Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

Anestesiologi merupakan salah satu cabang ilmu kedokteran yang tidak


berorientasi pada organ atau umur, tetapi pada fungsi. Dengan demikian maka
hubungan dengan cabang-cabang ilmu kedokteran (klinik) yang lain cukup banyak,
bahkan seringkali di ruang lingkup anestesi merupakan titik temu persilangan cabang
ilmu medik dan bedah.1
Pemilihan jenis anestesi sangat bergantung pada kemampuan dan
pengalaman, peralatan dan obat-obatan yang tersedia dan keadaan klinis. Selain itu,
pemilihan teknik anestesi juga ditentukan oleh kondisi klinis pasien, waktu, tidakan
gawat darurat, keadaan lambung.2
Anestesi umum tergantung pada kerja obat pada sistem saraf pusat, yang
mengakibatkan kesadaran hilang dan depresi terhadap rangsangan sakit. teknis
anestesi konduksi (regional) dengan menggunakan obat yang mempunyai efek lokal
yaitu dengan memblok impuls saraf sebelum sampai pada sistem saraf pusat. 2
regional anestesi adalah salah satu teknik anestesi untuk anggota/daerah tubuh
tertentu, khususnya daerah lengan dan abdomen bagian bawah/tungkai. Keuntungan
anestesi regional adalah penderita tetap sadar, tidak diperlukan pengelolaan jalan
napas, teknik sederhana, penggunaan alat minimal.1
Pasien dengan gagal ginjal akan menimbulkan beberapa permasalahan. Untuk
melaksanakan anestesi pada pasien ini perlu diberikan perhatian khusus terkait obat
obat yang digunakan selama anestesi. Karena fungsi ginjal menurun, sehingga efek
obat akan lebih lama.2
Anestesi lokal dianggap lebih aman daripada anestesi umum pada berbagai
keadaan, atau menyebabkan lebih sedikit efek sampng pasa bedah yang tidak
menyenangkan pada kasus lain, tetapi sering diabaikan kebaikkannya bila di
bandingkan kecepatan dan kemudahannya secara komparatif dengan anestesi umum.3

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. URETERORENOSKOPI

URS atau ureterorenoskopi adalah tindakan yang menggunakan gelombang


kejut dan endoskopi untuk menghancurkan batu. Yaitu prosedur spesialistik
dengan menggunakan alat endoskopi semirigid / fleksibel berukuran kurang dari
30 mm yang dimasukkan melalui saluran kemih ke dalam ureter kemudian batu
dipecahkan dengan pemecah batu litotripsi. Dengan menggunakan kaliber kecil,
irigasi terus menerus, dan penerapan video, ureterorenoscopy memungkinkan
eksplorasi yang lebih menyeluruh dan menjadi penatalaksanaan yang optimal
untuk semua jenis batu pada saluran kemih.4
Tindakan ini memerlukan anestesi umum atau regional serta rawat inap.
Dengan menggunakan laser atau lithoclast, kita dapat melakukan kontak
langsung dengan batu untuk dipecahkan menjadi pecahan kecil-kecil. Alat ini
dapat mencapai batu dalam kaliks ginjal dan dapat diambil atau dihancurkan
dengan sarana elektrohidraulik atau laser. Tindakan ini dilakukan dengan
memasukkan alat melalui uretra ke dalam kandung kemih untuk menghancurkan
batu buli atau ke dalam ureter untuk menghancurkan batu ureter. 4
Sebuah ureteroscopy (URS) merupakan prosedur investigasi sederhana yang
memungkinkan dokter bedah untuk membuat diagnosis dan melakukan tindakan
yang diperlukan. Prosedur dapat dilakukan baik dengan menggunakan teleskop
yang kaku disebut ureteroscopy atau yang fleksibel disebut ureterorenoscopy.
Sebuah ureterorenoscopy memungkinkan ahli bedah untuk melihat ke ureter dan
atau ginjal.5

2
Gambar. Ureterorenoscopy set

A. Indikasi URS :
1. Diagnosa
- Evaluasi filling defect atau obstruksi pada radiologi
- Evaluasi gross hematuri unilateral
- Evaluasi maligna sitologi unilateral
- Surveilance pada terapi konservatip tumor traktus urinous atas5
2.Tindakan
- Untuk batu-batu ureter atau dan ginjal (tertentu): diambil dengan forceps
atau dipecah (lithotripsi)

- Biopsi tumor /polyp ureter

- Reseksi tumor

- Dilatasi striktura

- Pengambilan benda asing 5

3. Indikasi tindakan dilakukan URS pada batu saluran kemih bila :

3
- Ukuran batu 7 mm. Ukuran ini tidak mutlak karena batu yang kecil
kadang-kadang tidak bisa keluar spontan.

- Kolik terus-terusan yang tidak ada respon terhadap obat-obatan


(intractable pain)

- Derajat sumbatan terhadap ginjal (hidronefrosis).

- Adanya infeksi.

- Bila secara konservatif 1 bulan tidak berhasil.5

II. ANESTESI REGIONAL

Ada tiga kategori utama anestesi yaitu anestesi umum, anestesi regional
dan anestesi lokal. Masing-masing memiliki bentuk dan kegunaan. Seorang ahli
anestesi akan menentukan jenis anestesi yang menurutnya terbaik dengan
mempertimbangkan keuntungan dan kerugian dari masing-masing tindakannya
tersebut. 3
Anestesi regional adalah suatu tindakan anestesi yang menggunakan obat
analgetik lokal untuk menghambat hantaran saraf sensorik, sehingga impuls
nyeri dari suatu bagian tubuh diblokir untuk sementara. Fungsi motorik dapat
terpengaruh sebagian atau seluruhnya, sedang penderita tetap sadar. Anestesi
regional semakin berkembang dan meluas pemakaiannya, mengingat berbagai
keuntungan yang ditawarkan, diantaranya relatif lebih murah, pengaruh sistemik
yang minimal, menghasilkan analgesi yang adekuat dan kemampuan mencegah
respon stress secara lebih sempurna. Anestesi regional memiliki berbagai macam
teknik penggunaan salah satu teknik yang dapat diandalkan adalah melalui
tulang belakang atau anestesi spina. Anestesi spinal adalah pemberian obat
antestetik lokal ke dalam ruang subarakhnoid. Anestesi spinal diindikasikan
terutama untuk bedah ekstremitas inferior, bedah panggul, tindakan sekitar
rektum dan perineum, bedah obstetri dan ginekologi, bedah urologi, bedah
abdomen bawah dan operasi ortopedi ekstremitas inferior.2

4
A. Persiapan Pra Anastesi
Kunjungan pra anestesi pada pasien yang akan menjalani operasi dan
pembedahan baik elektif dan darurat mutlak harus dilakukan untuk keberhasilan
tindakan tersebut. Adapun tujuan pra anestesi adalah:
1. Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal.
2. Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai
dengan fisik dan kehendak pasien.
3. Menentukan status fisik dengan klasifikasi ASA (American Society
Anesthesiology)(Muhardi, 1989):
a. ASA I : Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa
kelainan faali, biokimiawi, dan psikiatris. Angka mortalitas 2%.
b. ASA II : Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan
sedang sebagai akibat kelainan bedah atau proses patofisiologis. Angka
mortalitas 16%.
c. ASA III : Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas
harian terbatas. Angka mortalitas 38%.
d. ASA IV : Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam
jiwa, tidak selalu sembuh dengan operasi. Misal : insufisiensi fungsi
organ, angina menetap. Angka mortalitas 68%.
e. ASA V : Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan operasi
hampir tak ada harapan. Tidak diharapkan hidup dalam 24 jam tanpa
operasi / dengan operasi. Angka mortalitas 98%.
Untuk operasi cito, ASA ditambah huruf E (Emergency) tanda darurat.1

B. Premedikasi Anastesi
Premedikasi anestesi adalah pemberian obat sebelum anestesi. Adapun
tujuan dari premedikasi antara lain:
1. Memberikan rasa nyaman bagi pasien, misal : diazepam.
2. Menghilangkan rasa khawatir, misal : diazepam
3. Membuat amnesia, misal : diazepam, midazolam

5
4. Memberikan analgesia, misal pethidin
5. Mencegah muntah, misal : ondancentron, droperidol, metoklopropamid
6. Memperlancar induksi, misal : pethidin
7. Mengurangi jumlah obat-obat anesthesia, misal pethidin
8. Menekan reflek-reflek yang tidak diinginkan, misal : sulfas atropin.
9. Mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas, misal : sulfas atropin dan hiosin6

C. Anestesi Spinal
Analgesi spinal (anestesi lumbal, blok subarachnoid) dihasilkan bila kita
menyuntikkan obat analgetik lokal ke dalam ruang subarachnoid di daerah
antara vertebra L2-L3, L3-L4 atau L4-L5.2
Anestetik lokal ialah obat yang menghasilkan blokade konduksi atau blokade
saluran natrium pada dinding saraf secara sementara terhadap rangsangan
transmisi sepanjang saraf, jika digunakan pada saraf sentral atau perifer.
Anestetik lokal setelah keluar dari saraf diikuti oleh pulihnya konduksi saraf
secara spontan dan lengkap tanpa diikuti kerusakan struktur saraf. Obat-obat
anestesi lokal yang digunakan pada pembedahan harus memenuhi syarat-syarat
yaitu blokade sensorik dan motorik yang adekuat, mula kerja yang cepat, tidak
neurotoksik, dan pemulihan blokade motorik yang cepat pascaoperasi sehingga
mobilisasi lebih cepat dapat dilakukan dan risiko toksisitas sistemik yang
rendah.3

6
Gambar 2. Anestesi spinal
a. Indikasi anestesi spinal

- Bedah ekstremitas bawah


- Bedah panggul
- Tindakan sekitar rektum dan perineum
- Bedah obstetri dan ginekologi
- Bedah urologi
- Bedah abdomen bawah
- Pada bedah abdomen atas dan bedah pediatri biasanya dikombinasi
dengan anestesi umum ringan.1

b. Kontraindikasi anestesi spinal

Kontraindikasi absolute Kontraindikasi relative


Pasien menolak Infeksi sistemik (sepsis, bakterimia)
Infeksi pada tempat suntikan Infeksi sekitar tempat suntikan
Hipovolemia berat atau syok Hipovolemia ringan
Koagulopati atau mendapat terapi Kelainan neurologis dan kelainan
antikoagulan psikis
Tekanan intrakranial meninggi Bedah lama
Fasilitas resusitasi minim Penyakit jantung
Kurang pengalaman Nyeri punggung kronis

c. Obat yang digunakan

Obat anestesi lokal yang digunakan dibagi dalam dua macam,


yakni golongan ester seperti kokain, benzokain, prokain, kloroprokain,
ametokain, tetrakain dan golongan amida seperti lidokain, mepivakain,
prilokain, bupivakain, etidokain, dibukain, ropivakain, levobupivakain.
Perbedaannya terletak pada kestabilan struktur kimia. Golongan ester
mudah dihidrolisis dan tidak stabil dalam cairan, sedangkan golongan
amida lebih stabil. Golongan ester dihidrolisa dalam plasma oleh enzim
pseudo-kolinesterase dan golongan amida dimetabolisme di hati. Di
Indonesia golongan ester yang paling banyak digunakan ialah prokain,
sedangkan golongan amida tersering ialah lidokain dan bupivakain.6
Tabel perbandingan golongan ester dan golongan amida
7
Klasifikasi Potensi Mula kerja Lama kerja Toksisitas
Ester
Prokain 1 (rendah) Cepat 45-60 Rendah
Kloroprokain 3-4 (tinggi) Sangat cepat 30-45 Sangat rendah
Tetrakain 8-16 (tinggi) Lambat 60-180 Sedang
Amida
Lidokain 1-2 (sedang) Cepat 60-120 Sedang
Etidokain 4-8 (tinggi) Lambat 240-480 Sedang
Prilokain 1-8 (rendah) Lambat 60-120 Sedang
Mepivakain 1-5 (sedang) Sedang 90-180 Tinggi
Bupivakain 4-8 (tinggi) Lambat 240-480 Rendah
Ropivakain 4 (tinggi) Lambat 240-480 Rendah
Levobupivakai 4 (tinggi) Lambat 240-480
n

Bupivacaine

Obat anestetik lokal yang sering digunakan adalah prokain, tetrakain,


lidokain, atau bupivakain. Berat jenis obat anestetik lokal mempengaruhi aliran
obat dan perluasan daerah teranestesi. Pada anestesi spinal jika berat jenis obat
lebih besar dari berat jenis CSS (hiperbarik), maka akan terjadi perpindahan obat
ke dasar akibat gravitasi. Jika lebih kecil (hipobarik), obat akan berpindah dari
area penyuntikan ke atas. Bila sama (isobarik), obat akan berada di tingkat yang
sama di tempat penyuntikan.6
Bupivacaine adalah obat anestetik lokal yang termasuk dalam golongan
amino amida. Bupivacaine di indikasi pada penggunaan anestesi lokal termasuk
anestesi infiltrasi, blok serabut saraf, anestesi epidura dan anestesi intratekal.
Bupivacaine kadang diberikan pada injeksi epidural sebelum melakukan operasi
athroplasty pinggul. Obat tersebut juga biasa digunakan untuk luka bekas operasi
untuk mengurangi rasa nyeri dengan efek obat mencapai 20 jam setelah operasi.2
Bupivacaine bekerja dengan cara berikatan secara intaselular dengan natrium
dan memblok masuknya natrium kedalam inti sel sehingga mencegah terjadinya
depolarisasi. Dikarenakan serabut saraf yang menghantarkan rasa nyeri
mempunyai serabut yang lebih tipis dan tidak memiliki selubung mielin, maka
bupivacaine dapat berdifusi dengan cepat ke dalam serabut saraf nyeri

8
dibandingkan dengan serabut saraf penghantar rasa proprioseptif yang
mempunyai selubung mielin dan ukuran serabut saraf lebih tebal.2
d. Komplikasi tindakan

o Hipotensi berat akibat blok simpatik terjadi dilatasi vena dan dapat
menurunkan curah balik ke jantung sehingga menyebabka
penurunan curah jantung dan tekanan darah.
o Bradikardi
o Hipoventilasi
o Trauma pembuluh darah
o Trauma saraf
o Mual dan muntah
o Blok spinal tinggi, atau spinal total1

e. Komplikasi pasca tindakan

o Nyeri tempat suntikan

o Nyeri punggung

o Nyeri kepala karena kebocoran likuor

o Retensio urin

o Meningitis1

D. Pemulihan
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan
anestesi yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room yaitu
ruangan untuk observasi pasien pasca operasi atau anestesi. Ruang pulih sadar
menjadi batu loncatan sebelum pasien dipindahkan ke bangsal atau masih
memerlukan perawatan intensif di ICU. Dengan demikian pasien pasca operasi
atau anestesi dapat terhindar dari komplikasi yang disebabkan karena operasi atau
pengaruh anestesinya.3

9
Untuk memindahkan pasien dari ruang pulih sadar ke ruang perawatan
perlu dilakukan skoring tentang keadaan pasien setelah anestesi dan pembedahan.
Untuk regional anestesi digunakan skor Bromage.3

BROMAGE SCORING SYSTEM

Kriteria Skor

Gerakan penuh dari tungkai 0

Tak mampu ekstensi tungkai 1

Tak mampu fleksi lutut 2

Tak mampu fleksi pergelangan kaki 3


Bromage
skor< 2 boleh pindah ke ruang perawatan.

10
BAB III
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. S
Umur : 37 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pendidikan : Sarjana
Pekerjaan : Pegawai Negeri Swasta
Tanggal pemeriksaan : Sabtu, 12 November 2016

II. ANAMNESIS
A. Keluhan Utama :
Nyeri saat Buang Air Kecil

B. Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien laki-laki masuk rumah sakit dengan keluhan nyeri saat buang air
kecil yang dirasakan sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. pasien
mengaku sering buang air kecil namun tidak lancar dan terasa nyeri. Pada
air kencing tidak ditemukan darah, tidak ada nanah. Selama sakit pasien
juga sering mengeluhkan pusing dan mual di ikuti muntah sebanyak 3 kali,
perut terasa kembung. Demam tidak ada, selera makan naik, Buang air
besar lancar.

C. Riwayat Penyakit Dahulu:


Sebelumnya pasien pernah mengalami keluhan serupa, dirawat inap di
rumah sakit dan menjalani tindakan pembedahan.

D. Riwayat Penyakit Keluarga:


Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan serupa.

11
E. Anamnesis yang berkaitan dengan anestesi :
- Riwayat alergi obat dan makanan tidak ada
- Riwayat kencing manis tidak ada
- Riwayat hipertensi disangkal
- Riwayat penyakit jantung tidak ada
- Riwayat operasi sebelumnya ada, pada tangggal 8 november 2016,
dengan diagnosis Acute Kidney Injury
- Riwayat penyakit ginjal tidak ada
- Penderita tidak memakai gigi palsu, tidak ada gigi yang goyang
- Batuk pilek, nyeri dada tidak ada

III. PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan umum : Baik, kesadaran composmentis
Tanda Vital : T : 120/80 mmHg RR : 22x/menit
N : 96x / menit t : 36,4oC
BB : 62 kg ASA : II
Kepala : Normosefal
Kulit : Sianosis (-)
Mata : Konjungtiva palpebra anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Telinga : Discharge (-)
Hidung : Discharge (-), nafas cuping (-)
Mulut : Gigi goyang (-), gigi palsu (-), sianosis (-)
Leher : Pembesaran kelenjar (-), deviasi trakea (-)
Tenggorok : T1-1, faring hiperemis (-)
Paru : Inspeksi : Simetris, Retraksi (-)
Palpasi : Vocal fremitus kanan = kiri
Perkusi : Sonor seluruh lapang paru
Auskultasi : Suara nafas vesikuler, suara tambahan (-)
Jantung : Inspeksi : IC tidak tampak
Palpasi : IC teraba di SIC V, 2 cm medial LMCS
Perkusi : Batas jantung dbn
12
Auskultasi : BJ I-II murni reguler, bising (-)
- Abdomen : Inspeksi : kesan datar, masa (-)
Auskultasi : Bising usus (+) kesan normal
Perkusi : timpani seluruh kuadran (+), nyeri ketuk pinggang
(+)
Palpasi : hepar dan lien tak teraba, ginjal ka/ki teraba
Ekstremitas : Superior Inferior
Akral dingin -/- -/-
Oedema -/- -/-
Sianosis -/- -/-

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Darah : Hb : 9,9 gr/dL
WBC : 8,2 103/MM3
PLT : 515 103/MM3
RBC : 4,83 103/MM3
HCT : 30,7 %
MCV : 63 uL
MCH : 20,5 pg
MCHC : 32,2 G/Dl
Kimia darah : SGPT : 12, 5 u/l
SGOT : 14,0 u/l
UA : 10,5 mg/dL
Glukosa : 125 mg/dL
Ureum : 85,6 mg/dL
Kreatinin : 5,18 mg/dL
Urinalisis : protein : Negatif
Glukosa : Negatif
Sedimen : leukosit :2
Eritrosit :1
Silinder :-
13
Epitel :+
Kristal :-
Batu :-
CT Scan :
- Hydronefrosis dextra et sinistra grade 1
- Ureterolithiasis sinistra 13 distal, diameter 3 mm
- Spondylosis lumbalis
EKG :
- Sinus rhtym : Reguler
- Heart rate : 60-100 BPM
- Gelombang P : Normal
- PR interval : Normal
- QRS kompleks : Normal
V. RESUME
Pasien 37 thn masuk RS dengan keluhan nyeri saat miksi yang dirasakan
sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. pasien mengaku oliguria dan terasa
nyeri. Selama sakit pasien sering mengeluhkan vertigo dan nausea di ikuti
vomitus sebanyak 3 kali, perut terasa kembung. Sebelumnya pasien pernah
mengalami keluhan serupa, dirawat inap di rumah sakit dan menjalani tindakan
pembedahan.
Pemeriksaan fisik:
abdomen :
Perkusi : timpani seluruh kuadran (+), nyeri ketuk pinggang (+)
palpasi : ginjal ka/ki teraba
Status fisik ASA II
Pemeriksaan penunjang :
Kimia darah
Glukosa : 125 mg/dL
Ureum : 85,6 mg/dL
Kreatinin : 5,18 mg/dL
CT Scan :
Hydronefrosis dextra et sinistra grade 1

14
Ureterolithiasis sinistra 13 distal, diameter 3 mm

VI. DIAGNOSIS
A. Diagnosis umum : Hidronefrosis D/S
VII.TINDAKAN OPERASI : Ureterorenoscopy

VIII. TINDAKAN ANESTESI


1. Jenis anestesi : Regional Anestesi
2. Teknik anestesi : Sub-arachnoid blok
3. Induksi : Bupivacaine Hyperbaric 0,5% sebanyak 15 mg
4. Anestesi mulai : 09:05 WITA
5. Anestesi selesai : 10:30 WITA

6. Lama anestesi : 85 menit

7. Operasi mulai : 09:20 WITA


8. Operasi selesai : 10:20 WITA
9. Anestesiologis : dr. Sofyan Bulango, Sp.An
10. Ahli Bedah : dr. I Wayan Suarsana, Sp.U
A. Pre-operatif
1. Pasien puasa 8 jam pre-operatif.
2. Infus RL 28 tpm
3. Keadaan umum dan vital sign baik

15
B. Intra operatif

160

140

120

100
Sistol (mmHg)
80
diastol (mmHg)
60 Nadi (x/m)
40

20

0
0' 5' 10'15'20'25'30'35'40'45'50'55'60'65'70'75'80'

Keterangan :

: Mulai anestesi

: Mulai operasi

: Operasi selesai

: Anestesi selesai (sign out)

Terapi cairan :

BB : 62 kg

16
EBV : 70 cc/kg BB x 62 kg = 4.340 cc
Jumlah perdarahan : 500 cc
% perdarahan : 500/4.340 x 100% = 11,5 %
Kebutuhan cairan :
Maintenance : 2 cc x 62 kg = 124 cc/jam
Defisit puasa : 6 jam x 124 cc = 744 cc
Stress operasi (besar) : 8 x 62 kg = 496 cc/jam
Jenis anestesi : Besar
Resiko anestesi : Besar
Perdarahan : 500 cc (11,5%)
Kristaloid 500 cc x 3 = 1500 cc
Koloid 150 cc
C. Post operatif
Pemantauan di Recovery Room :
a. Tensi, nadi, pernapasan, aktivitas motorik.
b. Beri O2 3L/menit nasal canul.
c. Berikan antibiotik profilaksis, antiemetic, H2 reseptor bloker dan

analgetik
d. Bila BS 2 boleh pindah ruangan.
e. Bila mual (-), muntah (-), peristaltik usus (+), boleh makan dan minum

sedikit sedikit.

Perintah di ruangan :
a. Awasi tanda vital (tensi, nadi, pernapasan tiap jam)
b. Bila kesakitan beri analgetik.
c. Bila mual atau muntah, beri injeksi Ondansetron 4 mg iv
d. Program cairan : infus RL 20 tetes/menit
e. Program analgetik : injeksi Ketorolac 30 mg iv tiap 8 jam, mulai pukul
12.00 WITA
f. Selama 24 jam post operasi, pasien tidur dengan bantal tinggi (30 o),
tidak boleh berdiri atau berjalan.

17
g. Bila tekanan darah sistole < 90 mmHg, beri injeksi ephedrin 10 mg iv
diencerkan.
h. Bila HR < 60x/menit, beri SA 0,5 mg dan konsul anestesi.
i. Bila sakit kepala hebat berkepanjangan, konsul anestesi.

BAB IV
PEMBAHASAN

Saat sebelum melalui pembedahan, pada pasien ini di lakukan anamnesis,


pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, sehingga pasien digolongkan sebagai
ASA II karena pada pasien ini dijumpai adanya faktor komorbid seperti penyakit
sistemik, metabolik dan riwayat penyakit alergi selain penyakit yang akan dioperasi
dan tidak ada keterbatasan fungsional.
Pada kasus ini pasien didiagnosis Hidronephrosis sinistra ec ureterolithiasis
sehingga dilakukan tindakan ureterorenoskopi. Ureterorenoskopi merupakan suatu
tindakan bedah pada bagian urologi dengan menggunakan alat endoskopi semirigid /
fleksibel berukuran kurang dari 30 mm yang dimasukkan melalui saluran kemih ke
dalam ureter kemudian batu dipecahkan dengan pemecah batu litotripsi. Pada
tindakan ini dilakukan irigasi terus menerus, dan penerapan video, ureterorenoscopy
sehingga memungkinkan eksplorasi yang lebih menyeluruh dan menjadi
penatalaksanaan yang optimal untuk semua jenis batu pada saluran kemih. Irigasi
dilakukan untuk mengeluarkan sisa-sisa batu yang telah dipecahkan dan menjaga
visualisasi di sepanjang saluran kemih.
Cairan yang digunakan pada kasus ini yaitu H 20 steril (aquades). Salah satu
kelebihan dari aquades yaitu harganya yang terjangkau. Sedangkan salah satu
kerugiannya yaitu sifatnya yang hipotonik sehingga cairan ini dapat masuk ke
sirkulasi sistemik melalui pembuluh darah yang terbuka. Selain itu dapat
menyebabkan hiponatremia relatif atau gejala intoksikasi air ditandai dengan gelisah,
kesadaran somnolen, tekanan darah meningkat, dan dapat terjadi bradikardi. Jika

18
tidak segera ditangani, pasien akan mengalami edema otak yang akhirnya jatuh
dalam koma dan meninggal.
Teknik anastesi yang digunakan adalah spinal anastesi dengan alasan operasi
yang dilakukan pada bagian tubuh inferior, sehingga cukup memblok bagian tubuh
inferior saja. Dengan kelebihan pasien tetap dalam kondisi respirasi spontan, lebih
murah, tidak memerlukan intubasi, bahaya kemungkinan terjadinya aspirasi kecil
karena pasien dalam keadaan sadar dan observasi dan perawatan post operatif lebih
ringan.
Untuk premedikasi pada pasien ini diberikan ondancentron 4mg yang
bertujuan untuk mencegah terjadinya mual dan muntah. Ondansentron bekerja
sebagai antagonis selektif dan bersifat kompetitif pada reseptor 5HT3, dengan cara
menghambat aktivasi aferen-aferen vagal sehingga menekan terjadinya refleks
muntah.
Obat anastesi yang diberikan pada pasien ini adalah bupivacain, dipilih
karena durasi kerja yang lama dan berpotensi kuat. Bupivacaine bekerja dengan cara
berikatan secara intaselular dengan natrium dan memblok masuknya natrium
kedalam inti sel sehingga mencegah terjadinya depolarisasi. Dikarenakan serabut
saraf yang menghantarkan rasa nyeri mempunyai serabut yang lebih tipis dan tidak
memiliki selubung mielin, maka bupivacaine dapat berdifusi dengan cepat ke dalam
serabut saraf nyeri dibandingkan dengan serabut saraf penghantar rasa proprioseptif
yang mempunyai selubung mielin dan ukuran serabut saraf lebih tebal.
Pada pasien juga diberikan ceftriaxon 1gr, pemberian antibiotik ini bertujuan
sebagai profilaksis terjadinya infeksi sebab prosedur tindakan ureterorenoskopi dapat
beresiko menyebakan terjadinya infeksi.
Pemberian pethidin (golongan opioid) dapat digunakan untuk mengatasi
keluhan menggigil pada pasien. Petidin merupakan agonis opioid sintetik yang
bekerja pada reseptor opioid (mu) dan (kappa). Petidin mempunyai efek untuk
mengatasi menggigil melalui reseptor . Petidin merupakan obat yang paling efektif
dan sering digunakan untuk mengatasi menggigil. Akan tetapi petidin mempunyai
beberapa efek samping yang tidak menguntungkan seperti mual, muntah, pruritus
dan depresi nafas.
19
Pemberian furosemid pada kasus ini sebagai diuretik kuat yang bertujuan untuk
mencegah terjadinya overload cairan akibat penggunaan cairan irigasi.
Sebagai analgetik digunakan Ketorolac (berisi 30 mg/ml ketorolac
tromethamine) sebanyak 1 ampul (1 ml) disuntikan iv. Ketorolac merupakan
nonsteroid anti inflamasi (AINS) yang bekerja menghambat sintesis prostaglandin
sehingga dapat menghilangkan rasa nyeri/analgetik efek. Ketorolac 30 mg
mempunyai efek analgetik yang setara dengan 50 mg pethidin atau 12 mg morphin,
tetapi memiliki durasi kerja yang lebih lama serta lebih aman daripada analgetik
opioid karena tidak ada evidence depresi nafas.
Anestesi spinal terutama yang tinggi dapat menyebabkan paralisis otot
pernafasan, abdominal, intercostal. Oleh karenanya, pasien dapat mengalami
kesulitan bernafas. Untuk mencegah hal tersebut, perlu pemberian oksigen yang
adekuat dan pengawasan terhadap depresi pernafasan yang mungkin terjadi.
Akan tetapi pada kasus ini tidak terjadi hambatan yang berarti baik dari segi
anestesi. Sementara pada pembedahan terjadi steanosis urethra yang menyulitkan
selama dilakukan tindakan sehingga oprasi di hentikan.
Perubahan fungsi ginjal dan efeknya terhadap agen-agen anastesi

Banyak obat-obatan sebagian tergantung pada ekskresi renal untuk eliminasi.


Sehingga modifikasi dosis harus dilakukan untuk mencegah akumulasi obat
atau metabolit aktif.

Efek sistemik azotemia bisa menyebabkan potensiasi kerja farmakologikal


dari agen-agen ini. Observasi terakhir bisa disebabkan menurunnya ikatan
protein dengan obat, penetrasi ke otak lebih besar oleh karena perubahan
pada blood brain barrier, atau efek sinergis dengan toxin yang tertahan pada
gagal ginjal.

AGEN INTRAVENA

Propofol & Etomidate

20
Secara Farmakokinetik tidak mempunyai efeknya secara signifikan pada
gangguan fungsi ginjal.

Barbiturat

Sering terjadi peningkatan sensitivitas terhadap barbiturat selama induksi.


Mekanismenya dengan peningkatan barbiturat bebas yang bersirkulasi karena
ikatan dengan protein yang berkurang.

Asidosis menyebabkan agen ini lebih cepat masuknya ke otak dengan


meningkatkan fraksi non ion pada obat.

Ketamin

Farmakokinetik ketamin berubah sedikit karena penyakit ginjal. Beberapa


metabolit yang aktif di hati tergantung pada ekskresi ginjal dan bisa terjadi
potensial akumulasi pada gagal ginjal. Hipertensi sekunder akibat efek
ketamin bisa tidak diinginkan pada pasien-pasien hipertensi ginjal.

Benzodiazepin

Benzodiazepin menyebabkan metabolisme hati dan konjugasi karena


eliminasi di urin. Karena banyak yang terikat kuat dengan protein,
peningkatan sensitivitas bisa terlihat pada pasien-pasien hipoalbuminemia.

Diazepam seharusnya digunakan berhati-hati pada gangguan ginjal karena


potensi akumulasi metabolit aktifnya.

Opioid

Opioid (morfin, meperidin, fentanil, sufentanil dan alfentanil) di inaktifasi


oleh hati, beberapa metabolitnya nantinya diekskresi di urin. Farmakokinetik
remifentanil tidak terpengaruh oleh fungsi ginjal karena hidrolisis ester yang
cepat di dalam darah.

21
Kecuali morfin dan meferidin, Akumulasi morfin (morfin-6-glucuronide) dan
metabolit meperidine pernah dilaporkan memperpanjang depresi pernafasan
pada beberapa pasien dengan gagal ginjal. Peningkatan level normeperidine,
metabolit meperidine, dihubungkan dengan kejang-kejang.

Agonis-antagonis opioid (butorphanol nalbuphine dan buprenorphine) tidak


terpengaruh oleh gagal ginjal.

Agen-Agen Antikolinergik

Atropin dan glycopyrolate dalam dosis premedikasi, biasanya aman karena


lebih dari 50% dari obat-obat ini dan metabolit aktifnya di ekskresi normal di
urin, potensi akumulasi terjadi bila dosis diulang.

Scopolamine kurang tergantung pada ekskresi ginjal, tapi efek sistem syaraf
pusat bisa dipertinggi oleh azotemia.

Phenothiazines, H2 Blockers Dan Agen-Agen Yang Berhubungan.

Phenothiazines, seperti promethazine bisa terjadi berpotensiasi dari depresi


pusat oleh azotemia. Kerja antiemetiknya bisa berguna untuk penanganan
mual preoperatif. Droperidol sebagian bergantung pada ekskresi ginjal.
Akumulasi bisa dilihat pada dosis besar pada pasien-pasien dengan gangguan
ginjal, biasanya droperidol digunakan pada dosis kecil (< 2,5 mg)

Semua H2 reseptor bloker sangat tergantung pada ekskresi ginjal.


Metoclopramide sebagian diekskresinya tidak berubah di urin dan akan
diakumulasikan juga pada gagal ginjal.

AGEN-AGEN INHALASI
Agen-agen volatile

22
Agen anastetik volatile hampir ideal untuk pasien dengan disfungsi renal
karena tidak tergantungnya pada eliminasi ginjal, kemampuan untuk
mengkontrol tekanan darah dan biasanya mempunyai efek langsung minimal
pada aliran darah ginjal.

Percepatan induksi dan timbulnya bisa dilihat pada anemis berat (Hb <5 g/dL)
dengan GGK; observasi ini bisa dijelaskan oleh turunnya blood gas portion
coefficient atau kurangnya MAC.

Enflurane dan sevoflurane (dengan aliran gas <2 L/min) tidak disarankan
untuk pasien-pasien dengan penyakit ginjal pada prosedur lama karena
potensi akumulasi fluoride.

Nitrous Oxide

Banyak klinisi tidak menggunakan atau membatasi penggunaan NO2 sampai


50% dengan tujuan untuk meningkatkan penggunaan O2 arteri pada keadaan
anemia.

PELUMPUH OTOT
Succinyl choline
SC bisa digunakan secara aman pada gagal ginjal, dengan konsentrasi serum
kalium kurang dari 5 mEq/L pada saat induksi. Bila K serum lebih tinggi,
pelumpuh otot nondepol sebaiknya digunakan

Cisatracurium, atracurium & Mivacurium


Mivacurium tergantung pada eliminasi ginjal secara minimal. Cisatracurium
& atracurium didegradasi di plasma oleh eliminasi hidrolisis ester enzymatik
& nonenzymatik hofman. Agen-agen ini mungkin merupakan obat pilihan
untuk pelumpuh otot pada pasien-pasien dengan gagal ginjal.

Vecuronium & Rucoronium


Eliminasi dari vecuronium secara primer ada di hati, tapi lebih dari 20% dari
obat dieliminasi di urine.

23
Efek dari dosis besar vecuronium (> 0,1 mg/kg) hanya memanjang sedikit
pada pasien renal insufisiensi. Perpanjangan kerja pada penyakit ginjal berat
pernah dilaporkan.

Curare
Eliminasi dari curare tergantung baik pada ginjal maupun ekskresi empedu;
40-60% dosis curare secara normal dieksresi di dalam urin. Dosis lebih
rendah dan perpanjangan interval pemberian dosis diperlukan untuk rumatan
agar pelumpuh otot optimal

Pancuronium, Pipecuronium, Alcuronium, & Doxacurium


Obat-obat ini tergantung terutama pada ekskresi renal (60-90%). Walaupun
pancuronium di meta- bolisme di hati menjadi metabolit intermediate yang
kurang aktif, eliminasi paruh waktunya masih tergantung pada ekskresi ginjal
(60-80%). Fungsi neuromuscular harus dimonitor ketat jika obat-obat ini
digunakan pada fungsi ginjal abnormal.

Metocurine, Gallamine & Decamethonium


Obat-obat ini hampir sepenuhnya tergantung pada ekskresi ginjal untuk
eliminasi dan harus dihindari peng gunaannya dari pasien dengan gangguan
fungsi ginjal.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Bagian Anestesiologi RS Wahidin Sudirohusodo. Catatan Anestesi.

2. Dobson, Michael. 20015, Penuntun Praktis Anestesi (Anaesthesia At The


District Hospital), penerbit buku kedokteran EGC, Jakarta.

3. Boulton thomas, blogg colin, 2013. Anestesiologi edisi10, penerbit buku


kedokteran EGC, jakarta

4. Samsuhidrajat R., De JongW. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta:
EGC. p: 756-764.

5. Monk, Terri G. and Craig Weldon. 2001. The Renal System and Anesthesia
for Urologic Surgery Edition 4. Lippincoat Williams & Wilkin Publishers. p:
42.

6. Ery L. 1998. Belajar Ilmu Anestesi. Semarang: FK-UNDIP.

7. GE Morgan, MS Mikail. Anesthesia for Patien with Renal Disease,. Clinical


Anesthesiology. Lange Medical Books / Mc Graw-Hill, 4th ed. New York;
2006. p: 742-754

25

Anda mungkin juga menyukai