Bila mual atau muntah, beri injeksi Ondansetron 4 mg iv
d. Program cairan : infus RL 20 tetes/menit
e. Program analgetik : injeksi Ketorolac 30 mg iv tiap 8 jam, mulai pukul
12.00 WITA
f. Selama 24 jam post operasi, pasien tidur dengan bantal tinggi (30 o),
tidak boleh berdiri atau berjalan.
17
g. Bila tekanan darah sistole < 90 mmHg, beri injeksi ephedrin 10 mg iv
diencerkan.
h. Bila HR < 60x/menit, beri SA 0,5 mg dan konsul anestesi.
i. Bila sakit kepala hebat berkepanjangan, konsul anestesi.
BAB IV
PEMBAHASAN
18
tidak segera ditangani, pasien akan mengalami edema otak yang akhirnya jatuh
dalam koma dan meninggal.
Teknik anastesi yang digunakan adalah spinal anastesi dengan alasan operasi
yang dilakukan pada bagian tubuh inferior, sehingga cukup memblok bagian tubuh
inferior saja. Dengan kelebihan pasien tetap dalam kondisi respirasi spontan, lebih
murah, tidak memerlukan intubasi, bahaya kemungkinan terjadinya aspirasi kecil
karena pasien dalam keadaan sadar dan observasi dan perawatan post operatif lebih
ringan.
Untuk premedikasi pada pasien ini diberikan ondancentron 4mg yang
bertujuan untuk mencegah terjadinya mual dan muntah. Ondansentron bekerja
sebagai antagonis selektif dan bersifat kompetitif pada reseptor 5HT3, dengan cara
menghambat aktivasi aferen-aferen vagal sehingga menekan terjadinya refleks
muntah.
Obat anastesi yang diberikan pada pasien ini adalah bupivacain, dipilih
karena durasi kerja yang lama dan berpotensi kuat. Bupivacaine bekerja dengan cara
berikatan secara intaselular dengan natrium dan memblok masuknya natrium
kedalam inti sel sehingga mencegah terjadinya depolarisasi. Dikarenakan serabut
saraf yang menghantarkan rasa nyeri mempunyai serabut yang lebih tipis dan tidak
memiliki selubung mielin, maka bupivacaine dapat berdifusi dengan cepat ke dalam
serabut saraf nyeri dibandingkan dengan serabut saraf penghantar rasa proprioseptif
yang mempunyai selubung mielin dan ukuran serabut saraf lebih tebal.
Pada pasien juga diberikan ceftriaxon 1gr, pemberian antibiotik ini bertujuan
sebagai profilaksis terjadinya infeksi sebab prosedur tindakan ureterorenoskopi dapat
beresiko menyebakan terjadinya infeksi.
Pemberian pethidin (golongan opioid) dapat digunakan untuk mengatasi
keluhan menggigil pada pasien. Petidin merupakan agonis opioid sintetik yang
bekerja pada reseptor opioid (mu) dan (kappa). Petidin mempunyai efek untuk
mengatasi menggigil melalui reseptor . Petidin merupakan obat yang paling efektif
dan sering digunakan untuk mengatasi menggigil. Akan tetapi petidin mempunyai
beberapa efek samping yang tidak menguntungkan seperti mual, muntah, pruritus
dan depresi nafas.
19
Pemberian furosemid pada kasus ini sebagai diuretik kuat yang bertujuan untuk
mencegah terjadinya overload cairan akibat penggunaan cairan irigasi.
Sebagai analgetik digunakan Ketorolac (berisi 30 mg/ml ketorolac
tromethamine) sebanyak 1 ampul (1 ml) disuntikan iv. Ketorolac merupakan
nonsteroid anti inflamasi (AINS) yang bekerja menghambat sintesis prostaglandin
sehingga dapat menghilangkan rasa nyeri/analgetik efek. Ketorolac 30 mg
mempunyai efek analgetik yang setara dengan 50 mg pethidin atau 12 mg morphin,
tetapi memiliki durasi kerja yang lebih lama serta lebih aman daripada analgetik
opioid karena tidak ada evidence depresi nafas.
Anestesi spinal terutama yang tinggi dapat menyebabkan paralisis otot
pernafasan, abdominal, intercostal. Oleh karenanya, pasien dapat mengalami
kesulitan bernafas. Untuk mencegah hal tersebut, perlu pemberian oksigen yang
adekuat dan pengawasan terhadap depresi pernafasan yang mungkin terjadi.
Akan tetapi pada kasus ini tidak terjadi hambatan yang berarti baik dari segi
anestesi. Sementara pada pembedahan terjadi steanosis urethra yang menyulitkan
selama dilakukan tindakan sehingga oprasi di hentikan.
Perubahan fungsi ginjal dan efeknya terhadap agen-agen anastesi
AGEN INTRAVENA
20
Secara Farmakokinetik tidak mempunyai efeknya secara signifikan pada
gangguan fungsi ginjal.
Barbiturat
Ketamin
Benzodiazepin
Opioid
21
Kecuali morfin dan meferidin, Akumulasi morfin (morfin-6-glucuronide) dan
metabolit meperidine pernah dilaporkan memperpanjang depresi pernafasan
pada beberapa pasien dengan gagal ginjal. Peningkatan level normeperidine,
metabolit meperidine, dihubungkan dengan kejang-kejang.
Agen-Agen Antikolinergik
Scopolamine kurang tergantung pada ekskresi ginjal, tapi efek sistem syaraf
pusat bisa dipertinggi oleh azotemia.
AGEN-AGEN INHALASI
Agen-agen volatile
22
Agen anastetik volatile hampir ideal untuk pasien dengan disfungsi renal
karena tidak tergantungnya pada eliminasi ginjal, kemampuan untuk
mengkontrol tekanan darah dan biasanya mempunyai efek langsung minimal
pada aliran darah ginjal.
Percepatan induksi dan timbulnya bisa dilihat pada anemis berat (Hb <5 g/dL)
dengan GGK; observasi ini bisa dijelaskan oleh turunnya blood gas portion
coefficient atau kurangnya MAC.
Enflurane dan sevoflurane (dengan aliran gas <2 L/min) tidak disarankan
untuk pasien-pasien dengan penyakit ginjal pada prosedur lama karena
potensi akumulasi fluoride.
Nitrous Oxide
PELUMPUH OTOT
Succinyl choline
SC bisa digunakan secara aman pada gagal ginjal, dengan konsentrasi serum
kalium kurang dari 5 mEq/L pada saat induksi. Bila K serum lebih tinggi,
pelumpuh otot nondepol sebaiknya digunakan
23
Efek dari dosis besar vecuronium (> 0,1 mg/kg) hanya memanjang sedikit
pada pasien renal insufisiensi. Perpanjangan kerja pada penyakit ginjal berat
pernah dilaporkan.
Curare
Eliminasi dari curare tergantung baik pada ginjal maupun ekskresi empedu;
40-60% dosis curare secara normal dieksresi di dalam urin. Dosis lebih
rendah dan perpanjangan interval pemberian dosis diperlukan untuk rumatan
agar pelumpuh otot optimal
24
DAFTAR PUSTAKA
4. Samsuhidrajat R., De JongW. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta:
EGC. p: 756-764.
5. Monk, Terri G. and Craig Weldon. 2001. The Renal System and Anesthesia
for Urologic Surgery Edition 4. Lippincoat Williams & Wilkin Publishers. p:
42.
25