Anda di halaman 1dari 29

I.

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Pascapanen merupakan kegiatan penting setelah panen yang memerlukan

penanganan dan perhatian khusus. Kegiatan pascapanen merupakan tindakan atau

perlakuan pada hasil pertanian setelah panen yang harus dilakukan untuk

mempertahankan kualitas hasil, mencegah terjadinya kerusakan-kerusakan dan

menekan kehilangan hasil. Dalam bidang pertanian istilah pascapanen diartikan

sebagai tindakan atau perlakuan yang diberikan pada hasil pertanian setelah panen

sampai komoditas berada di tangan konsumen.

Penanganan pasca panen bertujuan agar hasil panen tanaman tetap dalam

kondisi baik dan sesuai/tepat untuk dapat segera dikonsumsi atau untuk bahan

baku pengolahan/bahan baku industri dengan tingkat kehilangan hasil yang dapat

ditekan seminimal mungkin sebagai bagian dari tujuan penanganan pascapanen.

Beberapa penanganan pascapenen adalah sebagai bagian dari kegiatan

mempertahankan produk dalam kondisi tetap baik / segar dengan tujuan produk

tersebut dikonsumsi segar seperti produk buah-buahan dan umbi-umbian.

Produk hasil pertanian tanaman pangan merupakan bagian dari produk

pertanian yang memerlukan penanganan pascapanen khusus, karena beberapa

sebab diantaranya rentan dengan kerusakan, baik kerusakan dari dalam produk itu

sendiri maupun dari luar. Tingginya kadar air produk serealia tidak bisa disimpan

dalam jangka waktu lama karena rentan dengan jamur yang menyebabkan

menurunnya kualitas bahkan dapat mengakibatkan kerusakan dan kerugian yang

fatal. Demikian juga dengan tempat penyimpanan (gudang) yang tidak sesuai
dapat menyebabkan menurunnya kualitas produk yang disimpan. Keterlambatan

penanganan panen dan pascapanen produk pertanian tanaman pangan

menyebabkan menurunnya kualitas produk secara keseluruhan. Selain itu produk

tanaman pangan juga memiliki tingkat kehilangan hasil yang tinggi karena

melewati beberapa proses penanganan.

Penanganan pascapanen komoditas pertanian menjadi hal yang tidak kalah

pentingnya dengan penanganan sebelum prapanen. Dengan penanganan yang

tepat, bahan hasil pertanian dapat diolah dan disimpan dengan kualitas yang tidak

berbeda dibandingkan sesaat setelah panen. Salah satu penanganan pascapanen

biji-bijian adalah pengeringan. Pengeringan merupakan usaha mengurangi

sejumlah massa air dari dalam bahan. Pengeringan menjadi sangat penting

karena dengan berkurangnya kandungan air dalam bahan, resiko kerusakan

bahan akibat aktivitas enzimatis dan biologi dapat dikurangi sehingga bahan

pertanian dapat dipertahankan kualitasnya selama proses penyimpanan.

Salah satu penanganan pasca panen pada bahan pangan serealia yang biasa

dilakukan adalah dengan melakukan pengeringan dengan segera setelah panen.

Dengan melakukan proses pengeringan, kadar air pada biji akan mengalami

penurunan sampai batas aman tidak ditumbuhi mikroorganisme. Pengeringan atau

dehydration telah digunakan di seluruh dunia selama berabad-abad untuk

pemeliharaan atau pengawetan berbagai jenis makanan dan produk agrikultur.

Sasaran utama pengeringan pada bahan pangan adalah untuk melepaskan atau

memindahkan air sampai pada batas tertentu dimana mikrobia penyebab

kerusakan pada bahan tidak dapat berproduksi, dan untuk memperpanjang masa
simpan suatu bahan. Selain itu pengeringan juga bertujuan untuk meningkatkan

stabilitas, pengurangan berat dan volume bahan sehingga dapat mengurangi

ongkos pengiriman, mempermudah pengemasan, penyimpanan, dan

pendistribusian bahan atau produk (Guillermo, Crapiste, dan Rotstein, 1997).

B. Tujuan
Praktikum Pengeringan Produk Pasca Panen ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui kadar air dari beberapa produk pasca panen yang diperdagangkan

dalam kondisi kering.


2. Membandingkan kadar air antara produk segar dan produk kering dari spesies

tanaman yang sama.


3. Membandingkan daya simpan antara produk kering dan segar dari spesies

tanaman yang sama.

II. TINJAUAN PUSTAKA


Mejio (2008) menjelaskan, pasca panen adalah serangkaian kegiatan yang

meliputi pemanenan, pengolahan, sampai dengan hasil siap dikonsumsi.

Penanganan pasca panen bertujuan untuk menekan kehilangan hasil,

meningkatkan kualitas, daya simpan, daya guna komoditas pertanian, memperluas

kesempatan kerja, dan meningkatkan nilai tambah. Penanganan pasca panen yang

baik akan berdampak positif terhadap kualitas gabah konsumsi, benih, dan beras.

Oleh karena itu, penanganan pascapanen perlu mengikuti persyaratan Good


Agricultural Practices (GAP) dan Standard Operational Procedure (SOP) (Setyono

et al 2008a). Dengan demikian, beras yang dihasilkan memiliki mutu fisik dan

mutu gizi yang baik sehingga mempunyai daya saing yang tinggi (Setyono et al.

2006b).
Proses pengeringan pada prinsipnya menyangkut proses pindah panas dan

pindah massa yang terjadi secara bersamaan (simultan). Pertama panas harus di

transfer dari medium pemanas ke bahan. Selanjutnya setelah terjadi penguapan

air, uap air yang terbentuk harus dipindahkan melalui struktur bahan ke medium

sekitarnya. Proses ini akan menyangkut aliran fluida di mana cairan harus di

transfer melalui struktur bahan selama proses pengeringan berlangsung. Jadi

panas harus di sediakan untuk menguapkan air dan air harus mendifusi melalui

berbagai macam tahanan agar supaya dapat lepas dari bahan dan berbentuk uap air

yang bebas. Lama proses pengeringan tergantung pada bahan yang di keringkan

dan cara pemanasan yang digunakan (Rahmawan, 2001).


Menurut Sudaryanto et al. (2005) pengeringan merupakan proses

pemindahan air dari dalam bahan melalui penguapan dengan menggunakan energi

panas. Selama pengeringan berlangsung, energi panas dipindahkan (ditransfer)

dari udara sekeliling ke permukaan bahan, sehingga terjadi peningkatan suhu dan

terbentuknya uap air yang terkandung di dalam bahan secara kontinyu di alirkan

keluar dari mesin pengering.


Aliran udara panas merupakan fluida kerja bagi sistem pengeringan.

Komponen aliran udara yang mempengaruhi proses pengeringan adalah

kecepatan, temperatur, tekanan dan kelembaban relatif (Mahadi, 2007).

Pengeringan biji-bijian dapat dianggap sebagai proses adiabatik dimana selama

proses ini berlangsung, entalpi dan suhu bola basah udara pengering tetap,
sedangkan suhu bola kering berkurang yang diikuti dengan kenaikan kelembaban

mutlak, kelembaban nisbi, tekanan parsial uap air dan suhu pengembunan udara

pengering (Brooker et.al., 1981).


Makin tinggi suhu dan kecepatan aliran udara pengeringan makin cepat pula

proses pengeringan berlangsung. Makin tinggi suhu udara pengering, makin besar

energi panas yang di bawa udara sehingga makin banyak jumlah massa cairan

yang di uapkan dari permukaan bahan yang dikeringkan. Jika kecepatan aliran

udara pengering makin tinggi maka makin cepat massa uap air yang dipindahkan

dari bahan ke atmosfer. Kelembaban udara berpengaruh terhadap proses

pemindahan uap air. Pada kelembaban udara tinggi, perbedaan tekanan uap air

didalam dan diluar bahan kecil, sehingga pemindahan uap air dari dalam bahan

keluar menjadi terhambat (Rahmawan, 2001).


Proses utama dalam pengeringan adalah proses penguapan air maka perlu

terlebih dahulu diketahui karakteristik hidratasi bahan pangan yaitu sifat-sifat

bahan yang meliputi interaksi antara bahan pangan dengan molekul air yang

dikandungnya dan molekul air di udara sekitarnya. Peranan air dalam bahan

pangan dinyatakan dengan kadar air dan aktivitas air (aw), sedangkan peranan air

di udara dinyatakan dengan kelembaban relatif (RH) dan kelembaban mutlak (H)

(Rahmawan, 2001).
Dalam suatu proses pengeringan, dikenal adanya suatu laju pengeringan

yang dibedakan menjadi dua tahap utama, yaitu laju pengeringan konstan dan laju

pengeringan menurun. Laju pengeringan konstan terjadi pada lapisan air bebas

yang terdapat pada permukaan biji-bijian. Laju pengeringan ini terjadi sangat

singkat selama proses pengeringan berlangsung, kecepatan penguapan air pada

tahap ini dapat disamakan dengan kecepatan penguapan air bebas. Besarnya laju
pengeringan ini tergantung dari: a) Lapisan yang terbuka, b) Perbedaan

kelembaban antara aliran udara dan daerah basah, c)Koefisien pindah massa, dan

d) Kecepatan aliran udara pengering (Nurba, 2010). Laju pengeringan bahan

pangan dengan kadar air awal di atas 70% 75% basis basah, selama periode

awal pengeringan, laju pengeringan ditinjau dari tiga parameter pengeringan

eksternal yaitu kecepatan udara, suhu udara dan kelembaban udara. Jika kondisi

lingkungan konstan, maka laju pengeringan akan konstan (Brooker et al., 1981).
Laju pengeringan menurun terjadi setelah periode pengeringan konstan

selesai. Pada tahap ini kecepatan aliran air bebas dari dalam biji ke permukaan

lebih kecil dari kecepatan pengambilan uap air maksimum dari biji (Nurba, 2010).

Proses pengeringan dengan laju menurun sangat tergantung pada sifat-sifat alami

bahan yang dikeringkan. Laju perpindahan massa selama proses ini dikendalikan

oleh perpindahan internal bahan (Istadi et al., 2002). Periode laju pengeringan

menurun meliputi 2 proses yaitu perpindahan air dari dalam bahan ke permukaan

dan perpindahan uap air dari permukaan ke udara sekitar (Henderson and Perry,

1976). Kadar air kritis (critical moisture content) menjadi batas antara laju

pengeringan konstan dan laju pengeringan menurun (Nurba, 2010). Menurut

Henderson and Perry (1976) dalam bukunya menyatakan bahwa kadar air kritis

adalah kadar air terendah pada saat kecepatan aliran air bebas dari dalam biji ke

permukaan sama dengan kecepatan pengambilan uap air maksimum dari biji.
Proses pengeringan berlangsung sampai kesetimbangan dicapai antara

permukaan dalam dan permukaan luar bahan dan antara permukaan luar bahan

dengan lingkungan. Pada tahap awal, dimulai dengan masa pemanasan singkat

dengan laju pengeringan maksimum dan konstan. Dalam tahap pengeringan ini,
kadar air melebihi kadar air maksimum higroskopis di seluruh bagian dalam

bahan. Dalam hal ini, tingkat pengeringan bahan tertentu tergantung pada

karakteristik bahan yaitu suhu bahan, kelembaban relatif dan kecepatan udara

pengeringan (Sitkei and Gyrgy, 1986).


Penanganan pascapanen merupakan salah satu mata rantai penting dalam

usahatani jagung. Hal ini didasarkan atas kenyataan bahwa petani umumnya

memanen jagung pada musim hujan dengan kondisi lingkungan yang lembab dan

curah hujan yang masih tinggi. Hasil survei menunjukkan bahwa kadar air jagung

yang dipanen pada musim hujan masih tinggi, berkisar antara 25-35%. Apabila

tidak ditangani dengan baik, jagung berpeluang terinfeksi cendawan yang

menghasilkan mikotoksin jenis aflatoksin (Firmansyah et al. 2006).


Pengeringan adalah upaya untuk menurunkan kadar air biji jagung agar

aman disimpan. Pada prinsipnya, pengeringan bertujuan untuk mengurangi kadar

air yang terkandung pada bahan sampai pada kadar air yang diinginkan. Tujuan

mengurangi kadar air adalah untuk memperpanjang kehidupan rak-produk bio-

asal dengan mengurangi kadar air ke tingkat yang cukup rendah sehingga

menghambat pertumbuhan mikroorganisme, reaksi enzimatik, dan reaksi lainnya

yang memperburuk produk pertanian tersebut.


Biji hasil panen harus dikeringkan agar bisa tahan disimpan dalam waktu

lama. Pengeringan hendaknya tidak dilakukan dengan cara di jemur langsung di

bawah sinar matahari karena hal ini akan menurunkan daya tumbuh biji. Lama

pengeringan bervariasi, biji berukuran kecil akan cepat mengering dalam waktu

sehari, sedangkan biji berukuran besar memerlukan waktu beberapa hari (Lingga,

2007). Kadar air biji yang aman untuk disimpan berkisar antara 12-14%.
Suhu maksimum yang diijinkan dalam pengeringan biji-bijian tergantung

pada penggunaan biji, kandungan air awal biji, dan jenis/macam biji. Apabila suhu

pengeringan tinggi, akan berdampak pada perubahan sifat kimia terutama yang

kontak langsung dengan udara panas, yaitu terjadinya pengeringan yang

berlebihan pada bagian kulit luar biji - bijian. Kulit (bagian luar) akan mengkerut

dan bahkan gosong, sehingga pori - pori tertutup. Tertutupnya pori -pori ini akan

mengakibatkan air yang masih ada di bagian dalam bahan tidak dapat keluar.

Peristiwa tersebut dikenal sebagai case hardening. Oleh karena itu, pengendalian

tingginya suhu dengan kecepatan aliran udara pengering sangatlah penting untuk

diperhatikan (Yadollahinia et al., 2008).


Pada saat jagung dikeringkan terjadi proses penguapan air pada biji karena

adanya panas dari media pengering, sehingga uap air akan lepas dari permukaan

biji jagung ke ruangan di sekeliling tempat pengering (Brooker et al. 1974).

Pengeringan diperlukan sebelum pemipilan untuk menghindari terjadinya biji

pecah. Untuk itu, kadar air biji harus diturunkan menjadi < 20%. Pengeringan

dimaksudkan untuk mencapai kadar air biji 12-14% agar tahan disimpan lama,

tidak mudah terserang hama dan terkontaminasi cendawan yang menghasilkan

mikotoksin, mempertahankan volume dan bobot bahan sehingga memudahkan

penyimpanan (Handerson and Perry 1982).


Secara biologis, gabah yang baru dipanen masih hidup sehingga masih

berlangsung proses respirasi yang menghasilkan CO2, uap air, dan panas sehingga

proses biokimiawi berjalan cepat. Jika proses tersebut tidak segera dikendalikan

maka gabah menjadi rusak dan beras bermutu rendah. Salah satu cara perawatan

gabah adalah melalui proses pengeringan dengan cara dijemur atau menggunakan
mesin pengering. Menurut Windi (2012) pengeringan padi untuk keperluan

konsumsi, suhu udara pengeringan 43 C dan kecepatan aliran udara pengeringan

rata-rata 6,5 m/menit. Pengeringan dilakukan sampai kadar air gabah mencapai

12% -14%, sedangkan pengeringan padi untuk keperluan benih, suhu udara

pengeringan 42 C. Pengeringan dilakukan sampai kadar air gabah mencapai 11-

12 %.
Pengeringan kacang tanah untuk keperluan konsumsi, suhu udara pengering

50 C selama 12 jam sampai kadar air < 10%, sedangkan untuk keperluan benih

temperatur yang dipakai sekitar 35-45 C dan kelembaban udara pengering sekitar

55%, bila temperatur pengering terlalu tinggi dapat mengakibatkan kerusakan

(rapuh, mudah pecah, kulit biji mudah mengelupas pada waktu perontokan dan

lain-lain). Pengeringan polong dilakukan hingga beratnya konstan. Berat yang

konstan menandakan tingkat kadar air kesetimbangan telah tercapai. Untuk benih

pengeringan dilakukan sampai memperoleh kadar air 10 - 11% (Kartasapoetra,

1994).
III. METODE PRAKTIKUM
A. Waktu dan Tempat

Waktu dilaksanakannya praktikum acara 1 tentang Pengeringan Produk

Pasca Panen yaitu Hari Jumat, tanggal 4 Desember 2015 pukul 08.00 WIB

bertempat di Laboratorium Hortikultura Fakultas Pertanian Universitas Jenderal

Soedirman.

B. Bahan dan Alat


Bahan yang diperlukan dalam praktikum pengeringan produk pasca panen

meliputi : biji jagung kering, biji jagung segar, gabah kering, gabah segar, kacang

tanah kering, kacang tanah segar. Alat yang digunakan dalam praktikum ini

meliputi : alat pengukur kadar air (moisture meter), kantong plastik kg, karet

gelang, dan kertas label.

C. Prosedur Kerja
Kegiatan I
1. Produk pasca panen segar dan kering disiapkan.
2. Produk pasca panen tersebut diukur dengan alaat pengukur kadar air

(Moisture meter).
3. Kadar airnya dibuat perbandingan dengan grafik batang.
Kegiataan II
1. Produk pasca panen segar dan kering disiapkan.
2. Produk kering dan segar dimasukkan ke dalaam kantong pastik yang berbeda.
3. Masing-masing kantong plastik diberi label. Label memuat nama produk,

nama kelompok, dan tanggal.


4. Produk tersebut disimpan di dalam laboratorium selama 5 hari.
5. Pengamatan dilakukan pada produk tersebut setiap hari.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
(Dilampirkan)
B. Pembahasan
Pengeringan merupakan proses pemindahan air dari dalam bahan

melalui penguapan dengan menggunakan energi panas. Selama pengeringan

berlangsung, energi panas dipindahkan (ditransfer) dari udara sekeliling ke

permukaan bahan, sehingga terjadi peningkatan suhu dan terbentuknya uap

air yang terkandung di dalam bahan secara kontinyu di alirkan keluar dari

mesin pengering (Sudaryanto et al., 2005).


Proses pengeringan pada prinsipnya menyangkut proses pindah panas dan

pindah massa yang terjadi secara bersamaan (simultan). Pertama panas harus di

transfer dari medium pemanas ke bahan. Selanjutnya setelah terjadi penguapan

air, uap air yang terbentuk harus dipindahkan melalui struktur bahan ke medium

sekitarnya. Proses ini akan menyangkut aliran fluida di mana cairan harus di

transfer melalui struktur bahan selama proses pengeringan berlangsung. Jadi

panas harus di sediakan untuk menguapkan air dan air harus mendifusi melalui

berbagai macam tahanan agar supaya dapat lepas daribahan dan berbentuk uap air

yang bebas. Lama proses pengeringan tergantung pada bahan yang di keringkan

dan cara pemanasan yang digunakan (Rahmawan, 2001).


Pengeringan adalah suatu metode untuk mengeluarkan ataumenghilangkan

sebagian air dari suatu bahan dengan cara menguapkan air denganmenggunakan

energi panas. Biasanya kandungan air bahan tersebut dikurangisampai suatu batas

agar mikroba tidak dapat tumbuh lagi di dalamnya.Selain itu,pengeringan adalah

salah satu cara lama yang dipakai untuk pengawetanmakanan. Pengeringan

penting dilakukan untuk meningkatkan mutu, sepertimemungkinkan masa simpan

yang panjang dengan kerusakan sekecil-kecilnya(Kartasapoetra, 1994).


Pada prinsipnya, pengeringan bertujuan untuk mengurangi kadar air yang

terkandung pada bahan sampai pada kadar air yang diinginkan. Tujuan

mengurangi kadar air adalah untuk memperpanjang kehidupan rak produk bio asal

dengan mengurangi kadar air ke tingkat yang cukup rendah sehingga

menghambatpertumbuhan mikroorganisme, reaksi enzimatik, dan reaksi lainnya

yang memperburuk produk pertanian tersebut. Pengeringan juga bertujuan untuk


meningkatkan daya simpan serta menambah nilai ekonomis dari pada produk

pasca panen tersebut.


Menurut Pantastico (1986), tujuan dan manfaat pengeringan pada produk

pasca panen adalah :


1. Mengurangi risiko kerusakan karena kegiatan mikroba. Mikroba memerlukan

air untuk pertumbuhannya. Bila kadar air bahan berkurang, maka aktivitas

mikroba dihambat atau dimatikan.


2. Menghemat ruang penyimpanan atau pengangkutan. Umumnya bahan pangan

mengandung air dalam jumlah yang tinggi, maka hilangnya air akan sangat

mengurangi berat dan volume bahan tersebut.


3. Untuk mendapatkan produk yang lebih sesuai dengn penggunaannya.

Misalnya kopi instant.


4. Untuk mempertahankan nutrien yang berguna yang terkandung dalam bahan

pangan, misalnya mineral, vitamin, dsb.

Pengeringan itu mempunyai 2 macam yaitu pengeringan alami dan buatan.

1. Kelebihan dan kekurangan teknik pengeringan dengan sinar matahari

adalah :
- Kelebihan dari teknik pengeringan dengan sinar matahari adalah

biaya relative murah dan kapasitas besar.


- Kekurangan dari teknik pengeringan dengan sinar matahari yaitu

sangat tergantung terhadap cuaca dan mudah terjadi

kontaminasi pada bahan pangan.


2. Kelebihan dan kekurangan pengeringan dengan alat pengering yaitu :
- Kelebihan pengeringan dengan menggunakan alat pengering

adalah tidak tergantung cuaca, cepat / tidak memakan waktu

yang lama, dan terkontaminasinya bahan pangan dengan bakteri

dapat ditekan.
- Kekurangan pengeringan dengan menggunakan alat pengering

adalah biayanya yang mahal.

Seed Moisture tester dalah alat untuk mengukur kadar air benih tanpa

mengeluarkan air dari dalam benih, tetapi dengan memasukan benih atau gerusan

benih ke dalam lubang pengujian. Pengujian kadar air benih menggunakan alat ini

langsung dapat terbaca. Cara penggunaan alat ini yaitu benih yang akan diuji

damusakan ke dalam lubang penguji, kemuian putar sekrup untuk menghancurkan

benih, selanjutnya pilih menu uji sesuai benih yang akan diuji kadar airnya.

Prinsip kerja dari alat ini yaitu beberapa butir benih diletakkan pada tempat

penampung benih, dimasukkan dalam laci di sisi kana alat (di bawah alat

penekan). Secara perlahan kita memutar alat penekan sampai pemutarnya berhenti

dan sudah tidak dapat diputar kembali. Tombol power kita tekan, kita pilih benih

yang akan kita ukur dengan menekan tombol select dan memilih jenis benihnya.

Setelah itu kita tekan tombol measurement sebanyak tiga kali (kita mengambil

reratanya agar lebih akurat). Setelah tombol measurement ditekan tiga kali, kita

menekan tombol average untuk mengetahui reratanya. Setelah ditunggu beberapa

saat, nilai kadar air akan tertera pada layar.


Menurut Kuswanto (1997) bagian-bagian dari moistur tester yaitu :
1 Tombol power untuk menhidupkan alat
2 Sekrup pemutar untuk menghancurkan benih agar halus.
3 Display sebagai layar untuk mengetahui hasil kadar air benih yang terbaca dari

alat tersebut.
4 Paddy berfungsi untuk mengukur kadar air gabah
5 Paddy indryer untuk mengukur kadar air benih gabah kering
6 Barley untuk mengukur kadar air benih basah
7 Matter barley untuk mengukur kadar air jagung kering.
Jenis-jenis teknik pengolahan dan pengawetan bahan pangan menurut

Winarno (1974) yaitu :


1. Pendinginan
Pendiginan adalah penyimpanan bahan pangan di atas suhu pembekuan

bahan yaitu -2 sampai +10 C. Cara pengawetan dengan suhu rendah

lainya yaitu pembekuan. Pembekuan adalah penyimpanan bahan pangan

dalam keadaan beku yaitu pada suhu 12 sampai - 24 C. Pembekuan cepat

(quick freezing) di lakukan pada suhu -24 sampai -40C. Pendinginan biasanya

dapat mengawetkan bahan pangan selama beberapa hari atau minggu

tergantung pada macam bahan panganya, sedangkan pembekuan dapat

mengawetkan bahan pangan untuk beberapa bulan atau kadang beberapa

tahun. Perbedaan lain antara pendinginan dan pembekuan adalah dalam

hal pengaruhnya terhadap keaktifan mikroorganisme di dalam bahan

pangan. Penggunaan suhu rendah dalam pengawetan pangan tidak dapat

membunuh bakteri, sehingga jika bahan pangan beku misalnya di

keluarkan dari penyimpanan dan di biarkan mencair kembali

(thawing), pertumbuhan bakteri pembusuk kemudian berjalan cepat

kembali. Pendinginan dan pembekuan masing-masing juga berbeda

pengaruhnya terhadap rasa, tekstur, nilai gizi, dan sifat-sifat lainya.

Beberapa bahan pangan menjadi rusak pada suhu penyimpangan yang

terlalu rendah.
2. Pengeringan
Pengeringan adalah suatu cara untuk mengeluarkan atau

mengilangkan sebagian air dari suatu bahan dengan menguapkan sebagian

besar air yang di kandung melalui penggunaan energi panas. Biasanya,


kandungan air bahan tersebut di kurangi sampai batas sehingga

mikroorganisme tidak dapat tumbuh lagi di dalamya. Keuntungan pengeringan

adalah bahan menjadi lebih awet dan volume bahan menjadi lebih kecil

sehingga mempermudah dan menghemat ruang pengangkutan dan

pengepakan, berat bahan juga menjadi berkurang sehingga memudahkan

transpor, dengan demikian di harapkan biaya produksi menjadi lebih murah.

Kecuali itu, banyak bahan-bahan yang hanya dapat di pakai apabila telah di

keringkan, misalnya tembakau, kopi, the, dan biji-bijian. Di samping

keuntungan-keuntunganya, pengeringan juga mempunyai beberapa kerugian

yaitu karena sifat asal bahan yang di keringkan dapat berubah, misalnya

bentuknya, sifat - sifat fisik dan kimianya, penurunan mutu dan sebagainya.

Kerugian yang lainya juga disebabkan beberapa bahan kering perlu pekerjaan

tambahan sebelum di pakai, misalnya harus di basahkan kembali (rehidratasi)

sebelum di gunakan. Agar pengeringan dapat berlangsung, harus di berikan

energi panas pada bahan yang di keringkan, dan di perlukan aliran udara untuk

mengalirkan uap air yang terbentuk keluar dari daerah pengeringan.

Penyedotan uap air ini dapat juga di lakukan secara vakum. Pengeringan dapat

berlangsung dengan baik jika pemanasan terjadi pada setiap tempat dari bahan

tersebut, dan uap air yang di ambil berasal dari semua permukaan bahan

tersebut. Faktor -faktor yang mempengaruhi pengeringan terutama adalah luas

permukaan benda, suhu pengeringan, aliran udara, tekanan uap di udara, dan

waktu pengeringan.
3. Pengemasan
Pengemasan merupakan bagian dari suatu pengolahan makanan

yang berfungsi untuk pengawetan makanan, mencegah kerusakan mekanis,

perubahan kadar air. Teknologi pengemasan perkembangan sangat pesat

khususnya pengemas plstik yang dengan drastis mendesak peranan kayu,

karton, gelas dan metal sebagai bahan pembungkus primer. Berbagai jenis

bahan pengepak seperti tetaprak, tetabrik, tetraking merupakan jenis


teknologi baru bagi berbagai jus serta produk cair yang dapat dikemas

dalam keadaan aseptiis steril. Sterilisasi bahan kemasan biasanya dilakukan

dengan pemberian cairan atau uap hydrogen peroksida dan sinar UV atau

radiasi gama. Jenis generasi baru bahan makanan pengemas ialah

lembaran plstik berpori yang disebut Sspore 2226, sejenis platik yang

memilki lubang lubang.


4. Pengalengan
Pengalengan didefinisikan sebagai suatu cara pengawetan bahan

pangan yang dipak secara hermetis (kedap terhadap udara, air, mikroba,

dan benda asing lainnya) dalam suatu wadah, yang kemudian disterilkan

secara komersial untuk membunuh semua mikroba patogen (penyebab

penyakit) dan pembusuk. Pengalengan secara hermetis memungkinkan

makanan dapat terhindar dan kebusukan, perubahan kadar air,

kerusakan akibat oksidasi, atau perubahan cita rasa. Namun, karena dalam

pengalengan makanan digunakan sterilisasi komersial (bukan sterilisasi

mutlak), mungkin saja masih terdapat spora atau mikroba lain (terutama yang

bersifat tahan terhadap panas) yang dapat merusak isi apabila kondisinya

memungkinkan. Itulah sebabnya makanan dalam kaleng harus disimpan pada

kondisi yang sesuai, segera setelah proses pengalengan selesai.


5. Penggunaan bahan kimia
Bahan pengawet dari bahan kimia berfungsi membantu

mempertahankan bahan makanan dari serangan makroba pembusuk dan

memberikan tambahan rasa sedap, manis, dan pewarna. Contoh beberapa

jenis zat kimia : cuka, asam asetat, fungisida, antioksidan, in-package

desiccant, ethylene absorbent, wax emulsion dan growth regulatory

untuk melindungi buah dan sayuran dari ancaman kerusakan pasca

panen untuk memperpanjang kesegaran masa pemasaran. Nitogen cair

sering digunakan untuk pembekuan secara tepat buah dan sayur sehinnga

dipertahankan kesegaran dan rasanya yang nyaman.


Suatu jenis regenerasi baru growth substance sintesis yang disebut

morfaktin telah ditemuakan dan diaplikasikan untuk mencengah kehilangan

berat secara fisiologis pada pasca panen, kerusakan karena kapang, pemecahan

klorofil serta hilangnya kerennyahan buah. Scott dkk (1982) melaporkan

bahwa terjadinya browning, kehilangan berat dan pembusukan buah leci dapat

dikurangi bila buah buahan tersebut direndam dalam larutan binomial hangat

(0,05%, 52C ) selama 2 menit dan segera di ikuti dengan pemanasan PVC

(polivinil klorida ) dengan ketebalan 0,001 mm.


6. Pemanasan
Penggunaan panas dan waktu dalam proses pemanasan bahan

pangan sangat berpengaruh pada bahan pangan. Beberapa jenis bahan pangan

seperti halnya susu dan kapri serta daging, sangat peka terhadap susu

tinggi karena dapat merusak warna maupun rasanya. Sebaliknya,

komoditi lain misalnya jagung dan kedelai dapat menerima panas

yang hebat karena tanpa banyak mengalami perubahan. Pada


umumnya semakin tinggi jumlah panas yang di berikan semakin banyak

mikroba yang mati. Pada proses pengalengan, pemanasan di tujukan

untuk membunuh seluruh mikroba yang mungkin dapat menyebabkan

pembusukan makanan dalam kaleng tersebut, selama penanganan dan

penyimpanan. Pada proses pasteurisasi, pemanasan di tujukan untuk

memusnahkan sebagian besar mikroba pembusuk, sedangkan sebagian

besar mikroba yang tertinggal dan masih hidup terus di

hambat pertumbuhanya dengan penyimpanan pada suhu rendah atau

dengan cara lain misalnya dengan bahan pengawet. Proses pengawetan dapat

di kelompokan menjadi 3 yaitu: pasteurisasi, pemanasan pada 100 C dan

pemanasan di atas 100C.


7. Teknik Fermentasi
Fermentasi bukan hanya berfungsi sebagai pengawet sumber

makanan, tetapi juga berkhasiat bagi kesehatan. Salah satumya fermentasi

dengan menggunakan bakteri laktat pada bahan pangan akan

menyebabkan nilai pH pangan turun di bawah 5.0 sehingga dapat

menghambat pertumbuhan bakteri fekal yaitu sejenis bakteri yang jika

dikonsumsi akan menyebabkanakan muntah - muntah, diare, atau muntaber.

Bakteri laktat (lactobacillus) merupakan kelompok mikroba dengan

habitat dan lingkungan hidup sangat luas, baik di perairan (air tawar

ataupun laut), tanah, lumpur, maupun batuan. tercatat delapan jenis

bakteri laktat, antara lain Lacobacillus acidophilus, L fermentum, L

brevis,dll. Asam laktat yang dihasilkan bakteri dengan nilai pH


(keasaman) 3,4 - 4 cukup untuk menghambat sejumlah bakteri perusak

dan pembusuk bahan makanan dan minuman.


Namun, selama proses fermentasi sejumlah vitamin juga di hasilnhkan

khususnya B-12. Bakteri laktat juga menghasilkan lactobacillin

(laktobasilin), yaitu sejenis antibiotika serta senyawa lain yang

berkemampuan menontaktifkan reaksi kimia yang dihasilkan oleh bakteri

fekal di dalam tubuh manusia dan bahkan mematikannya , Senyawa lain

dari bakteri laktat adalah NI (not yet identified atau belum diketahui).

NI bekerja menghambat enzim 3-hidroksi 3-metil glutaril reduktase yang

akan mengubah NADH menjadi asam nevalonat dan NAD. Dengan

demikian, rangkaian senyawa lain yang akan membentuk kolesterol dan

kanker akan terhambat. Di beberapa kawasan Indonesia, tanpa disadari

makanan hasil fermentasi laktat telah lama menjadi bagian di dalam

menu makanan sehari - hari. Yang paling terkenal tentu saja adalah asinan

sayuran dan buah - buahan. Bahkan selama pembuatan kecap, tauco, serta

terasi, bakteri laktat banyak dilibatkan. Bekasam atau bekacem dari

Sumatera bagian Selatan, yaitu ikan awetan dengan cara fermentasi

bakteri laktat, bukan saja merupakan makanan tradisional yang digemari,

tetapi juga menjadi contoh pengawetan secara biologis yang luas

penggunaannya.
8. Teknik Iradiasi
Iradiasi adalah proses aplikasi radiasi energi pada suatu

sasaran, seperti pangan. Menurut Maha (1985), iradiasi adalah suatu

teknik yang digunakan untuk pemakaian energi radiasi secara sengaja dan

terarah. Sedangkan menurut Winarno et al. (1980), iradiasi adalah teknik


penggunaan energi untuk penyinaran bahan dengan menggunakan sumber

iradiasi buatan. Jenis iradiasi pangan yang dapat digunakan untuk pengawetan

bahan pangan adalah radiasi elektromagnetik yaitu radiasi yang menghasilkan

foton berenergi tinggi sehingga sanggup menyebabkan terjadinya ionisasi dan

eksitasi pada materi yang dilaluinya. Jenis iradiasi ini dinamakan radiasi

pengion, contoh radiasi pengion adalah radiasi partikel , dan gelombang

elektromagnetik . Contoh radiasi pengion yang disebut terakhir ini paling

banyak digunakan (Sofyan, 1984; Winarno et al., 1980).


Dua jenis radiasi pengion yang umum digunakan untuk pengawetan

makanan adalah sinar gamma yang dipancarkan oleh radio nuklida 60Co

(kobalt-60) dan 137 Cs (caesium 37) dan berkas elektron yang terdiri dari

partikel-pertikel bermuatan listrik. Kedua jenis radiasi pengion ini memiliki

pengaruh yang sama terhadap makanan. Menurut Hermana (1991), dosis

radiasi adalah jumlah energi radiasi yang diserap ke dalam bahan pangan dan

merupakan faktor kritis pada iradiasi pangan. Seringkali untuk tiap jenis

pangan diperlukan dosis khusus untuk memperoleh hasil yang diinginkan.

Kalau jumlah radiasi yang digunakan kurang dari dosis yang diperlukan, efek

yang diinginkan tidak akan tercapai. Sebaliknya jika dosis berlebihan, pangan

mungkin akan rusak sehingga tidak dapat diterima konsumen.

Kadar air merupakan salah satu sifat fisik dari bahan yang menunjukkan

banyaknya air yang terkandung di dalam bahan. Kadar air suatu bahan dapat

dinyatakan berdasarkan bobot basah (wet basis) atau berdasarkan bobot kering

(dry basis). Kadar air bobot basah mempunyai batas maksimum teoritis sebesar

100 persen, sedangkan kadar air berdasarkan bobot kering dapat lebih dari 100
persen, karena pada kadar air basis kering jumlah air pada bahan dibagi dengan

berat kering bahan (Refli, 2011).

Umur simpan merupakan selang waktu antara bahan pangan mulai

diproduksi hingga tidak dapat diterima lagi oleh konsumen akibat adanya

penyimpangan mutu. Kerusakan produk pangan dapat disebabkan oleh adanya

penyerapan air oleh produk selama penyimpanan (Adawiyah, 2006). Kerusakan

produk dapat diamati dari penurunan kualitas dan kuantitas. Laju penyerapan air

oleh produk pangan selama penyimpanan dipengaruhi oleh tekanan uap air murni

pada suhu udara tertentu, permeabilitas uap air dan luasan kemasan yang

digunakan, kadar air awal produk, berat kering awal produk, kadar air kritis, kadar

air kesetimbangan pada RH penyimpanan, dan slope kurva isoterm sorpsi air.

Lebih lanjut Labuza (1984) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi

umur simpan produk pangan kering adalah kadar air awal, kadar air kritis, kadar

air kesetimbangan, RH dan jenis kemasan.

Kadar air merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi daya

simpan suatu produk pasca panen. Jika kadar air produk terlalu tinggi dapat

memacu respirasi dan berbagai cendawan dapat tumbuh (Nelson, 2001). Semakin

tinggi kadar air suatu produk, maka daya simpannya akan semakin rendah dimana

akan memacu respirasi dan perkembangan cendawan. Sebaliknya, semakin rendah

kadar air sampai nilai tertentu maka suatu produk tersebut akan memiliki daya

simpan yang lebih panjang. Masalah yang dihadapi dalam penyimpanan produk

semakin kompleks sejalan dengan meningkatnya kadar air. Penyimpanan benih

yang berkadar air tinggi dapat menimbulkan resiko terserang cendawan. Benih
bersifat higroskopis, sehingga benih akan mengalami kemunduran tergantung dari

tingginya faktor-faktor kelembapan relatif udara dan suhu lingkungan dimana

benih tersebut disimpan.

Pengujian kadar air produk pasca panen dilakukan dengan menggunakan

biji-bijian bahan pangan yaitu gabah padi kering dan basah, jagung kering dan

basah, serta kacang tanah kering dan basah. Pengujian kadar air pada biji-bijian

ini dilakukan dengan menggunakan seed moisture tester. Pada alat tersebut

terdapat beberapa tombol atau menu uji yang berbeda-beda tergantung pada jenis

benih yang akan diuji. Cara penggunaan alat ini yaitu biji yang akan diuji

damusakan ke dalam lubang penguji, kemudian putar sekrup untuk

menghancurkan benih, selanjutnya pilih menu uji sesuai biji yang akan diuji kadar

airnya. Prinsip kerja dari alat ini yaitu beberapa butir biji diletakkan pada tempat

penampung biji, dimasukkan dalam laci di sisi kana alat (di bawah alat penekan).

Secara perlahan kita memutar alat penekan sampai pemutarnya berhenti dan sudah

tidak dapat diputar kembali. Tombol power kita tekan, kita pilih biji yang akan

kita ukur dengan menekan tombol select dan memilih jenis bijinya. Setelah itu

kita tekan tombol measurement sebanyak tiga kali (kita mengambil reratanya agar

lebih akurat). Setelah tombol measurement ditekan tiga kali, kita menekan

tombol average untuk mengetahui reratanya. Setelah ditunggu beberapa saat,

nilai kadar air akan tertera pada layar. Menu uji paddy indryer untuk pengujian

kadar air gabah kering dan tombol paddy untuk pengujian kadar air gabah basah,

dan menu uji matter barley untuk pengujian kadar air biji jagung kering. Kadar

biji yang diuji akan akan terbaca hasilnya pada display alat tersebut.
Berdasarkan pengujian kadar air yang telah dilakukan menggunakan

moisture tester untuk biji gabah padi, jagung dan kacang tanah dalam keadaan

kering dan basah maka di dapatkan kadar air yang terbaca pada display. Gabah

basah berwarna cokelat pada permukaan sekamnya dan memiliki kadar air sebesar

25,4 %. Gabah kering berwarna kuning kecokelatan memiliki kadar air 14,8%.

Biji jagung basah berwarna kuning memiliki kadar air sebesar 25,8 % dan untuk

biji jagung kering berwarna putih dengan kadar air sebesar 16 %. Biji kacang

tanah basah berwarna cokelat keputih-putihan memiliki kadar air sebesar 28,2 %

sedangkan biji kacang tanah kering berwarna cokelat kekuningan memiliki kadar

air sebesar 17,6 %. Masing-masing biji dalam keadaan kering dan basah memiliki

kadar air yang berbeda-beda.

Menurut Brooker et al., (1974) kadar air biji jagung yang aman untuk

disimpan berkisar antara12-14%. Untuk itu, kadar air biji jagung harus diturunkan

menjadi < 20% dengan cara pengeringan. Pengeringan dimaksudkan untuk

mencapai kadar air biji 12-14% agar tahan disimpan lama, tidak mudah terserang

hama dan terkontaminasi cendawan yang menghasilkan mikotoksin,

mempertahankan volume dan bobot bahan sehingga memudahkan penyimpanan

(Handerson and Perry, 1982). Butir kacang tanah dengan kadar air yang tinggi

akan mengakibatkan butir keriput dan butir rusak. Butir keriput dan biji rusak

rentan terhadap infeksi Aspergillus flavus (Woodrof 1983 dalam Ginting dan

Beti 1996).

Gabah merupakan contoh produk biji-bijian yang harus melewati proses

pengeringan sebelum digiling atau diproses lebih lanjut. Gabah umumnya


mempunyai kandungan air tinggi berkisar 20 30% (wb) pada saat panen. Gabah

tersebut perlu dikeringkan sampai kadar air sekitar 14% (wb) agar dapat

diolah dan disimpan untuk waktu yang lama.Menurut Food and Agriculture of

Organization (2005), pada proses penggilingan gabah biasanya dilakukan pada

kadar air sekitar 14 %. Butir gabah yang basah (kadar air tinggi) akan

menyebabkan butir beras remuk, sebaliknya gabah yang sangat kering (kadar air

terlalu rendah) butir beras juga akan patah dan dihasilkan butir - butir menir.

Pengamataan daya simpan terhadap beberapa komoditas bahan pangan

dilakukan selama 5 hari. Pengamatan dilakukan pada biji gabah kering dan basah,

biji jagung kering dan basah, serta biji kacang tanah kering dan basah. Setelah

dilakukan pengamatan selama 5 hari, pada gabah padi kering dan basah tidak

terjadi perubahan baik dalam hal warna, bentuk, penampilan dan bau. Hal tersebut

menunjukan bahwa kadar air gabah kering sebesar 14,8% memiliki daya simpan

yang bagus, sedangkan gabah paadi basah dengan kadar air 25,4 % masih dapat

disimpan dalam jangka pendek yaitu selama pengamataan 5 hari. Pengamatan

terhadap biji jagung basaah dan kering yang dilakukan selama 5 hari juga tidak

menimbulkan perubahan dari segi warna, bentuk, penampilan dan bau yaang

dihasilkan. Hal tersebut menunjukan bahwa pada biji jagung kering dengan kadar

air 16 % memiliki daya simpan yang baik, sedangkan untuk biji jagung basah

dengan kadar air 25,8% juga masih dapat tahaan disimpan dalam jangka waktu

ynag pendek.

Pengamataan pada biji kaacang tanaah dilakukan selama 5 hari. Biji kacang

tanah kering memiliki kadar air sebesar 17,6 %, sedangkan biji kacang tanah
basah memiliki kadaar air 28,2 %. Setelah dilakukan pengamatan selama 5 hari,

pada biji kacang tanah kering tidak terjadi perubahaan baik dari segi warna,

bentuk, penampilan maupun bau yang ditimbulkan. Hal tersebut menunjukan

bahwa kadar air 17,6 % pada kacang tanah kering dapat disimpan dalam jangka

waktu yang relatif lama. Biji kacang tanah basah pada pengamataan hari ke-2

terjadi perubahan penampilan yaitu biji kacang tanah basah dengan kadar air

28,2% menjadi keriput, hal tersebut disebabkan oleh tingginya kadar air dan

kelembaapan sehingga dapat ditumbuhi oleh cendawan. Butir kacang tanah

dengan kadar air yang tinggi akan mengakibatkan butir keriput dan butir rusak.

Butir keriput dan biji rusak rentan terhadap infeksi Aspergillus flavus

(Woodrof 1983 dalam Ginting dan Beti 1996).

Kadar air merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi daya

simpan suatu produk pasca panen. Jika kadar air produk terlalu tinggi dapat

memacu respirasi dan berbagai cendawan dapat tumbuh (Nelson, 2001). Semakin

tinggi kadar air suatu produk, maka daya simpannya akan semakin rendah dimana

akan memacu respirasi dan perkembangan cendawan. Sebaliknya, semakin rendah

kadar air sampai nilai tertentu maka suatu produk tersebut akan memiliki daya

simpan yang lebih panjang.


V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan pada pengeringan produk

pasca panen dapat disimpulkan bahwa :


1 Kadar air dari produk pasca panen dalam kondisi kering untuk komoditas

gabah padi, kacang tanah, dan biji jagung yang masih dapat memiliki daya

simpan yang baik secara berturut-turut yaitu 14,8 %; 17,6 %; dan 16 %.


2 Kadar air gabah kering dengan gabah basah yaitu 14,8 % : 25,4 %; kadar air

biji kacang tanah kering dengan biji kacang tanah basah yaitu 17,6 % : 28,2%;

dan perbandingan kadar air biji jagung kering dengan biji jagung basah yaitu

16% : 25,8%.
3 Produk kering dengan kadar air yang lebih rendah memiliki daya simpan lebih

panjang dibandingkan produk pasca panen dengan kadar air yang lebih tinggi.

Hal tersebut dapat terlihat mencolok pada daya simpan kacang tanah kering

dan basah. Pada hari ke-2, kacang tanah telah mengalami perubahan

penampilan.

B. Saran
a Sebaiknya praktikan lebih teliti dalam melakukan pengamataan terhadap

perubahan warna, bentuk, penampilan dan bau pada produk pasca panen.
b Sebaiknya praktikan lebih rajin dalam melakukan pengamatan setiap hari.

DAFTAR PUSTAKA
Adawiyah, D.R. (2006). Hubungan sorpsi air, suhu transisi gelas, dan mobilitas
air serta pengaruhnya terhadap stabilitas produk pada model pangan.
Disertasi. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Brooker, D. B., F. W. Bakker-arkema, and C. W. Hall. 1981. Drying Cereal


Grains. Avi Publishing Company Inc. West Port, Connecticut.

Food and Agriculture of Organization. 2005. Rice : Milling. Dalam


http://www.fao.org/Indiaagronet. 2005. Paddy Drying. Dalam
http://www.indiaagronet.com

Henderson, S. M. and Perry, R. L. 1976. Agricultural Process Engineering. 3rd


ed. The AVI Publ. Co., Inc, Wesport, Connecticut, USA.

Istadi, Sumardiono, Y. dan Soetrisnanto, D. 2002. Penentuan Konstanta


Pengeringan dalam Sistem Pengeringan Lapis Tipis (Thin Layer Dring).
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Proses Kimia. Inovasi Produk
Berkelanjutan, Hotel Sahid Jaya Jakarta.

Kartasapoetra, A. G. 1994. Teknologi Pasca Panen. Rineka Cipta: Jakarta.

Kuswanto. 1997. Analisis Benih. Andi. Yogyakarta

Labuza, T.P. (1984). Practical aspects of isotherm measurement and use: Am.
Assoc. Cereal Chem. St. Paul, Minnesota.

Lingga, L. 2007. Philodendrom. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Mahadi. 2007. Model Sistem dan Analisa Pengering Produk Makanan. USU
Repository. Universitas Sumatera Utara.

Mejio, D.J. 2008. An overview of rice postharvest technology: Use of small


metallic for minimizing losses. Agricultural Industries Officer, Agricultural
and Food Engineering Technologies Service, FAO, Rome. FAO Corporate
Document Repository. p. 1-16.

Nelson . 2001. The development of seed quality in spring barley in four


environments. Germination and longevity. Seed Science Research 1 : 163-
177.

Nurba, D. 2010. Analisis Distribusi Suhu, Aliran Udara, RH dan Kadar Air
dalam In Store Dryer (ISD) untuk Biji Jagung. Institut Pertanian Bogor.
Pantastico, E.R.B. 1986. Fisiologi Pasca Panen. Gadjah Mada University
Press:Yogyakarta.
Obin, Rahmawan. 2001. Pengeringan, Pendinginan dan Pengemasan Komoditas
Pertanian. Direktorat Pendidikan Kejuaraan. Jakarta.

Setyono, A., A. Guswara, E. Suwangsa, dan E.S. Noor. 2006a. Penekanan


kehilangan hasil panen padi dengan penggunaan mesin perontok pada
pemanenan padi sistem kelompok. hlm. 615-632. Dalam Inovasi Teknologi
Padi Menuju Swasembada Beras Berkelanjutan. Buku 2. Pusat Penelitian
dan PengembanganTanaman Pangan, Bogor.

Setyono A., S. Nugraha, dan Sutrisno. 2008a. Prinsip penanganan pasca panen
padi. hlm. 439-461. Dalam Inovasi Teknologi dan Ketahanan Pangan. Buku
I. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi.

Sitkei, G. 1986. Mechanics of Agricultural Materials. Developments in


Agricultural Engineering 8. Elsevier Science Publishers. Budapest,
Hungary.

Sudaryanto. Soetrisno, A. dan Emi, S. 2005. Penuntun Praktikum Mata Kuliah


Teknologi Mesin Pertanian. Fakultas Teknologi Industri Pertanian,
Universitas Padjajaran.

Winarno, F.G.; S. Fardiaz; A. Rahman. 1974. Perkembangan Ilmu teknologi


pangan. Bogor: Fakultas Mekanisme dan Teknologi Hasil Pertanian
Institut Pertanian Bogor. 57 hal.

Windi, V. 2012. Operasi Pengeringan pada Pengolahan Hasil Pertanian. MSP.


Jakarta.

Yadollahinia, A.R., Omid, M. and Rafiee, S. 2008. Design and Fabrication of


Experimental Dryer for Studying Agricultural Products. Int. J. Agri.Bio.,
Vol. 10, Page 61-65.

Anda mungkin juga menyukai